2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kitosan Kitosan adalah poliglukosamin yang dihasilkan dari kitin dengan proses
deasetilasi menggunakan suhu tinggi dan alkali berkonsentrasi tinggi Ockerman 1992. Kitosan yang disebut juga dengan ß-1,4-2 amino-2-dioksi-D-
glukosa merupakan turunan kitin melalui proses deasetilasi Bough 1975. 2.1.1. Sumber kitin dan kitosan
Kitin dan kitosan merupakan senyawa golongan karbohidrat yang dihasilkan dari limbah laut, khususnya golongan udang, kepiting, ketam dan kerang
Angka, Suhartono 2000. Kitin adalah substan organik kedua yang paling banyak ditemukan di alam setelah selulosa, terdapat dalam berbagai spesies
binatang Suptijah et al. 1992. Menurut Knorr 1982, kitin merupakan komponen organik penting penyusun kerangka krustacea, insekta dan moluska
serta penyusun dinding sel mikroba. Knorr 1984 menyebutkan bahwa kitin dapat ditemukan pada limbah udang
dan rajungan masing-masing sebesar 14-27 dan 13-15 berat kering tergantung dari jenis spesies dan faktor lain. Penelitian lain menyatakan,
kandungan kitin pada limbah udang dan rajungan sebesar 20-30 Johnson, Peniston 1982.
Menurut Knorr 1984, bahwa dari sekian banyak sumber kitosan hanya kulit udang dan rajungan yang sudah dimanfaatkan secara komersial.
Purwatiningsih 1992 menyatakan bahwa kulit udang lebih mudah didapatkan dibanding sumber kitin yang lain dan tersedia dalam jumlah yang besar sebagai
hasil industri pengolahan udang yang banyak terdapat di Indonesia. 2.1.2. Sifat fisiko kimia kitosan
Kitosan merupakan produk deasetilasi kitin dengan menggunakan basa kuat. Menurut Knorr 1982, kitosan adalah polimer dari 2-deoksi-2-amino glukosa
yaitu kitin yang terdeasetilasi yang mempunyai ikatan 1-4â. Besarnya gugus asetil yang hilang dari polimer kitin akan semakin memperkuat interaksi antar ion
dan ikatan hidrogen dari kitosan. Struktur molekul kitin dan kitosan dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
NH
2
OH OH
H H
H H
H O
CH
2
OH
NH
2
OH OH
H H
H H
H O
CH
2
OH
O NH
2
COCH
3
OH OH
H H
H H
H O
CH
2
OH
NH
2
COCH
3
OH OH
H H
H H
H O
CH
2
OH
O
Gambar 1. Struktur molekul kitin Sandford, Hutchings 1987
Gambar 2. Struktur molekul kitosan Sandford, Hutchings 1987 Kitosan berbentuk spesifik dan mengandung gugus amino dalam rantai
karbonnya. Gugus amino ini menyebabkan kitosan bermuatan positif yang berlawanan dengan polisakarida lainnya Ornum 1992. Kitosan merupakan
polielektrolit netral pada pH asam. Bahan-bahan seperti protein, anion polisakarida dan asam nukleat yang bermuatan negatif akan berinteraksi kuat
dengan kitosan membentuk ion netral Sandford 1989. Shahidi et al.1999 menyatakan kitosan memiliki 3 tiga tipe gugus fungsi yang reaktif, yaitu sebuah
gugus amino, gugus hidroksil primer dan gugus sekunder pada posisi C-2, C-3 dan C-6 secara berurutan.
Menurut Knorr 1982 bobot molekul kitosan sekitar 1,036 x 10
5
Dalton. Berat molekul kitosan tergantung dari degradasi yang terjadi pada saat proses
pembuatan kitosan. Kumar 2000 menambahkan bahwa sifat dan kelarutan kitosan dipengaruhi oleh bobot molekul dan derajat deasetilasi yang beragam
tergantung dari sumber dan metode isolasinya.
Kitosan dapat larut dalam beberapa larutan asam organik tetapi tidak larut dalam pelarut organik. Kitosan tidak larut dalam air, larutan basa kuat dan larutan
yang mengandung konsentrasi ion hidrogen di atas pH 6,5, tetapi kitosan dapat larut dalam asam hidroklorat dan asam nitrat pada konsentrasi 0,15-1,1 dan
tidak larut pada konsentrasi asam 10. Kitosan juga tidak larut dalam asam sulfur tetapi larut sebagian pada asam ortofosfat dengan konsentrasi 0,5
Ornum 1992. Menurut Knorr 1982 pelarut kitosan yang umum digunakan adalah asam asetat dengan konsentrasi 1-2.
Mutu kitosan yang diperdagangkan secara komersial tergantung pada penggunaannya, misalnya pada penanganan limbah diperlukan kitosan dengan
kemurnian yang rendah, sedangkan jika untuk obat-obatan diperlukan kitosan dengan kemurnian yang tinggi. Mutu kitosan tersebut dipengaruhi oleh beberapa
parameter yaitu kadar air, kadar abu, kelarutan, derajat deastilasi, viskositas dan bobot molekul Bastaman 1989 diacu dalam Suptijah et al. 1992.
Karakteristik kitosan berdasarkan standar mutu yang ditetapkan Protan Laboratories
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Syarat- syarat kitosan komersial
Parameter Nilai
Ukuran partikel Kadar air
Kadar abu Warna larutan
Derajat deasetilasi Viskositas Cp
1. rendah 2. sedang
3. tinggi 4. ekstra tinggi
Serpihan sampai serbuk 10
2 jernih
70 200 cps
200 - 799 cps 800 - 2000 cps
2000 cps
Sumber : Protan Laboratories diacu dalam Suptijah et al. 1992
2.1.3. Ekstraksi kitosan Kitosan diperoleh dari kitin melalui proses deasetilasi. Ekstraksi kitin dari
kulit udang dilakukan dua tahap, yaitu tahap pemisahan mineral demineralisasi
dan pemisahan protein deproteinasi yang dilanjutkan dengan pemutihan
Suptijah et al. 1992.
a. Proses demineralisasi Demineralisasi yaitu penghilangan mineral yang terdapat dalam bahan yang
mengandung kitin. Penghilangkan mineral tersebut terutama kandungan kalsiumnya dilakukan dengan penambahan asam seperti asam klorida HCl, asam
sulfat H
2
SO
4
, dan asam sulfit H
2
SO
3
Karmas 1982. Proses demineralisasi berdasarkan pada metode Suptijah et al. 1992 adalah dengan menggunakan HCl
1,5 N dengan perbandingan 1:7 bv untuk bahan dan larutan HCl dengan pemanasan pada suhu 90
o
C selama 1 jam. Pemisahan mineral bertujuan untuk menghilangkan senyawa organik yang
ada pada limbah tersebut. Besarnya kandungan mineral yang dihilangkan, maka akan menghasilkan kitin yang semakin baik. Kulit udang umumnya mengandung
30-50 mineral Angka, Suhartono 2000. Mineral utama yang terdapat pada udang yaitu kalsium dalam bentuk CaCO
3
dan sedikit Ca
3
PO4
2.
Senyawa kalsium akan bereaksi dengan HCl menghasilkan kalsium klorida, asam karbonat
dan asam fosfat yang larut dalam air pada saat demineralisasi. Reaksinya dapat dilihat pada Gambar 3.
CaCO
3
+ 2 HCl CaCl
2
+ H
2
CO
3
H
2
CO
3
H
2
O + CO
2
CaCO
3
+ 2 HCl CaCl
2
+ H
2
O+ CO
2
Ca
3
PO4
2
+ 6 HCl 3 CaCl
2
+ 2 H
3
PO
4
Gambar 3. Reaksi demineralisasi Bastaman 1989 Proses demineralisasi menyebabkan terjadinya reaksi kimia antara asam
klorida HCl dengan kalsium CaCO
3
dan Ca
3
PO4
2
, menghasilkan kalsium klorida yang akan mengendap apabila pH ditingkatkan dan mudah dipisahkan
dengan proses penyaringan. Proses demineralisasi akan berlangsung sempurna dengan mengusahakan
agar konsentrasi asam yang digunakan serendah mungkin dan disertai pengadukan yang konstan, dengan pengadukan yang konstan diharapkan dapat menciptakan
panas yang homogen sehingga asam yang digunakan tersebut dapat bereaksi sempurna dengan bahan baku yang digunakan Karmas 1982.
b. Proses deproteinasi Proses deproteinasi bertujuan menghilangkan protein dari limbah udang
tersebut. Protein ini dapat mencapai 30-40 berat bahan organik kulit udang Angka, Suhartono 2000. Keefektifan proses tersebut bergantung dari kekuatan
larutan basa dan tingginya suhu yang digunakan. Penggunaan larutan NaOH 3,5 dengan pemanasan 90
o
C selama 1 jam dapat dilakukan sebagai alternatif deproteinasi dengan perbandingan limbah udang yang kering dan larutan sebesar
1:10 Suptijah et al. 1992. Selama proses, larutan alkali akan masuk ke celah-celah limbah udang untuk memutuskan ikatan antara kitin dan protein.
Purwatiningsih 1992 menyatakan bahwa Ion Na
+
akan mengikat ujung rantai protein menjadi Na-proteinat yang selanjutnya dapat dipisahkan kembali dengan
menurunkan pH karena terjadi pengendapan natrium. Produk akhir dari proses demineralisasi dan deproteinasi tersebut adalah kitin.
c. Proses deasetilasi Pembuatan kitosan yaitu dengan cara penghilangan gugus asetil -COCH
3
deasetilasi dari kitin yang dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH pekat 50 dengan perbandingan 1:20 selama 1 jam pada suhu 120-140
o
C Suptijah et al. 1992. Suhu yang tinggi 140
o
C dan konsentrasi NaOH yang tinggi 50 berkaitan dengan ikatan kuat antara atom nitrogen pada gugus amin
dengan gugus asetil. Banyaknya gugus asetil yang hilang dari polimer kitin, maka akan semakin meningkatkan interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan
Ornum 1992. Terjadi reaksi antara NaOH dengan gugus N-asetil pada kitin rantai C-2 yang akan menghasilkan Na-asetat dan substitusi gugus asetil dengan
gugus amina -NH
2
selama berlangsungnya proses ini. 2.1.4. Pemanfaatan kitosan
Menurut Knorr 1982, kitosan mempunyai gugus amino bebas sebagai polikationik, pengkelat dan pembentuk dispersi dalam larutan asam asetat.
Karakteristik kitosan sebagai polielektrolit dapat digunakan untuk bahan pengkoagulasi dalam sistem pengolahan limbah secara fisik-kimia Bough 1975.
Kitin dan kitosan telah dimanfaatkan dalam berbagai keperluan industri seperti industri kertas dan tekstil sebagai zat aditif, industri pembungkus makanan
berupa film khusus, industri metalurgi sebagai absorban untuk ion-ion metal, industri kulit untuk perekat, photografi, industri cat sebagai koagulan, pensuspensi
dan flokulasi, serta industri makanan sebagai aditif dan penghasil protein sel tunggal Suptijah et al. 1992.
Kitosan digunakan sebagai pelapis benih yang akan ditanam sehingga terhindar dari jamur tanah pada bidang pertanian. Kitosan juga diaplikasikan pada
bidang peternakan sebagai pemisah separation spermatozoa yang mobil bergerak dan non mobil tidak bergerak dari babi jantan dan lembu jantan serta
dapat digunakan sebagai bahan tambahan ransum bagi ayam petelur dan dapat meningkatkan produksi sampai 8,8 Brzeski 1987.
Kitosan dalam bidang pangan dapat digunakan sebagai pengental atau pembentuk gel yang baik, pengikat, penstabil dan pembentuk tekstur karena
adanya kandungan senyawa komplek Microcrystalin Chitin MCC. Kitosan juga digunakan sebagai bahan penyaring yang efektif terhadap zat yang tidak
diinginkan seperti tanin pada kopi Brzeski 1987 dan menurut Knorr 1984 kitosan juga dapat digunakan untuk memurnikan anggur, bir dan juice.
Kitosan juga telah dimanfaatkan dalam berbagai bidang kesehatan antara lain sebagai bahan anti kolesterol, bahan pembungkus kapsul karena memiliki
kemampuan untuk melepas obat ke dalam tubuh secara terkontrol dan sebagai bahan anti tumor karena kitosan mempunyai sifat antibakterial dan antikoagulan
dalam darah serta dapat menggumpalkan sel-sel leukemia. Kitosan juga dapat digunakan sebagai pengganti tulang rawan, pengganti saluran darah baik arteri
maupun vena serta untuk bahan pembuat membran ginjal buatan Brzeski 1987. Hasil penelitian Anonim 2003 melaporkan bahwa kitosan telah diaplikasikan
sebagai benang operasi. Menurut Begin dan Marie 1999, kitosan juga dapat digunakan sebagai bahan dasar pengemas berupa film. Aplikasi kitin dan kitosan
dalam bidang pangan, dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Aplikasi kitin, kitosan dan turunannya dalam industri makanan
Aplikasi Contoh
Antimikroba Bakterisidal, fungisidal, pengukur kontaminasi jamur
pada komoditi pertanian. Industri Edible Film Mengatur perpindahan uap antara makanan dan
lingkungan sekitar, menahan pelepasan zat-zat antimikroba, menahan pelepasan zat-zat antioksidan,
menahan pelepasan zat-zat nutrisi, flavor dan obat, mereduksi tekanan parsial oksigen, mengontrol
pernafasan, pengatur suhu; menahan kegiatan browning enzimatis pada buah, dan mengembalikan tekanan
osmosis membran.
Bahan Aditif Mempertahankan flavor alami, bahan pengontrol
pengemulsi, food nimetic, bahan pengental, stabilizer dan penstabil warna.
Sifat Nutrisi Sebagai serat diet, penurun kolesterol, persediaan dan
tambahan makanan ikan, mereduksi penyerapan lemak, memproduksi protein sel tunggal, bahan antigrastitis
radang lambung, dan sebagai bahan makanan bayi.
Pengolahan Limbah Makanan Padat
Flokulan dan pemecah agar. Pemurnian Air
Memisahkan ion-ion logam, pestisida dan penjernihan.
Sumber : Shahidi et al. 1999
2.2. Enzim Kata enzim diperkenalkan oleh Kuhne pada tahun 1878 untuk suatu zat
yang bekerja pada suatu substrat. Kata enzim berasal dari bahasa Yunani yang berarti di dalam sel. Kuhne menjelaskan bahwa enzim bukan suatu sel tetapi
terdapat di dalam sel. Enzim sulit didefinisikan secara tepat, definisi yang dikemukakan adalah enzim merupakan protein yang mempunyai daya katalistik
karena aktivitas spesifiknya Dixon, Webb 1979. Enzim secara biokimia merupakan suatu kelompok protein yang berperan
sangat penting dalam proses aktivitas biologis. Tugasnya sebagai katalisator di dalam sel dan bersifat khas. Kerja enzim pada umumnya mempercepat reaksi
dengan cara menurunkan energi aktivasi Lehninger 1993. Klasifikasi enzim didasarkan pada jenis reaksi yang dikatalisnya, seperti
direkomendasikan oleh Commision on Enzyme of the International Union of Biochemistry
CEIUB. Menurut sistem ini, enzim dibagi lagi menjadi beberapa sub golongan. Penamaan enzim diawali dengan nama substrat, diikuti oleh
macam reaksi yang dikatalis dan akhiran -ase Muchtadi et al. 1992. Adapun keenam golongan enzim tersebut dan reaksi yang dikatalisisnya dapat dilihat pada
Tabel 3. Tabel 3. Penggolongan enzim secara internasional berdasarkan reaksi yang
dikatalisisnya No Kelas utama
Jenis reaksi yang dikatalisis 1. Oksidoreduktase Pemindahan elektron
2. Transferase Reaksi pemindahan gugus fungsional
3. Hidrolase Reaksi hidrolisis pemindahan gugus fungsional ke
air 4. Liase
Penambahan gugus ke ikatan ganda atau sebaliknya 5. Isomerase
Pemindahan gugus di dalam molekul menghasilkan isomer
6. Ligase Pembentukan ikatan C-C, C-S, C-O dan C-N oleh
reaksi kondensasi yang berkaitan dengan penguraian ATP
Sumber: Lehninger 1993
2.3. Enzim Proteolitik Enzim proteolitik adalah enzim yang dapat menguraikan atau memecahkan
protein. Protease termasuk ke dalam kelas utama enzim hidrolase yang mengkatalisis reaksi-reaksi hidrolisis Dixon, Webb 1979
Enzim proteolitik atau protease mempunyai dua pengertian, yaitu proteinase yang mengkatalisis hidrolisis molekul protein menjadi fragmen-fragmen yang
lebih sederhana, dan peptidase yang menghidrolisis fragmen polipeptida menjadi asam amino. Enzim proteolitik yang berasal dari mikroorganisme adalah protease
yang mengandung proteinase dan peptidase Frazier, Westhoff 1983. Berdasarkan sumbernya, enzim proteolitik diklasifikasikan kedalam enzim
yang berasal dari hewan, tumbuhan dan mikroorganisme Suhartono 1989. Enzim proteolitik berdasarkan sisi aktifnya diklasifikasikan menjadi empat
golongan Hartley 1960 diacu dalam Winarno 1995 yaitu: 1 Proteolitik serin, mempunyai residu pada sisi aktifnya dan secara spesifik
dihambat oleh DIFP diisopropilfosfofluridat dan turunan organofosforis lainnya. Enzim ini semuanya bersifat endopeptidase. Enzim yang termasuk
golongan ini adalah trypsin, kimotripsin, elastase dan subtilin.
2 Proteolitik thiol atau disebut proteolitik sulfhidril, keaktifannya tergantung pada residu SH pada sisi aktifnya. Enzim ini dihambat oleh senyawa
oksidator dan logam berat. Enzim yang termasuk golongan ini adalah papain, bromelin dan fisin.
3 Proteolitik metal, yaitu enzim yang keaktifannya tergantung pada adanya metal, biasanya terdapat hubungan stokiometrik, yaitu 1 mol metal per mol
enzim. Metal tersebut dapat terdiri dari Mg, Zn, Co, Fe, Hg, Ni dan lain sebagainya. Enzim ini dihambat oleh Ethylene Diamini Tetra Acetic Acid
EDTA yang dapat mengkelat logam sehingga keaktifan enzim akan berkurang. Contoh enzim yang termasuk golongan ini adalah
karboksipeptidase A dan beberapa aminopeptidase. 4 Proteolitik asam, yaitu enzim yang pada lokasi aktifnya terdapat dua gugus
karboksil. Keaktifannya dapat dihambat oleh p-bromofenasilibromida. Enzim yang termasuk golongan ini adalah pepsin, renin dan protease kapang. Enzim
ini hanya aktif pada pH rendah. 2.3.1. Enzim papain
Papain EC.3.4.22.2 merupakan enzim proteolitik hasil isolasi dari penyadapan getah buah pepaya Carica papaya L.. Getah pepaya mengandung
sebanyak 10 papain, 45 kimopapain dan lisozim sebesar 20 Winarno 1995.
Berdasarkan sifat-sifat kimianya, papain digolongkan sebagai protease sulfhidril Muchtadi et al. 1992. Papain tersusun atas 212 residu asam amino
dengan sistein-25 tempat gugus aktif thiol -SH essensial, yang membentuk sebuah rantai peptida tunggal dengan bobot molekul 21.000 - 23.000 gmol.
Rantai ikatan tersebut tersusun atas arginin, lisin, leusin, dan glisin Harrison et al. 1997. Sisi aktif yang terdapat di dalam molekul papain terdiri
atas gugus histidin dan sistein yang selama katalisis berlangsung, sisi aktif tersebut berfungsi sebagai ion zwitter Wong 1989 diacu dalam Budiman 2003.
Struktur enzim papain dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan klasifikasi the international union of biochemistry, papain
termasuk enzim hidrolase yang mengkatalisis reaksi hidrolisis suatu substrat dengan pertolongan molekul air. Aktivitas katalisis papain dilakukan melalui
hidrolisis yang berlangsung pada sisi-sisi aktif papain. Pemisahan gugus-gugus amida yang terdapat di dalam protein tersebut berlangsung melalui pemutusan
ikatan peptida Wong 1989 diacu dalam Budiman 2003. Enzim ini mempunyai aktivitas katalitik sebagai proteinase dan sanggup menghidrolisis peptida.
Berdasarkan sifat-sifat kimia dari lokasi aktif, papain termasuk protease sulfhidril, karena bagian aktif papain adalah gugus –SH Reed 1975.
Gambar 4. Struktur enzim papain Anonim 2003 Aktivitas enzim papain cukup spesifik karena papain hanya dapat
mengkatalisis proses hidrolisis dengan baik pada kondisi pH serta suhu dalam kisaran waktu tertentu. Papain mempunyai pH optimum 7,2 pada substrat BAEE
benzoil arginil etil ester, pH 6,5 pada substrat kasein, pH 7,0 pada albumin dan pH 5,0 pada gelatin Muchtadi et al. 1992. Suhu optimal papain sendiri adalah
50-60
o
C. Papain relatif tahan terhadap suhu, bila dibandingkan dengan enzim
proteolitik lainnya seperti bromelin dan lisin Winarno 1995. Papain biasanya aktif pada nilai pH antara 5,0 hingga 7,0 dengan titik isoelektrik 8,75. Keaktifan
papain berkurang hingga 20 apabila dipanaskan pada suhu 75
o
C selama 30 menit dan 50 pada pemanasan menggunakan suhu 76
o
C hingga 85
o
C selama 56 menit pada pH 7,0. Papain akan cepat menjadi inaktif pada suhu tinggi
dengan pH asam 4 dan pada pH yang sangat asam 2 inaktivasi terjadi sangat cepat walaupun suhu 25
o
C. Aktivitas papain masih dapat dipertahankan apabila enzim tersebut distabilkan dalam bentuk kristal melalui penambahan
H N
N H
CH
2
His
159
C
25
CH
2
O Cys
25
S C
R R’
N H
senyawa EDTA, sistein dan dimerkaptopropanol dengan kondisi penyimpanan pada suhu 5
o
C selama 6 - 12 bulan EDC 1999 diacu dalam Budiman 2003 Papain mengandung 212 asam amino dalam suatu rantai polipeptida dan
berikatan silang dengan tiga jembatan disulfida Kalk 1975. Berbagai jenis asam amino ikut menyusun struktur protein papain kecuali metionin. Tidak terdapatnya
metionin dalam rantai polipeptida diduga karena komponen sulfur sebagian besar berada dalam bentuk asam amino sistein Glazer, Smith 1971 diacu dalam
Muchtadi et al. 1992. Papain memiliki 6 gugus sulfhidril, tetapi hanya dua gugus sulfhidril yang aktif. Gugus suflhidril ini mengandung unsur sulfur sekitar
1,2. Papain biasanya diperdagangkan dalam bentuk kristal kasar, amorf dan
granula, berwarna putih sampai coklat muda, ada juga yang putih keabuan dan bersifat higroskopis. Kristal yang masih baru berbentuk jarum dan setelah
disimpan beberapa bulan pada suhu rendah akan berbentuk hexagonal. Penyimpanan harus dilindungi dari udara lembab dan disimpan pada tempat yang
dingin Arief 1975 diacu dalam Ary 2002. Papain kasar mempunyai sifat yang agak sukar larut dalam air, mudah terurai dan tidak larut dalam beberapa pelarut
organik seperti alkohol, aseton, eter dan beberapa pelarut lemak lainnya Daryono, Muhidin 1974.
Papain sebagai enzim proteolitik dapat digunakan untuk menghasilkan beberapa produk. Papain banyak digunakan di dalam industri pangan sebagai
pengempuk daging, konsentrat protein dan hidrolisat protein. Papain juga dapat digunakan untuk menurunkan viskositas bahan. Anonim 2003 menyatakan
papain dimanfaatkan untuk mencegah deformasi luka pada kornea mata dan pembersih lensa mata dalam bidang kesehatan. Papain berfungsi juga untuk
menggumpalkan susu didalam industri pembuatan keju, membuang sisa-sisa serat kain pada industri detergen serta bahan aktif dalam pembuatan krim pembersih
kulit Suhartono 1991. Keefektifan enzim papain ini dipengaruhi oleh : 1 Konsentrasi enzim
Enzim papain mempunyai kemampuan untuk melunakkan daging dan menghidrolisis ikatan peptida dari protein. Tingginya konsentrasi enzim yang
digunakan akan mempengaruhi banyaknya substrat yang dapat ditransformasi
Girindra 1993. Konsentrasi enzim yang berlebihan akan menyebabkan proses tersebut menjadi tidak efisien. Derajat kemurnian enzim papain yang tinggi,
mempunyai hubungan linear dengan jumlah enzim dan taraf aktivitas Lehninger 1993.
2 Suhu Reaksi yang dikatalisis oleh enzim sangat peka terhadap suhu. Enzim
sebagai protein akan mengalami denaturasi pada suhu yang tinggi sehingga mengakibatkan daya kerja enzim tersebut menurun Girindra 1993. Enzim akan
semakin aktif apabila suhu dinaikkan sampai suhu optimumnya, tetapi bila suhu tersebut terus dinaikkan maka laju kerusakan enzim akan melampaui reaksi
katalisis enzim sehingga menyebabkan reaksi tidak efisien Winarno 1987. 3 pH
Enzim menunjukkan aktivitas maksimum pada suatu kisaran pH yang disebut pH optimum Winarno 1995. Setiap enzim memiliki selang pH tertentu
untuk dapat melakukan aktivitasnya. Enzim akan mengalami denaturasi dan mengakibatkan kehilangan aktivitasnya apabila enzim bekerja di bawah atau di
atas selang pH tersebut. Derajat keasaman pH sangat berpengaruh terhadap aktivitas enzim, karena sifat ionik gugus karboksil dan gugus amino mudah
dipengaruhi oleh pH. pH ini juga menyebabkan daerah katalitik dan konformasi enzim menjadi berubah Lehninger 1993.
4 Pengaruh Inhibitor faktor penghambat Inhibitor adalah suatu senyawa atau gugus senyawa yang menghambat
aktivtas enzim. Enzim sangat peka terhadap senyawa atau gugus senyawa yang diikatnya Girindra 1993. Enzim papain sangat sensitif terhadap logam. Adanya
logam akan merusak gugus sulfhidril yang merupakan gugus katalitik enzim papain. Keaktifan enzim papain akan hilang bila direaksikan dengan oksidator.
2.3.2. Enzim bromelin Enzim bromelin EC.3.4.22.4 merupakan enzim yang diperoleh dari
tanaman famili Bromeliceae. Enzim bromelin banyak digunakan dalam proses chield proofing
bir, selain itu juga banyak digunakan untuk mengekstrak minyak kelapa, menggumpalkan susu dan mengempukan daging.
Kandungan bromelin dalam tanaman nanas terletak pada buah, tangkai, kulit, daun dan batang hati, dengan jumlah yang berbeda-beda pada setiap
tempatnya, seperti terlihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan bromelin dalam tanaman nanas
No Bagian buah Persentase
1. Buah utuh masak 0,060 – 0,080
2. Daging buah masak 0,080 – 0,125
3. Kulit buah 0,050 – 0,075
4. Tangkai 0,040 – 0,060
5. Batang 0,100 – 0,600
6. Buah utuh mentah 0,040 – 0,060
7. Daging buah mentah 0,050 – 0,070
Sumber: Omar et al. 1978 diacu dalam Pohan 2002
Enzim bromelin dapat diektraksi dari batang nanas yang disebut stem nanas atau dapat pula diekstraksi dari buah yang disebut bromelin bras Fruit bromelin
dengan nomor klasifikasi EC.3.42.4 dan EC.3.42.5. Kedua enzim ini diperoleh dengan cara mengekstraksi buah nanas Indrawati et al. 1983. Bromelin batang
dapat dipisahkan atas lima komponen proteolitik aktif yang berbeda dalam komposisi asam aminonya, dimana gugus asam amino ujung adalah valin sedang
bagian ujung dari gugus karboksi adalah glysin. Enzim bromelin merupakan protein sederhana yang mempunyai berat
molekul 31.000 dengan titik isoelektrik pada pH 4,6 dan pH optimumnya adalah 8 Indrawati et al. 1983. Bromelin yang terdapat dibatang nenas memiliki bobot
molekul 28.000 dengan titik isoelektrik 9,6 dan pH optimum 5-6 Suhartono 1991. Bromelin batang termasuk golongan glikoprotein yaitu
mengandung satu bagian oligosakarida pada tiap molekul yang berikatan secara kovalen dengan rantai polipeptida enzim tersebut.
Konsentrasi dan aktifitas enzim bromelin selama tingkat pertumbuhan dan pematangan buah ternyata berbeda-beda. Buah nanas yang matang hijau ternyata
memiliki kadar protease yang lebih kecil daripada yang matang sempurna Ball et al. diacu dalam Gortner, Singeleton 1965. Buah nanas yang matang,
kadar proteasenya lebih rendah daripada buah yang matang sempurna Indrawati et al. 1983.
Keaktifan bromelin dipengaruhi oleh kematangan buah, pH suhu lingkungan, konsentrasi enzim dan lama proses, aktivitas air a
w
serta adanya inhibitor. Aktivitas bromelin akan menurun bila buah nanas semakin matang.
Hal tersebut berhubungan dengan semakin banyaknya asam yang terbentuk sehingga menurunkan pH bahan menjadi 3,0-3,5. Penurunan pH sampai dibawah
titik isoelektrik pada buah yang matang akan menyebabkan enzim hilang karena selain adanya denaturasi, pH juga mempengaruhi sifat ionik gugus karboksil dan
gugus asam amino. Aktivitas enzim bromelin optimum pada pH 6,5 dimana enzim ini
mempunyai konformasi yang mantap dan juga mempunyai aktivitas yang maksimum. Derajat keasaman yang terlalu tinggi atau rendah akan menyebabkan
terjadinya denaturasi protein sehingga menurunkan kecepatan katalisisnya. Enzim yang bermuatan negatif E- akan terprotonisasi dan muatan negatifnya hilang
pada pH rendah. Reaksi yang terjadi adalah E
-
+ H
+
EH. pH tinggi menyebabkan gugus fungsional SH
+
akan terionisasi dan muatan positifnya hilang, reaksinya adalah SH
+
S + H
+
. Rendahnya konsentrasi efektif E
+
dan SH
+
ini menyebabkan kecepatan katalisis enzim akan menurun Harper 1973 diacu dalam Indrawati et al.1983.
Suhu optimum untuk enzim bromelin adalah 50
o
C, di atas dan di bawah suhu tersebut keaktifan enzim menjadi lebih rendah. Energi kinetik molekul
substrat dan enzim cukup rendah pada suhu yang berada di bawah optimal, sehingga kemungkinan substrat dan enzim untuk bereaksi kecil serta kecepatan
reaksi menjadi rendah Tokkong 1979 diacu dalam Indrawati et al. 1983. Suhu optimum suatu enzim sangat dipengaruhi oleh kemurnian enzim
tersebut Harrow, Mazur 1971 diacu dalam Heryani 1998. Menurut Susanto 1987 aktivitas enzim bromelin terimobilisasi yang dihasilkan memiliki
suhu, pH dan waktu inkubasi yang sama dengan enzim bebas yaitu suhu 55
o
C, pH 7,2 dan waktu inkubasi 10 menit.
Kecepatan katalisis akan semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi enzim. Tingginya konsentrasi enzim, akan mempengaruhi banyaknya
substrat yang ditransformasi. Lamanya waktu kerja enzim juga mempengaruhi keaktifannya. Kecepatan katalis enzim akan meningkat dengan lamanya waktu
reaksi. Kokro 1987 menyatakan aktivitas enzim akan semakin tinggi dengan semakin tingginya nilai a
w
. Kerja enzim bromelin juga dipengaruhi oleh adanya inhibitor seperti senyawa oksidator dan ion logam berat yang akan mengikat grup
thiolnya Muchtadi et al. 1992. 2.4. Imobilisasi Enzim
Enzim merupakan biokatalis yang mempunyai aktivitas spesifik dan bekerja secara efisien. Penggunaan enzim lebih menguntungkan dibandingkan dengan
sel bebas. Enzim tidak memerlukan media yang kompleks, tidak membutuhkan aerasi dan kondisi steril serta lebih sedikit limbah yang dihasilkan. Enzim juga
memiliki beberapa kelemahan seperti sulitnya ekstraksi enzim dan sulitnya pemisahan enzim dari produk. Upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan
mengembangkan teknik imobilisasi enzim. 2.4.1. Definisi, sejarah dan metode
Enzim terimobilisasi didefinisikan sebagai enzim yang secara spesifik ditempatkan dalam suatu ruang tertentu dengan tetap memiliki aktivitas
katalitiknya dan dapat digunakan secara berulang atau secara terus-menerus Chibata 1978. Imobilisasi enzim adalah usaha untuk memisahkan antara enzim
dengan produk selama reaksi dengan menggunakan sistem dua fase, satu fase mengandung enzim dan fase lainnya mengandung produk, sehingga tidak terjadi
saling kontaminasi antara enzim dan produk Chaplin, Buckle 1990. Imobilisasi merupakan suatu modifikasi untuk meniru keadaan asalnya di
alam yang diyakini berada dalam keadaan terikat pada membran atau partikel- partikel dalam sel. Tujuan utama mengimobilisasi enzim adalah untuk
mempekerjakan enzim yang dapat memberikan proses katalitik yang berkesinambungan Zaborsky 1973.
Teknik imobilisasi enzim pertama kali dilakukan oleh Nelson dan Griffin pada tahun 1916 Muchtadi et al. 1992, Chibata 1978 Nelson dan Griffin
mengimobilisasi enzim interfase dari khamir dengan cara adsorpsi pada arang aktif Chibata 1978.
Percobaan pertama untuk mengimobilisasi enzim dengan tujuan untuk memperbaiki sifat-sifat enzim dilakukan oleh Grubhover dan Scheleith pada tahun
1953. Mereka mengimobilisasi karboksipeptidase, diastase, pepsin dan
ribonuklease dengan menggunakan diazotized poliaminopolystirene resin Chibata 1978.
Penggunaan enzim terimobilisasi akan memberikan beberapa keuntungan Messing 1975 diacu dalam Smith 1990 yaitu:
1 enzim dapat digunakan secara berulang; 2 proses dapat dihentikan secara cepat dengan mengeluarkan enzim dari
larutan substrat; 3 kestabilan enzim dapat diperbaiki;
4 larutan hasil proses tidak terkontaminasi oleh enzim; 5 dapat digunakan untuk tujuan analisis yang melibatkan enzim.
Imobilisasi enzim dapat dilakukan secara fisik, kimia atau kombinasi keduanya. Metode imobilisasi terbagi atas tiga kelompok yaitu metode
pengikatan pada penyangga carrier binding, metode pengikatan silang crosslinking dan metode pemerangkapan entrapping Chibata 1978.
Klasifikasi imobilisasi berdasarkan proses disajikan pada Gambar 5 Gemeiner 1992.
Metode pengikatan pada penyangga mengikat enzim pada matriks tidak larut dalam air. Imobilisasi enzim dengan cara ini harus memperhatikan matriks
yang digunakan serta metode pengikatannya seperti adsorpsi fisik, gaya elektrostatik serta ikatan kovalen. Metode pengikatan silang didasarkan pada
pembentukan ikatan intermolekulerkovalen antar molekul enzim dengan menggunakan pereaksi multi atau bifungsional sehingga menghasilkan jaringan
protein tiga dimensi yang stabil dan tidak larut dalam air. Metode pemerangkapan didasarkan pada penempatan enzim dalam kisi dari suatu polimer atau dalam
membran semi permiabel seperti mikrokapsul Chibata 1978. 2.4.2. Imobilisasi enzim dengan metode pengikatan silang
Metode pengikatan silang didasarkan pada pembentukan ikatan kovalen antara molekul-molekul enzim oleh pereaksi bi- atau multifungsional sehingga
menghasilkan jaringan protein tiga dimensi yang stabil dan tidak larut dalam air. Gugus fungsional yang ikut dalam reaksi ini adalah á-amino pada asam amino
terminal, gugus º-amino dari lisin, gugus fenolik dari tirosin, gugus sulfhidril dari sistein serta imidazol dari histidin Chibata 1978.
Gambar 5. Diagram klasifikasi proses imobilisasi enzim Gemeiner 1992 Pereaksi yang digunakan dalam metode ini harus mempunyai dua gugus
fungsional yang sama atau dua atau lebih gugus fungsional yang berbeda pereaksi heterobi- atau heteromultifungsional Kennedy 1985. Pereaksi
bifungsional yang telah banyak digunakan untuk mengimobilisasi enzim adalah glutaraldehid Chibata 1978.
Metode Enzim Tak Larut Metode Imobilisasi Enzim
Metode Enzim Larut
Membran Ultrafiltrasi
Hollow Fiber Devices
Pengikatan Pemerangkapan
Pengikatan silang
Pengikatan penyangga
Pemerangkapan dengan gel
Pemerangkapan dengan serat
Mikroenkapsulasi
Penyerapan secara fisik
Pengikatan kovalen
Pengikatan logam
Pengikatan ionik
Pereaksi glutaraldehid pada mulanya digunakan sebagai intermolekuler ’crosslingking agent’ untuk menghasilkan jaringan protein tiga dimensi yang
stabil dan bersifat tidak larut air. Glutaraldehid lebih banyak digunakan sebagai pereaksi bifungsional untuk mengimobilisasi enzim pada saat ini
Goldstein, Mannecke 1976. Glutaraldehid dapat bereaksi dengan polimer yang mengandung gugus
amino primer menghasilkan matriks yang mempunyai gugus fungsi aldehid Goldstein, Manecke 1976. Glutaraldehid bereaksi dengan gugus amino dari
protein matriks kitin sehingga terjadi ikatan diantara keduanya Finn 1967 diacu dalam Heryani 1998.
Konsentrasi glutaraldehid yang digunakan harus dipertimbangkan karena sifat glutaraldehid, seperti pereaksi aldehid lainnya dapat menghambat aktifitas
enzim karena dapat bereaksi dengan gugus sulfhidril pada sisi aktif enzim Goldstein, Mannecke 1976. Matriks yang sering digunakan adalah kitin atau
kitosan karena keduanya mempunyai gugus fungsional sehingga dapat bereaksi dengan glutaraldehid.
2.4.3. Kitosan sebagai matriks imobilisasi enzim Kitin mempunyai struktur yang berpori demikian juga dengan kitosan.
Keuntungan dari matriks berpori adalah luasnya permukaan ikatan, serta perlindungan enzim dalam porinya terhadap kerusakan fisik oleh lingkungan
Messing 1975 diacu dalam Smith 1990. Ukuran pori matriks juga perlu diperhatikan. Ukuran pori yang kecil dapat menyulitkan masuknya enzim yang
berukuran besar serta kemungkinan hambatan difusi substrat makro molekul cukup besar untuk bereaksi dengan enzim, sehingga akan berakibat pada turunnya
aktivitas enzim. Kitin dan kitosan memiliki beberapa keunggulan jika digunakan sebagai
matriks penyangga yaitu, antara lain: bentuk fisiknya dapat diubah serpihan, manik-manik berpori, gel, fiber, membran, biodegradasi, murah, mudah
penanganannya, memiliki afinitas yang tinggi pada protein dan non toksik Felse, Panda 1999 diacu dalam Pereira 2003. Stanley et al. 1975
menambahkan bahwa kitin dan kitosan mempunyai struktur yang keras, inert, dan densitas kamba bulky yang rendah.
Kitosan mempunyai gugus fungsional yaitu gugus amino sehingga mempunyai derajat reaksi kimia yang tinggi Johnson, Peniston 1982. Kitosan
akan bermuatan positif dalam larutan karena adanya gugus amin yang dapat mengikat ion positif Muzzarelli 1985. Menurut Mckay et al. 1987 kitosan
tidak larut dalam air, larutan alkali pada pH di atas 6,5 dan pelarut organik, tetapi larut dengan cepat dalam asam organik encer seperti asam formiat, asam asetat,
asam sitrat dan asam mineral lain kecuali sulfur. Menurut Knorr 1984 kitosan mampu mengikat air dan minyak karena
mempunyai gugus polar dan non polar. Jumlah air yang dapat diikat kitosan sekitar 325-440 ww. Kemampuan pengikatan tersebut yang membuat kitosan
dapat bertindak sebagai penstabil dan pengental.
3. METODOLOGI