Analisis Populasi Liken Makro Epifitik Sebagai Bioindikator Kualitas Udara di Kota Bogor, Jawa Barat

.

ANALISIS POPULASI LIKEN MAKRO EPIFITIK
SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS UDARA DI KOTA
BOGOR, JAWA BARAT

RINDITA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Populasi Liken
Makro Epifitik Sebagai Bioindikator Kualitas Udara di Kota Bogor, Jawa Barat
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Rindita
NIM G351100141

RINGKASAN
RINDITA. Analisis Populasi Liken Makro Epifitik Sebagai Bioindikator Kualitas
Udara di Kota Bogor, Jawa Barat. Dibimbing oleh LISDAR IDWAN
SUDIRMAN dan YONNY KOESMARYONO.
Liken adalah salah satu kelompok organisme simbiosis yang kurang
diteliti di Indonesia. Di negara lain, di Amerika Utara dan Thailand misalnya,
liken telah diaplikasikan sebagai model bioindikator polusi udara dan telah diteliti
selama lebih dari 40 tahun. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2012 hingga
Juli 2013 dengan tujuan untuk: 1) mendata dan mengoleksi liken makro epifitik
pada pohon kenari, 2) menganalisis keadaan populasi di tiga plot dengan tingkat
polusi udara yang diasumsikan berbeda, dan 3) mempertimbangkan populasi liken
makro sebagai salah satu alat untuk memonitor kualitas udara di Kota Bogor.
Metode pengambilan sampel adalah secara purposive, dibatasi hanya pada pohon

kenari (Canarium spp.) di tiga plot: plot 1 yaitu Kebun Raya Bogor (KRB) bagian
dalam, jauh dari sirkulasi lalu lintas padat, plot 2 yaitu KRB bagian tepi yang
berbatasan dengan Jalan Otto Iskandardinata dengan lalu lintas padat, dan plot 3
yang terletak di tepi Jalan Ahmad Yani dan Jalan Pemuda yang sirkulasi lalu
lintasnya padat dan berada dekat pabrik PT Goodyear Indonesia. Liken diamati
pada 8 pohon kenari di setiap plot dengan menggunakan 2 kuadrat kecil berukuran
masing-masing 32 x 20 cm2 per pohon. Luas tutupan talus diperoleh dengan
menggambar talus pada selembar plastik transparan. Gambar talus lalu digunting,
dan ditimbang menggunakan timbangan analitik, lalu dikonversi untuk
memperoleh luas tutupan talus. Parameter populasi liken yang dianalisis adalah
jumlah talus (JT), luas tutupan talus (LT), luas tutupan talus rata-rata (LTR),
kerapatan (K), kerapatan relatif (KR), dominansi (D), dominansi relatif (DR),
frekuensi (F1, F2), frekuensi relatif (FR1, FR2), dan indeks nilai penting (INP1,
INP2).
Pada penelitian ini diperoleh tujuh genus liken makro yang diidentifikasi
secara morfologi dan kimiawi. Pada plot 1 ditemukan liken Coccocarpia (1),
Leptogium (2), Parmotrema (4), Dirinaria (5), dan Physcia (6). Di plot 2 terdapat
liken Canoparmelia (3), Parmotrema (4), Dirinaria (5), Physcia (6), dan Pyxine
(7). Di plot 3 ditemukan Canoparmelia (3), Parmotrema (4), Dirinaria (5), dan
Pyxine (7). Coccocarpia (1) dan Leptogium (2) hanya ditemukan di plot 1,

membentuk cluster lokasi (A) yang terpisah jauh dengan cluster lokasi lainnya (B,
C, D) dengan jarak cluster lokasi sekitar 36% dan kedua liken memiliki kemiripan
lokasi dengan nilai bootstrap 80%. Canoparmelia (3) dan Pyxine (7) sama-sama
ditemukan di plot 2 dan 3, membentuk cluster lokasi (B) yang terpisah dengan
cluster lokasi C dan D dengan jarak cluster lokasi sekitar 22% dan kedua liken
memiliki kemiripan lokasi dengan nilai bootstrap 77%. Physcia (6) ditemukan di
plot 1 dan 2, membentuk cluster lokasi (C) sendiri yang terpisah lebih dekat
dengan cluster lokasi D dengan jarak cluster lokasi sekitar 16%. Hanya
Parmotrema (4) dan Dirinaria (5) yang ditemukan di ketiga plot, membentuk
cluster lokasi (D) dan keduanya memiliki kemiripan lokasi dengan nilai bootstrap
56%. Canoparmelia (3) dan Pyxine (7) bisa berada bersama-sama dalam satu
lokasi dengan Physcia (6), Parmotrema (4) dan Dirinaria (5), tetapi
keberadaannya tidak ditunjang oleh jarak cluster lokasi yang hanya sekitar 22%.

Secara umum, plot 2 mengandung liken makro epifitik terbanyak (JT total
= 530 talus, LT total = 1323.39 cm2). Physcia (6) merupakan liken dengan INP
tertinggi di plot 1 (INP1 = 191.7%, INP2 = 176%), sedangkan Dirinaria (5)
memiliki INP tertinggi di plot 2 (INP1 = 144%, INP2 = 145%) dan plot 3 (INP1 =
146.9%, INP 2 = 147%).
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dibuat suatu keadaan populasi liken

makro epifitik untuk dijadikan bioindikator kualitas udara. Plot 1 yang berada
jauh dari sirkulasi lalu lintas padat dan diasumsikan memiliki kualitas udara yang
lebih baik memiliki keadaan: 1) memiliki sianoliken Coccocarpia (1) dan
Leptogium (2). Kedua liken ini tidak ditemukan di plot lain dan keberadaannya
didukung oleh data cluster lokasi kedua liken yang terpisah jauh dari cluster
lokasi liken lainnya; 2) tidak ditemukan Pyxine (7) dan Canoparmelia (3); 3)
ditemukan populasi Dirinaria (5) dalam jumlah sedikit dan jarang, namun luas
tutupan rata-rata talusnya besar-besar (JT = 5, FR1 = 3.33%, FR2 = 10%, LTR =
6.15cm2); dan 4) ditemukan Physcia (6) melimpah. Sebaliknya, plot 2 dan 3 yang
berada dekat dengan sirkulasi padat dan diasumsikan memiliki kualitas udara
yang berpolusi memiliki keadaan: 1) tidak ditemukan Coccocarpia (1) maupun
Leptogium (2); 2) ditemukan Pyxine (7) dan Canoparmelia (3) dalam jumlah
sedikit maupun banyak; 3) ditemukan Dirinaria (5) dalam jumlah banyak dan
sering, namun luas tutupan rata-rata talusnya kecil-kecil, seperti di plot 2 (LTR =
2.85 cm2) dan plot 3 (LTR = 1.16 cm2); dan 4) ditemukan Physcia(6) dalam
jumlah sedikit atau tidak sama sekali seperti di plot 3.
Keadaan populasi Parmotrema (4) di ketiga plot mempunyai pola yang
tidak jelas sehingga genus ini tidak dapat dijadikan bioindikator polusi udara. Pola
Parmotrema mungkin dapat ditemukan pada tingkat spesies. Penelitian serupa
pada pohon inang yang berbeda diperlukan untuk menguatkan keadaan populasi

liken makro epifitik tersebut di atas sehingga dapat dijadikan bioindikator kualitas
udara. Transplantasi liken indikator di ketiga plot dapat dilakukan untuk
memastikan apakah liken tersebut sebagai bioindikator sensitif atau toleran.
Kata kunci: analisis populasi, bioindikator, Bogor, pohon kenari, liken makro,
polusi udara

SUMMARY
RINDITA. Analysis of Epiphytic Macrolichens Population as a Bioindicator for
Air Quality in Bogor City, West Java. Supervised by LISDAR IDWAN
SUDIRMAN and YONNY KOESMARYONO.
Lichens are one of symbiotic organisms that are less studied in Indonesia.
In other countries, for example North America and Thailand, lichens have been
applied as bioindicator model for air pollution and also have been studied for over
forty years. This research project was conducted from March 2012 until July 2013
with the aims to: 1) record and collect epiphytic macrolichens on canary trees, 2)
analyze its population condition in three plots that were assumed to have different
level of air pollution, and 3) considering of macrolichen population to be used as a
tool for air quality monitoring in Bogor City. The sampling technique was
purposive, limited only on canary (Canarium spp.) trees in three plots: plot 1 was
the centre of Bogor Botanical Garden (BBG) that was located far from the traffic

circulation, plot 2 was the edge of BBG that was adjacent to Otto Iskandardinata
Street with intense traffic circulation, and plot 3 was along Ahmad Yani and
Pemuda streets that had intense traffic circulation and also located near PT
Goodyear Indonesia factory. In each plot, lichens were observed on eight
Canarium trees using two 32 x 20 cm2 mini quadrates per tree. Lichen covers
were obtained by drawing the whole thalli on a piece of transparent plastic. To
measure the coverage, each thallus that had been drawn was cut off and then
weighed with an analytic scale. Weighing results were converted into centimeter
squares. Ecological parameters were calculated i.e. thallus number (TN), thallus
coverage (TC), average coverage (AC), density (D), relative density (RD),
dominance (Do), relative dominance (RDo), frequencies (F1, F2), relative
frequencies (RF1, RF2), and important value index (IVI1, IVI2).
From this research, we found seven genera of macrolichens that had been
identified morphologically and chemically. Plot 1 contained Coccocarpia (1),
Leptogium (2), Parmotrema (4), Dirinaria (5), and Physcia (6). In plot 2, there
were Canoparmelia (3), Parmotrema (4), Dirinaria (5), Physcia (6), and Pyxine
(7). In plot 3, we found Canoparmelia (3), Parmotrema (4), Dirinaria (5), and
Pyxine (7). Coccocarpia (1) and Leptogium (2) were only found in plot 1, forming
a location cluster (A) that was far apart from other location clusters (B, C, D) with
about 36% of location cluster distance, and both lichens had the location similarity

with 80% of bootstrap values. Canoparmelia (3) and Pyxine (7) were found in
plot 2 and 3, forming a location cluster (B) that was separated from location
clusters of C and D with about 22% of location cluster distance, and both lichens
had the location similarity with 77% of bootstrap values. Physcia (6) was found in
plot 1 and 2, forming a single location cluster (C) that was closer separated from
location cluster D with about 16% of location cluster distance. Only Parmotrema
(4) and Dirinaria (5) were occurred in all plots, forming a location cluster (D) and
both lichens had the location similarity with 56% of bootstrap values.
Canoparmelia (3) and Pyxine (7) could be found together in one location with
Physcia (6), Parmotrema (4), and Dirinaria (5), but their presences were not
supported by location cluster distance that was only about 22%.

In general, plot 2 had the highest total thallus number (530 thalli) and total
coverage (1323.39 cm2). Physcia (6) had the highest important value index in plot
1 (IVI1 = 191.7%, IVI2 = 176%), while Dirinaria (5) had the highest important
value index in plot 2 (IVI1 = 144%, IVI2 = 145%) and plot 3 (IVI1 = 146.9%,
IVI2 = 147%).
Based on this research, a population condition of epiphytic macrolichens
was made and to be used as bioindicator of air quality. Plot 1 with location far
from intense traffic circulation and with assumption of having better air quality,

were having some conditions: 1) having Coccocarpia (1) and Leptogium (2) that
were not found in other plots, and their presence were supported by location
cluster data of both lichens that were far apart from other location clusters; 2)
none of Canoparmelia (3) and Pyxine (7) were found; 3) a few and infrequent
Dirinaria (5) was found, but with larger average coverage (TN = 5, FR1 = 3.33%,
FR2 = 10%, AC = 6.15 cm2); and 4) Physcia (6) was found abundantly.
Conversely, plot 2 and 3 with location near intense traffic circulation and with
assumption of having polluted air quality, were having some conditions: 1) none
of Coccocarpia (1) and Leptogium (2) were found; 2) few or many Canoparmelia
(3) and Pyxine (7) were found; 3) many and frequent Dirinaria (5) was found, but
with smaller average coverage as in plot 2 (AC = 2.85 cm2) and plot 3 (AC = 1.16
cm2); and 4) few or none Physcia (6) was found, as in plot 3.
Population condition of Parmotrema (4) in three plots had unclear pattern
so that it cannot be used as bioindicator of air pollution. Parmotrema (4) pattern
probably could be found at species level. Similar researches on different trees are
needed to strengthen the above epiphytic macrolichens population condition so
that it might be used as an indicator of air quality. Transplantation of indicator
lichens will be conducted in these plots to ensure whether those lichens are
sensitive or tolerant bioindicator.
Keywords: air quality, bioindicator, Bogor, canary trees, macrolichens, population

analysis

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS POPULASI LIKEN MAKRO EPIFITIK SEBAGAI
BIOINDIKATOR KUALITAS UDARA DI KOTA BOGOR,
JAWA BARAT

RINDITA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains
pada
Program Studi Mikrobiologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.Si.

Judul Tesis :Analisis Populasi Liken Makro Epifitik Sebagai Bioindikator
Kualitas Udara di Kota Bogor, Jawa Barat
Nama
: Rindita
NIM
: G351100141
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Dr Ir Lisdar I Sudirman
Ketua

Prof Dr Ir Yonny Koesmaryono, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Mikrobiologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Anja Meryandini

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:
14 Mei 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penelitian dan tesis ini berhasil diselesaikan. Tema
yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2012 ini ialah
mikrobiologi lingkungan, dengan judul Analisis Populasi Liken Makro Epifitik
Sebagai Bioindikator Kualitas Udara di Kota Bogor, Jawa Barat.
Terima kasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Lisdar I
Sudirman selaku ketua komisi pembimbing yang telah mendidik dan
membimbing penulis selama menjalani perkuliahan di Sekolah Pascasarjana IPB
hingga tahap penelitian tesis dan publikasi. Terima kasih juga penulis ucapkan
kepada Bapak Prof Dr Ir Yonny Koesmaryono MS selaku anggota komisi
pembimbing, atas arahan dan sarannya. Penulis juga menyampaikan terima kasih
kepada dosen penguji, Prof Dr Ir Cecep Kusmana, atas waktu dan perhatian yang
telah diberikan pada tesis ini. Di samping itu, penulis juga menyampaikan terima
kasih kepada Kebun Raya Bogor atas keleluasaan yang diberikan selama
melakukan sampling data penelitian, serta Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Kota Bogor, Dinas Kebersihan dan Pertamananan Kota Bogor, dan PT Goodyear
Indonesia atas data sekunder yang telah diberikan untuk mendukung penelitian
ini. Bantuan konsultasi, literatur, dan konfirmasi identifikasi spesimen yang
diberikan oleh Dr Harrie JM Sipman(Freie Universität Berlin, Jerman), Dr
Wanaruk Saipunkaew (Chiang Mai University, Thailand), dan Pradeep K
Divakar, PhD (Universidad Complutense, Spanyol) juga sangat membantu
penelitian ini, dan untuk itu penulis berterima kasih. Penulis juga menyampaikan
terima kasih kepada IPB yang telah memberikan dana perjalanan untuk penulis
mengikuti International Association of Lichenology 7th Symposium di Bangkok,
Thailand pada bulan Januari 2012, serta BIOTROP yang memberikan penulis
beasiswa untuk mengikuti 6th Regional Training Workshop on Biodiversity and
Conservation of Bryophytes and Lichens pada bulan Juli 2011. Dengan kedua
kegiatan tersebut, penulis memperoleh ilmu dan pengalaman berharga yang sangat
membantu dalam pengerjaan penelitian serta tesis.
Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan
kepada ayahanda Ir. Zulfikar Utama, ibunda Fitri Yusma M, suami Brillian Ilham
Prabowo, nenek Hj. Yusniar M., adik Rayandi, dan ananda Aydin Kamil
Prabowo, serta seluruh keluarga besar atas segala fasilitas, doa, dan kasih
sayangnya selama penulis menempuh perjalanan panjang dalam menyelesaikan
tesis ini. Tidak lupa penulis memberi penghargaan kepada teman-teman yang
telah membantu penulis dalam pengambilan sampel hingga penelitian di
laboratorium, sampai penyusunan tesis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Rindita

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Liken Makro Epifitik
Polusi Udara di Kota Bogor
Liken Sebagai Indikator Polusi Udara
Kelompok Liken dengan Tingkat Toleransinya

3
3
5
6
8

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Metode Penelitian
Alat dan Bahan
Prosedur Penelitian
Analisis Data

10
10
10
12
12
13

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keanekaragaman Liken Makro Epifitik di Pohon Kenari
Keadaan Populasi Liken Makro Epifitik di Ketiga Plot Penelitian
Populasi Liken Makro Epifitik Sebagai Bioindikator Kualitas Udara
di Ketiga Plot

15
15
20
22

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

29
29
29

DAFTAR PUSTAKA

30

LAMPIRAN

34

RIWAYAT HIDUP

48

DAFTAR TABEL
1 Karakter-karakter penting untuk identifikasi liken makro
2 Beberapa contoh reaksi spot-test untuk mengidentifikasi genus liken
makro
3 Data biner kehadiran liken makro epifitik di plot 1, 2, dan 3
4 Perbandingan jumlah dan luas tutupan talus total famili dan genus liken
yang ditemukan di ketiga plot penelitian

4
5
16
19

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Empat macam talus liken
Kelompok liken toleran, intermediet, dan sensitif
Lokasi plot 1, 2, dan 3 di Kota Bogor
Pohon kenari (Canarium spp.) yang digunakan dalam pengambilan data
penelitian
Metode penghitungan populasi liken
Distribusi liken makro epifitik di plot 1, 2, dan 3
Dendrogram genus liken makro epifitik berdasarkan data biner
Sianoliken yang ditemukan di plot 1
Liken Parmeliaceae yang ditemukan selama penelitian
Liken Physciaceae di plot penelitian
Diagram perbandingan jumlah talus total dan luas tutupan talus total
liken makro epifitik di ketiga plot
Diagram perbandingan luas tutupan talus rata-rata liken makro epifitik
di ketiga plot
Grafik perbandingan Indeks Nilai Penting (INP) liken makro epifitik di
ketiga plot
Keadaan populasi liken makro epifitik untuk dijadikan bioindikator
kualitas udara di Kota Bogor
Grafik perbandingan populasi Canoparmelia dan Pyxine di ketiga plot
Grafik jumlah talus dan luas tutupan talus rata-rata Parmotrema dan
Dirinaria di ketiga plot
Pola luas tutupan talus Dirinaria di ketiga plot
Grafik perbandingan populasi Physcia di ketiga plot

4
8
11
12
13
15
16
17
18
20
21
21
22
23
24
25
26
27

DAFTAR LAMPIRAN
1 Glosarium
2 Data pengukuran kualitas udara dari BPLH Kota Bogor tahun 2012
3 Data pengukuran kualitas udara dari PT Goodyear Indonesia tahun
2012
4 Peta Kebun Raya Bogor
5 Daftar spesies dan lokasi pohon kenari (Canarium spp.) yang
digunakan dalam penelitian
6 Deskripsi dan identifikasi genus liken makro epifitik pada pohon kenari
(Canarium spp.) di plot 1, plot 2, dan plot 3
7 Rincian data liken makro epifitik pada masing-masing plot
8 Tabel perhitungan ekologi liken makro epifitik di plot 1, 2, dan 3

34
35
36
37
40
41
43
46

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Liken adalah salah satu kelompok organisme simbiosis yang telah
diketahui memiliki kesensitifan terhadap perubahan lingkungan, misalnya polusi
udara. Selama lebih dari 40 tahun, penelitian-penelitian mengenai liken dan polusi
udara telah dilakukan terutama di negara-negara di belahan bumi utara. Saat ini,
sudah banyak negara yang menggunakan liken sebagai alat biomonitoring jangka
panjang. Ribuan publikasi mengenai liken dan polusi udara telah tercatat (Bates
2002), akan tetapi penelitian mengenai liken di Asia masih belum setara dengan di
Eropa maupun Amerika. Thailand merupakan salah satu negara di Asia Tenggara
yang penelitian likennya sudah maju, contohnya penelitian yang dipublikasikan
oleh Saipunkaew et al. (2005, 2006). Sementara Indonesia masih tertinggal,
dengan sedikit peneliti yang memerhatikan liken, lebih banyak dari segi metabolit
sekunder yang dihasilkan liken contohnya penelitian Kusumaningrum et al.
(2011). Hubungan liken dengan polusi udara, seperti yang diteliti di Pekanbaru
(Nursal et al. 2005), masih sangat sedikit dilakukan. Vietnam memiliki
perkembangan yang lebih baik, dengan banyak spesies liken baru yang
dipublikasikan (Jayalal et al. 2013). Diharapkan penelitian ini dapat menambah
khasanah ilmu pengetahuan di Indonesia mengenai liken, terutama manfaatnya
terhadap lingkungan.
Aktivitas manusia sering kali menimbulkan dampak negatif bagi
ekosistem, misalnya proses urbanisasi yang terus mengalami peningkatan. Polusi
udara merupakan salah satu dampak negatif, baik sebagai dampak langsung
ataupun tidak langsung, yang berkembang dari aktivitas manusia. Produksi sulfur
dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida (NO2) yang meningkat menjadi
kekhawatiran karena dapat merusak kesehatan manusia dan masa depan dari
ekosistem (Purvis 2000). Liken sebagai bagian dari ekosistem perlahan turut
tergeser keberadaannya dari habitat aslinya. Berbagai cara untuk mengurangi
tingkat polusi udara telah dilakukan di kota-kota besar, namun tingginya biaya
memonitor polusi udara sering kali menjadi hambatan bagi kota-kota di Indonesia
untuk meneruskan memonitor polusi udara dalam jangka waktu yang lama.
Terdapat tiga cara dasar dalam memonitor dampak polusi udara terhadap
liken, yaitu studi pemetaan distribusi, memonitor dengan foto, serta analisis
kimiawi liken (Purvis 2000). Pengamatan populasi liken dalam suatu wilayah
dapat memberikan informasi mengenai kelompok liken mana yang bertahan
ataupun yang sensitif terhadap tingkat polusi udara tertentu.
Penelitian di Kota Bogor dipertimbangkan karena wilayah ini memiliki
banyak vegetasi, sehingga permukaannya lebih basah dan cenderung lebih lembap.
Elevasi beberapa daerah di Kota Bogor seperti Cimanggu dan Baranangsiang
berada di atas 200 m.dpl. (Effendy 2007), sehingga walaupun merupakan daerah
perkotaan liken masih dapat tumbuh dengan baik. Tambahan lagi, keberadaan
Kebun Raya Bogor sebagai Ruang Terbuka Hijau memberikan kontribusi positif
untuk meredam panasnya perkotaan dan tentunya merupakan habitat yang penting
bagi liken (Sipman 2009). Akan tetapi, seiring dengan perkembangan populasi

2
penduduk maka semakin tinggi polusi udara yang dihasilkan dari aktivitas
manusia di kota ini.
Liken makro yang dipilih sebagai sampel penelitian ini dibatasi yaitu
hanya yang menempel pada pohon kenari (Canariumspp.) saja. Hal ini
dikarenakan pohon kenari merupakan salah satu jenis pohon dominan di jalanjalan utama Kota Bogor dan usianya sangat tua.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, dapat dirumuskan
masalah-masalah sebagai berikut:
1) Keanekaragaman hayati Indonesia sangat tinggi, akan tetapi data atau
informasi mengenai liken masih sangat minim, sehingga perlu dilakukan
penelitian-penelitian mengenai liken.
2) Polusi udara di kota-kota besar di Indonesia mengancam kesehatan
masyarakat dan juga kerusakan ekosistem, sehingga perlu dilakukan carauntuk
memonitornya, yang lebih murah dan mudah untuk diaplikasikan di banyak
wilayah.
3) Liken telah lama diteliti memiliki kesensitifan terhadap polusi udara dan
sudah dijadikan bioindikator di berbagai negara di dunia, namun Indonesia
belum memanfaatkannya. Metode analisis populasi liken sebagai indikator
polusi udara diharapkan dapat menyumbang informasi bagi pengguna.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendata dan mengoleksi liken makro
epifitik pada pohon kenari, 2) menganalisis keadaan populasi liken makro epifitik
di tiga plot dengan tingkat polusi udara yang diasumsikan berbeda, dan 3)
menginformasikan serta mempertimbangkanpeluang penggunaan liken makro
epifitik sebagai salah satu indikator untuk memonitor kualitas udara di Kota
Bogor.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat: 1) memperkaya khasanah ilmu pengetahuan
di Indonesia serta menambah catatan keanekaragaman hayati di Kebun Raya
Bogor dengan menambah data mengenai keanekaragaman liken, dan 2)
memperkenalkan cara yang lebih murah dan mudah untuk mengetahui kualitas
udara di suatu tempat kepada masyarakat awam dan pemerintah yang terkait.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Liken Makro Epifitik
Liken merupakan makhluk hidup simbiosis dari dua sampai tiga
organisme, terdiri atas ganggang hijau dan atau sianobakteria (fotobion) dan
cendawan (mikobion) berupa Ascomycota, Basidiomycota, atau Deuteromycota.
Fotobion dan mikobion tersebut terintegrasi dalam sebuah talus yang bentuknya
sangat berbeda dari bentuk masing-masing simbionnya. Klasifikasi liken
tergolong ke dalam Kingdom Fungi atau cendawan, yang jumlahnya sekitar
13.500 hingga 30.000 spesies di seluruh permukaan bumi (Purvis 2000). Estimasi
jumlah spesies tersebut belum menyeluruh disebabkan survei mengenai liken
terpusat di daerah beriklim sedang dan boreal. Daerah tropis memiliki banyak
jenis habitat yang diasumsikan memiliki keanekaragaman liken yang tinggi,
namun belum teridentifikasi karena kurangnya peneliti yang mempelajari liken.
Sehingga, jika liken di daerah tropis dieksplorasi menyeluruh maka kemungkinan
akan menggenapkan jumlah liken yang ada di dunia mendekati 100.000 spesies
(Negi 2003).
Proses likenisasi (simbiosis membentuk liken) adalah salah satu cara
cendawan yang sifatnya heterotrof untuk memperoleh nutrisi. Diperkirakan
jumlah cendawan yang membentuk liken adalah 20% dari total seluruh jumlah
cendawan, dengan lebih dari 40% termasuk kelompok askomiset (Purvis 2000).
Fotobion yang menjadi rekan cendawan berasal dari ganggang hijau dan
sianobakteria yang umumnya dapat hidup bebas maupun menjadi simbion liken.
Genus ganggang hijau yang paling umum menjadi fotobion adalah Trebouxia dan
Trentepohlia, dan terdapat banyak genus lain di antaranya Chlorella, Myrmecia,
Pleurastrum, dan Dictyochloropsis. Sianobakteri yang paling sering menjadi
fotobion adalah Nostoc, dan genus sianobakteri yang lainnya misalnya
Gloeocapsa dan Chroococcidiopsis (Purvis 2000, Nash 2008). Beberapa peneliti
di Jepang dan Amerika Utara telah membuktikan bahwa liken dapat dikulturkan di
laboratorium, dipisahkan antara mikobion dan fotobionnya. Media agar lebih baik
digunakan untuk menumbuhkan liken daripada media cair (Purvis 2000).
Umumnyaliken diklasifikasikan menjadi tiga macam talus, yaitu crustose
(seperti kerak), foliose (seperti daun), dan fruticose (seperti semak). Banyak ahli
liken menambahkan satu atau beberapa macam talus lain, dan di antaranya
terdapat bentuk squamulose (seperti sisik). Empat macam talus liken dapat dilihat
pada Gambar 1 dan istilah-istilah dalam liken dapat dilihat pada glosarium
Lampiran 1.
Liken bentuk crustose disebut sebagai liken mikro, karena ukurannya yang
kecil sehingga sering kali terlewatkan, dan membutuhkan analisis mikroskopik
untuk mengidentifikasi jenisnya. Liken foliose, fruticose, dan squamulose disebut
dengan istilah liken makro karena memiliki ukuran talus yang umumnya lebih
besar sehingga lebih mudah untuk diidentifikasi. Liken makro dapat menjadi
pembeda variasi geografis dalam distribusi jenis-jenis liken karena perubahan
antropogenik dari kondisi lingkungan (Saipunkaew et al. 2006). Sebutan epifitik
ditujukan pada liken yang menempel pada substrat berupa batang pohon, tanpa

4
mengambil nutrisi dari pohon inangnya. Istilah lain yang sering digunakan untuk
menyebut liken yang epifit adalah corticolous.

Gambar 1 Empat macam talus liken, dari kiri ke kanan: crustose (Graphidaceae),
foliose (Peltigera), fruticose (Usnea), dan squamulose (Cladonia).
Sumber: koleksi penulis yang diamati di Borneo.
Anatomi talus liken foliose terdiri atas korteks luar, lapisan fotobion,
medula, dan korteks bawah, namun beberapa jenis tidak memiliki korteks bawah.
Bagian terbesar dari talus liken adalah mikobionnya, dan fotobion hanya
menyusun sekitar 20%. Pada permukaan korteks bawah umumnya terdapat
struktur tambahan seperti rhizine, pseudocyphellae, dan cilia yang merupakan
karakter penting dalam pengidentifikasian jenis liken.
Pertumbuhan dan kolonisasi liken dipengaruhi oleh variasi kemiringan
dataran, tipe vegetasi, adanya gangguan yang disebabkan manusia, ada atau tidak
adanya cahaya, kelembapan, dan juga umur inang serta kondisi substrat (Kumar
2009). Terdapat karakter fisiologis yang unik pada liken, seperti kemampuannya
mengolonisasi habitat yang memiliki kelembapan, cahaya, dan suhu yang ekstrim.
Berbeda dengan tumbuhan, liken tidak memiliki lapisan kutikula yang melindungi
permukaan talusnya sehingga air dengan mudahnya terserap oleh talus (Nash
2008). Liken juga tidak memiliki akar sehingga hanya mengandalkan penyerapan
nutrisi dari atmosfer.
Komunitas liken makro yang terdapat pada satu jenis pohon dapat
berbeda-beda, dan tentunya tiap genus memiliki ciri khas tersendiri. Karakteristik
yang paling penting dalam pengidentifikasian liken makro ini adalah bentuk talus.
Untuk memudahkan dalam melakukan identifikasi liken foliose maka diperlukan
keterangan-keterangan mengenai bentuk lobus, rhizine dan cilia, ada atau tidak
adanya organ pseudocyphellae, korteks bagian atas, korteks bagian bawah, dan
alat reproduksi (Tabel 1).
Reaksi spot-test yang umumnya digunakan untuk mengidentifikasi
metabolit sekunder liken pertama kali dikenalkan oleh William Nylander pada
tahun 1860, yaitu dengan menggunakan larutan kalium hidroksida dan pemutih
(Purvis 2000). Reaksi kimiawi ini menyebabkan perubahan warna pada korteks
ataupun medula liken setelah ditetesi bahan kimia secara langsung menggunakan
pipet atau syringe. Pereaksi yang biasa digunakan adalah larutan kalium
hidroksida 10-15% (K), larutan kalsium hipoklorit (C) yang umumnya
menggunakan larutan pemutih segar, dan larutan paraphenylenediamine (P atau
Pd) (Wolseley dan Aguirre-Hudson [tahun tidak diketahui]). Terdapat pereaksi
lain seperti larutan KC (penggunaan K yang dengan cepat diikuti oleh C) dan
larutan kalium iodida (I) 1% (Divakar dan Upreti 2005). Korteks atas dari
beberapa genus liken Parmeliaceae seperti Bulbothrix, Canomaculina,

5
Everniastrum, Myelochroa, Parmelia, Parmelina, Parmelinopsis, Punctelia, dan
Rimelia berwarna abu-abu, yaitu mengandung atranorin. Beberapa genus seperti
Flavoparmelia, Flavopunctelia, Relicina, Relicinopsis, dan Xanthoparmelia
memiliki spesies-spesies yang mengandung asam usnic, berwarna kuning-hijau.
Genus Canoparmelia dan Parmotrema memiliki keduanya (Divakar dan Upreti
2005). Contoh reaksi spot-test dalam pengidentifikasian liken dapat dilihat pada
Tabel 2. Metode lain yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi liken adalah
microcrystallography dan thin layer chromatography (TLC) (Divakar dan Upreti
2005).
Tabel 1 Karakter-karakter penting untuk identifikasi liken makro
No.
1
2
3
4
5
6
7
8

Karakter
Bentuk talus
Permukaan atas
Alat reproduksi
Permukaan bawah
Lobus
Rhizine
Cilia
Warna talus

Macamnya
foliose, fruticose, squamulose
halus, berurat atau berpola
isidia, soredia, apothecia, podetia
Ada/tidak ada rhizine, ada/tidak ada tomentum
Bulat, linear, membulat
Sederhana, dikotom, bercabang lebih dari dua
Sederhana, bulbate
Abu-abu, hijau, kuning, hitam, cokelat, dan
lain-lain

Tabel 2 Beberapa contoh reaksi spot-test untuk mengidentifikasi genus liken
makro
Reaksi
K+ kuning
KK+ kuning, KCK-, KC+ kuning
K+ kuning, KCC+ merah muda

Tempat
Karakter dari Genus
reaksi
Korteks Heterodermia, Physcia
Korteks Pyxine
Korteks Bulbothrix, Rimelia, Parmelia,
Canoparmelia
Korteks Relicina, Relicinopsis
Korteks Parmelinopsis
Medula

Sumber: Sipman (2003)

Polusi Udara di Kota Bogor
Polusi udara adalah perpindahan material sintetis maupun alamiah dalam
jumlah yang membahayakan ke dalam atmosfer sebagai dampak langsung
ataupun tidak langsung dari aktivitas manusia (Mackenzie 2001). Adanya
material berbahaya tersebut akan menyebabkan perubahan susunan (komposisi)
udara dari keadaan normalnya (Wardhana 2004).
Partikel-partikel polutan sangat kecil yang terlarut dalam udara sangat
membahayakan kesehatan manusia. Partikel tersebut dapat memasuki alveoulus
manusia dan menyebabkan penyakit pernafasan. Sulfur dioksida (SO2) dan
nitrogen dioksida (NO2) merupakan contoh polutan yang tersebar di perkotaan,
yang berasal dari asap dan aerosol dari pemanasan domestik, asap buangan

6
transportasi jalan raya, dan emisi transportasi jarak jauh (Zahradníková 2010).
Adapun SO2 merupakan gas penyebab iritasi yang digunakan pada banyak proses
industri, yang dihasilkan terutama dari hasil pembakaran senyawa sulfur. Emisi
dari gas SO2 danNO2akan meningkatkan ozon dan polusi yang nantinya jelas
mempengaruhi iklim melalui kenaikan suhu tahunan rata-rata (Beaven 2008).
Karbon monoksida (CO) adalah suatu gas yang tidak berwarna, tidak berbau,
dan tidak berasa, yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil pada mesinmesin penggerak transportasi (Wardhana 2004). Untuk daerah perkotaan yang
banyak kegiatan industrinya serta memiliki lalu lintas yang padat, udaranya sudah
tercemar oleh gas CO. Tambahan lagi, sebelum penggunaannya di dalam bahan
bakar bensin dilarang, logam timbal (Pb) merupakan sumber utama pencemaran di
daerah perkotaan, yaitu daerah yang kepadatan lalu lintasnya tinggi. Suatu
penelitian menyatakan bahwa korelasi kepadatan lalu lintas dengan akumulasi Pb
pada talus liken adalah cukup kuat (r2=83 %) (Nursal et al. 2005).
Secara geografis, Kota Bogor terletak di antara 106’ 48’BT dan 6’ 26’ LS
(Pemerintah Kota Bogor 2014). Belakangan, perkembangan kota yang berada di
tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor ini begitu pesat dan dapat diamati
melalui banyaknya pembangunan perumahan, hotel dan apartemen, serta jalan
layang. Kegiatan pembangunan tersebut akan menghasilkan polusi udara yang
semakin meningkat. Padahal Kota Bogor diketahui memiliki vegetasi yang masih
baik serta elevasi yang lebih tinggi dibandingkan kota-kota di sekitarnya (Jakarta,
Tangerang, dan Bekasi) (Effendy 2007). Melalui penelitian Santosa pada tahun
2005, kecamatan Bogor Tengah diketahui memiliki kadar pencemar udara
tertinggi. Di Pasar Bogor, kandungan SO2 adalah sebesar 18.65 µg/m3 pada
musim hujan. Kandungan SO2 yang berasal dari bahan bakar kendaraan roda
empat tersebut masih tergolong rendah (ambang batas 900 µg/m3, Lampiran 2).
Polutan yang tinggi di Pasar Bogor adalah CO, yaitu sebesar 8.13 µg/m3 pada
musim hujan dan 8.74 µg/m3 pada musim kemarau, karena kecepatan kendaraan
lambat atau sering terjadinya kemacetan di wilayah ini. Di Jalan Jenderal
Sudirman, polutan yang tinggi adalah NO2, yaitu sebesar 59.01 µg/m3 pada musim
hujan dan 62.94 µg/m3 pada musim kemarau, dikarenakan kecepatan kendaraan
lebih tinggi.
Keberadaan Kebun Raya Bogor (KRB) sebagai Ruang Terbuka Hijau
(RTH) di Kota Bogor juga semakin terancam karena pesatnya pembangunan.
Dengan demikian, lebih dari 13.684 spesimen tanaman (Pusat Konservasi
Tumbuhan Kebun Raya Bogor 2006) yang tumbuh di dalamnya juga dapat
terancam. Sayangnya, tidak ada pengukuran polusi udara yang dilakukan di dalam
KRB, sehingga kualitas udara di dalamnya tidak dapat dimonitor secara berkala
dan pasti. Hanya ada data pengukuran polusi udara yang dilakukan tahun 2007
(Yeane 2007) yang mengukur kadar CO2 yaitu sebesar 327 ppm (588.6 µg/m3),
CO 1.37 ppm (1.569 µg/m3), NO2 0.02 ppm (0.037 µg/m3), dan SO2 sebesar 0.01
ppm (0.026 µg/m3).
Liken Sebagai Bioindikator Polusi Udara
Bioindikator adalah organisme yang digunakan untuk memperoleh
informasi mengenai kualitas lingkungan. Organisme tersebut berperan untuk
mendeteksi dan mengidentifikasi dampak dari polutan dan bentuk gangguan lain
sebagai cara alternatif di samping pengukuran secara langsung (Purvis 2000).

7
Menurut Paoletti (1999), organisme yang digunakan sebagai bioindikator dapat
berupa spesies yang tidak dapat hidup normal di luar habitat hutan, yang hanya
dapat hidup di tanah pertanian, yang mampu mengakumulasi polutan di dalam
jaringan tubuhnya, atau yang bereaksi terhadap praktek manajemen lahan yang
berubah.Tumbuhan sering digunakan sebagai biondikator polusi udara karena
memiliki kesensitifan terhadap perubahan kimiawi dalam lingkungan dan juga
mampu mengakumulasi polutan (Gadzala-Kopciuch 2004). Di antara sekian
banyak spesies tumbuhan tingkat tinggi yang telah diteliti sebagai bioindikator,
bawang merah (Allium cepa L.) adalah contoh yang sensitif terhadap polusi udara
dan dijadikan bioindikator karena daunnya mampu mengakumulasi logam berat
(Atabay et al. 2011). Pinus Aleppo (Pinus halepensis Mill.) juga diketahui dapat
menjadi biondikator polusi udara, melalui analisis senyawa fenolik dan flavonoid
yang terdapat dalam daun jarumnya (Robles et al. 2003). Tumbuhan tingkat
rendah yang populer digunakan sebagai indikator logam berat adalah lumut daun
terestrial (Blagnytė dan Paliulis 2010).
Liken telah diketahui memiliki sifat sensitif terhadap perubahan
lingkungan, misalnya polusi udara. Sifat ini berhubungan dengan kemampuannya
mengakumulasi partikel-partikel yang terlarut dalam udara karena talusnya
tumbuh menahun (perenial). Liken tidak memiliki organ khusus untuk penyerapan
air seperti akar pada tumbuhan tinggi, sehingga penyerapan mineral hanya dapat
melalui permukaan talus. Karena lapisan yang melindungi talus liken hanya
berupa kutikula primitif, maka talus liken tidak dapat menghindari penyerapan
partikel-partikel secara langsung dari udara, termasuk polutan (Bates 2002, Nash
2008).
Aktivitas manusia secara tidak langsung mempengaruhi liken dengan cara
menciptakan habitat baru bagi liken, dan liken yang tidak dapat beradaptasi dapat
menjadi jarang ataupun hilang sama sekali. Sulfur dioksida (SO2), nitrogen
dioksida (NO2), dan karbon monoksida (CO) adalah contoh polutan yang
merupakan ancaman serius bagi keberadaan liken. Melalui analisis kandungan
sulfur dalam talus liken diketahui bahwa liken dapat menyerap jauh lebih banyak
kandungan polutan dari udara dibandingkan tumbuhan tingkat tinggi. Tingkat
polusi udara yang tinggi akan menyebabkan hilangnya spesies liken tertentu atau
perubahan komposisi komunitas liken, yang didahului oleh perubahan morfologi
dan fisiologis pada talus liken (Purvis 2000).
Dampak fisik bagi liken yang mengakumulasi polutan, contohnya sulfur
dioksida (SO2), misalnya terjadinya pemutihan talus (bleaching) yang diikuti oleh
hilangnya klorofil pada sel ganggang, terbentuknya pewarnaan merah atau
penghitaman sebagai hasil dari degradasi senyawa-senyawa dalam talus, dan
pertumbuhan kerdil. Talus liken juga dapat membentuk lobule, mengalami
perlambatan pertumbuhan, dan gagal membentuk tubuh buah (Purvis 2000).
Liken merupakan bioindikator yang sangat berguna karena memiliki
distribusi yang luas, membentuk talus yang perenial, berusia panjang, dan dapat
mengakumulasi unsur-unsur dari lingkungan sekitar tempat dia hidup. Liken
sangat berguna sebagai bioindikator atau biomonitor dari suatu ekosistem karena
bersifat sensitif. Spesies-spesies liken menunjukkan variasi kesensitifan terhadap
polusi udara atau penyebab kerusakan lingkungan yang lainnya. Liken makro
banyak digunakan sebagai model indikator polusi udara yang efektif karena
mudah untuk diidentifikasi dan dianalisis. Liken epifit lebih efektif daripada yang

8
litofit (hidup pada batu) karena memiliki potensi kontaminasi polutan yang lebih
besar (Purvis 2000).
Menurut Purvis (2000), memonitor dampak polusi udara menggunakan
liken dapat dilakukan dengan tiga cara dasar, yaitu studi pemetaan distribusi,
memonitor dengan foto, serta analisis kimiawi talus liken. Berkaitan dengan cara
yang pertama, yaitu pemetaan distribusi, populasi spesies-spesies liken dalam
suatu wilayah dapat diamati dan kemudian memberikan informasi mengenai
kelompok liken mana yang bertahan ataupun yang sensitif terhadap tingkat polusi
udara tertentu. Populasi diketahui sebagai kumpulan dari individu-individu suatu
spesies, dan kumpulan populasi dalam suatu area akan membentuk suatu
komunitas. Konsep populasi dan komunitas juga berlaku bagi liken (Scheidegger
dan Werth 2009; Bidlack dan Jansky 2011). Populasi suatu spesies liken makro
dari sebuah komunitas epifitik di dataran rendah dapat digunakan untuk
membedakan daerah industri dan perkotaan dengan daerah pertanian dan pedesaan
(Saipunkaew et al. 2005).
Polutan yang berasal dari udara mempengaruhi keanekaragaman dan
distribusi liken epifitik (Hauck 2011). Keanekaragaman liken yang tinggi dan
pertumbuhan yang baik merupakan indikator udara yang lebih bersih,
dibandingkan dengan daerah dengan keanekaragaman liken yang rendah dan talus
liken yang rusak (Purvis 2000). Di daerah dengan kandungan SO2 yang tinggi,
populasi liken epifitik mengalami kerusakan berat dan berkurang menjadi hanya
beberapa spesies yang toleran (Hauck 2011).
Kelompok Liken dengan Tingkat Toleransinya

Parmotrema
Dirinaria
applanata
Menegazzia
terebrata

SENSITIF

Hyperphyscia
adglutinata
Pyxine cocoes

INTERMEDIET

TOLERAN

Setiap jenis liken memiliki batas toleransi terhadap kerusakan lingkungan
atau dalam hal ini polusi. Banyak peneliti menggolongkan liken berdasarkan
tingkat toleransinya terhadap polusi yaitu: toleran, intermediet, dan sensitif. Jenis
yang paling sensitif diharapkan dapat ditemukan pada jarak yang jauh dari sumber
polusi, dan jenis yang tingkat toleransinya paling tinggi diperkirakan ditemukan
pada jarak yang dekat dari sumber polusi (Beaven 2008). Rangkuman kelompok
liken dengan tingkat toleransinya dapat dilihat pada Gambar 2.
Lobaria
Sticta
Pseudocyphellaria
Usnea longissima
Parmelia cirrhata
Parmelia
squarrosa
Usnea filipendula

Gambar 2 Kelompok liken toleran, intermediet, dan sensitif. Sumber: Wetmore
1989, Purvis 2000, Negi 2003, Saipunkaew et al. 2006, Beaven 2008.
Liken dari famili Physiaceae merupakan contoh liken makro yang toleran
dan dapat tersebar luas di banyak habitat. Di daerah perkotaan di Thailand bagian
utara, spesies yang mampu hidup di daerah perkotaan dengan tingkat polusi yang

9
tinggi adalah Pyxine cocoes. Spesies lain seperti Hyperphyscia adglutinata
keberadaannya terbatas pada daerah perkotaan yang mengandung sedikit spesies
liken. Saat ini, H. adglutinata banyak mendominasi di daerah perkotaan di Asia
Tenggara seiring dengan urbanisasi dan iklim di daerah perkotaan yang hangat
dan kering (Saipunkaew et al. 2006). Melalui penelitian tersebut, meningkatnya
liken dari famili Physiaceae dan mendominasinya H.adglutinata menunjukkan
bahwa kondisi lingkungan menjadi terganggu akibat polusi udara dan semakin
keringnya iklim.
Liken Parmotrema dari suku Parmeliaceae adalah jenis liken intermediet
yang kebanyakan ditemukan di dataran rendah dengan curah hujan yang lebih
tinggi, sedangkan Dirinaria applanata mendominasi daerah pedesaan yang
tingkat polusinya rendah (Saipunkaew et al. 2006). Spesies liken makro lain yang
tergolong intermediet adalah Menegazzia terebrata (Beaven 2008).
Liken dengan fotobion sianobakteria (sianoliken) diketahui meliputi
spesies-spesies liken yang sensitif terhadap polusi udara, seperti liken dari genus
Lobaria, Sticta, dan Pseudocyphellaria (Purvis 2000). Selain itu, Usnea
longissima dan Parmelia cirrhata hanya ditemukan di lingkungan yang bersih
(Negi 2003). Wetmore (1989) juga mendeskripsikan spesies-spesies yang sensitif
terhadap SO2, seperti Parmelia squarrosa dan Usnea filipendula. Spesies liken
yang sensitif tersebut biasanya tidak ditemukan pada habitat yang mengandung
tingkat SO2 dengan konsentrasi tahunan rata-rata mencapai 50 µg/m3.

10

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan sejak bulan Maret 2012 hingga Juli 2013.
Pengambilan data dilakukan pada tiga plot yang ditentukan berdasarkan pada data
sekunder. Data sekunder tersebut antara lain: pengukuran kualitas udara dari
beberapa daerah di Kota Bogor menurut Santosa (2005), pengukuran kualitas
udara dari Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bogor (Lampiran
2), pengukuran kualitas udara dari Laboratorium Terpadu IPB atas persetujuan PT
Goodyear Indonesia (Lampiran 3), dan data lokasi pohon-pohon di Kota Bogor
dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor.
Penentuan plot dilakukan berdasarkan letaknya dari jalan raya yang juga
ditanami pohon kenari. Plot 1 dan plot 2 terletak di dalam Kebun Raya Bogor
(KRB) yang memiliki ketinggian 260 m.dpl., curah hujan 3.000-4.300 mm/tahun,
dan luas 87 hektar. Jumlah koleksi terakhir tercatat sekitar 13.684 spesimen
tanaman, namun tidak ada catatan mengenai keanekaragaman liken (Pusat
Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor 2006). Adapun plot 1 terletak di tengah
KRB yang diasumsikan sebagai daerah yang lebih bersih udaranya atau kontrol
karena letaknya jauh dari sirkulasi lalu lintas padat (Lampiran 4). Kriteria dari
kontrol atau daerah ‘bersih’ adalah bebas atau minimal sedikit pengaruh
antropogenik ataupun sumber polusi udara, mengingat tidak adanya jaminan
bahwa suatu daerah sama sekali tidak tersentuh polusi (Kularatne dan de Freitas
2012). Plot 2 masih merupakan bagian dari KRB, yaitu di bagian tepi yang secara
tidak langsung berhubungan dengan Jalan Otto Iskandardinata dengan lalu lintas
padat. Plot 3 terletak di tepi Jalan Ahmad Yani dan Jalan Pemuda yang secara
langsung berhubungan dengan sirkulasi lalu lintas yang padat dan juga berdekatan
dengan pabrik PT Goodyear Indonesia. Gambaran plot penelitian dapat dilihat
pada Gambar 3.
Identifikasi dan pengukuran tutupan liken dilakukan di Laboratorium
Mikologi, Departemen Biologi – FMIPA Institut Pertanian Bogor.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif eksploratif
dengan teknik survei. Teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling,
dilanjutkan dengan identifikasi spesimen secara morfologi dan kimiawi. Untuk
melihat dampak polusi udara terhadap talus liken, dilakukan perbandingan
populasi, dominansi, dan frekuensi liken makro yang terdapat di ketiga lokasi
penelitian. Pada penelitian ini dilakukan metode penghitungan luas tutupan
taluslikenmenggunakan plastik transparan (Sudirman LI 2011, komunikasi
pribadi) yang mirip dengan yang dilakukan Mickle di Ohio (1977) namun
menggunakan alumunium foil.

11
Alat dan Bahan
Pada tahapan pengambilan data liken, digunakan dua buah kuadrat kecil
berukuran 32 x 20 cm2 (dua lembar plastik transparan ukuran folio) untuk
mengambil sampel persatu batang pohon kenari. Adapun rincian spesies dan
lokasi pohon kenari yang digunakan dalam penelitian ini tercantum dalam
Lampiran 5. Untuk identifikasi di lapangan digunakan lup. Kebutuhan
pengambilan sampel liken untuk koleksi dan pengamatan morfologi memerlukan
kantong sampel, pisau lipat, dan kamera digital. Pengukuran suhu udara
menggunakan termometer dan kelembapan menggunakan higrometer.
A
Plot 3

Plot 1
Plot 2

B

33
32

41
40
37
44
45
36

Gambar 3 A. Lokasi plot 1, 2, dan 3 di Kota Bogor, B. Perbesaran plot 3 untuk
menunjukkan lokasi pohon kenari di plot 3 (pohon 32, 33, 36, 37, 40,
41, 44, 45).

12
Identifikasi liken di laboratorium menggunakan mikroskop stereo dan
mikroskop cahaya disertai dengan buku atau kunci identifikasi liken (Sipman
2003; Divakar dan Upreti 2005; Wolseley dan Aguirre-Hudson [tahun tidak
diketahui]). Pengidentifikasian dilakukan secara kimiawi menggunakan spot test
reagents berupa larutan KOH 10% dan pemutih “Bayclin”. Pengukuran berat
tutupan talus liken menggunakan timbangan analitik. Pengamatan morfologi liken
menggunakan lup dan mikroskop stereo.
Prosedur Penelitian
Pohon kenari (Canarium spp.) atau yang dikenal sebagai genus kedondong
merupakan kelompok pohon berkayu keras, berasal dari Indo-Cina dan Cina
(PROSEA 1995). Pada setiap plot penelitian dipilih pohon kenari yang memiliki
keliling lebih besar dari 60 cm (Saipunkaew et al. 2006). Kriteria batang tegak
tidak dapat digunakan sebagai persyaratan karena sebagian sampel pohon kenari
memiliki akar banir yang tinggi. Pada setiap plot dipilih sebanyak 8 pohon kenari
dengan spesies yang beragam (Lampiran 5). Total pohon sampel dari ketiga plot
penelitian berjumlah 24 pohon. Dengan demikian, total luas kuadrat sampel tiap
plot menjadi 10.240 cm2 (((32 x 20 cm2) x 2 buah kuadrat) x 8 pohon).
Pengambilan sampel liken menggunakan kuadrat yang diletakkan pada
batang pohon yang paling banyak ditutupi oleh liken, baik di akar banir maupun
di batang utama. Akar banir kenari yang dijadikan sampel bervariasi, bisa pendek
dan juga bisa sangat tinggi melebihi tinggi manusia. Misalnya di Jalan Kenari di
dalam KRB (plot 1) telah ditanami pohon kenari yang berasal dari Maluku sejak
lebih dari 100 tahun (Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor 2006),
sehingga tinggi akar banirnya melebihi kepala pengunjung. Keragaman pohon
kenari yang dijadikan sampel dapat dilihat pada Gambar 4. Pada satu pohon
kenari diletakkan dua buah kuadrat dan setiap liken makro yang tercakup dalam
kuadrat diamati dan dihitung jumlah talusnya. Tutupan liken diukur dengan
menggambar seluruh talus liken yang tercakup dalam kuadrat di selembar plastik
transparansi ukuran folio (Gambar 5).

a
Gambar 4

b

c

Pohon kenari (Canarium spp.) yang digunakan dalam pengambilan
data penelitian: a. tanpa akar banir (plot 1), b. dengan akar banir
pendek (plot 2), dan c. dengan akar banir tinggi (plot 3).

13
Koleksi liken dibuat dengan menggunakan kantong sampel. Sampel yang
dikoleksi disesuaikan dengan kebutuhan, tidak berlebihan mengingat
pertumbuhan liken yang sangat lambat. Data pendukung turut diambil seperti
diameter tiap pohon, arah mata angin, temperatur, dan kelembapan udara di
sekitar pohon kenari.
Identifikasi dilakukan di dalam laboratorium menggunakan lup dan
mikroskop stereo. Identifikasi sering kali harus dilakukan hingga tahap anatomi
dan diamati di bawah mikroskop cahaya. Karakter-karakter yang telah diamati
dicocokkan dengan buku atau kunci identifikasi. Dokumentasi foto di bawah
mikroskop dilakukan dengan menggunakan kamera digital. Untuk spesies yang
tidak dapat diidentifikasi hanya secara morfologi, dapat diuji dengan spot test
reagents untuk melihat reaksi K+ atau C+.
Talus-talus yang telah digambar saat pengambilan sampel kemudian
digunting dan ditimbang dengan timbangan analitik (Gambar 5). Hasil timbangan
(dalam gram) dikonversi menjadi luas (dalam cm2) berdasarkan luas plastik 1 cm2
yang beratnya 0.0149 gr.

b

B

a
Gambar 5

C

c

d

Metode penghitungan populasi liken. (a) metode kuadrat, tanda panah
menunjukkan plastik transparansi yang digun