Proses Pengambilan Keputusan Adopsi Inovasi Budidaya Kedelai Jenuh Air Dan Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Usahatani

PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN ADOPSI INOVASI
BUDIDAYA KEDELAI JENUH AIR DAN PENGARUHNYA
TERHADAP PENDAPATAN USAHATANI
(Kasus: Lampung Timur)

NUR ELISA FAIZATY

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Proses Pengambilan
Keputusan Adopsi Inovasi Budidaya Kedelai Jenuh Air dan Pengaruhnya terhadap
Pendapatan Usahatani di Desa Labuhan Ratu Enam, Lampung Timur adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian

akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2016
Nur Elisa Faizaty
NIM H35130311

RINGKASAN
NUR ELISA FAIZATY. Proses Pengambilan Keputusan Adopsi Inovasi
Budidaya Kedelai Jenuh Air dan Pengaruhnya terhadap Pendapatan Usahatani.
Dibimbing oleh AMZUL RIFIN dan NETTI TINAPRILLA.
Laju penurunan produksi kedelai di Indonesia yang mencapai 3.83% per
tahun selama dua dekade terakhir terutama disebabkan oleh menyusutnya luas
lahan panen yang sangat signifikan (lebih dari 60%). Hal ini akibat dari sejumlah
besar lahan panen kedelai masih terkonsentrasi di Pulau Jawa (71.8%) dimana
pemanfaatan lahannya semakin kompetitif. Oleh karena itu, perluasan areal panen
ke lahan suboptimal, terutama di luar Pulau Jawa, perlu dilakukan. Untuk
mendukung upaya tersebut, inovasi budidaya jenuh air (BJA) yang memanfaatkan
lahan rawa dinilai tepat sebagai salah satu solusi yang menjanjikan karena mampu
meningkatkan produktivitas tanaman kedelai hingga 2.9 ton/ha. Selain itu,

kesejahteraan petani kedelai dapat turut ditingkatkan seiring dengan tingginya
produktivitas yang dihasilkan. Karena BJA merupakan sebuah inovasi yang akan
didifusikan secara luas kepada petani, maka kajian tentang proses keputusan
adopsinya oleh para petani penting untuk dilakukan.
Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis proses pengambilan
keputusan adopsi teknologi BJA, (2) menganalisis struktur penerimaan, biaya,
pendapatan, dan R/C rasio usahatani kedelai BJA berdasarkan tingkat
implementasinya, (3) dan menguji perbedaan pendapatan petani berdasarkan
tingkat implementasi teknologi BJA yang dilakukan. Penelitian ini melibatkan 25
petani adopter potensial di Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung, yang
merupakan sasaran program difusi teknologi kedelai BJA LPPM IPB.
Terdapat dua pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu difusi
inovasi Rogers untuk analisis proses pengambilan keputusan adopsi teknologi dan
analisis usahatani untuk struktur biaya dan penerimaan petani. Analisis tentang
proses pengambilan keputusan dibagi ke dalam empat hal pokok: (1) deskripsi
jaringan komunikasi dan tahapan proses keputusan inovasi yang terbentuk, (2)
variabel karakteristik responden yang berpengaruh pada tahap pengenalan,
menggunakan uji Kruskall­Wallis, (3) variabel karakteristik inovasi yang
berpengaruh pada tahap persuasi, menggunakan uji Korelasi Spearman, dan(4)
hubungan antartahapan proses, menggunakan uji Korelasi Spearman dan Mann­

Whitney.Disamping itu, penelitian ini menghitung penerimaan, biaya, dan
pendapatan petani kedelai teknologi BJA pada tingkat kategori implementasi yang
berbeda, serta menganalisis tingkat perbedaannya dengan uji Mann­Whitney.
Pada proses difusi inovasi BJA yang diamati dalam penelitian ini, saluran
interpersonal adalah pendekatan yang dipilih untuk mengenalkan teknologi ini
kepada 25 petani adopter potensial melalui diskusi, praktik lapang, dan
pendampingan. Pada tahap pengenalan, variabel karakteristik petani yang
berpengaruh adalah tingkat pendidikan nonformal dan motivasi (ditunjukkan oleh
nilai χ2 hasil uji Kruskall­Wallis berturut­turut sebesar 9.064 dan 10.590 yang
signifikan pada   5% ). Sedangkan berdasarkan tingkat pendidikan formal dan
pengalaman usahatani, tingkat pengenalan petani terhadap BJA tidak berbeda
nyata. Dari sepuluh unsur yang disarankan dalam paket teknologi BJA,
pengetahuan beberapa petani tentang persiapan lahan, teknik penanaman, dan

pemanenan masih kurang. Selanjutnya, dari uji Korelasi Peringkat Spearman pada
  5% , tingkat persuasi yang dirasakan oleh petanitentang BJA ternyata
berhubungan secara signifikan dengan aspek kerumitan (rs = –0.423) dan
kemungkinan dicoba (rs = 0.448), namun tidak dengan kesesuaian dan
kemungkinan diamati. Teknik penanaman dan pengairan menjadi unsur yang
paling sering dinyatakan tidak suka oleh reponden pada tahap persuasi ini, yakni

berturut­turut sebesar 32% dan 60%. Kemudian, 10 orang memutuskan untuk
mengadopsi BJA, dan 15 orang sisanya menolak. Dari 10 orang tersebut, tujuh
orang diantaranya dapat dikategorikan mengimplementasikan BJA dengan tingkat
tinggi, dan tiga orang lainnya rendah. Pada akhirnya, hanya enam orang
(semuanya dari kelompok kategori implementasi tinggi) yang mengukuhkan
keputusan adopsinya.
Dalam proses keputusan inovasi BJA, antartahapan secara berurutan
terbukti mempunyai hubungan positif yang signifikan. Dari uji Koefisien Korelasi
Spearman diperoleh rs sebesar 0.457 untuk tahap pengenalan dengan persuasi,
0.486 untuk persuasi dengan pengambilan keputusan, dan 0.873 untuk
implementasi dengan konfirmasi, dimana ketiganya signifikan pada taraf nyata
5%. Namun demikian, hasil uji Mann­Whitney terhadap kelompok petani adopter
dan nonadopter tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dalam nilai pada tahap
pengambilan keputusannya. Hasil ini mengindikasikan pula adanya disonansi
(ketidaksesuaian sikap dan tindakan) responden dalam keputusan inovasi BJA ini.
Untuk analisis struktur biaya, penerimaan, dan pendapatan usahatani
kedelai BJA, petani dibedakan menjadi tiga kelompok berdasarkan tingkat
implementasi teknologi BJA dan jenis polong yang dipanen, yaitu tingkat tinggi
polong tua, tingkat tinggi polong muda, dan tingkat rendah polong tua. Usahatani
kedelai BJA dengan implementasi tinggi yang dipanen polong tua menghasilkan

produktivitas lebih tinggi yang ditandai dengan penerimaan tunai lebih besar (Rp
18 701 185.62) daripada implementasi rendah (Rp 7 751 945.46). Namun
demikian, penerimaan tunai dari implementasi BJA tinggipolong muda masih
lebih rendah daripada implementasi rendah polongtua (11 318 680.00). Pada
struktur biaya, komponen terbesar dan paling berpengaruh adalah tenagakerja,
sehingga perbedaan tingkat implementasi teknologi juga berdampak pada biaya
rata­rata per hektar usahatani. Biaya rata­rata per hektar usahatani kedelai BJA
dengan tingkat implementasi tinggi sebesar Rp 9 688 066.75 untuk polong tua,
dan sebesar Rp 7 861 094.88 untuk polong muda, sedangkan untuk tingkat
implementasi rendah sebesar Rp 8 772 851.23.
Analisis terhadap pendapatan(baik atas biaya tunai maupun atas biaya total)
usahatani kedelai BJA pada berbagai tingkat implementasi dan jenis polong
kedelai menunjukkan hasil yang berbeda­beda. Semuanya bernilai positif, kecuali
pendapatan atas biaya total dari usahatani kedelai BJA implementasi rendah yang
dipanen polong tua. Nilai rasio R/C pada implementasi teknologi BJA kategori
tinggi juga lebih besar daripada nilai rasio R/C kedua kelompok lainnya. Hasil uji
statistik selanjutnya menunjukkan adanya perbedaan pendapatan tunai usahatani
yang signifikan antara petani tingkat implementasi teknologi tinggi dengan tingkat
implementasi rendah. Dengan demikian, implementasi BJA terbukti membawa
dampak positif terhadap peningkatan pendapatan petani.

Kata kunci: pendapatan usahatani, adopsi inovasi, budidaya jenuh air, kedelai

SUMMARY
NUR ELISA FAIZATY. The Innovation­Desicion Process of Soybean Saturated­
Soil Culture Technology and Its Impact on Farm Income. Supervised by AMZUL
RIFIN dan NETTI TINAPRILLA.
The soybean production in Indonesia has shown a declining rate by 3.83%
for the last two decades due to the significant reduction (by more than 60%) of the
harvested area. It is as the result of the fact that the very large amounts of soybean
crop land (71.8%) have been still concentrated in Java in which the its use has
become more and more competitive. Thus, the expansion of soybean crop land to
suboptimal land, especially outside Java, should be set up. In response to this
condition, saturated­soil culture (SSC) innovation utilizing wetland is considered
one of the promising solution as it can increase the soybean productivity to 2.9
tons/ha. It can also increase the farmers’s welfare. As SSC is a kind of innovation
that would be diffused widely into farmers, the study of its innovation­decision
process should be undertaken.
The purposes of this research are (1) to study the innovation­decision
process of soybean SSC technology, (2) to analyze the structure of revenue, cost,
income, R/C ratio in soybean SSC farm regarding its level of implementation, and

(3) to examine the difference in income by the level of SSC implementation. It
involved 25 farmers of potential adopter in East Lampung Regency, Lampung
Province, one of the targeted areas of SSC diffusion program of LPPM IPB.
Two main approaches were used in this research, i.e. Rogers’ theory of
innovation diffusion and farm income analysis. The innovation­decision process
of soybean SSC was divided into four main group of analysis: (1)communication
channel and general description of stages in the innovation decision, (2)
influential variables of respondents’ characteristics on the knowledge stage using
Kruskall­Wallis test, (3) influential variables of the innovation’s attributes on the
persuasion stage using Spearman Correlation test, and (4) correlation between the
stages of innovation decision process using Spearman Correlation test and Mann­
Whitney test. In addition, this research evaluated the structure of revenues, costs,
and income of soybean farmers implementing SSC by different levels of
implementation, and subsequently analyzed the significance of the difference
using Mann­Whitney test.
The result of this study showed that interpersonal channel was chosen as
the way to diffuse SSC innovation to 25 petential adopters firstly through
discussion, direct practice, and guidance. On the knowledge stage, the influential
variables of individuals’ characteristics were level of nonformal education and
level of motivation (based on the result of Kruskall­Wallis test inthe value χ2

respectively of 9.064 and 10.590 that were significant at α = 5%). In contrast,
their level of formal education and farming experience did not show significant
difference in their knowledge level about SSC. Of 10 elements suggested in SSC
innovation package, some farmers’ knowledge about land preparation, cultivation
technique, and harvesting was still relatively low. The next result of Spearman
Correlation test at α = 5% showed significant correlation between the level of
respondents’ persuasion and their perception on the innovation complexity (rs = –
0.423) and triability (rs = 0.448), but not compatability and observability.

Cultivation and irrigation technique placed on the buttom list of SCC elements
toward which most respondents were unfavorable by 32% and 60% respectively.
In the next stage, 10 people decided to adopt SSC, and the remaining 15 not.
Then, 7 of the 10 people highly implemented SSC. Finally, there were only six
people (all had highly implemented SSC) who confirmed their adoption.
In SSC innovation­decision, each stage, one after the other, had a
significant positive correlation. The Spearman Correlation test resulted in rs =
0.457 for the knowledge and persuasion stage, 0.486 for the persuasion and
decision, and 0.873 for the implementation and confirmation; all of them were
significant at 5% significance level. However, the Mann­Whitney test did not
show any significant differences in the score of decision stage between adopters

and nonadopters. This result indicated dissonance, the discrepancy between
attitude and decision, in the respondents’ behavior toward the SSC.
For the analysis of cost structure, revenue, and income, the SSC­
implemented soybean farmers were divided into three groups based on their level
of technology implementation and level of bean ripeness when harvested, i.e.
highly­implemented with ripe beans, highly­implemented with green beans, and
lowly­implemented with ripe beans. The soybean farmers with highly­
implemented SSC and ripe beans harvest got higher cash revenue and, thus, better
productivity by Rp 18 701 185.62 than did those with lowly­implemented SSC by
Rp 7751 945.46. However, the cash revenue of farmers with green beans and
highly­implemented SSC was still lower than of those with ripe beans and lowly­
implemented SSC (Rp 11 318 680.00). In the structure of cost, the largest and the
most influential component was labor force, also in accordance with the level of
technology implementation, which in turn would affect the average cost per
hectare of soybean farming. The average cost of soybean farming with highly­
implemented SSC was Rp 9 688 066.75 for ripe beans, and Rp 7 861 094.88 for
green beans. The average cost per hectare of those with lowly­implemented SSC
was Rp 8 772 851.23.
The result of analysis on farm incomes showed that they varied, in term of
that over cash cost and total cost, among the different levels of SSC

implementation and sort of beans harvested. All incomes were positive, except for
that of lowly­implemented SSC with ripe beans which resulted in negative income
over the total cost. Also, the ratio of revenue per both cash and total costs (R/C) in
highly­implemented SSC with ripe beans was higher than those of the other two
groups. Related to this, the results of statistical tests indicated that there were
significant differences between the income of farmers who highly implemented
the SSC technology and of those who lowly did. Therefore, it has been proven
that good implementation of SSC innovation could increase the farm incomes.
Keyword(s): farm income, innovation adoption, saturated­soil culture, soybean

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang­Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN ADOPSI INOVASI
BUDIDAYA KEDELAI JENUH AIR DAN PENGARUHNYA
TERHADAP PENDAPATAN USAHATANI
(Kasus: Lampung Timur)

NUR ELISA FAIZATY

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Dwi Rachmina, MSi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia­Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2014 ini ialah
perilaku usahatani dan proses adopsi teknologi pertanian, dengan judul Proses
Pengambilan Keputusan Adopsi Inovasi Budidaya Kedelai Jenuh Air dan
Pengaruhnya terhadap Pendapatan Usahatani (Kasus: Lampung Timur).
Ucapan terima kasih penulis sampaikan keoada pihak­pihak yang membantu
dalam penyelesaian karya ilmiah ini, yaitu kepada:
1.
Bapak Dr Amzul Rifin, SP, MA dan Ibu Dr Ir Netti Tinaprilla, MM selaku
pembimbing, atas kesabaran dalam membimbing dan memberikan segenap
waktu dan pemikiran,
2.
Ibu Dr Ir Anna Fariyanti, MSi selaku evaluator kolokium,
3.
Bapak Dr Suharno dan Ibu Dr Ir Dwi Rachmina, MSi selaku dosen
penguji,
4.
Ibu Ir Siti Sugiah M Mugniesyah, MS dan Prof Dr Munif Ghulamahdi
yang telah banyak memberi saran dan masukan,
5.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada tim PI Kedelai
2014, Kepala dan segenap staf Dinas Pertanian Propinsi Lampung, PPL di
Desa Labuhan Ratu Enam, serta segenap responden yang telah banyak
membantu dalam pengumpulan data,
6.
Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
selaku pemberi Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP­
DN),
7.
Ungkapan terima kasih, hormat, dan pelukan hangat, disampaikan kepada
kedua orang tua, terutama: ibu, ibu, ibu (setelah berjuang hampir 2 tahun
melawan penyakitnya, dalam tahap akhir proses penyelesaian tesis ini
beliau telah berpulang. Engkau tak lekang batas ruang dan waktu, bu.
Terima kasih atas kasih sayang dan pengorbanan yang tak terbatas dan tak
pernah sanggup terbalas olehku). Suami dan calon bayi yang terkasih,
selalu menemani dalam suka duka, terima kasih atas kesabaran, doa, dan
pengorbanan. Adik­adik, serta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan,
dan kasih sayang selama ini.
8.
Teman­teman seperjuangan di MSA 4 yang telah mengisi hari­hari penulis
selama menempuh studi di MSA, serta seluruh staf akademik dan
administrasi di lingkungan Departemen Agribisnis dan Sekolah
Pascsarjana, yang telah banyak membantu dalam penyelesaian studi ini.
9.
Rekan kerjadi Pusat Inkubator Bisnis dan Pengembangan Kewirausahaan
(Incubie IPB), atas bimbingan, pelajaran, pengalaman, dan kebersamaan
yang bernilai.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2016
Nur Elisa Faizaty

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

v

DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
6
9
9
10

TINJAUAN PUSTAKA
Teknologi Budidaya Jenuh Air
Difusi Inovasi dan Proses Pengambilan Keputusan Adopsi Inovasi
Pendapatan Usahatani

10
10
11
12

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional

14
14
23

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Penentuan Responden
Metode Pengolahan dan Analisis Data

26
26
26
27
27

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Karakteristik Petani Calon Adopter Teknologi Budidaya kedelai jenuh
air

34
34

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Usahatani Kedelai BJA di Desa Labuhan Ratu Enam
Proses Pengambilan Keputusan adopsi inovasiBudidaya Kedelai Jenuh
Air di Desa Labuhan Ratu Enam
Analisis Pendapatan Usahatani Kedelai pada berbagai Tingkat
Implementasi Paket Teknologi BJA
Implikasi Kebijakan

40
40

PENUTUP
Simpulan
Saran

69
69
70

DAFTAR PUSTAKA

71

38

47
61
68

LAMPIRAN

75

RIWAYAT HIDUP

88

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.

Luas panen, produktivitas dan produksi kedelaiIndonesia tahun 1993­
2013
Luas lahan rawa menurut wilayah dan statusnya di Indonesia
Produksi kedelai Propinsi Lampung tahun 2001­2013
Tingkat kepentingan dan konversi bobot unsur­unsur dalam paket
teknologi BJA
Komponen analisis pendapatan usahatani kedelai jenuh air
Distribusi penduduk Desa Labuhan Ratu Enam berdasarkan jenis
pekerjaan pada tahun 2012
Distribusi penduduk Desa Labuhan Ratu Enam berdasarkan tingkat
pendidikan pada tahun 2012
Luas lahan Desa Labuhan Ratu Enam berdasarkan penggunaan pada
tahun 2012
Karakteristik petani adopter dan nonadopter inovasi kedelai BJA di Desa
Labuhan Ratu Enam
Rata­rata kebutuhan fisik pupuk sebagai input produksi usahatani kedelai
jenuh air di Desa Labuhan Ratu Enam musim tanam 2014
Nilai penyusutan peralatan usahatani kedelai jenuh air di Desa Labuhan
Ratu Enam pada musim tanam tahun 2014
Jumlah dan persentase responden yang mengenal unsur dalam paket
teknologi budidaya kedelai jenuh air di Desa Labuhan Ratu Enam
Mean rank dan hasil uji beda variabel dalam karakteristik responden
terhadap tahap pengenalan adopsi inovasi budidaya kedelai jenuh air
Jumlah dan persentase responden yang menyukai unsur dalam paket
teknologi budidaya kedelai jenuh air
Hasil uji Korelasi Spearman karakteristik inovasi dengan tahap persuasi
dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi budidaya kedelai jenuh air
Jumlah dan persentase responden yang mengadopsi dan menolak paket
teknologi budidaya kedelai jenuh air di Desa Labuhan Ratu Enam
Jumlah dan persentase responden yang mengimplementasikan paket
teknologi budidaya kedelai jenuh air menurut jumlah paket di Desa
Labuhan Ratu Enam
Jumlah dan persentase petani adopter yang mengimplementasikan unsur
dalam paket inovasi budidaya kedelai jenuh air
Jumlah petani yang melanjutkan adopsi dan menolak adopsi inovasi
budidaya kedelai jenuh air di Desa Labuhan Ratu Enam
Hasil uji Korelasi Spearman antartahapan dalam inovasi budidaya
kedelai jenuh air
Mean rank dan hasil uji statistik pengambilan keputusan pada kelompok
petani adopter dan petani nonadopter
Jumlah dan persentase responden yang mengalami disonansi pada proses
keputusan inovasi kedelai BJA
Penerimaan rata­rata usahatani kedelai berdasarkan tingkat implementasi
adopsi inovasi teknologi budidaya kedelai jenuh air di Desa Labuhan
Ratu Enam musim tanam tahun 2014

2
5
8
28
32
35
36
37
39
45
47
49
51
53
54
55
56
57
58
59
60
61
63

24. Biaya rata­rata per hektar usahatani kedelai berdasarkan tingkat
implementasi adopsi inovasi teknologi budidaya jenuh air di Desa
Labuhan Ratu Enam musim tanam tahun 2014
65
25. Analisis rata­rata pendapatan usahatani kedelai berdasarkan tingkat
implementasi adopsi inovasi teknologi budidaya jenuh air di Desa
Labuhan Ratu Enam tahun 2014
67
26. Mean rank dan hasil uji statistik pendapatan tunai per hektar kelompok
petani adopter BJA implementasi tinggi dan implementasi rendah
68

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Konsumsi kedelai nasional tahun 2000­2012
Laju penurunan areal tanam dan produksi kedelai Indonesia
Sebaran geografis kedelai di Indonesia tahun 2013
Sketsa teknologi budidaya jenuh air
Klasifikasi lahan pasang surut
Model proses pengambilan keputusan inovasi
Kurva fungsi produksi
Hubungan antara kurva fungsi produksi dengan AP dan MP
Perubahan kurva fungsi produksi akibat perubahan teknologi
Kerangka operasional penelitian
Pembuatan saluran air pada bedengan lahan kedelai BJA
Kondisi jenuh air pada lahan kedelai BJA

1
2
3
10
16
18
22
22
23
25
41
42

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Dokumentasi aktivitas usahatani kedelai jenuh air di Desa Labuhan Ratu
Enam
Hasil output SPSS uji hubungan antartahap pengambilan keputusan
adopsi budidaya kedelai jenuh air
Hasil output SPSS uji beda karakteristik responden dengan tahap
pengenalan
Hasil output SPSS uji hubungan persepsi karakteristik inovasi dengan
tahap persuasi
Hasil output SPSS uji beda penerimaan usahatani berdasarkan kategori
implementasi paket teknologi budidaya kedelai jenuh air
Skor persepsi karakteristik inovasi dan tahap pengenalan
Curahan tenaga kerja budidaya kedelai jenuh air di Desa Labuhan Ratu
Enam musim tanam tahun 2014

76
78
80
82
84
85
86

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kedelai merupakan komoditas yang spektrum pemanfaatannya sangat
luas, meliputi proses produksi, perdagangan, maupun pengolahansehingga kedelai
menjadi salah satu komoditas pangan yang berperan penting dan memegang arti
strategis di Indonesia (Pusdatin 2013, Supadi 2009). Hal tersebut karena kedelai
menjadi bahan baku pangan primadona masyarakat Indonesia (diantaranya tahu,
tempe, kecap, tauco), dan dalam pengolahannya melibatkan banyak sekali pelaku
industri rumah tangga maupun industri besar. Selain itu kedelai juga digunakan
produsen pakan untuk memproduksi pakan ternak. Data konsumsi kedelai tahun
2000­2012 (Kementerian Pertanian 2013) menunjukkan kenaikan rata­rata 2.87%
per tahun, dengan sudah mencapai tiga juta ton pada 2012. Angka ini diproyeksi
terus meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya
kesadaran masyarakat akan kecukupan gizi (Pusdatin 2013). Data konsumsi
kedelai nasional tahun 2000­2012 diperlihatkan dalam Gambar 1.

Gambar 1 Konsumsi kedelai nasional tahun 2000­2012
Sumber: Kementerian Pertanian (2013)

Namun, sistem usahatani kedelai di Indonesia justru menunjukkan hal
yang sebaliknya. Luas tanam kedelai kurang dari lima persen dari luas areal
tanaman pangan (Supadi 2009). Meskipun pada era Orde Baru, produksi kedelai
terus meningkat dari 497 883 ton pada tahun 1970 (luas panen 696 702 ha dan
produktivitas 715 kg/ha) menjadi 1 869 713 ton pada tahun 1992 (luas panen 1
667 698 ha dan produktivitas 1121 kg/ha), namun berdasarkan data statistik,
perkembangan luas panen, produktivitas dan produksi kedelai Indonesia sejak
tahun 1993 hingga tahun 2013 mengalami tren menurun. Peningkatan hanya
terjadi pada tahun 1999 dan kembali menurun pada tahun­tahun selanjutnya.
Bahkan pada kurun waktu 1993­2001 laju penurunan luas panen kedelai sangat
tinggi.Pada tahun 2001, jumlah areal panen kedelai menurun drastis hingga 53,8
persen jika dibandingkan pada tahun 1993. Data luas panen, produktivitas, dan
produksi kedelai Indonesia disajikan dalam Tabel 1.

2
Tabel 1 Luas panen, produktivitas, produksi kedelai Indonesia tahun 1993­2013
Tahun
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013

Luas Panen Perkembangan
(ha)
Luas Panen (%)
1468316
­
1406038
­4.24
1476284
5.00
1277736
­13.45
1118140
­12.49
1094262
­2.14
1151079
5.19
824484
­28.37
678848
­17.66
544522
­19.79
526796
­3.26
565155
7.28
621541
9.98
580534
­6.60
459116
­20.91
590956
28.72
722791
22.31
660823
­8.57
622254
­5.84
567624
­8.78
550793
­2.97

Sumber:Diolah dari BPS (2014)

Produksi
(Ton)
1707126
1564179
1679092
1515937
1356108
1304950
1382848
1017634
826932
673056
671600
723483
808353
747611
592534
775710
974512
907031
851286
843153
779992

Perkembangan
Produksi (%)
­
­8.37
7.35
­9.72
­10.54
­3.77
5.97
­26.41
­18.74
­18.61
­0.22
7.73
11.73
­7.51
­20.74
30.91
25.63
­6.92
­6.15
­0.96
­7.49

Produktivitas
(kuintal/ha)
11.63
11.12
11.37
11.86
12.13
11.93
12.01
12.34
12.18
12.36
12.75
12.80
13.01
12.88
12.91
13.13
13.48
13.73
13.68
14.85
14.16

Berdasarkan data tersebut, rata­rata penurunan luas lahan produksi kedelai
mencapai 3.83% per tahun, sedangkan rata­rata penurunan produksi kedelai
sebesar 2.84% per tahun. Angka laju penurunan luas panen dan jumlah produksi
kedelai yang cukup tinggi, secara jangka panjang akan mempengaruhi ketahanan
pangan Indonesia akan kedelai. Laju penurunan areal panen dan jumlah produksi
kedelai ditampilkan dalam Gambar 2.

Gambar 2 Laju penurunan areal tanam dan produksi kedelai Indonesia
Sumber: Diolah dari BPS (2014)

3
Meskipun faktor produktivitas menunjukkan peningkatan, jumlah produksi
kedelai yang terus menurun tersebut diduga diakibatkan oleh faktor penurunan
jumlah areal panen kedelai yang sangat signifikan. Hal tersebut, salah satunya
dikarenakan areal panen kedelai yang masih sangat terkonsentrasi di Pulau Jawa
dan Bali, yaitu sebesar 71.8 persen.Urutan selanjutnya adalah Sumatera (10.4
persen), Nusa Tenggara (9.0 persen), dan Sulawesi (7.0 persen). Padahal,
penggunaan lahan di Pulau Jawa dan Bali semakin kompetitif untuk sektor
industri, jasa, dan pertanian komoditas lain yang lebih menguntungkan. Tingkat
kebergantungan produksi pangan Indonesia yang sebagian besar diproduksi di
Pulau Jawa menjadi cukup riskan, karena skala usahatani di Pulau Jawa relatif
kecil sehingga efisiensi usahatani sulit ditingkatkan (Sudana 2005), dan juga
terkendala persaingan dengan komoditas lain yang lebih menguntungkan
(Ghulamahdi et al. 2009, Adisarwanto dan Wudianto 2002).Secara geografis,
produksi kedelai tersebar di berbagai wilayah di Indonesia digambarkan pada
Gambar 3.

Gambar 3 Sebaran geografis kedelai di Indonesia tahun 2013
Sumber:Bappenas (2013)

Oleh karena itu, jumlah produksi kedelai nasional hanya mampu
mencukupi sekitar 30% saja dari total kebutuhan Indonesia akan kedelai.
Sehingga membuat ketergantungan impor kedelai Indonesia masih sangat tinggi.
Bagi negara berkembang, kemandirian pangan merupakan kunci utama untuk
memperkokoh ketahanan pangan. Ketergantungan pada impor pangan dapat
mengancam stabilitas sosial, ekonomi, dan politik (Rasahan 1999 dalam Supadi
2009).
Terlebih, sebagian besar produksi kedelai dunia yang diproduksi Amerika
Serikat, Brazil dan Argentina (78.71 persen dari total produksi) dikonsumsi oleh
negara produsennya sendiri, sisanya diimpor oleh sekitar 143 negara. Melihat
kondisi diatas, dapat dikatakan bahwa pasokan kedelai yang ada di pasar dunia
cukup tipis, yang diperebutkan oleh 146 negara. Hal tersebut membuat harga­
harga pangan (termasuk kedelai) merangkak naik dan anjlok secara fluktuatif.
Kondisi tersebut diduga kuat menjelaskan bahwa selain faktor
pertumbuhan penduduk, ketahanan pangan kini juga sangat dipengaruhi oleh: (1)
penggunaan pangan sebagai sumber energi alternatif, (2) perubahan iklim yang

4
berimbas pada peningkatan serangan OPT dan penyakit hewan, menurunnya
produktivitas dan menurunnya kualitas panen, (3) subsidi ekspor negara produsen
pesaing membuat harga komoditas dalam negeri menjadi tertekan dan tidak
kompetitif, (4) ketersediaan produksi pangan global terbatas, sementara kebutuhan
terus meningkat, dan (5) aksi para spekulan global yang dulu hanya bermain pada
bursa energi, kini juga bermain pada bursa komoditas. Kondisi tersebut
menjadikan pertanian Indonesia dihadapkan pada tantangan berat.
Pemerintah dalam RPJMN 2015­2019 merumuskan target sasaran bidang
yang salah satunya berupa pengamanan produksi untuk kemandirian dan
diversifikasi konsumsi pangan melalui peningkatan ketersediaan pangan yang
bersumber dari produksi dalam negeri (Bappenas 2014). Sejak tahun 2000 hingga
kini, pemerintah mencoba melakukan upaya untuk peningkatan produksi kedelai.
Beberapa pendekatan yang dilakukan antara lain program pengapuran,
supra insus, opsus kedelai, dan program gema palagung (Adisarwanto dan
Wudianto 2002). Pada tahun 2012 Kementerian Pertanian telah meluncurkan
“Gerakan Tanam Kedelai Nasional” dalam upaya mempercepat peningkatan
produksi kedelai nasional. Kegiatan yang terkait dengan program tersebut antara
lain adalah peningkatan produksi, perluasan areal tanam, percepatan penyedaiaan
benih, dan stabilisasi harga. SLPTT (Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman
Terpadu) merupakan salah satu teknologi yang dinilai dapat meningkatan
produksi kedelai. SLPTT adalah Sekolah Lapang bagi petani dalam menerapkan
teknologi usahatani melalui penggunaan input produksi yang efisien spesifik
lokasi sehingga mampu menghasilkan produktivitas tinggi. Namun dalam
implementasinya SLPTT masih banyak terdapat kekurangan sehingga belum bisa
secara nyata meningkatkan produksi kedelai nasional (Supriadi et al. 2012).Upaya
perluasan areal tanam kedelai hanya memanfaatkan ruang tumbuh di bawah
tegakan tanaman jati. Kegiatan pengembangan dari hasil demfarm budidaya
kedelai di Kabupaten Ngawi tahun 2011­2012 yang dikembangkan di KPH
Telawa Kabupaten Boyolali. Demfarm budidaya kedelai di kawasan hutan jati di
KPH Telawa mencakup areal seluas 6.5 ha (Bappenas 2013). Efektivitas upaya ini
belum teruji, juga bukan solusi untuk desentralisasi usahatani di luar Jawa.
Dengan demikian, berbagai upaya peningkatan produksi kedelai belum memenuhi
target yang diharapkan.
Salah satu alternatif upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
produksi kedelai di Indonesia adalah memperluas areal tanam, khususnya di luar
Pulau Jawa, mengingat potensi lahan di luar Pulau Jawa masih cukup tinggi. hal
tersebut juga yang telah dilakukan oleh India, Brazil dan Argentina. Negara­
negara tersebut melakukan peningkatan luas areal panen secara besar­besaran
sampai ratusan ribu hektar per tahun sehingga berhasil tampil menjadi produsen
utama dan eksportir kedelai dunia. Belajar dari hal tersebut, perluasan areal panen
merupakan tumpuan utama masa depan produksi kedelai Indonesia (Adisarwanto
dan Wudianto 2002).
Oleh karena itu, perluasan areal panen kedelai mau tidak mau perlu
diperluas ke lahan suboptimal (Ghulamahdi et al. 2009, Sudana 2005,
Adisarwanto dan Wudianto 2002). Lahan suboptimal antara lain lahan tidur, lahan
kering, dan lahan rawa pasang surut. Menurut Manwan et al. (1992) dalam
Sudana (2005), melalui pengelolaan yang tepat lahan rawa dapat dijadikan sumber
pertumbuhan pertanian yang produktif. Lahan rawa pasang surut (rawa yang

5
genangannya dipengaruhi pasang surut air laut) memenuhi unsur­unsur iklim
dominan yang mempengaruhi produksi kedelai, yaitu kecukupan ketersediaan air,
radiasi/intensitas sinar matahari dan suhu yang tinggi (Ghulamahdiet al. 2009).
Menurut Alihamsyah (2004) dalam Sudana (2005), luas pasang surut
masih sangat luas dan besar potensinya. Total luasan lahan pasang surut mencapai
20.1 juta ha, yang sebagian besar tersebar di tiga pulau, yaitu Sumatera (7.1 juta
ha), Kalimantan (5.9 juta ha), dan Papua (6.4 juta ha). Dari luasan tersebut, lahan
yang potensial diusahakan untuk usaha pertanian adalah kurang lebih 9.5 juta ha,
yang terdiri dari 3.9 juta ha di Pulau Sumatera, 2.7 juta ha di Pulau Kalimantan,
dan 2.8 juta ha di Pulau Papua. Namun, dari luasan potensial lahan pasang surut
yang tersedia, baru sekitar 44 persen (4.1 juta hektar) saja yang telah diusahakan
(direklamasi) oleh penduduk lokal maupun oleh pemerintah melalui program
transmigrasi. Data luas lahan rawa menurut wilayah dan statusnya di Indonesia
disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Luas lahan rawa menurut wilayah dan statusnya di Indonesia
Wilayah
Sumatera
Jawa Madura
Kalimantan
Sulawesi
Maluku
Papua
Jumlah

Luas lahan pasang surut (ha)
Total
Potensial
Direklamasi
7 147 200
3 927 000
2 784 000
68 000
­
­
5 938 000
2 795 000
1 402 000
371 300
­
­
236 500
­
­
6 415 400
2 808 800
­
20 192 100
9 530 000
4 186 100

Sumber : Alihamsyah (2004) dalam Sudana (2005)
Keterangan : (-) data tidak tersedia

Namun perluasan areal panen kedelai ke lahan rawa pasang surut bukan
tanpa kendala. Lahan suboptimal (termasuk di dalamnya lahan rawa pasang surut)
sering mengalami kekeringan, memiliki kandungan bahan organik rendah
(kesuburan tanah yang rendah), termasuk kandungan unsur kimia tertentu yang
menghambat pertumbuhan tanaman seperti pH yang rendah, kandungan Al, Mn,
Fe yang bersifat racun bagi tanaman (Ghulamahdi et al. 2009, Makarimet al.
2005). Dari ketiganya, lahan pasang surut memenuhi unsur­unsur iklim dominan
yang mempengaruhi produksi kedelai, yaitu kecukupan ketersediaan air,
radiasi/intensitas sinar matahari dan suhu yang tinggi (Ghulamahdi et al. 2009).
Salah satu teknologi budidaya yang dapat menjadi alternatif untuk
peningkatan produktivitas di lahan pasang surut adalah budidaya jenuh air
(BJA).Hal tersebut karena budidaya jenuh air dapat diaplikasikan di lahan pasang
surut. Budidaya jenuh air ini sekaligus dapat mengoptimalkan daya guna lahan
rawa pasang surut yang selama ini belum digunakan secara optimal untuk
aktivitas usahatani karena kandungan pirit (FeS2) yang tinggi dapat merusak
pertumbuhan tanaman. Melalui pengelolaan tanah dan tata kelola air yang cukup
sederhana melalui prinsip BJA, produktivitas tanaman dapat ditingkatkan, terlebih
lahan pasang surut memiliki ketersediaan air yang cukup, dan tingginya intensitas
radiasi dan suhu.

6
Secara sederhana, teknologi BJA merupakan penanaman dengan
memberikan irigasi terus menerus dan membuat tinggi muka air tetap tinggi,
sehingga lapisan dibawah perakaran jenuh air (Hunteret al. 1980). Pada beberapa
penelitian skala demplot, potensi biologis kedelai BJA mencapai 4.0 ton/hektar
(Ghulamahdi et al. 2009). Dengan memperhitungkan risiko dan bias penerapan
paket teknologi BJA, teknologi ini dapat meningkatkan produktivitas kedelai
hingga 2.1 ton/ha­2.9 ton/ha.
Namun, sebagai sesuatu yang sifatnya baru, beragam inovasi pertanian
yang didifusikan kepada petani tidak serta merta langsung diterima dan diterapkan
oleh petani. Hal tersebut karena, difusi inovasi adalah proses membawa ide­ide
baru dari pencipta atau pembagi informasi kepada penerima informasi. Sebagai
sesuatu yang baru, seringkali difusi inovasi membawa suatu ketidakpastian bagi
komunitas penerimanya. Komunitas penerima inovasi kemudian akan melakukan
adopsi atau bersikap resisten terhadap ide­ide baru tersebut (Rogers 1983).
Menurut teori kognitif, dijelaskan bahwa individu akan memilih alternatif
yang membawa manfaat yang sebesar­besarnya bagi dirinya. Petani menggunakan
kekuatan berpikir sebagai bahan pertimbangannya. Selain proses kognitif,
penerimaan teknologi oleh petani juga merupakan proses persepsi. Proses persepsi
merupakan proses yang didahului oleh proses penginderaan yang diterimanya dari
stimulus yang diterima melalui alat indera. Petani mempunyai cara belajarnya
sendiri sebelum sampai pada keputusan dari sejumlah pilihan teknologi yang
mereka anggap tepat untuk digunakan dalam usahatani rumah tangga petani.
Sehingga pengambilan keputusan adopsi inovasi di tingkat individu cenderung
bersifat opsional (Mugniesyah dan Lubis 1990).
Difusi teknologi BJA untuk meningkatkan perluasan areal tanam kedelai
di lahan pasang surut perlu dilakukan untuk meningkatkan produksi nasional
kedelai yang secara jangka panjang dapat mengurangi ketergantungan Indonesia
terhadap kedelai impor. Selain itu, inovasi ini dapat diharapkan meningkatkan
taraf kesejahteraan petani seiring dengan pertambahan pendapatan dari
peningkatan produktivitas tanam kedelai yang mereka tanam. Untuk itu, sebagai
salah satu bentuk inovasi dalam bidang pertanian yang akan didifusikan secara
luas pada petani, maka penelitian yang mengkaji proses pengambilan keputusan
teknologi BJA pada tanaman kedelai oleh petani adopter potensial melalui
pendekatan difusi inovasi penting untuk dilakukan.
Perumusan Masalah
Desentralisasi areal tanam kedelai menarget pada lahan pasang surut di
luar Pulau Jawa, salah satunya adalah Sumatera yang memiliki luas lahan pasang
surut potensial terbesar dibandingkan pulau lainnya. Melalui LPPM IPB, paket
teknologi budidaya jenuh air yang formulasikan oleh peneliti IPB dan menjadi
penelitian unggulan IPB ingin didifusikan kepada masyarakat agar hasil­hasil
penelitian dapat diaplikasikan dan diambil manfaatnya secara luas oleh
masyarakat. Sebagai upaya awal, LPPM IPB melakukan program difusi inovasi
budidaya kedelai jenuh air di propinsi Lampung.
Provinsi Lampung merupakan salah satu sentra produksi kedelai di Pulau
Sumatera. Namun, dalam kurun waktu sebelas tahun terakhir produksi kedelai
Provinsi Lampung terus menurun. Tercatat bahwa produksi kedelai Provinsi

7
Lampung pada tahun 2001 mencapai 12 391 ton, sedangkan pada tahun 2013
hanya 6 156 ton, dan produksi terendah (3 698 ton) terjadi pada tahun 2006. Data
produksi kedelai Provinsi Lampung tahun 2001­2013 disajikan dalam Tabel 3.
Tiga daerah sentra produksi kedelai di Provinsi Lampung adalah
Kabupaten Lampung Timur, Kabupaten Way Kanan, dan Kabupaten Tulang
Bawang. Namun, dua diantara tiga daerah tersebut yaitu Kabupaten Way Kanan
dan Kabupaten Tulang Bawang, mengalami penurunan jumlah produksi kedelai
yang sangat tajam sejak tahun 2002. Sebaliknya, walaupun Kabupaten Lampung
Timur pernah mengalami penurunan, namun total produksi kedelai di kabupaten
tersebut kembali naik, sehingga pada tahun 2013 produksi kedelai Provinsi
Lampung terbesar disumbang oleh produksi kedelai dari Kabupaten Lampung
Timur. Penurunan areal panen dan produksi kedelai di Provinsi Lampung salah
satunya disebabkan oleh konversi lahan dan kompetisi penggunaan lahan untuk
usahatani tanaman lain, misalnya jagung.
Potensi lahan pasang surut di Provinsi Lampung sebagian besar berada di
Kabupaten Lampung Timur, yang secara langsung berbatasan dengan Laut Jawa.
Desa Labuhan Ratu Enam, Kecamatan Labuhan Ratu, Kabupaten Lampung
Timur, merupakan salah satu lokasi objek difusi teknologi budidaya tanaman
kedelai jenuh air yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan
kepada Masyarakat (LPPM) IPB.
Program difusi teknologi BJA pada tanaman kedelai dikenalkan pada
petani kedelai di Desa Harjosari dan Desa Labuhan Ratu Enam, Kecamatan
Labuhan Ratu, Kabupaten Lampung Timur. Pelatihan kepada petani telah
dilakukan dengan memberikan materi dan demonstrasi SOP paket budidaya
kedelai jenuh air yang meliputi teknik penyiapan lahan, teknik pemupukan, serta
teknik penanaman, dan dilakukan pendampingan oleh pendamping lapang.
Pendekatan difusi inovasi Rogers (yang menggunakan pendekatan kognisi,
komunikasi, dan psikologi) ini pada beberapa dekade ini relatif sedikit digunakan
dalam menganalisis keberhasilan difusi inovasi dan diseminasi teknologi di
bidang petanian. Pendekatan yang digunakan untuk memotret keberhasilan dan
kinerja sebuah teknologi di bidang pertanian hanya terbatas pada tataran teknis,
padahal dimensi dalam proses difusi teknologi tidak hanya terbatas pada aspek
teknis saja, melainkan juga meliputi dimensi sosial, ekonomi, kognisi, psikologi,
dan komunikasi. Sehingga seringkali ditemui kebijakan pascarezim orde baru
tumbuh secara mekanisnik (bukan organik), dan belum meraih kesuksesan yang
cemerlang. Pendekatan difusi Rogers ini dapat dijadikan alternative tools
(metode) yang dapat menggambarkan lebih detil proses difusi sebuah inovasi
dalam perspektif sosial.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini ingin dilihat proses pengambilan
keputusan adopsi inovasi teknik budidaya jenuh air yang dilakukan oleh petani,
yang memberikan potret tentang persepsi dan proses pengambilan keputusan
teknologi BJA pada tanaman kedelai sesuai dengan karakteristik inovasinya.
Seluruh rangkaian aktivitas usahatani yang dilakukan oleh petani adopter,
tentunya terjadi bias dari paket anjuran teknologi budidaya jenuh air tanaman
kedelai yang didifusikan kepada mereka. Selain menganalisis proses pengambilan
keputusan adopsi inovasi BJA oleh petani kedelai, faktor pendapatan yang
diperoleh petani juga penting untuk dianalisis untuk mengetahui sejauh mana
implementasi usahatani dengan paket teknologi budidaya jenuh air yang

8

Tabel 3 Produksi kedelai Propinsi Lampung tahun 2001­2013
Kab/Kota
L. Barat
Tanggamus
L. Selatan
L. Timur
L. Tengah
L. Utara
Way Kanan
Tl. Bawang
Pesawaran 1)
Pringsewu 2)
Mesuji3)
Tuba Barat3)
B. Lampung
Metro
Pesisir Barat
Lampung

2001
2002
2003
171
153
99
577
229
401
208
88
158
1 612
485
486
561
580
234
14
111
118
4 183
1 936 2 514
5 054
2 445
350
­
­
­
­
­
­
­
­
­
­
­
­
­
­
­
11
5
­
­
­
­
12 391
6 032
4 360

2004

2005
78
149
448
340
94
85
504
350
1 145
721
100
233
2 318
2 178
665
633
­
­
­
­
­
­
­
­
5
­
31
10
­
­
5 388
4 699

Sumber: Dinas Pertanian Provinsi Lampung (2014)
Ket :1) Tahun 2001­2007 masih bergabung dengan Kab. L. Selatan
2
) Tahun 2001­2009 masih bergabung dengan Kab Tanggamus
3
) Tahun 2001­2009 masih bergabung dengan Kab Tulang Bawang

Produksi Kedelai (ton)
2006
2007
2008
130
110
300
356
434
925
126
90
533
389
416
809
898
1 203 1 887
110
74
134
1 159
719 1 151
407
320
516
­
­
380
­
­
­
­
­
­
­
­
­
5
­
­
109
30
43
­
­
­
3 689
3 396
6 678

2009 2010
2011
2012
645
139
192
107
4 194
1 150
2 554
778
2 017
1 241
694 1 734
1 431
716
1 341 1 060
2 897
1 557
2 397 1 824
2 124
1 162
1 397 1 079
1 279
868
1 870
1103
461
247
14
77
930
50
301
102
­
78
202
20
­
10
9
97
­
93
4
4
125
­
­
­
50
14
9
8
­
­
­
­
16 153
7 325
10 984
7 993

2013
33
130
789
1 585
987
1 101
1 265
10
139
24
10
­
­
19
64
6 156

9
dijalankan dapat memberikan keuntungan bagi aktivitas usahatani mereka. Kedua
amatan tersebut dianalisis hubungannya untuk mendapatkan gambaran bahwa
tingkat penerimaan dan penerapan paket teknologi budidaya jenuh air diduga
memengaruhi pendapatan usahatani.
Berdasarkan uraian tersebut, pertanyaan penelitian yang akan mendasari
penelitian ini adalah:
1.
Bagaimana proses pengambilan keputusan adopsi inovasi BJA oleh petani
adopter potensial di lahan pasang surut di Desa Labuhan Ratu Enam,
Kecamatan Labuhan Ratu, Kabupaten Lampung Timur.
2.
Bagaimana struktur penerimaan, biaya, pendapatan usahatani, serta R/C
rasio usahatani kedelai BJA sesuai tingkat implementasi BJA yang
diterapkan di Desa Labuhan Ratu Enam, Kecamatan Labuhan Ratu,
Kabupaten Lampung Timur.
3.
Adakah perbedaan pendapatan tunai usahatani akibat tingkat penerapan
teknik BJA pada tanaman kedelai oleh petani di Desa Labuhan Ratu
Enam, Kecamatan Labuhan Ratu, Kabupaten Lampung Timur.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan,
maka tujuan penelitian ini adalah:
1.
Menganalisis proses pengambilan keputusan adopsi inovasi teknologiBJA
oleh petani pembudidaya di lahan pasang surut di Desa Labuhan Ratu
Enam, Kecamatan Labuhan Ratu, Kabupaten Lampung Timur.
2.
Menganalisis struktur penerimaan, biaya, pendapatan, dan R/C rasio
usahatani kedelai BJA berdasarkan tingkat implementasi teknologi BJA di
Desa Labuhan Ratu Enam, Kecamatan Labuhan Ratu, Kabupaten
Lampung Timur.
3. Menguji perbedaan pendapatan tunai berdasarkan tingkat penerapan
teknologi BJA pada tanaman kedelai oleh petani dengan penerimaan
usahatani di Desa Labuhan Ratu Enam, Kecamatan Labuhan Ratu,
Kabupaten Lampung Timur.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi para rumah tangga petani untuk
melihat dan membandingkan sejauh mana teknologi budidaya BJA mampu
memberikan peningkatan penerimaan bagi mereka. Selain itu, juga dapat
memberikan gambaran bagi pembuat kebijakan tentang adopsi inovasi paket
teknologi BJA oleh petani, manfaat ekonomi yang dapat diperoleh melalui
penerapan teknologi BJA, serta konsekuensi dari berbagai alternatif tindakan
dalam difusi teknologi BJA tanaman kedelai. Dengan demikian, teknologi
budidaya kedelai ini dapat menjadi salah satu alternatifstrategi yang didifusikan
kepada masyarakat untuk mencapai percepatan produksi kedelai nasional
sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap kedelai impor.

10
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini hanya dibatasi pada pengambilan keputusan
adopsi inovasi budidaya kedelai jenuh air pada tingkat individu calon petani
adopterdi Desa Labuhan Ratu Enam, Kecamatan Labuhan Ratu, Kabupaten
Lampung Timur berdasarkan program pertama difusi inovasi BJA oleh LPPM
IPB yang dilakukan pada agustus 2014 dan usahatani kedelai BJA musim tanam
semester kedua tahun 2014.

TINJAUAN PUSTAKA
Teknologi Budidaya Jenuh Air
Budidaya jenuh air adalah suatu teknologi budidaya dengan memberikan
irigasi terus­menerus sejak tanam sampai panen, dan membuat tinggi muka air
tetap, sehingga lapisan di bawah perakaran jenuh air (Hunter et al. 1980,Troedson
et al. 1983, CSIRO 1983, dan Ghulamahdi et al.2010). Pada BJA, irigasi dimulai
dari awal tanam sampai tahap panen. Dengan menjaga tinggi air secara konstan,
tanaman akan terhindar dari pengaruh kelebihan air, karena tanaman akan
beraklimatisasi dan memperbaiki pertumbuhannya. Berbeda dengan sistem irigasi
yang terputus­putus, justru akan menghambat dan menurunkan produksi tanaman
kedelai (Tampubolon 1988). Ilustrasi teknologi BJA ditunjukkan pada Gambar 2.
Menurut Ghulamahdi et al. (2010), BJA membuat lapisan tanah dalam
kondisi reduktif, sehingga dapat menekan kadar pirit yang bersifat racun bagi
tanaman. Adaptasi kedelai pada kondisi jenuh air secara fisiologis dimulai dengan
adanya pembentukan ACC (Asam 1 amino siklopropan 1 karboksilik), dan
selanjutnya merangsang pembentukan etilen akar­akar baru yang dapat
meningkatkan pembentukan bintil akar dan penyerapan zat hara. Sehingga,
menurut Nathanson et al. (1984), BJA meningkatkan bobot kering akar dan bintil
akar serta aktivitas bakteri penambat N bila dibandingkan cara irigasi biasa.
Bahkan, hasil dari analisis serapan hara dan pertumbuhan kedelai pada berbagai
varietas pada budidaya jenuh air dan kering menunjukkan bahwa BJA
meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, bobot kering akar, bintil akar, batang,
daun, serapan hara (NPK), jumlah cabang, jumlah polong isi, serta bobot kering
biji per tanaman.

Gambar 4 Sketsa teknologi budidaya jenuh air
BJA dapat diterapkan untuk padi dan kedelai di lahan pasang surut. Selain
diterapkan di lahan pasang surut, BJA juga dapat dilakukan dengan

11
mengintegrasikannya pada instalasi air limbah sebagai sumber pengairan (Szogi et
al. 2001). Budidaya jenuh air telah dilaksanakan pada tanaman kedelai dan juga
pada tanaman jagung. Di Vietnam, penerapan BJA untuk jagung pada tahun 1983
pada lahan seluas 50 ha, mampu meningkatkan 200 000 ha pada tahun 1988
(Chomchalow 1988). Kombinasi penerapan budidaya jenuh air dengan pengaturan
waktu tanam akan meningkatkan intensitas tanam dari IP 100 persen menjadi 300
persen hingga IP 400 persen. Uji produksi kedelai jenuh air di lahan pasang surut
memberikan produktivitas varietas Tanggamus mencapai 4 ton/ha (Ghulamahdi et
al. 2009).
Difusi Inovasi dan Proses Pengambilan Keputusan Adopsi Inovasi
Studi tentang difusi inovasi telah banyak dilakukan dalam 30 tahun
terakhir (Sahin 2006). Difusi dapat dipandang sebagai sebuah proses dimana
inovasi disebarluaskan melalui saluran komunikasi tertentu pada periode tertentu
di dalam sebuah sistem sosial tertentu (Rogers 1983). Dengan demikian, ruang
lingkup kajian mengenai adopsi inovasi juga sangat luas, namun bertumpu pada
bagaimana inovasi disebarluaskan pada sebuah komunitas/sistem sosial (Nordin et
al. 2014).
Teori telah banyak digunakan oleh studi adopsi inovasi berbagai disiplin
ilmu. Menurut Dooley (1999) dan Stuart (2000) dalam Sahin (2006), teori
pengambilan keputusan adopsi inovasi Rogers telah banyak digunakan dalam
studi di bidang ilmu politik, kesehatan masyarakat, komunikasi, sejarah, ekonomi,
teknologi, dan pendidikan.
Salah satu aspek dalam teori difusi inovasi adalah proses pengambilan
keputusan adopsi inovasi. Paradigma proses pengambilan keputusan yang
dikemukakan oleh Rogers (1983) merupakan teori yang paling banyak digunakan
dan dinilai paling tepat (Nordin et al. 2014), serta menjadi koreksi dari konsep
proses pengambilan keputusan klasik (Mugniesyah 2006).
Pengambilan keputusan adopsi inovasi di tingkat individu d