Faktor-Faktor Risiko Sindrom Metabolik pada Pekerja Wanita

FAKTOR-FAKTOR RISIKO SINDROM METABOLIK
PADA PEKERJA WANITA

SITI AISYAH SOLECHAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Faktor-Faktor Risiko
Sindrom Metabolik pada Pekerja Wanita adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini
saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

Siti Aisyah Solechah
NIM. I151114071

RINGKASAN
SITI AISYAH SOLECHAH. Faktor-Faktor Risiko Sindrom Metabolik pada
Pekerja Wanita. Dibimbing oleh DODIK BRIAWAN dan LILIK KUSTIYAH
Hasil Survei Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
persentase pekerja wanita yaitu 46.68% pada tahun 2009 menjadi 48.44% pada
tahun 2011. Sebagian besar pekerja tersebut merupakan buruh industri. Penelitian
di Indonesia menunjukkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi obesitas pada
pekerja industri yakni 26.6% (2007) menjadi 29.1% (2012). Peningkatan prevalensi
obesitas seringkali diikuti dengan peningkatan prevalensi sindrom metabolik (SM).
Patogenesis sindrom ini sangat kompleks karena melibatkan banyak faktor.
Berbagai penelitian telah dilakukan di Indonesia terkait sindrom ini dan faktorfaktor yang mempengaruhinya tetapi penelitian mengenai faktor-faktor risikonya,
khususnya pada pekerja wanita, masih jarang dilakukan. Oleh karena itu, penelitian
ini bertujuan untuk 1) mengidentifikasi kejadian SM; 2) mengidentifikasi
karakteristik pekerja; 3) menganalisis status gizi; 4) menganalisis kebiasaan
merokok dan konsumsi alkohol pada pekerja wanita; 5) menganalisis konsumsi
pangan; 6) menganalisis tingkat aktvitas; 7) menganalisis faktor herediter; 8)
menganalisis faktor risiko SM.

Desain penelitian ini adalah cross-sectional. Penelitian ini merupakan bagian
dari penelitian payung dari Briawan et al. (2013) “Efikasi Suplementasi Vitamin D,
Kalsium dan Susu terhadap Perbaikan Serum 25(OH)D dan Sindrom Metabolik
Pekerja Garmen Wanita Usia Subur”. Penelitian dilakukan di PT Citra Abadi Sejati,
Kedung Halang, Kota Bogor, Jawa Barat yang dilakukan pada Juni-November
2013.
Prevalensi SM pada pekerja wanita yaitu sebesar 18.6%. Komponen SM yang
paling sering ditemukan pada pekerja adalah kadar kolesterol high density
lipoprotein (HDL) di bawah normal (42.4%), obesitas sentral (40.7%) dan
hipertensi (33.9%). Seluruh penderita SM mengalami obesitas sentral dan lebih dari
separuhnya (90.9%) menderita hipertensi, kadar trigliserida (TG) yang tinggi
(54.5%) dan kadar kolesterol HDL yang rendah (72.7%).
Kebanyakan pekerja wanita bekerja di bagian sewing (23.7%), quality control
(18.6%) dan di bagian sample (11.9%). Sebagian besar pekerja (88.1%) telah
bekerja lama di pabrik (≥ 10 tahun) tetapi masih banyak dari mereka (52.5%) yang
masih menerima upah di bawah Upah Minimum Regional. Sebanyak 72.9% pekerja
berusia lebih dari atau sama dengan 40 tahun dan sebanyak 81.4% yang
berpendidikan rendah. Pada umumnya, pekerja memiliki keluarga kecil (86.4%)
dengan pendapatan per kapita yang menyebar merata pada 5 kuintil. Hasil uji chisquare menunjukkan bahwa karakteristik contoh yang berhubungan dengan SM
adalah besar keluarga (p 4

orang) berisiko 10.25 kali lebih tinggi untuk mengalami SM daripada pekerja
dengan keluarga yang kecil (≤ 4 orang).
Kata kunci: faktor risiko, pekerja wanita, sindrom metabolik

SUMMARY
SITI AISYAH SOLECHAH. Metabolic Syndrome Risk Factors on Female
Workers. Supervised by DODIK BRIAWAN and LILIK KUSTIYAH
Survey from Statistics Indonesia showed that there was an increase on the
percentage of female workers in Indonesia (from 46.68% in 2009 to 48.44% in
2011). Most of the them were industrial labors. Studies in Indonesia showed that
there was an increase on obesity prevalence among industrial workers (from 26.6%
in 2007 to 29.1% in 2012). An increase on obesity prevalence often results an
increase on metabolic syndrome (MetS) prevalence. This syndrome had a complex
pathogenesis because there were many factors involved. Many studies about MetS
and its associated factors had been done in Indonesia but study about its risk factors,
especially on female workers, is still rare. Therefore, this study was aimed to: 1)
identify prevalence of Mets; 2) identify characteristics of female workers; 3)
analyze nutritional status; 4) analyze smoking habit and alcohol consumption; 5)
analyze food consumption; 6) analyze physical activity level; 7) analyze parental
history of non-communicable disease; 8) analyze risk factors of MetS among female

workers.
This study was designed as a cross-sectional. This study was part of the
research entitled “The efficacy of Vitamin D, Calsium and Milk Supplementation
to Serum 25(OH)D and Metabolic Syndrome Improvement on Childbearing Age
Female Textile Workers”. This study was done in PT Citra Abadi Sejati, Kedung
Halang, Bogor City, West Java and conducted in June-November 2013.
MetS prevalence among female workers was 18.6%. MetS component which
was often discovered on female workers is low serum level of HDL cholesterol
(42.4%), central obesity (40.7%) and hypertension (33.9%). All MetS sufferer had
central obesity and half of them had hypertension (90.9%), high triglyceride (TG)
level (54.5%) and low HDL cholesterol (72.7%).
Most of female workers in this study worked in sewing (23.7%), quality
control (18.6%) and sample division (11.9%). Most of them (88.1%) had worked
for long time (≥ 10 years) in the factory but there were still many of them got below
national standard wage. There were 72.9% workers who fell in more than and equal
to 40 years age category and 81.4% had low education. In general, most of them
had small family size with household income which was spread evenly in all five
quintiles. Chi-square test shows that the only workers’ characteristic that had
significant association with MetS was family size (p 4
persons) had 10.25 higher risk of suffering MetS than those who had small family

size (≤ 4 persons).
Keywords: female workers, metabolic syndrome, risk factors

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

FAKTOR-FAKTOR RISIKO SINDROM METABOLIK
PADA PEKERJA WANITA

SITI AISYAH SOLECHAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains

pada
Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Rimbawan

Judul Tesis
Nama
NIM

: Faktor-Faktor Risiko Sindrom Metabolik pada Pekerja Wanita
: Siti Aisyah Solechah
: I151114071

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN
Ketua

Dr Ir Lilik Kustiyah, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Gizi Masyarakat

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 3 September 2014


Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini adalah sindrom metabolik dengan judul Faktor-Faktor
Risiko Sindrom Metabolik pada Pekerja Wanita.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN
dan Ibu Dr Ir Lilik Kustiyah, MSi selaku pembimbing yang telah banyak
memberikan motivasi, bimbingan serta saran sejak awal penyusunan proposal
penelitian hingga akhir penulisan tesis. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Dr Rimbawan selaku dosen penguji atas saran dan kritik yang
membantu dalam penyelesaian tesis ini. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Bapak Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk mengikuti proyek penelitian yang berjudul
“Efikasi Suplementasi Vitamin D, Kalsium dan Susu terhadap Perbaikan Serum
25(OH)D dan Sindrom Metabolik Pekerja Garmen Wanita Usia Subur”.
Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Catur Dwi SP, Rian Diana
SP dan teman-teman Pascasarjana Gizi Masyarakat 2012 yang telah memberikan

motivasi dan membantu penulis dalam pengumpulan dan pengolahan data.
Ungkapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh
keluarga atas segala doa, kasih sayang dan motivasi sehingga menjadi pendorong
semangat untuk menyelesaikan karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014
Siti Aisyah Solechah

i

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

xiii

DAFTAR GAMBAR

xiii


DAFTAR LAMPIRAN

xiv

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Masalah Kesehatan pada Pekerja Wanita
Sindrom Metabolik

Kriteria Sindrom Metabolik
Patogenesis Sindrom Metabolik
Faktor-Faktor Risiko Sindrom Metabolik
Sindrom Metabolik dan Produktivitas Kerja

4
4
4
5
6
8
13

KERANGKA PEMIKIRAN

13

METODE
Desain, Tempat dan Waktu Penelitian
Teknik Penarikan Contoh
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan Data Karakteristik Contoh
Pengolahan Data Kebiasaan Merokok dan Konsumsi Alkohol
Pengolahan Data Konsumsi Pangan
Pengolahan Data Status Gizi
Pengolahan Data Aktivitas Fisik
Pengkategorian Riwayat Penyakit Tidak Menular Orang Tua
Penentuan Contoh yang Menderita Sindrom Metabolik
Analisis Data
Definisi Operasional

16
16
16
17
17
18
19
20
22
23
25
26
26
28

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kejadian Sindrom Metabolik
Karakteristik Contoh
Status Gizi
Kebiasaan Merokok dan Konsumsi Alkohol
Konsumsi Pangan
Kecukupan Energi, Zat Gizi dan Serat
Kebiasaan Konsumsi Pangan Spesifik

29
29
31
34
36
37
37
41

Aktivitas Fisik
Riwayat Penyakit Tidak Menular Orangtua
Faktor Risiko Sindrom Metabolik Pekerja Wanita

44
49
51

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

54
54
54

DAFTAR PUSTAKA

55

LAMPIRAN

61

RIWAYAT HIDUP

63

iii

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26

Kriteria sindrom metabolik WHO, EGIR dan NCEP-ATP III
Ukuran lingkar pinggang berdasarkan etnis
Jenis dan cara pengumpulan data
Pengkategorian karakteristik contoh
Pengkategorian kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol
Pengkategorian tingkat kecukupan energi, zat gizi, serat pangan dan
konsumsi pangan spesifik
Penggolongan status gizi berdasarkan indeks massa tubuh, lingkar
pinggang dan rasio lingkar pinggang pinggul
Pengkategorian tingkat aktivitas fisik dan riwayat penyakit tidak
menular orang tua
Sebaran contoh berdasarkan kejadian indikator sindrom metabolik
Sebaran penderita sindrom metabolik berdasarkan komponen sindrom
metabolik
Sebaran berdasarkan karakteristik contoh
Sebaran contoh berdasarkan hubungan antara karakteristik contoh
dengan sindrom metabolik
Sebaran contoh berdasarkan status gizi
Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol
Sebaran contoh berdasarkan hubungan antara kebiasaan merokok
dengan sindrom metabolik
Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi, zat gizi dan serat
Sebaran contoh berdasarkan hubungan antara tingkat kecukupan energi,
zat gizi dan serat dengan sindrom metabolik
Sebaran contoh berdasarkan konsumsi pangan spesifik
Sebaran contoh berdasarkan hubungan tingkat aktivitas fisik dengan
sindrom metabolik
Hasil uji normalitas data aktivitas fisik
Perbedaan nilai rata-rata aktivitas fisik total dan pekerjaan rumah
Perbedaan aktivitas kerja, transportasi dan aktivitas di waktu santai
Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit tidak menular orangtua
Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit tidak menular ayah
Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit tidak menular ibu
Faktor risiko sindrom metabolik pada pekerja wanita

6
7
18
19
20
22
23
26
30
31
32
34
35
36
37
38
40
43
46
47
47
48
49
50
51
52

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran faktor-faktor risiko sindrom metabolik
2 Sebaran contoh berdasarkan divisi pekerjaan
3 Sebaran contoh berdasarkan tingkat aktivitas fisik

15
31
44

DAFTAR LAMPIRAN
1 Uji Pearson antara indeks massa tubuh, lingkar pinggang, lingkar pinggul
dan rasio lingkar pinggang pinggul
2 Surat persetujuan (informed consent) responden

61
62

v

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu faktor yang menentukan
keberhasilan pembangunan. Salah satu SDM utama saat ini adalah pekerja wanita
yang persentasenya terus meningkat setiap tahun yang pada tahun 2009 sebesar
46.68% menjadi 48.44% pada tahun 2011 (BPS 2011). Mereka bekerja hampir di
semua sektor (Kemenkes 2012) dan sebagian besarnya bekerja di sektor usaha
nonpertanian (BAPPENAS 2010). Peningkatan ini tidak hanya memberikan hasil
positif yaitu meningkatnya tenaga produktif tetapi juga menjadi sebuah tantangan
dalam upaya peningkatan kualitas pekerja terutama dalam bidang kesehatan.
Penelitian sebelumnya terhadap pekerja wanita di pabrik garmen menunjukkan
bahwa sebanyak 26.6% pekerja mengalami obesitas (Nuraieni 2007). Penelitian
lainnya di Indonesia menunjukkan bahwa sebanyak 29.1% buruh mengalami
overweight dan obesitas (Erliyani 2012). Prevalensi obese yang meningkat
cenderung diikuti dengan meningkatnya prevalensi sindrom metabolik (SM)
(Cameron et al. 2004, Dwipayana et al. 2011). Masalah ini perlu menjadi perhatian
karena peran fisiologis wanita seperti melahirkan dan adanya keterkaitan antara
kesehatan ibu dengan kesehatan anak yang nanti akan dikandungnya (Ramos and
Olden 2008, Siega-Riz 2012).
SM merupakan sekelompok faktor risiko penyakit jantung yang terdiri atas
obesitas sentral, peningkatan kadar trigliserida (TG) dan glukosa darah puasa
(GDP), penurunan kadar kolesterol high density lipoprotein (HDL) dan hipertensi.
Sebanyak 20%-25% dari populasi dewasa di dunia diperkirakan menderita SM dan
berisiko 2 kali lebih tinggi untuk mengalami kematian akibat serangan jantung atau
strok dan 3 kali lebih tinggi untuk mengalami serangan jantung atau strok
dibandingkan dengan yang tidak menderita SM. Penderita SM juga berisiko 5 kali
lebih tinggi untuk mengalami diabetes Tipe 2. Hal ini akan mengakibatkan
peningkatan jumlah penderita diabetes yang merupakan salah satu penyakit kronik
yang paling umum terjadi di dunia dan penyebab ke-4 atau ke-5 kematian di negara
maju. Selain itu, hiperglikemia dan perubahan kadar lipid darah (peningkatan kadar
TG dan penurunan kadar HDL) meningkatkan risiko terjadinya penyakit
kardiovaskular. Semakin banyak komponen SM yang ada pada diri seseorang maka
semakin tinggi pula kematian akibat penyakit kardiovaskular (IDF 2006). Penderita
SM juga dilaporkan mengalami keluhan artritis, radang paru dan sakit kronis
(Schultz and Edington 2009).
Penelitian terkait SM di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensinya
tergolong tinggi. Prevalensi SM pada kelompok lanjut usia di Jakarta yaitu sebesar
18.2% pada wanita dan 6.6% pada pria (Kamso 2007). Pada penelitian terhadap
pegawai negeri sipil (PNS) berusia 40-60 tahun di Kota Depok didapatkan
prevalensi sebesar 21.5% pada wanita (Anita 2009). Penelitian Dwipayana et al.
(2011) pada subyek dengan rata-rata usia 44.1±14.4 tahun diperoleh prevalensi SM
sebesar 20% pada wanita dan 16.6% pada pria.
Penyebab utama SM sangat kompleks tetapi resistensi insulin dan obesitas
sentral dianggap sebagai faktor penting dalam patogenesisnya (IDF 2006). Berbagai
faktor dapat berkontribusi dalam terjadinya SM yaitu usia, herediter, gaya hidup,

2

konsumsi pangan dan tingkat sosial ekonomi. Penelitian di Amerika Serikat
menunjukkan bahwa prevalensi SM pada populasi penduduk dewasa meningkat
seiring dengan bertambahnya usia. Prevalensi meningkat dari 6.7% pada kelompok
usia 20-29 tahun menjadi 43.5% pada kelompok usia 60-69 tahun (Ford 2002).
Hasil serupa juga ditemukan pada penelitian di Bali yakni prevalensi SM akan terus
meningkat dari usia 19 tahun (5.5%) dan mencapai puncaknya pada usia 60-69
tahun (26.0%) (Dwipayana et al. 2011). Pada penelitian lain ditemukan adanya
keterkaitan antara faktor herediter dengan kejadian SM pada wanita usia subur
(WUS). Wanita yang memiliki ibu penderita diabetes berisiko 1.96 kali lebih tinggi
untuk mengalami SM (Ramos and Olden 2008). Gaya hidup yang tidak sehat seperti
kurangnya aktivitas fisik (Park et al. 2003, Orho-Melander 2006, Kamso 2007)
serta faktor konsumsi pangan seperti asupan karbohidrat (Park et al. 2003, Dewi
2009, Sargowo dan Andarini 2011), protein (Dewi 2009), lemak (Dewi 2009,
Sargowo dan Andarini 2011) dan energi yang tinggi (Sargowo dan Andarini 2011)
juga berpengaruh pada peningkatan risiko SM. Sementara itu, dari hasil review
Galisteo et al. (2008) diketahui bahwa konsumsi serat dalam jumlah cukup dapat
menurunkan risiko SM karena terbukti mengurangi peningkatan berat badan (BB),
dislipidemia dan hipertensi serta memperbaiki sensitivitas insulin. Selain itu, wanita
dengan tingkat pendidikan dan pendapatan per kapita yang rendah berisiko lebih
tinggi untuk menderita SM (Park et al. 2003, Carnethon et al. 2004).
SM tidak hanya berdampak negatif pada bidang kesehatan tetapi juga pada
bidang ekonomi. Studi yang dilakukan terhadap 3789 penduduk lanjut usia untuk
mengukur total biaya berobat selama 10 tahun menunjukkan bahwa total biaya pada
penderita SM 20% lebih tinggi (Curtis et al. 2007). Penelitian pada pekerja pabrik
di Amerika Serikat juga menunjukkan hasil serupa dimana total biaya perawatan
kesehatan dan biaya pembelian obat per tahun penderita SM lebih tinggi daripada
pekerja yang tidak menderita sindrom tersebut (Schultz and Edington 2009). SM
tidak hanya meningkatkan pengeluaran biaya kesehatan tetapi juga dapat
mempengaruhi produktivitas kerja karena penderita SM memiliki total hari absen
yang lebih tinggi (Burton et al. 2008).
Berdasarkan hasil uraian di atas, maka perlu dilakukan pengidentifikasian
individu yang mengalami SM agar intervensi gaya hidup maupun perawatan dapat
dilakukan sedini mungkin (IDF 2006). Penelitian mengenai SM telah banyak
dilakukan di Indonesia tetapi penelitian yang berfokus pada pekerja wanita masih
jarang dilakukan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengidentifikasi faktorfaktor risiko SM pada pekerja wanita di Kota Bogor.

Rumusan Masalah
Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan persentase penduduk usia kerja terutama pada pekerja wanita yakni
dari 46.68% pada tahun 2009 menjadi 48.44% pada tahun 2011. Dari data Survei
Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) diketahui bahwa status pekerjaan utama
yang tertinggi dari penduduk usia 15 tahun ke atas adalah buruh, karyawan atau
pegawai. Sebagian besar pekerja tersebut memiliki tingkat pendidikan rendah dan
lingkungan tempat tinggal dengan sanitasi yang rendah sehingga rentan mengalami
masalah kesehatan (Kemenkes 2012).

3

Laporan Riskesdas (2008) menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran
penyebab kematian pada semua umur, dari penyakit menular ke penyakit tidak
menular (PTM) dimana penyebab kematian utama untuk penduduk usia 5 tahun ke
atas adalah strok. Salah satu penyakit yang dapat menyebabkan strok adalah SM
yang prevalensinya di Indonesia mulai meningkat.
Berbagai penelitian telah dilakukan di Indonesia terkait SM dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya tetapi penelitian mengenai faktor-faktor risikonya,
khususnya pada pekerja wanita, masih jarang dilakukan. Oleh karena itu, dapat
dirumuskan masalah pada penelitian ini yaitu apa saja faktor-faktor risiko SM pada
pekerja wanita.

Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor
risiko SM pada pekerja wanita.
Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi kejadian SM.
2. Mengidentifikasi karakteristik pekerja wanita (divisi pekerjaan, lama kerja, besar
upah, usia, tingkat pendidikan, besar keluarga dan pendapatan per kapita)
3. Menganalisis status gizi pekerja wanita.
4. Menganalisis kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol pada pekerja wanita
5. Menganalisis konsumsi pangan (kecukupan asupan energi, zat gizi dan serat
pangan serta frekuensi konsumsi pangan spesifik) pekerja wanita.
6. Menganalisis tingkat aktivitas fisik pekerja wanita.
7. Menganalisis riwayat PTM orang tua pekerja wanita.
8. Menganalisis faktor risiko SM pada pekerja wanita.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi umum mengenai
faktor-faktor yang berkaitan dengan peningkatan atau penurunan risiko SM
sehingga menjadi masukan dalam usaha pencegahan penyakit tersebut. Bagi
perusahaan, penelitian ini dapat membantu dalam upaya perbaikan dan peningkatan
kesehatan pekerja sehingga dapat mencegah kerugian ekonomi akibat penurunan
produktivitas. Bagi pemerintah, hal ini dapat menjadi sumbangan dalam membantu
program untuk menurunkan penyakit tidak menular terutama di kalangan pekerja
wanita.

4

TINJAUAN PUSTAKA
Masalah Kesehatan pada Pekerja Wanita
Penelitian terhadap pekerja wanita industri tekstil menemukan bahwa yang
berstatus obesitas yaitu sebesar 26.6% (Nuraieni 2007). Penelitian lainnya pada
buruh pabrik rokok menunjukkan bahwa prevalensi buruh dengan status gizi
overweight dan obese yaitu sebesar 29.1% dan yang masuk dalam kategori
prehipertensi adalah sebesar 7.3%, hipertensi stadium 1 sebesar 7.3% dan hipertensi
stadium 2 sebesar 3.6%. Hal ini mungkin diakibatkan oleh gaya hidup buruh yang
tidak sehat dimana lebih dari separuh buruh yang diteliti (65.5%) tidak pernah
berolahraga, memiliki tingkat aktivitas yang ringan dan memiliki pola konsumsi
yang tidak teratur (Erliyani 2012). Masalah kesehatan yaitu obesitas dan hipertensi
yang ditemukan pada buruh wanita perlu menjadi perhatian karena peran fisiologis
wanita untuk melahirkan dan adanya keterkaitan antara kesehatan ibu dan anak
yang dikandungnya (Ramos and Olden 2008, Siega-Riz 2012). Selain itu, masalah
kesehatan yang terjadi pada pekerja wanita ini akan mengakibatkan penurunan
intelektualitas dan produktivitas. Hal ini akan mempengaruhi kualitas SDM dan
keberhasilan pembangunan nasional (Kemenkes 2012). Prevalensi obesitas yang
meningkat cenderung diikuti dengan semakin meningkatnya prevalensi SM
(Cameron et al. 2004, Dwipayana et al. 2011). Selain itu, hipertensi yang ditemukan
pada buruh juga merupakan salah satu komponen SM (IDF 2006).
Disamping masalah kesehatan, tingkat pendidikan pekerja wanita Indonesia
juga masih rendah. Data BPS tahun 2010 menunjukkan bahwa terdapat 50.37%
dengan tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) ke bawah. Tingkat pendidikan yang
rendah ini akan berpengaruh terhadap pengetahuan mengenai kesehatan dan gizi
para pekerja tersebut. Kebanyakan dari pekerja ini juga tinggal di pemukiman
dengan sanitasi yang kurang sehingga mereka rentan mengalami penyakit infeksi
kronis seperti malaria, tuberkulosis dan kecacingan (Kemenkes 2012).

Sindrom Metabolik
SM merupakan sekelompok faktor risiko penyakit jantung yang terdiri atas
obesitas sentral, peningkatan kadar TG dan GDP, penurunan kadar HDL dan
hipertensi (IDF 2006). SM disebut juga sebagai sindrom X atau sindrom resistensi
insulin (Champe et al. 2005). SM biasanya baru disadari pada usia pertengahan
(Mahan and Escott-Stump 2008). Penderita SM berisiko tinggi mengalami diabetes
Tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler (IDF 2006, Champe et al. 2005) serta berbagai
gangguan kesehatan lainnya seperti artritis, cholesterol gallstones, fatty liver,
polycystic ovary syndrome, radang paru, gangguan tidur dan beberapa jenis kanker
(Eckel et al. 2005, Schultz and Edington 2009).
Prevalensi SM di dunia khususnya di Indonesia semakin meningkat. Pada
tahun 2000, prevalensi SM pada kelompok lanjut usia di Jakarta yaitu sebesar
18.2% pada wanita dan 6.6% pada pria (Kamso 2007). Pada penelitian di Depok
terhadap PNS berusia 40-60 tahun didapatkan prevalensi SM sebesar 21.5% pada
wanita dan 26.8% pada pria (Anita 2009) sedangkan pada penelitian Dwipayana et

5

al. (2011) pada subyek dengan rata-rata usia 44 tahun diperoleh prevalensi sebesar
20% pada wanita dan 16.6% pada pria.
Kriteria Sindrom Metabolik
Sejumlah ahli telah mengembangkan kriteria klinis untuk SM. Kriteria yang
sering digunakan di dunia adalah kriteria World Health Organization (WHO),
European Group for the Study of Insulin Resistance (EGIR) dan the National
Cholesterol Education program – Third Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP
III). Semua ahli dari ketiga organisasi menyepakati bahwa komponen utama SM
terdiri atas intoleransi glukosa, obesitas, hipertensi dan dislipidemia tetapi berbeda
mengenai detail dan kriterianya (Eckel et al. 2005). Ketiga kriteria klinis ini dapat
dilihat pada Tabel 1. WHO dan EGIR memasukkan intoleransi glukosa atau
resistensi insulin sebagai komponen utama SM sedangkan NCEP-ATP III tidak
memasukkan kriteria tersebut. Selain itu, ambang batas (cut-off) untuk setiap
komponen dan cara menggabungkan kriteria tersebut dalam diagnosa SM.
Kriteria WHO, EGIR dan NCEP-ATP III sulit digunakan atau memberikan
hasil yang berbeda dalam pengidentifikasian SM dalam praktik klinis. Hal ini
disebabkan oleh proses diagnosa intoleransi glukosa atau resistensi insulin yang
memerlukan pemeriksaan rumit seperti hyperinsulinaemic euglycaemic clamp
technique yang sulit digunakan pada penelitian epidemiologi. Selain itu, kriteria
overweight dan obese yang dikeluarkan oleh ketiga organisasi tersebut tidak cocok
untuk populasi Asia. Penduduk Asia yang memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT)
antara 23-24 kg/m2 memiliki besar risiko yang sama untuk menderita diabetes Tipe
2, hipertensi dan dislipidemia dengan penduduk Eropa dan Amerika yang memiliki
IMT 25-29.9 kg/m2. Perbedaan kriteria ini menyebabkan kesulitan dalam
membandingkan data studi-studi terkait SM di berbagai negara (Eckel et al. 2005).
Oleh karena itu, International Diabetes Federation (IDF) mengeluarkan kriteria
baru yang memudahkan dalam pendiagnosaan SM (IDF 2006).
IDF mengeluarkan kriteria SM yang terdiri atas obesitas sentral, peningkatan
kadar TG (≥ 150 mg/dl), penurunan kadar HDL (< 40 mg/dl untuk pria dan < 50
mg/dl untuk wanita) atau sedang dalam perawatan gangguan lipid, hipertensi (TD
sistolik ≥ 130 mmHg atau TD diastolik ≥ 85 mmHg) dan hiperglikemia (kadar GDP
≥ 100 mg/dl) atau menderita diabetes Tipe 2. Perbedaan kriteria ini dengan kriteria
lainnya adalah penetapan obesitas sentral sebagai komponen yang harus ada dalam
diagnosa SM. Seseorang didiagnosa SM jika menderita obesitas sentral disertai 2
dari 4 komponen SM yang telah disebutkan sebelumnya. Obesitas sentral
ditentukan melalui pengukuran lingkar pinggang dengan cut off yang berbeda untuk
tiap jenis kelamin dan etnis (IDF 2006). IDF menetapkan jika IMT lebih dari 30
kg/m2 maka seseorang diasumsikan mengalami obesitas sentral sehingga
pengukuran lingkar pinggang tidak perlu dilakukan. Pada Tabel 2 disajikan ukuran
lingkar pinggang berdasarkan etnis atau negara. Pada tahun 2009, IDF dan
American Health Association/National Heart, Lung and Blood Institute
(AHA/NHLBI) menyepakati bahwa obesitas sentral tidaklah menjadi faktor yang
harus ada untuk menentukan diagnosis SM tetapi hal ini merupakan salah satu dari
5 kriteria SM sehingga munculnya 3 dari 5 komponen tersebut merupakan syarat
untuk menentukan apakah seseorang menderita SM atau tidak (Alberti et al. 2009).

6

Tabel 1 Kriteria sindrom metabolik WHO, EGIR dan NCEP-ATP III

Kadar GDP

WHO
(1999)
Intoleransi glukosa,
gangguan toleransi
glukosa atau
diabetes dan/atau
resistensi insulin
disertai 2 atau lebih
gejala di bawah ini:

EGIR
(1999)
Resistensi insulin
(hiperinsulinemia –
nilai insulin puasa >
25% nilai normal)
atau kadar GDP ≥
6.1 mmol/l (≥ 110
mg/dl) tetapi tidak
menderita diabetes
≥ 140/90 mmHg
atau sedang dalam
perawatan hipertensi
> 2.0 mmol/l (178
mg/dl)

Tekanan darah
(TD)

≥ 140/90 mmHg

Trigliserida (TG)

Kadar TG plasma
meningkat:
≥ 1.7 mmol/l (150
mg/dl)

Kolesterol HDL

Pria: < 0.9 mmol/l
(35 mg/dl)
Wanita: < 1.0
mmol/l (39 mg/dl)

< 1.0 mmol/l (39
mg/dl)

Obesitas

Pria: rasio pinggangpinggul > 0.90
Wanita: rasio
pinggang-pinggul >
0.85
dan/atau IMT > 30
kg/m2
Tingkat ekskresi
albumin urin ≥ 20
µg/ menit atau rasio
albumin: kreatinin ≥
30 mg/g

Pria: lingkar
pinggang ≥ 94 cm
Wanita: lingkar
pinggang ≥ 80 cm

Mikroalbuminuria

NCEP-ATP III
(2001)
≥ 5.6 mmol/l
(100 mg/dl)

≥ 130/85 mmHg
≥ 1.7 mmol/l
(150 mg/dl)

Pria: < 1.03
mmol/l (40
mg/dl)
Wanita: < 1.29
mmol/l (50
mg/dl)
Pria: lingkar
pinggang > 102
cm
Wanita: lingkar
pinggang > 88
cm

Patogenesis Sindrom Metabolik
Faktor penyebab SM masih menjadi perdebatan diantara para ahli. Namun,
diperkirakan bahwa resistensi insulin dan obesitas sentral berperan penting dalam
terjadinya SM (IDF 2006). Faktor-faktor lain yang terlibat dalam terjadinya SM
antara lain genetik, aktivitas fisik yang rendah, penuaan, status proinflamasi dan
gangguan hormon (Alberti et al. 2006).
Resistensi insulin adalah gangguan dalam metabolisme glukosa dimana
terjadi resistensi terhadap insulin yang menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia
atau sekresi insulin berlebih oleh tubuh dengan tujuan mengatur kadar gula darah
(Mahan and Escott-Stump 2008). Resistensi insulin berkaitan erat dengan
dislipidemia aterogenik dan status proinfalamasi (Alberti et al. 2006).

7

Tabel 2 Ukuran lingkar pinggang berdasarkan etnis
Etnis/negara
Eropa
Asia Selatan
Cina
Jepang
Amerika Selatan dan Amerika Tengah
Sub-Sahara Afrika
Timur Tengah dan Mediterania Timur

Lingkar pinggang
Pria: ≥ 94 cm
Wanita: ≥ 80 cm
Pria: ≥ 90 cm
Wanita: ≥ 80 cm
Pria: ≥ 90 cm
Wanita: ≥ 80 cm
Pria: ≥ 85 cm
Wanita: ≥ 90 cm
Ukuran lingkar pinggang untuk Asia Selatan
Ukuran lingkar pinggang untuk Eropa
Ukuran lingkar pinggang untuk Eropa

Obesitas berkaitan dengan resistensi insulin dan SM. Obesitas berperan dalam
terjadinya hipertensi, kadar kolesterol serum yang tinggi, kadar HDL yang rendah
dan hiperglikemia. Obesitas juga berhubungan dengan risiko tinggi penyakit
kardiovaskuler. Risiko terjadinya berbagai gangguan kesehatan seperti diabetes
Tipe 2, penyakit jantung koroner (PJK) dan kanker terbukti meningkat seiring
dengan meningkatnya IMT. Namun, penumpukan lemak tubuh di bagian perut,
yang diketahui dengan pengukuran lingkar pinggang, menjadi indikator penting
dalam SM (IDF 2006).
Patogenesis SM dengan faktor utama yaitu resistensi insulin dan obesitas
sentral dapat diuraikan sebagai berikut. Asam lemak bebas dilepaskan secara
berlebihan sebagai akibat jaringan adiposa berlebih di sekitar perut. Di hati, asam
lemak bebas menyebabkan terjadinya peningkatan produksi glukosa, TG dan
sekresi very low density lipoprotein (VLDL). Selain itu, terjadi gangguan
lipid/lipoprotein yaitu penurunan kadar kolesterol HDL dan peningkatan densitas
low density lipoprotein (LDL). Asam lemak bebas akan menyebabkan penurunan
sensitivitas insulin di otot dengan cara menghambat penyerapan insulin. Hal ini
mengakibatkan terjadinya penurunan sintesis glikogen dan peningkatan akumulasi
TG. Peningkatan kadar glukosa dan asam lemak dalam sirkulasi darah akan
meningkatkan sekresi insulin dari pankreas sehingga menyebabkan
hiperinsulinemia. Hiperinsulinemia akan menyebabkan peningkatan reabsorpsi
sodium, peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik dan berperan dalam terjadinya
hipertensi dengan semakin meningkatnya kadar asam lemak dalam sirkulasi darah
(Eckel et al. 2005).
Resistensi insulin yang terjadi akibat pelepasan asam lemak bebas yang
berlebihan berdampak langsung pada status proinflamasi. Peningkatan interleukin6 (IL-6) dan tumor necrosis factor alfa (TNFα), yang dihasilkan oleh sel-sel di
jaringan adiposa yaitu adiposit dan monosit, menyebabkan terjadinya resistensi
insulin dan lipolisis cadangan TG jaringan adiposa. Konsentrasi IL-6 dan berbagai
jenis sitokin lainnya dalam darah juga meningkat sehingga meningkatkan produksi
glukosa di hati, produksi VLDL oleh hati dan resistensi insulin di otot. Sitokinsitokin dan asam lemak bebas menyebabkan peningkatan produksi fibrinogen dan
plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) oleh hati untuk mengimbangi produksi
berlebih PAI-1 oleh jaringan adiposa. Hal ini menimbulkan terjadinya status pro-

8

trombotik. Penurunan jumlah adinopektin juga berkaitan dengan SM dan mungkin
berkontribusi dalam patogenesisnya (Eckel et al. 2005).
Faktor-Faktor Risiko Sindrom Metabolik
SM umum terjadi pada individu yang rentan dari segi genetik (Eckel et al.
2005). Namun, beberapa faktor lain seperti usia, etnis, gaya hidup, konsumsi
pangan dan tingkat sosial ekonomi juga dapat berpengaruh terhadap kejadian SM.
a. Usia
Pada penelitian sebelumnya di Bali, diketahui bahwa terdapat hubungan
antara usia dengan SM. Risiko SM akan semakin tinggi seiring dengan
bertambahnya usia. Semakin tua usia seseorang maka semakin banyak pula
faktor risiko koroner dan semakin besar kemungkinan mengalami resistensi
insulin (Dwipayana et al. 2011).
b. Divisi pekerjaan
Penelitian yang dilakukan pada pekerja di Amerika Serikat menunjukkan
bahwa orang yang bekerja di bidang transportasi berisiko tinggi mengalami SM.
Hal ini mungkin diakibatkan oleh jadwal kerja yang tidak teratur, gangguan tidur
dan stres. Meskipun penelitian tersebut tidak dapat membuktikan bahwa
pekerjaan administrasi berhubungan dengan SM tetapi prevalensi SM pada
pekerja di divisi tersebut lebih tinggi (25.2%) daripada operator tekstil (24.2%)
(Davila et al. 2010).
c. Lama kerja
Penelitian yang dilakukan oleh Sudarminingsih (2007) menunjukkan bahwa
terdapat kaitan antara lama kerja dengan SM. Pekerja tambang dengan masa
kerja yang lama (≥ 10 tahun) berisiko 3.2 kali lebih tinggi menderita SM daripada
pekerja dengan lama kerja di bawah 10 tahun. Hal ini disebabkan oleh
lingkungan dan lokasi kerja yang sepi yang dapat memicu perubahan perilaku ke
arah yang negatif seperti merokok, konsumsi alkohol dan suka mengemil.
d. Herediter
Pada penelitian di Amerika Serikat, ditemukan adanya keterkaitan faktor
herediter dengan SM pada WUS. Wanita yang memiliki ibu penderita diabetes
berisiko dua kali menderita SM daripada wanita yang tidak memiliki ibu dengan
riwayat diabetes. Mereka cenderung mengalami obesitas sentral, memiliki kadar
glukosa darah puasa yang tinggi dan kadar kolesterol HDL yang rendah (Ramos
and Olden 2008).
e. Aktivitas fisik
Berbagai studi epidemiologi membuktikan bahwa aktivitas fisik harian
dengan intensitas sedang hingga tinggi dapat mencegah penyakit kronis dan
kematian dini. American Heart Association (AHA) menyarankan agar orang
dewasa usia 18-65 tahun melakukan aktivitas fisik dengan intensitas sedang
minimal 30 menit dan minimal 5 hari dalam seminggu atau dengan intensitas
tinggi minimal 20 menit 3 hari seminggu (AHA 2007). Hal ini didukung oleh
penelitian Hernandez et al. (2009) yang menunjukkan bahwa prevalensi SM dan
komponen SM ditemukan lebih rendah pada pria dan wanita yang melakukan
aktivitas fisik minimal 30 menit setiap hari dengan berbagai tingkat intensitas
dibandingkan dengan yang melakukan aktivitas fisik kurang dari 30 menit per
hari. Pria yang melakukan aktivitas fisik sesuai dengan yang direkomendasikan
memiliki prevalensi HDL abnormal yang lebih rendah dan lingkar pinggang

9

yang lebih kecil. Prevalensi abnormalitas TG, lingkar pinggang yang lebar dan
SM juga ditemukan lebih rendah pada wanita yang melakukan aktivitas fisik
minimal 30 menit sehari. Wanita dengan aktivitas kerja minimal 3 jam per hari
juga dilaporkan memiliki risiko menderita SM yang lebih rendah. Aktivitas fisik
30 menit dengan berbagai tingkat intensitas setara dengan pengeluaran energi
rata-rata sebesar 5.3 MET/hari, sama dengan melakukan lari selama 34 menit per
hari dengan kecepatan 10 menit/mil. Aktivitas kerja minimal 3 jam/hari setara
dengan pengeluaran energi rata-rata sebesar 10.8 MET/hari, sama dengan
melakukan jalan santai dengan kecepatan 2.5 m/jam atau mengangkat barang
ringan. Dari penelitian di Vietnam diketahui bahwa remaja yang menderita SM
meluangkan lebih sedikit waktu untuk melakukan aktivitas fisik dibandingkan
dengan teman sebayanya yang tidak menderita SM (Nguyen et al. 2010).
Efek menguntungkan dari aktivitas fisik terhadap SM dapat dijelaskan
melalui pengaruhnya terhadap komposisi tubuh. Otot-otot rangka merupakan
jaringan sensitif insulin di tubuh. Aktivitas fisik meningkatkan sensitivitas
insulin otot rangka dan menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
transpor glukosa di sel-sel otot dan memperbaiki mikrosirkulasi perifer (Nguyen
et al. 2010).
f. Asupan zat gizi, serat dan konsumsi pangan spesifik
 Asupan energi dan zat gizi
Asupan energi dan zat gizi menjadi salah satu faktor penentu terjadinya
obesitas yang selanjutnya dapat berubah menjadi SM. Dari studi sebelumnya
diketahui bahwa asupan zat gizi seperti karbohidrat, lemak (Marliyati et al.
2008, Sargowo dan Andarini 2011), protein (Dewi 2009) dan natrium (Aburto
et al. 2013, Rhee et al. 2014) berhubungan dengan SM. Kelebihan asupan
karbohidrat (KH) dan lemak akan disimpan di dalam sel-sel lemak. Jika
kondisi ini terus berlangsung tanpa diimbangi dengan pengeluaran energi
yang sesuai akan mengakibatkan terjadinya obesitas yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler (Sargowo dan
Andarini 2011).
Penelitian Marliyati et al. (2008) menunjukkan bahwa semakin tinggi
konsumsi energi, lemak total (> 30% total energi) dan KH maka kadar
kolesterol total dan TG akan semakin tinggi dan kadar HDL akan semakin
rendah. Hal ini disebabkan oleh konsumsi pangan sumber lemak baik nabati
maupun hewani dan konsumsi pangan sumber KH dalam jumlah berlebih.
Diet tinggi kalori akan merangsang VLDL di hati sehingga menyebabkan
terjadinya peningkatan TG dan LDL serta penurunan HDL. Selain itu, diet
lemak jenuh yang tinggi (> 10% total energi) dan kolesterol yang tinggi (≥
300 mg) akan mengaktifkan reseptor LDL sehingga meningkatkan kadar LDL
dan TG dalam darah (Sargowo dan Andarini 2011). Penelitian di Denpasar
pada kelompok lanjut usia menunjukkan bahwa konsumsi protein yang tinggi
juga menjadi salah satu faktor risiko SM (Dewi 2009). Peningkatan konsumsi
protein akan diikuti dengan penurunan kadar HDL yang diduga sebagai akibat
dari konsumsi pangan hewani yang menjadi sumber protein, asam lemak
jenuh dan kolesterol (Marliyati et al. 2008).
Dari penelitian sebelumnya diketahui bahwa asupan natrium dari
penderita SM secara signifikan lebih tinggi daripada yang tidak menderita SM

10

(Rhee et al. 2014). Asupan natrium yang tinggi berhubungan dengan
hipertensi yang merupakan salah satu komponen SM. Hasil penelitian Aburto
et al (2013) menunjukkan bahwa pengurangan asupan natrium berkaitan
dengan penurunan TD sistolik dan diastolik.
 Serat pangan
Serat pangan telah terbukti memiliki efek positif terhadap kesehatan.
Konsumsi serat berhubungan terbalik dengan berat badan (BB) dan lemak
tubuh karena efeknya terhadap rasa lapar dan kenyang. Makanan yang
mengandung serat tinggi dapat menimbulkan rasa kenyang sehingga
mengurangi asupan energi. Serat dapat menunda pengosongan lambung
dan/atau absorpsi usus. Di usus halus, serat menumpulkan respon glikemik
dan insulinemik yang terjadi setelah makan sehingga mengurangi laju
terjadinya rasa lapar dan konsumi energi. Serat juga mempengaruhi sekresi
hormon-hormon usus atau peptida seperti kolesitokinin atau glucagon-like
peptide-1 (GLP-1). Kolesitokinin disekresi dari sel-sel usus halus saat
makanan ditelan dan berperan dalam stimulasi sekresi pankeas, pengaturan
pengosongan lambung dan perangsang utama rasa lapar sedangkan peptida
GLP-1 berperan dalam pengontrolan nafsu makan, konsumsi pangan dan
pengaturan BB.
Serat pangan dapat menurunkan kadar glukosa setelah makan dan
memperbaiki sensitivitas insulin. Serat juga meningkatkan penyerapan
glukosa di otot rangka dan memperbaiki sensitivitas insulin dengan
meningkatkan viskositas kandungan perut dan menghambat pencernaan KH
dan absorpsi zat gizi makro. Studi mengenai efek pemberian suplementasi
psyllium pada pasien hipertensi terbukti efektif dalam mencegah resistensi
insulin dengan meningkatkan kandungan insulin-responsive glucose
transporter type 4 (GLUT -4). Hal ini mungkin disebabkan oleh fermentasi
serat larut air di usus oleh bakteri anaerob. Fermentasi serat ini menghasilkan
asam lemak rantai pendek seperti asam propionat dan butirat yang dapat
meningkatkan jumlah GLUT-4 di adiposit dengan merangsang peroxisome
proliferator-activated receptor (PPAR) ɤ.
Serat memiliki efek hipokolesterolemik karena dapat meningkatkan bile
acid loss. Serat dapat menurunkan kolesterol hati karena kolesterol dialihkan
untuk sintesis asam empedu sehingga tersisa kolesterol dalam jumlah kecil
untuk diangkut ke hati melalui chylomicron. Serat seperti pysllium mencegah
absorpsi TG dan gula dari usus halus. Selain itu, efek serat pangan terhadap
penurunan indeks glikemik (IG) berperan dalam penurunan kadar lipid
plasma.
Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa konsumsi serat pangan
berhubungan terbalik dengan TD dan berkontribusi dalam pencegahan
hipertensi. Hal ini mungkin disebabkan oleh efek serat dalam pencegahan
resistensi insulin dan hiperinsulinemia yang diduga menjadi penyebab
hipertensi. Serat pangan juga terbukti efektif menurunkan BB yang
berkontribusi penting dalam penanggulangan hipertensi (Galisteo et al. 2008).
 Konsumsi pangan spesifik

11

Dari hasil review yang dilakukan oleh Baxter et al (2006) diketahui bahwa
konsumsi serealia yang telah diproses, daging, susu dan produk olahannya
berhubungan dengan SM. Serealia yang telah diproses memiliki IG tinggi
sehingga jika dikonsumsi dalam jumlah berlebih dapat meningkatkan risiko
SM. Konsumsi daging, terutama daging merah dan daging olahan dapat
meningkatkan risiko terjadinya hiperglikemia dan obesitas sentral. Selain itu,
seringnya mengonsumsi makanan yang digoreng dapat meningkatkan risiko
obesitas sentral dan hipertensi (Orea et al. 2003, Lutsey et al. 2008).
Sementara itu, prevalensi SM menurun pada orang yang sering mengonsumsi
buah dan sayur, ikan serta susu dan produk olahannya. Kalsium serta
kandungan lainnya yang belum teridentifikasi dalam susu dapat melindungi
seseorang dari hipertensi dan hiperlidemia (Baxter et al. 2006)
Konsumsi minuman manis berkaitan dengan SM. Frekuensi konsumsi
minuman manis seperti soft drink, jus kemasan dan minuman energi dalam
jumlah tinggi dan sering merupakan faktor yang berkontribusi secara
signifikan terhadap peningkatan BB, risiko diabetes tipe 2 dan penyakit
jantung. Hal ini disebabkan oleh kandungan gula yang tinggi dalam jenis
minuman ini yang berkontribusi dalam asupan energi. Konsumsi minuman
manis dapat mengakibatkan peningkatan metabolisme fruktosa sehingga
memicu terjadinya resistensi insulin, gangguan fungsi sel beta, peningkatan
TD, obesitas sentral dan dislipidemia aterogenik (Malik et al. 2010).
g. Merokok
Merokok berhubungan dengan SM dikarenakan efek merokok pada resistensi
insulin (Park et al. 2003). Nikotin serta bahan kimia yang ada dalam rokok
menyebabkan penurunan sensitivitas insulin. Setelah dikonsumsi, nikotin akan
diangkut ke dalam darah dengan cepat dan dipecah menjadi kotinin. Nikotin
memiliki masa paruh yang pendek yaitu 2 jam sedangkan kotinin memiliki masa
paruh hingga 20 jam. Kotinin akan berada dalam darah hingga 48 jam. Nikotin
yang dihirup akan mencapai otak dalam waktu 15 detik dan konsentrasinya di
jaringan otak akan tetap tinggi selama 2 jam. Nikotin akan meningkatkan
aktivitas reseptor nicotinic acetylcholine dan memicu peningkatan kadar hormon
katekolamin yang meliputi noradrenalin dan adrenalin. Pelepasan adrenalin akan
memicu peningkatan detak jantung, TD, pernafasan serta kadar glukosa darah.
Katekolamin akan menganggu kerja insulin dengan cara mengganggu produksi
insulin serta aktivitas dan sintesis protein yang mengangkut glukosa menuju selsel. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya resistensi insulin (Targher 2005).
Konsumsi nikotin memicu peningkatan pemecahan lemak (lipolisis) dan
peningkatan kadar asam lemak bebas di dalam darah. Hal ini disebabkan oleh
aktivasi adrenalin di otak dan reseptor permukaan sel lipolitik di jaringan lemak.
Peningkatan kadar asam lemak akan mempengaruhi sensitivitas insulin dan
sekresi insulin melalui efek langsungnya di hati, pankreas dan otot (Targher
2005).
Konsumsi rokok dalam jangka waktu lama akan berakibat langsung terhadap
distribusi lemak tubuh. Perokok berat akan menderita gangguan fungsi di
hipotalamus yang berkaitan dengan peningkatan BB dan obesitas. Hal ini

12

berperan penting dalam penentuan akumulasi lemak di sekitar organ perut.
Selain itu, hal ini menyebabkan seseorang berisiko tinggi mengalami resistensi
insulin dan gangguan toleransi glukosa (Targher 2005).
h. Kebiasaan konsumsi alkohol
Beberapa penelitian mengenai hubungan konsumsi alkohol dengan SM
menunjukkan hasil yang kontroversial. Sejumlah studi menunjukkan bahwa
konsumsi alkohol dalam jumlah ringan dan sedang berkaitan dengan prevalensi
SM yang rendah dalam kaitannya dengan kadar lipid darah, lingkar pinggang
dan GDP sedangkan studi lainnya gagal membuktikan hubungan ini. Penelitian
di Cina menunjukkan bahwa tidak terdapat keterkaitan antara konsumsi alkohol
dan prevalensi SM pada wanita. Namun, terdapat hubungan antara kedua
variabel tersebut pada pria yaitu prevalensi SM pada pria yang tidak
mengonsumsi alkohol adalah sebesar 29.0%, 25.9% pada konsumsi ringan (0.19.9 g/hari), 24.8% pada konsumsi sedang (10.0-29.9 g/hari), 28.7% pada
konsumsi berat (30.0-49.9 g/hari) dan 33.9% pada konsumsi parah (≥ 50 g/hari).
Konsumsi alkohol parah berkaitan dengan peningkatan risiko sebesar 53%. Pada
peminum bir, liquor dan campuran tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara konsumsi alkohol dengan SM. Pada peminum anggur, konsumsi dalam
jumlah tinggi berhubungan dengan peningkatan risiko hipertensi sebesar 54%.
Risiko tinggi peningkatan kadar TG dan obesitas sentral hanya terdeteksi pada
subyek pengonsumsi alkohol tingkat tinggi (Jin et al. 2011).
i. Tingkat sosial ekonomi
SM juga banyak ditemukan pada orang dengan tingkat pendidikan dan
pendapatan yang rendah (Park et al. 2003, Carnethon et al. 2004). Tingkat
pendidikan yang rendah seringkali berhubungan dengan penyakit kardiovasku