Simulasi Curah Hujan Kalimantan Menggunakan Regional Climate Model 4 (RegCM4) saat El Nino Southern Oscillation (ENSO)
SIMULASI CURAH HUJAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN
REGIONAL CLIMATE MODEL 4 (REGCM4) SAAT
EL NINO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO)
ENGGAR YUSTISI ARINI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Simulasi Curah Hujan
Kalimantan Menggunakan Regional Climate Model 4 (RegCM4) saat El Nino
Southern Oscillation (ENSO) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2014
Enggar Yustisi Arini
NIM G24100033
ABSTRAK
ENGGAR YUSTISI ARINI. Simulasi Curah Hujan di Kalimantan dengan
Regional Climate Model 4 (RegCM4) saat El Nino Southern Oscillation (ENSO).
Dibimbing oleh RAHMAT HIDAYAT sebagai Pembimbing I, dan AKHMAD
FAQIH sebagai Pembimbing II.
Kemampuan Regional Climate Model 4 (RegCM4) dalam mensimulasi
curah hujan di Kalimantan dievaluasi dengan melakukan perbandingan antara data
Asian Precipitation-Highly Resolved Observational Data Integration towards
Evaluation (APHRODITE), Climate Research Unit (CRU), dan data keluaran
RegCM4 dari tahun 1982-2000. Kemampuan RegCM4 yang dievaluasi yaitu
kemampuan dalam mensimulasipola curah hujan dan karakteristik curah hujan
saat kejadian ENSO. Perhitungan RMSE dan standar deviasi dilakukan untuk
mengetahui error dan keragaman data model RegCM4. Selain itu, analisis wavelet
juga dilakukan untuk mengetahui osilasi yang dominan dalam mempengaruhi
curah hujan di Kalimantan. Analisis dilanjutkan dengan melakukan perhitungan
Maximum Dry Spell Length (MDSL). Hasil evaluasi model menunjukkan nilai
keluaran model lebih tinggi dari data observasi, namun dapat menghasilkan pola
curah hujan yang sesuai data observasi. Osilasi yang dominan terjadi di
Kalimantan yaitu Annual Oscillation dan ENSO. Kekurangan model adalah
estimasi curah hujan yang sangat tinggi di dataran tinggi (>500 m). Dalam
perhitungan MDSL, RegCM4 dapat mengangkap pola yang sesuai dengan data
observasi, yaitu MDSL yang tinggi saat El Nino dan rendah saat La Nina.
Kata kunci : APHRODITE, dataran tinggi, MDSL.
ABSTRACT
ENGGAR YUSTISI ARINI. Rainfall Simulation using Regional Climate Model 4
(RegCM4) in Kalimantan during El Nino Southern Oscillation (ENSO).
Supervised by RAHMAT HIDAYAT and AKHMAD FAQIH.
The skill of Regional Climate Model 4 (RegCM4) in simulating rainfall is
evaluated through a comparison of observations, using Asian Precipitation-Highly
Resolved Observational Data Integration towards Evaluation (APHRODITE), and
Climate Research Unit (CRU), and 19-year simulation period of 1982-2000 in
Kalimantan. The analysis includes how RegCM4 capture the rainfall type, the
rainfall characteristics when ENSO, the error and the diversity of data, and
dominant cycles in Kalimantan. The analysis is continued with a calculation of
Maximum Dry Spell Length (MDSL). It is found that RegCM4 produces
overestimated value, but it is capable in capturing rainfall type, rainfall
characteristics when ENSO, and dominant cycles in Kalimantan. The dominant
cycles in influencing Kalimantan rainfall are ENSO and Annual Oscillation. The
main model weakness is an overestimation of precipitation in mountainous
regions. It is proven by the value of Root Mean Square Error (RMSE) and
standard deviation is higher in mountainous regions (>500 m). Furthermore, based
on simple correlation, the model is better in simulating monthly resolution than
daily resolution. It is evidenced by the correlation up to 0.8 in monthly resolution.
In calculating MDSL, RegCM4 reproduces the same pattern (the higher MDSL
when El Nino, and lower value when La Nina) with APHRODITE.
Keywords :APHRODITE, mountainous regions, MDSL.
SIMULASI CURAH HUJAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN
REGIONAL CLIMATE MODEL 4 (REGCM4) SAAT
EL NINO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO)
ENGGAR YUSTISI ARINI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Simulasi Curah Hujan Kalimantan Menggunakan Regional
Climate Model 4 (RegCM4) saat El Nino Southern Oscillation
(ENSO)
Nama
: Enggar Yustisi Arini
NIM
: G24100033
Disetujui oleh
Dr Rahmat Hidayat, MSc
Pembimbing I
Dr Akhmad Faqih
Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir Tania June, MSc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul
“Simulasi Curah Hujan di Kalimantan dengan Regional Climate Model 4
(RegCM4) saat El Nino Southern Oscillation (ENSO)”. Karya ilmiah ini
ditujukan untuk mendapatkan gelar sarjana sains pada program studi Meteorologi
Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Dalam penyusunan karya ilmiah dan pelaksanaan penelitian ini tidak
terlepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin
menyamaikan rasa terima kasih kepada:
1. Ibuku tersayang, Khalimah, dan adikku Muhammad Syaiful Ulum atas doa,
dan kasih sayang.
2. Dr Rahmat Hidayat, MSc dan Dr Akhmad Faqih selaku pembimbing atas
ilmu dan kesabarannya dalam membimbing penulis.
3. Dr Rini Hidayati, MSc , dan Ir. Bregas Budianto, ass dpl atas masukannya.
4. Dr Tania June, MSc selaku Ketua Departemen
5. Dr Sobri Effendi, MSc selaku pembimbing akademik.
6. Seluruh staff CCROM-SEAP atas segala bentuk bantuan yang diberikan
dalam kelancaran tugas akhir.
7. Pak Aziz, dan seluruh staff Departemen Geofisika dan Meteorologi atas
bantuan dalam hal administrasi.
8. Tri Atmaja atas motivasi, dan semangat yang diberikan.
9. Em, Jenny, Himma yang juga selalu memberi dukungan.
10. Teman-teman Geofisika dan Meteorologi angkatan 47 yang telah berbagi
ilmu dan pengetahuan selama menempuh pendidikan di IPB.
11. Teman-teman laboratorium meteorologi Uni, Resti, Shaila, Dety, Givo,
dan yang lainnya yang telah memberi masukan dan saran untuk penelitian.
12. Senior-senior, Kak Rahmi, Kak Misna, Kak Faiz, dan Kak Syamsu, yang
juga telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir.
13. Teman-teman TPB, Ulfi, Ofi, Ima, Acha, teman-teman kosan bunda lestari,
Mbak Putri, Mbak Hilma, Mbak Novi, Mbak Tyas, Mbak Indri, dan
teman-teman OMDA Lamongan, Riris, Gamma, dan yang lainnya.
14. Semua pihak yang telah membantu tersusunnya karya ilmiah ini.
Penulis menyadari karya ilmiah ini jauh dari kesempurnaan. Akhirnya
penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis sendiri dan pembaca
pada umumnya.
Bogor, 3 Desember 2014
Enggar Yustisi Arini
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
xi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
METODE
2
Waktu dan Tempat
2
Alat dan Data
2
Prosedur Analisis Data
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
6
Pola Curah Hujan dan Kondisi Klimatologi Kalimantan
6
Evaluasi RegCM4 dalam Mensimulasi Curah Hujan di Kalimantan saat
Periode ENSO
9
CDF (Cumulative Distribution Function) dan MDSL (Maximum Dry
Spell Length) di Kalimantan
SIMPULAN DAN SARAN
18
21
Simpulan
21
Saran
21
DAFTAR PUSTAKA
21
RIWAYAT HIDUP
33
DAFTAR GAMBAR
1. Pembagian wilayah Kalimantan berdasarkan Analisis Cluster
4
2. Peta pola curah hujan di Indonesia. Sumber: Aldrian dan Susanto 2003.
7
3. Rataan bulanan curah hujan data CRU, APHRODITE, dan RegCM4 untuk
Cluster satu (a), dua (b), tiga (c), empat (d), dan lima (e) tahun 1982-2000 8
4. Klimatologi curah hujan Kalimantan pada (a dan e) DJF, (b dan f) MAM, (c
dan g) JJA, dan (d dan h) SON dari data APHRODITE (atas) dan RegCM4
(bawah) tahun 1982-2000 dalam mm
9
5. Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 1 periode Januari 1982Desember 2000 data a) CRU dan b) RegCM4
10
6. Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 2 periode Januari 1982Desember 2000 data a) CRU dan b) RegCM4
10
7. Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 3 periode Januari 1982Desember 2000 data a) CRU dan b) RegCM4
11
8. Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 4 periode Januari 1982Desember 2000 data a) CRU dan b) RegCM4
11
9. Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 5 periode Januari 1982Desember 2000 data a) CRU dan b) RegCM4
12
10. Moving average anomali curah hujan dan ONI di Cluster satu (a), dua (b), tiga
(c), empat (d), dan lima (e) tahun 1982-2000
13
11. Komposit anomali APHRODITE (atas) dan RegCM4 (bawah) saat periode (a
dan d) El Nino, (b dan e) Normal dan (c dan f) La Nina tahun 1982-2000 14
12. Root Mean Square Error (RMSE) (mm) antara RegCM4 dengan
APHRODITE harian (atas) dan bulanan (bawah) saat periode (a dan d) El
Nino, (b dan e) Normal dan (c dan f) La Nina tahun 1982 – 2000.
16
13. Standar Deviasi RegCM4 (bawah), dan APHRODITE (atas) dengan resulosi
temporal harian saat periode (a dan d) El Nino, (b dan e) Normal dan (c dan f)
La Nina tahun 1982 – 2000.
16
14. Peta topografi Pulau Kalimantan. Sumber: Badan Informasi Geospasial (BIG)
2009
17
15. Koefisien Korelasi antara RegCM4 dengan TRMM harian (atas) dan bulanan
(bawah) saat periode (a dan d) El Nino, (b dan e) La Nina, dan (c dan f)
Normal tahun 1982 – 2000.
18
16. Cumulative Distribution Function (CDF) data RegCM4 (biru) dan
APHRODITE (merah) pada Cluster satu (a), dua (b), tiga (c), empat (d), dan
lima (e) tahun 1982-2000
19
17. Grafik rata-rata MDSL data APHRODITE (garis biru) dan RegCM4 (garis
merah) pada Cluster satu (a), dua (b), tiga (c), empat (d), dan lima (e) tahun
1982-2000
20
DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
Konfigurasi Regional Climate Model 4 (RegCM4)
Scripting language komposit anomali curah hujan saat ENSO
Scripting language analisis spektral wavelet
Scripting language analisis korelasi antara TRMM dan RegCM4
Scripting language perhitungan dry spell (Moron 2004)
25
26
27
29
30
PENDAHULUAN
Latar Belakang
El Nino Southern Oscillation (ENSO) merupakan salah satu variabilitas iklim
yang terjadi di wilayah tropis Samudera Pasifik. ENSO terdiri dari dua kejadian,
yaitu El Nino dan La Nina. Fenomena El Nino diawali dengan perubahan suhu
muka air laut di Pasifik Barat secara mendadak. Akibatnya warm pool region yang
berada di Pasifik bagian barat bergerak ke timur, dekat Peru/Ekuador. Peningkatan
konveksi di Peru/Ekuador menyebabkan meningkatnya jumlah awan kumulus yang
mengakibatkan hujan lebat. Sebaliknya, di Indonesia justru terjadi kekeringan.
Kebalikan dari peristiwa El Nino adalah La Nina. Dampak La Nina juga
berlawanan, yaitu hujan lebat di Indonesia, sedangkan kemarau di wilayah
Peru/Ekuador (Fox 2000).
Kajian mengenai ENSO menarik beberapa peneliti untuk menguji apakah
fenomena tersebut berpengaruh pada curah hujan. Berbagai penelitian membuktikan
bahwa ENSO mempengaruhi karakteristik curah hujan (Soerjadi 1984; USDA
1984; ADPC 2000; Yoshino et al. 2000; Kirono dan Partridge 2002). Selain
penelitian tersebut, Tyasyono dan Bannu (2003) membuktikan bahwa ketika
fenomena El Nino tahun 1997 curah hujan dasarian < 50 mm meningkat, sehingga
terjadi bencana kekeringan yang paling parah di Indonesia. Akibat kekeringan
tersebut, Indonesia mengalami kebakaran hutan terparah di seluruh dunia.
Kalimantan merupakan salah satu pulau dengan hutan terluas di Indonesia.
Kejadian El Nino tahun 1997/98 membakar 9.75 juta hektar hutan di Indonesia
dengan 6.5 juta hektar adalah hutan di Kalimantan (BAPPENAS-ADB 1999).
Glover (2001) menilai bencana tersebut termasuk salah satu bencana lingkungan
terburuk sepanjang abad, karena jumlah emisi yang dikeluarkan.
Fenomena El Nino 1997/98, menempatkan Kalimantan sebagai pulau yang
rentan dengan ENSO. Salah satu langkah antisipatif yaitu dengan proyeksi dampak
ENSO untuk mengetahui dampak ENSO di Kalimantan untuk masa yang akan
datang. Global Climate Model (GCM) dan Regional Climate Model (RegCM) dapat
digunakan untuk melakukan proyeksi, namun perlu diuji terlebih dahulu untuk
melihat skill model tersebut (Fuentes-Franco et al. 2013). Kedua model tersebut
memiliki perbedaan besar pada resolusi spasial model. Resolusi spasial Global
Climate Model (GCM) yang bernilai ratusan kilometer kurang mampu
merepresentasikan karakteristik topografi regional dan cuaca skala meso.
Sedangkan RegCM memiliki teknik dynamical downscaling yang dapat
meningkatkan resolusi spasial horizontal yang sesuai dengan GCM dengan
memperhatikan proses fisik dan dinamika atmosfer (Giorgi et al. 2001).
Simulasi curah hujan yang umum digunakan di Indonesia adalah model
Weather Research and Forcasting (WRF; Ridwan dan Kudsy 2011; Gustari et al.
2012; Fadholi et al. 2014), sedangkan RegCM4 di Indonesia pernah digunakan
untuk mensimulasi suhu maksimum dan minimum permukaan (Gunawan et al
2013). Simulasi curah hujan oleh RegCM4 belum banyak diterapkan di Indonesia
khususnya Kalimantan. Simulasi curah hujan dengan RegCM4 banyak digunakan di
Amerika (Diro et al. 2012; Fuentos-Franco et al. 2013). Sehingga pada penelitian
ini dilakukan simulasi curah hujan dengan RegCM4 saat kejadian ENSO di Pulau
2
Kalimantan dengan sebagian besar parameterisasi yang digunakan mengacu pada
Diro et al. (2012) yang menguji sensitivitas model RegCM4 di Amerika.
Parameterisasi ini juga digunakan oleh Fuentos-Franco et al. (2013). Penelitian
Fuentos-Franco et al. (2013) menghasilkan nilai curah hujan RegCM4 yang terlalu
tinggi di wilayah dataran tinggi. Curah hujan hasil keluaran RegCM4 dipengaruhi
oleh skema konveksi RegCM4. Skema konveksi yang digunakan oleh Diro et al.
(2012) dan Fuentos-Franco et al. (2013) adalah skema MIT-Emmanuel (1991) di
bagian lautan, dan skema Grell (1993) di daratan. Penelitian tentang skema
konveksi RegCM4 di Indonesia pernah dilakukan oleh Jadmiko (2011) dan Mufida
(2012). Meraka menyatakan bahwa skema MIT–Emmanuel dianggap lebih sesuai
dengan karakteristik topografi di Indonesia. Sehingga skema konveksi yang
digunakan pada penelitian ini adalah skema MIT-Emmanuel.
Evaluasi model RegCM4 pada penelitian ini dilakukan dengan melakukan
perhitungan RMSE, korelasi, dan standar deviasi. Selain itu dilakukan analisis
wavelet untuk mengetahui osilasi paling dominan yang mempengaruhi curah hujan
di Kalimantan, serta analisis Maximum Dry Spell Length (MDSL) yang bertujuan
melihat rata-rata jumlah deret hari kering terpanjang di Kalimantan saat kejadian
ENSO.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menilai kemampuan RegCM4 dalam
mensimulasi curah hujan di wilayah Kalimantan saat kejadian ENSO, dengan
membandingkan hasil keluaran RegCM4 dengan data observasi dan mengetahui
dampak ENSO terhadap Maximum Dry Spell Length (MDSL) di Kalimantan.
METODE
Waktu dan Tempat
Kegiatan penelitian ini berlangsung dari bulan Februari 2014 s.d Juli 2014.
Tempat kegiatan diantaranya : Laboratorium Meteorologi Departemen Geofisika
dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB Dramaga,
dan Center for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and
Pacific (CCROM-SEAP) IPB Baranangsiang.
Alat dan Data
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer
dengan software Microsoft Office 2007, GrADS (Grid Analysis and Display
System), Ms. Excel, NCL (NCAR Command Languange), RegCM4 (Regional
Climate Model 4), CDO (Climate Data Operator), Matlab, Ferret, Minitab, dan
ArcGIS.
3
Data yang digunakan di antaranya data masukan model RegCM4 tahun 1982
sampai 2009 berupa data Sea Surface Temperature (SST) Optimum Interpolation
Weekly (SST oi_wk) dari NOAA (http://www.esrl.noaa. gov). Data ini memiliki
resolusi 1° x 1° mencakup 89.5°LU–89.5°LS dan 0.5°BT–359.5°BT (Reynolds et al.
2002). Selain itu, data NCEP/NCAR Reanalysis Project Versi 1 (NNRP 1), yang
juga diperoleh dari NOAA (http://www.esrl. noaa.gov) digunakan sebagai masukan
model. Data NNRP1 berisi data kondisi udara, kelembaban relatif, kecepatan angin
zonal, kecepatan angin meridional, dan kecepatan angin titik. Data NNRP1
mempunyai resolusi temporal per-6 jam dengan resolusi 2.5° x 2.5°, cakupan data
antara 90° LU –90° LS dan 0° BT –357.5° BT (Kalnay et al.1996). Kemudian, data
Oceanic Nino Index (ONI) dari NOAA yang digunakan untuk menentukan tahuntahun ENSO. ONI dihitung dengan merata-ratakan anomali Sea Surface
Temperature (SST) setiap 3 bulan di wilayah Nino 3.4 (5O N – 5O S, 120O – 170O
W) (Todd et al 2011). El Nino terjadi jika nilai ONI lebih besar sama dengan 0.5
sedangkan La Nina terjadi jika nilai ONI lebih kecil sama dengan -0.5 (Todd et al
2011). Di samping itu, data observasi dibutuhkan sebagai pembanding data keluaran
model RegCM4. Data observasi yang digunakan yaitu Asian Precipitation-Highly
Resolved Observational Data Integration Towards Evaluation (APHRODITE; Xie
et al.2007) tahun 1982-2000 yang dapat diakses melalui www.chikyu.ac.jp/precip/,
dan data Climatic Research Unit (CRU) melalui website http://badc.nerc.ac.uk/
browse /badc/cru/data/cru_ts/ tahun 1982-2000.
APHODITE merupakan data curah hujan harian yang dihasilkan dari
pengukuran rain gauge dengan resolusi 0.5o x 0.5o dan 0.25o x 0.25o (Wang et al.
2011). Data APHRODITE dianalisis dari Global Telecommunication System (GTS),
koleksi data APHRODITE, serta kompilasi dari beberapa proyek dan organisasi
(Yatagai et al. 2012). Data APHRODITE pada penelitian ini digunakan untuk
menganalisis dry spell yang membutuhkan data harian, sedangkan untuk analisis
yang membutuhkan data bulanan digunakan CRU. Pada analisis spasial digunakan
data bulanan APHRODITE karena resolusi data APHRODITE yang lebih tinggi
dari pada data CRU. Perbandingan data APHRODITE dengan data curah hujan
bulanan lain, di antaranya GPCC, Climate Research Unit (CRU; Mitchell and Jones
2005), the University of Delaware (UDE; Willmott and Matsuura 1995), dan
Precipitation Reconstruction over Land (PREC/L; Chen et al. 2002), pernah
dilakukan oleh Yatagai et al. (2005) dan Xie et al. (2007) yang menunjukkan bahwa
data APHRODITE tidak menghasilkan perbedaan yang besar dalam estimasi nilai
curah hujan khususnya di wilayah Asia.
Prosedur Analisis Data
Simulasi RegCM4
Terdapat tiga langkah utama dalam simulasi RegCM4 diantaranya Pra
Simulasi, Simulasi, dan Post Processing. Langkah terpenting dalam pra simulasi
model RegCM4 yaitu pengaturan konfigurasi model yang termasuk di dalamnya
penentuan lintang bujur, jumlah grid, menentukan parameterisasi skema fisik
RegCM4, dan lain sebagainya. Parameter skema fisik yang digunakan pada
penelitian ini mengacu pada Diro et al. (2012), kecuali pada convection scheme,
4
diantaranya yaitu radiative transfer scheme (Kiehl et al. 1996), PBL (Planetary
Boundary Layer) scheme (Holtslag et al. 1990), resolved scale precipitation scheme
(Pal et al. 2000), dan Community Land Model (CLM; Steiner et al. 2009).
Convection scheme yang digunakan pada penelitian ini menggunakan MITEmmanuel (1991) yang mengacu pada Jadmiko (2011) dan Mufida (2012). Mereka
menyatakan bahwa MIT-Emmanuel adalah skema konveksi yang mendekati kondisi
di Indonesia. Pada tahapan ini juga dilakukan pembuatan file domain, SST, dan
Initial Condition Boundary Condition (ICBC).
Simulasi RegCM4 dilakukan dengan input dan konfigurasi yang sudah
ditetapkan pada tahap sebelumnya. Keluaran dari proses ini terdiri dari lima jenis
file data yaitu ATM, SRF, RAD, STS, dan SAV. Setiap file ATM memuat data
yang berisi kondisi atmosfer seperti suhu, tekanan udara, cloud water, mixing ratio,
kecepatan angin zonal dan meridional pada 18 ketinggian, mixing ratio uap air, dan
lain sebagainya. File SRF memuat data per-3 jam selama sebulan dari 24 variabel
meteorologi permukaan seperti suhu pada ketnggian 2 m, tekanan, kecepatan angin
zonal dan meridional pada ketinggian 10 m, presipitasi dan evapotranspirasi total,
dan kelembaban spesifik. File RAD memuat informasi fluks radiasi. File STS (daily
statistical output) merupakan hasil data harian dari pengolahan statistik file-file
lainnya, yaitu tekanan permukaan, suhu maksimum dan minimum permukaan, suhu
maksimum, minimum, dan rata-rata pada ketinggian 2 m, presipitasi maksimum dan
rata-rata. File SAV menyimpan riwayat simulasi sebelumnya untuk menjalankan
kembali atau me-restart simulasi yang terhenti sebelum proses selesai. Penelitian
ini menggunakan file STS sebagai data hasil keluaran model RegCM4 yaitu
variabel Total Precipitation (TPR).
Proses yang terakhir adalah post-processing. Pada tahapan ini dilakukan
pengolahan data keluaran RegCM4 dengan menggunakan tiga software di antaranya
adalah NCO (NetCDF Operators), CDO (Climate Data Operators), dan Ferret.
NCO digunakan untuk mengekstrak parameter curah hujan dari keluaran RegCM4.
CDO berfungsi untuk menggabungkan data keluaran RegCM4 yang masih
beresolusi per-3 jam. Sedangkan Ferret digunakan untuk mengkonversi koordinat
RegCM4 yang berupa sistem koordinat X-Y menjadi koordinat lintang-bujur.
Analisis Cluster
Analisis Cluster bertujuan untuk membagi Kalimantan berdasarkan curah
hujan. Didapat 5 cluster wilayah yang memiliki pola curah hujan yang berbeda
(Gambar 1).
Gambar 1 Pembagian wilayah Kalimantan berdasarkan Analisis Cluster
5
Analisis Cluster dilakukan dengan data APHRODITE yang telah dikonversi
menjadi .xlsx dan dirata-ratakan setiap bulan dari tahun 1982-2000. Data tersebut
dianalisis dengan Minitab untuk menghasilkan jumlah cluster yang sesuai. Hasil
dari Minitab kemudian dipetakan secara spasial dengan ArcGIS.
Analisis Kondisi Klimatologi Kalimantan
Klimatologi wilayah Kalimantan tahun 1998-2009 dibuat dengan membagi
menjadi empat periode musim, yaitu Desember-Februari (DJF), Maret-Mei (MAM),
Juli-Agustus (JJA), dan September-November (SON) dari data APHRODITE yang
kemudian dipetakan secara spasial. Selain itu dihitung juga rataan curah hujan
setiap bulan dari tahun 2001-2009 yang bertujuan untuk melihat pola curah hujan di
Kalimantan.
Evaluasi Model RegCM4
Regional Climate Model 4 dievaluasi dengan tiga Persamaan statistik yaitu
menghitung Koefisien Korelasi, Root Mean SquareError (RMSE), dan Standar
Deviasi.
Analisis korelasi bertujuan untuk mengukur kekuatan hubungan linier antara
dua variabel. Korelasi tidak menunjukkan hubungan fungsional atau dengan kata
lain, analisis korelasi tidak membedakan antara variabel dependen dengan variabel
independen. Korelasi menyatakan derajat hubungan antara dua variabel tanpa
memperhatikan variabel mana yang menjadi peubah. Nilai positif menunjukkan
hubungan searah, sedangkan nilai negatif menunjukkan hubungan tidak searah, dan
semakin mendekati satu hubungan antar variabel semakin kuat (Walpole 2002).
Perhitungan koefisien korelasi dapat dilakukan dengan Persamaan 1.
√∑��=
̅̅̅
∑��= �� − �̅ �� − �
�� − �̅
�√∑��=
�� − �̅
……
RMSE (Persamaan 2) adalah error dari hasil prediksi terhadap nilai yang
sebenarnya. Semakin kecil nilai RMSE menunjukkan model yang semakin baik
(Wilks 2006).
∑� � − ��
√ �= �
�−
�
√�− ∑ �� − �̅
�=
…….
……
Perhitungan standar deviasi merupakan perhitungan statistik yang paling
umum digunakan yang bertujuan melihat keragaman suatu kelompok data.
Perhitungan standar deviasi dapat dilakukan dengan Persamaan 3. Dimana Ti
merupakan data APHRODITE ke-i, �̅ adalah rata-rata data APHRODITE, Ri adalah
data RegCM4 ke-i, dan �̅ adalah rata-rata data RegCM4.
6
Di samping menggunakan Persamaan statistik yang telah dijelaskan, evaluasi
model juga dilakukan dengan melakukan analisis spektral wavelet. Pengolahan data
dengan analisis spektral wavelet dilakukan pada curah hujan bulanan untuk
mengetahui periodisitas dominan curah hujan di wilayah kajian (Affandi et al.
2011).
Perhitungan Rataan Maximum Dry Spell Length (MDSL)
Dry spell diartikan dengan deret hari kering. Menurut Moron et al. (2008)
salah satu syarat penentuan awal musim hujan adalah jika tidak terjadi 10 deret hari
kering berturut-turut dengan jumlah curah hujan < 5mm. Jadi, penentuan dry spell
pada penelitian ini yaitu hari dengan curah hujan < 0.5 mm. Sedangkan Maximum
Dry Spell Length (MDSL) dihitung dengan mencari jumlah deret hari terpanjang
yang memiliki curah hujan < 0.5 mm dalam setahun yang kemudian dirata-ratakan
di setiap wilayah cluster (Gambar 1).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola Curah Hujan dan Kondisi Klimatologi Kalimantan
Kondisi fisiografis wilayah Indonesia dan sekitarnya, seperti posisi lintang,
ketinggian, pola angin, sebaran bentang darat dan perairan, serta pegunungan yang
tinggi berpengaruh terhadap variasi dan tipe curah hujan di wilayah Indonesia.
Berdasarkan pola umum terjadinya, terdapat tiga tipe curah hujan, yakni: tipe
ekuatorial, tipe monsunal dan tipe lokal (Tukidi 2010). Menurut penelitian Aldrian
dan Susanto (2003), dari tiga tipe curah hujan tersebut, Kalimantan memiliki dua
tipe curah hujan yang berbeda yaitu tipe monsunal dan ekuatorial (Gambar 2).
Pola curah hujan di wilayah Kalimantan dapat dilihat pada Gambar 3 yang
menunjukkan pola curah hujan monsunal terdapat pada cluster empat dan lima. Pola
curah hujan monsunal ditandai dengan satu puncak hujan (DJF) dan satu musim
kemarau (JJA) dalam satu tahun (Tukidi 2010). Pola curah hujan monsunal
disebabkan oleh angin monsun yang digerakan oleh adanya pengaruh tekanan tinggi
dan tekanan rendah di benua Asia dan Australia secara bergantian. Dalam bulan
Desember-Januari-Februari (DJF) di Belahan Bumi Utara terjadi musim dingin
akibatnya terjadi tekanan tinggi di Benua Asia, sedangkan di Belahan Bumi Selatan
pada waktu yang sama terjadi musim panas, akibatnya terjadi tekanan rendah di
benua Australia. Oleh karena terdapat perbedaan tekanan udara di kedua benua
tersebut, maka pada periode DJF bertiup angin dari tekanan tinggi di Asia menuju
ke tekanan rendah di Australia, angin ini disebut Monsun Barat atau Monsun Barat
Laut. Monsun Barat melewati perairan yang cukup luas sehingga membawa uap air
yang menyebabkan hujan. Sehingga pada periode DJF terjadi curah hujan yang
tinggi di wilayah bertipe curah hujan monsunal. Sebaliknya, pada bulan Juni-JuliAgustus (JJA) merupakan periode dengan curah hujan terendah, karena angin
Monsun Timur yang bergerak pada periode ini melewati wilayah yang sebagian
besar adalah gurun di Australia. Monsun Timur terjadi akibat tekanan rendah di
Asia dan tekanan tinggi di Australia, maka pada periode JJA bertiup angin dari
tekanan tinggi di benua Australia menuju ke tekanan rendah di Asia. Wilayah
7
Kalimantan bagian selatan (cluster 4 dan 5) memiliki pola curah hujan monsunal
karena memiliki perairan yang luas dan dilewati angin monsun setiap tahunnya.
Pola curah hujan pada tiga cluster lainnya yang terlihat adalah pola curah
hujan ekuatorial. Pola curah hujan ekuatorial ditandai dengan dua puncak curah
hujan yang terjadi pada bulan April dan Oktober dalam satu tahun (Tukidi 2010).
Pola ini berhubungan dengan pergerakan zona konvergensi ke arah utara dan
selatan mengikuti pergerakan semu matahari. Zona konvergensi merupakan
pertemuan dua massa udara yang berasal dari dua belahan bumi, yang kemudian
udara bergerak ke atas. Angin yang bergerak menuju satu titik dan kemudian
bergerak ke atas disebut konvergensi. Posisinya relatif sempit dan berada pada
lintang rendah dan dikenal dengan nama Intertropical Convergence Zone (ITCZ;
Subarna 2002). Letak ITCZ akan mempengaruhi curah hujan pada tempat-tempat
yang bertepatan dengan keberadaan ITCZ, dan kemungkinan besar akan
menyebabkan hujan berhari-hari dengan cuaca mendung terus menerus. ITCZ
berada tepat di garis ekuator dua kali dalam setahun, sekitar periode MAM dan
SON, maka pada bulan-bulan tersebut di atas ekuator terjadi konvergensi yang
berkontribusi terhadap meningkatnya curah hujan.
Perbandingan data APHRODITE, CRU, dan RegCM4 pada Gambar 3
menunjukkan bahwa APHRODITE dan CRU memiliki pola garis yang sama namun
nilai APHRODITE lebih kecil dari pada CRU. Karena keduanya memiliki
konsistensi yang sama, maka data APHRODTE dapat digunakan sebagai pengganti
data CRU. Pada penelitian ini, data APHRODITE bulanan akan diggunakan sebagai
pengganti CRU pada analisis spasial, karena resolusi APHRODITE yang lebih
tinggi akan menghasilkan gambaran lebih detail. Di sisi lain, keluaran RegCM4
memiliki pola grafik yang tidak terlihat sama namun dapat menangkap tipe curah
hujan ekuatorial maupun monsunal.
Gambar 2 Peta pola curah hujan di Indonesia. Sumber: Aldrian dan Susanto 2003.
Kondisi klimatologi Kalimantan pada Gambar 4a-4d menunjukkan pola
curah hujan musiman yang berbeda-beda. Periode DJF memiliki curah hujan yang
lebih tinggi dengan kisaran 100-340 mm/bulan dibandingkan dengan periode yang
lain hampir di semua wilayah Kalimantan. Sedangkan JJA adalah periode dengan
curah hujan paling rendah dengan curah hujan yang berkisar antara 60-200
mm/bulan. Hal ini dikarenakan setengah wilayah Kalimantan memiliki pola curah
hujan monsunal yang puncak hujannya terjadi pada periode DJF dan curah hujan
8
terendahnya terjadi pada JJA khususnya di bagian setalan Kalimantan (Cluster 4
dan 5). Dua periode yang lain yaitu MAM dan SON sering disebut sebagai musim
peralihan dengan kisaran curah hujan 100-260 mm/bulan. Kondisi klimatologi
Kalimantan yang disimulasikan dengan RegCM4 pada Gambar 4e-4h,
menunjukkan pola curah hujan musiman yang tidak jauh berbeda dengan
APHRODITE, periode dengan curah hujan tinggi adalah DJF, sedangkan periode
dengan curah hujan terendah adalah JJA. Namun, data RegCM4 terlihat terlalu
tinggi di bagian tengah wilayah Kalimantan.
400
350
300
250
200
150
100
50
0
Curah hujan rata-rata
(mm/bln)
Curah hujan rata-rata
(mm/bln)
300
250
200
150
100
50
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
0
Jan Mar May Jul Sep Nov
Bulan
CRU
APR
RCM
CRU
b)
700
600
500
400
300
200
100
0
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Bulan
APR
RCM
d)
CRU
Bulan
APR
RCM
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Curah hujan rata-rata
(mm/bln)
c)
CRU
RCM
Curah hujan rata-rata
(mm/bln)
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Curah hujan rata-rata
(mm/bln)
a)
Bulan
APR
Bulan
CRU
APR
RCM
e)
Gambar 3 Rataan bulanan curah hujan data CRU, APHRODITE, dan RegCM4
untuk Cluster satu (a), dua (b), tiga (c), empat (d), dan lima (e) tahun
1982-2000
9
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
Gambar 4 Klimatologi curah hujan Kalimantan pada (a dan e) DJF, (b dan f) MAM,
(c dan g) JJA, dan (d dan h) SON dari data APHRODITE (atas) dan
RegCM4 (bawah) tahun 1982-2000 dalam mm
Evaluasi RegCM4 dalam Mensimulasi Curah Hujan di Kalimantan saat
Periode ENSO
Regional Climate Model version 4 (RegCM4) merupakan versi terbaru dari
Regional Climate Modelversion 3 (RegCM3) yang dikembangkan oleh
International Centre for Theoretical Physics (ICTP) Italia. RegCM4 telah
diaplikasikan oleh sebagian besar peneliti di bidang iklim untuk studi iklim regional
berupa paleo-klimatologi maupun proyeksi iklim (Giorgi et al. 2011). Namun,
menurut Fuentes-Franco et al. (2013) sebelum digunakan untuk keperluan proyeksi,
RegCM4 perlu diuji atau dievaluasi terlebih dahulu. Evaluasi yang dilakukan di
antaranya, analisis spektral wavelet, komposit anomali curah hujan, perhitungan
RMSE, korelasi, dan standar deviasi.
Evaluasi pertama yang dilakukan yaitu melihat kemampuan RegCM4 dalam
menghasilkan periodisitas dengan analisis spektral wavelet. Dari analisis spektral
wavelet curah hujan bulanan (Gambar 5-9), terlihat tiga osilasi yang dominan
mempengaruhi curah hujan Kalimantan yaitu pengaruh osilasi tahunan (Annual
Oscillation) yang dikenal sebagai periode monsunal, decadal oscillation seperti
PDO, dan ENSO. Pengaruh di tiap wilayah berbeda dari ketiga osilasi tersebut. Di
Cluster 1, 4, dan 5 pengaruh yang mendominasi yaitu pengaruh Annual Oscillation
atau monsun. Ketiga wilayah tersebut mendapat pengaruh monsun yang kuat karena
wilayah perairannya yang luas dan wilayah lautannya merupakan jalur perlintasan
angin monsun setiap tahunnya. Di Cluster 2 mendapat pengaruh ENSO yang cukup
kuat namun tetap terlihat pengaruh Annual Oscillation. Sedangkan di Cluster 3,
10
pengaruh monsunal dan ENSO sama kuat. Analisis spektral wavelet dari data
RegCM4 menunjukkan bahwa data keluaran RegCM4 dapat menghasilkan
periodisitas yang mempengaruhi curah hujan di Kalimantan dengan baik meskipun
dengan nilai kekuatan yang berbeda dengan CRU.
(a)
(b)
Gambar 5 Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 1 periode Januari 1982Desember 2000 data a) CRU dan b) RegCM4
(a)
(b)
Gambar 6 Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 2 periode Januari 1982Desember 2000 data a) CRU dan b) RegCM4
11
(a)
(b)
Gambar 7 Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 3 periode Januari 1982Desember 2000 data a) CRU dan b) RegCM4
(a)
(b)
Gambar 8 Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 4 periode Januari 1982Desember 2000 data a) CRU dan b) RegCM4
12
(a)
(b)
Gambar 9 Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 5 periode Januari 1982Desember 2000 data a) CRU dan b) RegCM4
Hasil dari analisis spektral wavelet menunjukkan bahwa seluruh wilayah
Kalimantan dipengaruhi oleh ENSO, meskipun dengan kekuatan yang berbeda-beda.
Fenomena ENSO dikenal sebagai sumber utama variabilitas iklim global
(Trenberthet al 1998), dan banyak juga penelitian yang membuktikan bahwa ENSO
mempengaruhi karakteristik curah hujan khususnya di wilayah Pasifik Tropis
(Soerjadi 1984; USDA 1984; ADPC 2000; Yoshino et al. 2000; Kirono dan
Partridge 2002), termasuk Kalimantan. Pada saat El Nino, curah hujan di
Kalimantan lebih kecil dari rata-rata yang ditunjukkan dengan anomali curah hujan
yang negatif di seluruh wilayah Kalimantan (10 dan 11a). Sebaliknya saat La Nina,
curah hujan di Kalimantan lebih dari rata-rata yang ditunjukkan anomali curah
hujan yang positif hampir di seluruh wilayah Kalimantan (Gambar 10 dan 11c).
Penetuan kejadian ENSO ditentukan dengan ONI. Perbandingan kejadian ENSO
dengan curah hujan terlihat pada Gambar 10. CRU dan RegCM4 memiliki pola
yang sama yaitu memiliki anomali curah hujan negatif saat nilai ONI positif dan
lebih dari 0.5 (El Nino). Begitu juga saat nilai ONI negatif dan kurang dari -0.5 (La
Nina), anomali curah hujan di kedua data positif. Artinya, RegCM4 dapat
menangkap karakteristik curah hujan saat kejadian ENSO.
300
200
100
0
CRU
Periode
RCM4
Periode
RCM4
ONI
ONI
ONI
JFM 82
SON 82
MJJ 83
JFM 84
SON 84
MJJ 85
JFM 86
SON 86
MJJ 87
JFM 88
SON 88
MJJ 89
JFM 90
SON 90
MJJ 91
JFM 92
SON 92
MJJ 93
JFM 94
SON 94
MJJ 95
JFM 96
SON 96
MJJ 97
JFM 98
SON 98
MJJ 99
JFM 00
SON 00
-100
-200
300
200
0
100
-100
-200
CRU
Periode
RCM4
JFM 82
SON 82
MJJ 83
JFM 84
SON 84
MJJ 85
JFM 86
SON 86
MJJ 87
JFM 88
SON 88
MJJ 89
JFM 90
SON 90
MJJ 91
JFM 92
SON 92
MJJ 93
JFM 94
SON 94
MJJ 95
JFM 96
SON 96
MJJ 97
JFM 98
SON 98
MJJ 99
JFM 00
SON 00
Nilai ONI (oC)
Nilai ONI (oC)
13
3
2
1
0
-1
-2
-3
3
2
1
0
-1
-2
-3
3
2
1
0
-1
-2
-3
3
2
1
0
-1
-2
-3
JFM 82
SON 82
MJJ 83
JFM 84
SON 84
MJJ 85
JFM 86
SON 86
MJJ 87
JFM 88
SON 88
MJJ 89
JFM 90
SON 90
MJJ 91
JFM 92
SON 92
MJJ 93
JFM 94
SON 94
MJJ 95
JFM 96
SON 96
MJJ 97
JFM 98
SON 98
MJJ 99
JFM 00
SON 00
Nilai ONI (oC)
Anomali (mm/bln)
Anomali (mm/bln)
200
100
0
CRU
ONI
3
2
1
0
-1
-2
-3
Nilai ONI (oC)
-100
-200
300
200
100
0
-100
-200
RCM4
ONI
Periode
CRU
Periode
RCM4
-300
-400
300
200
100
0
-100
-200
CRU
JFM 82
SON 82
MJJ 83
JFM 84
SON 84
MJJ 85
JFM 86
SON 86
MJJ 87
JFM 88
SON 88
MJJ 89
JFM 90
SON 90
MJJ 91
JFM 92
SON 92
MJJ 93
JFM 94
SON 94
MJJ 95
JFM 96
SON 96
MJJ 97
JFM 98
SON 98
MJJ 99
JFM 00
SON 00
(a)
Anomali (mm/bln)
Anomali (mm/bln)
JFM 82
SON 82
MJJ 83
JFM 84
SON 84
MJJ 85
JFM 86
SON 86
MJJ 87
JFM 88
SON 88
MJJ 89
JFM 90
SON 90
MJJ 91
JFM 92
SON 92
MJJ 93
JFM 94
SON 94
MJJ 95
JFM 96
SON 96
MJJ 97
JFM 98
SON 98
MJJ 99
JFM 00
SON 00
Nilai ONI (oC)
(b)
(c)
(d)
(e)
Gambar 10 Moving average anomali curah hujan dan ONI di Cluster satu (a), dua
(b), tiga (c), empat (d), dan lima (e) tahun 1982-2000
Anomali (mm/bln)
14
Hasil komposit anomali curah hujan pada Gambar 11 memperkuat dugaan
bahwa RegCM4 dapat menangkap karakteristik curah hujan saat ENSO di wilayah
Kalimantan dengan baik. Pada Gambar 11d, wilayah Kalimantan dalam kondisi El
Nino, memiliki anomali yang negatif, sedangkan saat La Nina Kalimantan memiliki
anomali yang positif (Gambar 11f). Kondisi tersebut sesuai dengan data observasi
pada Gambar 11a dan 11c. Namun nilai estimasi RegCM4 lebih tinggi dibanding
data observasi. Nilai anomali curah hujan dugaan RegCM4 saat El Nino berkisar
antara -150 dan 20 mm/bulan, dan antara -50 sampai 100 mm/bulan, saat La Nina.
Sedangkan nilai anomali curah hujan data observasi berkisar antara -50 dan 5
mm/bulan, dan antara -10 dan 50 mm/bulan saat La Nina. Pada kondisi normal,
tidak terlihat perbedaan yang signifikan antara model dan data observasi.
Nilai anomali curah hujan pada data observasi (Gambar 11a dan 11c)
memiliki kecenderungan yang berbeda di setiap wilayah. Saat El Nino, anomali
curah hujan semakin kecil di bagian utara, begitu juga saat La Nina, anomali curah
hujan semakin besar di bagian utara. Hal tersebut, dikarenakan pada wilayah
Kalimantan Utara, ENSO merupakan osilasi yang paling dominan (Gambar 5).
Berbeda halnya dengan Kalimantan Barat dan Tengah saat La Nina. Kedua wilayah
tersebut, justru mengalami curah hujan yang rendah saat La Nina. Artinya,
pengaruh ENSO terhadap curah hujan di wilayah tersebut kecil. Karena osilasi yang
mendominasi kedua wilayah itu adalah monsun.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 11 Komposit anomali APHRODITE (atas) dan RegCM4 (bawah) saat
periode (a dan d) El Nino, (b dan e) Normal dan (c dan f) La Nina
tahun 1982-2000
15
Perhitungan RMSE dari dua resolusi temporal yang berbeda, pada Gambar
12, menunjukkan bahwa nilai RMSE lebih kecil pada resolusi harian, yang berkisar
antara 0-50 mm/hari. Sedangkan pada resolusi bulanan RMSE berkisar antara 0-600.
Hal tersebut wajar kerena data curah hujan harian lebih bernilai kecil dari pada data
bulanan. Namun nilai tersebut terlalu tinggi karena rata-rata curah hujan harian di
Kalimantan per tahun adalah 5-10 mm/hari dan kisaran rata-rata curah hujan
bulanannya per tahun adalah 100-200 mm/bulan. Tidak ada perbedaan nilai RMSE
yang signifikan saat El Nino, La Nina, dan Normal. Nilai RMSE menunjukkan
error suatu model dengan data observasi. Model akan dianggap baik bila nilai
RMSE mendekati nol (Wilks 2006). Jika rata-rata curah hujan lebih kecil dari
RMSE menunjukkan model belum bisa merepresentasikan data observasi dengan
baik. Nilai error yang semakin tinggi terlihat di bagian tengah Kalimantan (Gambar
12). Selain wilayah tersebut, nilai RMSE cenderung lebih kecil, yaitu 0-10 mm/hari
pada data harian dan 0-150 mm/bulan pada data bulanan. Hal ini menunjukkan
bahwa RegCM4 tidak dapat mensimulasi curah hujan dengan baik di bagian tengah
Kalimantan.
Tidak hanya pada RMSE (Gambar 12), nilai standar deviasi data RegCM4
(Gambar 13) juga tinggi di Kalimantan bagian tengah. Standar deviasi
menunjukkan variansi atau keragaman data. Semakin tinggi nilai standar deviasi
maka data semakin beragam. Tidak terlihat perbedaan nilai standar deviasi yang
signifikan saat El Nino, La Nina, dan Normal di kedua data. Standar deviasi data
APHRODITE (Gambar 13a, 13b, dan 13c) berada pada selang 8-10 mm/hari.
Sedangkan pada data RegCM4 (Gambar 13d, 13e, dan 13f) berada pada selang 0-20
mm/hari. Namun jika Kalimantan bagian tengah diabaikan, selang nilai standar
deviasi RegCM4 sama dengan TRMM yaitu sekitar 8-10 mm/hari.
Nilai RegCM4 yang terlalu tinggi (Gambar 4), error yang tinggi (Gambar
12) dan data dengan variasi tinggi (Gambar 13) yang hanya terjadi pada bagian
tengah Kalimantan, diduga berhubungan dengan topografi wilayah Kalimantan.
Peta topografi pada Gambar 14 menunjukkan bagian tengah Kalimantan merupakan
wilayah dataran tinggi dengan ketinggian lebih dari 1000 m. Hal ini menunjukkan
RegCM4 tidak mampu mensimulasi dengan baik untuk wilayah dataran tinggi.
Fentos-Franco et al. (2013) yang juga mengevaluasi RegCM4 di wilayah Mexico
mendapatkan hasil bahwa RegCM4 memiliki bias dan standar deviasi tinggi untuk
wilayah pegunungan atau dataran tinggi. Estimasi curah hujan yang terlalu tinggi di
daerah pegunungan, diduga terkait dengan skema konveksi dan permukaan tanah
yang digunakan (Fentos-Franco et al. 2013). Sebagain contoh, Diro et al. (2012)
menunjukkan skema BATS menghasilkan curah hujan yang terlalu tinggi karena
wilayah pegunungan sensitive terhadap skema fisik daratan dan fluks lautan.
(a)
(b)
(c)
16
(d)
(e)
(f)
Gambar 12 Root Mean Square Error (RMSE) (mm) antara RegCM4 dengan
APHRODITE harian (atas) dan bulanan (bawah) saat periode (a dan
d) El Nino, (b dan e) Normal dan (c dan f) La Nina tahun 1982 – 2000.
(a)
(d)
(b)
(c)
(e)
(f)
Gambar 13 Standar Deviasi RegCM4 (bawah), dan APHRODITE (atas) dengan
resulosi temporal harian saat periode (a dan d) El Nino, (b dan e)
Normal dan (c dan f) La Nina tahun 1982 – 2000.
17
Gambar 14 Peta topografi Pulau Kalimantan. Sumber: Badan Informasi Geospasial
(BIG) 2009
Dengan metode korelasi, keeratan hubungan model dengan observasi juga
dihitung (Gambar 15). Metode korelasi menggambarkan hubungan linier model
dengan observasi. Semakin dekat dengan satu, model dianggap dapat
merepresentasikan observasi dengan baik. Nilai negatif menunjukkan hubungan
yang berlawanan, dan nilai positif menunjukkan hubungan yang searah (Walpole
1995). Sehingga, RegCM4 akan dinilai dapat mensimulasi curah hujan dengan baik,
jika memiliki korelasi yang positif dan semakin dekat dengan satu. Pada Gambar 15,
dapat dilihat bahwa RegCM4 tidak berkorelasi dengan observasi, karena memiliki
nilai korelasi yang lebih kecil pada resolusi harian yaitu -0.1-0.1.Sedangkan pada
resolusi bulanan, RegCM4 memiliki nilai korelasi yang cukup tinggi yaitu sampai
dengan 0.8 khususnya saat El Nino. Saat Normal, korelasi berkisar antara 0.3-0.6.
Sedangkan saat La Nina, berkisar antara -0.1-0.6. Pada perhitungan korelasi
menunjukkan bahwa RegCM4 memiliki korelasi yang cukup tinggi saat kejadian
El Nino. Kemampuan estimasi RegCM4 akan semakin mendekati nilai observasi
jika disimulasikan pada curah hujan yang rendah (saat El Nino). Giorgi et al (2012)
menjelaskan bahwa skema konveksi MIT-Emmanuel cenderung menghasilkan
curah hujan yang terlalu tinggi di daratan khususnya, di daratan yang curah
hujannya tinggi. Saat La Nina, curah hujan di Kalimantan cenderung meningkat
sehingga kemampuaan estimasi RegCM4 kurang mendekati data observasi (korelasi
lebih kecil.
(a)
(b)
(c)
18
(d)
(e)
(f)
Gambar 15 Koefisien Korelasi antara RegCM4 dengan TRMM harian (atas) dan
bulanan (bawah) saat periode (a dan d) El Nino, (b dan e) La Nina, dan
(c dan f) Normal tahun 1982 – 2000.
CDF (Cumulative Distribution Function) dan MDSL (Maximum Dry Spell
Length) di Kalimantan
Penilaian RegCM4 dengan menggunakan Cumulative Distribution Function
(CDF) dilakukan di seluruh cluster di Kalimantan. Meskipun sebelumnya telah
disebutkan bahwa keluaran RegCM4 dengan resolusi harian memiliki korelasi yang
kecil, Gambar 16 menunjukkan bahwa distribusi data RegCM4 sesuai dengan data
observasi yaitu distribusi gamma dengan grafik CDF yang sama dengan
APHRODITE, hanya saja nilai maksimumnya berbeda. Setiap cluster memiliki
nilai kisaran curah hujan harian yang bervariasi. Berdasarkan Gambar 17, pada
cluster 1, 2, dan 5 curah hujan yang sering terjadi berkisar antara 0-10 mm/hari.
Sedangkan pada cluster 3 dan 4 berkisar antara 1-15 mm/hari.
Dry spell atau deret hari kering berhubungan erat dengan kekeringan. Bencana
kekeringan dianggap mengancam banyak sektor, seperti pertanian, kehutanan,
managemen pengelolaan air, dan lain sebagainya. Banyak fokus yang dapat
dilakukan untuk menganilisis dry spell, di antaranya, intensitas, frekuensi, jumlah,
dan panjang dry spell. Pada penelitian ini fokus analisis yang dilakukan yaitu
panjang dry spell maksimum setiap tahun di Kalimantan.
Dalam menduga nilai MDSL, RegCM4 memiliki pola yang sama dengan
APHRODITE pada seluruh cluster, numun nilai RegCM4 cenderung lebih besar
dari pada APHRODITE. Salah satu karakteristik curah hujan yang berubah akibat
ENSO adalah dry spell yang semakin panjang saat El Nino. Secara keseluruhan,
Gambar 17 membuktikan bahwa saat tahun El Nino (1982-1983, 1986-1988, 19911992, 1994-1995, dan 1997-1998) MDSL semakin besar dan semakin kecil saat
tahun La Nina (1983-1985, dan 1988-1989). Selain itu, semakin kuat El Nino nilai
MDSL juga semakin besar yang artinya deret hari kering semakin panjang. Contoh
El Nino kuat adalah El Nino pada tahun 1982-1983 dan 1997-1998. Pada tahun
tersebut nilai MDSL sangat tinggi di seluruh Kalimantan.
19
(b)
1.2
1.2
1
1
0.8
0.8
CDF
CDF
(a)
0.6
0.6
0.4
RCM4
0.4
RCM4
0.2
APHRO
0.2
APHRO
0
0
0 5 9 14 18 23 27 34 38 42 46 50
CH (mm/hari)
0 5 9 14 18 23 27 34 38 42 46 50
CH (mm/hari)
(d)
1.2
1
1
0.8
0.8
CDF
1.2
0.6
0.4
RCM4
APHRO
0.2
0
0.6
0.4
RCM4
0.2
APHRO
0
0 5 9 141823273438424650
CH (mm/hari)
0 5 9141823273438424650
CH (mm/hari)
(e)
1.2
1
0.8
CDF
CDF
(c)
0.6
0.4
RCM4
0.2
APHRO
0
0 4 7 101417212427333639424548
CH (mm/hari)
Gambar 16 Cumulative Distribution Function (CDF) data RegCM4 (biru) dan
APHRODITE (merah) pada Cluster satu (a), dua (b), tiga (c), empat
(d), dan lima (e) tahun 1982-2000
Rataan MDSL (hari)
20
30
20
APR
10
RCM4
0
Tahun
Rataan MDSL (hari)
(a)
40
30
20
APR
10
RCM4
0
Tahun
Rataan MDSL (hari)
(b)
60
40
20
APR
RCM4
0
Tahun
Rataan MDSL (hari)
(c)
30
20
10
APR
RCM4
0
Tahun
Rataan MDSL (hari)
(d)
(e)
40
60
40
20
APR
RCM4
0
Tahun
Gambar 17 Grafik rata-rata MDSL data APHRODITE (garis biru) dan RegCM4
(garis merah) pada Cluster satu (a), dua (b), tiga (c), empat (d), dan
lima (e) tahun 1982-2000
21
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kalimantan memiliki dua tipe curah hujan yang berbeda yaitu ekuatorial dan
monsunal. Pola ekuatorial terdapat pada wilayah Kalimantan bagian utara (Cluster
1, 2, dan 3), sedangkan wilayah lain cenderung bertipe curah hujan monsunal.
Karena setengah wilayahnya bertipe monsunal, maka puncak curah hujan terjadi
pada periode DJF, dan periode dengan curah hujan terendah adalah JJA khususnya
bagian selatan Kalimantan (Cluster 4 dan 5).
Hasil evaluasi model menunjukkan bahwa model dapat menghasilkan
periodisitas yang mempengaruhi curah hujan di Kalimantan dengan baik yang
sesuai dengan data observasi. Dua osilasi yang dominan di Kalimantan yaitu Annual
Oscillation, dan ENSO. RegCM4 juga dapat mengestimasi curah hujan dengan baik
pada saat ENSO, yang ditandai dengan anomali curah hujan yang negatif saat El
Nino, dan positif saat La Nina. Kelemahan model RegCM4 dari hasil penelitian ini
yaitu nilai keluaran model yang jauh lebih tinggi di wilayah dataran tinggi atau
pegunungan dibanding dengan wilayah sekitarnya. Hal tersebut diketahui dari nilai
RMSE (hingga 50 mm/hari) dan standar deviasi tinggi (hingga 20) di wilayah
dataran tinggi. RegCM4 tidak dapat menduga nilai curah hujan dengan baik di
wiliyah dataran tinggi (sekitar 500-2000 m). Estimasi curah hujan yang terlalu
tinggi di daerah pegunungan diduga terkait dengan skema konveksi dan permukaan
tanah yang digunakan.
RegCM4 dapat menduga dampak ENSO terhadap dry spell yaitu MDSL
yang tinggi saat El Nino dan MDSL yang rendah saat La Nina. Saat El Nino kuat,
jumlah deret hari kering terpanjang di Kalimantan sampai dengan 50 hari berturutturut, sedangkan saat La Nina kuat hanya mencapai 5 hari berturut-turut. Secara
keseluruhan, konsistensi MDSL dari data keluaran RegCM4 dengan data observasi
baik, meskipun dengan nilai yang lebih tinggi.
Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya, diharapkan untuk melakukan uji
sensitivitas model yang bertujuan menentukan parameter dan skema yang tepat
untuk diterapkan di Indonesia. Selain itu, data observasi yang dijadikan pembanding
diharapkan data observasi langsung (stasiun) dengan panjang minimal 30 tahun,
sehingga keakuratannya lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
[ADPC]. 2000. ENSO impact and potential forecast application in Indonesia.
Extreme Climate Event Program, Asian Disaster Preparedness Centre,
Bangkok, Thailand.
[BAPPENAS-ADB]. 1999. Causes, Extent, Impact and Costs of 1997/1998 Fires
and Drought. Laporan akhir, Lampiran 1 dan 2. BAPPENAS and Asian
Development Bank, Jakarta.
22
[NASDA]. 2001. TRMM Data Users Handbook. National Space Development
Agency of Japan. Japan.
[USDA]. 1984. World indices of agriculture and food production, 1974–1983.
Economic Research Service, U.S. Department of Agriculture, Washington,
DC, USA (Statistical Bulletin 710).
Aldrian, Edvin , R. Dwi Susanto. 2003. Identification of three dominant rainfall
regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. Int.
J. Climatol. (23) : 1435 – 1452.
Chen, M., P.-P.Xie, J. E. Janowiak, and P. A. Arkin. 2002. Global land
precipitation: A 50-yr monthly analysis based on gauge observations. J.
Hydrometeor (3):249–266.
Diro, G. T., S. A. Rauscher, F. Giorgi, A. M. Tompkins. 2012. Sensitivity of
seasonal climate and diurnal precipitation over Central America to land and
sea surface schemes in RegCM4. Clim Res (52): 31–48.
Emmanuel KA and Zivkovic RM. 1999.Development and evaluation of a
convective scheme for use in climate models. Journal of Atmospheric Science
(56):1766-1782.
Fadholi,Akhmad , Fitria Puspita Sari , Purwo Aji, dan Ristiana Dewi. 2014.
Pemanfaatan model Weather Research and Forecasting(WRF) dalam analisis
cuaca terkait hujan lebat Batam 30-31 Januari 2011. Jurnal Fisika dan
Aplikasinya (10):24-30
Fox.J.J. 2000.The Impact of the 1997-1998 El Nino on In
REGIONAL CLIMATE MODEL 4 (REGCM4) SAAT
EL NINO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO)
ENGGAR YUSTISI ARINI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Simulasi Curah Hujan
Kalimantan Menggunakan Regional Climate Model 4 (RegCM4) saat El Nino
Southern Oscillation (ENSO) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2014
Enggar Yustisi Arini
NIM G24100033
ABSTRAK
ENGGAR YUSTISI ARINI. Simulasi Curah Hujan di Kalimantan dengan
Regional Climate Model 4 (RegCM4) saat El Nino Southern Oscillation (ENSO).
Dibimbing oleh RAHMAT HIDAYAT sebagai Pembimbing I, dan AKHMAD
FAQIH sebagai Pembimbing II.
Kemampuan Regional Climate Model 4 (RegCM4) dalam mensimulasi
curah hujan di Kalimantan dievaluasi dengan melakukan perbandingan antara data
Asian Precipitation-Highly Resolved Observational Data Integration towards
Evaluation (APHRODITE), Climate Research Unit (CRU), dan data keluaran
RegCM4 dari tahun 1982-2000. Kemampuan RegCM4 yang dievaluasi yaitu
kemampuan dalam mensimulasipola curah hujan dan karakteristik curah hujan
saat kejadian ENSO. Perhitungan RMSE dan standar deviasi dilakukan untuk
mengetahui error dan keragaman data model RegCM4. Selain itu, analisis wavelet
juga dilakukan untuk mengetahui osilasi yang dominan dalam mempengaruhi
curah hujan di Kalimantan. Analisis dilanjutkan dengan melakukan perhitungan
Maximum Dry Spell Length (MDSL). Hasil evaluasi model menunjukkan nilai
keluaran model lebih tinggi dari data observasi, namun dapat menghasilkan pola
curah hujan yang sesuai data observasi. Osilasi yang dominan terjadi di
Kalimantan yaitu Annual Oscillation dan ENSO. Kekurangan model adalah
estimasi curah hujan yang sangat tinggi di dataran tinggi (>500 m). Dalam
perhitungan MDSL, RegCM4 dapat mengangkap pola yang sesuai dengan data
observasi, yaitu MDSL yang tinggi saat El Nino dan rendah saat La Nina.
Kata kunci : APHRODITE, dataran tinggi, MDSL.
ABSTRACT
ENGGAR YUSTISI ARINI. Rainfall Simulation using Regional Climate Model 4
(RegCM4) in Kalimantan during El Nino Southern Oscillation (ENSO).
Supervised by RAHMAT HIDAYAT and AKHMAD FAQIH.
The skill of Regional Climate Model 4 (RegCM4) in simulating rainfall is
evaluated through a comparison of observations, using Asian Precipitation-Highly
Resolved Observational Data Integration towards Evaluation (APHRODITE), and
Climate Research Unit (CRU), and 19-year simulation period of 1982-2000 in
Kalimantan. The analysis includes how RegCM4 capture the rainfall type, the
rainfall characteristics when ENSO, the error and the diversity of data, and
dominant cycles in Kalimantan. The analysis is continued with a calculation of
Maximum Dry Spell Length (MDSL). It is found that RegCM4 produces
overestimated value, but it is capable in capturing rainfall type, rainfall
characteristics when ENSO, and dominant cycles in Kalimantan. The dominant
cycles in influencing Kalimantan rainfall are ENSO and Annual Oscillation. The
main model weakness is an overestimation of precipitation in mountainous
regions. It is proven by the value of Root Mean Square Error (RMSE) and
standard deviation is higher in mountainous regions (>500 m). Furthermore, based
on simple correlation, the model is better in simulating monthly resolution than
daily resolution. It is evidenced by the correlation up to 0.8 in monthly resolution.
In calculating MDSL, RegCM4 reproduces the same pattern (the higher MDSL
when El Nino, and lower value when La Nina) with APHRODITE.
Keywords :APHRODITE, mountainous regions, MDSL.
SIMULASI CURAH HUJAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN
REGIONAL CLIMATE MODEL 4 (REGCM4) SAAT
EL NINO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO)
ENGGAR YUSTISI ARINI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Simulasi Curah Hujan Kalimantan Menggunakan Regional
Climate Model 4 (RegCM4) saat El Nino Southern Oscillation
(ENSO)
Nama
: Enggar Yustisi Arini
NIM
: G24100033
Disetujui oleh
Dr Rahmat Hidayat, MSc
Pembimbing I
Dr Akhmad Faqih
Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir Tania June, MSc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul
“Simulasi Curah Hujan di Kalimantan dengan Regional Climate Model 4
(RegCM4) saat El Nino Southern Oscillation (ENSO)”. Karya ilmiah ini
ditujukan untuk mendapatkan gelar sarjana sains pada program studi Meteorologi
Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Dalam penyusunan karya ilmiah dan pelaksanaan penelitian ini tidak
terlepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin
menyamaikan rasa terima kasih kepada:
1. Ibuku tersayang, Khalimah, dan adikku Muhammad Syaiful Ulum atas doa,
dan kasih sayang.
2. Dr Rahmat Hidayat, MSc dan Dr Akhmad Faqih selaku pembimbing atas
ilmu dan kesabarannya dalam membimbing penulis.
3. Dr Rini Hidayati, MSc , dan Ir. Bregas Budianto, ass dpl atas masukannya.
4. Dr Tania June, MSc selaku Ketua Departemen
5. Dr Sobri Effendi, MSc selaku pembimbing akademik.
6. Seluruh staff CCROM-SEAP atas segala bentuk bantuan yang diberikan
dalam kelancaran tugas akhir.
7. Pak Aziz, dan seluruh staff Departemen Geofisika dan Meteorologi atas
bantuan dalam hal administrasi.
8. Tri Atmaja atas motivasi, dan semangat yang diberikan.
9. Em, Jenny, Himma yang juga selalu memberi dukungan.
10. Teman-teman Geofisika dan Meteorologi angkatan 47 yang telah berbagi
ilmu dan pengetahuan selama menempuh pendidikan di IPB.
11. Teman-teman laboratorium meteorologi Uni, Resti, Shaila, Dety, Givo,
dan yang lainnya yang telah memberi masukan dan saran untuk penelitian.
12. Senior-senior, Kak Rahmi, Kak Misna, Kak Faiz, dan Kak Syamsu, yang
juga telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir.
13. Teman-teman TPB, Ulfi, Ofi, Ima, Acha, teman-teman kosan bunda lestari,
Mbak Putri, Mbak Hilma, Mbak Novi, Mbak Tyas, Mbak Indri, dan
teman-teman OMDA Lamongan, Riris, Gamma, dan yang lainnya.
14. Semua pihak yang telah membantu tersusunnya karya ilmiah ini.
Penulis menyadari karya ilmiah ini jauh dari kesempurnaan. Akhirnya
penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis sendiri dan pembaca
pada umumnya.
Bogor, 3 Desember 2014
Enggar Yustisi Arini
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
xi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
METODE
2
Waktu dan Tempat
2
Alat dan Data
2
Prosedur Analisis Data
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
6
Pola Curah Hujan dan Kondisi Klimatologi Kalimantan
6
Evaluasi RegCM4 dalam Mensimulasi Curah Hujan di Kalimantan saat
Periode ENSO
9
CDF (Cumulative Distribution Function) dan MDSL (Maximum Dry
Spell Length) di Kalimantan
SIMPULAN DAN SARAN
18
21
Simpulan
21
Saran
21
DAFTAR PUSTAKA
21
RIWAYAT HIDUP
33
DAFTAR GAMBAR
1. Pembagian wilayah Kalimantan berdasarkan Analisis Cluster
4
2. Peta pola curah hujan di Indonesia. Sumber: Aldrian dan Susanto 2003.
7
3. Rataan bulanan curah hujan data CRU, APHRODITE, dan RegCM4 untuk
Cluster satu (a), dua (b), tiga (c), empat (d), dan lima (e) tahun 1982-2000 8
4. Klimatologi curah hujan Kalimantan pada (a dan e) DJF, (b dan f) MAM, (c
dan g) JJA, dan (d dan h) SON dari data APHRODITE (atas) dan RegCM4
(bawah) tahun 1982-2000 dalam mm
9
5. Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 1 periode Januari 1982Desember 2000 data a) CRU dan b) RegCM4
10
6. Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 2 periode Januari 1982Desember 2000 data a) CRU dan b) RegCM4
10
7. Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 3 periode Januari 1982Desember 2000 data a) CRU dan b) RegCM4
11
8. Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 4 periode Januari 1982Desember 2000 data a) CRU dan b) RegCM4
11
9. Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 5 periode Januari 1982Desember 2000 data a) CRU dan b) RegCM4
12
10. Moving average anomali curah hujan dan ONI di Cluster satu (a), dua (b), tiga
(c), empat (d), dan lima (e) tahun 1982-2000
13
11. Komposit anomali APHRODITE (atas) dan RegCM4 (bawah) saat periode (a
dan d) El Nino, (b dan e) Normal dan (c dan f) La Nina tahun 1982-2000 14
12. Root Mean Square Error (RMSE) (mm) antara RegCM4 dengan
APHRODITE harian (atas) dan bulanan (bawah) saat periode (a dan d) El
Nino, (b dan e) Normal dan (c dan f) La Nina tahun 1982 – 2000.
16
13. Standar Deviasi RegCM4 (bawah), dan APHRODITE (atas) dengan resulosi
temporal harian saat periode (a dan d) El Nino, (b dan e) Normal dan (c dan f)
La Nina tahun 1982 – 2000.
16
14. Peta topografi Pulau Kalimantan. Sumber: Badan Informasi Geospasial (BIG)
2009
17
15. Koefisien Korelasi antara RegCM4 dengan TRMM harian (atas) dan bulanan
(bawah) saat periode (a dan d) El Nino, (b dan e) La Nina, dan (c dan f)
Normal tahun 1982 – 2000.
18
16. Cumulative Distribution Function (CDF) data RegCM4 (biru) dan
APHRODITE (merah) pada Cluster satu (a), dua (b), tiga (c), empat (d), dan
lima (e) tahun 1982-2000
19
17. Grafik rata-rata MDSL data APHRODITE (garis biru) dan RegCM4 (garis
merah) pada Cluster satu (a), dua (b), tiga (c), empat (d), dan lima (e) tahun
1982-2000
20
DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
Konfigurasi Regional Climate Model 4 (RegCM4)
Scripting language komposit anomali curah hujan saat ENSO
Scripting language analisis spektral wavelet
Scripting language analisis korelasi antara TRMM dan RegCM4
Scripting language perhitungan dry spell (Moron 2004)
25
26
27
29
30
PENDAHULUAN
Latar Belakang
El Nino Southern Oscillation (ENSO) merupakan salah satu variabilitas iklim
yang terjadi di wilayah tropis Samudera Pasifik. ENSO terdiri dari dua kejadian,
yaitu El Nino dan La Nina. Fenomena El Nino diawali dengan perubahan suhu
muka air laut di Pasifik Barat secara mendadak. Akibatnya warm pool region yang
berada di Pasifik bagian barat bergerak ke timur, dekat Peru/Ekuador. Peningkatan
konveksi di Peru/Ekuador menyebabkan meningkatnya jumlah awan kumulus yang
mengakibatkan hujan lebat. Sebaliknya, di Indonesia justru terjadi kekeringan.
Kebalikan dari peristiwa El Nino adalah La Nina. Dampak La Nina juga
berlawanan, yaitu hujan lebat di Indonesia, sedangkan kemarau di wilayah
Peru/Ekuador (Fox 2000).
Kajian mengenai ENSO menarik beberapa peneliti untuk menguji apakah
fenomena tersebut berpengaruh pada curah hujan. Berbagai penelitian membuktikan
bahwa ENSO mempengaruhi karakteristik curah hujan (Soerjadi 1984; USDA
1984; ADPC 2000; Yoshino et al. 2000; Kirono dan Partridge 2002). Selain
penelitian tersebut, Tyasyono dan Bannu (2003) membuktikan bahwa ketika
fenomena El Nino tahun 1997 curah hujan dasarian < 50 mm meningkat, sehingga
terjadi bencana kekeringan yang paling parah di Indonesia. Akibat kekeringan
tersebut, Indonesia mengalami kebakaran hutan terparah di seluruh dunia.
Kalimantan merupakan salah satu pulau dengan hutan terluas di Indonesia.
Kejadian El Nino tahun 1997/98 membakar 9.75 juta hektar hutan di Indonesia
dengan 6.5 juta hektar adalah hutan di Kalimantan (BAPPENAS-ADB 1999).
Glover (2001) menilai bencana tersebut termasuk salah satu bencana lingkungan
terburuk sepanjang abad, karena jumlah emisi yang dikeluarkan.
Fenomena El Nino 1997/98, menempatkan Kalimantan sebagai pulau yang
rentan dengan ENSO. Salah satu langkah antisipatif yaitu dengan proyeksi dampak
ENSO untuk mengetahui dampak ENSO di Kalimantan untuk masa yang akan
datang. Global Climate Model (GCM) dan Regional Climate Model (RegCM) dapat
digunakan untuk melakukan proyeksi, namun perlu diuji terlebih dahulu untuk
melihat skill model tersebut (Fuentes-Franco et al. 2013). Kedua model tersebut
memiliki perbedaan besar pada resolusi spasial model. Resolusi spasial Global
Climate Model (GCM) yang bernilai ratusan kilometer kurang mampu
merepresentasikan karakteristik topografi regional dan cuaca skala meso.
Sedangkan RegCM memiliki teknik dynamical downscaling yang dapat
meningkatkan resolusi spasial horizontal yang sesuai dengan GCM dengan
memperhatikan proses fisik dan dinamika atmosfer (Giorgi et al. 2001).
Simulasi curah hujan yang umum digunakan di Indonesia adalah model
Weather Research and Forcasting (WRF; Ridwan dan Kudsy 2011; Gustari et al.
2012; Fadholi et al. 2014), sedangkan RegCM4 di Indonesia pernah digunakan
untuk mensimulasi suhu maksimum dan minimum permukaan (Gunawan et al
2013). Simulasi curah hujan oleh RegCM4 belum banyak diterapkan di Indonesia
khususnya Kalimantan. Simulasi curah hujan dengan RegCM4 banyak digunakan di
Amerika (Diro et al. 2012; Fuentos-Franco et al. 2013). Sehingga pada penelitian
ini dilakukan simulasi curah hujan dengan RegCM4 saat kejadian ENSO di Pulau
2
Kalimantan dengan sebagian besar parameterisasi yang digunakan mengacu pada
Diro et al. (2012) yang menguji sensitivitas model RegCM4 di Amerika.
Parameterisasi ini juga digunakan oleh Fuentos-Franco et al. (2013). Penelitian
Fuentos-Franco et al. (2013) menghasilkan nilai curah hujan RegCM4 yang terlalu
tinggi di wilayah dataran tinggi. Curah hujan hasil keluaran RegCM4 dipengaruhi
oleh skema konveksi RegCM4. Skema konveksi yang digunakan oleh Diro et al.
(2012) dan Fuentos-Franco et al. (2013) adalah skema MIT-Emmanuel (1991) di
bagian lautan, dan skema Grell (1993) di daratan. Penelitian tentang skema
konveksi RegCM4 di Indonesia pernah dilakukan oleh Jadmiko (2011) dan Mufida
(2012). Meraka menyatakan bahwa skema MIT–Emmanuel dianggap lebih sesuai
dengan karakteristik topografi di Indonesia. Sehingga skema konveksi yang
digunakan pada penelitian ini adalah skema MIT-Emmanuel.
Evaluasi model RegCM4 pada penelitian ini dilakukan dengan melakukan
perhitungan RMSE, korelasi, dan standar deviasi. Selain itu dilakukan analisis
wavelet untuk mengetahui osilasi paling dominan yang mempengaruhi curah hujan
di Kalimantan, serta analisis Maximum Dry Spell Length (MDSL) yang bertujuan
melihat rata-rata jumlah deret hari kering terpanjang di Kalimantan saat kejadian
ENSO.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menilai kemampuan RegCM4 dalam
mensimulasi curah hujan di wilayah Kalimantan saat kejadian ENSO, dengan
membandingkan hasil keluaran RegCM4 dengan data observasi dan mengetahui
dampak ENSO terhadap Maximum Dry Spell Length (MDSL) di Kalimantan.
METODE
Waktu dan Tempat
Kegiatan penelitian ini berlangsung dari bulan Februari 2014 s.d Juli 2014.
Tempat kegiatan diantaranya : Laboratorium Meteorologi Departemen Geofisika
dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB Dramaga,
dan Center for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and
Pacific (CCROM-SEAP) IPB Baranangsiang.
Alat dan Data
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer
dengan software Microsoft Office 2007, GrADS (Grid Analysis and Display
System), Ms. Excel, NCL (NCAR Command Languange), RegCM4 (Regional
Climate Model 4), CDO (Climate Data Operator), Matlab, Ferret, Minitab, dan
ArcGIS.
3
Data yang digunakan di antaranya data masukan model RegCM4 tahun 1982
sampai 2009 berupa data Sea Surface Temperature (SST) Optimum Interpolation
Weekly (SST oi_wk) dari NOAA (http://www.esrl.noaa. gov). Data ini memiliki
resolusi 1° x 1° mencakup 89.5°LU–89.5°LS dan 0.5°BT–359.5°BT (Reynolds et al.
2002). Selain itu, data NCEP/NCAR Reanalysis Project Versi 1 (NNRP 1), yang
juga diperoleh dari NOAA (http://www.esrl. noaa.gov) digunakan sebagai masukan
model. Data NNRP1 berisi data kondisi udara, kelembaban relatif, kecepatan angin
zonal, kecepatan angin meridional, dan kecepatan angin titik. Data NNRP1
mempunyai resolusi temporal per-6 jam dengan resolusi 2.5° x 2.5°, cakupan data
antara 90° LU –90° LS dan 0° BT –357.5° BT (Kalnay et al.1996). Kemudian, data
Oceanic Nino Index (ONI) dari NOAA yang digunakan untuk menentukan tahuntahun ENSO. ONI dihitung dengan merata-ratakan anomali Sea Surface
Temperature (SST) setiap 3 bulan di wilayah Nino 3.4 (5O N – 5O S, 120O – 170O
W) (Todd et al 2011). El Nino terjadi jika nilai ONI lebih besar sama dengan 0.5
sedangkan La Nina terjadi jika nilai ONI lebih kecil sama dengan -0.5 (Todd et al
2011). Di samping itu, data observasi dibutuhkan sebagai pembanding data keluaran
model RegCM4. Data observasi yang digunakan yaitu Asian Precipitation-Highly
Resolved Observational Data Integration Towards Evaluation (APHRODITE; Xie
et al.2007) tahun 1982-2000 yang dapat diakses melalui www.chikyu.ac.jp/precip/,
dan data Climatic Research Unit (CRU) melalui website http://badc.nerc.ac.uk/
browse /badc/cru/data/cru_ts/ tahun 1982-2000.
APHODITE merupakan data curah hujan harian yang dihasilkan dari
pengukuran rain gauge dengan resolusi 0.5o x 0.5o dan 0.25o x 0.25o (Wang et al.
2011). Data APHRODITE dianalisis dari Global Telecommunication System (GTS),
koleksi data APHRODITE, serta kompilasi dari beberapa proyek dan organisasi
(Yatagai et al. 2012). Data APHRODITE pada penelitian ini digunakan untuk
menganalisis dry spell yang membutuhkan data harian, sedangkan untuk analisis
yang membutuhkan data bulanan digunakan CRU. Pada analisis spasial digunakan
data bulanan APHRODITE karena resolusi data APHRODITE yang lebih tinggi
dari pada data CRU. Perbandingan data APHRODITE dengan data curah hujan
bulanan lain, di antaranya GPCC, Climate Research Unit (CRU; Mitchell and Jones
2005), the University of Delaware (UDE; Willmott and Matsuura 1995), dan
Precipitation Reconstruction over Land (PREC/L; Chen et al. 2002), pernah
dilakukan oleh Yatagai et al. (2005) dan Xie et al. (2007) yang menunjukkan bahwa
data APHRODITE tidak menghasilkan perbedaan yang besar dalam estimasi nilai
curah hujan khususnya di wilayah Asia.
Prosedur Analisis Data
Simulasi RegCM4
Terdapat tiga langkah utama dalam simulasi RegCM4 diantaranya Pra
Simulasi, Simulasi, dan Post Processing. Langkah terpenting dalam pra simulasi
model RegCM4 yaitu pengaturan konfigurasi model yang termasuk di dalamnya
penentuan lintang bujur, jumlah grid, menentukan parameterisasi skema fisik
RegCM4, dan lain sebagainya. Parameter skema fisik yang digunakan pada
penelitian ini mengacu pada Diro et al. (2012), kecuali pada convection scheme,
4
diantaranya yaitu radiative transfer scheme (Kiehl et al. 1996), PBL (Planetary
Boundary Layer) scheme (Holtslag et al. 1990), resolved scale precipitation scheme
(Pal et al. 2000), dan Community Land Model (CLM; Steiner et al. 2009).
Convection scheme yang digunakan pada penelitian ini menggunakan MITEmmanuel (1991) yang mengacu pada Jadmiko (2011) dan Mufida (2012). Mereka
menyatakan bahwa MIT-Emmanuel adalah skema konveksi yang mendekati kondisi
di Indonesia. Pada tahapan ini juga dilakukan pembuatan file domain, SST, dan
Initial Condition Boundary Condition (ICBC).
Simulasi RegCM4 dilakukan dengan input dan konfigurasi yang sudah
ditetapkan pada tahap sebelumnya. Keluaran dari proses ini terdiri dari lima jenis
file data yaitu ATM, SRF, RAD, STS, dan SAV. Setiap file ATM memuat data
yang berisi kondisi atmosfer seperti suhu, tekanan udara, cloud water, mixing ratio,
kecepatan angin zonal dan meridional pada 18 ketinggian, mixing ratio uap air, dan
lain sebagainya. File SRF memuat data per-3 jam selama sebulan dari 24 variabel
meteorologi permukaan seperti suhu pada ketnggian 2 m, tekanan, kecepatan angin
zonal dan meridional pada ketinggian 10 m, presipitasi dan evapotranspirasi total,
dan kelembaban spesifik. File RAD memuat informasi fluks radiasi. File STS (daily
statistical output) merupakan hasil data harian dari pengolahan statistik file-file
lainnya, yaitu tekanan permukaan, suhu maksimum dan minimum permukaan, suhu
maksimum, minimum, dan rata-rata pada ketinggian 2 m, presipitasi maksimum dan
rata-rata. File SAV menyimpan riwayat simulasi sebelumnya untuk menjalankan
kembali atau me-restart simulasi yang terhenti sebelum proses selesai. Penelitian
ini menggunakan file STS sebagai data hasil keluaran model RegCM4 yaitu
variabel Total Precipitation (TPR).
Proses yang terakhir adalah post-processing. Pada tahapan ini dilakukan
pengolahan data keluaran RegCM4 dengan menggunakan tiga software di antaranya
adalah NCO (NetCDF Operators), CDO (Climate Data Operators), dan Ferret.
NCO digunakan untuk mengekstrak parameter curah hujan dari keluaran RegCM4.
CDO berfungsi untuk menggabungkan data keluaran RegCM4 yang masih
beresolusi per-3 jam. Sedangkan Ferret digunakan untuk mengkonversi koordinat
RegCM4 yang berupa sistem koordinat X-Y menjadi koordinat lintang-bujur.
Analisis Cluster
Analisis Cluster bertujuan untuk membagi Kalimantan berdasarkan curah
hujan. Didapat 5 cluster wilayah yang memiliki pola curah hujan yang berbeda
(Gambar 1).
Gambar 1 Pembagian wilayah Kalimantan berdasarkan Analisis Cluster
5
Analisis Cluster dilakukan dengan data APHRODITE yang telah dikonversi
menjadi .xlsx dan dirata-ratakan setiap bulan dari tahun 1982-2000. Data tersebut
dianalisis dengan Minitab untuk menghasilkan jumlah cluster yang sesuai. Hasil
dari Minitab kemudian dipetakan secara spasial dengan ArcGIS.
Analisis Kondisi Klimatologi Kalimantan
Klimatologi wilayah Kalimantan tahun 1998-2009 dibuat dengan membagi
menjadi empat periode musim, yaitu Desember-Februari (DJF), Maret-Mei (MAM),
Juli-Agustus (JJA), dan September-November (SON) dari data APHRODITE yang
kemudian dipetakan secara spasial. Selain itu dihitung juga rataan curah hujan
setiap bulan dari tahun 2001-2009 yang bertujuan untuk melihat pola curah hujan di
Kalimantan.
Evaluasi Model RegCM4
Regional Climate Model 4 dievaluasi dengan tiga Persamaan statistik yaitu
menghitung Koefisien Korelasi, Root Mean SquareError (RMSE), dan Standar
Deviasi.
Analisis korelasi bertujuan untuk mengukur kekuatan hubungan linier antara
dua variabel. Korelasi tidak menunjukkan hubungan fungsional atau dengan kata
lain, analisis korelasi tidak membedakan antara variabel dependen dengan variabel
independen. Korelasi menyatakan derajat hubungan antara dua variabel tanpa
memperhatikan variabel mana yang menjadi peubah. Nilai positif menunjukkan
hubungan searah, sedangkan nilai negatif menunjukkan hubungan tidak searah, dan
semakin mendekati satu hubungan antar variabel semakin kuat (Walpole 2002).
Perhitungan koefisien korelasi dapat dilakukan dengan Persamaan 1.
√∑��=
̅̅̅
∑��= �� − �̅ �� − �
�� − �̅
�√∑��=
�� − �̅
……
RMSE (Persamaan 2) adalah error dari hasil prediksi terhadap nilai yang
sebenarnya. Semakin kecil nilai RMSE menunjukkan model yang semakin baik
(Wilks 2006).
∑� � − ��
√ �= �
�−
�
√�− ∑ �� − �̅
�=
…….
……
Perhitungan standar deviasi merupakan perhitungan statistik yang paling
umum digunakan yang bertujuan melihat keragaman suatu kelompok data.
Perhitungan standar deviasi dapat dilakukan dengan Persamaan 3. Dimana Ti
merupakan data APHRODITE ke-i, �̅ adalah rata-rata data APHRODITE, Ri adalah
data RegCM4 ke-i, dan �̅ adalah rata-rata data RegCM4.
6
Di samping menggunakan Persamaan statistik yang telah dijelaskan, evaluasi
model juga dilakukan dengan melakukan analisis spektral wavelet. Pengolahan data
dengan analisis spektral wavelet dilakukan pada curah hujan bulanan untuk
mengetahui periodisitas dominan curah hujan di wilayah kajian (Affandi et al.
2011).
Perhitungan Rataan Maximum Dry Spell Length (MDSL)
Dry spell diartikan dengan deret hari kering. Menurut Moron et al. (2008)
salah satu syarat penentuan awal musim hujan adalah jika tidak terjadi 10 deret hari
kering berturut-turut dengan jumlah curah hujan < 5mm. Jadi, penentuan dry spell
pada penelitian ini yaitu hari dengan curah hujan < 0.5 mm. Sedangkan Maximum
Dry Spell Length (MDSL) dihitung dengan mencari jumlah deret hari terpanjang
yang memiliki curah hujan < 0.5 mm dalam setahun yang kemudian dirata-ratakan
di setiap wilayah cluster (Gambar 1).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola Curah Hujan dan Kondisi Klimatologi Kalimantan
Kondisi fisiografis wilayah Indonesia dan sekitarnya, seperti posisi lintang,
ketinggian, pola angin, sebaran bentang darat dan perairan, serta pegunungan yang
tinggi berpengaruh terhadap variasi dan tipe curah hujan di wilayah Indonesia.
Berdasarkan pola umum terjadinya, terdapat tiga tipe curah hujan, yakni: tipe
ekuatorial, tipe monsunal dan tipe lokal (Tukidi 2010). Menurut penelitian Aldrian
dan Susanto (2003), dari tiga tipe curah hujan tersebut, Kalimantan memiliki dua
tipe curah hujan yang berbeda yaitu tipe monsunal dan ekuatorial (Gambar 2).
Pola curah hujan di wilayah Kalimantan dapat dilihat pada Gambar 3 yang
menunjukkan pola curah hujan monsunal terdapat pada cluster empat dan lima. Pola
curah hujan monsunal ditandai dengan satu puncak hujan (DJF) dan satu musim
kemarau (JJA) dalam satu tahun (Tukidi 2010). Pola curah hujan monsunal
disebabkan oleh angin monsun yang digerakan oleh adanya pengaruh tekanan tinggi
dan tekanan rendah di benua Asia dan Australia secara bergantian. Dalam bulan
Desember-Januari-Februari (DJF) di Belahan Bumi Utara terjadi musim dingin
akibatnya terjadi tekanan tinggi di Benua Asia, sedangkan di Belahan Bumi Selatan
pada waktu yang sama terjadi musim panas, akibatnya terjadi tekanan rendah di
benua Australia. Oleh karena terdapat perbedaan tekanan udara di kedua benua
tersebut, maka pada periode DJF bertiup angin dari tekanan tinggi di Asia menuju
ke tekanan rendah di Australia, angin ini disebut Monsun Barat atau Monsun Barat
Laut. Monsun Barat melewati perairan yang cukup luas sehingga membawa uap air
yang menyebabkan hujan. Sehingga pada periode DJF terjadi curah hujan yang
tinggi di wilayah bertipe curah hujan monsunal. Sebaliknya, pada bulan Juni-JuliAgustus (JJA) merupakan periode dengan curah hujan terendah, karena angin
Monsun Timur yang bergerak pada periode ini melewati wilayah yang sebagian
besar adalah gurun di Australia. Monsun Timur terjadi akibat tekanan rendah di
Asia dan tekanan tinggi di Australia, maka pada periode JJA bertiup angin dari
tekanan tinggi di benua Australia menuju ke tekanan rendah di Asia. Wilayah
7
Kalimantan bagian selatan (cluster 4 dan 5) memiliki pola curah hujan monsunal
karena memiliki perairan yang luas dan dilewati angin monsun setiap tahunnya.
Pola curah hujan pada tiga cluster lainnya yang terlihat adalah pola curah
hujan ekuatorial. Pola curah hujan ekuatorial ditandai dengan dua puncak curah
hujan yang terjadi pada bulan April dan Oktober dalam satu tahun (Tukidi 2010).
Pola ini berhubungan dengan pergerakan zona konvergensi ke arah utara dan
selatan mengikuti pergerakan semu matahari. Zona konvergensi merupakan
pertemuan dua massa udara yang berasal dari dua belahan bumi, yang kemudian
udara bergerak ke atas. Angin yang bergerak menuju satu titik dan kemudian
bergerak ke atas disebut konvergensi. Posisinya relatif sempit dan berada pada
lintang rendah dan dikenal dengan nama Intertropical Convergence Zone (ITCZ;
Subarna 2002). Letak ITCZ akan mempengaruhi curah hujan pada tempat-tempat
yang bertepatan dengan keberadaan ITCZ, dan kemungkinan besar akan
menyebabkan hujan berhari-hari dengan cuaca mendung terus menerus. ITCZ
berada tepat di garis ekuator dua kali dalam setahun, sekitar periode MAM dan
SON, maka pada bulan-bulan tersebut di atas ekuator terjadi konvergensi yang
berkontribusi terhadap meningkatnya curah hujan.
Perbandingan data APHRODITE, CRU, dan RegCM4 pada Gambar 3
menunjukkan bahwa APHRODITE dan CRU memiliki pola garis yang sama namun
nilai APHRODITE lebih kecil dari pada CRU. Karena keduanya memiliki
konsistensi yang sama, maka data APHRODTE dapat digunakan sebagai pengganti
data CRU. Pada penelitian ini, data APHRODITE bulanan akan diggunakan sebagai
pengganti CRU pada analisis spasial, karena resolusi APHRODITE yang lebih
tinggi akan menghasilkan gambaran lebih detail. Di sisi lain, keluaran RegCM4
memiliki pola grafik yang tidak terlihat sama namun dapat menangkap tipe curah
hujan ekuatorial maupun monsunal.
Gambar 2 Peta pola curah hujan di Indonesia. Sumber: Aldrian dan Susanto 2003.
Kondisi klimatologi Kalimantan pada Gambar 4a-4d menunjukkan pola
curah hujan musiman yang berbeda-beda. Periode DJF memiliki curah hujan yang
lebih tinggi dengan kisaran 100-340 mm/bulan dibandingkan dengan periode yang
lain hampir di semua wilayah Kalimantan. Sedangkan JJA adalah periode dengan
curah hujan paling rendah dengan curah hujan yang berkisar antara 60-200
mm/bulan. Hal ini dikarenakan setengah wilayah Kalimantan memiliki pola curah
hujan monsunal yang puncak hujannya terjadi pada periode DJF dan curah hujan
8
terendahnya terjadi pada JJA khususnya di bagian setalan Kalimantan (Cluster 4
dan 5). Dua periode yang lain yaitu MAM dan SON sering disebut sebagai musim
peralihan dengan kisaran curah hujan 100-260 mm/bulan. Kondisi klimatologi
Kalimantan yang disimulasikan dengan RegCM4 pada Gambar 4e-4h,
menunjukkan pola curah hujan musiman yang tidak jauh berbeda dengan
APHRODITE, periode dengan curah hujan tinggi adalah DJF, sedangkan periode
dengan curah hujan terendah adalah JJA. Namun, data RegCM4 terlihat terlalu
tinggi di bagian tengah wilayah Kalimantan.
400
350
300
250
200
150
100
50
0
Curah hujan rata-rata
(mm/bln)
Curah hujan rata-rata
(mm/bln)
300
250
200
150
100
50
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
0
Jan Mar May Jul Sep Nov
Bulan
CRU
APR
RCM
CRU
b)
700
600
500
400
300
200
100
0
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Bulan
APR
RCM
d)
CRU
Bulan
APR
RCM
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Curah hujan rata-rata
(mm/bln)
c)
CRU
RCM
Curah hujan rata-rata
(mm/bln)
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Curah hujan rata-rata
(mm/bln)
a)
Bulan
APR
Bulan
CRU
APR
RCM
e)
Gambar 3 Rataan bulanan curah hujan data CRU, APHRODITE, dan RegCM4
untuk Cluster satu (a), dua (b), tiga (c), empat (d), dan lima (e) tahun
1982-2000
9
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
Gambar 4 Klimatologi curah hujan Kalimantan pada (a dan e) DJF, (b dan f) MAM,
(c dan g) JJA, dan (d dan h) SON dari data APHRODITE (atas) dan
RegCM4 (bawah) tahun 1982-2000 dalam mm
Evaluasi RegCM4 dalam Mensimulasi Curah Hujan di Kalimantan saat
Periode ENSO
Regional Climate Model version 4 (RegCM4) merupakan versi terbaru dari
Regional Climate Modelversion 3 (RegCM3) yang dikembangkan oleh
International Centre for Theoretical Physics (ICTP) Italia. RegCM4 telah
diaplikasikan oleh sebagian besar peneliti di bidang iklim untuk studi iklim regional
berupa paleo-klimatologi maupun proyeksi iklim (Giorgi et al. 2011). Namun,
menurut Fuentes-Franco et al. (2013) sebelum digunakan untuk keperluan proyeksi,
RegCM4 perlu diuji atau dievaluasi terlebih dahulu. Evaluasi yang dilakukan di
antaranya, analisis spektral wavelet, komposit anomali curah hujan, perhitungan
RMSE, korelasi, dan standar deviasi.
Evaluasi pertama yang dilakukan yaitu melihat kemampuan RegCM4 dalam
menghasilkan periodisitas dengan analisis spektral wavelet. Dari analisis spektral
wavelet curah hujan bulanan (Gambar 5-9), terlihat tiga osilasi yang dominan
mempengaruhi curah hujan Kalimantan yaitu pengaruh osilasi tahunan (Annual
Oscillation) yang dikenal sebagai periode monsunal, decadal oscillation seperti
PDO, dan ENSO. Pengaruh di tiap wilayah berbeda dari ketiga osilasi tersebut. Di
Cluster 1, 4, dan 5 pengaruh yang mendominasi yaitu pengaruh Annual Oscillation
atau monsun. Ketiga wilayah tersebut mendapat pengaruh monsun yang kuat karena
wilayah perairannya yang luas dan wilayah lautannya merupakan jalur perlintasan
angin monsun setiap tahunnya. Di Cluster 2 mendapat pengaruh ENSO yang cukup
kuat namun tetap terlihat pengaruh Annual Oscillation. Sedangkan di Cluster 3,
10
pengaruh monsunal dan ENSO sama kuat. Analisis spektral wavelet dari data
RegCM4 menunjukkan bahwa data keluaran RegCM4 dapat menghasilkan
periodisitas yang mempengaruhi curah hujan di Kalimantan dengan baik meskipun
dengan nilai kekuatan yang berbeda dengan CRU.
(a)
(b)
Gambar 5 Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 1 periode Januari 1982Desember 2000 data a) CRU dan b) RegCM4
(a)
(b)
Gambar 6 Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 2 periode Januari 1982Desember 2000 data a) CRU dan b) RegCM4
11
(a)
(b)
Gambar 7 Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 3 periode Januari 1982Desember 2000 data a) CRU dan b) RegCM4
(a)
(b)
Gambar 8 Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 4 periode Januari 1982Desember 2000 data a) CRU dan b) RegCM4
12
(a)
(b)
Gambar 9 Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 5 periode Januari 1982Desember 2000 data a) CRU dan b) RegCM4
Hasil dari analisis spektral wavelet menunjukkan bahwa seluruh wilayah
Kalimantan dipengaruhi oleh ENSO, meskipun dengan kekuatan yang berbeda-beda.
Fenomena ENSO dikenal sebagai sumber utama variabilitas iklim global
(Trenberthet al 1998), dan banyak juga penelitian yang membuktikan bahwa ENSO
mempengaruhi karakteristik curah hujan khususnya di wilayah Pasifik Tropis
(Soerjadi 1984; USDA 1984; ADPC 2000; Yoshino et al. 2000; Kirono dan
Partridge 2002), termasuk Kalimantan. Pada saat El Nino, curah hujan di
Kalimantan lebih kecil dari rata-rata yang ditunjukkan dengan anomali curah hujan
yang negatif di seluruh wilayah Kalimantan (10 dan 11a). Sebaliknya saat La Nina,
curah hujan di Kalimantan lebih dari rata-rata yang ditunjukkan anomali curah
hujan yang positif hampir di seluruh wilayah Kalimantan (Gambar 10 dan 11c).
Penetuan kejadian ENSO ditentukan dengan ONI. Perbandingan kejadian ENSO
dengan curah hujan terlihat pada Gambar 10. CRU dan RegCM4 memiliki pola
yang sama yaitu memiliki anomali curah hujan negatif saat nilai ONI positif dan
lebih dari 0.5 (El Nino). Begitu juga saat nilai ONI negatif dan kurang dari -0.5 (La
Nina), anomali curah hujan di kedua data positif. Artinya, RegCM4 dapat
menangkap karakteristik curah hujan saat kejadian ENSO.
300
200
100
0
CRU
Periode
RCM4
Periode
RCM4
ONI
ONI
ONI
JFM 82
SON 82
MJJ 83
JFM 84
SON 84
MJJ 85
JFM 86
SON 86
MJJ 87
JFM 88
SON 88
MJJ 89
JFM 90
SON 90
MJJ 91
JFM 92
SON 92
MJJ 93
JFM 94
SON 94
MJJ 95
JFM 96
SON 96
MJJ 97
JFM 98
SON 98
MJJ 99
JFM 00
SON 00
-100
-200
300
200
0
100
-100
-200
CRU
Periode
RCM4
JFM 82
SON 82
MJJ 83
JFM 84
SON 84
MJJ 85
JFM 86
SON 86
MJJ 87
JFM 88
SON 88
MJJ 89
JFM 90
SON 90
MJJ 91
JFM 92
SON 92
MJJ 93
JFM 94
SON 94
MJJ 95
JFM 96
SON 96
MJJ 97
JFM 98
SON 98
MJJ 99
JFM 00
SON 00
Nilai ONI (oC)
Nilai ONI (oC)
13
3
2
1
0
-1
-2
-3
3
2
1
0
-1
-2
-3
3
2
1
0
-1
-2
-3
3
2
1
0
-1
-2
-3
JFM 82
SON 82
MJJ 83
JFM 84
SON 84
MJJ 85
JFM 86
SON 86
MJJ 87
JFM 88
SON 88
MJJ 89
JFM 90
SON 90
MJJ 91
JFM 92
SON 92
MJJ 93
JFM 94
SON 94
MJJ 95
JFM 96
SON 96
MJJ 97
JFM 98
SON 98
MJJ 99
JFM 00
SON 00
Nilai ONI (oC)
Anomali (mm/bln)
Anomali (mm/bln)
200
100
0
CRU
ONI
3
2
1
0
-1
-2
-3
Nilai ONI (oC)
-100
-200
300
200
100
0
-100
-200
RCM4
ONI
Periode
CRU
Periode
RCM4
-300
-400
300
200
100
0
-100
-200
CRU
JFM 82
SON 82
MJJ 83
JFM 84
SON 84
MJJ 85
JFM 86
SON 86
MJJ 87
JFM 88
SON 88
MJJ 89
JFM 90
SON 90
MJJ 91
JFM 92
SON 92
MJJ 93
JFM 94
SON 94
MJJ 95
JFM 96
SON 96
MJJ 97
JFM 98
SON 98
MJJ 99
JFM 00
SON 00
(a)
Anomali (mm/bln)
Anomali (mm/bln)
JFM 82
SON 82
MJJ 83
JFM 84
SON 84
MJJ 85
JFM 86
SON 86
MJJ 87
JFM 88
SON 88
MJJ 89
JFM 90
SON 90
MJJ 91
JFM 92
SON 92
MJJ 93
JFM 94
SON 94
MJJ 95
JFM 96
SON 96
MJJ 97
JFM 98
SON 98
MJJ 99
JFM 00
SON 00
Nilai ONI (oC)
(b)
(c)
(d)
(e)
Gambar 10 Moving average anomali curah hujan dan ONI di Cluster satu (a), dua
(b), tiga (c), empat (d), dan lima (e) tahun 1982-2000
Anomali (mm/bln)
14
Hasil komposit anomali curah hujan pada Gambar 11 memperkuat dugaan
bahwa RegCM4 dapat menangkap karakteristik curah hujan saat ENSO di wilayah
Kalimantan dengan baik. Pada Gambar 11d, wilayah Kalimantan dalam kondisi El
Nino, memiliki anomali yang negatif, sedangkan saat La Nina Kalimantan memiliki
anomali yang positif (Gambar 11f). Kondisi tersebut sesuai dengan data observasi
pada Gambar 11a dan 11c. Namun nilai estimasi RegCM4 lebih tinggi dibanding
data observasi. Nilai anomali curah hujan dugaan RegCM4 saat El Nino berkisar
antara -150 dan 20 mm/bulan, dan antara -50 sampai 100 mm/bulan, saat La Nina.
Sedangkan nilai anomali curah hujan data observasi berkisar antara -50 dan 5
mm/bulan, dan antara -10 dan 50 mm/bulan saat La Nina. Pada kondisi normal,
tidak terlihat perbedaan yang signifikan antara model dan data observasi.
Nilai anomali curah hujan pada data observasi (Gambar 11a dan 11c)
memiliki kecenderungan yang berbeda di setiap wilayah. Saat El Nino, anomali
curah hujan semakin kecil di bagian utara, begitu juga saat La Nina, anomali curah
hujan semakin besar di bagian utara. Hal tersebut, dikarenakan pada wilayah
Kalimantan Utara, ENSO merupakan osilasi yang paling dominan (Gambar 5).
Berbeda halnya dengan Kalimantan Barat dan Tengah saat La Nina. Kedua wilayah
tersebut, justru mengalami curah hujan yang rendah saat La Nina. Artinya,
pengaruh ENSO terhadap curah hujan di wilayah tersebut kecil. Karena osilasi yang
mendominasi kedua wilayah itu adalah monsun.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 11 Komposit anomali APHRODITE (atas) dan RegCM4 (bawah) saat
periode (a dan d) El Nino, (b dan e) Normal dan (c dan f) La Nina
tahun 1982-2000
15
Perhitungan RMSE dari dua resolusi temporal yang berbeda, pada Gambar
12, menunjukkan bahwa nilai RMSE lebih kecil pada resolusi harian, yang berkisar
antara 0-50 mm/hari. Sedangkan pada resolusi bulanan RMSE berkisar antara 0-600.
Hal tersebut wajar kerena data curah hujan harian lebih bernilai kecil dari pada data
bulanan. Namun nilai tersebut terlalu tinggi karena rata-rata curah hujan harian di
Kalimantan per tahun adalah 5-10 mm/hari dan kisaran rata-rata curah hujan
bulanannya per tahun adalah 100-200 mm/bulan. Tidak ada perbedaan nilai RMSE
yang signifikan saat El Nino, La Nina, dan Normal. Nilai RMSE menunjukkan
error suatu model dengan data observasi. Model akan dianggap baik bila nilai
RMSE mendekati nol (Wilks 2006). Jika rata-rata curah hujan lebih kecil dari
RMSE menunjukkan model belum bisa merepresentasikan data observasi dengan
baik. Nilai error yang semakin tinggi terlihat di bagian tengah Kalimantan (Gambar
12). Selain wilayah tersebut, nilai RMSE cenderung lebih kecil, yaitu 0-10 mm/hari
pada data harian dan 0-150 mm/bulan pada data bulanan. Hal ini menunjukkan
bahwa RegCM4 tidak dapat mensimulasi curah hujan dengan baik di bagian tengah
Kalimantan.
Tidak hanya pada RMSE (Gambar 12), nilai standar deviasi data RegCM4
(Gambar 13) juga tinggi di Kalimantan bagian tengah. Standar deviasi
menunjukkan variansi atau keragaman data. Semakin tinggi nilai standar deviasi
maka data semakin beragam. Tidak terlihat perbedaan nilai standar deviasi yang
signifikan saat El Nino, La Nina, dan Normal di kedua data. Standar deviasi data
APHRODITE (Gambar 13a, 13b, dan 13c) berada pada selang 8-10 mm/hari.
Sedangkan pada data RegCM4 (Gambar 13d, 13e, dan 13f) berada pada selang 0-20
mm/hari. Namun jika Kalimantan bagian tengah diabaikan, selang nilai standar
deviasi RegCM4 sama dengan TRMM yaitu sekitar 8-10 mm/hari.
Nilai RegCM4 yang terlalu tinggi (Gambar 4), error yang tinggi (Gambar
12) dan data dengan variasi tinggi (Gambar 13) yang hanya terjadi pada bagian
tengah Kalimantan, diduga berhubungan dengan topografi wilayah Kalimantan.
Peta topografi pada Gambar 14 menunjukkan bagian tengah Kalimantan merupakan
wilayah dataran tinggi dengan ketinggian lebih dari 1000 m. Hal ini menunjukkan
RegCM4 tidak mampu mensimulasi dengan baik untuk wilayah dataran tinggi.
Fentos-Franco et al. (2013) yang juga mengevaluasi RegCM4 di wilayah Mexico
mendapatkan hasil bahwa RegCM4 memiliki bias dan standar deviasi tinggi untuk
wilayah pegunungan atau dataran tinggi. Estimasi curah hujan yang terlalu tinggi di
daerah pegunungan, diduga terkait dengan skema konveksi dan permukaan tanah
yang digunakan (Fentos-Franco et al. 2013). Sebagain contoh, Diro et al. (2012)
menunjukkan skema BATS menghasilkan curah hujan yang terlalu tinggi karena
wilayah pegunungan sensitive terhadap skema fisik daratan dan fluks lautan.
(a)
(b)
(c)
16
(d)
(e)
(f)
Gambar 12 Root Mean Square Error (RMSE) (mm) antara RegCM4 dengan
APHRODITE harian (atas) dan bulanan (bawah) saat periode (a dan
d) El Nino, (b dan e) Normal dan (c dan f) La Nina tahun 1982 – 2000.
(a)
(d)
(b)
(c)
(e)
(f)
Gambar 13 Standar Deviasi RegCM4 (bawah), dan APHRODITE (atas) dengan
resulosi temporal harian saat periode (a dan d) El Nino, (b dan e)
Normal dan (c dan f) La Nina tahun 1982 – 2000.
17
Gambar 14 Peta topografi Pulau Kalimantan. Sumber: Badan Informasi Geospasial
(BIG) 2009
Dengan metode korelasi, keeratan hubungan model dengan observasi juga
dihitung (Gambar 15). Metode korelasi menggambarkan hubungan linier model
dengan observasi. Semakin dekat dengan satu, model dianggap dapat
merepresentasikan observasi dengan baik. Nilai negatif menunjukkan hubungan
yang berlawanan, dan nilai positif menunjukkan hubungan yang searah (Walpole
1995). Sehingga, RegCM4 akan dinilai dapat mensimulasi curah hujan dengan baik,
jika memiliki korelasi yang positif dan semakin dekat dengan satu. Pada Gambar 15,
dapat dilihat bahwa RegCM4 tidak berkorelasi dengan observasi, karena memiliki
nilai korelasi yang lebih kecil pada resolusi harian yaitu -0.1-0.1.Sedangkan pada
resolusi bulanan, RegCM4 memiliki nilai korelasi yang cukup tinggi yaitu sampai
dengan 0.8 khususnya saat El Nino. Saat Normal, korelasi berkisar antara 0.3-0.6.
Sedangkan saat La Nina, berkisar antara -0.1-0.6. Pada perhitungan korelasi
menunjukkan bahwa RegCM4 memiliki korelasi yang cukup tinggi saat kejadian
El Nino. Kemampuan estimasi RegCM4 akan semakin mendekati nilai observasi
jika disimulasikan pada curah hujan yang rendah (saat El Nino). Giorgi et al (2012)
menjelaskan bahwa skema konveksi MIT-Emmanuel cenderung menghasilkan
curah hujan yang terlalu tinggi di daratan khususnya, di daratan yang curah
hujannya tinggi. Saat La Nina, curah hujan di Kalimantan cenderung meningkat
sehingga kemampuaan estimasi RegCM4 kurang mendekati data observasi (korelasi
lebih kecil.
(a)
(b)
(c)
18
(d)
(e)
(f)
Gambar 15 Koefisien Korelasi antara RegCM4 dengan TRMM harian (atas) dan
bulanan (bawah) saat periode (a dan d) El Nino, (b dan e) La Nina, dan
(c dan f) Normal tahun 1982 – 2000.
CDF (Cumulative Distribution Function) dan MDSL (Maximum Dry Spell
Length) di Kalimantan
Penilaian RegCM4 dengan menggunakan Cumulative Distribution Function
(CDF) dilakukan di seluruh cluster di Kalimantan. Meskipun sebelumnya telah
disebutkan bahwa keluaran RegCM4 dengan resolusi harian memiliki korelasi yang
kecil, Gambar 16 menunjukkan bahwa distribusi data RegCM4 sesuai dengan data
observasi yaitu distribusi gamma dengan grafik CDF yang sama dengan
APHRODITE, hanya saja nilai maksimumnya berbeda. Setiap cluster memiliki
nilai kisaran curah hujan harian yang bervariasi. Berdasarkan Gambar 17, pada
cluster 1, 2, dan 5 curah hujan yang sering terjadi berkisar antara 0-10 mm/hari.
Sedangkan pada cluster 3 dan 4 berkisar antara 1-15 mm/hari.
Dry spell atau deret hari kering berhubungan erat dengan kekeringan. Bencana
kekeringan dianggap mengancam banyak sektor, seperti pertanian, kehutanan,
managemen pengelolaan air, dan lain sebagainya. Banyak fokus yang dapat
dilakukan untuk menganilisis dry spell, di antaranya, intensitas, frekuensi, jumlah,
dan panjang dry spell. Pada penelitian ini fokus analisis yang dilakukan yaitu
panjang dry spell maksimum setiap tahun di Kalimantan.
Dalam menduga nilai MDSL, RegCM4 memiliki pola yang sama dengan
APHRODITE pada seluruh cluster, numun nilai RegCM4 cenderung lebih besar
dari pada APHRODITE. Salah satu karakteristik curah hujan yang berubah akibat
ENSO adalah dry spell yang semakin panjang saat El Nino. Secara keseluruhan,
Gambar 17 membuktikan bahwa saat tahun El Nino (1982-1983, 1986-1988, 19911992, 1994-1995, dan 1997-1998) MDSL semakin besar dan semakin kecil saat
tahun La Nina (1983-1985, dan 1988-1989). Selain itu, semakin kuat El Nino nilai
MDSL juga semakin besar yang artinya deret hari kering semakin panjang. Contoh
El Nino kuat adalah El Nino pada tahun 1982-1983 dan 1997-1998. Pada tahun
tersebut nilai MDSL sangat tinggi di seluruh Kalimantan.
19
(b)
1.2
1.2
1
1
0.8
0.8
CDF
CDF
(a)
0.6
0.6
0.4
RCM4
0.4
RCM4
0.2
APHRO
0.2
APHRO
0
0
0 5 9 14 18 23 27 34 38 42 46 50
CH (mm/hari)
0 5 9 14 18 23 27 34 38 42 46 50
CH (mm/hari)
(d)
1.2
1
1
0.8
0.8
CDF
1.2
0.6
0.4
RCM4
APHRO
0.2
0
0.6
0.4
RCM4
0.2
APHRO
0
0 5 9 141823273438424650
CH (mm/hari)
0 5 9141823273438424650
CH (mm/hari)
(e)
1.2
1
0.8
CDF
CDF
(c)
0.6
0.4
RCM4
0.2
APHRO
0
0 4 7 101417212427333639424548
CH (mm/hari)
Gambar 16 Cumulative Distribution Function (CDF) data RegCM4 (biru) dan
APHRODITE (merah) pada Cluster satu (a), dua (b), tiga (c), empat
(d), dan lima (e) tahun 1982-2000
Rataan MDSL (hari)
20
30
20
APR
10
RCM4
0
Tahun
Rataan MDSL (hari)
(a)
40
30
20
APR
10
RCM4
0
Tahun
Rataan MDSL (hari)
(b)
60
40
20
APR
RCM4
0
Tahun
Rataan MDSL (hari)
(c)
30
20
10
APR
RCM4
0
Tahun
Rataan MDSL (hari)
(d)
(e)
40
60
40
20
APR
RCM4
0
Tahun
Gambar 17 Grafik rata-rata MDSL data APHRODITE (garis biru) dan RegCM4
(garis merah) pada Cluster satu (a), dua (b), tiga (c), empat (d), dan
lima (e) tahun 1982-2000
21
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kalimantan memiliki dua tipe curah hujan yang berbeda yaitu ekuatorial dan
monsunal. Pola ekuatorial terdapat pada wilayah Kalimantan bagian utara (Cluster
1, 2, dan 3), sedangkan wilayah lain cenderung bertipe curah hujan monsunal.
Karena setengah wilayahnya bertipe monsunal, maka puncak curah hujan terjadi
pada periode DJF, dan periode dengan curah hujan terendah adalah JJA khususnya
bagian selatan Kalimantan (Cluster 4 dan 5).
Hasil evaluasi model menunjukkan bahwa model dapat menghasilkan
periodisitas yang mempengaruhi curah hujan di Kalimantan dengan baik yang
sesuai dengan data observasi. Dua osilasi yang dominan di Kalimantan yaitu Annual
Oscillation, dan ENSO. RegCM4 juga dapat mengestimasi curah hujan dengan baik
pada saat ENSO, yang ditandai dengan anomali curah hujan yang negatif saat El
Nino, dan positif saat La Nina. Kelemahan model RegCM4 dari hasil penelitian ini
yaitu nilai keluaran model yang jauh lebih tinggi di wilayah dataran tinggi atau
pegunungan dibanding dengan wilayah sekitarnya. Hal tersebut diketahui dari nilai
RMSE (hingga 50 mm/hari) dan standar deviasi tinggi (hingga 20) di wilayah
dataran tinggi. RegCM4 tidak dapat menduga nilai curah hujan dengan baik di
wiliyah dataran tinggi (sekitar 500-2000 m). Estimasi curah hujan yang terlalu
tinggi di daerah pegunungan diduga terkait dengan skema konveksi dan permukaan
tanah yang digunakan.
RegCM4 dapat menduga dampak ENSO terhadap dry spell yaitu MDSL
yang tinggi saat El Nino dan MDSL yang rendah saat La Nina. Saat El Nino kuat,
jumlah deret hari kering terpanjang di Kalimantan sampai dengan 50 hari berturutturut, sedangkan saat La Nina kuat hanya mencapai 5 hari berturut-turut. Secara
keseluruhan, konsistensi MDSL dari data keluaran RegCM4 dengan data observasi
baik, meskipun dengan nilai yang lebih tinggi.
Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya, diharapkan untuk melakukan uji
sensitivitas model yang bertujuan menentukan parameter dan skema yang tepat
untuk diterapkan di Indonesia. Selain itu, data observasi yang dijadikan pembanding
diharapkan data observasi langsung (stasiun) dengan panjang minimal 30 tahun,
sehingga keakuratannya lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
[ADPC]. 2000. ENSO impact and potential forecast application in Indonesia.
Extreme Climate Event Program, Asian Disaster Preparedness Centre,
Bangkok, Thailand.
[BAPPENAS-ADB]. 1999. Causes, Extent, Impact and Costs of 1997/1998 Fires
and Drought. Laporan akhir, Lampiran 1 dan 2. BAPPENAS and Asian
Development Bank, Jakarta.
22
[NASDA]. 2001. TRMM Data Users Handbook. National Space Development
Agency of Japan. Japan.
[USDA]. 1984. World indices of agriculture and food production, 1974–1983.
Economic Research Service, U.S. Department of Agriculture, Washington,
DC, USA (Statistical Bulletin 710).
Aldrian, Edvin , R. Dwi Susanto. 2003. Identification of three dominant rainfall
regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. Int.
J. Climatol. (23) : 1435 – 1452.
Chen, M., P.-P.Xie, J. E. Janowiak, and P. A. Arkin. 2002. Global land
precipitation: A 50-yr monthly analysis based on gauge observations. J.
Hydrometeor (3):249–266.
Diro, G. T., S. A. Rauscher, F. Giorgi, A. M. Tompkins. 2012. Sensitivity of
seasonal climate and diurnal precipitation over Central America to land and
sea surface schemes in RegCM4. Clim Res (52): 31–48.
Emmanuel KA and Zivkovic RM. 1999.Development and evaluation of a
convective scheme for use in climate models. Journal of Atmospheric Science
(56):1766-1782.
Fadholi,Akhmad , Fitria Puspita Sari , Purwo Aji, dan Ristiana Dewi. 2014.
Pemanfaatan model Weather Research and Forecasting(WRF) dalam analisis
cuaca terkait hujan lebat Batam 30-31 Januari 2011. Jurnal Fisika dan
Aplikasinya (10):24-30
Fox.J.J. 2000.The Impact of the 1997-1998 El Nino on In