Deteksi Residu Antibiotik pada Hati Itik Berasal dari Peternakan di Kabupaten Bogor

DETEKSI RESIDU ANTIBIOTIK PADA HATI ITIK
BERASAL DARI PETERNAKAN DI KABUPATEN BOGOR

SUSAN FASELLA

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN KESEHATAN
MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Deteksi Residu
Antibiotik pada Hati Itik Berasal dari Peternakan di Kabupaten Bogor adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Susan Fasella
NIM B04100032

ABSTRAK
SUSAN FASELLA. Deteksi Residu Antibiotik pada Hati Itik Berasal dari
Peternakan di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh DENNY WIDAYA LUKMAN.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi residu antibiotik pada hati itik
yang diperoleh dari peternakan di Kabupaten Bogor. Sebanyak 53 sampel diambil
secara acak di Kabupaten Bogor sebagai unit sampel. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan metode bioassay. Hasil menunjukkan sampel hati itik yang diambil
dari peternakan di Kabupaten Bogor menunjukkan adanya residu antibiotik
(28.3%), yang berasal dari golongan aminoglikosida dan makrolida. Residu
antibiotik pada hati ditemukan dari itik yang berasal dari peternakan itik di
Ciomas (29.4%), Gunung Sindur (11.8%), Jasinga (35.3%), dan Jonggol (23.5%).
Klapanunggal merupakan kecamatan yang negatif terhadap residu antibiotik dari 5
kecamatan yang diambil sampel. Oleh karena itu perlu dilakukan kontrol terhadap
keberadaan residu antibiotik untuk menjamin kesehatan konsumen.

Kata kunci: itik, metode bioassay, residu antibiotik.

ABSTRACT
SUSAN FASELLA. Detection of Antibiotic Residue in Ducks Liver from Farms
in Bogor District. Supervised by DENNY WIDAYA LUKMAN.
The research was aimed to detect the existence of antibiotic residue in
ducks liver at poultry in Bogor District. There were 53 samples which were taken
from 5 Sub-districts in Bogor District. The research was done by bioassay method.
The result showed that antibiotic residue in ducks liver was detected positive
(32.1%) from aminoglicoside and macrolide group. Antibiotic residue came from
poultry in Ciomas Sub-district (29.4%), Gunung Sindur (11.8%), Jasinga (35.3%),
and Jonggol (23.5%). Based on aminoglicoside group, it was 3.77% came from
Jonggol Sub-district (12.5%), while tetrasiclin and penicilin was not found. In
Klapanunggal Sub-district was detected negative antibiotic residue in the result of
testing. Therefore, it is needed to control toward the excistence of antibiotics
residue in order to guarantee the consumens health.
Keywords: antibiotic residue, bioassay method, duck.

DETEKSI RESIDU ANTIBIOTIK PADA HATI ITIK
BERASAL DARI PETERNAKAN DI KABUPATEN BOGOR


SUSAN FASELLA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN KESEHATAN
MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Deteksi Residu Antibiotik pada Hati Itik Berasal dari Peternakan di
Kabupaten Bogor
Nama
: Susan Fasella
NIM
: B04100032


Disetujui oleh

Dr med vet Drh Denny W Lukman, MSi
Pembimbing

Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
Wakil Dekan FKH IPB

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan YME atas rahmat dan
karuniaNya, sehingga skripsi dengan judul Deteksi Residu Antibiotik pada Hati
Itik Berasal dari Peternakan di Kabupaten Bogor dapat diselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr med vet Drh Denny Widaya
Lukman, MSi selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, dorongan, kritik,
dan saran yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Di

samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Drh Usamah Affif,
MSi selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama
menjadi mahasiswi FKH IPB. Ungkapan terima kasih penulis ucapkan kepada
Drh Herwin Pisestyani, MSi dan Pak Hendra atas dorongan, masukan, bantuan
selama penelitian.
Ungkapan terima kasih disampaikan kepada ayah, ibu, kakak, dan adik
untuk dukungan dan semangat yang tak terbatas. Selanjutnya ungkapan terima
kasih penulis ucapkan kepada teman selama penelitian (Ninditya Anggie Wiyani
Putri, Kak Loisa, dan Kak Meilani). Ucapan terima kasih disampaikan juga
kepada teman-teman seangkatan Acromion 47 dan terkhusus ucapan terima kasih
untuk sahabat terbaik (Riena Carlina, Fitri Susana, dan Etri Mardaningsih) yang
sama-sama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor serta sahabat
semasa SMA sampai sekarang (Derry Budianto, Prastiwi Sri Agustina,
Rahmazudi, dan Rita Arnita) yang banyak membantu dalam pembuatan skripsi.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kesalahan.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun sebagai
evaluasi bagi penulis. Terlepas dari kekurangan yang ada, penulis berharap
skripsi ini dapat memberi manfaat bagi yang membutuhkan.

Bogor, Juli 2014

Susan Fasella

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian


2

Manfaat Penelitian

2

BAHAN DAN METODE

2

Waktu dan Tempat Penelitian

2

Bahan dan Alat

2

Metodologi


4

Analisis Data

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4

SIMPULAN DAN SARAN

7

Simpulan

7

Saran


7

DAFTAR PUSTAKA

8

LAMPIRAN

10

RIWAYAT HIDUP

11

DAFTAR TABEL
1 Keberadaan residu antibiotik dan golongannya pada hati itik dari
peternakan itik di Kabupaten Bogor
2 Dosis dan waktu henti obat pada unggas


5
7

DAFTAR GAMBAR
1

Residu antibiotik golongan makrolida

6

DAFTAR LAMPIRAN
1

Hasil pengujian residu antibiotik di Kabupaten Bogor

10

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bahan pangan asal hewan dalam hal ini unggas baik ayam maupun itik

merupakan salah satu komoditi pertanian khususnya sektor peternakan yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan akan zat gizi seperti protein, lemak,
mineral, vitamin, dan komponen lainnya. Kebutuhan bahan pangan asal hewan ini
semakin meningkat disebabkan oleh pertumbuhan penduduk, peningkatan
pengetahuan, pergeseran gaya hidup dan tingkat kesehatan masyarakat semakin
membaik. Kontribusi terbesar dalam penyediaan daging secara nasional umumnya
berasal dari ternak unggas dan sapi potong.
Permintaan daging itik setiap tahun semakin meningkat baik di dalam
maupun luar negeri. Daging itik mulai digemari daripada daging ayam karena
kandungan lemaknya yang rendah. Kandungan lemak daging ayam mencapai
6.8% sedang pada itik hanya 4.4% (Supriyadi 2009). Kendala yang dihadapi
peternak itik adalah permintaan yang tinggi namun belum diimbangi dengan
jumlah produksinya. Hal ini menjadikan peternak terpacu untuk meningkatkan
produksi itik. Salah satu cara dengan penambahan antibiotik ke dalam pakan yang
berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan.
Kondisi kesehatan ternak dan optimalisasi produksi dapat dilakukan dengan
melakukan kontrol terhadap penyakit yang dapat menyerang unggas. Antibiotik
merupakan obat yang paling banyak digunakan di peternakan untuk tujuan
tersebut. Selain digunakan untuk mengobati penyakit dan mencegah terjadinya
penyakit, penggunaan antibiotik di peternakan juga bertujuan sebagai pemacu
pertumbuhan (growth promotor). Penggunaan antibiotik sebagai pemacu
pertumbuhan atau untuk pengobatan dan pencegahan penyakit yang tidak sesuai,
dosis yang berlebihan, dan tidak memperhatikan masa henti obat (withdrawal
time) dapat menimbulkan residu antibiotik pada otot dan produk hasil olahannya.
Menurut Bahri et al. (2005) hampir semua pabrik pakan menambahkan
antibiotik ke dalam pakan komersial, sehingga sebagian besar pakan komersial
yang beredar di Indonesia mengandung antibiotik. Antibiotik tidak boleh
dicampur dalam pakan dan tidak boleh dikombinasikan dengan vitamin, mineral
dan asam amino yang dipakai melalui air minum kecuali, sesuai Surat Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 806/Kpts/TN.260/12/94 tentang Klasifikasi Obat
Hewan. Peraturan ini telah beberapa kali ditambah dan disempurnakan, jenis
antibiotik yang direkomendasi sebagai bahan tambahan dalam pakan hewan yaitu
avilamisina, avoparsina, basitrasin, enramisina, flavomisin (bambermisin),
kitasamisin, kolistin sulfat, lasalosid, maduramisina, linkomisin HCl, monensin
natrium, narasina, salinomisin (Na), spiramisin (embonat), virginiamisin.
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menekan bahaya potensial yang
diakibatkan residu pada manusia adalah dengan melakukan pemasakan jaringan
hewan apabila hendak dikonsumsi. Hal ini akan menurunkan konsentrasi dari
beberapa antibiotik seperti penisilin dan tetrasiklin. Beberapa antibiotik seperti
kloramfenikol dan streptomisin bersifat lebih stabil terhadap panas (Crawford dan
Franco 1994).

2
Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah keberadaan residu antibiotik
pada produk pangan asal hewan sehingga aman dikonsumsi melalui pengujian
secara rutin terhadap keberadaan residu antibiotik. Oleh karena itu penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui prevalensi keberadaan residu antibiotik dalam hati
itik di wilayah Kabupaten Bogor.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalensi residu antibiotik pada hati
itik yang dikaitkan dengan keamanan pangan bagi kesehatan konsumen di
Kabupaten Bogor.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang residu
antibiotik pada hati itik yang berasal dari peternakan di Kabupaten Bogor dalam
rangka program jaminan keamanan pangan asal hewan.

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai September 2013. Pengambilan
sampel di 5 kecamatan di wilayah Kabupaten Bogor. Uji tapis (screening test)
residu antibiotik pada hati itik menggunakan metode bioassay dilakukan di
Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) dan Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi
Produk Hewan (BPMSPH) Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah hati itik, bacto agar, beef
extract, yeast extract, dextrose, air destilata, kalium hidrogen fosfat (KH2PO4),
dinatrium hidrogen fosfat (Na2HPO4), spora bakteri Bacillus stearothermophilus
American Type Culture Collection (ATCC) 7953 untuk golongan penisilin,
bakteri Bacillus cereus ATCC 11778 untuk golongan tetrasiklin, bakteri Bacillus
subtilis ATCC 6633 untuk golongan aminoglikosida, bakteri Micrococcus luteus
ATCC 9341 untuk golongan makrolida, natrium penisilin, oksitetrasiklin
hidroklorida, kanamisin sulfat, tilosin tartat, dan kertas cakram.
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah cawan petri, tabung reaksi (7
ml, 20 ml, 50 ml), tabung sentrifus ukuran 50 ml, labu ukur (50 ml, 100 ml), gelas
ukur (100 ml, 500 ml), erlenmeyer (250 ml, 500 ml), pipet volumetrik ukuran 10
ml, pengocok tabung, sentrifus, penangas air, homogenizer, autoklaf, refrigerator,
freezer, timbangan analitik, inkubator, magnet pengaduk, pH meter, mikropipet
50-300 µl, jangka sorong, pinset, dan gunting.

3
Metodologi
Besaran Sampel
Metode penelitian yang digunakan adalah survei cross sectional. Besaran
sampel dihitung menggunakan software WinEpiscope 2.0, dengan menggunakan
asumsi sebagai berikut: tingkat kepercayaan 95%, prevalensi dugaan 50%, dan
tingkat kesalahan 10%. Besaran sampel yang didapatkan yaitu 53 sampel dengan
rincian Kecamatan Ciomas sebanyak 8 sampel, Gunung Sindur 5 sampel,
Klapanunggal 7 sampel, Jasinga 17 sampel dan Jonggol sebanyak 16 sampel.
Desain Penelitian
Unit sampel yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah itik pedaging yang
berasal dari Kabupaten Bogor. Variabel yag diamati adalah residu antibiotik pada
hati itik. Data diperoleh dengan mengambil sampel hati kemudian dikirim ke
BPMSPH (Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan) untuk diuji.
Penelitian didesain menggunakan metode uji tapis (screening test) secara bioassay.
Pengujian Residu Antibiotik
Residu antibiotik pada hati itik diuji menggunakan metode uji tapis
(screening test) secara bioassay dengan standar normal diameter zona hambatan
yang digunakan 20 ± 1 mm dari diameter kertas cakram 8 mm sesuai dengan
petunjuk teknis Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 7424:2008 tentang
Metode Uji Tapis (Screening Test) Residu Antibiotik pada Daging, Telur, dan
Susu secara bioassay.
Pemeriksaan terhadap antibiotik golongan makrolida menggunakan bakteri
Micrococcus luteus ATCC 9341 sebanyak 1 ml yang dibiakkan pada media yang
mengandung bacto agar 18 g, peptone 6 g, beef extract 1.5 g, yeast extract 3 g,
glukosa 1 g di dalam air destilata 1000 ml. Nilai pH media disesuaikan 8.5 ± 0.1
dan dididihkan sampai bacto agar tersebut larut.
Antibiotik golongan tetrasiklin diperiksa dengan menggunakan bakteri
Bacillus cereus ATCC 11778 sebanyak 1 ml yang dibiakkan pada media yang
mengandung bacto agar 15 g, peptone 6 g, beef extract 1.5 g, yeast extract 3 g,
KH2PO4 1.35 g di dalam air destilata 1000 ml. Nilai pH media disesuaikan 5.7 ±
0.1 dan dididihkan sampai bacto agar tersebut larut.
Antibiotik golongan penisilin diperiksa dengan menggunakan bakteri
Bacillus stearothermophilus ATCC 7953 sebanyak 1 ml yang dibiakkan pada
media yang mengandung bacto agar 15 g, peptone 5 g, yeast extract 3 g, dextrose
1 g di dalam air destilata 1000 ml. Nilai pH media disesuaikan 5.7 ± 0.1 dan
dididihkan sampai bacto agar tersebut larut.
Antibiotik golongan aminoglikosida diperiksa dengan menggunakan
bakteri Bacillus subtilis ATCC 6633 sebanyak 1 ml yang dibiakkan pada media
yang mengandung bacto agar 15 g, peptone 5 g, beef extract 3 g, air destilata
1000 ml. Nilai pH media disesuaikan 8.5 ± 0.1 dan dididihkan sampai bacto agar
tersebut larut. Keempat media tersebut disterilkan dengan autoklaf pada
temperatur 121 ± 1 ºC, dengan tekanan 15 psi selama 15 menit.
Pembuatan larutan dapar fosfat dengan menimbang 6.4 g KH2PO4 dan 18.9
g Na2HPO4 yang dilarutkan dalam akuabides sampai 1000 ml, pH hingga

4
menjadi 6.0 ± 0.1, kemudian disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121 ± 1 oC,
dengan tekanan 15 psi selama 15 menit.
Hati sebanyak 10 g dipotong kecil-kecil, kemudian ditambahkan pelarut
dapar sebanyak 20 ml. Larutan tersebut dihomogenkan menggunakan
homogenizer, kemudian disentrifus 3000 rpm selama 10 menit. Supernatan
diambil dan siap dilakukan pegujian. Setiap cawan Petri berisi 5 kertas cakram,
yang terdiri dari 4 kertas cakram dari sampel daging yang berbeda dan 1 kertas
cakram dari larutan antibiotik sebagai larutan standar. Larutan standar sebanyak
75 μl diteteskan di atas kertas cakram secara tegak lurus menggunakan pipet
mikro. Larutan standar digunakan sebagai kontrol positif setiap golongan
antibiotik dengan konsentrasi tertentu dalam setiap mililiter larutan.
Larutan standar dari golongan penisilin diwakili oleh natrium penisilin (0.01
IU/ml), golongan tetrasiklin diwakili oleh oksitetrasiklin (1.0 μg/ml), golongan
aminoglikosida diwakili oleh kanamisin (1.0 μg/ml), dan golongan makrolida
diwakili oleh tilosin (1.0 μg/ml). Biakan tersebut diinkubasi ke dalam inkubator
dengan suhu yang berbeda untuk setiap antibiotik (grup tetrasiklin suhu inkubator
30 ºC, grup makrolida dan aminoglikosida 36 ºC, dan grup penisilin 55 ºC) selama
18 sampai 24 jam. Pembacaan hasil dilakukan dengan mengukur zona hambat
yang terbentuk di sekeliling kertas cakram yang diduga mengandung residu
antibiotik dengan menggunakan jangka sorong. Sampel dinyatakan positif
mengandung residu antibiotik apabila terbentuk zona bening (daerah hambatan)
minimal 2 mm lebih besar dari diameter kertas cakram.
Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dengan analisa secara deskriptif menggunakan
Microsoft excel 2007.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sampel itik yang diambil dari peternakan di Kabupaten Bogor menunjukkan
adanya residu antibiotik pada hati (32.1%) yang berasal dari golongan
aminoglikosida dan makrolida. Residu antibiotik pada hati ditemukan dari sampel
yang berasal dari peternakan di Kecamatan Ciomas (29.4%), Gunung Sindur
(11.8%), Jasinga (35.3%), dan Jonggol (23.5%). Hal ini mengindikasikan adanya
pemakaian antibiotik yang tidak terkendali dan tanpa pengawasan pada itik.
Klapanunggal merupakan kecamatan yang negatif terhadap residu antibiotik dari 5
kecamatan yang diambil sampel. Rinci hasil pengujian residu antibiotik disajikan
pada Tabel 1.

5
Tabel 1 Keberadaan residu antibiotik dan golongannya pada sampel hati itik dari
peternakan itik di Kabupaten Bogor
Lokasi

n
sampel

Positif
terhadap
residu
antibiotik
(%)

Ciomas

8

5 (29.4%)

0 (0%)

0 (0%)

5 (33.4%)

0 (0%)

Gunung Sindur

5

2 (11.8%)

0 (0%)

0 (0%)

2 (13.3%)

0 (0%)

Klapanunggal

7

0 (0%)

0 (0%)

0 (0%)

0 (0%)

0 (0%)

Jasinga

17

6 (35.3%)

0 (0%)

0 (0%)

6 (40%)

0 (0%)

Jonggol

16

4 (23.5%)

0 (0%)

2 (100%)

2 (13.3%)

Total

53

17 (32.1%)

0 (0%)

2 (3.8%)

15 (28.3%)

Positif terhadap residu antibiotik berdasarkan golongan
Penisilin
(%)

Aminoglikosida
(%)

Makrolida
(%)

Tetrasiklin
(%)

0 (0%)
0 (0%)

Residu antibiotik pada hati itik di Kabupaten Bogor sebesar 32.1%, jika
ditinjau dari segi kesehatan masyarakat veteriner keberadaan residu antibiotik
dalam pangan asal hewan perlu mendapat perhatian serius mengingat bahaya yang
ditimbulkan oleh antibiotik terhadap konsumen. Bahaya yang dapat ditimbulkan
dari produk pangan asal hewan yang mengandung residu antibiotik adalah reaksi
alergi, resistensi mikroorganisme, gangguan flora usus, toksisitas, dan keracunan
(Yuningsih et al. 2005).
Golongan antibiotik penisilin dan tetrasiklin tidak ditemukan pada sampel
yang diuji, hal ini dibuktikan dengan tidak terbentuknya zona hambatan
pertumbuhan bakteri Bacillus stearothermophilus dan Bacillus cereus pada media
agar. Golongan makrolida merupakan antibiotik yang banyak digunakan oleh
peternak itik untuk pengobatan. Contoh golongan makrolida yang biasa digunakan
yaitu eritromisin, kloramfenikol, dan tilosin yang diindikasikan untuk pengobatan
mikoplasmosis, salmonellosis dan chronic respiratory disease.
Hasil uji bioassay menggunakan kuman standar Micrococcus luteus ATCC
9341 terhadap antibiotik makrolida pada hati itik, 53 sampel yang diuji didapatkan
hasil positif residu di Kabupaten Bogor (28.3%) berasal dari Kecamatan Ciomas
(33.4%), Gunung Sindur (13.3%), Jasinga (40%), Jonggol (13.3%). Keberadaan
residu makrolida pada hati itik disebabkan oleh beberapa faktor antara lain (1)
peternak belum paham mengenai masa henti (withdrawal time) antibiotik
makrolida artinya ternak dipotong sebelum masa henti antibiotik habis di dalam
tubuh ternak dan belum diekskresikan secara sempurna, (2) penggunaan antibiotik
tidak didasari peneguhan diagnosa yang benar dan tepat, (3) penggunaan
antibiotik tidak sesuai dengan dosis yang seharusnya (Donkor et al. 2011).
Antibiotik makrolida setelah melewati proses absorbsi dan transportasi akan
didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh termasuk otot, hati, dan ginjal.
Pengeluaran antibiotik ini terjadi melalui proses biotransformasi yang cukup lama
dimana tubuh akan merombak antibiotik menjadi metabolit tidak aktif dan bersifat
hidrofil agar mudah diekskresikan melalui ginjal (Murtidjo 2007). Hasil pengujian
residu antibiotik golongan makrolida dapat dilihat pada Gambar 1.

6

Gambar1 Residu antibiotik golongan makrolida
Residu aminoglikosida pada hati itik di Kabupaten Bogor sebesar 3.8%
berasal dari peternakan di Kecamatan Jonggol (100%). Antibiotik golongan
aminoglikosida yang biasa digunakan oleh peternak yaitu kanamisin, gentamisin,
dan spektinomisin yang diindikasikan untuk pengobatan akibat penyakit
salmonellosis dan kolibasilosis. Absorpsi aminoglikosida lebih baik melalui
parenteral sehingga absorpsi terjadi sangat cepat dan tuntas. Distribusi
aminoglikosida terjadi dalam waktu 1 jam setelah injeksi. Polikationik dari
antibiotik ini menyebabkan penetrasi aminoglikosida melalui membran barrier
dengan cara difusi sederhana sangat terbatas sehingga konsentrasi aminoglikosida
yang ditemukan di cairan sekresi sangat sedikit. Rute ekskresi utama dari
aminoglikosida adalah melalui ginjal (Riviere dan Spoo 2001).
Penggunaan antibiotik pada ternak dapat mengakibatkan residu pada produk
ternak yang dihasilkan seperti daging, susu, dan telur yang dikonsumsi manusia.
Antibiotik yang digunakan sebagai terapi akibat penyakit yang disebabkan infeksi
bakteri harus memperhatikan dosis dan waktu henti obat pada saat ternak dipotong.
Penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan akan menghasilkan
akumulasi residu dalam produk hewan yang berakibat buruk pada kesehatan
manusia karena bersifat racun, mengakibatkan perubahan mikroflora normal pada
saluran pencernaan dan mengakibatkan resistensi bakteri terhadap antibiotik
(Nisha 2008).
Pemakaian antibiotik perlu memperhatikan waktu henti obat, setelah waktu
henti obat dapat dilewati diharapkan residu tidak ditemukan lagi atau telah berada
dibawah batas maksimum residu sehingga produk ternak aman dikonsumsi.
Pemerintah memperbolehkan penggunaan antibiotik pada ternak dengan ketentuan,
antibiotik yang digunakan pada manusia tidak boleh digunakan pada ternak, aman
bagi manusia, hewan, lingkungan, memiliki efikasi yang bagus dan bermutu baik,
khususnya untuk mencegah resisitensi bakteri pada manusia.
Waktu henti obat hewan sangat bervariasi, bergantung pada: 1) jenis obat, 2)
spesies hewan, 3) faktor genetik ternak, 4) iklim setempat, 5) cara pemberian, 6)
dosis obat, 7) status kesehatan hewan, 8) produk ternak yang dihasilkan, 9) batas
toleransi residu obat, dan 10) formulasi obat. Oleh karena itu, sudah sewajarnya
setiap perusahaan yang memproduksi obat hewan mencantumkan keterangan
secara jelas tentang waktu henti pemberian obat (Bahri et al. 2005). Rinci waktu
henti obat dan dosis penggunaan antibiotik pada unggas dapat dilihat pada Tabel
2.

7
Tabel 2 Dosis dan waktu henti obat pada unggas
Waktu henti obat
(hari)

Antibiotik

Dosis

Oksitetrasiklin

1 g/l air

9

Ampisilin

0.5 g/l air

7

Basitrasin

50 g/ton ransum

11

Furazolidon

300-450 g/ton ransum

5

Streptomisin

30-100 mg/ekor

4

Sumber: Herni (1995)
Dampak buruk yang ditimbulkan akibat penggunaan antibiotik sebagai
pemacu pertumbuhan, World Health Organisation (WHO) sebagai badan
kesehatan dunia sejak tahun 2006 telah melarang penggunaan antibiotik sebagai
pemacu pertumbuhan pada ternak. Antibiotik yang digunakan sebagai terapi
dengan pengawasan dokter hewan. WHO menghimbau untuk meminimalisir
penggunaan antibiotik pada peternakan dengan cara peningkatan kesehatan ternak
melalui peningkatan biosekuriti, pencegahan penyakit melalui vaksinasi,
menerapkan manajemen, praktik, dan higiene yang baik pada petenakan (WHO
2011).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Residu antibiotik pada sampel hati itik di Kabupaten Bogor sebesar 32.1%
yang berasal dari golongan aminoglikosida dan makrolida. Residu ditemukan dari
sampel yang berasal dari peternakan di Kecamatan Ciomas (29.4%), Kecamatan
Gunung Sindur (11.8%), Kecamatan Jasinga (35.3%), dan Kecamatan Jonggol
(23.5%).
Saran
Berdasarkan hasil penelitian diharapkan dari penelitian berikutnya sampel
yang diambil tidak hanya di peternakan, akan tetapi diambil juga dari pasar
tradisional, supermarket dan rumah potong hewan sehingga dapat
menggambarkan kondisi keamanan pangan asal hewan dari residu antibiotik di
Indonesia.

8

DAFTAR PUSTAKA
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2008. SNI 7424:2008. Metode Uji Tapis
(Screening Test) Residu Antibiotik pada Daging, Telur, dan Susu secara
Bioassay. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.
Bahri S, Masbulan E, Kusumaningsih A. 2005. Proses praproduksi sebagai
faktor penting dalam menghasilkan produk ternak yang aman untuk manusia.
J Litbang Pertanian. 24(1):27-35.
Crawford LM, Franco DA. 1994. Animal Drug and Human Health. Lanchaster
(US): Technomic Publishing.
Donkor ES, Newman MJ, Tay CK, Dayie KD, Bannerman E, Taiwo OM. 2011.
Investigation into the risk of exposure to antibiotic residues contaminating
meat and egg in Ghana. J Food Control. 22(6):869-873.
Herni. 1995. Residu oksitetrasiklin dan ampisilin dalam daging ayam potong pada
umur pemotongan yang berbeda [skripsi]. Ujungpandang: Universitas
Hasanuddin.
Murtidjo BA. 2007. Pemotongan, Penanganan, dan Pengolahan Daging Ayam.
Yogyakarta (ID): Kanisius.
Nisha AR. 2008. Antibiotic residues a global health hazard. J Vet World Rev.
1(12):375–377.
[KepMentan] Keputusan Menteri Pertanian.
1994. KepMentan No.
806/Kpts/TN.260/12/1994 tentang Klasifikasi Obat Hewan. Jakarta (ID):
Departemen Pertanian.
Riviere JE, Spoo JW. 2001. Aminoglicosides antibiotics. Di dalam: Adams HR,
editor. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Iowa (US): Iowa State
Univ Pr.
Supriyadi. 2009. Panen Itik Pedaging dalam Enam Minggu. Jakarta (ID): Penebar
Swadaya.
[WHO] World Health Organization. 2011. Tackling antibiotic resistance from a
food safety perspective in Europe: summary [Internet]. [diunduh 2014 Feb
16]. Tersedia pada: http://www.euro.who.int/en/health-topics/.
Yuningsih, Murdiati TB, Juariah S. 2005. Keberadaan residu antibiotika tilosin
(golongan makrolida) dalam daging ayam asal daerah Sukabumi, Bogor,
dan Tanggerang. Di dalam: Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner; 2005 Sept 12-13; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Puslitbang
peternakan. hlm 921-925.

9

LAMPIRAN

10
Lampiran 1 Hasil pengujian residu antibiotik di Kabupaten Bogor
Lokasi

Ciomas

Gunung Sindur

Klapanunggal

Jasinga

Jonggol

Hati Itik

Screening AB

R/H1-1
R/H2-1
R/H3-1
R/H4-1
R/H5-1
R/H6-1
R/H7-1
R/H8-1
R/H9-1
R/H10-1
R/H11-1
R/H12-1
R/H13-1
R/H14-1

PC
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

ML
Negatif
Negatif
Positif
Negatif
Positif
Positif
Positif
Positif
Negatif
Negatif
Negatif
Positif
Positif
Negatif

AG
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

TC
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

R/H15-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H16-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H17-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H18-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H19-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H20-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H21-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H22-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H23-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H24-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H25-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H26-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H27-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H28-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H29-1

Negatif

Positif

Negatif

Negatif

R/H30-1

Negatif

Positif

Negatif

Negatif

R/H31-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H32-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H33-1

Negatif

Positif

Negatif

Negatif

R/H34-1

Negatif

Positif

Negatif

Negatif

R/H35-1

Negatif

Positif

Negatif

Negatif

R/H36-1

Negatif

Positif

Negatif

Negatif

R/H37-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H38-1

Negatif

Positif

Negatif

Negatif

R/H39-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H40-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H41-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H42-1

Negatif

Positif

Negatif

Negatif

R/H43-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H44-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H45-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H46-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H47-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H48-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H49-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H50-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H51-1

Negatif

Negatif

Positif

Negatif

R/H52-1

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

R/H53-1

Negatif

Negatif

Positif

Negatif

11

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Sungai Lilin, Sumatera Selatan pada tanggal 27 Januari
1993 sebagai anak ketiga dari pasangan Bapak H. Hasan Jaiz dan Hj. Fatiah.
Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SDN 1 Sungai Lilin, Sumatera Selatan
pada tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 1 sungai Lilin dan
lulus tahun 2007. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA 01 Sungai Lilin dan pada
tahun yang sama diterima sebagai mahasiswi Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor (FKH IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama mengikuti perkuliahan penulis menjadi anggota Himpunan Minat Profesi
Ruminansia dan Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI).