8 persyaratan individu mereka sendiri, untuk periode waktu yang cukup, dan biaya
terendah bagi mereka dan masyarakat WHO, 1985. Pengobatan terhadap TB paru membutuhkan jangka waktu yang lama
agar semua kuman dapat dibunuh secara tuntas. Hal ini disebabkan karena umumnya kuman penyebab TB paru yaitu Mycobacterium tuberculosis bersifat
intraseluler. Penderita hendaknya menelan obat antituberkulosis secara teratur sesuai petunjuk dan jangan berhenti minum obat sebelum masa pengobatan
selesai agar tidak terjadi resistensi terhadap obat dan selama masa pengobatan hendaknya berobat secara teratur sampai dinyatakan sembuh dan tidak menular
kepada orang lain Zulaikhah dan Turijan, 2010.
1. Tepat indikasi
Ketepatan indikasi yaitu penggunaan obat sesuai dengan kebutuhan klinis pasien yang dilihat dari diagnosis, gejala atau keluhan
. Tabel 3. Aspek ketepatan indikasi penggunaan OAT di instalasi rawat jalan Balai Besar
Kesehatan Paru Masyarakat Klaten tahun 2011
Gejala Penderita TB Berdasarkan Pedoman Penanggulangan TB
DepKes RI 2009 No. Kasus
Diagnosa Tepat
Indikasi Tidak
Tepat Indikasi
Batuk, berdahak selama 2-3 minggu atau lebih, dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat
badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,
demam meriang lebih dari 1 bulan 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10, 11, 12,
13,14,15,16, 17,18, 19,20, 21,22, 23, 24,25, 26,27,28,
29,30,31, 32,33,34, 35,36, 37, 38,39,40, 41,42,43,
44,45,46, 47,48,49, 50,51,52, 53,54,55
TB Paru √ 0
Jumlah 55
Persentase 100
Berdasarkan tabel 3 diketahui ketepatan penggunaan obat antituberkulosis kategori tepat indikasi di instalasi rawat jalan Balai Besar Kesehatan Paru
Masyarakat Klaten Tahun 2011 sebanyak 55 pasien 100. Gejala-gejala seperti yang disebutkan di tabel 9 dapat pula dijumpai pada
penyakit paru selain TB seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain Depkes RI, 2009. Berdasarkan 55 pasien yang telah dianalisis,
seluruhnya masuk ke dalam pasien dengan diagnosa TB paru karena selain mengalami gejala-gejala yang telah disebutkan diatas, terdapat pula pemeriksaan
9 BTA+ dan ada beberapa pasien yang foro toraksnya positif sehingga meyakinkan
bahwa pasien tersebut merupakan pasien dengan diagnosa TB paru. Prevalensi TB di Indonesia sampai saat ini masih tinggi, maka setiap orang
yang datang ke sarana pelayanan kesehatan dengan gejala yang seperti disebutkan diatas dianggap sebagai tersangka suspek pasien TB dan perlu dilakukan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung untuk mengetahui kebenaran penyakitnya Depkes RI, 2009.
2. Tepat obat
a. Ketepatan obat OAT KDT
OAT KDT Kombinasi Dosis Tetap yang bisa disebut dengan FDC atau fixed-dose combination adalah tablet yang berisi kombinasi beberapa jenis obat
anti TB dengan dosis tetap. Ketepatan obat adalah obat yang digunakan terbukti memiliki efektifitas untuk penyakit tuberkulosis serta sesuai dengan Pedoman
Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2009.
Dari hasil analisis diperoleh kasus ketepatan obat sebanyak 47 pasien 90,38 dan ketidaktepatan obat diperoleh sebanyak 5 pasien 9,62. Di Balai
Besar Kesehatan Paru Masyarakat Klaten tahun 2011 diketahui ketepatan penggunaan OAT KDT jauh lebih baik dibandingkan dengan ketidaktepatanya.
Dari ke 5 pasien yang tidak tepat obat diketahui pada pemberian OAT kepada pasien tidak sesuai dengan rekomendasi Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2009. Cara mengelompokkan pasien masuk dalam kategori tertentu adalah dengan melihat
kesesuaian OAT yang diberikan dengan Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2009. Diketahui
pasien dengan nomer rekam medik 2 dan 36 sebelumnya pernah mendapatkan pengobatan OAT selama lebih dari 1 bulan sehingga pengobatan yang seharusnya
diberikan adalah dengan menggunakan kategori 2, sedangkan pasien dengan nomer rekam medik 18, 42 dan 54 pengobatan yang dilakukan tidak perlu
menggunakan fase sisipan. Pemberian OAT yang tidak tepat serta pengobatan
10 yang terputus dapat terjadi resistensi bakteri terhadap obat dan dapat lebih parah
lagi jika terjadi bila terjadi multidrugs resistence Muttaqin, 2008.
b. Ketepatan obat OAT Kombipak
Di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Klaten, selain pemberian pengobatan dengan menggunakan paket OAT KDT, terdapat pula pemberian
pengobatan dengan menggunakan paket OAT Kombipak. Dari hasil analisis diperoleh kasus ketepatan obat OAT Kombipak
sebanyak 3 pasien 100. Obat yang diberikan kepada pasien tersebut telah sesuai dengan rekomendasi dari Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis
DepKes RI tahun 2009. Seluruh pasien yang menggunakan pengobatan dengan OAT Kombipak tersebut masuk ke dalam klasifikasi pasien baru sehingga
pengobatan yang dilakukan yaitu menggunakan OAT Kombipak kategori 1 dengan tahap awal pengobatan menggunakan HRZE dan tahap lanjutan
pengobatan menggunakan HR. Untuk pasien dengan nomer kasus 46, selain menggunakan pengobatan dengan tahap awal dan lanjutan diketahui pula ternyata
pasien tersebut menggunakan pengobatan dengan fase sisipan. Hal tersebut dikarenakan pemeriksaan dahak SPS di akhir bulan 2 atau akhir pengobatan
intensif pasien tersebut diketahui pemeriksaan BTA masih menunjukan BTA+ sehingga pasien tersebut harus melakukan pengobatan dengan fase sisipan. Hal
yang sama juga ditunjukkan oleh pustaka yang mengatakan bahwa OAT Sisipan diberikan bila pada akhir tahap intensif pengobatan pada penderita BTA+ tidak
terjadi konversi DepKes RI, 2004.
3. Tepat dosis