Perilaku Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan

PERILAKU MASYARAKAT DALAM PELESTARIAN
HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN PANGKAJENE
DAN KEPULAUAN PROVINSI SULAWESI SELATAN

ZAINUDIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

SURAT PERNYATAAN TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perilaku Masyarakat
dalam Pelestarian Hutan Mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan
Provinsi Sulawesi Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Zainudin
NIM I351110091

RINGKASAN
ZAINUDIN, Perilaku Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove di
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh
SUMARDJO dan DJOKO SUSANTO.
Keberadaan hutan mangrove sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari kehidupan masyarakat pesisir, yang dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan
dan sebagai pelindung dari hempasan ombak dan angin kencang. Oleh karenanya,
keberadaan hutan mangrove perlu dijaga dan dilestarikan. Kelestarian hutan
mangrove tidak terlepas dari perilaku masyarakat yang berada di sekitarnya.
Pengelolaan hutan mangrove secara lestari merupakan salah satu syarat untuk
menjamin keberlanjutan hutan tersebut, namun demikian fakta di lapangan tidak
selalu sesuai dengan harapan. Pada saat ini, kerusakan hutan mangrove terjadi di
mana-mana, termasuk di kawasan pesisir Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan.
Di kawasan pesisir Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, selain kondisi hutan
mangrove yang rusak secara alami, terjadi pula alih fungsi lahan dari hutan

mangrove menjadi tambak ikan, yang mengakibatkan luasan hutan mangrove
semakin berkurang.
Apabila fenomena kerusakan kawasan hutan mangrove di Kabupaten
Pangkajene dan Kepulauan terus berlanjut dan tidak segera ditangani maka akan
berakibat sangat buruk bagi ekologi hutan mangrove tersebut dan berdampak pada
terjadinya abrasi pantai yang semakin kritis, intrusi air laut lebih jauh ke daratan,
potensi perikanan menurun, kehidupan berbagai jenis habitat lainnya terganggu
serta sumber pendapatan masyarakat sekitar berkurang. Oleh karena itu, ekosistem
mangrove perlu dilestarikan agar dapat memperoleh manfaat yang sebesarbesarnya pada masa sekarang dan masa yang akan datang.
Pihak yang selalu dianggap sebagai penyebab rusaknya hutan mangrove
adalah masyarakat sekitarnya. Hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene dan
Kepulauan juga tak luput dari fenomena tersebut, yaitu ada hutan mangrove yang
mengalami deforestasi karena perilaku masyarakat yang apatis dan destruktif,
namun ada juga hutan mangrove yang berada dalam kondisi baik, terjaga dan
tetap lestari karena dikelola dengan baik oleh masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengalisis perilaku masyarakat dalam
pelestarian hutan mangrove dan mengalisis faktor–faktor yang berhubungan
dengan perilaku masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove serta merumuskan
strategi yang tepat untuk meningkatkan perilaku positif masyarakat dalam
pelestarian hutan mangrove.

Populasi penelitian adalah Kepala Keluarga (KK) masyarakat pesisir di
Kelurahan Tekolabbua Kecamatan Pangkajene dan Kelurahan Pundata Baji
Kecamatan Labakkang Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Provinsi Sulawesis
Selatan. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 100 KK. Penarikan sampel
dilakukan secara acak kelompok (cluster random sampling). Rancangan penelitian
ini adalah deskriptif korelasional. Data yang diperoleh dianalisis dengan
menggunakan korelasi Rank Spearman SPSS 20.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku masyarakat pesisir Kabupaten
Pangkajene dan Kepulauan dalam pelestarian hutan mangrove tergolong dalam
kategori sedang. Masyarakat telah memanfaatkan hutan mangrove sesuai dengan

kebutuhan dan pengelolaannya telah dilakukan dengan mengedepankan aspek
kelestarian yang teraktualisasi dalam tindakan nyata yang meliputi pembibitan,
penanaman, pemeliharaan dan pengawasan. Di samping itu, masyarakat cukup
kreatif dalam membangun hubungan kemitraan dengan pihak lain terkait
pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove yang termanifestasi dalam bentuk
hubungan dagang, antara lain transaksi penjualan bibit tanaman mangrove, juga
terwujud dalam bentuk kemitraan pendidikan lingkungan hidup.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku masyarakat dalam
pengelolaan hutan magrove secara lestari adalah intensitas penyuluhan dan

dukungan lingkungan sosial. Faktor-faktor yang berhubungan dengan
keberlanjutan manfaat hutan mangrove adalah dukungan lingkungan sosial dan
perilaku masyarakat.
Strategi yang tepat untuk meningkatkan perilaku masyarakat dalam
pengelolaan hutan mangrove adalah: (a) penetapan kebijakan yang mendukung
pengelolaan hutan mangrove oleh masyarakat sekitar hutan mangrove, (b)
pengembangan stimulan bagi masyarakat sekitar hutan mangrove untuk tetap
mengelola, memelihara, dan memanfaatkan kawasan hutan mangrove secara baik
dan benar, (c) pengembangan dan peningkatan kemampuan masyarakat dalam
mengelola hutan mangrove secara lestari, (d) pengembangan upaya terciptanya
usaha industri rumahtangga.
Kata kunci: perilaku masyarakat, pelestarian hutan mangrove

SUMMARY
ZAINUDDIN. Coastal Community’s Behaviour in Managing and Conserving The
Mangrove forest in Pangkajene and Kepulauan District of South Sulawesi
Province. Advisory Comitte: SUMARDJO and DJOKO SUSANTO.
The existence of mangrove forests have become an integral part of the lives
of coastal communities, hence the existence of mangrove forests should be
maintained and preserved. Mangrove forest sustainability can not be separated

from the behavior of the people who live around the forest. Sustainable
management of mangrove forest is one of the requirements to ensure the
sustainability of the forest, however, in facts is not always in line with expectation.
Nowadays, degradation and deforestation of mangrove forests occur everywhere.
Mangrove forests in Pangkajene and Kepulauan are examples of this phenomenon.
There are mangrove forests deforesting naturally, and there are also mangrove
forests deforesting because of coverting to be fishpond, so the size of area of
mangrove forest is more decreasing.
If the phenomenon of mangrove forests destruction in Pangkajene and
Kepulauan is continued and not anticipated immediately, it will cause serious
harm to the ecology of the mangrove forests and will bring about increasing
coastal erosion critically, intrusion of seawater further to the land, disturbing life
of various types of habitats, and others sources of income of surrounding
community’s are reduced. Therefore, mangrove ecosystems need to be preserved
in order to obtain the maximum benefits in the present and the future.
Parties are always considered as the cause of the destruction of mangrove
forests is the surrounding community. Mangrove forests in Pangkajene and
Kepulauan also not spared from this phenomenon, there is deforested mangrove
forests due to the behavior of people who are apathetic and destructive, but there
are also mangrove forests which are in good condition, maintained and preserved

as well managed by the community.
The objective of this research were (1) to examine the behavior of the
coastal communities conserving mangrove forests, (2) to examine factors related
to coastal communities’ behavior in managing and conserving mangrove forest,
and (3) to formulate appropriate strategies to improve coastal communities’
behavior in managing and conserving mangrove forest.
The population were 100 heads of fisherman households taken from
Tekolabbua and Pundata Baji Village of Pangkajene dan Kepulauan District. This
research was correlational reearch. Data were analyzed using Spearman Rank
correlation using SPSS programming
The conclusion of this reserach are: (1) the behavior of coastal communities
in the preservation Pangkajene dan Kepulauan mangrove forests are in sedentary
level. Factors related to behavior is the intensity of extention activities and
environmental support. Factors related to the sustainability of mangrove forests is
the environmental support and coastal communities’ behavior. Appropriate
strategies to improve coastal communities’ behavior in managing mangrove
forests are: (a) the establishment of regulations by local government that support
the management of mangrove forests based on community, (b) developing
stimulants for coastal communities to keep managing, maintaining, and utilizing


forest mangroves, (c) increasing the abilities of coastal communities to sustainably
manage mangrove forests, (d) developing home industry of coastal communities.
Keywords: coastal community’s behavior, managing and conserving mangrove
forest

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PERILAKU MASYARAKAT DALAM PELESTARIAN
HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN PANGKAJENE
DAN KEPULAUAN PROVINSI SULAWESI SELATAN

ZAINUDIN


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Anna Fatchiya, MSi
Penguji Program Studi: Dr Ir Dwi Sadono, MSi

Judul Tesis : Perilaku Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove di
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan
Nama
: Zainudin
NIM

: I351110091

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Sumardjo, MS
Ketua

Prof (R) Dr Djoko Susanto, SKM
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Sumardjo, MS


Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 18 Juni 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juli s/d September 2013 ini ialah
Perilaku Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove di Kabupaten
Pangkajene dan Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan.
Banyak pihak yang telah membantu dan mendorong mulai dari awal penulis
menjadi mahasiswa S2 IPB sampai dengan tersusunnya tesis ini, untuk itu pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof Dr Ir Sumardjo, MS, Bapak Prof (R) Dr Djoko Susanto, SKM dan
(Alm) Bapak Prof Dr Ir Darwis S Gani, MA selaku komisi pembimbing yang
telah banyak memberikan masukan dan saran kepada penulis dalam
penyusunan tesis ini.
2. Ibu Dr Ir Anna Fatchiya, MSi selaku penguji luar komisi.

3. Bapak Ir Bambang Mulyonohadi, MSi, Ibu Ir Rosdiana, MP dan Ibu Dra
Anriani, MP yang telah memberikan rekomendasi kelayakan.
4. Kementerian Kehutanan yang telah memberikan kesempatan dan beasiswa
kepada penulis untuk mengikuti pendidikan S2.
5. Kepala Balai Diklat Kehutanan Makassar beserta staf yang telah memberikan
dorongan moril kepada penulis.
6. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pangkajene dan
Kepulauan beserta staf yang telah memberikan ijin penelitian dan membantu
proses pengumpulan data
7. Masyarakat di dua Kelurahan (Kelurahan Tekolabbua dan Kelurahan Pundata
Baji) yang telah membantu pengumpulan data di lapangan.
8. Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Ilmu Penyuluhan Pembangunan
angkatan 2011 yang tiada henti-hentinya memberikan dukungan selama ini.
9. Saudara Dr Adi Riyanto Suprayitno, SPd MSi beserta keluarga, istri tercinta
dan kelima putra putri tersayang serta seluruh keluarga yang telah memberikan
dukungan dan doa yang tiada henti sehingga penelitian dan penulisan tesis ini
dapat diselesaikan.
Semoga tesis ini bermanfaat bagi penulis dan pihak-pihak lain yang terkait,
khususnya bagi penyuluh dan masyarakat pesisir pantai Kabupaten Pangkajene
dan Kepulauan. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna
mengingat keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki, kritik
dan saran sangat diharapkan guna kesempurnaan tesis ini.

Bogor, Agustus 2014
Zainudin

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xiii

DAFTAR GAMBAR

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

xiii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
3
4
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Perilaku
Masyarakat
Pelestarian Hutan Mangrove
Karakteristik Individu
Intensitas Penyuluhan
Dukungan Lingkungan Sosial
Keberlanjutan Manfaat Hutan Mangrove
Kerangka Berpikir
Hipotesis
3 METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Populasi dan Sampel
Pengumpulan Data
Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Analisis Data
Definisi Operasional dan Parameter Pengukuran Peubah Penelitian

5
5
8
9
12
15
18
22
24
26
27
27
27
27
28
28
30
31

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Lokasi Penelitian
Karakteristik Individu
Intensitas Penyuluhan
Dukungan Lingkungan Sosial
Perilaku Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove
Tingkat Keberlanjutan Manfaat Hutan Mangrove
Hubungan Karakteristik Individu dengan Perilaku Masyarakat
Hubungan Intensitas Penyuluhan dengan Perilaku Masyarakat
Hubungan Dukungan Lingkungan Sosial dengan Perilaku Masyarakat
Hubungan Dukungan Lingkungan Sosial dengan Tingkat Keberlanjutan
Hubungan Perilaku Masyarakat dengan Tingkat Keberlanjutan
Strategi Peningkatan Perilaku Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan
Mangrove.

35
35
36
38
41
45
48
50
52
55
59
62

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

67
67
67

65

DAFTAR PUSTAKA

689

LAMPIRAN

73

RIWAYAT HIDUP

82

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

8

9

10
11

12

13

14

15

16

17

18

Hasil perhitungan reliabilitas instrumen penelitian
Karakteristik individu
Intensitas penyuluhan
Dukungan lingkungan sosial
Perilaku masyarakat
Tingkat keberlanjutan manfaat hutan mangrove
Rataan skor masing-masing indikator berdasarkan karakteristik individu
masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove di Kabupaten
Pangkajene dan Kepulauan tahun 2013
Persentase sebaran masing-masing karakteristik individu masyarakat
dalam pelestarian hutan mangrove dan lokasi di Kabupaten Pangkajene
dan Kepulauan tahun 2013
Rataan skor masing-masing indikator berdasarkan
intensitas
penyuluhan dan lokasi di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan tahun
2013
Persentase sebaran masing-masing berdasarkan Intensitas penyuluhan
dan lokasi di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan tahun 2013
Rataan skor masing-masing indikator berdasarkan dukungan
lingkungan sosial dan lokasi di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan
tahun 2013
Persentase sebaran masing-masing indikator berdasarkan dukungan
lingkungan sosial dan lokasi di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan
tahun 2013
Rataan skor masing-masing indikator berdasarkan perilaku masyarakat
dalam pelestarian hutan mangrove dan lokasi di Kabupaten Pangkajene
dan Kepulauan tahun 2013
Persentase sebaran masing-masing indikator berdasarkan perilaku
masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove dan lokasi di Kabupaten
Pangkajene dan Kepulauan tahun 2013
Rataan skor masing-masing indikator berdasarkan tingkat keberlanjutan
manfaat hutan mangrove dan lokasi di Kabupaten Pangkajene dan
Kepulauan tahun 2013
Persentase sebaran masing-masing indikator berdasarkan tingkat
keberlanjutan manfaat hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene dan
Kepulauan tahun 2013
Koefisien hubungan karakteristik individu dengan perilaku masyarakat
dalam pelestarian hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene dan
Kepulauan tahun 2013
Koefisien hubungan antara intensitas penyuluhan dengan perilaku
masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove di Kabupaten
Pangkajene dan Kepulauan tahun 2013

29
31
32
32
33
34

36

37

39
40

432

423

465

456

49

50

51

54

19 Koefisien hubungan antara dukungan lingkungan sosial dengan perilaku
masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove di Kabupaten
Pangkajene dan Kepulauan tahun 2013
20 Koefisien hubungan antara dukungan lingkungan sosial dengan tingkat
keberlanjutan manfaat hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene dan
Kepulauan tahun 2013
21 Koefisien hubungan antara perilaku masyarakat dengan tingkat
keberlanjutan manfaat hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene dan
Kepulauan Tahun 2013

56

60

64

DAFTAR GAMBAR
1
2

Kerangka pikir penelitian
Peta lokasi penelitian

25
36

DAFTAR LAMPIRAN
1 Validitas dan reliabilitas istrument intensitas penyuluhan (X2)
2 Validitas dan reliabilitas istrument dukungan lingkungan sosial (X3)
3 Validitas dan reliabilitas istrument perilaku masyarakat dalam
pelestarian hutan mangrove (Y1)
4 Validitas dan reliabilitas istrument keberlanjutan manfaat hutan
mangrove (Y2)
5 Hubungan karakteristik individu dengan perilaku masyarakat dalam
pelestarian hutan mangrove di Kelurahan Tekolabbua
6 Hubungan intensitas penyuluhan dengan perilaku masyarakat dalam
pelestarian hutan mangrove di Kelurahan Tekolabbua
7 Hubungan dukungan lingkungan sosial dengan perilaku masyarakat
dalam pelestarian hutan mangrove di Kelurahan Tekolabbua
8 Hubungan dukungan lingkungan sosial dengan tingkat keberlanjutan
manfaat hutan mangrove di Kelurahan Tekolabbua
9 Hubungan perilaku masyarakat dengan tingkat keberlanjutan manfaat
hutan mangrove di Kelurahan Tekolabbua
10 Hubungan karakteristik individu dengan perilaku masyarakat dalam
pelestarian hutan mangrove di Kelurahan Pundata Baji
11 Hubungan intensitas penyuluhan dengan perilaku masyarakat dalam
pelestarian hutan mangrove di Kelurahan Pundata Baji
12 Hubungan dukungan lingkungan sosial dengan perilaku masyarakat
dalam pelestarian hutan mangrove di Kelurahan Pundata Baji
13 Hubungan dukungan lingkungan sosial dengan tingkat keberlanjutan
manfaat hutan mangrove di Kelurahan Pundata Baji
14 Hubungan perilaku masyarakat dengan tingkat keberlanjutan manfaat
hutan mangrove di Kelurahan Pundata Baji

73
74
75
76
77
77
78
78
79
79
80
80
81
81

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sumberdaya alam
pesisir yang potensial, baik sumberdaya alam hayati maupun non hayati. Diantara
sumberdaya alam hayati tersebut adalah hutan mangrove, perikanan, terumbu
karang dan lain sebagainya, sedangkan sumberdaya non hayati di antaranya
adalah mineral dan bahan tambang (Tambunan et al. 2005). Wilayah pesisir
merupakan daerah peralihan antara ekosistem daratan dan lautan yang memiliki
produktivitas hayati yang tinggi. Potensi tersebut disertai dengan kemudahan
aksesibilitas, sehingga wilayah pesisir dimanfaatkan untuk berbagai tujuan.
Sumberdaya pesisir memiliki peran penting dalam mendukung pembangunan
ekonomi daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan
kerja dan pendapatan penduduk.
Salah satu wilayah pesisir yang berperan penting dalam pembangunan
adalah hutan mangrove. Keberadaan hutan mangrove ini merupakan ciri khas dari
wilayah pesisir yang ada di daerah tropis dan sub tropis. Dari sekitar 16.9 juta
hektar hutan mangrove yang ada di dunia, sekitar 27 persen berada di Indonesia
(Bengen 2002). Hutan mangrove tersebut memberikan manfaat dan fungsi yang
penting bagi kelangsungan hidup manusia sebagai pengguna sumberdaya.
Keberadaan hutan mangrove memberikan kontribusi yang besar bagi manusia
dan pembangunan serta keberlangsungan hewan yang hidup di dalamnya atau
sekitarnya, bahkan bagi mahluk hidup yang hanya tinggal untuk sementara waktu.
Secara ekologis, hutan mangrove dapat menjamin terpeliharanya lingkungan fisik,
seperti penahan ombak, angin dan intrusi air laut, serta merupakan tempat
perkembangbiakan bagi berbagai jenis kehidupan laut seperti ikan, udang,
kepiting, kerang, siput, dan hewan jenis lainnya. Arti penting hutan mangrove dari
aspek sosial ekonominya dapat dibuktikan dengan kegiatan masyarakat
memanfaatkan hutan mangrove untuk mencari kayu dan juga sebagai tempat
wisata alam. Selain itu, hutan mangrove dapat menjadi sumber pendapatan
masyarakat nelayan dan petani tepian pantai yang kehidupannya sangat tergantung
kepada sumberdaya alam dari hutan mangrove.
Kegiatan pembangunan di wilayah pesisir cukup pesat dalam dekade
terakhir ini, baik untuk perikanan, pemukiman, pertambangan, pariwisata dan
sebagainya. Pesatnya pembangunan serta ditambah dengan tingkat kepadatan
penduduk yang tinggi, telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan di
beberapa wilayah pesisir Indonesia. Permasalahan tersebut diantaranya adalah
terjadinya degradasi ekosistem alami. Salah satu ekosistem pesisir yang
mengalami tingkat degradasi cukup tinggi akibat pola pemanfaatannya yang
cenderung tidak memperhatikan aspek kelestariannya adalah hutan mangrove
(Raymond et al. 2010).
Indonesia memiliki hutan mangrove lebih banyak dibandingkan dengan
negara lain. Luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 1982 tercatat seluas
5.209.543.16 hektar, dan pada tahun 1993 luas tersebut menurun menjadi sekitar
2.496.185 hektar (Dahuri 2001). Penurunan luasan hutan mangrove di Indonesia
terjadi karena adanya berbagai kegiatan di wilayah pesisir yang mengkonversi

2
lahan mangrove untuk berbagai tujuan, seperti perikanan, pemukiman,
pertambangan, pariwisata, dan sebagainya. Akibat dari kegiatan tersebut, muncul
permasalahan lingkungan di wilayah pesisir, seperti terjadinya degradasi
ekosistem alami. Ekspansi pembangunan dan pengoperasian tambak yang tidak
terkontrol menempatkan sumber hayati hutan mangrove yang berada sepanjang
81.000 km garis Pantai Indonesia terancam kepunahan.
Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 80-an memiliki luas areal hutan
mangrove sekitar 112.577 hektar, dan saat ini tinggal sekitar 22.353 hektar
(Konsorsium Mitra Bahari Sulawesi Selatan 2010). Kerusakan terjadi hampir di
seluruh kawasan pesisir pantai Provinsi Sulawesi Selatan. Robin Lewis III
Perwakilan dari Mangrove Action Project-International mengatakan bahwa
kerusakan hutan mangrove di Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 70 persen,
kerusakan memanjang dari wilayah pesisir pantai barat yang mencakup
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Maros, Takalar, hingga ke wilayah pantai
timur, mulai dari Kabupaten Sinjai hingga daerah Luwu Raya (Tribun-Timur
2011).
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan adalah salah satu wilayah di Provinsi
Sulawesi Selatan yang memiliki luas kawasan pesisir sebesar 781.13 kilometer
persegi atau 70 persen dari luas daratan, dengan panjang garis pesisir sepanjang
95 kilometer. Keberadaan hutan mangrove di kawasan ini juga tidak luput dari
ancaman degradasi dan deforestasi. Terdapat kawasan hutan mangrove yang
mengalami kerusakan, namun ada juga kawasan hutan mangrove yang relatif
masih terjaga keberadaannya. Dalam rentang waktu 2003 sampai dengan 2007,
kawasan hutan mangrove di sepanjang kawasan pesisir di Kabupaten Pangkajene
dan Kepulauan banyak mengalami konversi atau alih fungsi menjadi tambak.
Selama rentang waktu itu, luas tambak yang telah dikembangkan seluas 3.311.32
hektar tambak dengan komoditas utama udang dan bandeng (Mayudin 2012). Hal
ini mengakibatkan luasan hutan mangrove semakin berkurang. Hasil penelitian
Tantu (2012) di Kecamatan Labakkang Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan
menemukan perubahan bentang lahan dari tahun 1980 sampai tahun 2010 sebagai
akibat alih fungsi dari hutan mangrove menjadi tambak. Tantu menyatakan bahwa
vegetasi mangrove berkurang dari 248.4 hektar menjadi 49.0 hektar, sementara
luas tambak meningkat dari 2.251.4 hektar menjadi 5.029.3 hektar.
Apabila fenomena kerusakan kawasan hutan mangrove di Kabupaten
Pangkajene dan Kepulauan terus berlanjut dan tidak segera ditangani maka akan
berakibat sangat buruk bagi ekologi hutan mangrove tersebut dan berdampak pada
terjadinya abrasi pantai yang semakin kritis, intrusi air laut lebih jauh ke daratan,
potensi perikanan menurun, kehidupan satwa liar dan berbagai jenis habitat
lainnya terganggu serta sumber pendapatan masyarakat sekitar berkurang. Oleh
karena itu, ekosistem mangrove perlu dilestarikan agar dapat memperoleh manfaat
yang sebesar-besarnya pada masa sekarang dan masa yang akan datang.
Keberadaan hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan
menjadi penting untuk dipertahankan karena Kabupaten ini merupakan wilayah
maritim atau dikelilingi oleh laut di mana banyak masyarakat yang tinggal di
sekitar pantai serta memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan penambak
ikan. Untuk menjaga eksistensi hutan mangrove maka diperlukan upaya
pengelolaan dan pemanfaatan dengan berazaskan pada kelestarian atau
memperhatikan keberlanjutan hutan tersebut.

3
Upaya mewujudkan pelestarian hutan, termasuk hutan mangrove, dilakukan
oleh pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan, yakni Undang-Undang (UU)
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 2 dalam UU tersebut menyatakan
bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu, pemerintah
bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari,
kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan. Selanjutnya
dipertegas dalam pasal 43 dikaitkan dengan kerusakan hutan mangrove, dinyatakan
bahwa setiap orang yang memiliki, mengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis
atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan
konservasi. Dengan demikian, kelestarian hutan mangrove tidak terlepas dari
kesadaran dan perilaku masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan hutan
mangrove untuk mempertahankan kelestarian sekaligus meningkatkan sumber
pendapatan masyarakat nelayan dan petani tepian pantai yang kehidupannya sangat
tergantung kepada sumberdaya alam hutan mangrove.
Pihak terdepan yang paling krusial berperan dalam menjaga kelestarian
hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan adalah masyarakat
pesisir yang tinggal di sekitar hutan mangrove tersebut. Kesadaran akan
pentingnya hutan mangrove dan perilaku positif masyarakat dalam beriteraksi
dengan hutan mangrove akan menentukan apakah hutan mangrove akan lestari
atau tidak. Artimya,, kunci keberhasilan dalam mengelola hutan mangrove secara
lestari adalah kesadaran dan perilaku masyarakat sekitar hutan mangrove ketika
memanfaatkan dan mengelola hutan mangrove tersebut. Oleh karena itu, interaksi
antara masyarakat dengan ekosistem hutan mangrove merupakan hubungan yang
sangat penting untuk diperhatikan. Untuk itu, diperlukan penelitian dalam rangka
mengungkapkan dan menganalisis berbagai fakta empirik perilaku masyarakat
dan faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kegiatan pemanfaatan dan
pengelolaan hutan mangrove.

Perumusan Masalah
Luas hutan mangrove di Indonesia mengalami penurunan dari 5.21 juta
hektar antara tahun 1982 sampai 1987 menjadi 3.24 hektar, dan makin menyusut
menjadi 2.5 juta hektar pada tahun 1993 (Widagdo 2000). Penurunan luas hutan
mangrove diakibatkan oleh berbagai aktivitas manusia, seperti pemanfaatan dan
pengelolaan hutan mangrove yang tidak terkontrol, terjadinya alih fungsi lahan
yakni mengkonversikan lahan hutan mangrove menjadi tambak, pemukiman,
lahan perkebunan, industri dan lain sebagainya dalam skala besar tanpa
memikirkan keberlanjutan ekosistem pesisir itu sendiri.
Keberadaan hutan mangrove di Sulawesi Selatan juga tidak terlepas dari
fenomena tersebut sebagai akibat perilaku manusia yang tidak memperhatikan
aspek ekologis, sehingga menimbulkan permasalahan lingkungan yang serius
terhadap makhluk hidup baik yang ada dalam kawasan hutan mangrove maupun
bagi masyarakat yang ada disekitarnya. Sebagian besar hutan mangrove di
Sulawesi Selatan mengalami penurunan luasan, yakni pada tahun 1980-an luas
hutan mangrove 112.577 hektar dan pada saat ini yang tersisa tinggal 22.353
hektar atau 19.85 persen (Konsorsium Mitra Bahari Sulawesi Selatan 2010).
Kawasan hutan mangrove Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan di
Provinsi Sulawesi Selatan juga tidak luput dari fenomena deforestasi dan

4
degradasi tersebut, ada kawasan yang mengalami kerusakan, ada pula kawasan
hutan mangrove yang relatif masih terjaga. Masyarakat pesisir yang tinggal di
sekitar hutan mangrove dapat menjadi pihak terpenting dalam menjaga eksisitensi
hutan mangrove. Dengan kata lain, keterjagaan eksistensi hutan mangrove sangat
bergantung pada perilaku masyarakat yang tinggal di sekitarnya dalam
berinteraksi dengan hutan mangrove tersebut. Kelestarian hutan mangrove
merupakan akibat dari perilaku masyarakat dan berbagai faktor lainnya dalam
beriteraksi dengan hutan mangrove.
Berdasarkan argumen tersebut, maka masalah penelitian dirumuskan
sebagai berikut:
1 Bagaimana perilaku masyarakat dalam melestarikan hutan mangrove di
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan?
2 Faktor-faktor apa yang berhubungan dengan perilaku masyarakat dalam
pelestarian hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan?
3 Bagaimana strategi yang tepat untuk meningkatkan perilaku masyarakat dalam
pelestarian hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan?

Tujuan Penelitian
Sejalan dengan permasalahan yang telah dirumuskan, penelitian ini
bertujuan sebagai berikut:
1 Mengalisis perilaku masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove di
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan.
2 Mengalisis faktor–faktor yang berhubungan dengan perilaku masyarakat dalam
pelestarian hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan.
3 Merumuskan strategi yang tepat untuk meningkatkan perilaku masyarakat
dalam pelestarian hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan.

Manfaat Penelitian
Hasil temuan yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
bagi segenap pihak yang berhubungan dengan perilaku dan pembangunan di
bidang kehutanan. Penelitian ini memberikan kegunaan sebagai berikut:
1 Sebagai bahan masukan (informasi) yang positif bagi pemerintah pusat,
propinsi dan kabupaten dalam menentukan kebijakan pengelolaan hutan
mangrove, pembangunan masyarakat dan usaha-usaha pelestarian hutan
mangrove.
2 Sebagai bahan masukan (informasi) atau sumbangan ilmiah untuk penelitian
lebih lanjut pada masalah yang sama namun dengan kajian yang berbeda.
3 Memberikan sumbangan ilmu bagi penyuluh/pembinaan pembangunan
mengenai perilaku masyarakat pesisir.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Perilaku
Perilaku manusia merupakan hasil interaksi yang menarik antara keunikan
individual dengan keumuman situasional. Padmowihardjo (Amanah dan Utami,
2006), menyatakan bahwa perilaku merupakan pencerminan-pencerminan yang
ditampakkan oleh seseorang sebagai hasil interaksi dari sifat-sifat genetis dan
lingkungan. Perilaku dapat diamati oleh orang lain, dapat didengar, dilihat atau
dirasakan oleh orang lain. Perilaku dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1999),
didefinisikan sebagai tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau
lingkungan.
Perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu
sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain berjalan, bekerja,
termasuk kegiatan internal seperti berpikir, persepsi dan emosi. Perilaku dalam
kepentingan kerangka analisis dapat dikatakan bahwa semua aktivitas atau
kegiatan yang dikerjakan oleh manusia, baik yang dapat diamati secara langsung
maupun yang tidak langsung diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo 2007).
Manusia sebagai makhluk yang berakal dan aktif akan selalu berusaha untuk
mencari kebutuhan yang sesuai dengan dirinya, jiwa manusia bukan merupakan
sesuatu yang abstrak konsisten dan statis, melainkan sesuatu yang dinamis dan
sebagai keseluruhan jiwa raga yang aktif. Kebutuhan seseorang akan informasi
akan mampu menggerakkan secara aktif usaha melakukan pencarian terhadap
sumber informasi. Perilaku berkaitan dengan kemampuan fisik maupun non fisik
dan umumnya unsur-unsur perilaku dapat dikelompokkan menjadi tiga unsur
yaitu pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor), dan sikap mental
(afektif).
Pengetahuan adalah mengenal suatu obyek baru yang selanjutnya menjadi
sikap terhadap obyek tersebut (Walgito 2002). Koentjaraningrat (1990),
menyebutkan bahwa pengetahuan adalah unsur-unsur yang mengisi akal dan alam
jiwa seorang manusia yang sadar, secara nyata terkandung dalam otaknya,
Artimya, bahwa pengetahuan berhubungan dengan jumlah informasi yang dimiliki
oleh seseorang. Soekanto (2001) menyatakan bahwa pengetahuan adalah kesan
yang terdapat di dalam pikiran seseorang sebagai hasil penggunaan panca indera.
Pengetahuan didapatkan pada individu yang baik melalui proses belajar,
pengalaman atau media elektronika yang kemudian disimpan dalam memori
individu. Marzano (2000) berpendapat bahwa pengetahuan adalah bahan bakar
yang memberi tenaga pada proses berpikir.
Pengetahuan mengenai suatu obyek akan menjadi sikap terhadap obyek
tersebut apabila pengetahuan itu disertai dengan kesiapan untuk bertindak sesuai
dengan pengetahuan terhadap obyek tersebut (Gerungan 1996). Selanjutnya
dinyatakan bahwa sikap mempunyai motivasi, yang berarti ada segi kedinamisan
untuk mencapai suatu tujuan. Terbentuknya sikap karena adanya interaksi
manusia dengan obyek tertentu (komunikasi), serta interaksi sosial di dalam
kelompok maupun di luar kelompoknya. Interaksi di luar kelompok bisa
dilakukan melalui media komunikasi seperti surat kabar, radio, televisi, buku,
majalah. Dikemukakan pula media massa mempunyai pengaruh besar dalam

6
membentuk atau mengubah sikap pada orang banyak, namun hal itu tergantung
pada isi komunikasi dan sumber komunikasi.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat dinyatakan bahwa pengetahuan
adalah suatu daya didalam hidup manusia dan dengan pengetahuan manusia
mengenali peristiwa dan permasalahan, menganalisa, mengurai, mengadakan
interpretasi serta menentukan pilihan-pilihan. Melalui pengetahuan, manusia dapat
mempertahankan, mengembangkan dan membentuk sikap dan nilai hidup,
menentukan pilihan serta tindakan yang akan dilakukan. Tanpa pengetahuan,
individu ataupun masyarakat tidak mempunyai dasar untuk mengambil keputusan
dan menentukan tindakan terhadap masalah yang dihadapi.
Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek di lingkungan
tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap obyek tersebut (Mar’at 1981). Sherif
et al. (Rakhmat 2001) menyatakan bahwa (1) sikap adalah kecenderungan
bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa dalam menghadapi obyek, ide, situasi,
atau nilai, (2) sikap mempunyai daya dorong dan motivasi, (3) sikap relatif lebih
menetap, (4) sikap mengandung aspek evaluatif, dan (5) sikap timbul dari
pengalaman, tidak dibawa sejak lahir tetapi merupakan hasil belajar, sehingga
sikap dapat diperteguh atau diubah. Manusia tidak dilahirkan dengan pandangan
ataupun sikap perasaan tertentu, tetapi sikap tersebut dibentuk sepanjang
perkembangannya.
Adanya sikap mengakibatkan manusia akan bertindak secara khas terhadap
obyek-obyek tertentu. Oleh karena itu menurut Sherif (Gerungan 1996) bahwa:
(1) sikap bukan dibawa orang sejak ia dilahirkan, melainkan dibentuk atau
dipelajarinya sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungannya dengan
obyeknya, (2) sikap dapat mengalami perubahan, karena itu sikap dapat dipelajari
orang, (3) obyek sikap dapat merupakan satu hal tertentu, tetapi juga dapat
merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut, (4) sikap mempunyai segi-segi
motivasi dan segi-segi perasaan, hal inilah yang membedakan sikap dan
kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki seseorang,
dan (5) sikap itu tidak berdiri sendiri, tetapi mengandung relasi tertentu terhadap
suatu obyek. Sikap terbentuk dari pengalaman, melalui proses belajar.
Pengalaman yang dimaksud, oleh Sarwono (2002) dinyatakan sebagai obyek yang
menjadi respon evaluasi dari sikap. Proses belajar dalam pengalaman adalah
sebagai peningkatan pengetahuan individu terhadap obyek sikap. Proses belajar
tersebut didapat melalui interaksi dengan pengalaman peribadi, pengaruh orang
lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga
pendidikan dan lembaga agama serta pengaruh faktor emosional.
Sikap akan berarti jika diwujudkan dalam bentuk tindakan, baik lisan
maupun tulisan. Tindakan merupakan bentuk perilaku yang sudah nyata, berupa
perbuatan terhadap situasi rangsangan dari luar. Hal ini sejalan dengan pendapat
Sajogyo (1982) bahwa sikap merupakan kecondongan yang berasal dari dalam
individu untuk berkelakuan dengan suatu pola tertentu terhadap suatu obyek
akibat perasaan terhadap suatu obyek. Notoatmodjo (2003) menyatakan adanya
pengetahuan dan persepsi tidak secara otomatis mewujudkan suatu tindakan. Oleh
karena itu, untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata
diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, seseorang
akan memberikan respon atau reaksi terhadap stimulus, apabila ia mengetahui
stimulus atau obyek tersebut.

7
Rogers dan Shoemaker (1986) menyatakan bahwa perilaku merupakan
suatu tindakan nyata yang dapat dilihat atau diamati. Perilaku tersebut terjadi
akibat adanya proses penyampaian pengetahuan suatu stimulus sampai terjadi
penentuan sikap untuk bertindak atau tidak bertindak, dan hal ini dapat dilihat
dengan menggunakan panca indera. Arif (1995) menjelaskan bahwa perilaku atau
tingkah laku adalah kebiasaan bertindak yang menunjukkkan tabiat seseorang
ynag terdiri dari pola-pola tingkah laku yang digunakan oleh individu dalam
melakukan kegiatannya. Lebih jauh dikatakan bahwa perilaku itu terjadi karena
adanya penyebab tingkah laku (stimulus), motivasi tingkah laku, dan tujuan
tingkah laku. Perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus
(rangsangan dari luar). Perilaku terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap
organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon (Notoatmodjo 2007).
Sejalan dengan itu Bandura (1977) menyatakan bahwa perilaku muncul
sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus dan organisme. Peran perilaku
(behavior) berkaitan dengan lingkungan (environment) dan individu (person)
yang saling berinteraksi satu dengan lainnya. Perilaku yang terjadi pada suatu
kelompok masyarakat atau yang disebut perilaku masyarakat merupakan perilaku
yang terbentuk akibat adanya interaksi antara individu yang satu dengan lainnya
secara bersama-sama dan dilakukan secara berulang yang berdampak langsung
terhadap lingkungan sekitarnya, seperti halnya perilaku masyarakat disekitar
daerah pesisir. Perilaku masyarakat pesisir umumnya terbentuk akibat dari
kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang melalui pengertian sehingga apa
yang dilakukan dapat berdampak pada diri sendiri maupun orang lain, dan pada
akhirnya akan menjadi contoh bagi orang lain oleh karena dianggap sesuai dengan
apa yang mereka harapkan.
Sebagian besar perilaku manusia merupakan perilaku yang dibentuk,
perilaku yang diperoleh, perilaku yang dipelajari melalui suatu proses belajar.
Dalam hal ini perilaku yang dibentuk, dipelajari dan dikendalikan yang dapat
berubah melalui proses belajar. Pembentukan perilaku melalui proses belajar
diantaranya: (1) melalui kondisioning atau kebiasaan, yaitu melakukan sesuatu
secara berulang-ulang. Perilaku yang terbentuk dengan cara ini adalah perilaku
yang sesuai dengan yang diharapkan; (2) melalui pengertian (insight), cara ini
berdasarkan teori kognitif, yaitu belajar disertai dengan pengertian sehingga apa
yang dilakukan dapat berdampak pada diri sendiri maupun orang lain. (3).
pembentukan perilaku dengan model, yaitu perilaku akan terbentuk dengan
meniru contoh atau panutan. Seseorang akan meniru contoh tersebut karena
dianggap sesuai dengan yang diharapkan.
Musyafar (2009) mengatakan bahwa perilaku masyarakat pesisir merupakan
salah satu faktor yang ikut menentukan pelestarian hutan mangrove. Perilaku
merupakan tindakan yang ditujukan kepada orang lain atau lingkungan. Perilaku
merupakan niat yang terealisasi dalam bentuk tingkah laku nyata, sedangkan
kontrol perilaku ditentukan oleh pengalaman masa lalu dan perkiraan individu
tentang seberapa sulit atau mudahnya dalam melakukan suatu tindakan. Dalam hal
ini, perilaku seseorang dapat terbentuk melalui cara membiasakan diri atau
kebiasaan untuk berprilaku seperti yang diharapkan, namun umumnya ditentukan
oleh niat (intensi).
Niat merupakan besarnya keyakinan individu bahwa ia akan melakukan
suatu tingkah laku tertentu. Pada prinsipnya perubahan prilaku diperoleh melalui

8
pengetahuan dan pengalaman. Seperti yang diungkapkan oleh Dwidjoseputro
(Musyafar 2009) bahwa pengetahuan bermanfaat sebagai pengubah sikap.
Pengetahuan dapat berpengaruh langsung terhadap suatu obyek. Temuan
Musyafar (2009) mengatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara
pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat mengenai hutan mangrove,
lingkungan hidup, dan pengendalian diri secara bersama-sama menpengaruhi
perilaku dan sikap masyarakat pesisir dalam melestarikan hutan mangrove.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikemukakan bahwa perilaku
terbentuk akibat adanya respon atau reaksi yang dilakukan secara berulang-ulang
terhadap suatu obyek atau stimulus. Selain itu perilaku juga dipengaruhi oleh
tingkat pengetahuan dan pengalaman seseorang. Pengetahuan dengan pengertian,
pengalaman yang dihasilkan oleh seseorang melalui penglihatan, pendengaran dan
sebagainya akan menghasilkan dorongan untuk bertindak yang diwujudkan dalam
bentuk perilaku. Secara umum perilaku merupakan suatu tindakan nyata yang
terjadi pada individu yang terbentuk akibat adanya dorongan dari dalam diri
individu itu sendiri untuk melakukan perubahan dalam hidupnya dan keluarganya
untuk hidup yang lebih baik yang didukung oleh lingkungan sekitarnya.

Masyarakat
Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang saling berinteraksi
menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat terus-menerus yang
terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat 1990). Departemen
Kehutanan (1999) menyebutkan bahwa masyarakat sekitar hutan adalah
kelompok-kelompok orang warga negara yang bermukim di dalam maupun di
sekitar hutan dan memiliki ciri-ciri sebagai suatu komunitas, baik oleh karena
kekerabatan, kesamaan mata pencaharian yang berkaitan dengan hutan,
kesejahteraan, keterkaitan tempat tinggal bersama, maupun oleh faktor ikatan
komunitas lainnya. Secara harfiah masyarakat desa hutan adalah kelompok orang
yang bertempat tinggal di desa sekitar hutan dan melakukan kegiatan yang
berinteraksi dengan sumber daya hutan untuk mendukung kehidupannya.
Satria (2009) menyatakan bahwa masyarakat pesisir adalah sekumpulan
masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan
memiliki kebudayaan yang khas yang terikat dengan ketergantungannya pada
pemanfaatan sumberdaya pesisir. Saad dan Basuki (2004) mendefinisikan bahwa
masyarakat pesisir adalah sekelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan
sumber kehidupan ekonominya bergantung secara langsung pada pemanfaatan
sumberdaya laut dan pesisir. Definisi ini pun bisa juga dikembangkan lebih jauh
karena pada dasarnya banyak orang yang hidupnya bergantung pada sumberdaya
laut. Mereka terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan
organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, pemasok faktor sarana
produksi perikanan. Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri
dari penjual jasa pariwisata, penjual jasa transportasi, serta kelompok masyarakat
lainnya yang memanfaatkan sumberdaya non-hayati laut dan pesisir untuk
menyokong kehidupannya.
Sejalan dengan pendapat di atas Nikijuluw (2002) berpendapat bahwa
masyarakat pesisir yang hidupnya bergantung pada sumberdaya laut tidak secara

9
keseluruhan dapat diambil, tetapi hanya difokuskan pada kelompok nelayan dan
pembudidaya ikan serta pedagang dan pengolah ikan. Kelompok ini secara
langsung mengusahakan dan memanfaatkan sumberdaya laut terutama ikan
melalui kegiatan penangkapan dan budidaya. Kelompok ini pula yang
mendominasi pemukiman di wilayah pesisir di seluruh Indonesia, di pantai pulaupulau besar dan kecil seantero nusantara. Sebagian besar masyarakat nelayan
pesisir ini adalah pengusaha skala kecil dan menengah. Namun lebih banyak dari
mereka yang bersifat subsistem, menjalani usaha dan kegiatan ekonominya untuk
menghidupi keluarga sendiri, dengan skala yang begitu kecil sehingga hasilnya
hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam jangka waktu yang sangat pendek.
Dari sisi skala usaha perikanan, kelompok masyarakat pesisir yang
dikategorikan miskin di antaranya terdiri dari rumah tangga perikanan yang
menangkap ikan tanpa menggunakan perahu, menggunakan perahu tanpa motor,
dan perahu bermotor tempel. Dengan skala usaha ini, rumah tangga ini hanya
mampu menangkap ikan di daerah dekat pantai. Dalam kasus tertentu, memang
mereka dapat pergi jauh dari pantai dengan cara bekerjasama sebagai mitra
perusahaan besar. Namun usaha dengan hubungan kemitraan sepertinya tidak
begitu banyak dan berarti dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang begitu
banyak.
Mubyarto et al. (1984) menyatakan bahwa masyarakat pesisir khususnya
nelayan secara umum dikategorikan lebih miskin dari pada keluarga petani atau
pengrajin. Kemiskinan ini dicirikan oleh pendapatan yang berfluktuasi,
pengeluaran yang konsumtif, tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, unit
kelembagaan yang tersedia belum mendukung terjadinya pemerataan pendapatan,
potensi tenaga kerja keluarga (istri dan anak) belum dapat dimanfaatkan dengan
baik, serta akses terhadap permodalan rendah.
Kusnadi (2006) mengemukakan berdasarkan aspek geografis, masyarakat
pesisir merupakan masyarakat yang hidup, tumbuh dan berkembang dikawasan
pesisir. Mereka menggantungkan kelangsungan hidupnya dari upaya mengelola
sumber daya alam yang tersedia di lingkungannya, yakni di kawasan pesisir,
perairan (laut). Secara umum, sumberdaya perikanan (tangkap dan budidaya)
merupakan salah satu sumberdaya yang sangat penting untuk menunjang
kelangsungan hidup masyarakat pesisir.
Berdasarkan tinjauan di atas maka dapat dikemukakan bahwa masyarakat
pesisir adalah masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir atau pantai yang
berhubungan langsung dengan laut, yang sebagian besar mata pencahariannya
bergantung kepada alam laut, atau bekerja sebagai nelayan, guna pemenuhan
kebutuhan hidupnya.

Pelestarian Hutan Mangrove
Hutan mangrove adalah suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang
surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang
tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang
komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusmana et al. 2003).
Ekosistem mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang
surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat

10
pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu system yang terdiri atas
lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat
mangrove.
Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem pesisir yang unik dan rawan
merupakan suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang
mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan
lingkungannya dan di antara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah
pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau
semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso 2000).
Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8
famili, dan terdiri atas 12 generasi tumbuhan berbunga: Avicennie, Sonneratia,
Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia,
Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen 2000).
Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme
(tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungan dan
sesamanya di dalam suatu habitat mangrove (Santoso dan Arifin 1998). Tempat
tumbuh yang ideal bagi hutan mangrove adalah di sekitar pantai yang lebar muara
sungainya, delta dan tempat yang arus sungainya banyak mengandung lumpur dan
pasir. Menurut Bengen (2001) hutan mangrove dikenal dengan istilah hutan
pasang surut air laut atau hutan bakau (coastal forest), hutan pantai (coastal
woodland), dan hutan payau (brackish forest). Mangrove tumbuh dan berkembang
pada pantai-pantai tepat di sepanjang sisi pulau-pulau yang terlindung dari angin,
atau serangkaian pulau atau pada pulau di belakang terumbu karang di pantai yang
terlindung (Nybakken 1998).
Hutan mangrove memiliki manfaat ganda (multiple use) dan merupakan
mata rantai yang penting dalam memelihara siklus biologi di suatu perairan.
Manfaat dari mangrove dapat dibedakan atas manfaat langsung dan manfaat tidak
langsung. Manfaat langsung adalah manfaat yang dapat dirasakan secara langsung
kegunaannya dalam pemenuhan kebutuhan manusia, misalnya pemanfaatan
tanaman mangrove sebagai bahan makanan, kayu bangunan, kayu bakar dan obatobatan. Sebagai lahan pertambakkan tradisional, lahan pariwisata yang
menawarkan keindahan alamnya dan lain sebagainya. Manfaat mangrove secara
tidak langsung adalah manfaat yang sesungguhnya mempunyai nilai strategis yang
sangat menentukan dalam menunjang kehidupan manusia, seperti sebagai sumber
plasma nutfah, dan tak kalah pentingnya sebagai sabuk hijau (green belt) di
wilayah pantai atau pesisir (Kustanti 2011).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, maka pemerintah bertanggung
jawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan,
keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 2). Selanjutnya dalam
kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki,
pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan
rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi (Pasal 43). Departemen
Kehutanan secara teknis fungsional menyelenggarakan fungsi pemerintahan dan
pembangunan dengan menggunakan pendekatan ilmu kehutanan untuk
melindungi, melestarikan, dan mengembangkan ekosistem hutan baik mulai dari
wilayah pegunungan hingga wilayah p