Produksi Biji Kakao Terfermentasi dan Faktor – Faktor yang Memengaruhinya (Kasus : Petani Binaan Nestle Cocoa Plan di Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat)

PRODUKSI BIJI KAKAO TERFERMENTASI
DAN FAKTOR - FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA
(Kasus : Petani Binaan Nestle Cocoa Plan di Kecamatan
Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat)

SITI NURJANAH

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Produksi Biji Kakao
Terfermentasi dan Faktor – faktor yang Memengaruhinya (Kasus : Petani Binaan
Nestle Cocoa Plan di Kecamatan Kalukku Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat)
adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Siti Nurjanah
NIM H34100068

ABSTRAK
SITI NURJANAH. Produksi Biji Kakao Terfermentasi dan Faktor-faktor yang
Memengaruhinya (Kasus : Petani Binaan Nestle Cocoa Plan di Kecamatan
Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat). Dibimbing oleh BAYU
KRISNAMURTHI
Indonesia merupakan salah satu produsen kakao terbesar di dunia. Akan
tetapi, kualitas biji kakao Indonesia lebih rendah dibanding produsen kakao lain
dikarenakan biji kakao Indonesia tidak difermentasi. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mendeskripsikan produksi biji kakao terfermentasi atas dukungan
Nestle Cocoa Plan di Kecamatan Kalukku Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat,
menganalisis perbandingan pendapatan petani dari kegiatan pascapanen biji kakao
dengan dan tanpa aplikasi fermentasi, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang

memengaruhi keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi. Metode
yang digunakan adalah analisis regresi logistik biner dan analisis pendapatan
pascapanen. Pendapatan atas biaya total pascapanen biji kakao dengan aplikasi
fermentasi lebih besar daripada tanpa fermentasi. Selisih pendapatan pascapanen
biji kakao dengan aplikasi fermentasi dan tanpa aplikasi fermentasi sebesar Rp 1
656 per kilogram. Faktor yang signifikan memengaruhi keputusan petani
memroduksi biji kakao terfermentasi adalah perbedaan harga, akses informasi
teknik fermentasi, dan jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa
Kata kunci : Kakao, fermentasi, regresi logistik biner, pendapatan pascapanen

ABSTRACT
SITI NURJANAH. Fermented Cocoa Beans Production dan The Affecting
Factors (Case : Nestle Cocoa Plan Farmer’s at Kalukku Sub District, Mamuju
District, West Sulawesi). Supervised by BAYU KRISNAMURTHI
Indonesia is one of the world's largest cocoa producer. However,
Indonesian cocoa beans have lower quality than cocoa beans from other country
because Indonesia they are not fermented. The objectives of this research were to
describe how the production of fermented cocoa beans supported by Nestle Cocoa
Plan Program at Kalukku Sub District, Mamuju District, West Sulawesi, to
compare farmer’s income by doing postharvest of cocoa beans with and without

fermentation, and to identify the determinants that influence farmers decision to
produce fermented cocoa beans. This research used binary logistic regression and
postharvest income analysis to answer research objectives. The income over total
cost of postharvest cocoa bean with fermentation is greater than without
fermentation. The difference of postharvest income with and without applied
fermentation was Rp 1 656.38 per kilograms. The factors that significantly
influence decision of farmers to produce fermented cocoa beans is price
difference, information access to fermentation technique, and the distance of
farmer with BT Cocoa purchasing unit.
Keywords: cocoa, fermentation, binary logistic regression, postharvest income

PRODUKSI BIJI KAKAO TERFERMENTASI
DAN FAKTOR - FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA
(Kasus : Petani Binaan Nestle Cocoa Plan di Kecamatan Kalukku
Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat)

SITI NURJANAH

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi :Produksi Biji Kakao Terfermentasi dan Faktor – Faktor yang
Memengaruhinya (Kasus : Petani Binaan Nestle Cocoa Plan di
Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat)
Nama
: Siti Nurjanah
NIM
: H34100068

Disetujui oleh


Dr Ir Bayu Krisnamurthi, MS
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Dwi Rachmina, MSi
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala nikmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah bidang ekonomi pertanian dengan
judul Produksi Biji Kakao Terfermentasi dan Faktor-Faktor yang
Memengaruhinya (Kasus : Petani Binaan Nestle Cocoa Plan di Kecamatan
Kalukku Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Bayu Krisnamurthi, MS
selaku dosen pembimbing yang telah memberikan dukungan, arahan, serta
bantuan dalam penyelesaian dan penyempurnan karya ilmiah ini. Terima kasih

juga penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Dwi Rachmina, Msi selaku dosen penguji
utama dan Ibu Eva Yolynda A, SP. MM selaku dosen penguji akademik atas
koreksi, saran dan diskusinya. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada pihak-pihak yang terlibat dalam kelompok kerja kakao PISAgro yang
telah memberikan dukungan demi terlaksananya penelitian ini, Bapak Sindra
Widjaya (Direktur Eksekutif PT BT Cocoa), Bapak Wisman Djaja (Direktur
Sustainability PT Nestle Indonesia), Bapak Yohannes Ong Kang (Manajer BT
Source), serta Bapak Haerul Nangngareng W (Manajer program regional
Swisscontact). Terima kasih penulis hanturkan pula kepada keluarga besar unit
pembelian kakao PT BT Cocoa Mamuju, penyuluh lapang swisscontact serta
seluruh petani reponden di Kecamatan Kalukku atas respon positif dan
bantuannya terhadap penelitian ini.
Terima kasih penulis hanturkan kepada Ayah Marsikin (Alm), Ibu Oneng
Wiganingsih, kakak, dan kedua adik serta seluruh keluarga atas kasih sayang, doa,
dukungan yang selalu diberikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
teman-teman satu bimbingan Reza Primadita dan Hadiyansyah Anwar atas
kebersamaan, semangat dan masukannya dalam penyusunan karya ilmiah ini.
Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada keluarga besar kosan White
House serta sahabat-sahabat agribisnis angkatan 47 yang telah memberikan doa,
masukan, dukungan dan semangatnya dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat

Bogor, September 2014
Siti Nurjanah

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
vii
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4

Tujuan Penelitian
5
Manfaat Penelitian
5
Ruang Lingkup Penelitian
6
TINJAUAN PUSTAKA
7
Mutu dan Penanganan Pascapanen Biji Kakao
7
Fermentasi Biji Kakao
9
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keputusan Petani Memroduksi Biji Kakao
Terfermentasi
12
KERANGKA PEMIKIRAN
15
Kerangka Pemikiran Teoritis
15
Kerangka Pemikiran Operasional

22
METODE PENELITIAN
25
Tempat dan Waktu Penelitian
25
Jenis dan Sumber Data
25
Metode Pengambilan Sampel
26
Metode Analisis Data
26
Definisi Operasional
33
GAMBARAN UMUM
34
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
34
Gambaran Umum Kemitraan PISAgro
37
Gambaran umum Nestle Cocoa Plan

38
Karakteristik Petani Responden
39
Gambaran Umum Kegiatan Pascapanen Biji Kakao di Kecamatan Kalukku 42
HASIL DAN PEMBAHASAN
48
Produksi Biji Kakao Terfermentasi di Kecamatan Kalukku
48
Analisis Pendapatan Pascapanen Biji Kakao Dengan dan Tanpa Aplikasi
Fermentasi
49
Penerimaan Usahatani Kakao dengan dan Tanpa Aplikasi Fermentasi
50
Biaya Pascapanen Biji Kakao Dengan dan Tanpa Aplikasi Fermentasi
51
Pendapatan Pascapanen Biji Kakao Dengan dan Tanpa Aplikasi Fermentasi
58
Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keputusan Petani Memroduksi
Biji Kakao Terfermentasi
59

Interpretasi dan Pembahasan Koefisien Variabel
62
SIMPULAN DAN SARAN
69
Simpulan
69
Saran
69
DAFTAR PUSTAKA
70

LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

74
92

DAFTAR TABEL
1 Nilai ekspor biji kakao menurut negara tujuan utama tahun 2008 -2012
(000US$)
1
2 Persyaratan umum biji kakao menurut SNI 01-2323-2008
7
3 Persyaratan khusus biji kakao menurut SNI 01-2323-2008
7
4 Tahapan penanganan pascapanen biji kakao
8
5 Luas areal, produksi dan produktivitas kakao di Kabupaten Mamuju menurut
kecamatan tahun 2012.
25
6 Karakteristik responden berdasarkan usia
39
7 Karakteristik responden berdasarkan pendidikan
40
8 Karakteristik responden berdasarkan lamanya pengalaman berusahatani kakao
40
9 Karakteristik responden berdasarkan luas kebun
41
10 Karakteristik responden berdasarkan jumlah tanaman menghasilkan
41
11 Karakteristik responden berdasarkan jumlah anggota keluarga
42
12 Sebaran responden berdasarkan perlakuan panen
43
13 Sebaran responden berdasarkan pengaplikasian pemeraman buah
44
14 Sebaran responden berdasarkan pengaplikasian sortasi biji kakao basah
45
15 Penerimaan petani dari kegiatan pascapanen biji kakao dengan dan tanpa
fermentasi perhektar perpanen
51
16 Biaya pascapanen biji kakao dengan dan tanpa aplikasi fermentasi perhektar
perpanen
52
17 Penggunaan tenaga kerja untuk kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi
fermentasi perhektar perpanen
53
18 Pengunaan tenaga kerja pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi per
hektar per panen pada musim panen puncak Mei 2014
55
19 Pendapatan pascapanen biji kakao dengan dan tanpa aplikasi fermentasi
perhektar perpanen
58
20 Hasil output Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit Test
61
21 Hasil output Nagelkerke R Square
61
22 Hasil pendugaan parameter terhadap variabel dependen
61
23 Hasil pendugaan model regresi logistik biner faktor-faktor yang memengaruhi
keputusan petani memroduksi kakao fermentasi
62
24 Sebaran responden berdasarkan jumlah biji kakao yang dihasilkan
63
25 Sebaran responden berdasarkan jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa
64
26 Sebaran responden berdasarkan perbedaan harga
65
27 Sebaran responden berdasarkan akses informasi teknis fermentasi
67
28 Sebaran responden berdasarkan status usahatani
67
29 Sebaran responden berdasarkan akses berhutang ke pedagang
68

DAFTAR GAMBAR
1 Produksi dan ekspor biji kakao Indonesia tahun 2008 – 2012
2
2 Grafik produktivitas biji kakao Indonesia tahun 1990-2012
2
3 Tampilan tekstur biji kakao
10
4 Keterkaitan subsistem dalam sistem agribisnis
17
5 Kurva respons
19
6 Kerangka pemikiran operasional penelitian
24
7 Buah kakao yang telah masak ditandai oleh perubahan warna buah
43
8 Kegiatan pengupasan buah
45
9 Kegiatan fermentasi biji kakao
46
10 Metode penjemuran biji kakao
47
11 Volume pembelian biji kakao di unit pembelian PT BT Cocoa periode April
2013- April 2014
48
12 Rekapitulasi volume pembelian biji kakao di unit pembelian PT BT Cocoa
periode April 2013 – April 2014
49

DAFTAR LAMPIRAN
1 Karakteristik pribadi petani fermentasi
74
2 Karakteristik pribadi petani non fermentasi
75
3 Pendapatan dan biaya pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi dan
tanpa aplikasi fermentasi
76
4 Perincian biaya pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi Kecamatan
Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat Mei 2014 (Rp)
77
5 Perincian biaya pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi Kecamatan
Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat Mei 2014 (Rp)
78
6 Perincian kebutuhan kerja dan biaya tenaga kerja pascapanen biji kakao
terfermentasi
79
7 Perincian kebutuhan kerja dan biaya tenaga kerja pascapanen biji kakao
terfermentasi
80
8 Perincian kebutuhan kerja dan biaya tenaga kerja pascapanen biji kakao
terfermentasi
81
9 Perincian kebutuhan kerja dan biaya tenaga kerja pascapanen biji kakao tidak
terfermentasi
82
10 Perincian kebutuhan kerja dan biaya tenaga kerja pascapanen biji kakao tidak
terfermentasi
83
11 Perincian kebutuhan kerja dan biaya tenaga kerja pascapanen biji kakao tidak
terfermentasi
84
12 Data input untuk analisis regresi logistik
85
13 Output regresi logistik model dugaan
86
14 Uji beda penerimaan, harga, produksi per hektar, biaya tunai, biaya total,
pendapatan atas biaya total, pendapatan atas biaya tunai, biaya total per kg,
biaya tunai per kg, pendapatan total per kg, pendapatan tunai per kg.
89

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kakao merupakan salah satu komoditas andalan sektor perkebunan yang
berperan penting bagi perekonomian Indonesia. Kakao memiliki peran strategis
dalam ketersediaan lapangan kerja, sumber pendapatan, dan devisa negara. Hal ini
ditunjukan oleh luas areal perkebunan kakao Indonesia secara keseluruhan pada
tahun 2011 mencapai 1 732 641 ha. Sebesar 87,4% dari luas areal pekebunan
kakao atau seluas 1 641 130 ha merupakan perkebunan rakyat. Sebanyak 1 701
958 kepala keluarga (KK) petani menggantungkan perekonomiannya dari
komoditas kakao (Ditjenbun 2013). Kakao termasuk dalam sepuluh komoditas
ekspor utama perdagangan Indonesia selain tekstil, elektronik, karet dan produk
karet, kelapa sawit, produk hasil hutan, alas kaki, otomotif, udang, dan kopi
(Kementerian Perdagangan 2014). Tabel 1 menunjukan bahwa tahun 2012 kakao
memberikan sumbangan devisa negara sebesar US$ 388 335.4 ribu, dengan
volume ekspor sebesar 171 986.3 ton (BPS 2013).
Tabel 1 Nilai ekspor biji kakao menurut negara tujuan utama tahun 2008 -2012
(000US$)

Cina

2008
35 612.6

2009
17 034.3

Tahun
2010
42 886.1

2011
25 093.9

2012
13 999.0

Thailand

16 722.1

17 845.6

18 476.5

17 206.6

18 719.4

Singapura

102 534.1

139 342.6

151 485.7

98 497.8

92 884.3

Malaysia

470 203.2

451 885.0

551 439.1

411 374.1

228 653.2

Amerika Serikat

128 154.1

297 103.2

246 501.3

29 678.3

628.1

27 140.4

12 787.9

10 070.0

15 912.2

0.0

1 341.3

4 541.8

10 752.2

14 032.0

17 036.9

822.8

5 816.4

15 563.6

2 758.1

1 917.1

Jerman

1 498.3

20 717.2

35 197.3

1 084.1

1 136.2

Lainnya

719 965

121 152.4

109 095.1

1 453.5

13 360.8

856 025.4

1 088 136.4

1 191 466.9

617 090.6

388 335.4

Negara

Kanada
India
Belanda

Jumlah/total

Sumber : Badan Pusat Statistik (2013)

Menurut ICCO (2013) produksi kakao Indonesia pada tahun 2011 mencapai
440 000 ton. Jumlah ini menempatkan Indonesia sebagai produsen kakao terbesar
ketiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Total produksi kakao dunia pada
tahun 2011 mencapai 4 312 000 ton dengan total konsumsi kakao dunia sebesar 3
938 000 ton (ICCO 2013). ICCO dalam quarterly bulletin of cocoa statistic
(2013) menyatakan bahwa produksi kakao dunia akan mengalami penurunan
sedangkan konsumsi kakao dunia akan mengalami peningkatan. Hal tersebut
menunjukan bahwa diperkirakan permintaan kakao dunia akan mengalami
peningkatan sehingga komoditas kakao memiliki potensi yang besar untuk
dikembangkan.

2

Ton

Pengembangan komoditas kakao di Indonesia tidak lepas dari berbagai
permasalahan yang dihadapi dari subsistem hulu hingga hilir. Laporan evaluasi
pelaksanaan gerakan nasional peningkatan produksi dan mutu kakao (GERNAS
Kakao) periode 2009-2010 menjelaskan bahwa usahatani kakao di Indonesia
menghadapi berbagai permasalahan. Hal ini terindikasi dari fluktuasi dan stagnasi
produksi serta ekspor kakao dari tahun ke tahun. Berikut grafik produksi dan
ekspor biji kakao Indonesia tahun 2008-2012 berdasarkan data Badan Pusat
Statistik tahun 2013.

1,000,000
800,000
600,000
400,000
200,000
0
2008

2009

2010

2011

2012

Tahun

produksi

ekspor

Gambar 1 Produksi dan ekspor biji kakao Indonesia tahun 2008 – 2012
Permasalahan pada subsistem hulu dan usahatani kakao yaitu produktivitas
tanaman kakao Indonesia masih di bawah potensi normal dan cenderung
mengalami penurunan. Potensi normal tanaman kakao dapat menghasilkan 2
ton/ha/tahun biji kakao. Namun produktivitas tanaman kakao Indonesia hanya
sebesar 1.1 ton/ha/thn pada tahun 2003 dan pada tahun 2012 menurun menjadi
0.85 ton/ha/tahun akibat tanaman tua, rusak, serta terserang penyakit (Gambar
2)(Ditjenbun 2014).
1,400

Produktivitas
(Kg/ha/tahun)

1,200
1,000
800
600
400
200
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012

0

Tahun

Gambar 2 Grafik produktivitas biji kakao Indonesia tahun 1990-2012
Permasalahan pada subsistem hilir yang memengaruhi perdagangan kakao
Indonesia yaitu rendahnya mutu kakao akibat penanganan pascapanen yang belum

3

sesuai GHP (Good Handling Practices) (Bappenas 2011). Kurang lebih 90% biji
kakao yang dijual petani tidak difermentasi. Selain itu biji kakao memiliki
kandungan kadar air yang masih tinggi, ukuran biji tidak seragam, kadar kulit biji
tinggi, keasaman tinggi, citarasa sangat beragam dan tidak konsisten. Terdapat biji
kakao yang terserang serangga hama, terserang jamur dan tercampur dengan
kotoran atau benda-benda asing lainnya (Kementerian Pertanian 2012).
Mutu biji kakao yang rendah menyebabkan biji kakao Indonesia di negara
tujuan ekspor terutama Amerika Serikat diberlakukan penahanan otomatis
(automatic detention) dan potongan harga (automatic discount) sehingga harga
biji kakao yang diterima dan daya saing biji kakao Indonesia lebih rendah dari biji
kakao yang dihasilkan negara lain. Secara domestik, industri kakao nasional
kekurangan bahan baku biji kakao bermutu sehingga industri kakao nasional
mengimpor biji kakao terfermentasi dari negara produsen lain.
Pemerintah berupaya mendorong subsistem hilir kakao Indonesia melalui
peraturan Menteri Keuangan Nomor 67 Tahun 2010 yang menetapkan
pemberlakuan Bea Keluar (BK) kakao sebesar 5-15% dimulai 1 April 2010.
Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong industri pengolahan kakao dan
mendorong petani untuk melakukan fermentasi biji kakao. Pemberlakuan BK
kakao diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah sebanyak mungkin untuk
pelaku agribisnis kakao dalam negeri (Kementerian Pertanian 2012). Kementerian
Keuangan (2012) dalam kajian perkembangan perekonomian kakao nasional
pasca pengenaan bea keluar biji kakao, menyatakan bahwa kebijakan pengenaan
bea keluar ekspor biji kakao berhasil membangkitkan industri pengolahan kakao
di Indonesia baik domestik maupun investasi baru perusahaan multinasional.
Kapasitas produksi industri pengolahan domestik diperkirakan mengalami
peningkatan. Namun, pada subsistem hulu terkendala oleh produktivitas dan
kualitas biji kakao yang rendah.
Upaya peningkatan produksi, produktivitas dan kualitas kakao telah
dilakukan oleh pemerintah pada subsistem hulu dan usahatani kakao yaitu melalui
kebijakan GERNAS Kakao pada tahun 2009 sampai 2011 yang berlangsung di
beberapa provinsi penghasil kakao di Indonesia. Sasaran GERNAS Kakao tahun
2009 sampai 2011 meliputi:
1. Perbaikan pertanaman kakao rakyat seluas 450 000 ha, terdiri dari peremajaan
tanaman seluas 70 000 ha, rehabilitasi tanaman seluas 235 000 ha, dan
intensifikasi tanaman seluas 145 000 ha.
2. Pemberdayaan petani melalui pelatihan dan pendampingan kepada 450 000
petani.
3. Pengendalian hama dan penyakit tanaman seluas 450 000 ha.
4. Perbaikan mutu kakao sesuai SNI (Standar Nasional Indonesia).
Program GERNAS Kakao belum menghasilkan perkembangan yang
signifikan karena bibit kakao yang ditanam butuh waktu tiga tahun untuk
menghasilkan tanaman kakao yang berproduktifitas tinggi (Kementerian
Keuangan 2012). APBN program GERNAS Kakao hanya berlangsung sampai
tahun 2013. Pihak swasta membuat kebijakan serupa dengan GERNAS Kakao
untuk membantu pemerintah Indonesia dalam mengatasi ketahanan pangan
nasional salah satumya adalah produktifitas dan mutu kakao. Kebijakan ini
merupakan kemitraan publik - swasta yang dikenal sebagai Program Nestle Cocoa

4

Plan di bawah forum kemitraan Partnership for Indonesia Sustainable
Agriculture (PISAgro 2014).
PISAgro (Partnership for Indonesia Sustainable Agriculture) merupakan
kemitraan publik swasta yang bertujuan untuk mendukung pemerintah Indonesia
dalam mengatasi ketahanan pangan nasional dengan cara meningkatkan produksi
komoditas pertanian strategis secara lestari dan meningkatkan penghidupan petani
kecil (PISAgro 2014). PISAgro memiliki fokus kegiatan yang terdiri dari 10
kelompok kerja berdasarkan komoditas andalan Indonesia yaitu kakao, susu, kopi,
kelapa sawit, padi, jagung, kedelai, hortikultura dan agrifinance. Kemitraan
kelompok kerja kakao PISAgro telah berlangsung sejak tahun 2012 dengan
mengusung program Nestle Cocoa Plan. PT Nestle berperan sebagai ketua
kelompok kerja kakao PISAgro. PT Nestle bersama dengan PT Swisscontact, PT
Bumitangerang Mesindotama (PT BT Cocoa), Puslitkoka (Pusat Penelitian Kopi
dan Kakao) Jember, IDH (Sustainable Trade Initiative) dan atas dukungan dari
pemerintah provinsi Sulawesi Barat berupaya membentuk model rantai pasok
pengembangan komoditas kakao berkelanjutan di Sulawesi Barat.
Program Neslte Cocoa Plan terdiri dari pembentukan kebun percontohan
oleh Puslitkoka, Swisscontact dan PT Nestle Agriserv. Pembinaan petani
dilakukan oleh Swisscontact dan pembentukan unit pembelian kakao dilakukan
oleh PT BT Cocoa sebagai upaya mendekatkan petani pada akses pemasaran yang
efisien dan memberikan insentif harga sesuai dengan kualitas biji kakao.
Serangkaian program tersebut berlangsung di Kabupaten Mamuju dan Majene
Sulawesi Barat dengan harapan dapat memberikan sumbangsih bagi upaya
peningkatan produktivitas dan mutu biji kakao.
Perumusan Masalah
Sulawesi Barat merupakan salah satu provinsi penghasil kakao di Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian (2014), produksi kakao Sulawesi Barat
mencapai 76 158 ton pada tahun 2012. Jumlah ini menempatkan Sulawesi Barat
sebagai daerah penghasil kakao terbesar keempat setelah Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Kecamatan Kalukku, Kabupaten
Mamuju Sulawesi Barat merupakan kecamatan penghasil kakao terbesar kedua
dengan nilai produksi sebesar 3 094,37 ton pada tahun 2012 setelah Kecamatan
Sampaga yang memiliki nilai produksi 3 576,29 ton (BPS 2013). Permasalahan
yang dihadapi petani kakao Kecamatan Kalukku yaitu rendahnya produktivitas
dan mutu kakao akibat cara budidaya dan pascapanen yang belum menerapkan
standar Good Agricultural Practise (GAP) dan Good Handling Practise (GHP).
Mochtar A H dan Darma R (2011) menjelaskan bahwa pasar kakao dunia
secara umum dapat dibagi atas dua segmen berdasarkan mutu biji yaitu segmen
pasar untuk biji kakao bermutu tinggi yang dicirikan oleh biji terfermentasi
dengan sempurna (dikategorikan sebagai Well Fermented Cocoa Beans atau
WFCB) dan segmen pasar untuk biji kakao dengan mutu fisik yang cukup baik
tetapi tidak difermentasi (dikategorikan sebagai Fair Average Quality atau FAQ).
Standar mutu untuk kategori WFCB sangat ketat tetapi permintaan pasar dunia
sangat besar yaitu sekitar 2,4 juta ton per tahun atau sekitar 80% dari total
produksi kakao dunia. Sebaliknya, standar mutu biji kakao kategori FAQ tidak
terlalu ketat memperhatikan mutu biji dan permintaan dunia untuk kakao kategori
ini relatif kecil yaitu sekitar 600 000 ton per tahun atau sekitar 20% dari total

5

produksi dunia. Kakao Indonesia yang mampu bersaing pada pasar WFCB hanya
sekitar 2% dari total ekspor. Penyebab utamanya adalah karena sekitar 80% dari
total produksi biji kakao Indonesia masih belum melakukan penanganan
pascapanen dengan baik, terutama belum dilaksanakannya proses fermentasi biji
kakao.
Permasalahan produksi biji kakao Indonesia yang belum dilakukan
fermentasi disebabkan oleh keengganan petani melakukan fermentasi. Hal ini
dikarenakan secara teknis petani merasa tidak mudah melakukan fermentasi pada
biji kakao karena prosesnya yang cukup lama yaitu selama lima hari. Hal ini
mengakibatkan penundaan penerimaan petani. Selain itu, Penerapan teknologi
fermentasi dalam pengolahan biji kakao menambah curahan tenaga kerja. Proses
fermentasi diduga mengakibatkan kehilangan hasil yang diperoleh pada biji kakao
kering fermentasi lebih besar dibanding kakao non fermentasi. Terlebih, belum
ada insentif harga untuk kakao berkualitas.
Program Nestle Cocoa Plan berupaya meningkatkan produktivitas dan mutu
kakao melalui pembentukan kebun percontohan, sekolah lapang dan pembentukan
unit pembelian biji kakao yang memberikan insentif atas kualitas biji kakao.
Petani di Kecamatan Kalukku didorong untuk meningkatkan mutu dengan
melakukan fermentasi biji kakao. Petani diberikan pengetahuan mengenai teknik
fermentasi biji kakao melalui kegiatan sekolah lapang, diberikan bantuan kotak
fermentasi dan layanan unit pembelian kakao yang memberikan perbedaan harga
pada kakao fermentasi dan non fermentasi.
Berkaitan dengan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimana produksi biji kakao terfermentasi di Kecamatan Kalukku
Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat atas dukungan program Nestle Cocoa
Plan ?
2. Bagaimana perbandingan pendapatan petani biji kakao terfermentasi dengan
tidak terfermentasi ?
3. Bagaimana faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani binaan Nestle
Cocoa Plan untuk memroduksi biji kakao terfermentasi?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan produksi biji kakao terfermentasi di Kecamatan Kalukku
Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat atas dukungan program Nestle Cocoa
Plan.
2. Menganalisis perbandingan pendapatan petani biji kakao terfermentasi dengan
tidak terfermentasi.
3. Mengidentifikasi faktor – faktor yang memengaruhi keputusan petani binaan
Nestle Cocoa Plan memproduksi biji kakao terfermentasi.
Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan yang telah diuraikan, maka hasil penelitian ini
diharapkan dapat:

6

1. Memberikan informasi dan gambaran mengenai produksi biji kakao
terfermentasi dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhinya (kasus : petani
binaan Nestle Cocoa Plan di Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju,
Sulawesi Barat).
2. Memberikan manfaat bagi pembaca dan peneliti, baik sebagai tambahan
pengetahuan maupun sebagai informasi untuk melaksanakan studi lanjutan di
masa mendatang.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada petani binaan Nestle Cocoa Plan yang telah
mengikuti dan mendapatkan serangkaian program Nestle Cocoa Plan yaitu
sekolah lapang, aktivitas di kebun percontohan (demplot), dan penjualan kakao di
unit pembelian PT BT Cocoa. Secara wilayah geografis, ruang lingkup penelitian
ini mencakup wilayah Kecamatan Kalukku Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat.
Lingkup bahasan dibatasi pada deskripsi produksi biji kakao terfermentasi,
analisis perbandingan pendapatan petani dari kegiatan pascapanen biji kakao
dengan dan tanpa aplikasi fermentasi serta identifikasi faktor-faktor yang
memengaruhi keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi.

TINJAUAN PUSTAKA
Mutu dan Penanganan Pascapanen Biji Kakao
Mutu merupakan suatu standarisasi yang sudah menjadi kebutuhan manusia
karena mutu berkaitan dengan kepuasan (Wahyudi et al.2009). Mutu biji kakao
mempunyai beberapa pengertian, yakni dalam pengertian sempit yaitu cita rasa
(flavour) dan upaya mempertahankannya. Sementara dalam pengertian lebih luas
meliputi aspek atau kriteria yang menentukan penerimaan (acceptability) dari
komoditas kakao yang ditawarkan (Wahyudi et al. 2009).
Klasifikasi atau penggolongan mutu biji kakao kering menurut SNI 23232008 terbagi menjadi tiga, yaitu menurut jenis tanaman, jenis mutu dan ukuran
berat biji per 100 gram. Menurut jenis tanaman kakao, biji kakao digolongkan
menjadi dua, yaitu biji mulia (biji kakao yang berasal dari tanaman kakao jenis
Criolo atau Trinitario serta hasil persilangannya dan biji kakao lindak (biji kakao
yang berasal dari tanaman kakao jenis Forastero) (BSN, 2008). Menurut ukuran
biji kakao kering per 100 gram, mutu biji kakao digolongkan menjadi lima kelas,
yaitu ; AA (maksimal 85 biji per 100 gram), A (86-100 biji per 100 gram), B
(101-110 biji per 100 gram), C (110-120 biji per 100 gram), dan S (lebih dari 120
biji per gram). Jenis tanaman dan ukuran biji tersebut dipengaruhi oleh perlakuan
pada subsistem hulu agribinis kakao yaitu penggunaan bibit kakao yang unggul
serta subsistem usahatani kakao, yaitu penerapan teknik budidaya yang sesuai
dengan GAP (Good Agricultural Practise).
Tabel 2 Persyaratan umum biji kakao menurut SNI 01-2323-2008
No
1
2
3

Jenis Uji
Satuan
Persyaratan
Serangga hidup
Tidak ada
Kadar air
% fraksi massa
Maks 7.5
Biji berbau asap dan atau hammy dan
Tidak ada
atau berbau asing
4
Kadar benda asing
Tidak ada
Tabel 2 menunjukan persyaratan umum mutu biji kakao yang akan di
ekspor. Bila ditinjau lebih jauh lagi, fermentasi tidak termasuk dalam persyaratan
umum mutu biji kakao yang harus dipenuhi. Hal ini menunjukan bahwa ekspor
biji kakao Indonesia belum berorientasi pada pasar biji kakao yang telah
terfermentasi. Persyaratan khusus biji kakao merupakan pesyaratan yang harus
dipenuhi untuk mengklasifikasi jenis mutu. Menurut persyaratan jenis mutunya,
biji kakao terbagi menjadi tiga kelas yaitu mutu I, II, dan III dengan ketentuan
telah memenuhi persyaratan umum biji kakao (Tabel 3).
Tabel 3 Persyaratan khusus biji kakao menurut SNI 01-2323-2008
Jenis Mutu
Kakao
Lindak

Kadar Biji
Berjamur
(biji/biji)

Kadar
biji Slaty
(biji/biji)

Persyaratan
Kadar biji
Kadar kotoran
berserangga
waste
(biji/biji)
(biji/biji)

Kadar biji
berkecambah
(biji/biji)

I-F

I-B

Maks 2

Maks 3

Maks 1

Maks 1.5

Maks 2

II-F

II-B

Maks 4

Maks 8

Maks 2

Maks 2

Maks 3

III-F

III-B

Maks 4

Maks 20

Maks 2

Maks 3

Maks 3

Kakao
Mulia

8

Terpenuhinya persyaratan mutu tersebut sangat dipengaruhi oleh perlakuan
pada penangan pascapanen biji kakao. Oleh sebab itu penanganan pascapanen biji
kakao menentukan mutu akhir biji kakao. Penanganan pascapanen biji kakao
memiliki tahapan sebagai berikut :
Tabel 4 Tahapan penanganan pascapanen biji kakao
No.

Tahapan

Tujuan dan Aktivitas Terkait Mutu

Komponen
mutu yang
dipengaruhi

1

Pemanenan
buah

Panen dapat dilakukan sepanjang tahun. Selama setahun, terdapat satu
atau dua puncak panen. Puncak panen pertama terjadi sekitar bulan
Mei - Juni dan panen tambahan pada bulan Oktober – November.
Pemetikan buah harus dilakukan pada saat buah tepat masak. Tingkat
kemasakan buah dapat dilihat dari warna buah, yaitu dari hijau
menjadi kekuningan, dari merah menjadi jingga.

Ukuran biji,
kadar lemak
dalam
biji,
kadar
biji
berkecambah

2

Sortasi buah

Sortasi buah bertujuan untuk menseleksi atau memisahkan buah kakao
menjadi dua kelompok besar yaitu buah yang sehat dan masak optimal
dengan yang tidak atau kurang sehat dan belum masak optimal, seperti
: terserang hama dan penyakit, salah petik, dimakan tupai, dan
sebagainya.

Kadar
kotoran,
Kadar
biji
terserang
jamur
dan
serangga

3

Pemeraman
buah

Proses
fermentasi

4

Pemecahan
buah
dan
sortasi
biji
kakao basah

Pemeraman atau penyimpanan buah kakao, dilakukan untuk
mengurangi kandungan pulpa (sampai batas tertentu) yang melapisi
biji kakao basah serta untuk memperoleh jumlah biji yang sesuai
untuk pengolahan.
Pemecahan buah bertujuan untuk mengeluarkan dan memisahkan biji
kakao dari kulit buah dan plasentanya. Sortasi biji kakao basah
bertujuan untuk memisahkan biji kakao superior (sehat) dengan biji
kakao inferior (terserang hama penyakit, tergores benda tajam) dan
kotoran (kulit biji, plasenta). Pencampuran biji sehat dan biji tidak
sehat akan menyebabkan terkontaminasinya biji sehat oleh bakteri biji
tidak sehat pada saat proses fermentasi. Selain itu, pencampuran biji
kakao yang terserang penyakit busuk buah (phitophora) akan
menimbulkan peningkatan kadar asam lemak bebas pada biji kakao.

5

Fermentasi

Fermentasi biji kakao dimaksudkan untuk menimbulkan aroma khas
coklat. Fermentasi dilakukan di dalam suatu wadah/kotak kayu.
Fermentasi yang sempurna dilakukan dalam waktu 5 hari, dimana
pada hari kedua dan keempat harus dilakukan pembalikan.

Cita
rasa,
kadar slaty,
keasaman
biji, kadar air,

6

Perendaman
dan pencucian

Perendaman dan pencucian biji bukan merupakan cara baku, namun
dilakukan atas dasar permintaan pasar (Industri atau eksportir
tertentu). Perendaman dan pencucian biji kakao bertujuan untuk
menghentikan proses fermentasi, mempercepat proses pengeringan,
memperbaiki penampakan biji, dan mengurangi kadar kulit biji.

Proses
pengeringan.

7

Pengeringan

Tujuan pengeringan adalah untuk menurunkan kadar air biji dari 60 %
sampai kadar airnya mencapai 7 atau 7.5 % diperlukan waktu 3 – 4
hari, tergantung dari kondisi cuaca.

Kadar
air,
cita rasa dan
aroma kakao.

8

Sortasi
kering

Sortasi biji kering kakao bertujuan untuk mengelompokan biji kakao
berdasarkan ukuran dan memisahkan dari kotoran atau benda asing
lainnya seperti batu, kulit dan daun-daunan

Kadar
kotoran, biji
terserang
serangga dan
jamur.

9

Pengemasan

Biji kakao dikemas didalam wadah bersih dan kuat, biasanya
mengunakan karung goni dan tidak dianjurkan menggunakan karung
plastik. Biji kakao tidak boleh disimpan dalam satu tempat dengan
produk pertanian lainya yang berbau keras.

Kadar
air,
aroma kakao.

biji

Sumber : Wahyudi et al. (2009)

Proses
fermentasi,
kadar
biji
berjamur,
kadar
biji
terserang
serangga,
kadar kotoran

9

Fermentasi Biji Kakao
Fermentasi merupakan suatu kegiatan untuk membentuk citarasa cokelat
pada biji kakao dengan memanfaatkan bantuan mikroba alami (Kementan 2012).
Menurut Wahyudi et al. (2009) pada awal sejarahnya fermentasi hanya digunakan
untuk membebaskan biji kakao dari lapisan lendir (pulp), mencegah pertumbuhan
biji dan memperbaiki kenampakan. Namun, pada perkembangan selanjutnya,
fermentasi menjadi proses yang mutlak harus dikerjakan. Hal tersebut
dikarenakan fermentasi biji kakao bertujuan untuk membentuk citarasa khas
cokelat, warna cokelat dan rongga pada keping biji serta mengurangi rasa pahit
dan sepat yang ada dalam biji kakao sehingga menghasilkan biji dengan mutu dan
aroma yang baik (Kementerian Pertanian 2012).
Petani kakao Indonesia umumnya melakukan proses fermentasi dengan
sarana dan metode yang beragam. Sebagian petani di Indonesia melakukan
fermentasi selama 5 hari dengan menggunakan kotak fermentasi dan pembalikan
dilakukan pada hari kedua dan keempat fermentasi. Sebagian petani lain
melakukan fermentasi selama 1-3 hari didalam karung plastik dan pembalikan
dilakukan setiap hari dengan cara menggulingkan karung (Amin 2005 dalam
Rinaldi J 2013). Biji kakao yang dihasilkan dari proses fermentasi singkat (3 hari)
dan menggunakan karung plastik dikenal sebagai biji kakao semi fermentasi. Biji
kakao semi fermentasi tidak dapat diketegorikan sebagai biji kakao terfermentasi
karena biji kakao yang dihasilkan memiliki kadar slaty (biji tidak terfermentasi)
yang tinggi.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 51 Tahun 2012 mengenai
pedoman penanganan pascapanen kakao, terdapat beberapa faktor yang harus
diperhatikan dalam proses fermentasi, yaitu :
1. Sarana fermentasi biji yang ideal yaitu dengan menggunakan kotak dari kayu
yang diberi lubang-lubang. Untuk skala kecil (40 kg biji kakao) diperlukan
kotak dengan ukuran panjang dan lebar masing-masing 40 cm dan tinggi 50
cm. Untuk skala besar 700 kg biji kakao basah diperlukan kotak dengan
ukuran lebar 100 – 120 cm, panjang 150 – 165 cm dan tinggi 50 cm. Jika peti
fermentasi sulit diperoleh, dapat digantikan dengan keranjang bambu.
2. Tinggi tumpukan biji kakao minimal 40 cm agar dapat tercapai suhu
fermentasi 45 – 480C.
3. Berat biji yang difermentasi minimal 40 kg. Hal ini terkait dengan
kemampuan untuk menghasilkan panas yang cukup sehingga proses
fermentasi biji dapat berjalan dengan baik.
4. Pengadukan/pembalikan biji dilakukan setelah 48 jam proses fermentasi.
Selama proses fermentasi terjadi perubahan kimia dan biologi pada biji
kakao. Perubahan kimia dan biologi yang terjadi selama proses fermentasi
mengakibatkan pulp hancur dan mencair, biji mati dan enzim-enzim tertentu
terbentuk dan memecah tanin serta beberapa zat perangsang lainnya sehingga
mengurangi rasa pahit pada kakao. Bentuk biji kakao selama proses fermentasi
berubah menjadi menggembung bila proses fermentasi berjalan dengan sempurna,
sedangkan bila proses fermentasi tidak berjalan sempurna biji kakao akan tetap
berbentuk pipih. Keping biji yang berwarna putih maupun ungu akan berubah
menjadi coklat. Apabila warna biji masih ungu kecoklatan, maka hal ini
menunjukkan proses fermentasi belum sempurna selesai. Menurut Siregar et al.

10

(2003) Perubahan biji yang terjadi selama fermentasi meliputi peragian gula
menjadi alkohol, fermentasi asam cuka dan meningkatnya suhu. Disamping itu,
aroma pun meningkat selama proses fermentasi dan pH biji mengalami
perubahan.
Ukuran keberhasilan proses fermentasi biji kakao.
Citarasa dan aroma khas cokelat akan diperoleh pada biji kakao yang telah
mengalami proses fermentasi secara sempurna. Secara kualitatif, kesempurnaan
proses fermentasi dapat dilihat dari perubahan warna keping biji kakao. Dengan
uji belah dapat diketahui bahwa warna dominan keping biji tidak terfermentasi
adalah ungu atau sering disebut biji slaty. Warna ungu disebabkan oleh
kandungan senyawa polifenol yang masih tinggi. Senyawa ini menyebabkan rasa
sepat dan pahit. Selama proses fermentasi, 60% sampai 70% senyawa ini terurai
secara enzimatis disertai dengan perubahan warna biji menjadi coklat sejalan
dengan waktu fermentasi (Mulato S 2011). Derajat fermentasi berdasarkan warna
keping biji dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tingkat, yaitu,
• Fermentasi kurang menghasilkan keping biji berwarna ungu penuh (tanpa
fermentasi), warna ungu seperti batu tulis (fermentasi 1 hari), warna ungu dan
coklat sebagian (fermentasi 2 - 3 hari), warna cokelat dengan sedikit ungu
(fermentasi 4 hari).
• Terfermentasi sempurna menghasilkan keping biji berwarna coklat dominan
(5 hari)
• Fermentasi berlebihan (> 6 hari) menghasilkan warna keping biji coklat gelap
dan berbau tidak enak (Wahyudi et al. 2009).

Slaty

Ungu Penuh

Ungu
Sebagian

Coklat
Berjamur
(fermentasi
penuh)

Gambar 3 Tampilan tekstur biji kakao
Pengaruh fermentasi biji kakao terhadap mutu produk olahan kakao
Rendemen hasil (yield) merupakan perbandingan antara berat hasil olahan
(pasta, lemak dan bubuk kakao) dengan berat bahan baku (biji kakao). Industri
cokelat sangat menginginkan rendemen hasil yang tinggi. Nilai rendemen sangat
dipengaruhi oleh kadar air, ukuran biji, cara pengolahan dan kandungan
kontaminan (kotoran) yang tercampur ke dalam biji. Kadar air, selain penyebab
kerusakan biji karena serangan jamur, juga berpengaruh terhadap rendemen hasil.
Air dianggap sebagai bahan ikutan yang akan hilang pada saat pemrosesan
(penyangraian) (Mulato S 2011)
Menurut Mulato S (2011) Ukuran biji kakao sangat menentukan rendemen
hasil. Selain faktor bahan tanam, ukuran biji dipengaruhi oleh faktor pemeliharaan
tananam, agroklimat dan tingkat kematangan buah saat dipanen. Biji ukuran besar

11

diperoleh dari bahan tanam unggul yang dirawat dengan baik dan dihasilkan dari
buah kakao yang sudah masak (ripe). Biji yang besar menghasilkan rendemen
lemak yang tinggi pula. Lemak merupakan komponen yang paling mahal dari biji
kakao. Proses fermentasi dapat menurunkan kadar bahan bukan lemak, sehingga
secara relatif kadar lemak akan meningkat (Yusianto et al., 1995). Tingkat
fermentasi yang rendah akan menurunkan rendemen lemak karena komponen
non-lemak masih tertinggal di dalam biji.
Kemudahan proses pengolahan merupakan indikator bahwa bahan baku
dapat diproses dengan cepat dan dengan biaya rendah. Waktu proses biji kakao
dengan kadar air di atas standar (> 7.5 %) akan lebih lama sehingga kapasitas
produksi turun. Energi penguapan air juga lebih besar, yang berakibat pada
peningkatan biaya. Karena kandungan bahan non-lemaknya (selulosa) masih
tinggi, biji yang tidak difermentasi diketahui lebih sulit diproses dan
membutuhkan energi makanik lebih besar. Kontaminasi benda keras (batu atau
besi) yang tercampur biji kakao selain akan menyebabkan komponen mesin cepat
aus, juga menyebabkan pengaruh negatif terhadap kualitas cokelat (kehalusan
cokelat).
Kakao termasuk dalam kelompok tanaman penyegar, sehingga aspek
citarasa dan aroma biji kakao merupakan nilai yang akan diambil manfaatnya
untuk dikonsumsi oleh konsumen. Produk olahan kakao yang dikonsumsi dalam
bentuk makanan dan minuman adalah bubuk kakao (cocoa powder) dan cairan
kakao (cocoa liquor). Parameter umum mutu bubuk kakao dan cairan kakao
terdiri dari kadar keasaman (pH), fat content (kadar lemak), fineness (kehalusan),
kadar air, dan mikrobiologi. Berdasarkan pH, bubuk dan cairan kakao terbagi atas
2 jenis, yaitu natural dan alkalis. Bubuk cokelat natural memiliki standar pH
maksimum 6, sedangkan pH diatas 6 tergolong produk alkalis. Produk natural
diproses tanpa penambahan garam alkali dan biasanya terasa sedikit asam. Produk
natural umumnya berwarna coklat muda atau cokelat, sedangkan produk alkalis
diproses dengan penambahan garam alkali (Wahyudi et al. 2009). Secara umum,
tingkat keasaman menggambarkan derajat fermentasi biji kakao, keasaman yang
rendah cenderung berasal dari biji kakao tanpa fermentasi, kekurangan fermentasi,
atau kelebihan fermentasi, sedangkan keasaman yang tinggi umumnya disebabkan
oleh fermentasi anaerobik yang berlebihan (Wahyudi et al. 2009). Biji kakao yang
tidak difermentasi menyebabkan penggunaan garam alkali pada proses conching
dalam pengolahan biji kakao menjadi lebih banyak. Hal ini bertujuan untuk
menghasilkan produk cocoa powder dan cocoa liquor alkalis memiliki kadar
keasaman rendah dan memiliki cita rasa khas coklat. Produk olahan natural yang
berasal dari biji kakao non fermentasi akan memiliki tingkat keasaman tinggi,
cita-rasa cokelat yang kurang, warna coklat yang cerah.
Pengaruh fermentasi biji kakao terhadap nilai tambah dan pendapatan
petani
Yastika et al. (2013) melakukan penelitian mengenai nilai tambah kakao
fermentasi pada unit usaha produktif (UUP) Tunjung Sari Br. Cangkup, Ds.
Pesagi, Kec. Penebel, Kabupaten Tabanan. Unit usaha produktif (UUP) Tunjung
Sari melakukan usaha pengolahan kakao fermentasi. Usaha tersebut bertujuan
untuk memeroleh keuntungan dengan melakukan penambahan nilai pada biji
kakao melalui usaha pascapanen dengan aplikasi fermentasi biji kakao. Bahan

12

baku yang digunakan adalah biji kakao basah yang diperoleh dari petani sekitar.
UUP Tunjung Sari melakukan usaha pascapanen yang terdiri dari sortasi biji
kakao basah, fermentasi, penjemuran, dan pengepakan. UUP Tunjung Sari pada
tahun 2011 memroduksi biji kakao terfermentasi menggunakan sebanyak 162.638
kg bahan baku (biji kakao basah) per tahun dengan jumlah pembelian sebesar Rp
1 207 205 000, jumlah penjualan sebanyak 57 102 kg per tahun atau sebesar Rp 2
062 775 000. Nilai tambah yang diperoleh dalam 1 kg kakao terfermentasi sebesar
Rp 2 628.3 dan tingkat keuntungan sebesar 28.79%. Namun, dalam kegiatan
usahanya, Unit usaha produktif mengalami kendala yaitu ketersediaan bahan
baku, lamanya proses pengolahan, kualitas mutu yang kurang baik dan
keterlambatan pengiriman kakao.
Nilai tambah atas kegiatan pengolahan kakao fermentasi juga dapat
diperoleh petani dengan cara melakukan kegiatan pascapanen kakao fermentasi.
Nilai tambah tersebut nantinya akan memengaruhi pendapatan petani. Hasil
penelitian Rinaldi J (2013) menjelaskan bahwa hasil analisis pendapatan usahatani
kakao per hektar per tahun pada petani yang menerapkan teknologi fermentasi
pada biji kakao diperoleh tingkat pendapatan yang lebih besar dibandingkan
tingkat pendapatan petani per hektar per tahun yang tidak menerapkan teknologi
fermentasi pada biji kakao. Rinaldi J (2013) menyatakan bahwa penerapan
teknologi fermentasi pada proses pengolahan biji kakao dapat meningkatkan
pendapatan petani.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keputusan Petani Memroduksi Biji
Kakao Terfermentasi
Selisih harga biji kakao terfermentasi dengan tidak terfermentasi merupakan
nilai tambah dari biji kakao terfermentasi yang dapat menjadi faktor pendorong
bagi petani untuk memroduksi biji kakao terfermentasi. Insentif atau faktor
pendorong tersebut belum dirasakan oleh petani karena perbedaan harga biji
kakao terfermentasi dengan tidak terfermentasi tidak signifikan. Perbedaan harga
yang tidak signifikan antara harga biji kakao terfermentasi dan tidak terfermentasi
tersebut menyebabkan petani enggan untuk memroduksi biji kakao terfermentasi
(Sedana G 2008; Iek A 2009; Napitupulu S 2009, Hasbi et al. 2010; Nuryanti N
2010; Wally F 2001; Mulato S 2010). Rinaldi J (2013) dalam penelitiannya yang
berjudul efisiensi produksi kakao pada perkebunan rakyat di Bali, menyatakan
bahwa selisih perbedaan harga biji kakao fermentasi lebih besar Rp 2000 – Rp
3000 per kilogram. Selisih harga tersebut dianggap petani hanya mampu
mengganti kehilangan hasil yang diperoleh dari proses fermentasi dan mengganti
curahan tenaga kerja yang bertambah.
Selain tingkat harga, tinggi rendahnya pendapatan petani kakao dapat
ditentukan oleh tingkat produksi. Tingkat produksi ditentukan oleh umur tanaman
kakao dan intensitas pengelolaan budidayanya. Makin tinggi umur tanaman kakao
sampai batas-batas tertentu makin tinggi produksinya. Disamping itu, pengelolaan
yang intensif juga akan meningkatkan produksi kakao. Nuryanti N (2010)
menyatakan bahwa salah satu hal yang menjadi hambatan petani dalam
menerapkan proses fermentasi yaitu jumlah biji kakao yang dihasilkan sedikit
sehingga kegiatan fermentasi tidak ekonomis. Hal tersebut dikarenakan tambahan

13

biaya dan tenaga yang dikeluarkan tidak sebanding dengan tambahan penerimaan
yang didapat. Hasbi et al. (2010) menjelaskan bahwa proses fermentasi kakao
pada tingkat petani sulit dilakukan salah satunya karena jumlah satuan panen yang
relatif kecil. Fermentasi akan menguntungkan apabila volume biji kakao
memenuhi tingkat economic of scale tertentu (Syadullah M 2012). Namun,
permasalahannya umumnya petani kakao Indonesia memiliki lahan yang tidak
luas sekitar 1-2 ha bahkan banyak yang hanya memiliki kurang dari 1 ha. Terlebih
rata-rata produktivitas tanaman kakao yang dimiliki petani dibawah potensi
normal bahkan termasuk rendah yang disebabkan tanaman tua, terserang hama
dan penyakit, serta budidaya yang belum menerapkan GAP (Good Agricultural
Practise). Selain itu, secara teknis, jumlah produksi biji kakao yang sedikit
menjadi kendala petani untuk memroduksi biji kakao terfermentasi. Fermentasi
dalam kotak memiliki kapasitas minimum biji kakao yang difermentasi yaitu
sebanyak 40 kg. Hal tersebut terkait, pada proses fermentasi dibutuhkan hasil
panas atau peningkatan suhu mendekati 500C massa biji. Pada proses fermentasi
skala kecil (tidak memenuhi kapasitas minimum) panas yang dihasilkan tidak
mencukupi sehingga biji kakao yang dihasilkan kurang memuaskan(kurang
terfermentasi) (Wahyudi et al. 2009). Dengan demikian jumlah produksi biji
kakao diduga memengaruhi petani memroduksi biji kakao terfermentasi.
Produksi biji kakao terfermentasi belum banyak dilakukan petani. Namun,
pedagang membutuhkan biji kakao terfermentasi dalam jumlah yang cukup
(memenuhi economic of scale) agar mampu memberikan keuntungan yang
memadai bagi pedagang. Implikasinya biji kakao terfermentasi akan lebih lama
tersimpan di gudang pedagang jika pedagang menginginkan menjual khusus biji
kakao terfermentasi. Namun, semakin lama biji kakao fermentasi tersimpan di
gudang pedagang, para pedagang tentunya akan mengalami tekanan finansial
karena mereka harus mencapai omzet penjualan. Jika hal tersebut terjadi,
pedagang tidak ragu-ragu mencampur biji terfermentasi dan tidak terfermentasi
agar segera bisa dijual dan uang hasil penjualan bisa di investasikan untuk
pembelian biji kakao kembali. Implikasi dari strategi ini adalah penurunan harga
biji kakao di pasaran karena biji kakao campuran memiliki mutu yang tetap
rendah (Syadullah M 2012). Penurunan harga dan keterbatasan produksi biji
kakao terfermentasi tersebut, menyebabkan bagi pedagang membeli dan menjual
biji kakao tidak terfermentasi lebih mudah dibanding biji kakao terfermentasi.
Begitu pula bagi petani menjual biji kakao tidak terfermentasi lebih mudah
dibandingkan biji kakao terfermentasi (Sedana G 2008). Hal tersebut mendorong
petani untuk tidak memroduksi biji kakao terfermentasi.
Hasil penelitian Rinaldi J (2013) menyatakan bahwa penanganan
pascapanen biji kakao dengan menerapkan fermentasi secara teknis tidak mudah
dilakukan oleh petani. Menurut petani cukup melelahkan untuk melakukan
kegiatan fermentasi (Mulato S 2010). Hal ini dikarenakan, petani harus
menyimpan biji kakao dalam peti selama 4-6 hari dan setiap hari harus
diperhatikan suhu, warna biji dan kandungan pulp biji kakao. Proses fermentasi
membutuhkan waktu yang lama menyebabkan petani enggan untuk memroduksi
biji kakao terfermentasi (Sedana G 2008; Napitupulu S 2009; Hasbi et al. 2010;
Mulato S 2010). Petani yang berusahatani kakao bukan merupakan pekerjaan
utama kerapkali mengabaikan kegiatan fermentasi. Gafur S (2009) menjelaskan
bahwa petani sering mengabaikan kegiatan pemeraman buah dan fermentasi biji

14

kakao, terutama pada saat panen kakao bersamaan dengan musim panen
komoditas lain. Kegiatan fermentasi tidak dilakukan karena petani harus mengejar
waktu panen komoditas lain tersebut.
Petani membutuhkan pengetahuan mengenai teknik fermentasi biji kakao
yang sesuai dengan GHP (Good Handling Practise). Hal ini dikarenakan untuk
memeroleh biji kakao terfermentasi sempurna terdapat syarat dan perlakuan
tertentu yang perlu dikatahui petani. Hasan et al. (2010) dalam Hasan N dan
Roswita R (2013) menyatakan bahwa penyebab petani tidak memroduksi biji
kakao terfermentasi karena petani belum tahu inovasi teknologi fermentasi.
Sedana G (2008) dan Mulato S (2010) menjelaskan bahwa petani tidak tertarik
untuk melakukan penanganan pascapanen yang sesuai dengan GHP (Good
Handling Practise) terutama fermentasi biji kakao karena keterbatasan
pengetahuan petani dan sarana fermentasi. Umumnya petani tidak mampu
membeli kotak fermentasi. Kotak fermentasi yang dimiliki oleh petani merupakan
bantuan dari pemerintah maupun pihak swasta (Hasan N dan Roswita R 2013).
Sela