Pola Partisipasi Masyarakat Dalam Pelestarian Hutan Mangrove (Studi Deskriptif di Desa Jago-jago Kecamatan Badiri Kabupaten Tapanuli Tengah)

(1)

POLA PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELESTARIAN

HUTAN MANGROVE

(Studi Deskriptif di Desa Jago-jago Kecamatan Badiri Kabupaten Tapanuli Tengah)

SKRIPSI

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Diajukan Oleh :

FAKHRURRAZI SIMATUPANG

070901001

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

ABSTRAKSI

Sumber daya eksositem mangrove termasuk dalam sumber daya wilayah pesisir, merupakan sumber daya alami dan dapat diperbaharui (renewable resources), yang harus dijaga keutuhan fungsi dan kelestariannya. Hal ini diharapkan dapat menunjang pembangunan dan dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dengan sistem pengelolaan yang berkelanjutan.

Kekayaan sumberdaya pesisir seperti sumberdaya perikanan laut dan hutan mangrove yang memiliki nilai ekonomis yang cukup baik mendorong berbagai pihak untuk berusaha melakukan pemanfaatan kawasan sumberdaya tersebut. Pemanfaatan sumberdaya tanpa memperhatikan lingkungan di sekitarnya menyebabkan kerusakan ekosistem wilayah pesisir.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pola pelestarian yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Jago-jago belum maksimal. Namun, ada beberapa masyarakat yang mengetahui dan berpartisipasi untuk menjaga dan melestari hutan mangrove. Begitu juga potensi pemanfaatan mangrove oleh masyarakat setempat, ada yang sudah di manfaatkan dan ada yang belum dimanfaatkan. Pelestarian dan pemanfaatan ekosistem mangrove yang dilakukan masyarakat masih bersifat tradisional. Terdapat alternatif pemanfaatan yang bisa dilakukan masyarakat seperti: bahan bangunan, bahan makanan dan minuman, obat-obatan, perkakas/peralatan dan lain-lain.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan studi deskriptif. Metode deskriptif yaitu memusatkan perhatian pada masalah-masalah atau fenomena-fenomena yang ada pada saat penelitian dilakukan/ masalah yang bersifat aktual kemudian menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya diiringi dengan interprestasi rasional yang akurat. Dengan demikian, penelitian ini menggambarkan fakta-fakta dan menjelaskan keadaan dari objek penelitian berdasarkan fakta-fakta sebagaimana adanya dan mencoba mengaanalisa untuk mencari kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh. (Nawawi, 1990 : 64).

Keberadaan mangrove ternyata mempunyai dampak yang baik bagi kemajuan dan perkembangan desa, beberapa responden merasa bahwa mangrove telah menjadi sebuah bagian dari perubahan desa itu sendiri. Dengan cara menjaga, sadar atau tidak sadar masyarakat setempat telah menikmati keberadaan mangrove itu sendiri.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapakan kepada Allah SWT, karena dengan kasih dan sayang-Nya kita masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri kita agar lebih baik lagi untuk kedepannya. Shalawat beriring salam dihantarkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing kita menuju jalan kebenaran sejati untuk mendapatkan ridho Illahi.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orang tuaku, abangku serta keempat adikku, saya ucapkan terima kasih kepada mereka atas semua perhatiannya. Ucapan terima kasih kepada semua keluarga yang memberikan motivasi dan dorongan emosional kepada penulis. Selanjutnya kepada semua pihak yang selama ini membantu penulis dalam perkuliahan dan penyusunan skripsi ini, saya hendak menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku Ketua Departemen Sosiologi sekaligus juga selaku Ketua Penguji skripsi ini. Terima kasih atas semua perhatian dan kebijaksanaan serta motivasi yang diberikan.

3. Bapak Drs. T. Ilham Saladin, selaku Sekretaris Departemen Sosiologi dan juga sebagai Dosen Wali penulis. Terima kasih atas semua perhatian dan kebijaksanaan serta motivasi yang diberikan selama perkuliahan.


(4)

4. Bapak Drs. Henry Sitorus, MSi, selaku Dosen Pembimbing dan Penguji I skripsi ini. Terima kasih atas semua perhatian dan kebijaksanaan serta motivasi yang diberikan selama perkuliahan dan bimbingan proposal.

5. Seluruh Staff Pengajar dan Pegawai FISIP USU khususnya Departemen Sosiologi yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan dan wawasan selama kurang lebih 7 tahun kepada penulis.

6. Sahabat dan kawan-kawanku semua stambuk 2007 di HMI komisariat FISIP USU dan Sosiologi FISIP USU, kalian memang yang terbaik. Dan semua teman-teman Politik, AN, Komunikasi, Pajak, Antro, Kessos 2007, terima kasih untuk perhatian dan motivasinya.

7. Keluarga besar HMI komisariat FISIP USU, semoga semua perjuangan dan perkaderan yang dilakukan dilandaskan dengan hati yang ikhlas semata-mata hanya mengharap ridho dari Allah SWT. Untuk kalian semua kakandaku, saudaraku dan adindaku, terima kasih atas semua kekeluargaan ini.

8. Ucapan terima kasih kepada masyarakat Desa Jago-jago yang telah memberikan kontribusi dan partisipasinya dalam penyediaan data sehingga penulis mampu menyelesaikan Skripsi.

Pada akhirnya, semoga semua ilmu dan pengetahuan yang saya peroleh di kampus Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara tercinta ini berguna bagi penulis dan dapat saya kembangkan serta diabdikan untuk masyarakat semata-mata hanya mengharapkan ridho dari Sang Maha Pencipta.


(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstraksi ... i

Kata pengantar ... ii

Daftar Isi... v

Daftar Tabel ... viii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

I.1. Latar Belakang Masalah ... 1

I.2. Perumusan Masalah ... 8

I.3. Tujuan Penelitian ... 9

I.4. Manfaat Penelitian ... 9

I.5. Defenisi Konsep ... 9

BAB II. KAJIAN PUSTAKA ... 13

II.1. Konsep Partisipasi ... 13

II.1.1. Praktika Partisipasi ... 18

II.1.2. Jebakan-jebakan Partisipasi ... 24

II.1.3. Advokasi Partisipasi ... 28

II.2. Teori Antroposentrisme ... 22

II.3. Budidaya Pesisir dan Hutan Mangrove ... 37

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 43

III.1. Jenis Penelitian... 43


(7)

III.3. Unit Analisis dan Informan ... 44

III.4. Teknik Pengumpulan Data ... 45

III.5. Teknik Analisa Data ... 46

III.6. Jadwal Kegiatan Penelitian ... 30

III.7. Keterbatasan Penelitian ... 32

BAB IV. HASIL DAN ANALISA PENELITIAN ... 33

IV.1. Gambaran Umum Desa Jago-jago ... 47

IV.2. Aspek Sosial dan Ekonomi Budaya ... 49

IV.2.1. Kependudukan ... 49

IV.2.2. Pendidikan ... 50

IV.2.3. Kesehatan Masyarakat ... 50

IV.2.4. Pemukiman... 50

IV.2.5. Mata Pencaharian dan Pendapatan ... 51

IV.2.6. Budaya Masyarakat ... 51

IV.2.7. Sarana dan Prasarana Umum ... 52

IV.2.8. Aspek Kelembagaan ... 53

IV.2.9. Hutan Bakau (Mangrove) di Desa Jago-jago ... 54

IV.3. Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove ... 57

BAB V. PENUTUP ... 71

V.1. Kesimpulan ... 71

V.2. Saran-Saran ... 72


(8)

(9)

ABSTRAKSI

Sumber daya eksositem mangrove termasuk dalam sumber daya wilayah pesisir, merupakan sumber daya alami dan dapat diperbaharui (renewable resources), yang harus dijaga keutuhan fungsi dan kelestariannya. Hal ini diharapkan dapat menunjang pembangunan dan dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dengan sistem pengelolaan yang berkelanjutan.

Kekayaan sumberdaya pesisir seperti sumberdaya perikanan laut dan hutan mangrove yang memiliki nilai ekonomis yang cukup baik mendorong berbagai pihak untuk berusaha melakukan pemanfaatan kawasan sumberdaya tersebut. Pemanfaatan sumberdaya tanpa memperhatikan lingkungan di sekitarnya menyebabkan kerusakan ekosistem wilayah pesisir.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pola pelestarian yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Jago-jago belum maksimal. Namun, ada beberapa masyarakat yang mengetahui dan berpartisipasi untuk menjaga dan melestari hutan mangrove. Begitu juga potensi pemanfaatan mangrove oleh masyarakat setempat, ada yang sudah di manfaatkan dan ada yang belum dimanfaatkan. Pelestarian dan pemanfaatan ekosistem mangrove yang dilakukan masyarakat masih bersifat tradisional. Terdapat alternatif pemanfaatan yang bisa dilakukan masyarakat seperti: bahan bangunan, bahan makanan dan minuman, obat-obatan, perkakas/peralatan dan lain-lain.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan studi deskriptif. Metode deskriptif yaitu memusatkan perhatian pada masalah-masalah atau fenomena-fenomena yang ada pada saat penelitian dilakukan/ masalah yang bersifat aktual kemudian menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya diiringi dengan interprestasi rasional yang akurat. Dengan demikian, penelitian ini menggambarkan fakta-fakta dan menjelaskan keadaan dari objek penelitian berdasarkan fakta-fakta sebagaimana adanya dan mencoba mengaanalisa untuk mencari kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh. (Nawawi, 1990 : 64).

Keberadaan mangrove ternyata mempunyai dampak yang baik bagi kemajuan dan perkembangan desa, beberapa responden merasa bahwa mangrove telah menjadi sebuah bagian dari perubahan desa itu sendiri. Dengan cara menjaga, sadar atau tidak sadar masyarakat setempat telah menikmati keberadaan mangrove itu sendiri.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lingkungan hidup menyediakan sumber daya pada manusia berupa air, tumbuhan dan hewan untuk bahan pangan, pakaian, obat-obatan, bahan bangunan, peneduh dan lain-lain kebutuhan hidup. Lingkungan hidup juga menyajikan ancaman bagi manusia, misalnya, hewan karnivor besar, seperti harimau, hewan dan tumbuhan berbisa, pathogen serta banjir dan kekeringan, antara manusia dengan lingkungan hidupnya selalu terjadi interaksi tmbal-balik. Manusia mempengaruhi lingkungan hidupnya dan manusia dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya. Demikian pula manusia membentuk lingkungan hidupnya dan manusia dibentuk oleh lingkungan hidupnya (Otto Soemarwoto, 2001).

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km. Jajaran pantai ini tergabung di dalam 17.508 pulau yang merupakan gabungan antara bentuk ekosistem pantai dan hutan pantai. Dengan banyaknya pulau-pulau ini, maka banyak pula ekosistem hutan pantai yang tumbuh di sekitar garis pantai tersebut. Ekosistem hutan pantai ini sangat berperan penting dalam kehidupan biota darat dan biota laut. Diketahui juga bahwa beberapa tipe hutan pantai merupakan tipe perantara antara ekosistem hutan darat dengan ekosistem laut (Sugiarto dan Willy, 2003).


(11)

Dewasa ini bangsa Indonesia telah mengalihkan perhatian yang serius dalam hal pengelolaan sumber daya alam ke wilayah pesisir dan lautan sebagaimana diarahkan oleh GBHN 1998. Data dan informasi kelautan dan pesisir harus terus digali, dikumpulkan, diolah dan didistribusikan kepada masyarakat antara lain melalui peningkatan kegiatan surver dan penelitian dalam rangka inventarisasi kekayaan laut dan pesisir (GBHN, 1998).

Indonesia adalah salah satu Negara di kawasan iklim tropis yang sering disebut sebagai paru-paru dunia hutan alam tropika yang luas dan sangat berperan dalam penentu iklim dunia. Salah satunya adalah hutan mangrove atau bakau yang terdapat di sepanjang wilayah pesisir pantai Indonesia. “Indonesia memiliki sekitar 40% dari total hutan mangrove di dunia, dan dari jumlah itu sekitar 75% berada di Papua” (www.antara.co.id/mangrove).

Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem transisi yang menghubugkan ekosistem darat dan laut dan memegang peranan penting dalam mendukung produktivitas laut yang berdekatan. Secara umum, hutan mangrove didefenisikan sebagai hutan yang terdapat di daerah-daerah yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut, tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Mangrove merupakan vegetasi khas di zona pantai, floranya berjenis semak hingga pohon yang besar dan tingginya hingga 50-60 meter dan hanya mempunyai satu tajuk di pucuk tanaman (Istomo, 1992).

Beberapa ahli mendefinisikan istilah “mangrove” secara berbeda-beda, namun pada dasarnya merujuk pada hal yang sama. Tomlinson (1986) dan Wightman (1989) mendefinisikan mangrove baik sebagai tumbuhan yang terdapat di daerah pasang


(12)

surut maupun sebagai komunitas. Mangrove juga didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung. Sementara itu Soerianegara (1987) mendefinisikan hutan mangrove sebagai hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis pohon Aicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa (Yus Rusila Noor dkk, 2006).

Pada tahun 1984, menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama No. KB 550/246/ KPTS/1984 dan No. 082/KPTS-II/1984, yang menghimbau pelestarian jalur hijau selebar 200 meter sepanjang pantai, melarang penebangan mangrove di Jawa, serta melestarikan seluruh mangrove yang tumbuh pada pulau-pulau kecil (kurang dari 1.000 ha.)

Berkaitan dengan konservasi, peraturan yang paling relevan nampaknya adalah Kepres No. 32 Tahun 1990 mengenai areal lindung, Undang-undang No. 5 Tahun 1990 mengenai perlindungan sumber daya hayati dan ekosistemnya dan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 mengenai pemerintahan daerah. UU yang terakhi ini memberikan wewenang yang besar kepada daerah untuk melakukan pengelolaan dan pelestarian mangrove.

Secara ideal, sebaiknya pemanfaatan kawasan mangrove dalam membantu pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat tidak sampai mengakibatkan kerusakan terhadap keberadaan mangrove. Selain itu yang menjadi pertimbangan paling mendasar adalah pengembangan kegiatan yang dapat menguntungkan bagi


(13)

masyarakat, namun dengan tetap mempertimbangkan kelestarian fungsi mangrove secara ekologis (fisik-kimia dan biologis). Perlu juga mengembangkan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat di sekitar kawasan mangrove dengan pemanfaatan bahan baku non-kayu dan diversifikasi bahan baku industri kehutanan (Anonim, 2008).

Untuk menciptakan kawasan mangrove yang lestari, masyarakat di sekitar kawasan hutan mangrove tersebut mempunyai peranan yang sangat penting dalam mendukung suksesnya kegiatan ini. Peran tersebut dapat secara individual maupun secara kelompok sebagai organisasi masyarakat. Keberhasilan pengelolaan hutan mangrove tidak terlepas dari partisipasi/peran serta masyarakat. Untuk itu masyarakat perlu dimotivasi agar berperan aktif dalam pengembangan hutan mangrove. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 6 ayat (1) yang berbunyi “ Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan pengerusakan lingkungan hidup “. Kemudian dipertegas dalam penjelasan bahwa hak dan kewajiban mengandung makna bahwa setiap orang (anggota masyarakat) baik individu maupun kelompok sebagai organisasi masyarakat turut berpartisipasi dalam upaya memelihara lingkungan hidup (Sianipar, 2001).

Di daerah Sumatera Utara hanya beberapa kabupaten yang memiliki pesisir pantai. Diantaranya adalah Kabupaten Tapanuli Tengah. Secara geografis Kabupaten Tapanuli Tengah terdiri dua puluh Kecamatan. Dimana beberapa kecamatan tersebut berbatasan dengan lautan, daerah Tapanuli Tengah (Tapteng) itu lebih luas daerah


(14)

lautan dari pada daratan yang tergolong daerah beriklim tropis. Kabupaten Tapanuli Tengah mempunyai luas 2.194,98 Km2. Bumi Tapanuli Tengah, sebagai daerah yang berada di pesisir pantai Barat Pulau Sumatera, yang berbatasaan langsung dengan Samudera Indonsia (Hindia) dan dibawah kaki Gunung Bukit Barisan memiliki Teluk yang indah yaitu Teluk Tapian Nauli. Garis pantai sepanjang 200 km berkelok-kelok. (Rapson Okardo Purba, 2011).

Hanya ada beberapa kecamatan di Tapanuli Tengah yang memiliki daerah pesisr, seperti Kecamatan Badiri, tepatnya di Desa Jago-jago. Wilayah pesisir Desa jago-jago mempunyai panjang garis pantai sekitar 1,5 km dan berhadapan dengan laut terbuka, yaitu Samudera Hindia. Tinggi gelombang laut berkisar antara 0,6 – 2,5 m, dengan tinggi rata-rata 0,7 m. Kedalaman air 1 – 10 m dan jenis substrat pantai berpasir dan lumpur (Rapson Okardo Purba, 2011).

Di Desa ini terdapat juga hutan mangrove baik mangrove yang berjenis nipah, bakau maupun mangrove yang berjenis lainnya. Untuk mangrove yang berjenis nipah, terdapat di bagian hilir sungai Badiri dan Lumut dengan kondisi yang masih bagus. Umumnya ibu-ibu rumah tangga memanfaatkan nipah ini menjadi rokok yang pemasarannya sampai ke Padang Sidempuan Kabupaten Tapanuli Selatan Propinsi Sumatera Utara. Ada juga hutan mangrove berjenis bakau. Dimana kebanyakan bakau ini tumbuh dibibir pantai Desa Jago-jago. Biasanya untuk yang berjenis bakau ini dimanfaatkan untuk kayu bakar, bahan bangunan dan lain-lain. Pemanfaatan hutan mangrove yang dilakukan oleh masyarakat disana masih dapat dikatakan sangat tradisional dan tidak menggunakan bahan-bahan kimia yang dapat merusak mangrove tersebut.


(15)

Hutan mangrove disana kurang mendapat perhatian masyarakat dalam hal pelestarian dan budidaya. Selain pengetahuan masyarakat yang kurang dalam pelestarian hutan mangrove, ditambah dengan peralatan dan perlengkapan yang digunakan dapat dikatakan kurang memadai. Pelestarian hutan mangrove di Desa ini sangat jarang sekali dilakukan oleh masyarakat setempat. Pada umumnya masyarakat Desa jago-jago melakukan pelestarian hanya bersifat induvidual, sehingga secara umum kebanyakan masyarakat tidak dapat menyadari arti pentingnya ekosistem mangrove dalam penyanggah kehidupan. Pada tahun 2005 silam, masyarakat melakukan kerja sama dengan Dinas Kehutanan Tapanuli Tengah dalam rangka penghijauan hutan mangrove di Desa Jago-jago. Ini memberikan dampak positif bagi kehidupan pesisr di desa tersebut walaupun tindak lanjut dari kerja sama tersebut tidak bersifat berkelanjutan. Dan pelestarian diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat setempat.

Kesadaran masyarakat sangatlah penting dalam menjaga ekosistem kehidupan khususnya ekosistem laut dan hutan mangrove. Limbah rumah tangga juga sangat berantakan di daerah bibir pantai. Ini sebabkan oleh pembuangan limbah masyarakat tersebut tidak dapat dikelola dengan baik, sehingga akan berpotensi untuk merusak lingkungan khususnya ekosistem laut dan hutan mangrove itu sendiri. Kendati demikian program kebersihan yang dilakukan oleh masyarakat desa tersebut dalam rangka untuk melestarikan ekosistem laut sangatlah minim. Ini disebabkan adanya factor apatis (tidak peduli) masyarakat terhadap lingkungan mereka. Hanya beberapa kecil masyarakat yang sadar dan melestarikan ekosistem mangrove di desa tersebut. Dengan pola pemanfaatan yang masih kental dengan bernuansa masyarakat local


(16)

dengan peralatan seadaanya masyarakat di desa tersebut tetap berusaha menjaga keseimbangan lingkungan mereka. Namun, pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat perlu dilakukan kajian dalam bentuk pemanfaatan yang berkelanjutan, memperhatikan kelestarian lingkungan maupun ekosistem mangrove sebagai penyangga kehidupan masyarakat sekitarnya.

Partisipasi yang diharapkan di masyarakat adalah partisipasi yang benar-benar muncul dari masyarakat atas kesadaran sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh salah satu warga desa Jago-jago yang menginginkan supaya partisipasi dari masyarakat tersebut bersifat aktif dan bukan bersifat pasif. Sesuai dengan teorinya bahwa partisipasi tersebut adalah merupakan keterlibatan mental dan emosional seseorang individu dalam situasi kelompok tertentu yang mendorongnya untuk mendukung tercapainya tujuan-tujuan kelompok serta ikut bertanggung jawab terhadapnya. Dengan demikian maka partisipasi masyarakat tersebut dapat di wujudkan dalam proses perencanaan, pelaksanaan dart pengawasan terhadap pelestarian hutan mangrove

Oleh sebab itu, usaha untuk melestarikan hutan mangrove sangat diperlukan agar masyarakat dapat terus memanfaatkan hasil mangrove tersebut dan menjaga hutan mangrove agar dapat terus dipertahankan untuk kelancaran kehidupan manusia sampai keanak cucunya. Pada tahun 2004 yang lalu, Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) pun melakukan program mereka di desa tersebut. Dengan memberikan bantuan dan fasilitas dengan tujuan masyarakat disana dapat melestarikan ekosistem laut khususnya tetap menjaga dan melestarikan terumbu karang dan hutan mangrove. Salah satu bantuan tersebut adalah tong sampah yang


(17)

diberikan di setiap rumah tangga. Namun, program kebersihan yang dilakukan oleh masyarakat setempat hanya untuk beberapa bulan saja.

Dalam hal ini yang menjadi fokus penelitian adalah pelestarian ekosistem hutan mangrove. Salah satu bentuk pelestarian hutan mangrove adalah bentuk penangkapan ikan dan pemanfaatan hutan mangrove dan lain-lain yang tidak menggunakan bahan peledak atau alat/bahan yang dapat merusak hutan mangrove tersebut. Dan menjaga agar hutan mangrove didaerah tersebut dapat dilestarikan dan diambil manfaatnya guna untuk meningkatkan pendapat ekonomi masyarakat. Dimana dalam pelaksanaan program pelestarian ekosistem hutan mangrove tidak terlepas dari peran pemerintah setempat dan juga masyarakat desa tersebut. Sampai saat ini pelestarian ekosistem hutan mangrove masih tetap terus diupayakan, agar keseimbangan dan gerak perekonomian keluarga dapat berjalan dengan baik.

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove di Desa Si Jago-Jago Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara”

1.2 Perumusan Masalah

Untuk mempermudah penelitian dan agar penelitian memiliki arah yang jelas dalam menginterpretasikan fakta dan data ke dalam penulisan laporan , maka terlebih dahulu dirumuskan permasalahannya.


(18)

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove di Desa Si Jago-Jago Kecamatan Badiri Kabupaten Tapanuli Tengah Sumatera Utara?”

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui potensi ekosistem hutan mangrove di Desa Si Jago-jago. 2. Untuk mengetahui partisipasi masyarakat Desa Sijago-jago dalam

melestarikan lingkungannya, khususnya hutan mangrove.

3. Untuk mengetahui peranan masyarakat desa Si Jago-jago dalam memanfaatkan hutan mangrove di Desa Jago-jago.

1.3 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Untuk menambah pengetahuan peneliti mengenai partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan dan melestarikan ekosistem laut, kemudian sebagai bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya, serta bermanfaat dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial khususnya Ilmu Sosiologi Lingkungan.

b. Manfaat Praktis

Memberikan masukan dalam bentuk bacaan untuk memperkaya wawasan setiap individu yang membaca hasil penelitian ini dan menjadi bahan pedoman bagi masyarakat pesisir laut lainnya.


(19)

1.5 Definisi Konsep

Konsep merupakan istillah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Melalui konsep, peneliti diharapkan akan dapat menyederhanakan pemikirannya dengan menggunakan satu istilah untuk beberapa kejadian yang berkaitan satu dengan lainnya.

1. Masyarakat menurut Paul B. Horton & C. Hunt merupakan kumpulan

manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut. Masyarakat yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah masyarakat di Desa Jago - Jago yang pasif dalam melakukan pelestarian lingkungan, khususnya melestarikan dan memanfaatkan ekosistem laut.

2. Partisipasi adalah suatu sistem yang mengikutsertakan masyarakat dalam

proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kegiatan pembangunan. Partisipasi masyarakat seperti :

a. Masyarakat merasa bertanggung jawab terhadap keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan pembangunan.

b. Program pembangunan yang dilakukan efektif karena direncanakan dan diinginkan oleh masyarakat.


(20)

c. Penyimpangan pelaksanaan pembangunan dapat diminimalisir karena diawasi oleh masyarakat.

3. Pelestarian lingkungan hidup (Environmentalism) adalah perlindungan

lingkungan hidup dari pengaruh-pengaruh luar, misalnya pencemaran, bising, pemanasan global, dan perusakan sumber daya alam.

4. Hutan mangrove adalah tumbuhan yang terdapat di daerah pasang surut maupun sebagai komunitas. Mangrove juga didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung.

5. Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal

balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi.

Komponen-komponen pembentuk ekosistem adalah:

 Komponen hidup (biotik)

 Komponen tak hidup (abiotik)

6. Ekologi adalah ilmu yang mempelajari bagaimana makhluk hidup dapat

mempertahankan kehidupannya dengan mengadakan hubungan antar makhluk hidup dan dengan benda tak hidup di dalam tempat hidupnya atau lingkungannya.

7. Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan

sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan


(21)

kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut.

8. Pelestarian secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu usaha atau kegiatan untuk merawat, melindungi dan mengembangkan objek pelestarian yang memiliki nilai guna untuk dilestarikan

9. Lautdari segi Bahasa Indonesia adalah kumpulan air asin dalam jumlah yang banyak dan luas yang menggenangi dan membagi daratan atas benua atau pulau. Jadi laut adalah merupakan air yang menutupi permukaan tanah yang sangat luas dan umumnya mengandung garam dan berasa asin. Biasanya air mengalir yang ada di darat akan bermuara ke laut.

10.Nelayan adalah masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup pada

kegiatan melaut di Desa Jago- Jago. Masyarakat di desa ini tergolong nelayan tradisonal yang terdiri dari nelayan jaring selam, nelayang pancing, nelayan pukat, dan nelayan penyelam.


(22)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2. 1. Konsep Partisipasi

Partisipasi adalah persoalan relasi kekuasaan, atau relasi ekonomi politik, yang dianjurkan oleh demokrasi. Partisipasi warga masyarakat diperlukan dalam kekuasaan, kewenangan dan kebijakan yang mengatur (mengelola) barang-barang (sumberdaya) publik. Di dalam masyarakat terdapat hak sipil dan politik, kekuasaan massa, kebutuhan hidup, dan lain-lain. Dengan demikian, partisipasi adalah jembatan penghubung antara Negara dan masyarakat agar pengelolaan barang-barang publik membuahkan kesejahteraan dan human well being.

Partisipasi dalam governance cenderung merujuk pada keterlibatan dan interaksi organisasi dan institusi yang mempunyai tanggung jawab terhadap atau berhubungan dengan tindakan kolektif di bidang publik. Hubungan horizontal antara actor atau stakeholders dalam jaringan kerja merupakan cirri khas governance, dan dinyatakan bahwa partisipasi dalam governance itu dipengaruhi oleh kebijakan (Schmitter, 2002). Banyak organisasi ‘sektor ketiga’ organisasi komunitas dan sukarela – memperoleh tanggung jawab dalam governance (Stoker, 1998: 21). Partisipasi dalam governance berhubungan kuat dengan gagasan mengenai kepentingan dan organisasi publik dan swasta yang mempunyai risiko dalam sebuah keputusan dilibatkan dalam persiapannya. Ia dimaksudkan menciptakan dukungan


(23)

bagi usulan kebijakan, memperbaiki kualitas keputusan dengan mengerahkan keahlian dan pengetahuan eksternal, dan meningkatkan legitimasi keputusan demokratis (Klijn dan Koppenjan,2000).

Dari sudut pandang Negara, demokrasi mengajarkan bahwa partisipasi sangat dibutuhkan untuk membangun pemerintahan yang akuntabel, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Tiadanya partisipasi hanya menabur pemerintahan yang otoriter dan korup. Dari sisi masyarakat, partisipasi adalah kunci pemberdayaan. Partisipasi memberikan ruang dan kapasitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak mereka, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, mengaktifkan peran masyarakat serta membangun kemandirian masyarakat .

Dalam konteks governance, partisipasi hendak menempatkan masyarakat pada posisi yang sebenarnya. Pertama, masyarakat bukanlah sebagai hamba (client) melainkan sebagai warga (citizen). Jika hamba memperlihatkan kepatuhan secara total, kalau konsep warga menganggap bahwa setiap individu adalah pribadi yang utuh dan mempunyai hak penuh untuk memiliki. Warga dan kewargaan secara jelas merupakan bangun politik, yang menggambarkan sifat hubungan yang dimiliki individu dengan institusi Negara dan masyarakat sipil. Warga dapat dipandang sebagai anggota masyarakat yang mempertahankan beberapa gagasan kepentingan umum, dan gagasan kewargaan diikat dengan gagasan demokrasi. Warga dibedakan dari nasabah (customers), klien dan consumer. Terutama menarik ilham dari sektor swasta, nasabah dan consumer yang berhubungan dengan organisasi sebagai pembeli yang memilih barang dan pelayanan klien bergantung pada dan sebagian besar tunduk


(24)

pada, keahlian professional; warga mempunyai kesadaran yang jauh melebihi bidang mereka sendiri dan berkepentingan untuk “mempengaruhi keputusan public yang mempengaruhi kualitas kehidpuan lokal”, mungkin dengan mengorbankan kepentingan perorangan mereka sendiri (Burns et al., 1994; Gyford, 1991). Kedua, masyarakat bukan dalam posisi yang diperintahakan tetapi sebagai teman sejajar (partner) pemerintah dalam memengelola pemerintahan dan pembangunan. Ketiga, partisipsi bukanlah pemberian pemerintah tetapi sebagai hak warga masyarakat. Keempat, warga bukan sekedar objek subjek pasif pemerima manfaat kebujakan pemerintah, tatapi sebagai aktor at u subjek yang aktif menentukan kebijakan. Warga yang aktif didefinisikan sebagai agen demokrasi, yang memberdayakan diri mereka sendiri melalui tantangan mereka terhadap aktivitas institusi dan organisasi yang membentuk kehidupan sehari-hari mereka. Kewarganegaraan adalah tentang kontribusi, atau input, dari individu kepada hubungan kolektif, dan hubungan antara individu dan hubungan mereka yang lebih luas dengan masyarakat. Warga diharapkan terlibat dalam urusan public dan memberikan kontribusi terhadap isu-isu dalam urusan publik (Raco dan Imri, 2000).

Pembangunan pengelolaan sumber daya alam sangat terkait pula dengan lingkungan hidup. Maka peran serta masyarakat dalam pembangunan sumber daya alam akan memberikan pengaruh pula terhadap kualitas lingkungan hidup. Dalam pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup, masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan


(25)

dan pengelolaan lingkungan hidup. Peran serta hak dan kewajiban masyarakat ini diperjelas dalam ayat (3) bahwa peran masyarakat tersebut dilakukan untuk:

1. Meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

2. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan. 3. Menumbuh-kembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat.

4. Menumbuh-kembangkan ketanggap-segeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial.

5. Mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Ketentuan diatas menunjukkan peran serta masyarakat dapat berperan sebagai bagian dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan bagian subyek pemanfaat hasil dari lingkungan hidup. Tjokroamidjojo (1986) mengemukakan 3 (tiga) bentuk partisipasi masyarakat, yaitu: a) Partisipasi dalam perencanaan; b) Partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan dan c) Partisipasi dalam pemanfaatan hasil.

Salah satu aspek yang menyebabkan kurang berhasilnya upaya pengelolaan yang dilakukan selama ini karena tidak melibatkan masyarakat lokal dalam mata rantai pengambilan keputusan yang semestinya pembangunan lingkungan tetap mendayagunakan potensi masyarakat lokal ( Hadi, 2009 ). Masyarakat lokal dapat dikatakan lebih memahami kondisi lingkungan sekitarnya, pengalaman masyarakat yang berkaitan langsung dengan alam sekitarnya menjadikan masyarakat mampu beradaptasi dan penyelarasan dengan alam. Masyarakat lokal dapat menjadi aset berharga ditemukannya tabir pencemaran. Sebagai sub-sistem, masyarakat lokal kaya


(26)

akan informasi keseharian yang dipuji sebagai “Usable Knowledge” yang amat berguna bagi pengelolaan dan perencanaan pembangunan (Hadi, 2009).

Partisipasi masyarakat sangat menentukan hasil pola pemanfaatan sumber daya oleh masyarakat. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Kelembagaan Masyarakat, partisipasi masyarakat merupakan bentuk keikutsertaan dan keterlibatan masyarakat secara aktif dalam proses perencanaan pembangunan. Secara umum, partisipasi adalah proses tumbuhnya kesadaran terhadap terhadap interaksi antara stakeholders yang berbeda dalam masyarakat yaitu antara kelompok sosial dan komunitas dengan pengambil kebijakan dan lembaga-lembaga jasa lain. Jadi, dalam partisipasi siapapun dapat memainkan peran secara aktif memiliki pengawasan terhadap kehidupannya sendiri, mengambil peran dalam masyarakat, serta menjadi lebih terlibat dalam pembangunan (Syahyuti, 2006). Selanjutnya, dalam karakteristik tipologi partisipasi berturut-turut semakin dekat pada bentuk yang ideal adalah:

1. Partisipasi Pasif, merupakan bentuk partisipasi yang paling lemah.

2. Partisipasi Informatif, masyarakat menjawab pertanyaan dari pihak lain, namun masyarakat tidak mempunyai pengaruh dalam proses penentuan kebijakan pihak lain.

3. Partisipasi Konsultatif, masyarakat berpartisipasi berkonsultasi dengan pihak lain, pihak lain mendengarkan, menganalisis masalah dalam perencanaan.

4. Partisipasi Insentif, masyarakat memberikan korbanan dan jasa untuk memperoleh upah, namun tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran.


(27)

5. Partisipasi Fungsional, masyarakat membentuk kelompok sebagai bagian dari proyek setelah ada keputusan yang disepakati.

6. Partisipasi Mandiri (Self mobilization), masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara bebas untuk merubah nasib atau nilai-nilai yang mereka junjung.

2.1.1 Praktika Partisipasi Masyarakat

Cara pandang baru menempatkan posisi masyarakat itu secara historis yang mempengaruhi haluan baru pembangunan dan mempengaruhi haluan baru pembangunan dan pemerintahan, meski secara empirik belum menjadi kenyataan. Kaum miskin, misalnya, sekarang ditempatkan sebagai pemangku kepentingan pembangunan. Partisipasi juga dipandang dengan tujuan, bukan hanya proses atau cara untuk mencapai tujuan, sehingga muncul agenda pemberdayaan yang menghubungkan partisipasi dengan demokrasi, kewargaan dan kesetaraan. Partisipasi dilihat sebagai kekuatan besar untuk transformasi relasi social, ekonomi dan politik yang telah lama membuat kemiskinan. Sekarang agenda penanggulangan kemiskinan mulai menempatkan kaum miskin dalam posisi yang terhormat, memberi ruang pada mereka untuk mengembangkan partisipasi dan prakarsa lokal, sehingga konsep kaum miskin sebagai penerima manfaat proyek tidak terlalu relevan dibicarakan.

Literatur klasik selalu menunujukkan bahwa partisipasi adalah keikutsertaan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi program pembangunan. Tetapi apa makna substantive yang terkandung dalam sekuen-sekuen partisipasi itu?


(28)

Partisiaspi adalah voice, akses dan kontrol warga masyarakat terhadap pemerintahan dan pembangunan yang mempengaruhi kehidupannya sehari-hari.

Pertama, voice adalah hak dan tindakan warga masyarakat menyampaikan aspirasi, gagasan, kebutuhan, kepentingan, dan tuntutan terhadap komunitas terdekatnya maupun kebijakan pemerintah. Tujuannya adalah mempengaruhi kebijakan pemerintah maupun menentukan agenda bersama untuk mengelola kehidupan secara kolektif dan mandiri.

Kedua, akses berarti kesempatan, ruang dan kapasitas masyarakat untuk masuk dalam arena governance, yakni mempengaruhi dan menentukan kebijakan serta terlibat aktif mengelola barang-barang publik. Akses warga terhadap pelayanan public termasuk dalam rubrik ini. Ada dua hal penting dalam akses: keterlibatan secara terbuka (inclition) dan keikutsertaan (involvement). Keduanya mengandung kesamaan tetapi berbeda titik tekannya. Inclution menyangkut siapa yang terlibat, sedangkan involvement berbicara tentang bagaimana masyarakat terlibat. Keterlibatan berarti ketersediaan ruang dan kemampuan bagi siapa saja untuk terlibat dalam proses politik, terutama kaum miskin, minoritas, rakyat kecil, perempuan, dan lain-lain. Akses akan menjadi arena titik temu antara warga dan pemerintah. Pemerintah wajib membuka ruang akses warga dan memberikan layanan publik, terutama pada kelompok-kelompok marginal. Sebaliknya warga secara bersama-sama proaktif mengidentifikasi problem, kebutuhan dan potensinya maupun merumuskan gagasan pemecahan masalah dan pengembangan potensi secara sistematis. Pemerintah wajib


(29)

merespons gagasan warga sehingga bisa dirumuskan visi dan kebijakan bersama dengan berpihak pada kemitraan dan kepercayaan.

Ketiga, kontrol warga masyarakat terhadap lingkungan komunitasnya maupun proses politik yang terkait dengan pemerintah. Kita mengenai kontrol internal (self-control) dan kontrol eksternal. Artinya kontrol bukan saja mencakup kapasitas masyarakat melakukan pengawasan (pemantauan) terhadap kebijakan (implementasi dan risiko) dan tindakan pemerintah, tetapi juga kemampuan warga melakukan penilaian secara kritis dan reflektif terhadap risiko-risiko atas tindakan mereka. Self-control ini sangat penting karena masyarakat sudah lama berada dalam konteks penindasan berantai: yang atas menindas yang ke bawah, sementara yang paling bawah saling menindas ke samping. Artinya kontrol eksternal digunakan masyarakat untuk melawan eksploitasi dari atas, sementara self-control dimaksudkan untuk menghindari mata rantai penindasan sesame masyarakat, seraya hendak membangun tanggung jawab social, komitmen dan kompetensi warga terhadapat segala sesuatu yang mempengaruhi kehidupannya sehari-hari.

Partisipasi dan desentralisasi (otonomi daerah) tentu mempunyai hubungan simbiosis. Pada suatu pihak, desentralisasi yang berhasil memerlukan beberapa partisipasi lokal. Kedekatan pemerintah lokal dengan konstituen mereka akan memungkinkan mereka merespons secara lebih baik terhadap kebutuhan lokal dan menyesuaikan secara efisien pengeluaran publik dengan kebutuhan perorangan hanya jika informasi mengalir antar warga Negara dan pemerintah lokal. Pada pihak lain, proses desentralilasi sendiri dpaat meningkatkan kesempatan partisipasi dengan


(30)

menempatkan lebih banyak kekuasaan dan sumberdaya pada tingkat pemerintah yang lebih dekat, lebih dikenal, dan lebih muda dipengaruhi. Dalam lingkungan dengan tradisi partisipasi warga Negara buruk, desentralisasi dapat merupakan langkah pertama yang penting dalam menciptakan kesempatan interasi rakyat-negara yang teratur,dapat diramalkan.

Hubungan simbiosis antara desentralisasi dan partisipasi ini dapat mengarah pada garis pedoman kebijakan yang agak bertentangan. Mekanisme partisipasi warga Negara dapat dianggap sebuah prasyarat yang sangat berguna ketika mengevaluasi prospek desentralisasi harus memperhitungkan kesempatan dan keterbatasan yang ditentukan oleh saluran partisipasi lokal yang ada. Kekurangan mekanisme partisipatoris, bagaimanapun, dapat membantu menciptakan tuntutan lokal terhadap saluran partisipatoris yang lebih banyak untuk menyuarakan prefensi. Saluran partisipasi yang dilembagakan dan kemampuan orang untuk menggunakan saluran tersebut harus dipertimbangkan dalam desain desentralisasi. Pemilu lokal yang jujur dan teratur, semaraknya forum warga, dan tingkat modak social yang tinggi (kesatuan komunitas dan sejarah kerja sama) memungkinkan warga Negara untuk menandai prefensi mereka secara efisien dan menjalankan pemenuhan keinginan mereka oleh pemimpin.

Penilaian seberapa banyak input warga mempengaruhi tindakan pemerintah lokal memberikan titik permulaan untuk mendesain kebijakan desentralisasi. Kondisi awal semacam itu membantu menentukan tingkat yang pada tingkat itu desentralisasi akan meningkatkan responvisitas pemerintah keseluruhan terhadap warga dan


(31)

memberikan garis petunjuk bagi pelibatan tindakat peningkatan partisipasi dalam kebijakan desentralisasi. Pemilu teratur, referendum lokal, forum warga, dewan publik, dan struktur kelembagaan lainnya merupakan memperbaiki kemampuan pemerintah lokal untuk mengindentifikasi dan bertindak menurut preferensi warga Negara. Tingkat modal social, yang menentukan bagaimana sebaiknya warga Negara dapat memanfaatkan rencana institusional untuk berpartisipasi, lebih lambat berkembang dan lebih sulit untuk menentukannya.

Desentralisasi mengandalkan pada partisipasi untuk memperbaiki alokasi pelayanan, tetapi ia tidak memerlukan jenis input warga Negara yang luas disebutkan di depan. Dalam kasus di mana pemerintah lokal tidak dipilih, di mana proses pemilihan mengistimewakan sekelompok kecil elit, atau di mana tingkat modal sosial yang rendah menghalangi pertukaran aktif, proses desentralisasi dapat didesain untuk membangun jenis partisipasi yang lebih terbatas. Mekanisme isu-khusus dan proyek khusus untuk meningkatkan arus informasi antara pemerintah dan warga Negara sering dapat dengan lebih cepat dan lebih mudah pada tingkat lokal daripada di pemerintah pusat.

Partisipasi warga dapat dibenarkan dalam hubungannya dengan legitimasi berorientasi input dan output, dan ia dapat memberikan kontribusi terhadapat efektivitas system. Legitimasi berbasi input mengungkapkan nilai partisipasi luas dalam governance, yang memperlihatkan, yang memperlihatkan perlunya penentuan sendiri dan persetujuan rakyat, di mana nilai-nilai demokrasi sangat kuat. Partisipasi warga di luar pemilihan memberi saluran lebih lanjut bagi rakyat untuk


(32)

mengungkapkan preferensi mereka, dan teori yang berhubungan dengan demokrasi partisipatoris memuat unsur-unsur yang berhubungan dengan legitimasi input. Pateman yang mengupas karya Rousseau, Mikk dan Cole, menunjuk pada tiga alasan mengapa partisipasi luas diperlukan sekali ia mendidik partisipan, ia memberi warga kontrol, dan ia menghasilkan identitas komunitas. Pemerintah demokratis, yang dipedomani oleh input partisipasi warga, hanya menghasilkan kebijakan, karena ia tidak akan mungkin setuju pada kegiatan-kegiatan yang tidak adil. Partisiapsi warga menyokon dan mendukung system partisipatoris, karena”kualitas yang diperlukan warga adalah kualitas proses partisipasi itu sendiri yang mengembangkan dan membantu perkembangan” (Pateman, 1970:25). Partisipasi warga membantu mendidik raykat dalam seni partisipasi.

Partisipasi warga juga dapat memberikan kontribusi terhadap legitimasi berbasis-output. Keterbilatan warga membantu menjamin persetujuan publik, dan ini pada gilirannya akan membantu menjamin persetujuan publik, dan ini pada gilirannya akan membantu pelaksanaan kebijakan dan pencapaian tujuan. Mereka yang terlibat dalam penyiapan kebijakan dan permusyawaratan kebijakan lebih mungkin untuk tunduk ketika kebijakan itu berlaku, khususnya jika mereka adalah dikalangan mereka dari mereka yang dipengaruhi dan mendapat dampak. Pembenaran ini adalah pembenaran yang timbul dari perdebatan terdahulu dan lebih belakangan ini. Pateman berargumen partisipasi “membantu penerimaan keputusan bersama”. Demikian pula, model-model keterlibatan misalnya debat publik, keterlibatan dari mereka yang dipengaruhi, atau keterlibatan para ahli dibenarkan secara fungsional dengan alasan


(33)

bahwa mereka membantu meningkatkan penerimaan dan pemecahan persoalan atau membantu memfasilitasi pelaksanaan. Partisipasi ini dapat juga membantu pembuat kebijakan lebih tahu, dan karena para wakil dan kaum professional membuat keputusan yang didasarkan pada pengetahuan publik dan keahlian politik dan professional

2.1.2 Jebakan-jebakan Partisipasi

Pemahaman dan praktik selama ini diwarnai oleh sejumlah jebakan yang membuat partisipasi kurang bermakna, dan advokasi partisipasi menjadi tunggang langgang. Pertama, partisipasi sebagai mobilisasi. Kalau butuh dukungan (material dan fisik), pemerintah selalu menggunakan pendekatan mobilisasi, yang juga diyakini sebagai partisipasi. Di setiap sudut kota kita selalu melihat tulisan besar yang kental mobilisasi:”Partisipasi Masyarakat Membayar Pajak Merupakan Kunci Keberhasilan Pelaksanaan Otonomi Daerah”. Tidak hanya lewat tulisan, para pejabat selalu menyerukan agar masyarakat mempunyai kesadaran yang tinggi dalam membayar pajak. Dalam bahasa kasarnya, mobilisasi ini adalah pemaksaan dan eksploitasi, sebab akumulasi pajak rakyat diikuti dengan akumulasi korupsi pejabat. Mobilisasi sangat tampak terjadi di tingkat komunitas lokal, dengan kebiasan gotong-royong dan swadaya masyarakat. Gotong-royong dan swadaya masyarakat sebenarnya merupakan modal sosial yang telah lama tumbuh dalam masyarakat. Akan tetapi selama ini keduanya dimanipulasi dan dimobilisasi oleh pemerintah sebagai ukuran konkret keberhasilan pemerintah sebagai ukuran konkret keberhasilan pemerintah dalam menjalankan agenda pembangunan. Pemerintah selalu mengucurkan dana


(34)

terbatas sebagai stimulan untuk mendukung pembangunan di tingkat komunitas maupun Kepala Desa/Kepala Lorong/Ketua RT melakukan mobilisasi besar-besaran terhadap swadaya dan gotong-royong masyarakat. Jika akumulasi gotong-royong dan swadaya yang diuangkan menjadi lebih besar ketimbang dana stimulant, maka pemerintah akan mengklaim bahwa dirinya berhasil. Demikian juga sebaliknya.

Kedua, partisipasi dipahami sebagai bentuk dukungan masyarakat. Pemerintah maupun parlemen yakin betul bahwa mereka memegang kekuasaan (jabatan) karena memperoleh mandate dan kepercayaan dari masyarakat melalui proses pemilihan umum. Karena telah memperoleh mandat, maka menurut peratura perundang-undangan mereka mempunyai kewenangan dan kewajban membuat kebijakan maupun peraturan yang sedikit-banyak mengikat rakyat. Di tingkat daerah, Bupati/Walikota dan DPRD mempunyai kewenangan dan kewajiban menyiapkan peraturan daerah (Perda), termasuk perda yang menjadi justifikasi untuk member beban kepada masyarakat, misalnya tentang pajak dan retribusi daerah. Setelah menduduki jabatan, pemerintah dan parlemen itu membuat serangkaian rencana kebijakan (mulai dari propenas,rencana strategis hingga RAPBD), yang mereka yakini untuk menciptakan ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan rakyat. Rancangan kebijakan yang indah tersebut kemudian disosialisasikan kepada masyarakat, agar masyarakat mengetahui apa yang akan dilakukan oleh pemerintah. Dalam setiap pidatonya, para pejabat selalu mengatakan bahwa mereka dalam mengemban mandate rakyat tidak mungkin berhasil, kalau tidak didukung oleh partisipasi masyarakat. Karena itu, para pejabat selalu meminta dukungan partisipasi


(35)

masyarakat. Dukungan berarti memberikan persetujuan terhadap rencana kebijakan pemerintah (meski rencana itu disusun secara sepihak), mematuhi dan menjalankan kebijakan atau peraturan yang telah disiapkan, serta berkorban atas energy ymaupun materi agar kebijakan bisa berjalan. Sebagai contoh, dukungan yang paling konkret adalah membayar pungutan (pajak dan retribusi) yang telah ditetapkan dalam peraturan. Masyarakat yang tidak mau membayar pajak berarti sebagai warga Negara yang tidak baik yakni tidak mendukung, tidak sadar, dan tidak patuh pada peraturan. Dengan demikian, dukungan itu merupakan sesuatu yang dipaksakan oleh instrument kebijakan atau peraturan.

Ketiga, partisipasi dipahami dan dipraktikkan sebagai bentuk sosialisasi kebijakan pemerintah kepada masyarakat. Dalam konteks kebijakan, pemerintah merasa perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat, untuk memberi tahu sebelum kebijakan dilaksanakan agar tidak terjadi gejolak dalam masyarakat. Dalam proses sosialisasi yang terjadi adalah “Anda bertanya, saya menjawab”, atau semacam komunikasi yang monolog. Repotnya kalau kebijakan itu tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Sekalipun ada sosialisasi pasti akan terjadi gejolak dan penolakan. Kejadian ini sering terulang, tetapi pemerintah tidak pernah belajar dari kesalahan, kenapa tidak merubah pola sosialisasi menjadi konsultasi sejak awal. Pemahaman seperti ini sebenarnya juga dikonstruksi oleh para ilmuwan sosial yang berhaluan teknokratis. Menurut mereka, pembuatan kebijakan tidak bisa diserahkan pada rakyat banyak yang sebenarnya tidak mempunyai pemahaman yang memadai, melainkan


(36)

harus disiapkan oleh pihak-pihak yang betul-betul ahli dan paham tentang masalah, yang dimulai dengan policy research yang memadai.

Keempat, partisipasi diapahami dalam pengertian nominal yakni menjatuhkan pilihan (vote), bukan dalam pengertian substantifm yakni menyampaikan suara (voice). Sering muncul argument bahwa partisipasi secara langsung dengan melibatkan seluruh warga masyarakat tidak bakal terjadi, sehingga membutguhkan pemimpin dan wakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum secara berkala. Partisipasi warga dalam menentukan pemimpin dan wakil rakyat itu dianggap sebagai bentuk penyerahan mandate dari warga untuk dikelola secara bertanggung jawab. Dalam praktiknya proses pemilihan umum itu hanya membuahkan lembaga-lembaga formal.

Kelima, partisipasi cenderung dipahami dalam kerangka formal prosedural. Kalau sudah ada pemilihan dan lembaga perwakilan tampaknya dianggap sudah ada partisipasi. Kalau Perda sudah memberikan jaminan, kalau Musbangdes sampai Rakorbang digelar, kalau DPRD sudah melakukan dengar pendapat, dan sebagainya, dianggap sudah ada pelembagaan partisipasi. Pihak kabupaten sering menyampaikan klaim bahwa perencanaan pembangunan daerah berlangsung partisipatif karena Rakorbang yang digelar telah melibatkan berbagi stakeholders yang ada. Aktivis NGO juga sering terjebak dalam pola piker formal-prosedural ini. Dalam melakukan advokaso partisipasi, kalangan NGO hanya berpikir tentang siapa saja yang berpartisipasi dan bagaimana berpartisipasi. Mereka cenderung mengabaikan aspek apa yang akan dibawa dalam partisipasi. Karena tidak membawa apa (substansi) yang


(37)

betul-betul dibangun secara partisipatif dengan konstituen, mereka biasa bersikap waton suloyo, misalnya dengan mengeluarkan pernyataan politik “tolak” ketika merespons naskah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Sering muncuknya kata “TOLAK” itu memperlihatkan bahwa kalangan NGO sebenarnya tunggang langgang, kedodoran atau tidak mampu menyiapkan naskah sanding yang betul-betul memadai untuk disandingkan dengan naskah kebijakan pemerintah.

Keenam, jebakan tirani partisipasi, yang sering terjadi di sektor pejuang masyarakat. Mereka yang sangat romantic terhadap masyarakat mengatakan bahwa partisipasi adalah segala-galanya dalam pemerintahan dan pembangunan. Apapun kata rakyat itulah yang terbaik, karena rakyat tidak berbuat salah. Semuanya harus ditentukan secara partisipatif, sehingga terkesan menihilkan otoritas pemerintah dan representasi wakil rakyat yang telah diberi “mandat” oleh rakyat. Kita sekarang sering mendengar jargon-jargon baru yang menyerukan partisipasi: participatory governance, participatory development, participatory budgeting, APBD partisipatif, dan seterusnya. Bagi pejuang masyarakat, partisipasi dianggap sebagai esensi dasar demokrasi dan pemberdayaan, yang memungkinkan penyelanggaraan pemerintahan lebih terkontrol dan akuntabel. Mereka begitu getol memperjuangkan partisipasi juga karena didasarkan pada ketidakpercayaan (distrust) pada pemerintah dan parlemen. Secara empiric pemerintah dan parlemen, yang telah memperoleh mandat dari rakyat, hanya memikirkan dirinya sendiri, tidak akuntabel, tidak peka (responsif), dan tidak dapat dipercaya. Cara pandang tirani seperti itu cenderung mengedepankan


(38)

pendekatan konfrontatif antara warga masyarakat dengan pemerintah, sehingga semakin menjauhkan proses pembelajaran dan trust building,

2.1.3 Advokasi Partisipasi

Partisipasi tentu tidak datang dengan sendirinya. Hubungan antara pemerintah dengan masyarakat tidak serta merta terbangun secara demokratis dan partisipatif, sebab pemerintah dimanapun akan cenderung otoritarian dan sentralistik bila tidak dihadapkan pada pembatasan kekuasaan kekuasaan dan kontrol dari lar yang kuat. Di era otonomi daerah sekarang, munculnya wacana dan gerakan partisipasi bukan semata inisatif dari pemerintah, melainkan juga karena peran kekuatan-kekuatan intermediary dari sejumlah organisasi masyarakat sipil. Begitu banyak NGO di Indonesia yang terus-menerus memperjuangkan partisipasi masyarakat untuk membangkitkan sura rakyat dan menentang dominasi elite dalam proses politik dan pembangunan.

Benarkah di era otonomi ini pembangunan di daerah sudah semakin demokratis dan benar-benar sesuai dengan kehendak atau kebutuhan rakyat? Pada hal lain, benarkah pembangunan di era otonomi ini sudah berpihak pada rakyat bawah, khusunya kepada warga masyarakat yang kebanyakan tinggal di pedesaan?

Partisipasi warga dimaksudkan sebagai proses keterlibatan warga masyarakat dalam pembuatan keputusan bersama mengenai penggunaan sumberdaya publik dan pemecahan masalah publik untuk pembangunan daerahnya. Sebagai bentuk voice, akses dan kontrol rakyat, partisipasi merupakan prasyarat mutlak untuk mewujudkan


(39)

program pembangunan. Tanpa partisipasi warga mustahil suatu pembanguan itu benar-benar sesuai dengan kebutuhan serta diorientasikan untuk meningkatkan derajat hidup rakyat banyak. Sebuah teori mengajarkan, demokrasi tanpa partisipasi semua pihak adalah utopia, alias omong kosong. Kebijakan politik atau pembangunan tidak akan punya makna tanpa diimbangi proses partisipasi rakyat yang sesungguhnya, karena legitimasi dan kepercayaan rakyat adalah paling esensi yang tidak mudah dikesampingkan oleh siapapun meskipin dia memiliki otoritas. Sebaliknya, peran serta yang sadar dari hati nurani rakyat dalam pembangunan justru semakin menambah tingkat kepercayaan rakyat karena dengan sendirinya setiap individu merasa memiliki dan terpanggil untuk terlibat dalam setiap agenda pembangunan. Partisipasi warga bukanlah suatu daur almiah yang muncul secara natural atau sebuah proses tanpa sengaja dan campur tangan manusia, namun ia butuh perencanaan yang matang bahkan diperlukan aturan main yang jelas atau landasan legal formal.

Sejumlah rekomendasi untuk memperkuat partisipasi masyarakat ke depan.

Pertama, kepada semua agen perubahan perlu memperhatikan percepatan transformasi sosial yaitu merubah tata nilai lama supaya masyarakat marjinal pada umumnya tidak terus berada pada kubangan nilai-nilai agraris-foedal, yang selalu tidak menguntungkan pada posisi mereka sebagai sub-ordinat dalam menentukan kepentingan bersama di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Titik pencerahan ini sangat penting bagi mereka untuk gilirannya sadar akan hak-hak dan berani


(40)

menyuarakan sendiri kepentingan mereka dalam posisi kesederajatan seperti warga bangsa lainnya.

Kedua, pada tahun praktik-empiris, upaya-upaya yang digagas di atas perlu diintegrasikan melalui program pendidikan kewarganegaraan (civil education) yang menekankan pada kesadaran massif akan hak-hak warga Negara yang berdaulat penuh supaya lebih diperhatikan oleh para pejabat Negara. Tanggung jawab ini terutama ditujukan kepada para aktivis organisasi politik maupun oraganisasi sosial-kemasyarakatan yang paling berkompeten di bidang ini.

Ketiga, untuk mendorong kesadaran kritis warga masyarakat agar mau berpartisipasi dalam program pembangunan daerah maka perlu diback-up oleh regulasi yang jelas-jelas berpihak pada kepentingan seluruh rakyat. Pemerintah merupakan lokomotif utama yang harus mengambil inisiatif dan memprakarsai tindakan konkret di lapangan. Maka, jargon ‘mendorong partisipasi warga’ tidak sekedar kamulfrase dan penghias bibir belaka, tetapi merupakan suatu tindakan riil yang benar-benar membumi, yang pada gilirannya nanti muncul indikator-indikator yang jelas dan dapat dievaluasi demi kemajuan dan kebaikan bersama.

Keempat, bahwa upaya konkret untuk menggalang partisipasi warga di daerah pedesaan perlu dukungan peningkatan alokasi dana anggaran yang signifikan bagi pembangunan di pedesaan. Paling tidak, dengan mekanisme perimbangan anggaran dana pembangunan sebesar 50% dari APBD, secara otomatis kegiatan


(41)

diseluruh sektor kehidupan desa semakin terdorong, karena itu keterlibatan warga desa dalam program-program pembangunan dapat dimaksimalkan.

2. 2. Teori Antroposentrisme

Secara etimologis Antroposentrisme tersusun dari dua kata bahasa Yunani yaitu "antropos" yang berarti manusia dan "centrum" yang berarti pusat. Antroposentrtisme dapat diartikan sebagai suatu meyakinkan bahwa manusia dan karya-karyanya adalah pusat dari alam sebagai realitas yang ada di luar manusia. Alam merupakan sesuatu yang asing bagi dirinya.

Secara sempit antroposentrisme merupakan sebuah pemikiran dimana manusia diletakan di atas alam semesta, dalam arti manusia diciptakan untuk menikmati alam semesta beserta isinya. Lingkungan dianggap sebagai bahan-bahan pemuas kebutuhannya belaka.

Kesalahan cara pandang dari etika antroposentrisme adalah pandangan akan manusia sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Manusia dianggap berada di luar, di atas dan terpisah dari alam. Bahkan, manusia dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja. Cara pandang seperti ini melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif tanpa kepedulian sama sekali terhadap alam dan segala isinya yang dianggap tidak mempunyai nilai pada diri sendiri. Semua diukur atas asas kemanfaatan bagi manusia.


(42)

Teori antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap paling memnentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya, hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yanglain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh karena itu, alam pun dilihat hanya sebagai onyek, alat dan sasaran bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri. (A. Sonny Keraf. 2002)

Bagi teori antroposentrisme, etika hanya berlaku bagi manusia. Maka, segala tuntutan mengenai perlunya kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap lingkungan hidup dianggap sebagai tuntutan yang berlebihan, tidak relevan dan tidak pada tempatnya. Kalaupun tuntutan seperti itu masuk akal, itu hanya dalam pengertian tidak langsung, yaitu sebagai pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap sesama. Maksudnya, kewajiban dan tanggung jawab semata - mata demi memenuhi kepentingan sesame mausia. Bukan merupakan perwujudan kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap alam itu sendiri. (A. Sonny Keraf. 2002)

Selain bersifat antroposentris, etika ini sangat instrument talistik, dalam pengertian pola hubungna manusia dan alam dilihat hanya dalam relasi instrumental. Alam dinilai sebagai alat bagi kepentingan manusia. Kalaupun manusia mempunyai sikap peduli terhadap alam, itu semata-mata dilakukan demin menjamin kebutuhan


(43)

hidup manusia, bukan karena pertimbangan bahwa alam mempunyai nilai pada diri sendiri sehingga pantas untuk dilindungi. Sebaliknya, kalau alam itu sendiri tidak berguna bagi kepentingan manusia, alam akan diabaikan begitu saja. Teori semacam ini juga bersifat egoistis, karena hanya mengutamakan kepentingan manusia. Kepentingan makhluk hidp lain, dan juga alam semesta seluruhnya, tidak menjadi pertimbangan moral manusia. Kalaupun mendapat pertimbangan moral, sekalai lagi, pertimbangan itu bersifat egoistis demi kepentingan mansuia. (A. Sonny Keraf. 2002).

Sebenarnya paham antroposentrisme mewarnai interaksi antara manusia dengna lingkungan, tidak lepas dari rasa percaya diri manusia yang bisa idkatakan berlebihan. Hukum-hukum alam bisa dikesampingkan, sebab ia memiliki sifat yang pasif dan bergantung pada manusia, sedangkan kebutuhan manusia berubah-ubah dengan sifat yang terbatas. (Rachmad K Dwi Susilo, 2008).

Secara ekologis, produk konsumtif telah menyebabkan sampah sebagai salah satu persoalan utama masyarakat daerah pesisir pantai. Saat ini banyak sekali daerah pesisir pantai yang membuang limbah rumah tangganya kelaut dan kesungai. Sehingga ekosistem laut dan ekosistem sungai pun tercemar karena. Memang tidak mudah untuk menyatakan siapa sebenarnya yang pertama-tama dan utama harus bertanggung jawab atas kerusakan-kerusakan lingkungan yang sekarang ini bisa dinyatakan telah masuk ke area krisis. (Rachmad K Dwi Susilo, 2008).

Perilaku antroposenstrisme baik secara sadar ataupun tidak yang berinteraksi dengan komponen-komponen lain, seperti antroposentrisme yang berinteraksi dengan industrialism, konsumerisme, moodernisasi, dan perkembangan pesat teknologi,


(44)

menjadi sebab kerusakan lingkungan akibatnya kita lihat, semua sisi lingkungan menjadi rusak, tidak peduli lingkungan fisik maupun lingkungan biologi, akibatnya dampak langsung yang diterima masyarakat adalah bencana alam yang dinyatakan oleh Ralph Metzner. (Rachmad K Dwi Susilo, 2008).

Antroposentrisme terlibat dalam memasukkan sikap, nilai-nilai, persepsi, dan pandangan dunia itu, rusaknya lingkungan air, berbentuk pencemaran disungai-sungai kita, selain disebabkan oleh limbah rumah tangga, juga oleh adanya limbah-limbah pabrik yang tidak dikelola secara baik. Kasus di kawasan alut dan pantai Kampung Dapur 12 di Sumatera misalnya pencemaran berat disebabkan 7.000 ton minyak mentah ditumpahkan oleh Kapal Tanker Natuna Sea yang menabrak karang (Rachmad K Dwi Susilo, 2008).

Sementara itu, rusaknya tana-tanah tidak lepas dari adanya lahan-lahan krisis akibat penggundulan hutan yang tidak memperhatikan aturan (Illegal Logging) dan rusaknya kadar produktif tanah sebab dieksploitasi secara terus-menerus. Hutan yang menyangga sebagai system lingkungan hidup dunia telah mengalami kerusakan. (Rachmad K Dwi Susilo, 2008).

Murdi mengatakan bahwa yang menjadi masalahh bukanlah kecenderungan antroposentris pada diri manusia yang memperalat alam semesta untuk kepentingannya. Yang menjadi masalah dan sumber malapetaka krisis lingkungan adalah tujuan-tujuan tidak pantas dan berlebihan yang dikejar oleh manusia, di luar batas toleransi ekosistem itu sendiri. Akhirnya, dengan itu manusia bunuh diri. Sejauh memenuhi kebutuhan dan kepentingannya yang berguna dan tepat (proper ends), ini dibenarkan secara moral. Kehidupan dan kesejahteraan manusia bergantung pada


(45)

alam semesta, sebagaimana halnya spesies lain di alam semesta juga tergantung darri keberadaan spesies lain lagi. (A. Sonny Keraf. 2002).

Menurut Darling, manusia mempunyai posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan spesies lain, sebagai “aristocrat biologis.” Sebagai aristocrat biologis, manusia mempunyai kekuasaan atas makhluk hidup lain. Manusia mempunyai posisi istimewa puncak piramida kehidupan. Menurut Darling, justru karena manusia adalah aristocrat biologis, ia harus melayani semua yang ada dibawah kekuasaannya secara baik dan sekaligus mempunyai tanggung jawab moral untuk menjaga dan melindunginya. (A. Sonny Keraf. 2002)

Seperti paparan sebelumnya mengenai manfaat dan fungsi hutan mangrove. Hutan mangrove juga merupakan habitat spesies laut maupun darat. Dimana di daerah pesisir pantai hutan mangrove ini mengambil peran yang cukup besar dalam menjaga keseimbangan kehidupan, yang mampu memberikan kehidupan bagi makhluk hidup yang di sekitarnya. Jika hutan mangrove di babat habis demi ambisi membangun perumahan mewah, pusat industry dan pusat-pusat ekonomi. Akibatnya habitat-habitat yang seharusnya diperuntukkan bagi spesies (biota) laut semain sempit. Padahal, spesies-spesies yang hidup di udara dan darat amat bergantung pada keberadaan hutan mangrove ini. Akibatnya, spesies-spesies tersebut mencari habitat baru yang menambah persoalan manusia. Bukan hanya itu, hutan mangrove bisa berfungsi sebagai penahan ombak air laut, agar tidak mengenai secara langsung pemukiman-pemukiman penduduk.

Antroposentrisme merupakan sebuah teori etika yang cukup kontroversional dan menumbulkan perdebatan seru di anatara banyak fulsuf hingga sekarang. Di satu


(46)

pihak antroposentrisme dituduh sebagai biang keladi krisis lingkungan hingga sekarang. Di pihak, lain antroposentrisme juga bela, pertama, karena validitas atgumennya sulit dibantah – dan karena itu yang salah bukanlah antroposentrisme itu sendiri, melainkan antroposentrisme yang berlebihan. Kedua, antroposentrisme menawarkan etika lingkungan yang mempunyai daya tarik kuat untuk mendorong manusia menjaga lingkungan. (A. Sonny Keraf, 2002).

Dalam kaitan dengan ektika lingkungan yang ditawarkanya, ada beberapa kelemahan yang perlu disinggung disini. Pertama, model etika ini mengabaikan masalah-masalah lingkungna yang tidak langsung menyentuh kepentingan manusia. Maka, manusia, misalnya, akan tetap membuang limbah ke sungai, laut, atau menebang pohon untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama tidak ada manusia tertentu yang terkena dampak negatifnya. Kedua, kepentingan manusia selalu berubah-ubah dan berbeda-beda pula kadarnya. Konsekuensinya sejauh dipandang menyangkut kepentingan manusia maka alam akan dipertimbangkan secara serius dari segi moral. Sebaliknya, sejauh tidak menyangkut kepentingan manusia, maka akan diabaikan. Ini berbahaya, karena pertimbangan moral pun berubah-ubah sejalan dengan perubahan kepentingan manusia. Ketiga, yang menjadi perhatian antroposentrisme adlaah (urusan kepentingan manusia) jangka pendek, khususnya kepentingan ekonomi. Akibatnya, lingkungan hidup selalu dikorbankan demi kepentingan jangka pendek tersebut. Padahal dengan yang disebut kepentingan manusia, bahkan kepentingan ekonomi sekalipun, mempunyao perspektif jangka pangjang. (A. Sonny Keraf. 2002).


(47)

2. 3. Budaya Pesisir dan Hutan Mangrove

Sebagai suatu kesatuan sosial, masyarakat nelayan hidup, tumbuh, dan berkembang di wilayah pesisir atau wilayah pantai. Dalam konstruksi sosial masyarakat di kawasan pesisir, masyarakat nelayan merupakan bagian dari konstruksi sosial tersebut, meskipun disadari bahwa tidak semua desa-desa di kawasan pesisir memiliki penduduk yang bermatapencaharian sebagai nelayan Walaupun demikian, di desa-desa pesisir yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan, petambak, atau pembudidaya perairan, kebudayaan nelayan berpengaruh besar terhadap terbentuknya identitas kebudayaan masyarakat pesisir secara keseluruhan (Ginkel, 2007). Baik nelayan, petambak, maupun pembudidaya perairan merupakan kelompok-kelompok sosial yang langsung berhubungan dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan kelautan.

Wilayah pesisir dan lautan merupakan potensi ekonomi Indonesia yang perlu dikembangkan. Hal ini disebabkan wilayah pesisir dan laut merupakan 63% dari wilayah teritorial indonesia. Didalamnya terkandung kekayaan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang sangat kaya dan beragam, seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, minyak dan gas, bahan tambang dan mineral, dan kawasan pariwisata (Dahuri, 2001). Perilaku masyarakat sebagai sebuah kearifan lokal dalam pelestarian lingkungan diproyeksikan dengan cara cara yang sesuai dengan pola pikir dan tradisi setempat, diharapkan mampu memunculkan konsep dan cara menja- ga keseimbangan pelestarian lingkungan. Berbagai macam bantuk pantangan, larangan, tabu, pepatah-petitih dan berbagai tradisi lainnya dapat mengungkapkan beberapa


(48)

pesan yang memiliki makna sangat besar bagi pelestarian lingkungan khususnya sumberdaya pesisir.

Masyarakat nelayan mengacu pada konteks pemikiran di atas, yaitu suatu konstruksi masyarakat yang kehidupan sosial budayanya dipengaruhi secara signifikan oleh eksistensi kelompok – kelompok sosial yang kelangsungan hidupnya bergantung pada usaha pemanfaatan sumber daya kelautan dan pesisir. Dengan memperhatikan struktur sumber daya ekonomi lingkungan yang menjadi basis kelangsungan hidup dan sebagai satuan sosial, masyarakat nelayan memiliki identitas kebudayaan yang berbeda dengan satuan-satuan sosial lainnya, seperti petani di dataran rendah, peladang di lahan kering dan dataran tinggi, kelompok masyarakat di sekitar hutan, dan satuan sosial lainnya yang hidup di daerah perkotaan.

Bagi masyarakat nelayan, kebudayaan merupakan sistem gagasan atau system kognitif yang berfungsi sebagai ”pedoman kehidupan”, referensi pola-pola kelakuan sosial, serta sebagai sarana untuk menginterpretasi dan memaknai berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya (Keesing, 1989:68-69). Setiap gagasan dan praktik kebudayaan harus bersifat fungsional dalam kehidupan masyarakat. Jika tidak, kebudayaan itu akan hilang dalam waktu yang tidak lama. Kebudayaan haruslah membantu kemampuan survival masyarakat atau penyesuaian diri individu terhadap lingkungan kehidupannya. Sebagai suatu pedoman untuk bertindak bagi warga masyarakat, isi kebudayaan adalah rumusan dari tujuan-tujuan dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan itu, yang disepakati secara sosial (Kluckhon, 1984:85, 91).


(49)

Dalam konteks hubungan eksploitasi sumber daya perikanan, masyarakat nelayan kita memerankan empat perilaku sebagai berikut: (1) mengeksploitasi terus-menerus sumber daya perikanan tanpa memahami batas-batasnya; (2) mengeksploitasi sumber daya perikanan, disertai dengan merusak ekosistem pesisir dan laut, seperti menebangi hutan bakau serta mengambil terumbu karang dan pasir laut; (3) mengeksploitasi sumber daya perikanan dengan cara-cara yang merusak (destructive fishing), seperti kelompok nelayan yang melakukan pemboman ikan, melarutkan potasium sianida, dan mengoperasikan jaring yang merusak lingkungan, seperti trawl atau minitrawl; serta (4) mengeksploitasi sumber daya perikanan dipadukan dengan tindakan konservasi, seperti nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan disertai dengan kebijakan pelestarian terumbu karang, hutan bakau, dan mengoperasikan jaring yang ramah lingkungan (Kusnadi, 2009).

Perilaku pertama, kedua, dan ketiga dianut oleh sebagian besar nelayan kita sebagai konsekuensi dari persepsi yang kuat terhadap sumber daya perikanan atau sumber daya kelautan yang bersifat open access bagi siapa pun yang mau memanfaatkannya. Perilaku keempat adalah perilaku minoritas di kalangan masyarakat nelayan, seperti ditunjukkan oleh adanya komunitas-komunitas adat atau komunitas local yang mengelola sumber daya perikanan untuk memperkuat kepentingan ekonomi kolektif, kemandirian sosial, dan kelangsungan hidup. Komunitas-komunitas adat seperti ini tersebar di berbagai wilayah tanah air. Mereka menjaga dengan baik pranata-pranata pengelolaan sumber daya laut yang dimilikinya, seperti sasi di Maluku, ondoafi di PapuaBarat, bati di Ternate, rompong di Sulawesi Selatan, tonass di Sulawesi Utara, awig-awig di Nusa Tenggara Barat, patenekan di


(50)

Banten, atau gogolan di Tegal. Klaim pemilikan atas sumber daya komunal ini dilegitimasi oleh sejarah sosial dan unsur-unsur identitas etnisitas yang mereka miliki (Kusnadi, 2009).

Kepemimpinan Sosial

Sebagai suatu kesatuan sosial-budaya, masyarakat nelayan memiliki ciri-ciri perilaku sosial yang dipengaruhi oleh karakteristik kondisi geografis dan matapencaharian penduduknya. Sebagian dari ciri-ciri perilaku sosial tersebut adalah sebagai berikut :

1. Etos kerja tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mencapai kemakmuran. 2. Kompetitif dan mengandalkan kemampuan diri untuk mencapai keberhasilan. 3. Apresiasi terhadap prestasi seseorang dan menghargai keahlian.

4. Terbuka dan ekspresif, sehingga cenderung “kasar”.

5. Solidaritas sosial yang kuat dalam menghadapi ancaman bersama atau membantu sesama ketika menghadapi musibah.

6. Kemampuan adaptasi dan bertahan hidup yang tinggi. 7. Bergaya hidup “konsumtif “.

8. Demonstratif dalam harta-benda (emas, perabotan rumah, kendaraan, bangunan rumah, dan sebagainya) sebagai manifestasi “keberhasilan hidup”.

9. ”Agamis”, dengan sentimen keagamaan yang tinggi.

10. ”Temperamental”, khususnya jika terkait dengan ”harga diri”.

Salah satu ciri perilaku sosial dari masyarakat pesisir yang terkait dengan sikap temperamental dan harga diri tersebut dapat disimak dalam pernyataan antropolog Belanda di bawah ini (Boelaars, 1984):


(51)

Ciri-ciri perilaku sosial di atas memiliki relevansi dengan ciri-ciri kepemimpinan sosial masyarakat pesisir. Berdasarkan kajian filologis atas naskah-naskah klasik (kuno) yang banyak dipengaruhi oleh ajaran agama Islam, seperti Kitab Sindujoyo Pesisiran dan Babad Gresik Pesisiran, syarat-syarat pemimpin di kalangan masyarakat pesisir adalah sebagai berikut (Widayati, 2001):

1. Siap menolong siapa saja yang meminta bantuan. 2. Mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri. 3. Dermawan kepada semua orang.

4. Selalu menuntut ilmu dunia dan akhirat untuk keseimbangan kehidupan. 5. Tidak berambisi terhadap jabatan atau kedudukan walaupun banyak berjasa. 6. Rendah hati (tidak sombong), tetapi tidak rendah diri (minder).

7. Sangat benci penindasan dan berbuat adil kepada siapa saja. 8. Rajin bekerja dan beribadah, khususnya shalat lima waktu. 9. Sabar dan bijaksana.

10. Berusaha membahagiakan orang lain.

Sebagian nilai-nilai perilaku sosial di atas merupakan modal sosial yang sangat berharga jika didayagunakan untuk membangun masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir. Demikian juga, syarat-syarat pemimpin dan kepemimpinan masyarakat pesisir memiliki relevansi yang baik untuk merekonstruksi kepemimpinan bangsa dan negara Indonesia. Penjelajahan terhadap nilai-nilai budaya kepesisiran ini tentu saja memiliki kontribusi yang sangat strategis untuk membangun masa depan bangsa yang berbasis pada potensi sumber daya kemaritiman nasional.


(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan studi deskriptif. Metode deskriptif yaitu memusatkan perhatian pada masalah-masalah atau fenomena-fenomena yang ada pada saat penelitian dilakukan/ masalah yang bersifat aktual kemudian menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya diiringi dengan interprestasi rasional yang akurat. Dengan demikian, penelitian ini menggambarkan fakta-fakta dan menjelaskan keadaan dari objek penelitian berdasarkan fakta-fakta sebagaimana adanya dan mencoba mengaanalisa untuk mencari kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh. (Nawawi, 1990).

Beberapa ciri dominan dari penelitian deskriptif yaitu :

1. Bersifat mendeskripsikan kejadian atau peristiwa yang bersifat factual. Adakalanya penelitian ini dimaksudkan hanya membuat deskripsi atau narasi semata-mata dari suatu fenomena, tidak untuk mencari hubungan antar variable, menguji hipotesis, atau membuat ramalan;

2. Dilakukan secara observasi. Oleh karena itu penelitian deskriptif sering disebut juga penelitian observasi. Dalam arti luas, penelitian deskriptif dapat mencakup seluruh metode penelitian, kecuali yang bersifat historis dan eksperimental;


(53)

3. Bersifat mencari informasi factual dan dilakukan secara mendetil;

4. Mengidentifikasi masalah-masalah atau untuk mendapatkan justifikasi-justifikasi keadaan dan praktek-praktek yang sedang berlangsung;

5. Mendeskripsikan subjek yang sedang dikelola oleh kelompok orang tertentu dalam waktu yang bersamaan.

3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan pada masyarakat Desa Jago-Jago Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah, Propinsi Sumatera Utara.

3.3. Unit Analisis dan Informan

Unit analisis dalam penelitian adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek peneltian. Unit analisis dalam penelitian ini adalah seluruh anggota komunitas tempatan Desa Sijago-jago. Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Jadi, ia harus mempunyai banyak pengalaman tentang latar penelitian. Ia berkewajiban secara sukarela menjadi anggota tim penelitian walaupun hanya bersifat informan. Informan dengan kebaikannya dan kesukarelaannya dapat memberikan pandangan dari segi orang dalam nilai-nilai, dan sikap dan suatu proses yang menjadi latar penelitian tersebut.

Dari pernyataan di atas, dalam penelitian ini yang menjadi informan adalah mereka yang terlibat langsung dalam meningkatkan pelestarian dan pemanfaatan ekosistem laut yang terdiri dari Jajaran Pemerintahan Desa, Tokoh Adat/ Masyarakat, Masyarakat Nelayan Tradisional, dan Masyarakat Pesisir Pantai Desa Si Jago-Jago.


(54)

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dan informasi yang benar serta relevan, maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data melalui :

1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alatpengambilan data langsung data subjek sebagai informasi yang dicari. (Saifuddin Azwar, 2004). Data primer, yaitu data yang dilakukan secara langsung di lokasi penelitian, dengan cara :

- Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan panca indra mata sebagai alat bantu utamanya selain panca indra lainnya seperti telinga, penciuman, mulut dan kulit. (Burhan, Bungin, 2005). Dalam penelitian ini peneliti melakukan pengamatan langsung dilapangan. Data yang diperoleh dari observasi dilapangan berupa kegiatan, tindakan dan perilaku yang merupakan bagian dari lapangan manusia yang diamati. Sedangkan hasil observasi ini akan dituangkan dalam catatan lapangan.

- Wawancara atau interview adalah sebuah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara. (Burhan, Bungin, 2005). Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan panduan wawancara yang berupa urutan-urutan daftar pertanyaan sebagai acuan bagi peneliti untuk memperoleh data yang diperlukan. Selain itu dalam penelitian ini


(55)

peneliti menggunakan alat bantu rekam (tape recorder) yang membantu peneliti dalam menganalisa data dari hasil wawancara.

2. Data Sekunder adalah data tangan kedua yang diperoleh melalui pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari objek penelitian. (Saifuddin Azwar, 2004). Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan, yaitu dengan membuka, mencatat dan mengutip dari buku-buku, laporan-laporan penelitian, jurnal-jurnal, pendapat-pendapat para ahli/ pakar dan sebagainya yang berhubungan dengan masalah penelitian dan dapat mendukung terlaksananya penelitian.

3.5. Teknik Analisa Data

Analisa data kualitatif adalah upaya yangdilakukan degan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satu bagian yang dapat dikelola, mensistensikannyam mencarai dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. (Lexi J. Moleong, 2006). Setiap data yang diambil akan direkam dan dicatat, data yang dicatat atau direkam tersebut adalah data wawancara maupun data penunjang lainnya. Selanjutnya setelah semua data terkumpul maka data akan dilakukan analisis data dan interpretasi data dengan mengaju pada kajian pustaka yang telah ada. Sedangkan hasil observasi akan diuraikan dan dinarasikan untuk memperkaya hasil wawancara sekaligus melengkapi data. Setiap daya yang diperoleh tersebut akan diinterpretasikan untuk menggambarkan keadaan dengan mengacu pada dukungan teori dan kajian pustaka.


(56)

BAB IV

HASIL DAN ANALISA PENELITIAN 4.1. Gamabaran Umum Desa Jago-jago

Desa jago-jago merupakan salah satu desa yang berada dalam pemerintahan Kecamatan Badiri Kabupaten Tapanuli Tengah yang terletak di bagian barat yang sebagian besar terdiri dari pantai dan daratan. Keadaan topografi desa dan karakteristik wilayahnya memiliki pengaruh terhadap mata pencaharian dan tingkat kehidupan penduduknya. Wilayah desa ini terbelah oleh tiga aliran sungai yang semuanya mengalir dan bermuara ke pantai di Desa Jago-jago, Teluk Sibolga, dan Lautan Indonesia.

Secara astronomis, wilayah desa ini terletak di antara 1032’ lintang utara, 1037’ Lintang Utara, 98047’30” Bujur Timur dan 98053’06” Bujur Timur. Jadi, wilayah desa ini terletak di sekitar garis katulistiwa, sehingga iklim di wilayah ini merupakan iklim tropis. Iklim tropis cukup mempengaruhi pola pemanfaatan dan pengolahan baik sumber daya laut maupun sumber daya daratnya. Ada[un batas wplayah desa Jago-jago, di sebelah utara, wilayah desa ini berbatasa dengan Aek Horsik, sebelah timur berbatasasn desa Desa Hutabalang, sebelah selatan berbaasan dengan Desa Lumut dan Sitardas, dan sebelah barat berbatasan dengan Teluk Tapanuli. Karena sebagian wilayahnya berbatasan langsung dengan laut, sebagian penduduknya lebih banyak memanfaatkan laut baik sebagai jalur berhubungan dengan daerah lainyya (transportasi) maupun sumber mata pencaharian. Desa jago-jago memiliki jarak sekitar 5 km dari ibu kota Kecamatan Badiri (Desa Lopian) dan sekitar 21 km dari ibu kota Kabupaten Pandan.


(1)

pada akhirnya akan menurunkan daya dukung sumber daya wilayah pesisir. Penaatan ruang merupakan salah satu usaha menekan terjadinya konflik kepentingan pemanfaatan ruang, termasuk pemanfaatan ruang di wilayah pesisir. Pada saat ini aktifitas dan jumlah orang yang ingin memanfaatkan sumberdaya wilayah pesisir semakin hari semakin meningkat, sedangkan sumber daya wilayah pesisir tetap atau cenderung berkurang. Penyebab utama belum adanya penataan ruang wilayah pesisir adalah belum adanya peraturan yang tegas tentang ruang pesisir, baik pedoman pelaksanaannya maupun peraturan penunjang lainnya.

4. Tingkat partisipasi masyarakat dalam perlindungan ekosistem mangrove dipengaruhi oleh rendahnya penaatan dan penegakan hukum tidak terlepas dari rendahnya kualitas sumberdaya manusia di kalangan masyarakat maupun aparat penegak hukum yang berada di wilayah pesisir desa Jago-jago Kecamatan Badiri Kabupaten Tapanuli Tengah.

5.2. Saran-saran

1. Perlu ditetapkan strategi yang tepat dalam meningkatkan partisipasi masyarakat desa jago-jago< khususnya yang bermatapencaharian sebagai nelayan yang bertempat tinggal di pesisir pantai dalam hal pelestarian hutan mangrove secara terpadu dengan program pelestarian yang dikelola oleh rpyek COREMAP yang berlokasi juga di desa penelitian ini.


(2)

2. Perlu dilakukan review atas tataruang desa Jago-jago sehubungan dengan makin meningkatnya aktivitas reklamasi yang dilakukan oleh penduduk karena desa kurang memiliki lahan terbuka disepanjang pantai.

3. Perlu ada kerjasama antara pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga dalam hal penataan berbagai aktivitas penangkapan ikan, pemberian izin investasi berbagai proyek pembangunan yang merubah fungsi ekosistem pesisir yang dampak masa depannya justru merusak bagi kelestarian ekosistem pesisir dan akan menjadi beban generasi berikutnya dalam rehabilitasi lingkungan pesisir yang tidak terdukung oleh kapasitas lingkungan yang berkelanjutan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Amba, M. 1998 . Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat. Pascasarjana, IPB, Bogor

Anonim. 2008. Ekosistem Mangrove Indonesia. http://www.imred.org/?q=content/ekosistem-mangrove-di-indonesia.

Awang, S.A,dkk . 2002. Hutan Rakyat. BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta. Azwar, Saifuddin. Metode Penelitian, Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2004.

Bintoro Tjokroamidjojo, 1986, Perencanaan Pembangunan, PT Gunung Agung, Jakarta.

Boelaars, Yan 1984. Kepribadian Indonesia Modern: Suatu Penelitian Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia.

Bugin, Burhan. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta : Putra Grafika, 2005.

Burns, D., Hambleton, R. & Hogget, P. (1994), The Politics of Decentralisation (Basingtoke: Macmillan).

Dahuri, Dkk 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

Daliyo dan Ngadi. Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia (Studi Kasus: Desa Jago-Jago Kecamatan Badiri Kabupaten Tapanuli Tengah


(4)

Ginkel, Rob van. 2007. Coastal Cultures: An Anthropology of Fishing and Whaling Traditions. Apeldoorn: Het Spinhuis Publishers.

Gyford, J. (1991) Citizens, Consumers and Councils (Basingstoke : Macmillan). Hadi, 2009, Manusia dan Lingkungan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,

Semarang

Istomo. 1992. Tinjauan Ekologi Hutan Mangrove dan Pemanfaatannya di Indonesia. Fak. Kehutanan, IPB, Bogor.

Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga.

Kerah, A Sonnya, Etika Lingkungan. Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2002. Klijhn, E. H. and Koppenjan, J. F. M (2000). “Politicans and Interactive Decision

Making : Institusional Spoilsports or Palymaker?”, Public Adminstration,Vol. 78

Kluckhon, Clyde 1984. “Cermin bagi Manusia”, dalam Parsudi Suparlan (Ed.). Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya. Jakarta: Rajawali Pers.

Kusnadi, 2009. Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Mishra, S.N., 1984. Participation and Development. NBO Publisher Distributors. New Delhi. Moleong, Rexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandugn : PT Remaja

Rosdakarya, 2006.

Nawawi, Hadari. Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Yogyakrta : Gajah Mada University Press, 1990.


(5)

Okardo, Rapson Purba, Merajut Harapan Bersama Si Umbu : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tapanuli Tengah. Tapanuli Tengah, 2011

Pateman, Carol. Participation and Democratic Theory, United Kingdom Cambridge University Press 1970.

Raco, M and Imrie, R. (2000) ‘Governmentality and Rights and Responsibilites in Urban Policy’ , Environment and Planning, Vol.32.

RPTK 4 Desa Kab. Tapteng, 2005

Rusila Noor, Y., M. Khazali, dan I N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP, Bogor.

Schmitter, P. (2000). “Participation in Governance Arrangement” , In Grote, J. R. and Gbikpi, B., eds (2002).

Sianipar, O. 2001. Peran Serta Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove. Pascasarjana, USU, Medan.

Soemarwoto, Otto, Atur Diri Sendiri (Paradigm Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup). Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2001.

Soerianegara, I. 1987. Masalah Penentuan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Jakarta.

Soetrisno, L. 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Kanisius, Yogyakarta.

Stoker, G. (1998). “Governance as Theory: Five Propositions”. International Social Science Journal, No. 155.

Sugiarto, dan Willy, E. 2003. Penghijauan Pantai. Penebar Swadaya, Jakarta. Susilo, Rachmad K, Sosiologi Lingkungan. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008.


(6)

Suwignyo, R.A., A. Nose, Munandar, F. Matsumoto, and Sarno. 2011. Growth characteristics of mangrove seedling at adifferent shading treatments and its leaf photosynthesis under tropical condition. Paper presented at International Seminar on Climate Change: Environment Insight for Cimate Change Mitigation. Sebelas Maret University. Solo, 4-5 March 2011.

Syahyuti. 2006. Nilai-Nilai Kearifan pada Konsep Penguasaan Tanah menurut Hukum Adat di Indonesia. Majalah Forum Agro Ekonomi No. 1 tahun 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

Tim CRITC, Studi Baseline Ekologi Tapanuli Tenga.Jakarta : LIPI, 2006

Tomlison, P.B. 1986. The Botany of Mangroves. London: Cambridge University Press.

Widayati, Sri Wahyu 2001. “Prototipe Kepemimpinan Masyarakat Jawa dalam Karya Sastra Jawa Pesisiran”, Makalah Kongres Bahasa Jawa III, di Yogyakarta, 15 Juli.

Wightman, G.M. 1989. Mangroves of the Northern Territory. Northern Territory Botanical Bulletin No. 7. Conservation Commission of the Northern Territory, Palmerston, N.T., Australia.

Online :