Pemetaan Zona Geomorfologi Dan Habitat Bentik Menggunakan Citra Worldview 2 Dengan Metode Obia Di Gugus Pulau Pari

PEMETAAN ZONA GEOMORFOLOGI DAN HABITAT
BENTIK MENGGUNAKAN CITRA WORLDVIEW-2 DENGAN
METODE OBIA DI GUGUS PULAU PARI

ARI ANGGORO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemetaan Zona
Geomorfologi dan Habitat Bentik Menggunakan Citra Worldview-2 dengan
Metode OBIA di Gugus Pulau Pari adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2015
Ari Anggoro
NIM C552120081

RINGKASAN
ARI ANGGORO. Pemetaan Zona Geomorfologi dan Habitat Bentik Menggunakan
Citra Worldview-2 dengan Metode OBIA di Gugus Pulau Pari. Dibimbing oleh
VINCENTIUS P SIREGAR dan SYAMSUL BAHRI AGUS.
Gugus Pulau Pari merupakan suatu wilayah yang memiliki zona
geomorfologi dan habitat bentik yang menempati wilayah di sekitar perairan laut
yang dangkal. Gugus pulau ini merupakan kumpulan pulau-pulau kecil yang secara
geomorfologi dibentuk oleh proses-proses laut dengan bentukan lahan yang cukup
bervariasi. Gugus pulau ini memiliki habitat bentik yang meliputi terumbu karang,
lamun, sponge, alga, pasir, sedimen, rubble dan rock (biotik dan abiotik). Informasi
mengenai zona geomorfologi dan habitat bentik penting untuk diketahui sehingga
dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Salah satu metode yang memungkinkan
untuk mengetahui informasi tersebut adalah dengan menggunakan teknologi
penginderaan jauh satelit. Peta zona geomorfologi dan habitat bentik digunakan
sebagai informasi dasar untuk perencanaan dan pengembangan suatu kawasan

menuju pemanfaatan yang optimal.
Penelitian ini bertujuan menganalisis kemampuan citra Worldview-2 pada
pemetaan zona geomorfologi dan habitat bentik menggunakan klasifikasi
multiskala dengan metode OBIA dan membandingkan akurasi pemetaan dengan
algoritma support vector machine metode OBIA dan piksel. Manfaat penelitian ini
diharapkan dapat digunakan menjadi bahan pertimbangan dalam pengelolaan
ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan.
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah pesisir Gugus Pulau Pari Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu. Survei lapangan dilakukan sebanyak tiga kali yaitu
pada bulan Juni 2013, Agustus 2013, dan Maret 2014. Bahan yang digunakan
adalah citra multispektral Worldview-2 akuisisi 28 Agustus 2012. Metode yang
digunakan terdiri dari metode transek foto kuadrat (identifikasi data lapangan),
koreksi atmosferik dan geometrik (pra-pengolahan citra Worldview-2), analisis
klaster (pengembangan skema klasifikasi habitat bentik), klasifikasi citra
mengunakan metode OBIA dan piksel, dan uji akurasi.
Metode OBIA diterapkan dengan teknik klasifikasi multiskala yang dibagi
menjadi 3 level yaitu reef level (level 1), zona geomorfologi (level 2), dan habitat
bentik (level 3). Klasifikasi multiskala diimplementasikan dengan perbedaan
besaran skala segmentasi pada algoritma multiresolution segmentation (MRS).
Skala segmentasi yang digunakan untuk setiap level 1 dan 2 masing-masing yaitu

MRS 150 dan MRS 100, sedangkan pada level 3 dengan optimasi parameter skala
masing-masing yaitu MRS 5, 25, 50, 75, 95.
Hasil uji akurasi metode OBIA menunjukkan akurasi keseluruhan level 1
sebesar 97%, level 2 sebesar 87%, dan level 3 sebesar 75%. Pendekatan SVM
diterapkan hanya pada level 3 dengan nilai optimum pada skala segmentasi 50.
Hasil uji akurasi keseluruhan metode piksel menunjukkan akurasi lebih rendah
dibandingkan metode OBIA yaitu sebesar 61%. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa metode OBIA dapat menjadi pilihan yang menjanjikan untuk pemetaan
geomorfologi dan habitat bentik.
Kata kunci: Gugus Pulau Pari, habitat bentik, OBIA, pemetaan, zona geomorfologi

SUMMARY
ARI ANGGORO. Object-based Image Analysis (OBIA) for benthic habitats and
geomorphic zones mapping using Worldview-2 imagery in Pari Island. Supervised
by VINCENTIUS P SIREGAR and SYAMSUL B AGUS.
Pari Islands is an area which has a geomorphic zones and benthic habitat
around the shallow waters. Pari Islands is a group of small islands that formed by
ocean processes with quite variation of landstructurs. Benthic habitats include coral
reefs, seagrass, sponges, algae, sand, sediment, rubble and rock (biotic and abiotic).
The information about geomorphic zones and benthic habitat were important to

know, that can be used for various necessary. A possible method to determine those
information were used satellite remote sensing technology. The map of geomorphic
zones and benthic habitats were used as basic information to plan and develope an
area towards the optimum utilization.
The aim of this research was to analyzed the ability of Worldview-2 imagery
in geomorphic zones and benthic habitat mapping using multiscale classifications
by OBIA methods also compare the accuracy of these mapping processes with
support vector machine algorithm for OBIA method and pixel. The benefits of this
research are expected to be used into consideration in the management of coral reef
ecosystems in a sustainable manner.
Research was conducted in Pari Islands of Kepulauan Seribu District on June
2013, August 2013, and March 2014. The material derived from Worldview-2
multispectral imagery, acquisition on August 28th 2012. Method consisted of
quadrat photo transect method (field data identification), atmospheric and
geometric correction (pre-processing Worldview-2 imagery), cluster analysis
(development of the benthic habitat classification scheme), image classification
method, OBIA and pixel, and accuration test.
OBIA method was applied to multiscale classification that divided into 3
levels i.e., reef level (level 1), geomorphic zones (level 2), and benthic habitats
(level 3). Multiscale used classification implemented by using different

segmentation class on multiresolution segmentation algorithm (MRS). The
segmentation scale was used for level 1 is MRS 150 and level 2 is MRS 100
respectively, while the optimum scale on level 3 are MRS 5, 25, 50, 75, 95.
The results showed that the overall accuracy on OBIA technique is about 97%
for level 1, 87% for level 2, and 75% for level 3. The SVM approach applied only
at level 3 with optimum value on the segmentation scale of 50. While the pixelbased showed the lower overall accuracy (about 61%). This research suggest that
the OBIA technique could be a promise approach for mapping benthic habitats and
geomorphic zones.
Keywords: benthic habitats, geomorphic zones, mapping, OBIA, Pari Islands

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PEMETAAN ZONA GEOMORFOLOGI DAN HABITAT

BENTIK MENGGUNAKAN CITRA WORLDVIEW-2 DENGAN
METODE OBIA DI GUGUS PULAU PARI

ARI ANGGORO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

vi

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Dedi Soedharma, DEA


Judul Tesis : Pemetaan Zona Geomorfologi dan Habitat Bentik Menggunakan
Citra Worldview-2 dengan Metode OBIA di Gugus Pulau Pari
Nama
: Ari Anggoro
NIM
: C552120081

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Vincentius P Siregar, DEA
Ketua

Dr Syamsul B Agus, SPi, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Teknologi Kelautan


Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MSc, Agr

Tanggal Ujian:
1 Juli 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini
adalah Pemetaan Zona Geomorfologi dan Habitat Bentik Menggunakan Citra
Wolrdview-2 dengan Metode OBIA di Gugus Pulau Pari.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Vincentius P Siregar, DEA
dan Dr Syamsul Bahri Agus, SPi, MSi selaku pembimbing, serta Bapak Prof Dr Ir
Dedi Soedharma, DEA yang telah banyak memberikan saran pada ujian tesis. Di

samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada ketua tim projek Bapak Dr Ir
Vincentius P Siregar, DEA pada penelitian unggulan strategis nasional dan
Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan Beasiswa Unggulan
DIKTI untuk melanjutkan jenjang pendidikan master di Institut Pertanian Bogor.
Ungkapan terima kasih disampaikan kepada Ayahanda Hamdan dan Ibunda
Patmawati atas segala limpahan kasih sayang dan doa yang diberikan kepada
penulis hingga dapat menyelesaikan studi. Kakak tercinta Aulia Fujina dan Yesi
Agustina, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir I Wayan Nurjana, MSc
selaku Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan dan Dr Ir Jonson Lumban
Gaol, MSi selaku Ketua Program Studi Teknologi Kelautan, seluruh dosen dan
tenaga administrasi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Dekan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor, Kementerian Pendidikan Nasional, Lembaga Penerbangan
dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang telah memberikan bantuan dan kerjasama
dalam menyelesaikan studi ini.
Penghargaan juga penulis sampaikan kepada tim survei lapangan yang telah
berpartisipasi membantu pengambilan data lapangan dan rekan-rekan seperjuangan
yang telah membantu selama penelitian, pengolahan data, dan penulisan tesis ini,
Romie Jhonnerie, Nurhalis Wahiddin, M. Syahdan, La Elson, Andi Achmadi,

Amelius Andi Mansawan, Rizki, Agnestecia Manuputti, yang telah banyak
membantu selama pendidikan.
Semoga tesis ini bermanfaat dan dimanfaatkan.

Bogor, Juli 2015
Ari Anggoro

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

xi


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Penelitian

1
1
4
4
4
5

METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Alat dan Bahan
Rancangan Survei Lapangan
Skema Klasifikasi
Pra Pengolahan Citra
Klasifikasi Citra
Uji Akurasi

6
7
8
9
10
12
13
16

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Ekosistem Terumbu Karang
Hasil Koreksi Atmosferik
Skema Klasifikasi Habitat Bentik
Klasifikasi Berbasis Objek (OBIA)
Klasifikasi Berbasis Piksel
Perbandingan Akurasi

18
18
20
21
22
29
31

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

34
34
34

DAFTAR PUSTAKA

35

RIWAYAT HIDUP

x

DAFTAR TABEL
1. Beberapa penelitian mengenai teknik penginderaan jauh satelit
untuk pemetaan wilayah terumbu karang
2. Peralatan penelitian
3. Karakteristik citra Worldview-2
4. Uji akurasi level 2
5. Uji akurasi level 3
6. Uji akurasi citra terkoreksi atmosferik
7. Pengujian akurasi, Z-test, varian, dan Kappa antara metode
klasifikasi berbasis piksel dan OBIA
8. Luas dan selisih perhitungan luas setiap kelas habitat bentik
9. Uji signifikan antara metode klasifikasi berbasis piksel dan OBIA

3
7
7
26
28
31
31
32
32

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.

Kerangka pemikiran penelitian
Diagram alir penelitian
Lokasi penelitian
(A) Kuadran 1x1meter (B) Snorkeler yang membawa pelampung
dan GPS (C) Pengambilan foto dan penyangga (D) Hasil foto
5. Skema klasifikasi yang terdiri dari 3 level (Phinn et al. 2011)
6. Penentuan skema klasifikasi habitat bentik (Green et al. 2000)
7. Proses klasifikasi berbasis objek
8. Rule set klasifikasi 3 level
9. Stasiun penyelaman
10. Persentase tutupan kategori bentik di kedalaman dangkal
11. Persentase tutupan kategori bentik di perairan dalam
12. Perbandingan visual citra sebelum (A) dan sesudah (B) koreksi
atmosferik (Komposit 532)
13. Dendrogram hasil analisis klaster (warna yang sama pada sumbu x
menunjukkan kelas yang sama)
14. Perlabelan setiap komposisi kelas habitat bentik berdasarkan
dominasi persen penutupan
15. Hasil skema klasifikasi 3 level
16. Hasil segmentasi multiskala
17. Hasil klasifikasi level 1
18. Profil kedalaman perairan di Gugus Pulau Pari
19. Hasil klasifikasi level 2
20. Optimasi parameter skala (perubahan skala pada sumbu x dan hasil
akurasi keseluruhan/ OA pada sumbu y)
21. Hasil klasifikasi level 3
22. Klasifikasi citra koreksi atmosferik menggunakan metode berbasis
piksel

5
6
8
10
10
12
15
16
18
19
19
20
21
21
22
23
23
25
25
27
27
30

xi

DAFTAR LAMPIRAN
1. Survei lapangan di Gugus Pulau Pari
2. Kondisi ekosistem terumbu karang di lereng terumbu pada kategori
dangkal
3. Kondisi ekosistem terumbu karang di lereng terumbu pada
kategori dalam
4. Analisis klaster data lapangan
5. Identifikasi komponen habitat bentik
6. Identifikasi zona geomorfologi

38
39
39
39
41
42

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Gugus Pulau Pari merupakan salah satu wilayah yang memiliki bentukan
geomorfologi dan habitat bentik yang menempati wilayah di sekitar perairan laut
yang dangkal. Gugus pulau ini merupakan kumpulan pulau-pulau kecil yang secara
geomorfologi dibentuk oleh proses-proses laut. Zona geomorfologi adalah
keberadaan bentangan suatu wilayah yang menempati suatu ruang meliputi reef flat,
reef slope, reef crest, dan lagoon (Blanchon 2011). Gugus Pulau Pari terkelompok
secara alami dengan zona geomorfologi yang cukup bervariasi pada perairan laut
yang dangkal sehingga berpotensi sebagai habitat terumbu karang, lamun,alga, dan
sponge. Bentukan lahan yang terdapat pada gugus pulau mempengaruhi keberadaan
suatu habitat bentik yang menempati di wilayah tertentu (Andrefouet et al. 2003).
Habitat bentik yang terdapat di Gugus Pulau Pari meliputi terumbu karang, lamun,
sponge, alga, pasir, sedimen, rubble dan rock (biotik dan abiotik). Pemetaan
wilayah lingkungan terumbu karang digunakan sebagai informasi dasar untuk
perencanaan dan pengembangan suatu kawasan menuju pemanfaatan yang optimal.
Pemanfaatan teknologi satelit penginderaan jauh dalam menyediakan
informasi di lingkungan terumbu karang secara spasial dan temporal telah banyak
dilakukan sampai saat ini terus mengalami kemajuan. Kemajuan teknologi satelit
penginderaan jauh meliputi kemampuan sensor dan wahana satelit sehingga
menghasilkan data berupa citra. Kemajuan teknologi ini menuntut para praktisi
bidang penginderaan jauh melakukan pengembangan metode-metode klasifikasi
citra untuk mendapatkan informasi yang tepat dan akurat. Klasifikasi citra meliputi
klasifikasi manual mengunakan foto citra dan klasifikasi multispektral dengan
interpretasi digital menggunakan komputer. Klasifikasi multispektral merupakan
salah satu bagian dari pengolahan citra penginderaan jauh untuk menghasilkan peta
tematik dan dijadikan masukan dalam permodelan spasial dalam lingkungan sistem
informasi geografis/ SIG (Danoedoro 2012). Penggunaan citra pada penerapannya
dengan klasifikasi multispektral dari citra Quickbird di wilayah perairan laut telah
mampu memetakan habitat bentik (Siregar 2010), pemetaan habitat dasar dan
estimasi stok ikan terumbu dari citra Worldview-2 (Siregar et al. 2013),
pemantauan status lingkungan terumbu karang (Green et al. 2000), evaluasi
beberapa lokasi untuk klasifikasi terumbu karang di wilayah tropis (Andrefouet et
al. 2003), deteksi perubahan habitat terumbu karang menggunakan citra Landsat
(Wahiddin et al. 2014), pemetaan zona geomorfologi dan ekologi terumbu karang
(Phinn et al. 2011).
Skema klasifikasi berguna untuk menentukan kelas pada pemetaan ekosistem
terumbu karang dan ekosistem yang berasosiasi berdasarkan kebutuhan pengguna
(Mumby et al. 1999). Berdasarkan Joyce et al. (2004), pemetaan detil ekosistem
terumbu karang yang menghubungkan skala spasial dan level (tingkat) dari data
citra (reef system, reef type, geomorphic zone, benthic community, biotope/ patch).
Phinn et al. (2011) melakukan pemetaan zona geomorfologi dan ekologi wilayah
terumbu karang yang dibagi menjadi 3 level yaitu reef level, geomorphic zones,
benthic community zones. Pada penelitian pemetaan geomorfologi dan habitat
bentik dengan akurasi keseluruhan 60-80% dinyatakan bahwa hasil klasifikasi

2

tersebut masuk kategori baik, maka pemilihan metode klasifikasi citra merupakan
hal yang perlu dipertimbangkan (Green et al. 2000).
Klasifikasi citra merupakan proses mengelompokkan piksel kedalam kelaskelas tertentu berdasarkan nilai kecerahan piksel (brightness value/BV/digital
number) pada citra. Teknik klasifikasi citra pada perkembangannya dibagi menjadi
dua basis, yaitu klasifikasi citra berbasis piksel (pixel base) dan berbasis objek
(object base image analysis/ OBIA) (Navulur 2007, Blaschke 2010). Klasifikasi
citra berbasis piksel yang sudah dikembangkan selama ini dibagi dua metode yaitu
klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tidak terbimbing
(unsupervised classification). Dua metode klasifikasi tersebut memiliki kelemahan
masing-masing.
Penerapan klasifikasi berbasis piksel telah menghasilkan peta habitat bentik
dengan algoritma klasifikasi dan hasil akurasi yang berbeda-beda. Andrefouet et al.
(2003) menggunakan algoritma maximum likelihood dari citra IKONOS dan
Landsat 7 ETM+ menghasilkan akurasi antara 53%-77%. Di kepulauan Derawan
Kalimantan Timur menggunakan citra Quickbird dengan algoritma maximum
likelihood pada citra sesudah koreksi kolom perairan dan algoritma parallelepiped
pada citra sebelum koreksi kolom perairan menghasilkan akurasi yang lebih baik
pada citra sesudah koreksi kolom perairan (Nurlidiasari dan Budiman 2005).
Kondraju et al. (2013) dengan menerapkan beberapa teknik klasifikasi (support
vector machines/ SVM, spectral angular mapper/ SAM, dan spectral information
divergence/ SID) menggunakan citra Landsat untuk mengidentifikasi terumbu
karang menghasilkan akurasi terbaik dari metode klasifikasi algoritma SVM.
Metode klasifikasi citra berbasis objek (OBIA) merupakan paradigma baru
dalam klasifikasi citra (Navulur 2007). Proses klasifikasi metode ini menggunakan
proses segmentasi pada prapemrosesan dengan sistem hirarki, sehingga
karakteristik objek dapat ditambahkan dengan beberapa informasi tambahan seperti
bentuk, tekstur, konteks, dan informasi yang lain terkait dengan objek (Blaschke
2010). Perbedaan mendasar pada pendekatan ini terletak pada unit dasar proses
analisis citra berupa objek citra atau segmen, tidak pada piksel tunggal. Klasifikasi
ini terbukti mampu meningkatkan akurasi pada pemetaan geomorfologi dan ekologi
ekosistem terumbu karang di tiga perairan yang berbeda (Phinn et al. 2011).
Penelitian lainnya dalam pemetaan ekosistem terumbu karang menggunakan
metode OBIA (Urbanski et al. 2009, Leon dan Woodroffe 2011, Phinn et al. 2011,
Roelfsema et al. 2013).
Pendekatan lain dalam metode klasifikasi citra yaitu OBIA yang mampu
mendefinisikan kelas-kelas objek berdasarkan aspek spektral dan spasial secara
bersamaan. Metode klasifikasi berbasis objek merupakan pembahasan utama dalam
penelitian ini untuk pemetaan zona geomorfologi dan habitat bentik. Phinn et al.
(2011) menggunakan metode OBIA pada pemetaan geomorfologi dan habitat
bentik di tiga wilayah menghasilkan akurasi keseluruhan antara 52-78%. Algoritma
SVM menghasilkan akurasi yang lebih baik dibandingkan algoritma klasifikasi
lainnya seperti maximum likelihood classification (MLC) dan spectral angular
mapper (SAM) pada metode berbasis piksel, maupun metode berbasis objek/ OBIA
(Kondraju et al. 2013, Wahiddin et al. 2015). Beberapa penelitian mengenai teknik
penginderaan jauh satelit untuk pemetaan zona geomorfologi dan habitat bentik
dengan perbedaan jumlah kelas, citra satelit, metode klasifikasi, dan hasil akurasi
disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Beberapa penelitian mengenai teknik penginderaan jauh satelit untuk pemetaan wilayah terumbu karang
Peneliti
Andrefouet et al. 2003

Joyce et al. 2004

Citra
Landsat dan
IKONOS

Jumlah Kelas
4-5 kelas
7-8 kelas
9-11 kelas
>13 kelas
Landsat ETM 5 kelas

Benfield et al. 2007

Landsat 7
ETM+ dan
Quickbird

Siregar 2010
Leon dan Woodroffe 2011
Phinn et al. 2011

Quickbird
Landsat
Quickbird-2

11 kelas (level fine)

Kondraju et al. 2013

6 kelas habitat bentik
10 kelas zona geomorfologi
6 kelas zona geomorfologi
>10 kelas habitat bentik
Quickbird
6-8 kelas zona geomorfologi
IKONOS
20-30 kelas habitat bentik
Landsat ETM 4 kelas habitat bentik

Zhang et al. 2013
Siregar et al. 2013
Selamat et al. 2014

AVIRIS
Worldview-2
Worldview-2

Wahiddin et al. 2014
Wahiddin et al. 2015

Landsat 8
Landsat 8

Roelfsema et al. 2013

12 kelas habitat bentik
6 kelas habitat bentik
3 kelas substrat dominan
8 kelas substrat detil
5 kelas
7 kelas

Akurasi Metode Piksel
Rata-rata 77%
Rata-rata 71%
Rata-rata 65%
Rata-rata 53%
12-74% (Unsupervised
classification)
44.8% (Landsat) dan
59.1% (Quickbird),
metode MLC
79% metode density slicing
57% habitat bentik
62-95% metode MLC, SAM,
SID, dan optimum pada SVM
60.1% dan 69.5% (MLC)
78 % metode MLC
64.3-82.1%
48% (metode density slicing)
69% metode minimum distance
-

Akurasi Metode OBIA
68.7% (Landsat) dan
83.5% (Quickbird)
Algoritma fuzzy logic dan
kontekstual editing
75% (zona geomorfologi)
>80% (zona geomorfologi)
52-78% (habitat bentik)
76-82% (zona geomorfologi)
52-75% (habitat bentik)
75.1-87.9% metode RF
73% (SVM), 68% (RT), 67%
(KNN), 66% (Bayesian), 56%
(DT)

4

Berdasarkan hal diatas, kombinasi beberapa metode yang dikembangkan
pada penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan akurasi yang baik terhadap
peta yang dihasilkan. Pendekatan untuk mengatasi rendahnya hasil akurasi juga
didasari atas penentuan skema klasifikasi yang digunakan yaitu terdiri dari 3 hingga
4 kategori/ level (Joyce et al. 2004, Phinn et al. 2011, Roelfsema et al. 2013).
Metode untuk mengekstrak informasi dari citra perlu memperhatikan beberapa
faktor yang mempengaruhi hasil akurasi. Pengaruh tersebut dapat direduksi dengan
penerapan koreksi untuk mempertajam interpretasi, penentuan skema klasifikasi,
pemilihan metode klasifikasi, dan modifikasi survei lapangan. Penerapan metode
OBIA dan piksel yang dilakukan pada penelitian ini guna untuk membandingkan
hasil akurasi terbaik pada pemetaan zona geomorfologi dan habitat bentik.
Perumusan Masalah
Pemanfaatan data penginderaan jauh telah banyak digunakan untuk pemetaan
zona geomorfologi dan habitat bentik dengan hasil akurasi yang berbeda-beda.
Perbedaan akurasi ini sangat tergantung pada lokasi, kompleksitas habitat yang
diteliti, metode klasifikasi dan skema yang digunakan. Penentuan metode
klasifikasi citra dan pengamatan lapangan yang tepat sangat mempengaruhi akurasi
pemetaan zona geomorfologi dan habitat bentik menggunakan citra. Umumnya,
peta habitat bentik dihasilkan menggunakan metode klasifikasi berbasis piksel.
Metode ini masih terdapat kekurangan (kesalahan klasifikasi) karena hanya
bertumpu pada nilai spektral dan kurang mampu mendefinisikan objek spasial
secara detil seperti pola, bentuk, dan tekstur yang melibatkan data nir-spectral
dalam bentuk integrasi dengan sistem informasi geografis. Perkembangan metode
lain saat ini yang diharapkan mampu meningkatkan akurasi adalah metode OBIA.
Selanjutnya, metode pengamatan lapangan juga menjadi penentu yang
menghasilkan skema klasifikasi habitat bentik dengan kompleksitas tinggi pada
daerah kajian. Penerapan koreksi untuk mempertajam interpretasi dapat digunakan
untuk meningkatkan akurasi optimum. Berdasarkan hal diatas maka perlu
dikembangkan pertanyaan ilmiah yaitu: bagaimana kemampuan citra Worldview-2
untuk pemetaan zona geomorfologi dan habitat bentik pada penerapan klasifikasi
multiskala menggunakan metode OBIA dan membandingan akurasi pemetaan
dengan algoritma support vector machine pada metode OBIA dan piksel ?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kemampuan citra Worldview2 untuk pemetaan zona geomorfologi dan habitat bentik menggunakan klasifikasi
multiskala pada metode OBIA dan membandingan akurasi pemetaan dengan
algoritma support vector machine pada metode OBIA dan piksel.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan pertimbangan bagi stakeholder
dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan dan untuk
menambah khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang penginderaan jauh kelautan
mengenai penerapan metode OBIA.

5

Kerangka Penelitian
Penerapan metode klasifikasi dari data penginderaan jauh yang diintegrasikan
dengan data lapangan telah banyak dikembangkan dan menunjukkan hasil akurasi
yang baik. Metode tersebut dikembangkan dengan berbagai pendekatan lapangan
dengan skema klasifikasi tertentu dengan hasil akurasi yang berbeda-beda.
Perbedaan hasil akurasi ini tergantung pada lokasi, kompleksitas habitat yang
diteliti, metode klasifikasi dan skema yang dikembangkan. Sebagai alternatif,
pemanfaatan metode klasifikasi OBIA diperkirakan mampu meningkatkan akurasi
pemetaan habitat bentik lebih baik dibandingkan metode klasifikasi berbasis piksel.
Di Indonesia, penelitian menggunakan metode klasifikasi OBIA pada pemetaan
geomorfologi dan habitat bentik masih sangat terbatas. Penelitian ini menggunakan
metode klasifikasi berbasis objek (OBIA) dengan teknik segmentasi multiskala
yang terdiri dari 3 level dan metode klasifikasi berbasis piksel sebagai
perbandingan. Algoritma klasifikasi yang digunakan adalah support vector machine
yang mampu meminimalkan kesalahan klasifikasi untuk metode OBIA dan piksel.
Secara sederhana kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.
Peningkatan akurasi pemetaan zona
geomorfologi dan habitat bentik

Kompleksitas habitat
yang tinggi

Skema klasifikasi
yang digunakan

Akurasi pemetaan
rendah

Metode klasifikasi
alternatif selain klasifikasi
berbasis piksel

Algoritma support
vector machine

Klasifikasi berbasis
objek (OBIA)

Meningkatnya akurasi pemetaan zona
geomorfologi dan habitat bentik

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Pengembangan
skema klasifikasi

METODE PENELITIAN
Pemetaan zona geomorfologi dan habitat bentik menggunakan citra
Worldview-2 diterapkan dengan kombinasi beberapa pendekatan yang berkembang
saat ini. Penggunaan algoritma machine learning termutakhir dan pengembangan
skema klasifikasi yang menghubungkan antara zona geomorfologi dan habitat
bentik secara hirarki yang diterapkan pada metode klasifikasi berbasis objek.
Metode klasifikasi berbasis piksel juga diterapkan sebagai perbandingan dari hasil
klasifikasi berbasis objek. Keseluruhan pelaksanaan tahapan penelitian disajikan
pada Gambar 2.
Mulai

Citra Worldview-2
(setelah Koreksi Atmosferik) dan
Data Lapangan (GTH)

Masking Wilayah

Analisis CPCe

Segmentasi
Reef Level

Analisis Klaster

Peta Reef Level
Segmentasi
Level Geomorfologi

Region of Interest

Peta Zona
Geomorfologi

Segmentasi
Level Bentik Habitat
Aturan Klasifikasi
SVM (Pixel Base)

Validasi

Aturan Klasifikasi
SVM (OBIA)
Assign Class
dan Classifier
Yes

Peta Habitat Bentik

Peta Habitat Bentik
Uji Akurasi

Perbandingan
Akurasi Pemetaan
Selesai

Gambar 2 Diagram alir penelitian

No

7

Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah terumbu karang Gugusan Pulau Pari
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Survei lapangan dilakukan sebanyak
tiga kali yaitu tanggal 29 Juni hingga 2 Juli, 22 hingga 24 Agustus 2013, dan 20
hingga 26 Maret 2014. Secara geografis lokasi penelitian terletak antara 5o 51’
32.94”- 5o 51’ 37.71” LS dan 106o 34’ 6.469”-106o 38’ 23.81” BT (Gambar 3).
Gugus Pulau Pari terdiri dari beberapa pulau yaitu Pulau Pari, Kongsi, Burung,
Tengah, dan Tikus. Gugus pulau ini terdapat komponen habitat bentik berupa
terumbu karang, lamun, alga, sponge, dan komponen abiotik yang menempati di
setiap zona geomorfologi.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah perangkat keras,
perangkat lunak, dan peralatan pengambilan data di lapangan. Perangkat keras yang
digunakan untuk pengolahan data adalah Personal Computer prosesor Intel Core i7,
RAM 8 GB, media penyimpanan 1 TB. Perangkat lunak digunakan untuk
membantu proses pengolahan data terdiri dari : Microsoft Office, Excel 2010, Coral
Point Count With Excel Extention (CPCe 4.0), XLstat 2014, DNR Garmin Versi
5.4, ENVI 5.1, ArcGIS Desktop 10.1, dan eCognition Developer 64 Versi 9.0.
Peralatan yang digunakan pada saat survei lapangan terdiri dari peralatan
perekaman data koordinat, dokumentasi dan pencatatan zona geomorfologi dan
habitat bentik disajikan pada Tabel 2 dan Lampiran 1.
Tabel 2 Peralatan penelitian
Peralatan
GPS Trimbel dan Garmin 76csx
Peralatan SCUBA
Transek kuadran (1 x 1m)
Meteran 50 m
Kamera Canon G15 dan Housing
Underwater slater dan papper
GPS floating kit dan Dry bag

Kegunaan
Pencatatan data koordinat : GCP dan GTH
Identifikasi zona geomorfologi dan habitat
bentik

Pencatatan data
Pelampung dan Pelindung GPS dari air

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah citra multispektral
Worldview-2 akuisisi 28 Agustus 2012 yang dilengkapi dengan metadata.
Karakteristik citra Worldview-2 disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Karakteristik citra Worldview-2
Saluran
Coastal
Biru
Hijau
Yellow
Merah
Merah-Edge
NIR-1
NIR-2

Kisaran λ (nm)
400 -450
450-510
510-580
585-625
630-690
705-745
770-895
860-1040

Resolusi (m)
1.8
1.8
1.8
1.8
1.8
1.8
1.8
1.8

8

8

Gambar 3 Lokasi penelitian

9

Rancangan Survei Lapangan
Pengumpulan informasi mengenai zona geomorfologi dan habitat bentik pada
penelitian ini menggunakan teknik stratified random sampling. Teknik ini
didasarkan pada pengetahuan tentang lokasi penelitian yang dibagi dalam
kelompok-kelompok dipilih secara acak. Penentuan titik pengamatan ditetapkan
pada citra sebelum melaksanakan survei lapangan. Penerapan teknik ini
menggunakan metode klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised calssification)
dengan jumlah kelas sebanyak 30. Jumlah kelas ini berdasarkan skema dan
biasanya lebih banyak dari jumlah kelas pada skema sehingga kelas-kelas ini dapat
diklasifikasi ulang berdasarkan pengamatan di lapangan.
Pengamatan lapangan (GTH/ ground truth habitats) terdiri dari identifikasi
zona geomorfologi dan komponen habitat bentik. Zona geomorfologi ditentukan
berdasarkan skema klasifikasi dengan pengamatan langsung secara visual sehingga
setiap pengamatan memiliki informasi kelas setiap zona. Sedangkan, komponen
habitat bentik dilakukan dengan menerapkan teknik yaitu foto kuadrat dan transek
foto kuadrat (English et al. 1997, Roelfsema dan Phinn 2008). Teknik foto kuadrat
dilakukan pada wilayah terumbu karang terutama pada reef slope dan luasan setiap
titik pengamatan disesuaikan dengan resolusi spasial citra dan distorsi GPS (global
positioning system) yang digunakan. Teknik transek foto kuadrat dilakukan untuk
mengetahui kondisi ekosistem terumbu karang pada 2 kedalaman yang berbeda
yaitu kategori kedalaman dangkal dan kategori perairan dalam yang masih terdapat
terumbu karang. Pengamatan lapangan diambil menyebar pada keseluruhan citra
supaya semua objek dapat terwakili dengan baik. Ukuran sampel di lapangan secara
konsisten diambil saat pengamatan dilakukan. Setiap sampel menghasilkan
beberapa informasi yaitu kategori zona geomorfologi dan habitat bentik
berdasarkan kategori lifeform yang dianalisis dengan perangkat lunak CPCe.
Keseluruhan titik pengamatan lapangan diambil sebanyak 500 titik.
Berdasarkan analisis klaster jumlah titik yang dapat digunakan sebanyak 381 titik.
Sebanyak 381 titik tersebut, 151 titik untuk RoI (region of interest) pada klasifikasi
dan 230 titik untuk uji akurasi. Data tersebut diambil berdasarkan skema klasifikasi
yang telah ditentukan sebelumnya dengan kesepadanan antara resolusi citra dan
akurasi GPS. Setiap kuadran dilakukan perekaman gambar menggunakan kamera
underwater dibantu dengan penyangga (tetrapod) agar jarak dan sudut pengambilan
foto konsisten terhadap objek. Teknik pengambilan data lapangan dengan contoh
hasil foto habitat bentik dan peralatan disajikan pada Gambar 4.

10

1 meter
B

A

1 meter

C

D

Gambar 4 (A) Kuadran 1x1meter (B) Snorkeler yang membawa pelampung dan
GPS (C) Pengambilan foto dan penyangga (D) Hasil foto
Skema Klasifikasi
Skema klasifikasi pada penelitian ini menggabungkan aspek geomorfologi
dan habitat bentik dengan 3 tingkatan/ level skala berdasarkan Phinn et al. (2011).
Klasifikasi citra terdiri dari 3 level berdasarkan komposisi karang yaitu level 1 (reef
level), level 2 (geomorphic zones) dan level 3 (benthic community zones) disajikan
pada Gambar 5.

Gambar 5 Skema klasifikasi yang terdiri dari 3 level (Phinn et al. 2011)
Keterangan: SD, sand; Co, coral; LC, live coral; DC, dead coral; DE,deep; Ro,
rock; RU, rubble; SG, seagrass; AL,algae; PA, pavement; BMA, benthic microalgae; DF, deep feature; Bo, bommie; D, dense; M, medium; and L, low.
Klasifikasi hirarki pada kategori pemetaan zona geomorfologi dan habitat
bentik berdasarkan Phinn et al. (2011). Secara singkat deskripsi masing-masing
zona geomorfologi (level 2) sebagai berikut:

11

1. Laguna (lagoon): wilayah perairan dangkal (relatif sampai kedalaman
tertentu pada daerah sekitar terumbu karang) terletak antara zona rataan
terumbu (reef flat) dan puncak terumbu (reef crest) atau lereng terumbu (reef
slope). Zona ini dicirikan oleh kondisi terlindung dari gempuran gelombang
yang besar.
2. Rataan terumbu (reef flat): perairan dangkal, sebagian muncul ke permukaan
terletak antara puncak terumbu (reef crest). Daerah ini cenderung datar
memanjang dari zona intertidal sampai ke laguna dan terlindung dari
gempuran gelombang yang kuat.
3. Lereng terumbu (reef slope): memiliki kemiringan tertentu menghadap ke
arah perairan.
4. Puncak terumbu (reef crest): zona yang disebut sebagai puncak terumbu
muncul pada saat surut terendah. Zona ini terletak pada bagian yang
menghadap perairan dan mendapat energi yang tinggi dari gempuran
gelombang.
5. Rataan luar terumbu (outer reef flat): wilayah di sekitar puncak terumbu yang
menghadap perairan dalam sebelum lereng terumbu.
6. Rataan dalam terumbu (inner reef flat): wilayah disekitar rataan terumbu yang
dekat dengan daratan.
Level 3 dikelompokkan berdasarkan komposisi habitat bentik yaitu 5 kategori
utama lifeform terumbu karang dan lamun yaitu karang hidup (hard coral yaitu
Acropora dan non acropora), fauna lain (soft coral , other, sponge, gorgonians, dan
zoanthids), alga (algae assemblage, halimeda, macroalgae, turf algae), karang mati
(dead coral with algae, dead coral), abiotik (rubble, sand, dan silt) dan lamun
(English et al. 1997). Skema klasifikasi habitat bentik berdasarkan Phinn et al.
(2011) dikembangkan dari hasil pengamatan lapangan dengan perhitungan
persentase tutupan sehingga jumlah kelas dan komposisinya berbeda tergantung
pada lokasi dan banyaknya titik pengamatan lapangan (GTH). Komposisi habitat
bentik dengan heterogenitas yang tinggi dilakukan analisis klaster (algorithm
hierarchical cluster) sehingga habitat bentik dapat didefinisikan pada kelas-kelas
dan kelompok tertentu menggunakan aplikasi statistik XLSTAT. Analisis klaster
merupakan metode klasifikasi untuk mengelompokkan objek berdasarkan nilai
ketidakmiripan (dissimilarities) yang menghasilkan dendrogram sehingga
memungkinkan diperoleh kemiripan objek yang dikelompokkan. Kemiripan diukur
menggunakan jarak kemiripan koefisen Bray-Curtis (Clarke 1993), karena analisis
ini mampu mengakomodir sifat-sifat biologis dan pengukuran jarak secara ekologi.
Persamaan jarak kemiripan koefisien Bray-Curtis sebagai berikut:




|

= [ − ∑�= (
=



+

|

)

]

(1)

dimana Xij adalah kelimpahan komponen bentik ke-i pada sampel ke-j dan p
adalah total komponen bentik. Tahapan penentuan skema klasifikasi habitat bentik
mengacu pada Green et al. (2000) yang disajikan pada Gambar 6.

12

Data Lapangan

Analisis Persentase Tutupan

CPCe (Coral Point Count
with excel extention)

Hilangkan Nilai dengan kehadiran sedikit

Spesies dengan kehadiran kurang
dari 3-4%

Ukur Jarak Ketidakmiripan

Jarak kemiripan Bray-Curtis,
pengelompokan berdasarkan data
biologi atau lingkungan

Deskripsi Kelas

Analisis data setiap kelompok
pada dendrogram dan nilai
rata-rata setiap kelas

Skema Klasifikasi Habitat Bentik

Gambar 6 Penentuan skema klasifikasi habitat bentik (Green et al. 2000)
Persentase Tutupan
Analisis persentase tutupan dilakukan pada setiap foto dengan menggunakan
teknik grid quadrat dengan estimasi penutupan objek pada setiap segmen
berdasarkan kelas dominan (English et al. 1997). Analisis persentase tutupan
dilakukan pada setiap foto menggunakan perangkat lunak Coral Point Count with
Excel extensions/ CPCe 4.1 (Kohler dan Gill 2006). CPCe merupakan sebuah
perangkat lunak standalone yang dikembangkan melalui visual basic yang mampu
secara otomatis dan cepat melakukan perhitungan titik acak (random point count).
Model perhitungan titik acak pada perangkat lunak CPCe yaitu uniform grid dengan
matriks sebanyak 25 titik setiap foto. Seluruh titik selanjutnya diberi nama sesuai
dengan abjad atau nomor untuk diidentifikasi berdasarkan kategori lifeform. Data
hasil analisis dari perangkat lunak CPCe ini diekspor ke program pengolahan
spreadsheet Excel sehingga menghasilkan analisis statistik setiap komponen.
Pra Pengolahan Citra
Pra pengolahan citra Worldview-2 terdiri dari koreksi atmosferik, koreksi
geometrik, masking wilayah kajian. Tahapan pra pengolahan citra sebagai berikut:
Koreksi Atmosferik
Proses koreksi atmosferik dilakukan menggunakan modul koreksi atmosferik
FLAASH berdasarkan Felde et al. (2003) pada perangkat lunak ENVI 5.1. Koreksi
atmoferik bertujuan untuk menghilangkan pengaruh atmosfer seperti partikel debu
dan uap air. Langkah-langkah koreksi atmosferik dengan FLAASH sebagai berikut:

13

1) Nilai digital citra dikalibrasi menjadi nilai radian dalam format BIL (band
interleaved by line); 2) Menentukan titik tengah scene citra, tipe sensor, ketinggian
sensor, ukuran piksel dan akuisisi yang terdapat pada meta data citra; 3)
Menentukan ketinggian rata-rata lokasi penelitian dan menentukan model
atmosferik yaitu tropical dan model aerosol maritime; 4) Memasukan nilai
kecerahan udara (visibility) yang diperoleh dari stasiun pengamatan BMKG
terdekat dengan lokasi penelitian.
Koreksi Geometrik
Koreksi geometrik dilakukan menggunakan data ground control point (GCP)
hasil pengukuran di lapangan berdasarkan persamaan polynomial (Green et al.
2000). Nilai koordinat baris dan kolom ditransformasi secara matematis menjadi
koordinat dengan sistem proyeksi yang telah ditentukan. Kesalahan geometrik pada
citra original diperbaiki dengan rektifikasi. Persamaan polinomial dipilih untuk
mengurangi kesalahan perubahan koordinat. Akurasi dari transformasi polinomial
dihitung dengan menggunakan Root Mean Square error (RMSE) untuk setiap CGP.
Citra Worldview-2 yang digunakan pada penelitian ini tidak dilakukan koreksi
geometrik karena saat pengukuran posisi dengan GPS secara absolut. Rata-rata
pengukuran GCP terdistribusi dari 1 hingga 2 piksel, sehingga citra yang digunakan
merupakan citra original.
Pengolahan Citra
Model Kedalaman Perairan
Model kedalaman perairan menggunakan modul SPEAR relative water depth
pada perangkat lunak ENVI 5.1. Model ini mampu secara cepat memprediksi
kedalaman perairan dari citra. Citra Worldview-2 diekstrak nilai pikselnya untuk
menghasilkan model kedalaman perairan dengan menggunakan algoritma yang
dikembangkan Stumpf dan Holderied (2003) sebagai berikut:
=�

ln ��� 

ln ��� 

−�

(2)

dimana Z = kedalaman estimasi; � = koefisien kalibrasi; � = faktor koreksi
untuk kedalaman 0; n = konstanta untuk rasio saluran
( , ) = nilai reflektansi
saluran. Algoritma ini dilakukan dengan merasiokan reflektansi dua saluran yang
berbeda sehingga mendapatkan nilai kedalaman. Selanjutnya, citra kedalaman
perairan digunakan untuk mengidentifikasi zona-zona geomorfologi berdasarkan
profil kedalaman perairan di Gugus Pulau Pari dan diklasifikasi dengan metode
kontekstual.
Klasifikasi Citra
Klasifikasi citra Worldview-2 untuk pemetaan zona geomorfologi dan habitat
bentik menggunakan metode klasifikasi berbasis piksel dan OBIA. Dua metode
klasifikasi ini menggunakan klasifikasi terbimbing algoritma support vector
machines dengan input themathic layer (RoI) dari data lapangan. Input image layer
yang digunakan yaitu saluran tampak (coastal, blue, green, yellow, red, red-edge)
dan saluran inframerah dekat (NIR1 dan NIR2) dari citra terkoreksi atmosferik.

14

Metode Berbasis Objek (OBIA)
Metode berbasis objek (OBIA) merupakan metode klasifikasi yang
dikembangkan dengan konsep segmentasi dan analisis objek citra berdasarkan
karakteristik spasial, spektral, skala temporalnya sehingga menghasilkan kelaskelas tertentu (Blaschke 2010). Prapemrosesan pada klasifikasi berbasis objek
diawali dengan segmentasi terhadap citra (pixel level) menjadi objek citra yang
homogen.
Segmentasi
Navulur (2007) menyatakan segmentasi adalah konsep membangun objek/
segmen dari piksel-piksel menjadi segmen atau objek-objek yang memiliki sifat
yang sama. Algoritma yang digunakan adalah segmentasi multiresolusi/ MRS
(multiresolution segmentation). Parameter yang terdapat dalam algoritma ini adalah
scale, shape, dan compactness sehingga menciptakan homogenitas pada segmen
yang dihasilkan. Scale merupakan abstraksi untuk menentukan nilai maksimum
heterogenitas untuk membangkitkan objek (pembentukan segmen-segmen). Shape
merupakan homogenitas tekstur dari IIL (input image layer) dan berkaitan dengan
nilai digital yang dipengaruhi warna (color) yang dapat dihitung dari 1-shape.
Compactness memiliki peranan dalam mengoptimalkan kekompakan objek yang
berasal dari shape (Trimble 2014).
Segmentasi satu level umumnya tidak efisien dalam merepresentasikan satu
kajian dalam sebuah scene citra. Satu scene citra terdapat sebuah hirarki pola dan
informasi pada skala yang berbeda yang secara simultan bisa ditampilkan melalui
segmentasi multiskala (Burnett dan Blaschke 2003). Penerapan segmentasi
multiskala menggunakan beberapa skala yang berbeda pada level 1, 2, dan 3. Skala
segmentasi yang digunakan untuk setiap level 1 dan 2 masing-masing yaitu MRS
150 dan MRS 100, sedangkan pada level 3 dilakukan optimasi parameter skala
masing-masing yaitu MRS 5, 25, 50, 75, 95. Skala segmentasi besar (MRS 150)
menghasilkan ukuran segmen (polygon) yang besar dengan jumlah objek pada
scene citra yang sedikit, sedangkan skala segmentasi kecil (MRS 5) menghasilkan
segmen (polygon) yang kecil dengan jumlah objek pada scene citra yang banyak.
Segmentasi multiskala ini menghasilkan sekumpulan layer objek citra dalam suatu
jaringan hirarki.
Klasifikasi Multiskala
Tahap klasifikasi OBIA diterapkan menggunakan IIL pada level piksel
menjadi objek-objek/ segmen (level objek). Objek-objek ini dibangun pada tahap
segmentasi kemudian diklasifikasi berdasarkan informasi yang dimiliki oleh setiap
objek citra berupa informasi bentuk, topologi, nilai-nilai statistik dan berdasarkan
level hirarki. Parameter-parameter yang dijadikan masukan (input fiture) untuk
membangun sebuah rule set pada pohon proses (process tree) berupa thereshold
dalam membangun objek menjadi kelas-kelas tertentu.
Secara keseluruhan konsep yang dibangun pada penelitian ini terdiri dari 3
level objek citra yaitu level 1, level 2, dan level 3. Secara sederhana proses
klasifikasi berbasis objek disajikan pada Gambar 7.

15

Citra Worldview-2

Segmentasi

Image Object

Klasifikasi

Level 1

Image Object Level 1

Image Object Level 2

Level 2

Image Object Level 3
Level 3

Gambar 7 Proses klasifikasi berbasis objek
Klasifikasi citra pada setiap level objek menggunakan algoritma yang
terdapat pada software eCognition. Algoritma digunakan untuk membangun rule
set pada process tree yang dikembangkan sesuai kebutuhan pengguna. Rule set
merupakan kumpulan dari beberapa algoritma dalam medefinisikan suatu objek ke
dalam kelas-kelas tertentu. Pada penelitian ini dikembangkan hubungan antar kelas
geomorfologi dengan habitat bentik, dimana terdapat hubungan secara hirarki
terhadap kelas-kelas antar level dibawahnya (parent child relationship) pada proses
segmentasi. Klasifikasi level 1 dan 2 digunakan assign class dengan nilai ambang
batas (threshold) tertentu sehingga menjadi kelas objek yang diinginkan, sedangkan
level 3 digunakan classifier dengan algoritma SVM. Konsep mendefinisikan objek
menjadi kelas-kelas tertentu menggunakan rule set pada process tree disajikan pada
Gambar 8.
Optimasi Parameter Skala
Optimasi parameter skala pada metode OBIA menunjukkan bahwa pengujian
terhadap skala segmentasi sangat mempengaruhi hasil akurasi. Optimasi ini hanya
diterapkan pada level 3 dengan percobaan parameter skala algoritma MRS dan
diklasifikasi menggunakan algoritma SVM. Percobaan parameter skala masingmasing yaitu MRS 5, MRS 25, MRS 50, MRS 75, dan MRS 95.
Algoritma Support Vector Machines (SVM)
Algoritma SVM merupakan klasifikasi terbimbing yang dapat mencari
sebuah vector atau garis yang berfungsi sebagai pemisah dua kelas dengan
memaksimalkan margin antar kelas tersebut. Algoritma klasifikasi ini berdasarkan
prinsip linear classfier yang tergolong klasifikasi machine learning. Konsep SVM
dapat dijelaskan secara sederhana sebagai usaha mencari hyperplane terbaik yang
berfungsi sebagai pemisah dua buah kelas pada input space (Nugroho et al. 2003).
Garis pemisah antar kelas dapat dibuat berupa garis linear dan radial basis function.
Metode Berbasis Piksel
Metode berbasis piksel menggunakan klasifikasi terbimbing aturan SVM
pada perangkat lunak ENVI 5.1. Klasifikasi ini diterapkan dengan menggunakan
region of interest. Region of interest yang digunakan pada metode berbasis piksel
menggunakan input temathic layer yang sama pada metode berbasis objek.

16

Gambar 8 Rule set klasifikasi 3 level
Uji Akurasi
Pengujian akurasi dilakukan terhadap seluruh peta hasil klasifikasi untuk
mengetahui akurasi dari metode klasifikasi yang diterapkan. Uji akurasi yang
umum dilakukan pada data hasil klasifikasi penginderaan jauh adalah matrik
kesalahan (error matrix/confusion matrix atau contingency matrix) dengan hasil
yaitu OA, PA, UA, Kappa statistik, dan Z test (Congalton dan Green 2009). Uji
akurasi berdasarkan persamaan sebagai berikut:

17

Overall accuracy (OA) dapat dihitung sebagai berikut:
∑= �


�� =

(3)

Producer’s accuracy (PA) dapat dihitung sebagai berikut:


=�

(4)

+

dan User’s accuracy (UA) dapat dihitung sebagai berikut:
=



(5)

�+

Perhitungan selanjutnya adalah nilai Kappa yang dihitung dari setiap matriks
kesalahan pada setiap percobaan. Uji Kappa menentukan jika dua nilai Kappa
independen dan untuk dua matriks kesalahan yang secara signifikan berbeda, maka
digunakan uji untuk membandingkan secara statistik setiap percobaan dengan hasil
akurasi lebih baik. Matrik kesalahan tunggal dan pasangan matriks kesalahan diuji
tingkat kepercayaan signifikan pada standar deviasi normal sebagai berikut:
̂ merupakan estimasi Kappa statistik dari masing-masing
̂ dan �
Jika �
̂ dan �̂� �
̂ adalah estimasi varian sebagai
matriks kesalahan #1 dan #2, �̂� �
hasil dari perhitungan yang tepat, maka uji statistik untuk menentukan akurasi
matriks kesalahan tunggal menggunakan persamaan:
=

̂


̂
√̂
�� �

(6)

Z adalah standarisasi dan distribusi normal (standar deviasi) dengan hipotesis
� : � = dan � : � ≠ , � ditolak jika ≥ �/ , dimana α/2 adalah tingkat
kepercayaan Z test dan derajat bebas diasumsikan tidak terhingga (∞). Uji statistik
untuk mengetahui jika dua matriks kesalahan independen berbeda secara signifikan
menggunakan persamaan:
=

̂ −�
̂ |
|�
̂ +̂
̂
√ ̂
�� �
�� �

(7)

Z adalah standarisasi distribusi normal nilai Kappa dengan hipotesis
� : � − � = , alternatif � : � − � ≠ , � ditolak jika ≥ �/ .

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Ekosistem Terumbu Karang
Penyelaman di lereng terumbu karang dilakukan pada empat sisi penyelaman
dan satu sisi mewakili daerah laguna, dimana masing-masing sisi terdapat dua
transek yang mewakili dua kedalaman yaitu dangkal diwakili pada kedalaman 3
meter dan dalam diwakili pada kedalaman 10 meter. Hasil pengamatan lapangan
dikelompokkan berdasarkan 5 kategori utama life form terumbu karang yaitu
karang hidup (hard coral yaitu Acropora dan non acropora), fauna lain (soft coral,
other, sponge, gorgonians, dan zoanthids), alga (algae assemblage, halimeda,
macroalgae, turf algae), karang mati (dead coral with algae, dead coral), dan
abiotik (rubble, sand, dan silt). Berikut adalah peta stasiun penyelaman berdasarkan
dua kedalaman (dangkal dan dalam) pada Gambar 9.

Gambar 9 Stasiun penyelaman
Kedalaman dangkal
Persen penutupan substrat dasar pada kategori kedalaman dangkal yaitu
dengan penutupan karang hidup paling tinggi di Timur Gugusan Pulau Pari dengan
nilai 59.6%, sedangkan paling rendah di Selatan dengan nilai penutupan 19.2%.
Terdapat abiotik dengan persen penutupan rata-rata pada semua sisi adalah sebesar
33.3%. Kategori persen penutupan yang mendominasi adalah karang hidup dengan
nilai rata-rata 38.8%. Sisi Selatan pada kategori ini ditemukan penutupan karang
mati dengan nilai tertinggi dari semua sisi dengan nilai sebesar 61.5% sedangkan
untuk kategori abiotik persen penutupan tertinggi di sisi Timur sebesar 30.3%. Nilai
penutupan fauna lain dan alga pada kategori dangkal tergolong rendah karena
memiliki nilai penutupan rata-rata sebesar 6.4% dan 1.4%. Persentase tutupan
kategori bentik di kedalaman dangkal disajikan pada Gambar 10 dan Lampiran 2.
.

19

Gambar 10 Persentase tutupan kategori bentik di kedalaman dangkal
Perairan Dalam
Persen penutupan substrat dasar pada kategori perairan dalam yaitu dengan
penutupan karang hidup paling tinggi di Utara Gugusan Pulau Pari dengan nilai
46.6%, sedangkan paling rendah pada