Adanya perbedaan pH dari ketiga perlakuan disebabkan karena semakin lama proses fermentasi yoghurt maka kadar asam laktat yang dihasilkan oleh bakteri asam
laktat semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Agestina 2013 perlakuan S
3
L
3
merupakan perlakuan yang tertinggi yaitu 21,300 mg, sehingga pada perlakuan dengan penambahan starter 7 ml dan lama fermentasi 8 jam lebih baik.
Semakin lama yoghurt di fermentasi maka akan menaikkan glukosa, sehingga kadar asam laktatnya tinggi.
Adanya asam laktat memberikan rasa asam pada yoghurt. Hasil fermentasi susu ini mengubah tekstur susu menjadi kental. Hal ini dikarenakan protein susu
terkoagulasi pada suasana asam, sehingga terbentuk gumpalan Krisno, 2011. Menurut Joseph 2011, umumnya bakteri Streptococcus adalah penghasil asam
laktat, tumbuh sangat baik pada pH 6,5 dan pertumbuhannya terhenti pada keasaman pH 4,2 - 4,4. Bakteri Lactobacilus tumbuh sangat baik pada pH 5,5 dan
pertumbuhannya terhenti pada keasaman pH 3,8 - 3,8. Bakteri asam laktat ini mempunyai suhu optimum untuk pertumbuhannya dan menyukai suasana agak asam
pH 5,5. Streptoccus thermophilus dibedakan dari genus streptococcus lainnya berdasarkan pertumbuhannya pada suhu 45° C tidak tumbuh pada suhu 10° C. Bakteri
ini menyukai suasana mendekati netral dengan pH optimal untuk pertumbuhannya adalah 6,5.
Faktor konsentrasi starter tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pH yoghurt pati umbi garut. Hal tersebut dimungkinkan karena bakteri asam laktat
bekerja optimal, sehingga hasilnya tidak berbeda jauh. Faktor lama waktu fermentasi mempengaruhi pH yoghurt pati umbi garut. Pengaruh yang paling besar ditunjukkan
oleh rerata pH yang paling rendah. Pengaruh antara konsentrasi starter dan lama fermentasi yang berbeda interaksi
mempengaruhi pH yoghurt pati umbi garut. Semakin banyak konsentrasi starter dan lama fermentasi maka pH yoghurt menurun. Hal-hal yang mempengaruhi pH yoghurt
diantaranya adalah ketersediaan nutrisi, oksigen, konsentrasi starter, suhu, lama fermentasi, dan volume substrat. Hal ini sesuai dengan penelitian Dewi, dkk 2004.
2. Analisis Kadar Gula Reduksi
Gula reduksi adalah bentuk hasil dari penguraian polisakarida yang berupa glukosa dan fruktosa yang mempunyai gugus reaktif untuk melakukan reaksi. Gugus
reaktif tersebut berupa aldehid atau keton bebas. Gula reduksi mempunyai kemampuan mereduksi CU
2+
ion kupri menjadi CU
+
ion kupro. Ion kupro tersebut
mampu mengubah reagen arsenomolibdat menjadi kompleks berwarna biru yang stabil dan dapat dilihat dari warna biru tersebut Poedjiadi, 2006.
Penentuan kadar gula reduksi menggunakan metode Luff Schoorl yang ditentukan bukanlah kuprooksida yang mengendap tetapi dengan menentukan
kuprioksida dalam larutan sebelumdireaksikan dengan gula reduksi titrasi blanko dan sesudah direaksikan dengan sampel gula reduksi titrasi sampel. Penentuan
dengan titrasi menggunakan Na-tiosulfat. Selisih titrasi blanko dengan titrasi sampel ekuivalen dengan kuprooksida yang terbentuk dan juga ekuivalen dengan jumlah gula
pereduksi yang ada dalam sampel Sudarmadji, 1996. Gula dalam bentuk monosakarida memiliki kemampuan mereduksi Cu
2+
karena adanya gugus aldehid pada glukosa dan keton pada fruktosa sehingga terbentuk
endapan Cu
2
O yang berwarna merah bata dengan bantuan pemanasan Poedjiadi, 2006. Pada penelitian ini hanya menentukan kadar gula reduksinya saja, sehingga
komponen lain seperti komponen protein dengan seng sulfat akan terendapkan dan dipisahkan dengan penyaringan. Begitu pula penambahan kalium heksasianoferat
dimaksudkan untuk mengikat komponen-komponen pengganggu lain dalam sampel yoghurt pati umbi garut sehingga interferensinya dapat diminimalisir.
Berdasarkan Tabel 1. menunjukkan rerata kadar gula reduksi yoghurt pati umbi garut yang berbeda-beda. Pada faktor lama fermentasi 4 jam dengan perlakuan KaLa,
KbLa dan KcLa berturut-turut memiliki kadar gula reduksi 0,103 bb, 0,123 bb, dan 0,116 bb. Pada faktor lama fermentasi 8 jam dengan perlakuan KaLb, KbLb,
dan KcLb berturut-turut memiliki kadar gula reduksi 0,125 bb, 0,158 bb, 0,190 bb. Pada faktor lama fermentasi 12 jam dengan perlakuan KaLc, KbLc, dan
KcLc berturut-turut memiliki kadar gula reduksi 0,188 bb, 0,228 bb, 0,237 bb.
Kadar gula reduksi terendah pada perlakuan KaLa konsentrasi starter 5 dan fermentasi 4 jam disebabkan singkatnya proses lama fermentasi dan konsentrasi
starter lebih sedikit, sehingga mempengaruhi kadar gula reduksi. Kadar gula reduksi tertinggi pada KcLc konsentrasi starter 9 dan fermentasi 12 jam disebabkan proses
fermentasi paling lama dan konsentrasi starter lebih banyak, sehingga mempengaruhi kadar gula reduksi.
Semakin lama proses lama fermentasi maka kadar gula reduksi yang terbentuk akan lebih banyak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kumala 2003, bahwa kadar
gula reduksi tertinggi pada yogurt kedelai dengan konsentrasi madu 5 yaitu 1,28.
Hal ini disebabkan meningkatnya kandungan fruktosa dan glukosa pada susu kedelai setelah penambahan madu 5 dan juga proses fermentasi yang lebih optimum pada
perlakuan ini sehingga kadar gula reduksi pada yogurt kedelai tinggi. Kadar gula reduksi pada yogurt kedelai dengan konsentrasi madu 2,5 lebih kecil daripada
konsentrasi madu 0 dan 5 yaitu sekitar 0,78, disebabkan karena proses fermentasi pada konsentrasi madu 2,5 kurang optimum sehingga kadar gula
reduksinya lebih sedikit.
Interaksi antara konsentrasi starter dengan lama fermentasi yang paling berpengaruh terhadap kadar gula reduksi yang paling tinggi pada perlakuan KcLc
konsentrasi starter 9 dan lama fermentasi 12 jam yaitu 0,237 bb dan pengaruh interaksi paling rendah terhadap kadar gula reduksi terendah pada perlakuan KaLa
konsentrasi starter 5 dan lama fermentasi 4 jam yaitu 0,103 bb. Perlakuan KaLa konsentrasi starter 5 dan lama fermentasi waktu 4 jam
memiliki pH tertinggi tetapi kadar gula reduksinya rendah, sedangkan perlakuan pH terendah dengan kadar gula reduksi tertinggi yaitu perlakuan KcLc konsentrasi
starter 9 dan lama fermentasi 12 jam. Berdasarkan Tabel 1 perlakuan yang memiliki pH tertinggi memiliki kadar gula reduksi terendah dan perlakuan yang
memiliki pH terendah memiliki kadar gula reduksi tertinggi. Hal ini disebabkan semakin banyak kadar gula reduksi maka kadar asam laktat yang dihasilkan
meningkat sehingga pH menjadi turun atau rendah. Kadar gula reduksi menunjukkan banyaknya gula sederhana laktosa, glukosa,
dan lain-lain yang telah dipecah dan digunakan oleh BAL untuk proses metabolisme. Sifat pereduksi dari molekul gula ditentukan oleh ada tidaknya gugus hidroksil OH
bebas yang reaktif Winarno, 2007. Rendahnya pH yang dihasilkan karena kadar gula reduksi dalam yoghurt pati
umbi garut mengalami kenaikan. Hal ini dapat dikatakan bahwa BAL kurang dapat memetabolisme gula-gula yang terdapat dalam produk. Bila semakin banyak gula-
gula yang dimetabolisme maka asam laktat yang dihasilkan akan semakin banyak sehingga dapat menurunkan pH produk. Hal ini sesuai dengan pendapat Usmiati dan
Utami 2008 yang menyatakan bahwa, makin banyak glukosa yang dimetabolisme maka produksi asam laktat lebih tinggi. Jumlah asam laktat yang tinggi dapat
meningkatkan keasaman dan menurunkan pH substrat. Hal-hal yang mempengaruhi kadar gula reduksi diantaranya konsentrasi starter,
suhu, lama fermentasi, volume substrat, dan pH. Hal ini sesuai dengan penelitian
Dewi, dkk 2004 bahwa produksi gula reduksi maksimum diperoleh pada kandungan Rhizopus oryzae yang lebih banyak hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi aktifitas
hidrolisis pati maksimum sehingga didapatkan hasil yang lebih tinggi.
3. Analisis Organoleptik dan Daya Terima Masyarakat