Salmonella spp. yang Resisten Terhadap Antibiotik yang Diisolasi dari Daging Itik di Kabupaten Bogor

Salmonella spp. YANG RESISTEN TERHADAP ANTIBIOTIK
YANG DIISOLASI DARI DAGING ITIK DI KABUPATEN
BOGOR

LOISA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Salmonella spp. yang
Resisten Terhadap Antibiotik yang Diisolasi dari Daging Itik di Kabupaten Bogor
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Loisa
B251120051

RINGKASAN
LOISA. Salmonella spp. yang Resisten Terhadap Antibiotik yang Diisolasi dari
Daging Itik di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh DENNY WIDAYA LUKMAN
dan HADRI LATIF.
Anas moscha (wild mallard) merupakan itik liar yang berasal dari Amerika
Utara yang telah dijinakkan oleh manusia hingga jadilah itik yang dipelihara
sekarang yang disebut Anas domesticus. Daging itik merupakan salah satu
sumber protein hewani yang tinggi sehingga daging itik memiliki nilai gizi yang
baik.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran keberadaan
Salmonella spp. di dalam daging itik dan gambaran Salmonella spp. yang resisten
terhadap beberapa antibiotik pada daging itik yang dikaitkan dengan keamanan
pangan.
Penelitian dilakukan dengan kajian cross sectional study, sampel diambil
dari setiap kecamatan dengan asumsi tingkat kepercayaan 95%, prevalensi dugaan

50%, dan tingkat kesalahan 10% sehingga diperoleh besaran sampel 52 ekor itik
dari lima kecamatan di Kabupaten Bogor, yaitu Cariu-Jonggol, Gunung Sindur,
Klapanunggal, Parung Panjang, dan Ciomas. Pengujian dilakukan dengan
mengambil sampel daging itik dan dilakukan isolasi terhadap Salmonella spp.
Hasil positif Salmonella spp. dilanjutkan dengan pengujian resistensi antibiotik
(kepekaan Salmonella spp.).
Hasil pengujian menunjukkan bahwa terdapat tiga sampel positif
Salmonella spp. (5.8%). Keberadaan Salmonella spp. pada daging itik di
peternakan Kabupaten Bogor menunjukkan telah terjadi pencemaran pada
peternakan itik tersebut. Persentase tertinggi jumlah sampel positif Salmonella
spp. ditemukan pada sampel daging itik yang berasal dari Kecamatan Gunung
Sindur (20%). Hal ini mungkin disebabkan oleh pencemaran silang saat
pemotongan ayam dan proses pengeluaran jeroan (eviserasi), pencemaran yang
berasal dari air yang digunakan di peternakan, serta tidak diterapkannya sanitasi
dan higiene personal oleh peternak atau pegawai peternakan.
Bakteri Salmonella spp. yang diisolasi dari daging itik (100%) menunjukkan
resistensi terhadap eritromisin (66.7%), streptomisin (33.3%), dan kloramfenikol
(33.3%), sedangkan Salmonella spp. masih relatif sensitif terhadap enrofloksasin,
trimetoprim sulfametoksazol, sefalotin, ampisilin, asam nalidiksat, tetrasiklin, dan
gentamisin. Salmonella spp. yang resisten terhadap antibiotik akan menjadi

ancaman bagi kesehatan manusia dan hewan.
Konsumsi daging itik yang berasal dari peternakan yang selalu
menggunakan antibiotik pada pakan dan minumannya akan berakibat terhadap
kejadian resistensi antibiotik, ketergantungan terhadap penggunaan antibiotik
sangat membahayakan konsumen bila diberikan secara berlebihan dan tanpa
pengawasan.
Kata kunci: daging itik, resistensi antibiotik, Salmonella spp.

SUMMARY
LOISA. Antibiotic Resistant Salmonella spp. Isolated from Duck Meat in Bogor
District. Supervised by DENNY WIDAYA LUKMAN and HADRI LATIF.
Anas moscha (wild mallard) were wild ducks from North America that had
been domesticated by humans to be reared ducks now called Anas domesticus.
Duck meat was a source of animal protein that duck meat has good nutritional
value. This study was aimed to determine the presence of Salmonella spp. in the
duck meat and identify of Salmonella spp. resistant against multiple antibiotics in
the duck meat associated with food safety.
The study was conducted with a cross sectional study, total of 52 samples of
ducks was taken from five subdistricts in Bogor District, i.e., Cariu-Jonggol,
Gunung Sindur, Klapanunggal, Parung Panjang, and Ciomas. This sample size

was calculated based on the assumption of 95% confidence level, 50% predicted
prevalence, and 10% standard error.
The results showed that three samples (5.8%) were positive of Salmonella
spp. Presence of Salmonella spp. in the duck meat were showing contamination
in duck farm. The highest percentage of the number of positive samples of
Salmonella spp. found in Gunung Sindur (20%). This could be caused by cross
contamination while cutting and process expenses chicken offal (eviceration),
contamination from the water on the duck farm, and unwell implementation of
sanitation and personal hygiene by farmers or farm employees.
The majority of Salmonella spp. isolated from duck meat (100%) showed
resistance against erythromycin (66.7%), streptomycin (33.3%), and
chloramphenicol (33.3%). Nevertheless, Salmonella spp. was still sensitive
againts enrofloxacin, trimethoprim sulfamethoxazole, cephalothin, ampicillin,
nalidixid acid, tetracycline, and gentamicin.
The antibiotic-resistant
Salmonella spp. could be a potential threat for public health and animal health.
Consumption of duck meat from farms that were constantly using
antibiotics in feed and drink would the result in the occurrence of antibiotic
resistance, addicted on the use of antibiotics were very dangerous to consumers
when given the antibiotics in excess and without supervision.

Keywords: antibiotic resistance, duck meat, Salmonella spp.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

Salmonella spp. YANG RESISTEN TERHADAP ANTIBIOTIK
YANG DIISOLASI DARI DAGING ITIK DI KABUPATEN
BOGOR

LOISA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains
pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Drh Trioso Purnawarman, MSi

Judul Tesis : Salmonella spp. yang Resisten Terhadap Antibiotik yang Diisolasi
dari Daging Itik di Kabupaten Bogor
Nama
: Loisa
NIM
: B251120051

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi
Ketua

Dr med vet Drh Hadri Latif, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 15 September 2014


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang
Triratna atas semua nikmat dan berkah yang diberikan sehingga karya ilmiah ini
berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan
sejak bulan Juni 2013 ini ialah resistensi antibiotik, dengan judul Salmonella spp.
yang Resisten Terhadap Antibiotik yang Diisolasi dari Daging Itik di Kabupaten
Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr med vet Drh Denny Widaya
Lukman, MSi dan Dr med vet Drh Hadri Latif, MSi selaku pembimbing yang
telah banyak memberi saran. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Dr Drh
Hardiman, MM sebagai Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner (BBalitvet), Dr
Drh Andriani, MSi sebagai Ketua Kelompok Peneliti Bakteriologi BBalitvet, serta
Bapak Iskandar sebagai staf laboratotium bakteriologi BBalitvet. Selain itu
penulis juga sampaikan penghargaan pada Drh RR Endang Ekowati sebagai
Kepala Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan (BPMSPH) dan Drh
Eko Susanto sebagai staf BPMSPH.
Ucapan terima kasih kepada staf
laboratorium bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner (KESMAVET) Fakultas

Kedokteran Hewan IPB, serta teman-teman program studi Kesahatan Masyarakat
Veteriner (KMV) tahun ajaran 2012/2013 yang telah berbagi dalam suka dan duka
selama kegiatan perkuliahan dan penelitian (Melani, Rastina, Risma, Murni,
Dede, Vita, Anis, Nia, Nining, Gigih, dan Eko). Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada papa (Ie Lie Yung) dan mama (Heryani), serta seluruh
keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa membalas kebaikan dan selalu
memberi kesehatan kepada mereka semua. Penulis menyadari bahwa tesis ini
masih jauh dari sempurna.
Penulis berharap tesis ini bermanfaat bagi
pengembangan ilmu kedokteran, khusunya yang mengenai kesehatan masyarakat
veteriner.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014
Loisa

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


ix

DAFTAR GAMBAR

x

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
2
2
2


2 TINJAUAN PUSTAKA
Salmonella spp.
Cemaran Salmonella spp. pada Daging Itik
Resistensi Antibiotik pada Salmonella spp.

3
3
4
5

3 METODE
Bahan
Alat
Waktu dan Tempat Penelitian
Metode Pengambilan Sampel dan Besaran Sampel
Metode Pengujian Salmonella spp.
Pengujian Resistensi Antibiotik (Kepekaan Mikroorganisme)
Analisis Data

6
6
6
6
7
7
10
11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pengujian Salmonella spp. pada Daging Itik
Salmonella spp. yang Resisten terhadap Antibiotik di Daging Itik

12
12
15

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
Ucapan Terima Kasih

19
19
19
19

DAFTAR PUSTAKA

19

LAMPIRAN

23

RIWAYAT HIDUP

22

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Karakteristik pertumbuhan Salmonella spp.
Besaran sampel setiap peternakan itik di Kabupaten Bogor
Interpretasi hasil uji Salmonella spp. pada TSIA dan LIA
Hasil reaksi biokimiawi Salmonella spp.

3
7
8
10

5
6
7
8

Standar interpretasi diameter zona terang atau hambat
Hasil pengujian Salmonella spp. dan persentase yang melebihi batas
maksimum cemaran mikroba yang ditetapkan oleh SNI
Gambaran koloni dari contoh dan uji biokimiawi yang diduga
Salmonella spp.
Persentase Salmonella spp. yang resisten terhadap beberapa antibiotik

11
12
13
15

DAFTAR GAMBAR
1
2

3

Koloni yang diduga Salmonella spp. pada media XLDA, BGA, TSIA,
LIA, SCA, dan indol
Tingkat kepekaan Salmonella spp. terhadap antibiotik eritromisin (E),
enrofloksasin (ENR), trimetoprim sulfametoksazol (SXT),
streptomisin (S), sefalotin (KF), ampisilin (AMP), asam nalidiksat
(NA), kloramfenikol (C), tetrasiklin (TE), dan gentamisin (CN)
Salmonella spp. yang resisten terhadap antibiotik

13

16
17

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan protein hewani yang aman dan bermutu baik merupakan suatu
tuntutan konsumen pada saat ini. Untuk memenuhi tuntutan tersebut pemerintah
dan industri peternakan mengembangkan suatu usaha ternak unggas yang
diharapkan mampu menghasilkan sumber protein hewani yang memiliki kualitas
produksi yang baik serta aman untuk dikonsumsi. Salah satu ternak unggas yang
mulai banyak dikembangkan saat ini adalah itik atau bebek (dalam bahasa Jawa).
Itik yang dijinakkan oleh manusia disebut Anas domesticus, yang dahulunya
berasal dari itik liar (Anas moscha) yang berasal dari Amerika Utara (Prihatman
2000). Itik merupakan salah satu sumber protein hewani yang tinggi sehingga
daging itik memiliki nilai gizi yang baik. Kebutuhan konsumsi daging itik yang
semakin meningkat setiap tahunnya, memaksa dilakukannya budidaya peternakan
itik intensif. Konsumsi daging itik yang tinggi dilihat dari banyaknya restoran
atau warung makan yang menjual berbagai macam daging olahan itik. Cita rasa
daging itik yang khas menyebabkan sebagian masyarakat Indonesia menyukai
daging itik. Untuk menghasilkan daging itik yang berkualitas baik maka daging
itik yang disediakan haruslah aman dan layak dikonsumsi oleh masyarakat. Hal
ini sesuai dengan program pemerintah untuk menghasilkan pangan yang aman,
sehat, utuh, dan halal (ASUH).
Salah satu bahaya keamanan pangan adalah adanya kontaminasi dari
mikroorganisme terutama oleh bakteri patogen yang dapat membahayakan
kesehatan konsumen. Salah satu mikroorganisme patogen yang penting dari
aspek kesehatan masyarakat dan keamanan pangan adalah Salmonella spp.
Salmonella spp. merupakan salah satu bakteri dari famili Enterobacteriaceae, yang
sering digunakan sebagai indikator higiene dan sanitasi dalam pengolahan pangan
asal hewan. Menurut Kusumaningsih (2010), Salmonella spp. dapat menginfeksi
manusia jika mencemari makanan yang dikonsumsi (foodborne zoonoses).
Peningkatan permintaan konsumen untuk mendapatkan daging tidak
diimbangi dengan jumlah produksi yang dihasilkan oleh peternak. Hal ini
menjadikan peternak terus memacu untuk meningkatkan produksi itik dengan
menambahkan antibiotik baik secara sengaja atau tidak sengaja pada pakan atau
minuman. Penggunaan antibiotik dalam pakan dan minuman yang tidak
terkendali menyebabkan sulitnya pengawasan yang dilakukan oleh pihak
berwenang.
Penggunaan antibiotik di peternakan bertujuan untuk mengobati penyakit,
mencegah terjadinya penyakit dengan menghambat pertumbuhan mikroorganisme
patogen, dan sebagai bahan tambahan dalam pakan hewan (feed additive) yang
dapat membantu proses metabolisme yang ada dalam tubuh sehingga berfungsi
sebagai pemacu pertumbuhan (growth promotor). Pemberian antibiotik juga
sering digunakan sebagai feed additive yang dapat meningkatkan efisiensi pakan.
Pemakaian antibiotik dalam waktu yang lama dan terus menerus akan
berpengaruh secara signifikan terhadap ketahanan bakteri baik patogen maupun
mikroflora normal di dalam tubuh makhluk hidup. Hal ini juga secara tidak
langsung dapat menimbulkan resistensi mikroorganisme patogen, ketergantungan
terhadap penggunaan antibiotik, dan akan sangat membahayakan kesehatan

2
konsumen bila diberikan secara berlebihan dan tanpa pengawasan. Antibiotik
dalam peraturan peredarannya untuk pengobatan ternak harus dengan resep dokter
hewan, namun pada kenyataannya berbagai antibiotik dapat diperoleh dengan
mudah di toko obat hewan atau koperasi peternak sehingga kejadian resistensi
antibiotik pada hewan telah menjadi perhatian utama dalam bidang kesehatan dan
keamanan pangan secara global.

Perumusan Masalah
Daging itik harus aman dan layak dikonsumsi oleh masyarakat. Keberadaan
Salmonella spp. dan kejadian resitensi Salmonella spp. pada beberapa antibiotik
dapat menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius. Hal ini disebabkan
oleh infeksi Salmonella spp. pada manusia dapat menyebabkan sakit dan
Salmonella spp. telah banyak mengalami resistensi sehingga sulit untuk
membunuh bakteri tersebut. Pada penelitian ini akan dilakukan pengujian
Salmonella spp. yang resisten terhadap beberapa antibiotik yang diisolasi dari
daging itik di Kabupaten Bogor. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
perhatian bagi peternak itik, pelaku usaha pangan asal hewan, dan pemerintah
agar pangan asal hewan yang dihasilkan aman dan layak dikonsumsi.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran keberadaan
Salmonella spp. di dalam daging itik dan gambaran Salmonella spp. yang resisten
terhadap beberapa antibiotik pada daging itik di Kabupaten Bogor.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi ilmiah mengenai
keberadaan Salmonella spp. pada daging itik yang berasal dari peternakan itik di
Kabupaten Bogor dan informasi ilmiah mengenai adanya resistensi beberapa
antibiotik di Salmonella spp. pada daging itik sehingga dapat sebagai bahan
pertimbangan pemerintah dalam menetapkan kebijakan mengenai pengawasan
yang lebih intensif terhadap pangan asal hewan yang dihasilkan.

Ruang Lingkup Penelitian
Rencana kegiatan penelitian ini dilakukan selama delapan bulan dengan
lingkup kegiatan yaitu mengisolasi Salmonella spp. pada daging itik yang berasal
dari peternakan itik di Kabupaten Bogor dan melakukan pengujian resistensi
beberapa antibiotik terhadap Salmonella spp. pada daging itik.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Salmonella spp.
Bakteri Salmonella spp. merupakan penyebab utama foodborne zoonoses
pada manusia. Bakteri Salmonella spp. secara alami hidup pada saluran
gastrointestinal hewan, baik yang terdomestikasi maupun liar, serta serangga.
Namun, bakteri ini paling banyak ditemukan pada unggas (Adzitey et al. 2012).
Peternakan dan pangan asal hewan menjadi sumber potensial yang menyebabkan
infeksi pada manusia. Manusia yang terinfeksi dapat bertindak sebagai karier
setelah terinfeksi dan dapat menularkan pada manusia lainnya melalui feses untuk
waktu yang cukup lama. Selain itu, Salmonella spp. juga dapat diisolasi dari
tanah, air, dan sampah yang terkontaminasi oleh feses (Ray 2001). Salmonella
spp. sering menyebabkan kesakitan pada manusia dan beberapa hewan yang
sering disebut dengan salmonelosis. Kejadian salmonelosis sebaiknya dilakukan
dengan penggunaan antibiotik yang sesuai sehingga pencegahan infeksi dapat
dilakukan dengan memperhatikan kondisi sanitasi lingkungan dan higiene
personal.
Bakteri Salmonella spp. termasuk ke dalam famili Enterobacteriaceae yang
merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang langsing dengan ukuran
0.7-1.5 x 2.5 µm, bersifat fakultatif anaerobik, tidak berspora, oksidase negatif,
dan katalase positif. Sebagian besar strain motil, kecuali Salmonella Gallinarum
(S. Gallinarum) dan S. Pullorum, serta memfermentasi glukosa dengan
membentuk gas dan asam (Cox 2000). Menurut Ray (2001), umumnya
Salmonella spp. memfermentasi dulcitol, tetapi tidak laktosa, menggunakan sitrat
sebagai sumber karbon, menghasilkan hidrogen sulfida, dekarboksilase lisin dan
ornitin, tidak menghasilkan indol, dan negatif untuk urease. Salmonella spp.
merupakan bakteri mesofilik dengan suhu pertumbuhan optimum antara 35-37 °C
dan tetap dapat tumbuh pada kisaran suhu 5-46 °C, Salmonella spp. juga dapat
bertahan hidup pada temperatur 20 °C selama 16 minggu (Cox 2000). Bakteri ini
mati pada suhu dan waktu pasteurisasi (62-65 °C selama 30 menit atau 85-95 °C
selama 1-2 menit), sensitif pada pH rendah (≤ 4.5) dan tidak berbiak pada aw
kurang dari 0.94, khususnya jika dikombinasikan dengan pH 5.5 atau kurang.
Sel-selnya dapat bertahan pada pembekuan dan bentuk kering dalam waktu yang
lama. Salmonella spp. mampu berkembang biak pada berbagai makanan tanpa
memengaruhi tampilan kualitasnya. Karakteristik pertumbuhan Salmonella spp.
dapat dilihat pada Tabel 1 (Norhana et al. 2010).
Tabel 1 Karakteristik pertumbuhan Salmonella spp.
Parameter
Suhu (°C)
pH
Daya tahan terhadap
garam (%)
Aktivitas air (aw)

Minimum
5.2 (sebagian serotipe tidak
berkembang pada suhu < 7.0)
3.8
-

Optimum
35-37 °C

Maksimum
45-47 °C

5.5-5.7
-

9.5
4-5

0.94

-

> 0.99

4
Bakteri Salmonella spp. dikelompokkan berdasarkan antigen somatik (O),
flagela (H), dan kapsular (Vi). Menurut The Center for Food Security and Public
Health atau CFSPH (2005), saat ini terdapat lebih dari 2500 serovar Salmonella
spp. yang ditempatkan di bawah dua spesies, yaitu S. enterica dan S. bongori.
S. enterica terdiri atas enam subspesies yang ditulis dengan angka romawi yaitu I
(enterica), II (salamae), IIIa (arizone), IIIb (diarizonae), IV (houtenae), dan VI
(indica). Penulisan nama dari serotipe tersebut dapat dipersingkat dari nama
lengkapnya menjadi genus dan serotipenya saja. Menurut Baumler et al. (1998)
dan Bhunia (2008), grup subspesies I termasuk ke dalam serotipe penyebab
penyakit pada manusia dan hewan berdarah panas, seperti S. enterica,
S. Typhimurium, S. Paratyphimurium, S. Sendai, S. Enteritidis, S. Cholerasuis,
S. Dublin, S. Gallinarum, S. Pullorum, dan S. Abortusovis. Grup subspesies II
sampai dengan VI adalah serovar yang biasa ditemukan pada hewan berdarah
dingin. Klasifikasi dan deteksi dari bakteri ini didasarkan pada uji serologis dan
phage susceptibility assay.
Informasi mengenai subspesies dalam sistem nomenklatur moderen
diabaikan, sebagai contoh penamaan S. enterica subspesies I serovar Enteritidis
pada kalimat sekarang ini ditulis sebagai S. Enteritidis. Penulisan sistem
klasifikasi dan nomenklatur Salmonella spp. telah diseragamkan untuk
menghindari perbedaan dan kesalahan penulisan (Brenner et al. 2003; Bhunia
2008).

Cemaran Salmonella spp. pada Daging Itik
Bakteri Salmonella spp. tersebar diseluruh dunia, dengan reservoir utama
yaitu manusia dan hewan. Rute penularan Salmonella spp. terutama terjadi
melalui fekal-oral dan sebagai penyebab utama foodborne illness pada manusia
(Hur et al. 2012). Bakteri ini umumnya terdapat di saluran pencernaan dan
kantung empedu hewan tanpa menimbulkan gejala klinis, kemudian bakteri akan
dikeluarkan bersama dengan feses. Salmonella spp. dapat tinggal menetap di
kelenjar getah bening mesenterika atau tonsil tanpa terjadi shedding, tetapi bakteri
dapat menjadi aktif kembali akibat adanya faktor-faktor pemicu, seperti cekaman,
stres, ataupun tekanan yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh.
Peternakan dan pangan asal hewan menjadi sumber potensial penyebab infeksi
pada manusia.
Menurut CFSPH (2005), serotipe S. Enteritidis dan
S. Typhimurium merupakan serotipe paling banyak yang ditemukan pada kasus
salmonelosis.
Prevalensi Salmonella spp. yang pernah diisolasi pada ayam segar di Inggris
sebesar 25% yang terdiri dari serotipe S. Hadar, S. Enteritidis, dan S. Indiana
(Jørgensen et al. 2002). Menurut Bouzidi et al. (2012), kontaminasi serovar
Salmonella pernah terjadi di peternakan ayam petelur yaitu S. Enteritidis pada
Maret sampai Oktober 2008 dan Maret sampai November 2009 di Annaba dan
Eltarf, Algeria. Beberapa serotipe dari S. Enteritidis antara lain S. Kentucky,
S. Hadar, S. Heidelberg, S. Manhattan, dan S. Virchow, sedangkan S. Dublin,
S. Typhimurium, dan S. Albany hanya ditemukan sekali selama penelitian tersebut
dilakukan. Cha et al. (2013) menjelaskan bahwa prevalensi serotipe Salmonella
di itik sebesar 43.4%, sedangkan prevalensi kejadian Salmonella sebesar 65.2%

5
pada peternakan itik di peternakan Pekin, Korea Selatan. Identifikasi serotipe
S. enterica terdiri dari S. Typhimurium, S. Enteritidis, dan S. London.
Konsumsi daging itik yang berasal dari peternakan yang selalu
menggunakan antibiotik pada pakan dan minumannya akan berakibat terhadap
kejadian resistensi antibiotik. Pemberian antibiotik yang berlebihan dan tanpa
pengawasan akan menyebabkan ketergantungan terhadap penggunaan antibiotik
dan sangat membahayakan konsumen. Hal ini diperkuat oleh Kang et al. (2005)
yang menerangkan bahwa penggunaan antibiotik dalam pakan berhubungan erat
dengan kejadian resistensi antimikrobial terhadap bakteri.

Resistensi Antibiotik pada Salmonella spp.
Antibiotik merupakan suatu senyawa atau bahan dengan berat molekul kecil
yang diproduksi atau dihasilkan oleh cendawan ataupun bakteri yang dapat
digunakan untuk membunuh (bakterisidal), menghambat (bakteriostatik), dan
mengobati infeksi akibat pertumbuhan mikroorganisme, khususnya bakteri.
Antibiotik dapat digunakan sebagai pengobatan pada manusia dan hewan (Bozen
et al. 1999).
Bahaya resistensi antibiotik merupakan salah satu masalah besar yang dapat
mengancam kesehatan masyarakat. Hampir semua jenis bakteri saat ini menjadi
lebih tahan dan kurang responsif terhadap penggunaan antibiotik. Resistensi
antibiotik dapat dihambat dengan penggunaan antibiotik yang sesuai pada
pengobatan infeksi tertentu. Menurut Noor et al. (2006), antibiotik banyak
digunakan secara meluas pada hewan untuk pengobatan dan pencegahan penyakit
serta sebagai imbuhan pakan. Sekitar 40% antibiotik dalam pakan ternak
digunakan sebagai antimicrobial growth promotor (AGP) untuk pemacu
pertumbuhan dan mengurangi kejadian penyakit. Pemakaian antibiotik sebagai
AGP dengan konsenterasi kecil yaitu sekitar 2.5-12.5 mg/kg (ppm) dapat
mengakibatkan terjadinya resistensi bakteri patogen terhadap antibiotik. Menurut
Yang et al. (2010), kejadian resistensi antibiotik dari bakteri yang didapatkan dari
bahan pangan asal hewan di negara berkembang sangat tinggi. Hal ini disebabkan
oleh pemakaian antibiotik di peternakan yang tidak terkendali.
Joint Expert Advisory Committee on Antibiotic Resistance Australia atau
JETACAR (1999) melaporkan bahwa bakteri patogen (Salmonella,
Campylobacter, Enterococci, dan Escherichia coli) asal hewan yang telah resisten
terhadap antibiotik dapat mentransfer gen yang resisten dari hewan ke manusia
melalui rantai makanan ataupun kontak langsung. Antibiotik yang biasa
digunakan sehingga sudah terjadi resistensi antara lain kloramfenikol, ampisilin,
dan trimetoprim-sulfametoksazol. Kejadian resistensi terhadap antibiotik tersebut
cenderung meningkat setiap tahunnya.
Kejadian resistensi antibiotik terhadap Salmonella spp. sudah banyak
dilaporkan di beberapa negara termasuk Indonesia. Menurut Adzitey et al.
(2012), prevalensi serovar Salmonella yang ditemukan pada itik di Penang,
Malaysia berkisar 23.5% dari seluruh serovar yang ditemukan ternyata resisten
terhadap antibiotik eritromisin, tetapi masih peka terhadap antibiotik sefalosporin,
gentamisin, dan ceftriakson. Stevens et al. (2006) melaporkan bahwa beberapa
serotipe Salmonella spp. ditemukan pada sampel daging yang berasal dari rumah
potong hewan dan pejual daging di Dakar, Senegal. Hampir 62% dari total

6
bakteri yang diuji tersebut resisten terhadap beberapa antibiotik nitrofurans,
sebagian mengalami resistensi terhadap streptomisin (22%), sulfametoksazol
(15%), spektinomisin (1%), kloramfenikol (1%), dan tetrasiklin (0.4%). Selain
itu, ditemukan adanya level resistensi yang cukup rendah dari antibiotik golongan
quinolon yang diidentifikasi. Sekitar 16% dari strain Salmonella spp. telah
mengalami multiresisten terhadap dua atau lebih antibiotik.
Menurut Yildrim et al. (2011), Salmonella spp. yang terdeteksi pada karkas
ayam mentah di Anatolia Tengah telah mengalami resistensi dengan beberapa
antibiotik, diantaranya penisilin, oksasilin, klindamisin, vankomisin, eritromisin,
dan ampisilin dengan persentase berturut-turut adalah 100%, 97%, 97%, 92.6%,
89.7%, dan 85.2%. Selain itu, Salmonella spp. yang ditemukan pada karkas ayam
juga resisten terhadap antibiotik lainnya yaitu tetrasiklin (67.6%), streptomisin
(61.7%), neomisin (55.8%), sefalotin (52.9%), gentamisin (14.7%), kloramfenikol
(10.2%), sefotaksim (2.9%), dan amikasin (2.9%). Tingginya kejadian resistensi
terhadap Salmonella spp. akan menjadi masalah kesehatan bagi konsumen
(kesehatan masyarakat) sehingga diperlukan suatu pengawasan yang dilakukan
oleh pemerintah untuk mencegah meningkatnya resistensi antibiotik.

3 METODE
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah daging itik, buffer peptone
water (BPW) 0.1% (Oxoid), Rappaport-Vassiliadis (Oxoid), xylose lysine
deoxycholate (XLD) agar (Oxoid), brilliant green agar (Oxoid), triple sugar iron
agar (Oxoid), lysin iron agar (Oxoid), urea broth (Oxoid), tryptose broth (TB),
reagen Kovacs, MR-VP, larutan α-naphthol, larutan KOH 40 %, indikator MR,
Simmon citrate agar atau SCA (Oxoid), sulfite indole motylity agar (SIMA),
lysine decarboxylase broth (LDB), kalium sianida broth (KCNB), dulcitol broth,
malonate broth, phenol red lactose broth, phenol red sucrose broth, antibiotik,
nutrient agar (NA) (Oxoid), brain heart infusion atau BHI (Oxoid), McFarland
broth 0.5, Muller Hinton agar (MHA), dan alkohol.

Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah kertas antibiotik atau
antibiotic disc (Oxoid), timbangan digital, gunting steril, pinset steril, pisau steril,
gelas erlenmeyer, tabung reaksi (20-50 ml) steril, vortex atau pengocok mekanis,
cawan petri steril (diameter 100 mm dan tinggi 15 mm), kapas, kantung plastik
steril, refrigerator, penangas air, ose, stomacher, autoklaf, label, spidol, tabung
Durham, waterbath, inkubator 35-37 °C dan inkubator 42 °C.

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2013 sampai dengan Januari 2014.
Penelitian dilakukan di peternakan itik di Kabupaten Bogor, Laboratorium Bagian

7
Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet), Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor (FKH IPB), Balai Besar Penelitian Veteriner (BBalitvet) Bogor,
dan Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan (BPMSPH) Bogor.

Metode Pengambilan Sampel dan Besaran Sampel
Metode penelitian menggunakan cross sectional study. Sampel itik diambil
secara acak (random sampling) dari 5 kecamatan di Kabupaten Bogor. Besaran
sampel dihitung dengan menggunakan program WinEpiscope 2.0 dengan
menggunakan asumsi tingkat kepercayaan 95%, prevalensi dugaan 50%, dan
tingkat kesalahan 10% sehingga diperoleh besaran sampel sebanyak 52. Besaran
sampel tiap kelompok ternak dihitung menurut alokasi proporsional (proportional
allocation) dari total populasi peternakan itik, yang dapat dilihat pada Tabel 2
(Disnakkan Pemkab Bogor 2012).
Tabel 2 Besaran sampel peternak itik di Kabupaten Bogor
No.

Kecamatan

Desa

1.

Cariu

2.
3.
4.

Gunung sindur
Klapanunggal
Parung Panjang

5.

Ciomas
Jumlah

Mekar Wangi
Karya Mekar
Pabuaran
Cikahuripan
Parung Panjang
Kabasiran
Laladon

Jumlah peternak
15
15
10
11
20
12
15
98

Besaran sampel
peternak
8
8
5
7
10
6
8
52

Metode Pengujian Salmonella spp.
Pengujian yang akan dilakukan mengacu pada Standar Nasional Indonesia
(SNI) 2897:2008 tentang Metode Pengujian Cemaran Mikroba dalam Daging,
Telur, dan Susu serta Hasil Olahannya (BSN 2008), dengan modifikasi metode
berdasarkan Lukman dan Purnawarman (2008). Secara garis besar tahapan atau
langkah pengujian adalah:
Uji Pra Pengayaan (Pre-Enrichment)
Sampel daging itik ditimbang sebanyak 25 gram secara aseptik dan
dimasukkan dalam erlenmeyer steril yang berisi 225 ml BPW 0.1%. Sampel
dihomogenkan dengan stomacher selama 1-2 menit di dalam plastik steril,
kemudian sampel diinkubasi pada suhu 35-37 °C selama 16-20 jam.
Uji Pengayaan (Enrichment)
Biakan pra-pengayaan kemudian diambil 0.1 ml inokulan dari BPW 0.1%
yang telah diinkubasi dan dimasukkan ke dalam 10 ml RV medium dalam tabung
reaksi. Media RV diinkubasi pada suhu 42 ± 2 °C selama 24 ± 2 jam.

8
Uji Inokulasi (Isolasi) pada Media Selektif
Dua atau lebih inokulum diambil dengan ose dari media RV dan digoreskan
di atas media selektif XLD, selanjutnya dengan metode strik digoreskan dengan
batang ose baru. Cawan petri yang telah digores tersebut diinkubasi pada suhu
35-37 °C selama 24 ± 2 jam. Pada media XLD koloni terlihat merah muda
dengan atau tanpa titik mengkilat atau terlihat hampir seluruh koloni hitam.
Uji Biokimiawi
Koloni yang diduga sebagai Salmonella spp. diambil, kemudian
diinokulasikan pada media triple TSIA dan LIA dengan cara koloni yang diduga
Salmonella spp. ditusukkan ke dasar media agar, selanjutnya digores pada media
agar miring. Media diinkubasikan pada suhu 35-37 °C selama 24 ± 2 jam. Amati
koloni spesifik Salmonella spp. dengan hasil reaksi seperti tercantum pada
Tabel 3.
Tabel 3 Interpretasi hasil uji Salmonella spp. pada TSIA dan LIA
Media
TSIA
LIA

Agar miring/slant
alkalin/K
(merah)
alkalin/K
(ungu)

Dasar agar/bottom
asam/A
(kuning)
alkalin/K
(ungu)

H2S
positif
(hitam)
positif
(hitam)

Gas
negatif/
positif
negatif/
positif

Uji biokimiawi lainnya yang dilakukan, antara lain (BSN 2008):
1. Uji Urease
Koloni dari positif TSIA diinokulasikan dengan ose ke urea broth.
Media diinkubasikan pada suhu 35 °C selama 24 ± 2 jam. Hasil uji spesifik
Salmonella adalah negatif uji urease.
2. Uji Indol
Koloni dari media TSIA diinokulasikan pada TB dan diinkubasi pada
suhu 35 °C selama 24 ± 2 jam. Sebanyak 0.2 ml sampai dengan 0.3 ml reagen
Kovacs ditambahkan. Hasil uji positif ditandai dengan adanya cincin merah
dipermukaan media. Hasil uji negatif ditandai dengan terbentuknya cincin
kuning. Hasil uji spesifik Salmonella spp. adalah negatif uji indol.
3. Uji Voges-Proskauer (VP)
Biakan dari media TSIA diambil dengan ose dan diinokulasikan ke
tabung yang berisi 10 ml media MR-VP, kemudian diinkubasi pada suhu 35 °C
selama 48 ± 2 jam. Sebanyak 5 ml MR-VP dipindahkan ke dalam tabung
reaksi dan ditambahkan 0.6 ml larutan α-naphthol dan 0.2 ml KOH 40 %,
kemudian digoyang-goyang sampai tercampur dan didiamkan.
Untuk
mempercepat reaksi ditambahkan kristal kreatin. Hasil dibaca setelah 4 jam.
Hasil uji positif apabila terjadi perubahan warna pink sampai merah delima.
Umumnya Salmonella spp. memberikan hasil negatif untuk uji VP (tidak
terjadi perubahan warna pada media).
4. Uji Methyl Red (MR)
Biakan dari media TSIA diambil dengan ose dan diinokulasikan ke
dalam tabung yang berisi 10 ml media MR-VP, kemudian diinkubasi pada suhu
35 °C selama 48 ± 2 jam. Sebanyak 5 tetes sampai dengan 6 tetes indikator

9

5.

6.

7.

8.

MR ditambahkan pada tabung. Hasil uji positif ditandai dengan adanya difusi
warna merah ke dalam media. Hasil uji negatif ditandai dengan terjadinya
warna kuning pada media. Umumnya Salmonella spp. memberikan hasil
positif untuk uji MR.
Uji Sitrat
Koloni dari TSIA diinokulasikan ke dalam SCA dengan ose, kemudian
diinkubasi pada suhu 35 °C selama 96 ± 2 jam. Hasil uji positif ditandai
adanya pertumbuhan koloni yang diikuti perubahan warna dari hijau menjadi
biru. Hasil uji negatif ditandai dengan tidak adanya pertumbuhan koloni atau
tumbuh sangat sedikit dan tidak terjadi perubahan warna. Umumnya
Salmonella spp. memberikan hasil positif pada uji sitrat.
Uji Lysine Decarboxylase Broth (LDB)
Satu ose koloni dari TSIA dan diinokulasikan ke dalam LDB, kemudian
diinkubasi pada suhu 35 °C selama 48 ± 2 jam dan diamati setiap 24 jam.
Bakteri Salmonella memberikan reaksi positif ditandai dengan terbentuknya
warna ungu pada seluruh media dan hasil reaksi negatif memberikan warna
kuning. Jika hasil reaksi meragukan (bukan ungu atau bukan kuning) beberapa
tetes 0.2 % bromcresol purple dye ditambahkan dan diamati perubahan warna
yang terjadi.
Uji Kalium Sianida (KCN)
Satu ose biakan dari TSIA diinokulasikan ke media TB, kemudian
diinkubasi pada suhu 35 °C selama 24 ± 2 jam. Satu ose koloni dari TB
diambil dan diinokulasikan ke dalam KCNB. Media diiinkubasi pada suhu
35 °C selama 48 ± 2 jam. Hasil uji positif ditunjukkan dengan adanya
pertumbuhan yang ditandai dengan kekeruhan. Hasil uji negatif ditunjukkan
dengan tidak adanya pertumbuhan pada media. Bakteri Salmonella spp.
memberikan hasil negatif pada uji KCN.
Uji Gula:
a. Uji phenol red dulcitol broth atau purple broth base dengan 0.5 % dulcitol.
Koloni dari TSIA diambil dan inokulasikan pada medium dulcitol
broth, diinkubasi pada suhu 35 °C dan diamati setiap 24 jam dan 48 ± 2 jam.
Kebanyakan Salmonella spp. memberikan reaksi positif ditandai dengan
pembentukan gas dalam tabung Durham dan warna kuning (pH asam) pada
media. Hasil reaksi negatif ditandai dengan tidak terbentuknya gas pada
tabung Durham dan pada media terbentuk warna merah (pH basa) untuk
indikator phenol red atau ungu untuk indikator bromcresol purple.
b. Uji malonate broth
Satu ose dari TB dipindahkan ke dalam malonate broth, kemudian
diinkubasi pada suhu 35 °C dan diamati setiap 24 jam dan 48 ± 2 jam. Hasil
uji positif ditunjukkan dengan adanya perubahan warna menjadi biru.
Bakteri Salmonella spp. memberikan reaksi negatif yang ditandai dengan
adanya warna hijau atau tidak ada perubahan warna.
c. Uji phenol red lactose broth
Koloni dari TSIA miring diinokulasikan ke dalam phenol red lactose
broth, kemudian diinkubasikan pada suhu 35 °C dan diamati setiap 24 jam
dan 48 ± 2 jam. Hasil reaksi positif ditandai dengan produksi asam (warna
kuning) dengan atau tanpa gas. Bakteri Salmonella spp. memberikan hasil
reaksi negatif ditandai dengan tidak ada perubahan warna dan pembentukan

10
gas.
d. Uji phenol red sucrose broth
Koloni dari TSIA miring diinokulasikan ke dalam phenol red sucrose
broth, kemudian diinkubasi pada suhu 35 °C selama 24 jam dan 48 ± 2 jam.
Hasil uji positif ditandai dengan adanya perubahan warna (kuning) dan
dengan atau tanpa pembentukan gas. Bakteri Salmonella spp. memberikan
hasil uji negatif ditandai dengan tidak ada perubahan warna dan
pembentukan gas.
Reaksi biokimia dilakukan pada pengujian Salmonella spp. Secara garis
besar rincian hasil reaksi uji biokimiawi dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil reaksi biokomiawi Salmonella spp.
No.

Uji substrat

1.
2.

Glukosa (TSI)
Lysine decarboxylase
(LIA)
H2S (TSI dan LIA)
Urease
Lysine decarboxylase
broth
Kalium sianida broth

3.
4.
5.
6.

Positif
Tusukan kuning
Tusukan ungu

Hasil reaksi
Negatif
Tusukan merah
Tusukan kuning

Hitam
Merah muda-merah
Ungu

Tidak hitam
Tetap kuning
Kuning

Salmonella spp.
+
+
+
+

Ada pertumbuhan

Tidak ada
pertumbuhan
7.
Phenol red dulcitol
Kuning dengan
Tidak berubah
a)
broth
atau tanpa gas
warna dan tanpa
gas
8.
Malonat broth
Biru
Tidak berubah
b)
warna
9.
Uji indol
Permukaan merah
Permukaan kuning
10.
Phenol red lactose broth Kuning dengan
Tidak berubah
atau tanpa gas
warna dan tidak
terbentuk gas
11.
Phenol red sucrose
Kuning dengan
Tidak berubah
broth
atau tanpa gas
warna dan tidak
terbentuk gas
12.
Uji Voges-Proskauer
Merah muda-merah Tidak berubah
warna
13.
Uji methyl red
Merah
Kuning
+
14.
Uji Simmons-citrate
Biru ada
Tidak berubah
V
pertumbuhan
warna dan tidak
ada pertumbuhan
Keterangan: a). mayoritas kultur S. Arizonae adalah negatif; b). mayoritas kultur S. Arizonae
adalah positif dan V adalah variasi.

Pengujian Resistensi Antibiotik (Kepekaan Mikroorganisme)
Pengujian kepekaan bakteri Salmonella spp. terhadap antibiotik dilakukan
dengan metode difusi cakram (disc diffusion method) dan interpretasi hasil
mengacu pada Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI 2012).
Interpretasi hasil sesuai dengan Tabel 5. Bakteri Salmonella spp. yang resisten
diinokulasikan pada media padat NA miring, dipindahkan 1 ose ke dalam BHI,

11
kemudian diinkubasi pada suhu 35 °C selama 24 jam hingga menjadi keruh.
Sebanyak 0.1 ml bakteri yang telah dimurnikan disuspensikan dalam BPW 0.1% 9
ml hingga kekeruhannya menyamai dengan Mc Farland 0.5 dengan menggunakan
vortex mixer. Suspensi bakteri diinokulasikan secara merata pada MHA padat
sebanyak 0.1 ml dengan menggunakan hockey stick. Kertas kosong (blank disc)
dan kertas antibiotik atau antibiotic disc ditempelkan di dalam MHA padat yang
sudah berisi suspensi bakteri. Antibiotik yang digunakan adalah ampisilin 10
µg/ml, sefalotin 30 µg/ml, streptomisin 10 µg/ml, asam nalidiksat 30 µg/ml,
eritromisin 15 µg/ml, kloramfenikol 30 µg/ml, trimetoprim sulfametoksazol 25
µg/ml, dan tetrasiklin 30 µg/ml. Inkubasi MHA di dalam inkubator pada suhu
37 °C selama 24 jam.
Isolat bakteri ditentukan kepekaannya terhadap
antimikrobial dengan mengukur diameter zona terang atau hambat yang terbentuk.
Penentuan susceptible (S), intermediate (I), dan resistant (R) ditentukan melalui
ukuran diameter zona terang atau hambat yang terbentuk berdasarkan
rekomendasi standar CLSI.
Tabel 5 Standar interpretasi diameter zona terang atau hambat
No.

Grup
antimikroba

1.
2.
3.

β-laktam
Sefalosporin
Aminoglikosida

Antimikroba

Isi disk
(µg)

Ampisilin (AMP)
10
Sefalotin (KF)
30
Gentamisin (CN)
10
Streptomisin (S)
10
4.
Fluoroquinolon
Siprofloksasin (CIP)
5
Enrofloksasin (ENR)
5
Asam nalidiksat (NA)
30
5.
Makrolida
Eritromisin (E)
15
6.
Fenikol
Kloramfenikol (C)
30
7.
Potentiated
Trimetoprim
1.25/ 23.75
sulfonamide
sulfametoksazol (SXT)
8.
Tetrasiklin
Tetrasiklin (TE)
30
Keterangan: S= susceptible; I= intermediate; R= resistant

Standard interpretasi hasil
diameter zona terang atau
hambat (mm)
S
I
R
≥17
14-16
≤13
≥18
15-17
≤14
≥15
13-14
≤12
≥15
12-14
≤11
≥31
21-30
≤20
≥23
17-22
≤16
≥19
14-18
≤13
≥23
14-22
≤13
≥18
13-17
≤12
≥16
11-15
≤10
≥19

15-18

≤14

Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan menyajikan hasil uji
keberadaan Salmonella spp. daging itik dan Salmonella spp. yang resisten
terhadap antibiotik dalam bentuk tabel dan gambar. Analisis deskriptif adalah
bidang statistik yang membahas tentang metode mengumpulkan,
menyederhanakan, dan menyajikan data sehingga bisa memberikan informasi
(Mattjik dan Sumertajaya 2002). Analisis data tersebut akan dilakukan dengan
menggunakan program Microsoft Excel 2007.

12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pengujian Salmonella spp. pada Daging Itik
Sebanyak 52 sampel daging itik yang berasal dari peternakan itik di
Kabupaten Bogor diuji keberadaan Salmonella spp. dengan menggunakan metode
pengujian sesuai SNI 2897:2008 tentang Metode Pengujian Cemaran Mikroba
dalam Daging, Telur, dan Susu serta Hasil Olahannya (BSN 2008) menunjukkan
hasil tiga sampel positif Salmonella spp. (5.8 %). Hasil uji dapat dilihat pada
Tabel 6.
Tabel 6 Hasil pengujian Salmonella spp. dan persentase yang melebihi batas
maksimum cemaran mikroba yang ditetapkan oleh SNI
Kecamatan
Jumlah sampel positif
Jonggol-Cariu (n= 16)
1 (6.3%)
Gunung Sindur (n= 5)
1 (20%)
Klapanunggal (n= 7)
0
Parung Panjang (n= 16)
1 (6.3%)
Ciomas (n= 8)
0
Total (n= 52)
3 (5.8%)
Keberadaan Salmonella spp. pada daging itik di peternakan Kabupaten
Bogor menunjukkan telah terjadi pencemaran pada peternakan itik tersebut. Pada
Tabel 5 dapat dilihat bahwa persentase tertinggi jumlah sampel positif Salmonella
spp. ditemukan pada sampel daging itik yang berasal dari Kecamatan Gunung
Sindur (20%). Hal ini diduga disebabkan oleh pencemaran silang saat
pemotongan itik dan proses pengeluaran jeroan (eviserasi), pencemaran yang
berasal dari air yang digunakan di peternakan, serta tidak diterapkannya sanitasi
dan higiene personal oleh peternak atau pegawai peternakan.
Pencemaran silang merupakan pencemaran bahan pangan melalui berbagai
bahan pembawa, antara lain peralatan, serangga, ataupun manusia yang
menangani bahan pangan tersebut yang dapat menjadi perantara utama
(Purnawijayanti 2001). Eviserasi merupakan tahapan dengan tingkat pencemaran
silang yang tinggi pada karkas, yang dapat dilakukan secara manual maupun
otomatis (mesin). Kedua cara eviserasi berpotensi menimbulkan pencemaran
pada karkas. Pencemaran selama proses eviserasi dapat berasal dari pekerja,
peralatan, maupun kondisi hewan sendiri seperti saluran cerna yang masih terisi
penuh dengan cairan pakan atau hewan dalam kondisi sakit, misalnya diare.
Menurut Barbut (2002), sebanyak 1 ml isi saluran pencernaan unggas dapat
mengandung 109 cfu mikroorganisme sehingga dengan volume yang sedikit saja
dapat menimbulkan terjadinya pencemaran yang tinggi. Bolder (1998) dan Mead
(2005) menyatakan bahwa bakteri patogen penyebab utama infeksi pada manusia
yang paling sering teridentifikasi pada karkas yang tercemar oleh isi saluran
pencernaan adalah Salmonella dan Campylobacter.
Tahapan pengujian Salmonella spp. dengan metode SNI diawali dengan
tahapan pra pengayaan, pengayaan, dilanjutkan dengan inokulasi pada media
selektif, serta dilakukan uji biokimiawi. Pada media selektif menggunakan media

13
XLD akan terlihat koloni berwarna merah muda dengan atau tanpa titik mengkilat
atau hampir seluruh koloni terlihat berwarna hitam. Ketiga contoh yang diduga
Salmonella spp. dilanjutkan ke uji biokimiawi. Hasil identifikasi dari uji
biokimiawi ketiga sampel tersebut merupakan Salmonella spp (Tabel 7 dan
Gambar 1).
Tabel 7 Gambaran koloni dari contoh dan uji biokimiawi yang diduga Salmonella
spp.
TSIA
LIA
Indol
SCA
Slant Butt Gas H2S Slant Butt Gas H2S
Hasil
Motil
1 (12)
M
K/H
+
+
U
U
+
+
+
2 (36)
M
K/H
+
+
U
U
+
+
+
3 (52)
M
K/H
+
+
U
U/H
+
+
+
Keterangan: TSIA= triple sugar iron agar; LIA= lysine indol agar; SCA= Simmon citrate agar;
M= merah; K= kuning; H= hitam; dan U= ungu
Sampel

1

2

3

4
5
Gambar 1 Koloni yang diduga Salmonella spp. pada media: (1). XLDA; (2).
BGA; (3). TSIA dan indol; (4). LIA; dan (5). SCA
Bahan pangan asal hewan merupakan media yang baik untuk
perkembangbiakan Salmonella spp. Prevalensi infeksi Salmonella spp. pada
peternak ayam ras petelur di Kabupaten Sleman, Yogyakarta sebesar 2.8%.
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan kejadian infeksi Salmonella spp. pada
ayam adalah umur, status penyakit (salmonelosis) pada periode pemeliharaan
sebelumnya, dan pencucian kandang, sedangkan faktor-faktor yang dapat
menurunkan kejadian infeksi Salmonella spp. pada ayam adalah istirahat kandang,
tipe pakan, bentuk pakan, sanitasi lingkungan dan higiene personal peternak di
dalam kandang, pembuangan kotoran sewaktu-waktu, dan adanya pengobatan
antibiotik (Nugroho et al. 2004).
Sebanyak 50% wabah salmonelosis pada unggas dan produknya terjadi di
Inggris. World Health Organization (WHO) tahun 2006 menjelaskan bahwa
unggas dan babi merupakan sumber infeksi Salmonella spp. di beberapa negara di

14
Eropa, sedangkan di Amerika Serikat bedasarkan hasil surveilans menunjukkan
bahwa prevalensi Salmonella spp. mencapai 5.8% pada ayam pedaging, 2.2%
pada daging sapi, 17.8% pada daging ayam, dan 16.1% pada daging kalkun.
Dosis infektif Salmonella spp. bervariasi dan tergantung serovar Salmonella spp.
yang teridentifikasi, tingkat imunitas individu yang mengonsumsi makanan, dan
jenis makanan yang dikonsumsi. Menurut Lawley et al. (2008), jumlah
Salmonella spp. yang sedikit (10-100 sel bakteri) dapat menyebabkan penyakit
jika dikonsumsi, terutama bagi anak-anak, orang tua, dan orang yang memiliki
sistem imun yang rendah.
Menurut Cha et al. (2013), prevalensi kejadian Salmonella sebesar 65.2%
pada peternakan itik, sedangkan prevalensi serotipe Salmonella (S. Typhimurium,
S. Enteritidis, dan S. London) pada itik sebesar 43.4% di Pekin, Korea Selatan.
Kontaminasi serovar Salmonella (S. Enteritidis) pernah terjadi di peternakan ayam
petelur pada Maret sampai Oktober 2008 dan Maret sampai November 2009 di
Annaba dan Eltarf, Algeria (Bouzidi et al. 2012). Yan et al. (2010) menjelaskan
bahwa frekuensi kejadian Salmonella spp. dari unggas (ayam) banyak yang telah
mengalami resistensi terhadap antibiotik dan pangan asal hewan yang berasal dari
bagian Utara Cina dapat menjadi sumber kejadian multiresisten antibiotik
terhadap Salmonella spp. dan dapat membahayakan konsumen.
Manusia yang terinfeksi oleh Salmonella spp. dapat bertindak sebagai karier
setelah terinfeksi dan dapat menularkan pada manusia lainnya melalui feses untuk
waktu yang cukup lama. Salmonella spp. juga dapat diisolasi dari tanah, air, dan
sampah yang terkontaminasi oleh feses (Ray 2001). Salmonella spp. sering
menyebabkan kesakitan pada manusia dan beberapa hewan sehingga setiap
individu mempunyai peran yang penting dalam menjaga keamanan pangan dalam
setiap rantai jaringan penyediaan pangan. Keamanan pangan merupakan
tanggung jawab bersama antara produsen, pengolah, pemerintah, dan konsumen.
Pemerintah dalam hal ini berfungsi sebagai penentu kebijakan yang berkaitan
dengan keamanan pangan serta mengawasi pelanggaran atau penyalahgunaan
yang berkaitan dengan peraturan yang sudah diterapkan. Berkaitan dengan
keamanan pangan, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang nomor 18
tahun 2012 tentang pangan yang menyatakan makanan yang beredar haruslah
tidak membahayakan konsumen.
Undang-undang tersebut diikuti dengan
Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu, dan gizi
pangan. Pangan yang aman, bermutu, dan bergizi sangat penting peranannya bagi
pertumbuhan, kesehatan, dan peningkatan kecerdasan masyarakat (Rahayu dan
Djaafar 2007).
Standar Nasional Indonesia (SNI) 2897 tahun 2008 tentang metode
pengujian cemaran mikroba dalam daging, telur, dan susu serta hasil olahannya.
Batas maksimum cemaran mikroba dan batas maksimum residu dalam bahan
makanan asal hewan menetapkan bahwa standar kontaminasi Salmonella spp.
dalam pangan asal hewan (daging, telur, dan susu) adalah negatif, sedangkan
berdasarkan standar international yang mengatur tentang keamanan pangan yaitu
Codex Alimentarius Commission (CAC) hanya mengatur batas maksimum
kontaminasi Salmonella spp. pada pangan yang siap untuk dikonsumsi adalah
negatif. Federal Register of Legislative Instrument menyatakan bahwa batas
maksimum kontaminasi Salmonella spp. di Australia dan New Zealand adalah
negatif. The Food Administration Section of Ministry of Health (1995)

15
menjelaskan bahwa Eropa juga menetapkan batas maksimum kontaminasi
Salmonella spp. sama dengan Indonesia (SNI) yaitu negatif, sedangkan Amerika
Serikat tidak menetapkan standar maksimal cemaran Salmonella spp., tetapi
menerapkan sistem hazard analysis critical control point (HACCP) secara ketat
dan melakukan proses pencegahan, eliminasi dan mengurangi kontaminasi
Salmonella spp. pada pangan asal hewan. Kegiatan tersebut dievaluasi dan
dipantau oleh suatu lembaga pemerintah yaitu Food Safety and Inspection
Services (FSIS). Menurut Ray (2001), pencegahan infeksi terhadap Salmonella
spp. dapat dilakukan dengan memperhatikan kondisi sanitasi lingkungan dan
higiene personal.
Kekhawatiran saat ini terhadap aspek kesehatan manusia di seluruh dunia
adalah munculnya serotipe Salmonella spp. yang resisten terhadap antibiotik.
Penggunaan antibiotik secara terus-menerus, baik dalam rangka pengobatan
maupun penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan pada industri
peternakan dapat berpotensi menyebabkan resistensi antibiotik dan mampu
menyebarkan gen resistennya kepada mikroba lainnya. Dalam beberapa tahun
terakhir isolat Salmonella spp. yang berhasil diisolasi dari produk hewan telah
mengalami peningkatan resistensi antibiotik.

Salmonella spp. yang Resisten terhadap Antibiotik di Daging Itik
Bakteri Salmonella spp. yang ditemukan dalam penelitian ini diuji
kepekaannya terhadap beberapa antibiotik. Hasil dari pengujian menunjukkan
bahwa Salmonella spp. pada daging itik telah mengalami resistensi antibiotik
sebesar 100%. Salmonella spp. menunjukkan resistensi terhadap eritromisin
(66.7%), streptomisin (33.3%), dan kloramfenikol (33.3%), sedangkan Salmonella
spp. masih relatif sensitif terhadap enrofloksasin, trimetoprim sulfametoksazol,
sefalotin, ampisilin, asam nalidiksat, tetrasiklin, dan gentamisin (Tabel 8 dan
Gambar 2 dan 3).
Tabel 8 Persentase Salmonella spp. yang resisten terhadap beberapa antibioti