Klasifikasi Habitat Dasar Perairan Dangkal Gugusan Pulau Pari dengan Menggunakan Citra WorldView-2

KLASIFIKASI HABITAT DASAR PERAIRAN DANGKAL
GUGUSAN PULAU PARI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA
WORLDVIEW-2

FADHILA ANISA AUNUR RACHMAN

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Klasifikasi Habitat
Dasar Perairan Dangkal Gugusan Pulau Pari dengan Menggunakan Citra
WorldView-2 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Fadhila Anisa Aunur Rachman
NIM C54090031

ABSTRAK
FADHILA ANISA AUNUR RACHMAN. Klasifikasi Habitat Dasar Perairan
Dangkal Gugusan Pulau Pari dengan Menggunakan Citra WorldView-2. Dibimbing
oleh VINCENTIUS P. SIREGAR dan SYAMSUL BAHRI AGUS.
Habitat dasar perairan saat ini berada dalam ancaman yang serius yang
disebabkan dari berbagai kegiatan manusia dan dampak alam. Untuk mengetahui
informasi kondisi perairan dapat menggunakan penginderaan jauh, salah satu
contohnya adalah memetakan klasifikasi habitat dasar perairan menggunakan citra
satelit yang beresolusi tinggi. Tujuan penelitian ini adalah mengklasifikasikan
habitat komunitas bentik menggunakan citra komposit kanal yang berbeda dan citra
hasil koreksi kolom air. Metode klasifikasi menggunakan klasifikasi terbimbing
dengan skema klasifikasi habitat 14 kelas. Hasil akurasi klasifikasi habitat dasar
perairan dangkal yaitu pada komposit kanal 567 (40,28%), sedangkan pada
transformasi Lyzenga pada kanal 1 (427,3 nm) dan 3 (546,2 nm) (50,34%). Nilai

akurasi hasil reclassify menjadi 7 kelas yaitu sebesar 52,08% (warna komposit) dan
62,76% (algoritma Lyzenga). Hasil akurasi tersebut cukup mewakili dalam
memetakan habitat dasar perairan dangkal.
Kata kunci: akurasi, klasifikasi, komposit, Lyzenga, WorldView-2

ABSTRACT
FADHILA ANISA AUNUR RACHMAN. Classification of Basic Habitat Shallow
Water in Pari Island Cluster using Worldview-2 Image. Supervised by
VINCENTIUS P. SIREGAR and SYAMSUL BAHRI AGUS.
The habitat of shallow water is currently in serious threats resulted by human
activities and natural impacts. The information of the shallow water conditions can
be known by remote sensing, one example was the habitat of shallow water
classification mapping using high resolution satellite imagery. The purpose of this
study was to classify habitat of benthic communities using different composite
imagery and the results of water column correction imagery. Classification methods
used supervised classification with a classification scheme of habitat 14 class.
Classification accuracy results benthic habitat of shallow water that were of 40,28%
(567 on the composite of canal) and 50,34% on the Lyzenga transformation of the
canal at 1 (427,3 nm) and 3 (546,2 nm). The value of the accuracy of the results
into 7 classes were 52,08% (colour composite) and 62,76% (Lyzenga algorithm).

Accuracy results fairly represented the basic habitat mapping in shallow waters.
Keywords: accuracy, classification, composite, Lyzenga, WorldView-2

KLASIFIKASI HABITAT DASAR PERAIRAN DANGKAL
GUGUSAN PULAU PARI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA
WORLDVIEW-2

FADHILA ANISA AUNUR RACHMAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Kelautan pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Klasifikasi Habitat Dasar Perairan Dangkal Gugusan Pulau Pari

dengan Menggunakan Citra WorldView-2
Nama
: Fadhila Anisa Aunur Rachman
NIM
: C54090031
Program Studi : Ilmu dan Teknologi Kelautan

Disetujui oleh

Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA
Pembimbing I

Dr. Syamsul Bahri Agus, S.Pi, M.Si
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc.
Ketua Departemen


Tanggal Lulus: 20 Desember 2013

iv

Judu} Skripsi : Klasifikasi Habitat Dasar Perairan Dangkal Gugusan Pulau Pari
dengan Menggunakan Citra WorldView-2
: Fadhila Anisa Aunur Rachmari
Nama
: C54090031
NIM
Program Studi: Ilmu dan Teknologi Kelautan

Disetujui oleh

Dr. lr. Vincentius P. Siregar, DEA
Pembimbing I

Dr.S

Diketahui oleh


TanggaJ Lulus: 20 Desember 2013

iv

s S.Pi M.Si

PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah, serta
inayah yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian
yang berjudul “Klasifikasi Habitat Dasar Perairan Dangkal Gugusan Pulau Pari
dengan Menggunakan Citra WorldView-2”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan.
Penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu dalam penyusunan
skripsi ini. Ucapan terima kasih dengan tulus dan penghargaan setinggi-tingginya
penulis sampaikan kepada :
1. Dr. Ir.Vincentius P.Siregar, DEA dan Dr. Syamsul Bahri Agus, S.Pi, M.Si selaku
pembimbing I dan II atas bimbingan, pengetahuan, dan nasehat yang telah
diberikan;

2. Risti E. Arhatin, S.Pi, M.Si sebagai Dosen Penguji;
3. Dr. Jonson Lumban Gaol, sebagai Pembimbing Akademik;
4. Kepada orang tua saya, Ayah Risman Darmadi dan Mama Tanti Hartanti, serta
Adik Ghitha Fauzziyyah dan Kakak M. Fadhlan yang memberikan dukungan
dan doanya;
5. Rangga Garnama, S.Pi dan Tommy yang selalu menemani, memberikan
semangat, dan doanya;
6. Mba Nani, Mba Ade Ayu, Riza, Iqoh Faiqoh S.Ik, M. Sudibjo, S.Ik, dan keluarga
ITK 46 yang memberikan dorongan dan semangat untuk segera menyelesaikan
skripsi ini;
7. Seluruh warga ITK atas dukungan dan kerjasama, serta semua pihak yang tidak
dapat disebutkan satu persatu dalam memberikan sumbangan saran, bimbingan
dalam penelitian, pengolahan data, dan penyusunan skripsi secara sukarela.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan
karena keterbatasan penulis sendiri sehingga kritik dan saran yang membangun
sangat penulis harapan. Namun penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi
yang membacanya.

Bogor, Januari 2014


Fadhila Anisa A. R.

v

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ................................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... vii
PENDAHULUAN ...................................................................................................1
Latar Belakang .................................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ................................................................................................. 2
METODE .................................................................................................................2
Waktu dan Lokasi Penelitian ............................................................................... 2
Bahan ................................................................................................................... 3
Alat ...................................................................................................................... 3
Prosedur Penelitian .............................................................................................. 3
Pengumpulan Data Lapang .............................................................................. 3
Analisis Data .................................................................................................... 5
Pra-Pengolahan Citra ....................................................................................... 5

Pengolahan Citra .............................................................................................. 5
Penilaian Akurasi ............................................................................................. 7
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................8
Klasifikasi Habitat dengan Algoritma Lyzenga .................................................. 8
Klasifikasi Habitat dengan Warna Komposit Perairan ...................................... 10
Pengujian Akurasi Hasil Klasifikasi Habitat ..................................................... 13
SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................................18
Simpulan ............................................................................................................ 18
Saran .................................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................19
LAMPIRAN .........................................................................................................21
RIWAYAT HIDUP ................................................................................................32

vi

DAFTAR TABEL
1. Spesifikasi dari beberapa citra satelit................................................................... 1

2. Alat penelitian yang digunakan ........................................................................... 3
3. Nilai spektral kanal citra WorldView-2 ............................................................... 5

4. Skema klasifikasi 14 kelas habitat ....................................................................... 6
5. Nilai rasio koefisien atenuasi (ki/kj) .................................................................... 9
6. Nilai confusion matrix pada klasifikasi 14 kelas habitat RGB 567 ................... 14
7. Nilai confusion matrix pada klasifikasi 14 kelas habitat (kanal 1 dan 3) .......... 14
8. Akurasi dari producer dan user 14 kelas habitat RGB 567 ............................... 15
9. Akurasi dari producer dan user 14 kelas habitat (kanal 1 dan 3) ...................... 15
10. Nilai confusion matrix pada klasifikasi 7 kelas habitat RGB 567 ................... 16
11. Nilai confusion matrix pada klasifikasi 7 kelas habitat (kanal 1 dan 3) .......... 16
12. Akurasi dari producer dan user 7 kelas habitat RGB 567 ............................... 17
13. Akurasi dari producer dan user 7 kelas habitat (kanal 1 dan 3) ...................... 17

DAFTAR GAMBAR
1. Lokasi penelitian di gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu ............................... 2
2. Alur pengolahan dan analisis data citra satelit .................................................... 4
3. Contoh perhitungan dari confusion matrix .......................................................... 7
4. Hasil transformasi dengan algoritma Lyzenga, a) kanal 1 dan 2; b) kanal 1
dan 3; c) kanal 2 dan 3; dan d) kanal 3 dan 4 .................................................... 9
5. Peta tematik klasifikasi menggunakan algoritma Lyenga, a) kanal 1 dan 2;
b) kanal 1 dan 3; c) kanal 2 dan 3; dan d) kanal 3 dan 4 .................................. 10
6. Peta tematik berdasarkan warna komposit ........................................................ 11

7. Peta tematik hasil reclass 7 kelas dengan algoritma Lyzenga kanal 1 dan 3 .... 12
8. Peta tematik hasil reclass 7 kelas dengan warna komposit RGB 567 ............... 12

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Data GPS titik akurasi dan habitat dasar perairan dangkal ............................. 21
Data GPS titik training area dan habitat dasar perairan dangkal .................... 24
Peta survei lapang ............................................................................................ 26
Nilai uji akurasi warna komposit .................................................................... 27
Nilai uji akurasi algoritma Lyzenga ................................................................ 28
Dokumentasi hasil survei lapang .................................................................... 30

vii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Habitat dasar perairan dangkal merupakan tempat hidup untuk tumbuh
makhluk hidup yang berada di perairan. Habitat dasar perairan dapat meliputi
lamun, karang hidup, dan pasir. Salah satu habitat dasar perairan yang memiliki
kedalaman dangkal yaitu gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Gugusan Pulau
Pari memilki habitat dasar perairan dangkal yang luas dan unik dibanding pulau
lainnya di wilayah Kepulauan Seribu. Gugusan Pulau Pari tidak ditumbuhi karang
yang membentuk atol ataupun karang penghalang, tetapi memiliki fringing reef
yang cukup luas.
Saat ini habitat dasar perairan dangkal berada dalam ancaman yang serius
yang disebabkan dari berbagai kegiatan manusia dan dampak alam yang
memerlukan pemantauan berkelanjutan (Pandolfi et al. 2003). Untuk mengetahui
informasi tersebut, dapat ditentukan dari beberapa sumber, yaitu penginderaan jauh,
survei lapang, dan pengetahuan lokal (Nakaoka 2004). Penginderaan jauh dapat
dijadikan alat pemantauan yang ideal karena dapat mencakup luas spasial lengkap,
parameter yang dikumpulkan pada skala spasial yang relatif kecil di bidang
program pemantauan yang dapat digunakan untuk validasi dan kalibrasi citra
penginderaan jauh.
Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh saat ini sudah mulai banyak
digunakan, seperti pendeteksian atau pemetaan habitat dasar perairan. Menurut
Andrews (2003), pemetaan dasar perairan dapat menggambarkan pemetaan dasar
laut untuk mengidentifikasi geologi dan morfologi secara regional. Pemetaan
habitat dasar perairan dapat menggunakan citra satelit yang memiliki kemampuan
yang dapat mendeteksi objek dengan baik. Pengamatan penginderaan jauh dapat
dilaksanakan dari banyak satelit yang berbeda yang menutupi luasan interval
spasial dan resolusi spasial (Vahmäe 2009).
Citra satelit WorldView-2 merupakan satelit komersial pertama beresolusi
tinggi yang terbagi dalam 8 sensor spektral pada cakupan sinar tampak dengan
inframerah-dekat. Citra satelit ini mempunyai tingkat detail yang tinggi untuk
memroses klasifikasi, salah satunya klasifikasi habitat perairan dangkal (Digital
Globe 2010). Adapun perbandingan kemampuan masing-masing citra satelit yang
disajikan pada Tabel 1. Kemampuan sensor dari setiap satelit mampu mendeteksi
perairan dangkal yang berbeda-beda sesuai dengan resolusi spasialnya (Siregar
2010).
Tabel 1. Spesifikasi dari beberapa citra satelit
Spesifikasi
Ikonos
Geoeye-1
Quickbird
WorldView-2
Resolusi spasial
0,82
0,41
0,65
0,46
panchromatic (m)
Resolusi spasial
3,2
1,65
2,62
1,85
multispektral (m)
Luas liputan (km)
11,3
15,2
18
16,4
Sensor spektral (band)
4
4
4
8
Sumber: Digital Globe (2010)

2

Untuk menglasifikasikan habitat suatu objek dapat menggunakan lima kajian
atau metode (Green et al. 2000), yaitu (a) kajian menggunakan pengertian khusus
dari habitat-habitat, (b) kajian yang berfokus pada tipe habitat tertentu untuk
penerapan yang spesifik, (c) kajian dengan prinsip yang terkait dengan pemetaan
geomorfologi, (d) kajian ekologi yang menggambarkan habitat sampai kuantifikasi
dari kumpulan biotik, dan (e) kajian yang mengkombinasikan lebih dari satu tipe
informasi, seperti geomorpologi dan kumpulan biotik. Kajian-kajian tersebut dapat
digunakan sebagai pendeketan metode memetakan habitat bentik berdasarkan
warna komposit di perairan dengan skema klasifikasi habitat. Oleh karena itu,
diharapkan dapat membantu dalam menejemen dan konservasi habitat dasar
perairan, salah satunya habitat dasar perairan di gugusan Pulau Pari.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengklasifikasikan habitat komunitas bentik
menggunakan citra komposit yang berbeda dan citra hasil koreksi kolom air.

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Agustus 2013, dengan pemrosesan
citra pada bulan Mei-Juni 2013, ground truth pada tanggal 29 Juni-2 Juli 2013, dan
analisa data pada bulan Juli-Agustus 2013. Lokasi survei lapangan atau ground
truth bertempat di gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dapat dilihat
pada Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Lokasi penelitian di gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu

3

Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah citra satelit WorldView-2
dengan resolusi spasial 0,46 m (pankromatik) dan 1,84 m (multispektral) yang telah
terkoreksi radiometrik, tanggal perekaman citra yaitu pada tanggal 21 Agustus
2012. Letak geografis lokasi penelitian antara 5o51’37,71”LS–5o51’32,94”LS dan
106o34’6,469”BT–106o38’23,81”BT, dan data hasil survei lapangan yaitu titik
koordinat dan basis data habitat dasar perairan yang diamati. Data titik koordinat
dan basis data hasil survei lapang, dapat dilihat pada (Lampiran 1 dan 2).
Alat
Alat yang digunakan dalam pengolahan data dijabarkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Alat penelitian yang digunakan
Alat
Spesifikasi
Perangkat keras
Komputer jinjing Asus
(hardware)
dengan intel Core I3
Perangkat lunak
IDRISI Selva, Arc GIS
(software)
10, Er Mapper 6.4 dan
Microsoft Excel 2013
GPS
Garmin 60csx
Kamera digital
bawah air
Alat dasar selam

Canon
Amscud

Bootes

Amscud

Sabak
Pensil
Roll meter
Transect quadrate

newtop
2B
Ukuran 50 m
Ukuran 1x1 m

Fungsi
Media input, pengolahan data,
dan pencetakan output
Pengolahan data citra

Pengambilan
geografis
Dokumentasi

data

posisi

Alat bantu untuk pengamatan
habitat dasar perairan
Melindungi
kaki
saat
pengamatan
Media hasil pengamatan
Menulis hasil pengamatan
Pengambilan data setiap 10 m
Pengambilan data habitat yang
mewakili

Prosedur Penelitian
Tahapan penelitian (Gambar 2) berkaitan dengan proses cara pengumpulan
dan analisis data untuk mencapai tujuan penelitian. Tahapan yang dilakukan dalam
penelitian ini meliputi pengumpulan data lapang, analisis data, dan analisis
penilaian akurasi.
Pengumpulan Data Lapang
Pengumpulan data lapang dilakukan beberapa tahap yaitu pengambilan data
primer dan pengumpulan data sekunder. Pengambilan data primer yang dilakukan
di lapang meliputi: a) verifikasi citra, dilakukan cek lapang hasil interpretasi, b)
pengamatan objek dasar perairan secara langsung (in-situ) dengan menggunakan

4

alat dasar selam, c) pengambilan data posisi pada titik pengamatan dengan
menggunakan GPS (Global Positioning System) (Lampiran 3), dan d) pengambilan
gambar setiap objek.
Metode pengamatan dan pengambilan data pada penelitian ini menggunakan
teknik sampling data spasial secara acak. Metode pengambilan data dilakukan
menggunakan transek kuadrat (1x1 m) setiap 10 m tegak lurus dari tepi pantai
menuju tubir. Setiap pengambilan data pada transek kuadrat, dilakukan
pengambilan data posisi menggunakan GPS dan pengambilan gambar setiap objek,
dapat dilihat pada Lampiran 6.
Metode ini dilakukan di setiap stasiun pengamatan di wilayah gugusan Pulau
Pari, yaitu bagian Utara, Barat, Timur, dan Selatan Pulau Pari yang mewakili
klasifikasi habitat dasar perairan dangkal dari keseluruhan daerah penelitian.
Pengumpulan data lapang dapat didukung dengan pengumpulan data sekunder.
Untuk pengumpulan data sekunder menurut Asmadin (2011) dapat dilakukan dari
hasil akuisisi pengetahuan dan penelitian yang relevan.
Mulai

Citra Satelit WorldView-2
(21 Agustus 2012)

Koreksi geometrik

GCP
(Ground Control
Points)

Citra terkoreksi

Training area dan masking
Kanal:
1 dan 2
1 dan 3
2 dan 2
3 dan 4

Algoritma
Lyzenga

Citra
komposit

Klasifikasi terbimbing
Maximum Likelihood
Standard
(14 kelas)

Klasifikasi terbimbing
Maximum Likelihood
Standard
(14 kelas)

Uji Akurasi
Peta tematik habitat
bentik

Selesai

Gambar 2. Alur pengolahan dan analisis data citra satelit

Kanal:
321
345
567
531

5

Analisis Data
Proses analisis data meliputi dua tahapan, yaitu pra-pengolahan citra dan
pengolahan citra. Penelitian ini mencoba menggunakan kanal-kanal baru yang
dimiliki citra satelit WorldView-2, seperti kanal Coastal blue yang mampu
menembus kolom air (Digital Globe 2010), yellow, dan red edge. Kanal-kanal
tersebut kemudian dikombinasikan dengan kanal lama. Komposit band yang
diujikan atau dicobakan adalah RGB 321, 345, 567, dan 531, sedangkan untuk
transformasi Lyzenga, kanal yang digunakan yaitu 1 dan 2, 1 dan 3, 2 dan 3, serta
3 dan 4. Berikut adalah sensor kanal WorldView-2 yang disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai spektral kanal citra WorldView-2 (Digital Globe 2010, 2011)
Band Name
Panjang
Batas band
Batas band
gelombang pusat
minimum
maksimum
(nm)
(nm)
(nm)
Pankromatik
632,2
450
800
1 (Coastal Blue)
427,3
400
450
2 (Blue)
477,9
450
510
3 (Green)
546,2
510
580
4 (Yellow)
607,8
585
625
5 (Red)
658,8
630
690
6 (Red Edge)
723,7
705
745
7 (NIR 1)
831,3
770
895
8 (NIR 2)
908,0
860
1040
Pra-Pengolahan Citra
Penggunaan citra WorldView-2 untuk menghasilkan peta klasifikasi habitat
dasar perairan dangkal yang baik menurut Nurlidiasari (2004) dapat dilakukan
sebagai berikut, koreksi radiometrik, koreksi geometrik, koreksi atmosfer,
transformasi citra, klasifikasi citra, dan akurasi klasifikasi. Untuk tahap prapengolahan citra dapat berupa koreksi geometrik. Koreksi geometrik citra
merupakan koreksi posisi koordinat agar sesuai dengan koordinat geografis.
Koreksi geometrik yang dilakukan yaitu dengan dua langkah, antara lain
transformasi koordinat dan resampling citra. Koreksi ini menggunakan ground
control point (GCP) yang didapat dari survei lapang yang dikenali dalam citra untuk
koreksi geometrik. Titik GCP tersebut diambil secara menyebar di beberapa lokasi
yang mempunyai sifat geometrik yang tetap sehingga dapat diperoleh nilai RMS
(root mean square) < 0,5. Selanjutnya, tahap rektifikasi (pembetulan) citra
berdasarkan informasi posisi GCP. Hal ini bertujuan untuk menempatkan pixel
citra pada posisi sebenarnya di permukaan bumi. Tahap ini dipengaruhi saat
pengambilan data in-situ, metode penentuan akurasi posisi, dan GPS yang
digunakan.
Pengolahan Citra
Citra yang telah diproses pada tahap awal, selanjutnya diintrepretasikan
dengan menggunakan data lapangan. Penggabungan hasil analisis citra awal dengan
data lapangan digunakan untuk memperbaharui dan mengoreksi peta klasifikasi
habitat dasar perairan dangkal. Algoritma yang digunakan, yaitu algoritma Lyzenga
dan metode klasifikasi Maximum Likehood Standard. Menurut (Siregar 2010),

6

analisis habitat dasar perairan dangkal dapat diekstrak dari citra satelit dengan
menggunakan algoritma “depth-invariant bottom index”. Algoritma tersebut dapat
digunakan sebagai indeks karakteristik dasar perairan. Persamaan yang digunakan
dalam algoritma ini sebagai berikut (Green et al 2000):
ln � ............................................................................. (1)
� = ln � −
= � + √(� +

�=

� −�


.................................................................................... (2)

................................................................................................. (3)

dimana Y merupakan indeks dasar perairan, B adalah kanal yang dipilih, ki/kj
adalah koefisien atenuasi, � adalah variance kanal ke-i, � adalah variance kanal
ke-j, dan � adalah covar kanal ke-ij. Algoritma ini merupakan metode koreksi
kolom air yang sering dikenal dengan Algoritma Lyzenga. Tujuan metode ini
adalah untuk mengurangi pengaruh atenuasi kolom air dalam radiansi atau
reflektansi dasar.
Setelah itu, tahap berikutnya adalah melakukan klasifikasi citra untuk
mengekstraksi nilai spektral suatu objek seperti, terumbu karang, lamun, pasir, dan
lainnya, sehingga terbentuk pengelompokkan objek ke dalam kelas-kelas. Metode
klasifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah klasifikasi terbimbing
(Supervised Classification). Hasil citra yang telah ditranformasikan dengan
algoritma Lyzenga diklasifikan dengan pendekatan metode Maximum Likelihood
Standard dan hasil citra yang menggunakan kombinasi warna komposit perairan (3
kanal) tanpa koreksi kolom perairan juga menggunakan pendekatan Maximum
Likelihood Standard. Untuk mengidentifikasi pengelompokkan habitat dasar
perairan dengan perbedaan dalam habitat karakteristiknya, maka harus
menggunakan skema klasifikasi habitat menurut karakteristik habitat tersebut.
Skema klasifikasi yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada penilitian
yang dilakukan oleh Carlos et al (2012) yang ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Skema klasifikasi 14 kelas habitat
Struktur Subtrat
Struktur Dominan
Utama
Sand
1 Pasir
2 Pasir+Lamun
3 Pasir+Rubble
4 Pasir+Karang Hidup
5 Pasir+Alga
Batu Karang
6 Karang Hidup
7 Karang Hidup+Rubble
8 Karang Hidup+Pasir
9 Pinacle
Pecahan Karang
10 Rubble
11 Rubble+Karang Hidup
12 Rubble+Pasir
Struktur Penutupan Biologis
13 Lamun Tutupan Tinggi
14 Lamun Tutupan Sedang

7

Modifikasi skema klasifikasi ini disesuaikan dengan karakteristik habitat
dasar perairan dangkal lokal. Hasil skema klasifikasi yang digunakan adalah tiga
atribut dasar yang menggambarkan setiap poligon pemetaan. Atribut tersebut antara
lain struktur utama dari substrat, penutupan biologis, dan struktur dominan. Dari
skema klasifikasi yang digunakan, dihasilkan 14 kelas habitat yaitu pasir,
pasir+lamun, pasir+rubble, pasir+karang hidup, pasir+alga, batu karang, karang
hidup+rubble, karang hidup+pasir, pinakle, rubble, rubble+karang hidup,
rubble+pasir, lamun tutupan tinggi, dan lamun tutupan sedang.
Penilaian Akurasi
Penilaian akurasi dari klasifikasi penginderaan jauh yang biasa digunakan
adalah error matrix (matriks kesalahan) atau sering disebut sebagai confusion
matrix. Metode ini dilakukan dengan membandingkan citra yang diklasifikasikan
sebagai peta hasil untuk kelas yang sebenarnya dengan beberapa data referensi
lapang (ground truth) yang diyakini secara akurat mewakili suatu tutupan lahan.
Perhitungan dari matriks kesalahan dapat dilihat Gambar 3 (Congalton dan Green
2009). Matriks ini mengasumsikan n sebagai contoh atau sampel yang
didistribusikan ke sel k2, dimana setiap contoh ditugaskan ke satu dari kategori k
dalam peta (biasanya baris-baris pada matriks), dan satu dari kategori yang sama
dalam referensi data set (biasanya kolom matriks). Nilai nij merupakan nomor dari
sampel yang terklasifikasi ke kategori i (i=1,2, ..., k) dalam peta dan kategori j
(j=1,2, ..., k) dalam referensi data.

Gambar 3. Contoh perhitungan dari confusion matrix
Untuk akurasi secara keseluruhan (overall accuracy) antara klasifikasi
penginderaan jauh dan referensi data dapat dihitung dalam persamaan berikut ini:
��� �

dimana

� �=

∑ =1 �


............................................................................... (4)

+

=∑
=

sebagai nomor dari sampel yang terklasifikasi ke dalam kategori i pada klasifikasi
penginderaan jauh dan
+

=∑
=

8

sebagai nomor dari sampel yang terklasifikasi ke dalam kategori j pada data
referensi. Producer’s accuracy dapat dihitung pada persamaan berikut:






� � =�

+

.......................................................................... (5)

dan user’s accuracy dapat dihitung dengan persamaan di bawah ini:
’ �

� � =



�+

.................................................................................... (6)

HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan metode yang dilakukan dalam penelitian ini, didapatkan hasil
klasifikasi habitat bentik dengan transformasi citra menggunakan algoritma
Lyzenga dan hasil klasifikasi habitat bentik dalam berbagai warna komposit yang
diujikan pada Citra WorldView-2.

Klasifikasi Habitat dengan Algoritma Lyzenga
Penampakan yang dihasilkan suatu karakteristik dasar perairan dapat
dilakukan penajaman multi image atau koreksi kolom perairan yaitu dengan
mengombinasikan dua citra dari kanal yang memiliki penetrasi air yang baik.
Koreksi kolom air dilakukan dalam penelitian ini bahwa klasifikasi multispektral
menggunakan citra asli tidak bisa secara maksimal membedakan karakteristik objek
bentik karena dipengaruhi oleh kedalaman air (water column) sehingga koreksi
kolom air sangat diperlukan sebelum proses klasifikasi untuk meminimalisir
pengaruh kedalaman.
Aplikasi dari koreksi kolom perairan ini didapatkan empat citra baru dengan
masing-masing dua kombinasi kanal yaitu kombinasi kanal 1 dan kanal 2, kanal 1
dan kanal 3, kanal 2 dan kanal 3, serta kanal 3 dan kanal 4. Algoritma yang
digunakan dalam koreksi ini adalah “depth invariant index” (Lyzenga). Nilai
reflektansi pada citra yang dihasilkan dari koreksi ini berasal dari objek yang berada
di dasar perairan.
Nilai rasio koefisien atenuasi digunakan untuk menghitung nilai pada metode
transformasi Lyzenga setiap kombinasi band. Nilai rasio terendah (Tabel 5) yaitu
pada kombinasi kanal 1 dan kanal 3, yaitu sebesar 0,3493. Nilai tersebut didapatkan
dari rasio kanal coastal blue dengan panjang gelombang 427,3 nm dan kanal hijau
(546,2 nm). Kanal dengan panjang gelombang yang rendah memiliki koefisien
atenuasi yang rendah pula. Hal ini sesuai dengan kemampuan masing-masing kanal
yang dapat menembus air hingga kedalaman maksimum, kemudian dipantulkan
kembali dan ditangkap oleh sensor. Menurut Green et al. (2000), suatu perairan
yang jernih memungkinkan sensor satelit dapat mendeteksi kedalaman ±30 m.
Nilai rasio koefisien atenuasi pada kanal 1 dan kanal 2 yaitu sebesar 0,7921.
Nilai ini kurang sesuai dengan panjang gelombang dan kemampuan penetrasi
cahaya dari kanal 1 dan kanal 2. Kanal 1 dan kanal 2 merupakan kombinasi antara

9

kanal coastal blue dan kanal biru yang masing-masing memiliki panjang
gelombang pusat yang mendekati, yaitu 427,3 nm dan 477,9 nm.
Tabel 5. Nilai koefisien atenuasi (ki/kj)
No.
Kombinasi kanal
Nilai
1. ki/kj kanal 1 dan kanal 2
0,7921
2. ki/kj kanal 1 dan kanal 3
0,3493
3. ki/kj kanal 2 dan kanal 3
0,4405
4. ki/kj kanal 3 dan kanal 4
0,8638
Ada faktor yang memengaruhi penetrasi energi cahaya pada kedalaman
perairan, antara lain fitoplankton dan kekeruhan air yang umumnya terdiri dari
partikel sedimen tersuspensi dan komponen organik terlarut. Untuk melihat hasil
transformasi dari empat kombinasi kanal, dapat dilihat pada Gambar 4.

a

b

c

d

Gambar 4. Hasil transformasi dengan algoritma Lyzenga, a) kanal 1 dan 2; b)
kanal 1 dan 3; c) kanal 2 dan 3; dan d) kanal 3 dan 4
Hasil transformasi tersebut kemudian diklasifikasi lebih lanjut dengan
pendekatan pendekatan Maximum Likelihood Standard. Metode ini menggunakan
pendekatan dengan analisis statistik) dari objek. Habitat bentik yang terklasifikasi
ini disesuaikan dengan skema klasifikasi yang digunakan, yaitu pasir, pasir+lamun,
pasir+rubble, pasir+karang hidup, pasir+alga, karang hidup, karang hidup+rubble,
karang hidup+pasir, pinacle, rubble, rubble+karang hidup, rubble+pasir, lamun
tutupan tinggi, dan lamun tutupan sedang.
Masing-masing kombinasi kanal yang ditranformasikan dengan algoritma
Lyzenga menghasilkan pola klasifikasi habitat bentik yang berbeda. Terlihat pada
Gambar 5 bahwa ada beberapa daerah yang mendominasi seperti kelas habitat

10

karang hidup (merah), pinacle (cokelat), karang+pasir (merah muda), pasir
(kuning), dan karang+rubble (jingga). Berikut ini adalah hasil citra transformasi
Lyzenga yang diklasifikasikan menjadi 14 kelas habitat bentik (Gambar 5).

a

b

c

d

Gambar 5. Peta tematik klasifikasi menggunakan algoritma Lyenga, a) kanal 1
dan 2; b) kanal 1 dan 3; c) kanal 2 dan 3; dan d) kanal 3 dan 4

Klasifikasi Habitat dengan Warna Komposit Perairan
Penelitian ini pun didapatkan komposit kanal yang diujikan yaitu RGB 321
(hijau, biru, coastal), RGB 345 (hijau, kuning, merah), RGB 531 (merah, hijau,
coastal), dan 567 (merah, red edge, near-infrared 1). Hasil klasifikasi habitat bentik
berdasarkan warna komposit dengan menggunakan skema klasifikasi yang dapat
dilihat pada Gambar 6.
Sesuai dengan skema klasifikasi yang digunakan, hasil dari komposit band
RGB 321, 345, 531, dan 567 teridentifikasi 14 kelas habitat. Klasifikasi ini
dianalisis secara visual disesuaikan dengan skema klasifikasi yang digunakan.
Namun, komposit warna dengan 3 kanal masih kurang memadai dalam peta
klasifikasi ini karena terdiri atas 3 kombinasi band yang hanya mewakili beberapa
karakteristik suatu perairan.
Perbedaan habitat bentik yang mencolok dapat diintrepretasi secara visual
yang berdasarkan warna, yaitu karang hidup (merah), karang hidup+pasir (merah
muda), karang hidup+rubble (jingga), lamun tutupan sedang (hijau muda), lamun
tutupan tinggi (hijau tua), pasir (kuning), pasir+alga (cyan), pasir+karang hidup
(ungu tua), pasir+lamun (abu), pasir+rubble (ungu muda), pinacle (cokelat), rubble
(biru muda), rubble+karang hidup (biru tua), dan rubble+pasir (kuning muda). Ada
beberapa kelas yang tidak sesuai dengan pengamatan hasil survei lapangan, terlihat

11

pada Gambar 6 b) dan 6 d) bahwa kelas karang hidup berada di antara lagoon
dangkal dan bagian Barat Laut Pulau Pari. Selain itu kelas lamun tutupan sedang
banyak menyebar di daerah lagoon (Gambar 6 d).

RGB
321

RGB
531

a

c

RGB
345

b

RGB
567

d

Gambar 6. Peta tematik berdasarkan warna komposit
Pengaruh dari warna komposit ini tidak hanya mewakili beberapa
karakteristik dari suatu bentik habitat, tetapi juga karena pemilihan komposit kanal
yang dikombinasikan. Kanal yang memiliki panjang gelombang yang rendah,
masih memiliki pengaruh terhadap aerosol atau partikel-partikel yang berada di
kolom perairan. Seperti halnya pada band Coastal Blue yang memiliki panjang
gelombang (400-450 nm). Band ini pun dipengaruhi oleh hamburan atmosfer.
Dengan warna komposit perairan dan algoritma Lyzenga yang digunakan,
dapat disederhanakan dari 14 kelas habitat menjadi 7 kelas habitat. Penyederhanaan
ini dilakukan karena sedikitnya titik contoh kelas yang didapatkan dan adanya
kemiripan nilai digital masing-masing kelas sehingga adanya penggabungan
menjadi satu kelas dominan dari beberapa kelas. Hal tersebut juga diakibatkan
adanya keterbatasan pada GPS yang digunakan saat pengambilan data sehingga
kemungkinan adanya tumpang tindih antarkelas. Selain itu untuk meningkatkan
nilai akurasi sehingga memungkinkan penetapan kelas habitat yang lebih detail dan
mendekati pada kondisi sebenarnya di lapangan (Mumby dan Edwards 2002).
Penyederhanaan kelas atau reclassify ini masih menggunakan skema
klasifikasi habitat yang sama, hanya ada beberapa kelas yang disatukan dalam kelas
dominan. Hasil penyederhanaan tersebut antara lain penggabungan kelas habitat
pasir+alga, pasir, pasir+lamun, pasir+karang hidup, dan pasir+rubble menjadi kelas
pasir, kelas lamun tutupan tinggi dan lamun tutupan sedang menjadi kelas lamun,
dan kelas rubble, rubble+karang hidup, rubble+pasir menjadi kelas habitat rubble.
Penyederhanaan ini mengakibatkan kelas bentik habitat kurang detail. Namun, tetap

12

berguna untuk manajemen habitat perairan dangkal. Hasil dari reclassify kelas
habitat menggunakan transformasi Lyzenga dan warna komposit perairan,
selengkapnya disajikan pada Gambar 7 dan 8 berikut ini.

Gambar 7. Peta tematik hasil reclass 7 kelas dengan algoritma Lyzenga kanal 1
dan kanal 3

Gambar 8. Peta tematik hasil reclass 7 kelas dengan warna komposit RGB 567

13

Pengujian Akurasi Hasil Klasifikasi Habitat
Pengujian akurasi dari hasil klasifikasi habitat perlu dilakukan. Hal ini karena
dapat memberi gambaran tentang akurasi pemetaan berdasarkan klasifikasi secara
keseluruhan (Siregar 2010). Dalam penelitian ini, uji akurasi yang digunakan
mengacu pada metode Congalton and Green (2009) yaitu menggunakan dua
pengukuran antara lain hasil survei dan klasifikasi citra yang disusun dalam sebuah
matrik dua dimensi (confusion matrix).
Pengambilan titik sampel secara acak diambil sebanyak 145 titik dari hasil
citra klasifikasi dengan data lapang. Pengambilan titik sampel ini untuk referensi
dalam perhitungan nilai parameter user accuracy (UA), producer accuracy (PA),
dan overall accuracy (OA). Nilai-nilai parameter tersebut merupakan bagian dari
confusion matrix.
Hasil perhitungan uji akurasi dengan confision matrix disajikan pada Tabel 6
dan Tabel 7, nilai akurasi untuk kombinasi lainnya dapat dilihat pada Lampiran 4
dan 5. Untuk nilai akurasi klasifikasi 14 kelas habitat dengan algoritma Lyzenga
secara keseluruhan atau overall accuracy didapatkan sebesar 50,34%, sedangkan
nilai akurasi dengan warna komposit didapatkan sebesar 40,28%. Nilai akurasi ini
cukup mewakili untuk klasifikasi habitat dengan skema 14 kelas habitat, meskipun
belum mencapai persentase 60-80% yang mendekati pada kondisi yang sebenarnya
di lapangan.
Nilai user accuracy merupakan peluang rata-rata suatu piksel secara aktual
mewakili tiap kelas di lapangan. Nilai UA pada Tabel 8 terlihat bahwa nilai terbesar
diwakili oleh kelas pasir+karang hidup dan karang hidup+rubble dengan nilai
persentase sebesar 100% yang telah terklasifikasi dengan benar, dengan nilai
ommission error yaitu 0%. Nilai ommission error adalah membuang daerah yang
seharusnya termasuk dalam kelas. Untuk nilai terkecil diwakilkan pada kelas
habitat rubble+karang hidup yaitu 0%.
Beda halnya dengan nilai UA pada klasifikasi yang menggunakan algoritma
Lyzenga (kombinasi kanal 1 dan kanal 3). Nilai UA (Tabel 9) terlihat bahwa nilai
terbesar diwakili oleh kelas karang hidup+pasir dan lamun tutupan tinggi dengan
nilai persentase sebesar 67% yang telah terklasifikasi dengan benar, dengan nilai
ommission error yaitu 33%. Nilai UA terkecil diwakilkan pada kelas habitat
pasir+rubble yaitu sebesar 30%.
Adapun nilai producer accuracy (PA) yang merupakan nilai setiap piksel
pada sebuah kelas telah tepat terklasifikasi. Nilai PA pada klasifikasi ini
menunjukkan bahwa terdapat kelas habitat yang memiliki nilai sebesar 75% yaitu
pada kelas lamun tutupan sedang dengan nilai commission error (CE) adalah 25%.
Nilai terkecil diwakili oleh kelas habitat rubble+karang hidup dengan nilai PA
sebesar 0%. Nilai PA klasifikasi yang menggunakan algoritma Lyzenga (kombinasi
kanal 1 dan kanal 3) pada Tabel 9 terlihat bahwa nilai terbesar diwakili oleh kelas
pasir dengan nilai persentase sebesar 80% dan nilai CE adalah 20%, sedangkan nilai
PA terkecil diwakilkan pada kelas habitat karang hidup+rubble yaitu sebesar 9%
dengan nilai commission error sebesar 91%. Commission error merupakan
kesalahan dalam memetakan yang sesuai dengan kelasnya, dengan memasukkan
daerah yang seharusnya dibuang dari kelas. Untuk kelas yang lain dapat dilihat
selengkapnya pada Tabel 6, 7, 8, dan 9.

14

Tabel 6. Nilai confusion matrix pada klasifikasi 14 kelas habitat RGB 567
Referensi Lapang
kelas

K
l
a
s
i
f
i
k
a
s
i

P

PL

P

4

PL

3

PR

PK

PA

KH

KHR

KHP

1

PR
PK

3

2

2

2

Pi

R

RKH

RP

LTT

LTS

3

2

1

1

2
2

1

1

1

1

1

3
1

PA

4

11

OE
(%)
64

12

75

10
3

80

6

33

11

27

2

0

3

33

14

93

5

60

3

100

9

67



1
8

KH

3
2

KHR

2

KHP
Pi

2

1

R

1

2

1
1

7

3

2
0

RKH

1

RP

5

LTT

1

LTS

2

2

1

3

3

1

1

2

3

1

1

1

1

0

3

1

7

15

1

39

62

1

1

9

16

44

12

144



8

12

6

7

9

13

6

12

4

9

3

19

CE
(%)

50

75

67

57

56

39

67

83

75

78

1

84

24
38

25

OA

40,28

Keterangan: P=Pasir, PL=Pasir+Lamun, PR=Pasir+Rubble, PK=Pasir+Karang Hidup,
PA=Pasir+Alga, KH=Karang Hidup, KHR=Karang Hidup+Rubble, KHP=Karang
Hidup+Pasir, Pi=Pinacle, R=Rubble, RKH=Rubble+Karang Hidup, RP=Rubble+Pasir,
LTT=Lamun Tutupan Tinggi, LTS=Lamun Tutupan Sedang.

Total akurasi (OA) = 58/144*100% = 40,28%; Nilai overall error = 59,72%
Tabel 7. Nilai confusion matrix pada klasifikasi 14 kelas habitat (kanal 1 dan 3)
Referensi Lapang
kelas

K
l
a
s
i
f
i
k
a
s
i

P

PL

PR

PK

PA

P

4

2

2

1

PL

1

6

1

2

PR
PK

3

2

PA

1

KH

KHR

KHP

1

Pi

R

RKH

RP

LTT

1

1

1

1

1

1

2
1

1
2

KH

6

2

KHR

1

2
1

8

1

2

RKH

1
1

2

LTT

3

2

LTS

1



5

9

CE
(%)

20

30

2
14
79

1
1
0

8
80

2

2
8
25

12
91

12

50

1

10
3

70
67

1

6

67

11

45

3

67

75

12
33

33
43

1

5

60

2

3

67

1

3

2

2

1

23

1
8

3
14

2

1

RP

2

1

2

R

64

2

KHP

1

6

1
2
0

6

4
83

25

OE
(%)


11

2

1

Pi

LTS

37
35

8
19
50

9

67

39

33

16

50

145
OA

50,34

15

Total akurasi (OA) = 73/145*100% = 50,34%
Nilai overall error = 49,66%
Tabel 8. Akurasi dari producer dan user 14 kelas habitat RGB 567
Producer Accuracy
Kelas Habitat
Akurasi (%)
Pasir
4/8
= 50
Pasir+Lamun
3/12
= 25
Pasir+Rubble
2/6
= 33
Pasir+Karang Hidup
3/7
= 43
Pasir+Alga
4/9
= 44
Karang Hidup
8/13
= 61
Karang Hidup+Rubble 2/6
= 33
Karang Hidup+Pasir
2/12
= 17
Pinacle
1/4
= 25
Rubble
2/9
= 22
Rubble+Karang Hidup 0/3
=0
Rubble+Pasir
3/19
= 16
LTT
15/24 = 63
LTS
9/12
= 75

User Accuracy
Kelas Habitat
Akurasi (%)
Pasir
Pasir+Lamun
Pasir+Rubble
Pasir+Karang Hidup
Pasir+Alga
Karang Hidup
Karang Hidup+Rubble
Karang Hidup+Pasir
Pinacle
Rubble
Rubble+Karang Hidup
Rubble+Pasir
LTT
LTS

4/11
2/12
2/10
3/3
4/6
8/11
2/2
2/3
1/14
2/5
0/3
3/9
15/39
9/16

= 36
= 25
= 20
= 100
= 67
= 73
= 100
= 67
= 07
= 40
=0
= 33
= 38
= 56

Tabel 9. Akurasi dari producer dan user 14 kelas habitat (kanal 1 dan 3)
Producer Accuracy
Kelas Habitat
Akurasi (%)
Pasir
4/5
= 80
Pasir+Lamun
6/9
= 67
Pasir+Rubble
3/14
= 21
Pasir+Karang Hidup
1/2
= 50
Pasir+Alga
2/8
= 25
Karang Hidup
6/8
= 75
Karang Hidup+Rubble 1/11
= 9
Karang Hidup+Pasir
2/8
= 25
Pinacle
8/12
= 67
Rubble
2/3
= 67
Rubble+Karang Hidup 1/6
= 17
Rubble+Pasir
3/4
= 75
LTT
26/40 = 65
LTS
8/15
= 53

User Accuracy
Kelas Habitat
Akurasi (%)
Pasir
Pasir+Lamun
Pasir+Rubble
Pasir+Karang Hidup
Pasir+Alga
Karang Hidup
Karang Hidup+Rubble
Karang Hidup+Pasir
Pinacle
Rubble
Rubble+Karang Hidup
Rubble+Pasir
LTT
LTS

4/11
6/12
3/10
1/3
2/6
6/11
1/3
2/3
8/14
2/5
1/3
3/9
26/39
8/16

= 36
= 50
= 30
= 33
= 33
= 55
= 33
= 67
= 57
= 40
= 33
= 33
= 67
= 50

16

Dengan penyederhanaan kelas menjadi 7 kelas, nilai overall accuracy
masing-masing klasifikasi menjadi 52,08% (warna komposit) dan 62,76%
(algoritma Lyzenga). Nilai akurasi pada klasifikasi warna komposit masih belum
mewakili, tetapi presentase yang dihasilkan mendekati 60%, sedangkan nilai
akurasi pada algoritma Lyzenga cukup mewakili karena berkisar di atas 60%. Nilai
PA dan UA terbesar yang diwakili kelas habitat 7 kelas dihasilkan tidak jauh
berbeda dengan 14 kelas habitat. Nilai PA terbesar untuk kedua metode klasifikasi
yaitu pada kelas lamun dengan nilai 72% (warna komposit) dan kelas pasir dengan
nilai 83% (algoritma Lyzenga). Nilai UA terbesar yaitu pada kelas karang
hidup+rubble dengan persentase sebesar 100% (warna komposit) dan pada kelas
lamun dengan presentase sebesar 75% (algoritma Lyzenga), selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 12 dan 13.
Tabel 10. Nilai confusion matrix pada klasifikasi 7 kelas habitat RGB 567
Referensi Lapang
kelas
P
KH KHR KHP P
R Lamun ∑ OE(%)
K
P
28
1
3
1
3
6
42
5
l
KH
8
3
11
27
a
s
KHR
2
2
0
i
KHP
2
1
3
33
f
P
2
1
1
7
3
14
93
i
R
1
2
2
3
8
1
17
53
k
1
4
2
9
26
55
36
a Lamun 13
s
42
13
6
12
4
31
36
144

i
CE(%) 34
38
67
83
75
74
28
OA 52,08
Total akurasi (OA) = 75/144*100% = 52,08%
Nilai overall error = 47,92%
Tabel 11. Nilai confusion matrix pada klasifikasi 7 kelas habitat (kanal 1 dan 3)
Referensi Lapang
kelas
P
KH KHR KHP
P
R Lamun
OE(%)

K
P
l
29
1
1
3
3
5
42
31
a
KH
11
6
2
1
2
45
s
KHR
3
1
2
67
i
KHP
3
2
1
33
f
P
14
1
2
7
4
50
i
R
17
k
1
1
3
4
1
5
2
71
a Lamun
55
4
4
3
1
2
41
25
s
8
13
13
13
10
53

35
145
i
CE(%) 17
25
92
85
46
50
23
OA
62,76
Total akurasi (OA) = 91/145*100% = 62,76%
Nilai overall error = 37,24%

17

Tabel 12. Akurasi dari producer dan user 7 kelas habitat RGB 567
Producer Accuracy
Kelas Habitat
Akurasi (%)
Pasir
28/42 = 67
Karang Hidup
8/13
= 62
Karang Hidup+Rubble 2/6
= 33
Karang Hidup+Pasir
2/12
= 17
Pinacle
1/4
= 25
Rubble
8/31
= 26
Lamun
26/36 = 72

User Accuracy
Kelas Habitat
Akurasi (%)
28/42 = 67
Pasir
8/11 = 73
Karang Hidup
= 100
Karang Hidup+Rubble 2/2
2/3
= 67
Karang Hidup+Pasir
1/14 = 7
Pinacle
8/17 = 47
Rubble
26/55 = 47
Lamun

Tabel 13. Akurasi dari producer dan user 7 kelas habitat (kanal 1 dan 3)
Producer Accuracy
Kelas Habitat
Akurasi (%)
Pasir
29/35 = 83
Karang Hidup
6/8
= 75
Karang Hidup+Rubble 1/13
= 8
Karang Hidup+Pasir
2/13
= 15
Pinacle
7/13
= 54
Rubble
5/10
= 50
Lamun
41/53 = 77

User Accuracy
Kelas Habitat
Akurasi (%)
29/42 = 69
Pasir
6/11 = 55
Karang Hidup
= 33
Karang Hidup+Rubble 1/3
2/3
= 67
Karang Hidup+Pasir
7/14 = 50
Pinacle
5/17 = 29
Rubble
41/55 = 75
Lamun

Secara umum, nilai akurasi untuk pemetaan habitat dasar perairan
menghasilkan nilai OA yang berbeda-beda. Contohnya seperti penelitian yang
dilakukan oleh Siregar (2010) dan Agus (2012) yang masing-masing menggunakan
citra satelit yang berbeda. Pada penelitian Siregar (2010), citra yang digunakan
adalah QuickBird dengan kelas habitat substrat dasar 5 kelas yang menghasilkan
nilai akurasi sebesar 79%. Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Agus
(2012). Citra yang digunakan adalah citra WorldView-2 yang menglasifikasikan
habitat sejumlah 12 kelas. Nilai OA yang ditunjukkan adalah 68,98%.
Selain itu, nilai akurasi dari penelitian yang dilakukan Freans et al (2011)
dengan subjek sebanyak 8 kelas habitat dan menggunakan penginderaan jarak jauh
hiperspektral yaitu sebesar 81% dan 78%. Nilai akurasi yang dilakukan oleh Walker
et al (2008) yaitu 89,6% dengan menggunakan citra NOAA dari 3 kelas besar
habitat, sedangkan menurut Wabnitz et al (2008), nilai akurasi yang dihasilkan dari
3 kelas dengan sensor Landsat yaitu sebesar 46-88%. Menurut Mumby et al. (1998)
nilai akurasi 65-70% dapat dikategorikan cukup baik untuk pemetaan habitat pesisir
menggunakan inderaja satelit. Nilai ini merupakan pembuktian terhadap nilai
kevalidan data citra.
Faktor yang memengaruhi tingkat akurasi dari hasil klasifikasi antara lain
selisih posisi antara objek pada citra dengan pengukuran saat di lapangan yang
menggunakan GPS. GPS yang digunakan memiliki presisi 3-5 meter dari posisi
yang sebenarnya akan sangat berpengaruh terhadap hasil akurasi yang didapatkan,
sedangkan citra yang digunakan merupakan Citra Worldview-2 yang termasuk
golongan satelit dengan sensor yang beresolusi sangat tinggi yang mampu
mencapai tampilan pankromatik dengan resolusi yang kurang dari 0,5 meter (lebih

18

dari 0,46 m untuk jarak sampel) dan untuk tampilan multispektral memiliki resolusi
lebih dari 1,84 m. Sehubungan dengan hal ini, dalam proses transformasi sistem
koordinat citra ke sistem koordinat GPS diperoleh root mean square (RMS) sebesar
0,0970452 pixel, yang didapatkan dari 5 titik GCP (Ground Check Point). Nilai
tersebut menunjukkan bahwa terlalu sedikitnya titik GCP yang diambil walaupun
menghasilkan nilai yang cukup baik untuk citra WorldView-2.
Ketelitian dari penempatan titik kontrol dan akurasi koreksi geometrik dapat
diketahui dari nilai RMS. Apabila nilai RMS mendekati nol maka titik tersebut
dianggap benar (Purwadhi 2001), tetapi apabila nilainya ≥1 piksel maka titik
tersebut harus dikoreksi kembali. Setelah masing-masing titik mempunyai nilai
RMS ≤1 piksel maka citra tersebut telah menjadi citra yang terkoreksi secara
geometrik. Hal ini berkaitan dengan pengambilan titik sampel di lapangan dimana
kurang mewakili beberapa kelas sehingga nilai akurasi kurang dari 60%. Faktor
yang memengaruhi pengambilan data adalah faktor cuaca yang kurang mendukung.
Faktor cuaca ini dapat menjadi pengaruh besar saat pengambilan data karena
menyebabkan salah persepsi saat menentukan contoh habitat di setiap transeknya.
Hal ini berkaitan dengan resuspensi yang dikarenakan arus, angin, dan gelombang.
Gelombang dengan mudah akan meresuspensi sedimen ke permukaan perairan
(Liblik dan Lips 2011). Faktor ini pula yang akan meningkatkan nilai atenuasi
perairan (ki/kj) dan menurunkan nilai akurasi klasifikasi.
Faktor lainnya adalah faktor human error, yakni kesalahan dalam
menganalisis secara visual antara mendeskripsikan dari citra maupun intrepretasi
pengamatan data primer di lapangan. Pengambilan data yang dilakukan oleh
beberapa orang akan menghasilkan persepsi yang berbeda juga. Hal ini karena
pendeskripsian dari masing-masing orang yang tidak sama sehingga akan
berpengaruh terhadap keakuratan data substrat yang diambil.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Habitat dasar perairan dangkal dapat diidentifikasi dengan menggunakan
skema klasifikasi habitat, namun masih kurang memadai jika diidentifikasi
berdasarkan warna komposit. Klasifikasi dengan metode transformasi algoritma
Lyzenga, cukup mewakili karena citra dikoreksi kolom perairan untuk
menghilangkan faktor pada kedalaman perairan. Hasil uji akurasi yang paling besar
adalah klasifikasi pada komposit 567 (40,28%), sedangkan pada transformasi
Lyzenga pada kanal 1 (427,3 nm) dan 3 (546,2 nm) sebesar (50,34%). Hasil uji
akurasi reclassify menjadi 7 kelas yaitu sebesar 52,08% (warna komposit) dan
62,76% (algoritma Lyzenga). Klasifikasi ini disesuaikan dengan skema klasifikasi
habitat yaitu 14 kelas habitat antara lain pasir, pasir+lamun, pasir+rubble,
pasir+karang hidup, pasir+alga, karang hidup, karang hidup+rubble, karang
hidup+pasir, pinacle, rubble, rubble+karang hidup, rubble+pasir, lamun tutupan
tinggi, dan lamun tutupan sedang.

19

Saran
Area pengambilan data saat survei sebaiknya lebih diperluas dan diperbanyak
untuk mengurangi kesalahan penentuan posisi oleh GPS. Penggunaan GPS
sebaiknya kompatibel dengan citra yang digunakan. Jika menggunakan citra yang
beresolusi tinggi, sebaiknya menggunakan GPS yang memiliki tingkat presisi yang
baik agar mendapatkan nilai akurasi tinggi sehingga menghasilkan klasifikasi yang
lebih detail pada peta tematik. Persamaan persepsi dalam menganalisis data secara
visual di lapang, baik dalam melihat citra maupun mendekripsikan jenis habitat.
Selain itu, sebaiknya memilih waktu yang tepat dalam pengambilan data, misalnya
di saat cuaca cerah (mendukung).

DAFTAR PUSTAKA
Agus SB. 2012. Kajian Konektivitas Habitat Ontogeni Ikan Terumbu
Menggunakan Pemodelan Geospasial Di Perairan Kepulauan Seribu
[disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Asmadi