Keberadaan Salmonella spp. Pada Daging Sapi Dan Ayam Yang Dijual Di Pasar-Pasar Di Provinsi Jawa Barat
KEBERADAAN Salmonella spp. PADA DAGING SAPI DAN
AYAM YANG DIJUAL DI PASAR-PASAR DI PROVINSI
JAWA BARAT
EDDY SUKMA WINATA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Keberadaan
Salmonella spp. pada Daging Sapi dan Ayam yang Dijual di Pasar-Pasar di
Provinsi Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2011
Eddy Sukma Winata
B04070082
ABSTRACT
EDDY SUKMA WINATA. Occurance of Salmonella spp. in beef and chicken
meat sold in markets in the Province of West Java. Under direction of
DENNY WIDAYA LUKMAN.
The study was aimed to observe the occurance of Salmonella in beef meat
and chicken meat which were sold in markets in the Province of West Java. A
total of 24 samples of beef meat and 36 samples of chicken meat were taken
purposively from markets in 12 cities/districts in the Province of West Java.
Salmonella was determined with the isolation and identification method according
to the Compendium of Methods for the Microbiological Examination of Foods
(Andrews et al. 2001). The result showed that the occurance of Salmonella in
beef meat and chicken meat sold in markets in the Province of West Java were
54.2% (13 possitive of 24 beef meat samples) dan 66.7% (24 possitive of 36
chicken meat samples), respectively. The high occurance of Salmonella in meat
could be a threat of public health.
RINGKASAN
EDDY SUKMA WINATA. Keberadaan Salmonella spp. pada Daging Sapi
dan Ayam yang Dijual di Pasar-Pasar di Provinsi Jawa Barat. Dibimbing
oleh DENNY WIDAYA LUKMAN.
Sejak tahun 1990 foodborne disease muncul menjadi masalah penting dan
terus berkembang dalam kesehatan masyarakat dan ekonomi di beberapa negara
(Signorini & Flores-Luna 2010). WHO memperkirakan 1.3 miliar kasus diare per
tahun terkait dengan non-tifoid salmonelosis dan menyebabkan kematian 3 juta
manusia setiap tahunnya (Maripandi & Al-Salamah 2010).
Berdasarkan data statistik Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan (Ditjennak Keswan 2009), tahun 2008 jumlah produksi daging sapi
Provinsi Jawa Barat (70010 ekor) menempati urutan kedua terbanyak setelah
Provinsi Jawa Timur (85173 ekor) dan untuk produksi daging ayam Provinsi Jawa
Barat (335151 ekor) menempati urutan pertama. Konsumsi daging sapi dan
daging ayam per kapita per minggu di Provinsi Jawa Barat tahun 2008 berturutturut sebanyak 0.007 kg dan 0.073 kg.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat keberadaan cemaran Salmonella pada
daging sapi dan ayam di pasar-pasar di Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini
dilakukan mulai bulan September 2009 sampai dengan Oktober 2009. Sampel
daging sapi dan ayam diambil dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat,
yaitu Kota Bekasi, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota
Sukabumi, Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kabupaten Cianjur, Kabupaten
Sumedang, Kabupaten Tasikmalaya, Kota Cirebon, dan Kabupaten Indramayu.
Pengujian presumtif Salmonella dilakukan di Laboratorium Kesehatan
Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor (FKH IPB) dan pengujian serologis (konfirmasi) dilakukan di Balai Besar
Penelitian Veteriner (BBALITVET) Bogor.
Jumlah sampel ditentukan secara purposif di pasar dari setiap
kabupaten/kota, yaitu masing-masing dua sampel daging sapi dan tiga sampel
daging ayam dari setiap kabupaten/kota. Jumlah keseluruhan sampel yang
diperiksa sebanyak 24 sampel daging sapi dan 36 sampel daging ayam. Berat
sampel daging sapi yang diambil minimum 300 gram dan sampel daging ayam
setengah karkas. Setiap sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik steril,
kemudian kantong plastik diberi label dan disimpan dalam cool box berisi es.
Sampel diuji maksimum 24 jam setelah pengambilan.
Pengujian Salmonella di laboratorium dilakukan dengan metode isolasi dan
identifikasi menurut the Compendium of Methods for the Microbiological
Examination of Foods (Andrews et al. 2001). Metode ini terdiri atas lima tahap,
yaitu pre-enrichment, selective enrichment, pemupukan pada media selektif,
pengujian biokimia, dan pengujian serologis.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa keberadaan Salmonella pada daging
sapi dan daging ayam yang dijual di pasar-pasar di Provinsi Jawa Barat adalah
berturut-turut 54.2% (13/24 sampel) dan 66.7% (24/36 sampel). Cemaran
Salmonella lebih banyak ditemukan pada daging ayam dibandingkan dengan
daging sapi. Salmonella pada daging sapi ditemukan di Kota Bekasi, Kabupaten
Purwakarta, Kabupaten Bogor, Kota Sukabumi, Kabupaten Bandung, Kabupaten
Cianjur, dan Kabupaten Sumedang, sedangkan di Kota Bogor dan Kabupaten
Tasikmalaya tidak ditemukan. Salmonella pada daging ayam ditemukan di Kota
Bekasi, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Sukabumi,
Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Tasikmalaya, sedangkan di Kabupaten
Cianjur, dan Kabupaten Sumedang tidak ditemukan. Tingkat pencemaran
Salmonella pada daging yang cukup tinggi dapat menjadi ancaman kesehatan
masyarakat.
.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KEBERADAAN Salmonella spp. PADA DAGING SAPI DAN
AYAM YANG DIJUAL DI PASAR-PASAR DI PROVINSI
JAWA BARAT
EDDY SUKMA WINATA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Skripsi
: Keberadaan Salmonella spp. pada Daging Sapi dan Ayam yang
Dijual di Pasar-Pasar di Provinsi Jawa Barat
Nama
: Eddy Sukma Winata
NIM
: B04070082
Disetujui
Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi
Ketua
Diketahui
Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal lulus:
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada Allah
SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang senantiasa dilimpahkan berupa
kekuatan lahir batin sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Judul skripsi adalah
Keberadaan Salmonella spp. pada Daging Sapi dan Ayam yang Dijual di PasarPasar di Provinsi Jawa Barat.
Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. drh. Denny W. Lukman,
M.Si selaku dosen pembimbing yang telah tanpa lelah dan penuh kesabaran
membimbing penulis untuk menyelesaikan penulisan ini dengan baik. Tidak lupa
juga penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. drh. Hj.
Mirnawati B. Sudarwanto, Ibu Prof. Dr. drh. Agatha Winny Sanjaya, MS, Bapak
Dr. drh. Trioso Purnawarman, MSi, Ibu drh. Herwin Pisestyani, M.Si, dan Ibu Ir.
Maya atas dukungan dan bimbingannya selama penelitian. Penulis juga ingin
menyampaikan terimakasih kepada Bapak Tedy Subarkah, AMd dan Bapak
Yuhendra yang telah banyak membantu penelitian ini. Kepada teman-teman satu
penelitian (Inda, Ellangga, Rifqy, Putra, Wulan, Fuji, Ningrum) penulis
berterimakasih atas kerjasama dan bantuannya selama penelitian.
Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Papa, Mama, dan adik
tersayang (Yuheri, SP, Emlisnidar, Alfy Sukma, dan Sri Sukmawati), serta
keluarga besar atas doa, semangat, dan cinta yang telah diberikan. Selanjutnya
ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada keluarga besar Ikatan Pelajar dan
Mahasiswa Minang (IPMM) Bogor dan teman-teman Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) Komisariat Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH
IPB) yang sama-sama berjuang dalam menempuh pendidikan di FKH IPB.
Penulis menyadari penulisan skripsi ini tidak luput dari kekurangan, untuk
itu penulis sangat berterimakasih atas kritik dan saran-saran yang bersifat
membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat.
Bogor, Juli 2011
Eddy Sukma Winata
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat pada tanggal 24
November 1989 dari ayah Yuheri, SP dan ibu Emlisnidar. Penulis merupakan
putra pertama dari tiga bersaudara.
Pendidikan formal penulis dimulai dari SD 26 Bukit Cangang, Bukittinggi
sampai kelas 2 dan kelas 3 sampai kelas 6 ditempuh di SD 07 Gulai Bancah,
Bukittinggi hingga lulus pada tahun 2001, yang kemudian dilanjutkan ke MTsN 1
Model Bukittinggi dan lulus pada tahun 2004. Pendidikan SMA penulis
selesaikan di SMAN 1 Bukittinggi dan lulus pada tahun 2007, kemudian
melanjutkan ke IPB pada tahun yang sama melalui jalur Undangan Seleksi Masuk
IPB (USMI). Jurusan yang dipilih penulis adalah Kedokteran Hewan, Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH IPB).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Ikatan Pelajar dan Mahasiswa
Minang (IPMM) Bogor sebagai Wakil Ketua (2009-2010), Badan Eksekutif
Mahasiswa Kabinet Sinergis 2008-2009 FKH IPB, Himpunan Minat dan Profesi
Satwaliar (SATLI) FKH IPB, dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat
FKH IPB.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………………………………………...………............
xi
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xii
PENDAHULUAN ……………………………………………………….
Latar Belakang …………………………………...……………........
Tujuan ……………………………………………...………….........
1
1
2
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………..........
Karakteristik Salmonella …………………………………....….......
Isolasi dan Identifikasi Salmonella pada Makanan ………………...
Cemaran Salmonella pada Daging ………………...………….…….
Prevalensi Salmonella di Beberapa Tempat …………………….….
Dampak Salmonella terhadap Kesehatan Masyarakat ……………...
Pencegahan Pencemaran Salmonella ……………………………….
3
3
5
11
13
15
17
BAHAN DAN METODE ………………………………….......………….
Waktu dan Tempat Penelitian …………………………………........
Pengambilan dan Jumlah Sampel …………………………………..
Bahan dan Alat ……………………………………………………..
Kuesioner ...........................................................................................
Pengujian Salmonella ………………………………………………
Analisis Data ………………………………………………………..
19
19
19
20
20
21
21
HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………...........
Karakteristik pedagang daging ………………………………….…..
Keberadaan Salmonella pada daging………………………………..
23
23
25
SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………….
Simpulan ...........................................................................................
Saran .................................................................................................
30
30
30
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………..…………
32
LAMPIRAN .................................................................................................
37
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Jumlah produksi daging sapi dan daging ayam di Provinsi Jawa Barat
2
2
Konsumsi daging sapi dan daging ayam per kapita per minggu di
Provinsi Jawa Barat ..............................................................................
2
3
Karakteristik pertumbuhan Salmonella ................................................
3
4
Ringer solution sebagai media selektif untuk Salmonella pada ayam
beku ......................................................................................................
7
5
Karakteristik reaksi Salmonella pada beberapa media isolasi ……….
8
6
Prevalensi Salmonella pada karkas/daging sapi dan ayam di beberapa
negara ...................................................................................................
14
7
Penyakit yang dapat disebabkan oleh Salmonella…………...................
16
8
Lokasi dan jumlah sampel daging sapi dan daging ayam yang diambil
di Provinsi Jawa Barat ..........................................................................
19
Hasil positif uji TSIA dan LIA untuk identifikasi Salmonella ………
22
10 Karakteristik pedagang daging di pasar-pasar tradisional di Provinsi
Jawa Barat ............................................................................................
24
11 Keberadaan Salmonella pada daging sapi dan daging ayam di 12
kabupaten/kota/di Provinsi Jawa Barat ………………………………
25
9
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Kuesioner untuk pedagang daging sapi dan daging ayam ...................
38
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Isolasi Salmonella pertama kali dilaporkan oleh Daniel E. Salmone dari babi
pada tahun 1885 dan organisme tersebut diberi nama Bacterium choleraesuis (saat
ini dikenal Salmonella enterica serovar Choleraesuis). Salmonella menyebabkan
gastroenteritis dan demam tifoid, serta merupakan salah satu patogen utama yang
ditularkan melalui makanan (foodborne pathogen), yang menjadi perhatian
kesehatan masyarakat di negera-negara maju dan berkembang (Stevens et al.
2006; Bhunia 2008). Dalam dua dasawarsa terakhir (sejak 1990), foodborne
disease menjadi masalah penting dan terus berkembang dalam kesehatan
masyarakat dan ekonomi di beberapa negara (Signorini & Flores-Luna 2010).
WHO memperkirakan 1.3 miliar kasus gastroenteritis akut atau diare per tahun
terkait dengan non-tifoid salmonelosis dan menyebabkan kematian 3 juta manusia
setiap tahunnya (Maripandi & Al-Salamah 2010).
Keamanan pangan secara mikrobiologis menjadi perhatian kesehatan
masyarakat yang semakin meningkat di seluruh dunia.
Beberapa studi
epidemiologi menunjukkan bahwa pangan asal hewan merupakan media utama
berkaitan dengan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh Campylobacter,
Salmonella, dan Yersinia spp. (Humphrey 2006).
EFSA (2007) melaporkan
wabah foodborne disease di Uni Eropa pada tahun 2005, yaitu 64% wabah
foodborne disease disebabkan oleh Salmonella (3406 dari 5355 wabah foodborne
disease) dan diikuti oleh Campylobacter (9%; 312 dari 5344 wabah foodborne
disease).
Di Indonesia, daging banyak dikonsumsi oleh masyarakat, khususnya pada
hari besar agama. Ada berbagai macam masakan Indonesia yang menggunakan
daging sebagai bahan baku, baik dimasak dengan cara direbus, ditumis,
dipanggang maupun dibakar. Selain itu, masakan juga dapat disajikan dalam
bentuk matang maupun setengah matang.
Berdasarkan data statistik Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan (Ditjennak Keswan 2009), jumlah produksi daging sapi di Provinsi Jawa
Barat menempati urutan kedua terbanyak setelah Provinsi Jawa Timur dan
produksi daging ayam di Provinsi Jawa Barat menempati urutan pertama. Jumlah
produksi daging sapi dan daging ayam di Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 1.
Pada Tabel 2 dapat dilihat konsumsi daging sapi dan daging ayam per kapita per
minggu di Provinsi Jawa Barat tahun 2007-2008.
Tabel 1
Jumlah produksi daging sapi dan daging ayam di Provinsi Jawa Barat
(Ditjennak Keswan 2009)
Jenis Daging
Tahun
2005
2006
2007
2008
Daging sapi (ekor)
72.529
77.759
50.646
70.010
Daging ayam (ekor)
259.749
276.195
279.851
335.151
Tabel 2
Konsumsi daging sapi dan daging ayam per kapita per minggu di
Provinsi Jawa Barat (Ditjennak Keswan 2009)
Jenis Daging
Satuan
Daging sapi
Daging ayam
Tahun
2007
2008
kg
0.008
0.007
kg
0.079
0.073
Pangan dapat berfungsi sebagai media pembawa agen patogen yang dapat
menyebabkan penyakit pada konsumen (foodborne illness) (Lukman 2009).
Mikroorganisme yang ditemukan pada daging dapat bersifat pembusuk dan
patogen. Bakteri patogen yang penting dari aspek kesehatan masyarakat dan
keamanan pangan adalah Salmonella (Nesbakken 2009).
Melihat
bahaya
penyakit
yang
ditimbulkan
akibat
pencemaran
mikroorganisme patogen khususnya Salmonella, maka perlu dilakukan penelitian
mengenai keberadaan cemaran Salmonella pada daging sapi dan ayam di Provinsi
Jawa Barat melalui pemeriksaan sampel daging secara acak dari beberapa pasar di
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan Salmonella pada
daging sapi dan ayam yang dijual di pasar-pasar di Provinsi Jawa Barat.
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Salmonella
Genus Salmonella merupakan anggota famili Enterobacteriaceae, Gram
negatif, berbentuk batang, tidak berspora, motil (kecuali Salmonella Pullorum dan
S. Gallinarum), memiliki flagela peritrikus, bersifat anaerob fakultatif, tumbuh
pada suhu antara 5-45 °C, dengan suhu optimum 35-37 °C. Salmonella mampu
tumbuh pada pH rendah dan umumnya sensitif pada kadar garam yang meningkat.
Salmonella membentuk rantai filamen yang panjang jika dibiakkan/ditumbuhkan
pada suhu ekstrim 4-8 °C atau 44 °C, serta pada pH 4.4 atau 9.4.
Semua
Salmonella merupakan patogen intraselular fakultatif dan bersifat patogen, serta
dapat menyerang makrofag, sel-sel dendrit, dan epitel (Bhunia 2008). Untuk lebih
lengkap, karakteristik pertumbuhan Salmonella dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Karakteristik pertumbuhan Salmonella (Norhana et al. 2010)
Parameter
Suhu (°C)
Minimum
Optimum
Maksimum
5.2 (sebagian serotipe tidak
berkembang pada suhu 0.99
pH
Daya tahan terhadap
garam (%)
Kelembaban
Salmonella dikelompokkan berdasarkan antigen somatik (O), flagela (H),
dan kapsular (Vi) (Mølbak et al. 2006; Bhunia 2008). Saat ini, terdapat 2463
serotipe Salmonella yang ditempatkan di bawah dua spesies, yaitu Salmonella
enterica dan Salmonella bongori. Salmonella enterica terdiri atas 2443 serotipe
dan Salmonella bongori terdiri atas 20 serotipe. Sekarang Salmonella enterica
terdiri atas enam subspesies yang ditulis dengan angka romawi, yaitu I (enterica),
II (salamae), IIIa (arizonae), IIIb (diarizonae), IV (houtenae), dan VI (indica).
Misalnya, nama isolat Salmonella ditulis sebagai Salmonella enterica subspesies I
serovar Enteritidis (Bhunia 2008).
Serovar-serovar S. enterica dapat dibagi menjadi dua kelompok besar,
bergantung pada perilaku kolonisasi dan kecenderungannya menyebabkan
penyakit sistemik pada induk semang yang sehat dan dewasa. Kelompok pertama
adalah serovar yang beradaptasi pada induk semang (host-adapted), terutama
Salmonella yang menginfeksi induk semang melalui jalur fekal-oral dan
multiplikasi bakteri terutama terjadi secara intraselular di dalam makrofag.
Serovar dalam kelompok ini seperti S. enterica serovar Typhi di manusia, serovar
Dublin di sapi, dan serovar Gallinarum di unggas, yang dicirikan dengan dosis
infektif yang rendah, masa inkubasi yang panjang, dan menyebabkan infeksi yang
sistemik. Kelompok kedua terdiri atas hampir semua serovar Salmonella enterica.
Serovar ini umumnya tidak mampu menyebabkan penyakit sistemik pada induk
semang yang sehat, tidak stres dan dewasa, serta berkoloni di saluran pencernaan
hewan tanpa menyebabkan gejala klinik. Karena berada di saluran pencernaan
hewan, maka serovar ini sering masuk dalam rantai pangan dan menyebabkan
kasus penyakit yang ditularkan melalui makanan atau foodborne salmonelosis
(Humphrey 2006).
Sejarahnya, nomenklatur Salmonella didasarkan pada tempat asal, seperti S.
miami, S. london, S. richmond, S. dublin, S. indiana, S. kentucky, dan S. tennessee.
Sistem klasifikasi ini sekarang tidak dilanjutkan dan Salmonella diklasifikasikan
berdasarkan kepekaannya (susceptibility) terhadap bakteriofage yang berbeda,
yang disebut phage typing. Lebih dari 200 definitive phage types (DT) telah
dilaporkan, seperti phase type (PT) 1, 4, 8, 13, 13a, 23, DT104, DT108, DT204,
dan lain-lain.
Resistensi terhadap antibiotik juga digunakan sebagai
pengklasifikasian Salmonella. Sebagai contoh, DT104 resisten terhadap berbagai
antibiotik seperti ampicillin, chloramphenicol, streptomycin, spectinomycin,
sulfonamides, florfenicol, tetracycline, nalidixic acid dan ciprofloxacin. Sekarang
dilaporkan bahwa DT204 menjadi emerging strain yang resisten terhadap 8-9
antibiotik dan menjadi masalah penting bagi kesehatan manusia (Bhunia 2008).
Dalam sistem nomenklatur modern, informasi mengenai subspesies
diabaikan. Sebagai contoh, isolat dengan nama Salmonella enterica subspesies I
serovar Enteritidis pada kalimat ditulis sebagai Salmonella Enteritidis (Mølbak et
al. 2006; Bhunia 2008). Para ilmuwan saat ini diharapkan mengikuti sistem
klasifikasi dan nomenklatur Salmonella agar terjadi keseragaman dalam laporan
dan menghindari kebingungan yang berlanjut (Bhunia 2008).
Salmonella terdapat di saluran intestinal burung/unggas, reptil, kura-kura,
insekta, ternak, dan manusia (Hanes 2003; Bhunia 2008), namun paling banyak
ditemukan pada unggas (Nørrung et al. 2009).
Spesies ini juga tersebar di
lingkungan alami seperti tanah dan air, yang mana Salmonella dapat bertahan
dalam jangka waktu yang lama, namun tidak dapat memperbanyak diri secara
signifikan seperti saat berada pada inangnya (Bell & Kyriakides 2002).
Isolasi dan Identifikasi Salmonella pada Makanan
Menurut Adams dan Moss (2008) metode isolasi dan identifikasi
Salmonella pada makanan mendapat perhatian lebih dari pada foodborne
pathogen lainnya.
Untuk mengidentifikasi Salmonella pada makanan dapat
menggunakan teknik biakan konvensional. Terdapat lima tahapan prosedur yang
sudah ditetapkan dan dapat diterima secara luas untuk mengidentifikasi
Salmonella pada makanan, yaitu tahap pre-enrichment (pra-pengayaan), selective
enrichment (pengayaan selektif), selective plating media (media pemupukan
selektif), uji biokimia, dan uji serologik.
Tahap pre-enrichment pada media non-selektif merupakan tahapan yang
bertujuan
untuk
meningkatkan
perbaikan
sel
Salmonella
memperbaiki sel-sel yang mengalami kerusakan subletal.
dengan
cara
Kerusakan subletal
dapat diakibatkan dari kondisi yang merugikan selama proses pengolahan
makanan, seperti pendinginan, pembekuan atau pengeringan (Adams & Moss
2008). Pada tahap pre-enrichment berdasarkan ISO 6579 (Horizontal method for
the detection of Salmonella spp.), sampel karkas ayam dibilas selama 2 menit
dengan 225 ml buffered peptone water (BPW) dan selanjutnya diinkubasi pada
suhu 37 °C selama 24 jam (Yildirim et al. 2011). Kegagalan dalam resusitasi sel
bakteri dalam tahap pre-enrichment dapat menyebabkan tidak terdeteksinya
bakteri dalam pengujian, yang mungkin sebenarnya terdapat pada makanan dan
bisa menyebabkan infeksi makanan (Adams & Moss 2008).
Tahap selective enrichment dilakukan untuk meningkatkan perbandingan
jumlah Salmonella dalam jumlah total mikroorganisme yang diinokulasi melalui
peningkatan proliferasi Salmonella dan menekan pertumbuhan bakteri lain.
Media selective enrichment mengandung bahan selektif yang tidak memengaruhi
pertumbuhan Salmonella tetapi menekan pertumbuhan bakteri lain.
Bahan
selektif tersebut, yaitu empedu, brilliant green, tetrathionate, dan selenite. Media
yang sering digunakan adalah selenite-cystine (SC) broth yang berisikan cystine
untuk menstimulasi pertumbuhan Salmonella; Müller-Kauffman tetrathionate
(TT) broth yang mengandung tetrathionate, brilliant green, empedu, dan
Rappaport-Vassiliadis (RV) broth yang berisikan malachite green, magnesium
chloride (MgCl2), dan pH agak rendah (Adams & Moss 2008).
Medium Rappaport-Vassiliadis (RV) secara umum telah diterima sebagai
media yang digunakan selain selenite cystine (SC) dan tetrathionate (TT) broth.
RV dan SC broth digunakan secara paralel pada tahap selective enrichment
(Adams & Moss 2008).
Dalam praktiknya, hanya satu media yang biasa
digunakan pada tahap selective enrichment yaitu RV broth.
SC broth tidak
banyak memperlihatkan hasil positif. Hal ini disebabkan oleh tingginya toksisitas
dari selenite pada penggunaan SC broth yang mencapai level kritis. Beberapa
studi juga memperlihatkan bahwa RV broth dapat mendeteksi Salmonella
Enteritidis (Boer 1998).
Müller et al. (1997) yang dikutip oleh Boer (1998) menyatakan bahwa
tetrathionate brilliant green bile (TTBG) broth menunjukkan produktivitas yang
lebih baik dalam mendeteksi Salmonella pada daging ayam.
komparatif,
media
modified
semisolid
Rappaport-Vassiliadis
Pada studi
(MSRV)
menunjukkan efektifitas yang lebih tinggi dalam pengisolasian Salmonella pada
makanan. Deteksi Salmonella dengan menggunakan media MSRV cukup mudah
dan tidak membutuhkan banyak biaya, serta dapat mendeteksi hasil positif dan
negatif dalam waktu 24 jam sesuai dengan standar metode ISO. Penambahan
buffered peptone water (BPW) dengan ferrioxamine E memperlihatkan
peningkatan motilitas Salmonella dan zona diameter di atas media semi solid
enrichment. Tabel 4 menunjukkan hasil positif Salmonella pada beberapa media
selektif dan dapat dilihat bahwa media Rappaport-Vassiliadis (RV) baik untuk
recovery Salmonella.
Tabel 4
Ringer solution sebagai media selektif untuk Salmonella pada ayam
beku (Busse 1995)
Sampel yang diuji
178
Sampel positif
118
100%
Pre-enrichment
48
41%
Selenite cystine 37 °C
41
35%
Tetrathionate bile 37 °C
35
30%
Rappaport modified 43 °C
72
61%
Ringer solution 37 °C
68
58%
Hasil positif pada:
Setelah 24 jam pada selective enrichment, biakan dari kedua SCB dan TTB
digoreskan pada media selektif seperti brilliant green agar (BGA), hektoen
enteric agar (HEA), dan xylose lysine deoxycholate (XLD) agar dan diinkubasi
pada suhu 37 °C selama 24-48 jam. Koloni Salmonella pada media selektif BGA,
HEA, dan XLD didapatkan setelah 24-48 jam inkubasi (Suresh et al. 2011).
Hasil yang diharapkan pada media ini adalah ketidakmampuan Salmonella
untuk memfermentasi laktosa dan atau memproduksi hidrogen sulfida. Dalam
pemilihan media yang akan digunakan, dianjurkan memilih dua jenis media
berdasarkan pada reaksi diagnostik yang berbeda untuk meyakinkan bahwa
kekhasan galur (seperti galur yang memfermentasi laktosa) tidak terlewatkan
(Adams & Moss 2008). Keberhasilan tahap enrichment merupakan tahapan yang
menentukan dalam deteksi Salmonella. Saat ini, telah dilakukan usaha-usaha
yang bertujuan untuk mengembangkan media dan prosedur untuk tahapan
enrichment (Busse 1995).
Selective plating agar yang memiliki tingkat efektifitas yang tinggi terhadap
perbaikan Salmonella (Boer 1998). Plating media untuk isolasi Salmonella dapat
dibagi ke dalam tiga kelompok berdasarkan agen selektif yang digunakan yaitu
bile salt agar, brilliant green agar, dan bismuth sulphite agar (Busse 1995).
Saat ini, banyak tersedia agar yang mengandung garam empedu, seperti
deoxycholate citrate agars (ditemukan oleh Leifson 1935), Salmonella Shigella
(SS) agar (ditemukan oleh Pollock dan Dahlgren 1974), Hektoen Enteric agar
(ditemukan oleh King dan Metzger 1968) and XLD agar (ditemukan oleh Taylor
1965). Deoxycholate agar dan XLD agar berisikan garam empedu dan sitrat
dalam jumlah 1-2 g/l (Busse 1995).
Terdapat dua modifikasi dari brilliant green agar. Berdasarkan pada ISO,
agar berisikan 4.7 mg/l brilliant green, sedangkan formulasi USP berisikan
hampir tiga kali zat warna.
Pada brilliant green agar, Salmonella dideteksi
dengan ketidakmampuan Salmonella memfermentasi laktosa atau laktosa dan
sukrosa dengan memberikan warna pink pada koloni (Busse 1995). Selanjutnya,
Van Schothorst et al. (1987) yang dikutip oleh Busse (1995) menyarankan
menggunakan mannitol-lysine-crystal violet-brilliant green agar (MLCB) yang
dikombinasikan dengan Rappaport-Vassiliadis Soya (RVS) broth karena memiliki
daya selektif yang tinggi. Tabel 5 memperlihatkan karakteristik reaksi Salmonella
pada beberapa media isolasi.
Tabel 5 Karakteristik reaksi Salmonella pada beberapa media isolasi (Boer 1998)
Media
Rambach
XLT4
SM-ID
NBGL
Selektif/karakteristik diagnostic
Reaksi +/- terhadap
Salmonella
Asam dari propilen glikol
+
β-Galaktosidase dengan kromogenik BCIG
-
Tergitol 4 (pertumbuhan)
+
Produksi H2S
+
Fermentasi laktosa
-
β-Galaktosidase dengan
+
Substrat kromogenik
-
Novobiosin (pertumbuhan)
+
Produksi H2S
+
Fermentasi gliserol
-
Fermentasi laktosa
-
Rambach: Rambach agar (Merck); XLT4: xylose lysine tergitol 4 agar; SM-ID: Salmonella medium SM-ID
(BioMe´rieux); NBGL: novobiocin brilliant green glycerol lactose agar.
Beberapa studi memperlihatkan bahwa selective plating agar yang memiliki
tingkat efektifitas yang tinggi terhadap perbaikan Salmonella dari sampel
makanan dengan aktivitas air tinggi adalah Rambach dan xylose lysine tergitol 4
(XLT4).
Salmonella medium SM-ID (SM-ID) memiliki spesifisitas dan
sensitifitas yang tinggi sebagai media isolasi Salmonella dari sampel makanan
asal hewan. Rambach memilki daya sensitifitas yang sangat tinggi sebagai media
isolasi Salmonella. Rambach dan modified solid Rappaport Vassiliadis (MSRV)
merupakan media yang memiliki spesifisitas yang tinggi sebagai media isolasi
Salmonella (Boer 1998).
Presumtif Salmonella dari media selektif harus dikonfirmasi dengan uji
biokimia dan uji serologi yang menggunakan antisera polivalen O.
Lama
pelaksanaan keseluruhan prosedur minimum empat hari. Selain itu, terdapat pula
teknik biakan pre-enrichment konvensional yang merupakan teknik inokulasi ke
dalam media diagnostik selektif. Media diagnostik selektif tersebut memberikan
perubahan warna dan mampu menggumpalkan partikel latex yang diberikan
coating antibodi terhadap Salmonella.
Hasil positif menghasilkan presumtif
Salmonella, yang harus dikonfirmasi dengan uji serologi konvensional dan uji
biokimia. Dengan teknik ini, identifikasi presumtif Salmonella dilakukan selama
42 jam. Pada metode lain, deteksi Salmonella membentuk imunopresipitasi, yang
mana antibodi terhadap Salmonella berdifusi ke bawah melalui media dan
berkontak dengan bakteri Salmonella yang bergerak ke atas pada media selektif
(Busse 1995).
Menurut Food and Drug Administration (FDA) (2011), konfirmasi
Salmonella dengan uji serologi dapat menggunakan media triple sugar iron agar
(TSIA) dan lysine iron agar (LIA).
Pengujian terhadap koloni yang diduga
Salmonella berdasarkan pada koloni yang menunjukkan tipe morfologi
Salmonella dan koloni yang tidak menunjukkan tipe morfologi Salmonella.
Yildirim et al. (2011) menambahkan bahwa pengujian konfirmasi Salmonella
berhubungan dengan faktor virulensi Salmonella, yaitu aglutinasi antisera O dan
H.
Pengujian terhadap koloni yang menunjukkan tipe morfologi Salmonella
adalah dengan mengambil dua atau lebih koloni, kemudian diinokulasikan pada
media TSIA dan LIA. Inokulan diinkubasi pada suhu 35 °C selama 24 ± 2 jam.
Sumbat tabung dilepas untuk menjaga kondisi aerobik selama inkubasi untuk
mencegah berlebihnya produksi H2S.
Pada media TSIA biakan Salmonella
dicirikan dengan terlihatnya reaksi basa pada slant (merah) dan asam pada butt
(kuning), dengan atau tanpa diproduksinya H2 S (hitam).
Pada media LIA,
Salmonella ditandai dengan timbulnya reaksi basa pada butt (ungu) yang
menunjukkan hasil positif, sedangkan reaksi asam (kuning terang) menunjukkan
hasil negatif. Salmonella pada media LIA memproduksi H2S. Beberapa biakan
non-Salmonella memproduksi warna merah bata pada media LIA (FDA 2011).
Semua biakan yang memberikan reaksi basa pada bagian butt media LIA,
tanpa memerhatikan reaksi pada media TSIA, disimpan sebagai isolat yang
berpotensi sebagai Salmonella dan dilanjutkan ke uji biokimia dan uji serologi.
Biakan yang memberikan reaksi asam pada bagian butt media LIA dan biakan
yang menimbulkan reaksi basa pada bagian slant dan reaksi asam pada bagian
butt media TSIA juga dapat dianggap sebagai biakan yang berpotensi sebagai
Salmonella dan dilanjutkan ke tahap pengujian biokimia dan uji serologi.
Biakan pada LIA yang memproduksi reaksi asam butt dan biakan pada
TSIA yang memproduksi reaksi asam slant dan reaksi asam butt dapat dibuang
dan dianggap negatif Salmonella. Jika biakan TSIA gagal untuk memberikan
reaksi khas untuk Salmonella (basa slant dan asam butt), ambil koloni yang
mencurigakan dari media selektif yang tidak menunjukkan biakan pesumtifpositif, kemudian diinokulasikan ke media TSIA dan LIA (FDA 2011).
Tahap identifikasi Salmonella terhadap biakan murni dari media TSIA dan
LIA dilanjutkan dengan uji urea.
Biakan presumtif-positif TSIA dan LIA
diinokulasikan ke media urea broth, kemudian diinkubasi selama 24 ± 2 jam pada
suhu 35 °C. Hasil positif uji urea ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah
bata pada daerah tusukan (FDA 2011).
Biakan yang tumbuh dari setiap urease-negative TSIA slant diinokulasikan
ke dalam brain heart infusion (BHI) broth dan diinkubasi selama 4-6 jam pada
suhu 35 °C atau diinokulasikan ke dalam trypticase soy-tryptose broth dan
diinkubasi selama 24 ± 2 jam pada suhu 35 °C. Kemudian ke dalam 5 ml kedua
biakan ditambahkan 2.5 ml larutan NaCl fisiologi yang diberi formalin.
Selanjutnya dipilih 2 biakan dari formalinized broth dan diuji dengan antiserum
polivalent flagellar (H). Sebanyak 0.5 ml antiserum polyvalent H ditempatkan
dalam tabung uji serologis berukuran diameter dan tinggi 10 x 75 mm atau 13 x
100 mm. Kemudian 0.5 ml antigen yang akan diuji ditambahkan ke dalam tabung
uji serologi yang berisikan 0.5 ml antiserum polyvalent H.
Larutan NaCl
fisiologis disiapkan sebagai kontrol dengan mencampur 0.5 ml larutan NaCl
fisiologis yang diformalin dengan 0.5 ml antigen formalin. Campuran diinkubasi
dalam penangas air (waterbath) yang bersuhu 48-50 °C. Kemudian diobservasi
setiap 15 menit dan hasil akhir dibaca setelah satu jam. Hasil positif ditunjukkan
dengan terjadinya aglutinasi pada campuran dan tidak pada kontrol. Hasil negatif
ditunjukkan dengan tidak terjadinya aglutinasi pada campuran dan kontrol. Hasil
nonspesifik ditunjukkan dengan terjadinya aglutinasi pada campuran dan kontrol.
Uji biakan juga dapat dilakukan dengan menggunakan antiserum Spicer-Edwards
(FDA 2011).
Uji serologis Spicer-Edwards digunakan sebagai alternatif untuk uji
polyvalent H. Hal ini juga dapat digunakan dengan biakan yang memberikan
aglutinasi non-spesifik dalam uji polyvalent H. Uji antiserum Spicer-Edwards
flagellar (H) dilakukan sebagaimana telah dijelaskan pada saat pengujian
formalinized broth dengan uji antiserum polyvalent H di atas.
Uji biokimia
tambahan dilakukan dengan larutan lysine decarboxylase broth, fenol red dulcitol
broth atau purple broth dengan dulcitol 0.5% pada biakan yang menunjukkan
positif flagela pada hasil uji (FDA 2011).
Uji polyvalent somatik (O) dilakukan dengan mengemulsikan biakan dari
media slant TSIA yang telah diinkubasi selama 24-48 jam atau lebih dianjurkan
dari tryptose blood agar dengan 2 ml 0.85% NaCl. Satu uji suspensi biakan dan
antiserum somatik (O) dicampurkan pada gelas objek yang telah ditandai. Untuk
kontrol digunakan satu uji larutan NaCl yang diuji pada gelas objek. Hasil positif
ditunjukkan dengan terjadinya aglutinasi pada pencampuran dan tidak terjadi
aglutinasi pada larutan garam. Hasil negatif ditunjukkan dengan tidak terjadinya
aglutinasi pada pengujian campuran dan kontrol (FDA 2011).
Cemaran Salmonella pada Daging
Berdasarkan aspek global dan aspek kesehatan masyarakat veteriner,
Salmonella merupakan bakteri patogen zoonotik yang dapat mencemari makanan
(Nesbakken 2009). Salmonella dapat menetap di saluran intestinal sebagai bagian
dari flora normal makhluk hidup. Lingkungan yang juga menjadi tempat menetap
Salmonella adalah tanah, air, dan serangga. Tanah dan air dapat tercemar melalui
feses atau melalui serangga yang sebelumnya berkontak dengan feses yang
kemudian dengan mudah berkontak dengan makanan (Brands 2006).
Pada dasarnya tubuh manusia memiliki ketahanan untuk mereduksi bakteri
Salmonella dalam kurun waktu lima sampai tujuh hari. Sehingga manusia atau
hewan yang tidak sakit dapat menularkan penyakit ke individu lain melalui feses
(Brands 2006).
Infeksi Salmonella spp. pada ternak seringkali tidak
memperlihatkan gejala klinis dan pada akhirnya menghasilkan daging yang
tercemar (Newell et al. 2010).
Lawrie dan Ledward (2006) mengemukakan pencemaran pada daging
terjadi melalui infeksi endogenus dan infeksi eksogenus.
Infeksi endogenus
merupakan infeksi terjadi secara in vivo, sedangkan infeksi eksogenus dapat
terjadi sejak pengeluaran darah saat pemotongan sampai daging dikonsumsi.
Kedua aspek tersebut sebaiknya diperhatikan, walaupun konsumen akan lebih
banyak menjumpai kontaminasi daging pascamati (infeksi eksogenus).
Jalur infeksi atau cemaran terpenting Salmonella enterica adalah di
pembibitan, yang mana infeksi diturunkan secara vertikal ke dalam telur tetas.
Sumber lain infeksi Salmonella pada unggas adalah pakan yang tercemar,
rodensia, cacing, dan hewan liar (Humphrey 2006).
Saat hewan dipersiapkan untuk dipotong dan diproses, biasanya hewan
ditangani oleh banyak pekerja. Salmonella atau agen patogen lain yang berada
pada peralatan, tangan atau pakaian pekerja, memungkinkan terjadinya
kontaminasi pada daging (Brands 2006). Pencemaran Salmonella pada daging
sapi biasanya terjadi pada proses pemotongan, khususnya saat eviserasi. Tingkat
cemaran Salmonella di rumah potong bergantung pada higiene pemotongan
(Lawrie & Ledward 2006; Humphrey 2006).
Bhunia (2008) menambahkan,
kolonisasi Salmonella di usus akan meningkatkan risiko pencemaran selama
proses pemotongan. Manusia dapat terinfeksi Salmonella melalui kontak dengan
manusia, hewan, dan makanan yang terkontaminasi (Bell & Kyriakides 2002).
Hewan yang terinfeksi Salmonella sering menunjukkan gejala subklinis
sehingga bakteri ini cenderung menyebar dengan mudah di antara flok atau
kumpulan ternak. Selain itu, hewan dapat menjadi pembawa penyakit (carrier)
yang persisten, sehingga prevalensi kejadian Salmonella tidak mudah dideteksi,
kecuali melalui pengambilan dan pemeriksaan sampel yang rutin (Namata et al.
2005).
Menurut Vindigni et al. (2007) yang dikutip Dallal et al. (2010), daging
unggas dan daging merah (red meat) yang mentah atau tidak dimasak sempurna
merupakan media utama yang penting dalam penularan penyakit. Secara umum,
Salmonella dapat ditemukan pada karkas, baik pada permukaan atau di dalam
ruang abdominal. S. enterica dapat berada di bagian-bagian karkas, seperti dalam
kulit antara kaki dan dada (Humphrey 2006). Selanjutnya, Nógrády et al. (2008)
mendapatkan dari penelitiannya bahwa cemaran Salmonella infantis di rumah
potong unggas di Hungaria barasal dari air yang telah tercemar Salmonella dan
pencemaran silang selama pencabutan bulu, pendinginan, serta penanganan
selama pemotongan (cutting) dan pengemasan (packaging).
Prevalensi Salmonella di Beberapa Tempat
Salmonelosis merupakan foodborne disease yang paling sering terjadi di
negara-negara
berkembang
dan
negara-negara
industri,
walaupun
laju
insidensinya bervariasi di setiap negara (Stevens et al. 2006). Wabah foodborne
disease secara rutin diobservasi dan sering dilaporkan (Newell et al. 2010).
Di Inggris, antara tahun 1968-1973, S. enterica serovar Typhimurium
diperoleh lebih dari 40% dari Salmonella yang diisolasi dari unggas, diikuti oleh
S. enterica serovar Enteritidis (6%), serovar Pullorum (4%), dan serovar
Gallinarum (3%). Namum sejak tahun 1980-an, S. enterica serovar Enteritidis
phage type 4 (PT4) muncul sebagai serovar yang dominan melebihi serovar
Typhimurium. Selain serovar Enteritidis dan Typhimurium, serovar yang sering
diisolasi pada unggas adalah Livingstone, Senftenberg, Kedougou, dan
Montevideo. Seringnya serovar tersebut diisolasi sebenarnya merupakan refleksi
aktivitas surveilans yang lebih baik dibandingkan dengan peningkatan nyata
gejala klinis (Walis 2006). Tingkat pencemaran Salmonella pada daging sapi dan
ayam di beberapa negara diringkas pada Tabel 6.
Tabel 6
Prevalensi Salmonella pada karkas/daging sapi dan ayam di beberapa
negara
Jenis Daging
Lokasi
Prevalensi
Pustaka
Karkas sapi
Rumah Potong, Irlandia Utara
1.5%
Madden et al. (2001)
Daging Sapi
Ritel daging, Dakar, Senegal
87% (174/199)
Stevens et al. (2006)
Daging Sapi
Rumah potong, Dakar, Senegal
43% (101/236)
Stevens et al. (2006)
Daging/karkas sapi
Rumah potong di Vietnam Selatan
27.4% (107/390)
Vo et al. (2006)
Daging sapi
Supermarket, Thailand
24% (6/25)
Minami et al. (2010)
Daging sapi
Pasar tradisional, Thailand
0% (0/4)
Minami et al. (2010)
Daging sapi
Ritel daging, Provinsi Shaanxi, Cina
17% (13/78)
Yang et al. (2010)
Daging sapi
Ritel daging, Teheran, Iran
20% (38/379)
Dallal et al. (2010)
Daging sapi
Supermarket dan pasar
provinsi Hebei, Cina
33.3% (15/45)
Yan et al. (2010)
Daging sapi
Pasar borongan, ritel daging, dan pasar
tradisional di Seoul, Korea Selatan
2.0% (tahun 2009)
Hyeon et al (2011)
Karkas ayam
Supermarket dan toko daging, Barat
Daya Spanyol
55% (22/40)
Capita et al. (2003)
Daging ayam
Toko daging, supermarket dan penjual
di jalan, Provinsi Gauteng, Afrika
Selatan
19.2% (19/99)
Nierop et al. (2005)
Daging ayam
Pasar Kota Metropolitan Kathmandu,
Nepal
14.5% (4/55)
Maharjan et al. (2006)
Vo et al. (2006)
terbuka
di
Karkas/daging ayam
Rumah potong di Vietnam Selatan
38.5% (99/257)
Daging ayam
Pasar di 5 district, Hanoi, Vietnam
48.9% (128/262)
Huong et al. (2006)
Karkas ayam
Rumah potong, Barat Daya Spanyol
17.9% (60/336)
Capita et al. (2007)
Supermarket,
Bursa, Turki
0.60%
(1/168);
Salmonella infantis
Cetinkaya et al. (2008)
Daging ayam (paha
atas)
toko
daging
Provinsi
Daging ayam
Ritel daging, Eastern County Hungaria
72.7%
(40/55)
Salmonella infantis
Nógrády et al. (2008)
Daging ayam
Ritel daging ayam, Kota Namakkal,
India Selatan
15.91% (92/578); S.
Enteritidis
Maripandi
dan
Salamah (2010)
Daging ayam
Supermarket, Thailand
57% (4/7)
Minami et al. (2010)
Daging ayam
Pasar tradisional, Thailand
48% (13/27)
Minami et al. (2010)
Daging ayam
Ritel daging, Provinsi Shaanxi, Cina
54% (276/515)
Yang et al. (2010)
Daging ayam
Ritel daging, Teheran, Iran
45% (86/379)
Dallal et al. (2010)
Pasar Al-Ahsa, Arab Saudi
10%;
arizona
Al-Dughaym
Altabari (2010)
Daging ayam (paha
atas)
Daging ayam
Supermarket dan pasar
provinsi Hebei, Cina
terbuka
di
Salmonella
15.8% (19/120)
Yan et al. (2010)
Ayam (flock)
Peternakan ayam pedaging di Perancis
8.6% (32/370)
Bouquin et al. (2010)
Ayam (flock)
Peternakan komersial ayam broiler di
Valencia (Spanyol Timur)
13.6%.(277/2036)
Marina et al. (2011)
Daging ayam
Pasar borongan, ritel daging, dan pasar
tradisional di Seoul, Korea Selatan
42.3% (tahun 2009)
Hyeon et al. (2011)
Daging ayam
Daging ayam mentah yang dijual di
beberapa pasar di central Anatolia
34% (68/200)
Yildirim et al. (2011)
Daging ayam
Rumah potong unggas di Perancis
7.52% (32/425)
Hue et al. (2011)
Daging ayam
Pasar tradisional di Taipe, Taiwan
41.4%
(173/417)
(tahun 2000-2005)
Chen et al. (2011)
Daging ayam
Ritel daging di Australia Selatan
38.8% (138/356)
Fearnley et al. (2011)
33% (66/200)
Thong
(2011)
Daging ayam dan
sapi
Hypermart dan Ritel di Kuala Lumpur
&
Al-
dan
Modarressi
Dampak Salmonella terhadap Kesehatan Masyarakat
Salmonelosis merupakan salah satu penyakit enterik yang disebabkan oleh
bakteri terpenting yang menyebabkan jutaan kasus penyakit pada manusia dan
hewan, serta menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan di seluruh dunia
(Nógrády et al. 2008).
Salmonelosis pada manusia umumnya dikategorikan
foodborne disease yang disebabkan oleh konsumsi makanan asal hewan yang
tercemar (daging, susu, unggas, telur). Produk susu, termasuk keju dan es krim,
juga pernah berkaitan dengan wabah salmonelosis (Bhunia 2008; Hugas et al.
2009).
Wabah salmonelosis akibat pangan asal hewan yang tercemar terus
mendapat perhatian khusus dari masyarakat dan pemerintah (Cao et al. 2009).
Foodborne disease
yang disebabkan oleh non-typhoid Salmonella
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di seluruh dunia (Yang et
al. 2010). Gejala salmonelosis pada manusia paling sering ditunjukkan sebagai
non-typhoid syndrome, yang meliputi onset demam yang akut, nyeri abdomen,
nausea, dan kadang-kadang muntah. Gejala ini berjalan dalam waktu tertentu
(self-limiting).
Menurut Namata et al. (2009), manusia umumnya terinfeksi
Salmonella karena mengonsumsi telur, daging unggas, daging babi, dan daging
sapi (jarang).
Salmonella menyebabkan tiga bentuk penyakit, yaitu demam tifoid (typhoid
fever), gastroenteritis, dan bakterimia.
Salmonella enterica serovar Typhi
merupakan tipe paling invasif dan menyebabkan demam tifoid, yang merupakan
penyakit sistemik pada manusia.
S. enterica serovar Paratyphi menyebabkan
infeksi seperti tifoid (typhoid-like infection) pada manusia. S. enterica serovar
Typhimurium
dan
serovar
Enteritidis
menyebabkan
gastroenteritis
atau
enterokolitis yang bersifat terbatas, yang umumnya terlokalisasi di saluran
gastrointestinal. Kedua serovar tersebut merupakan serovar yang paling sering
menyebabkan infeksi pada manusia.
S. enterica serovar Typhimurium
menyebabkan infeksi seperti tifoid pada mencit. S. enterica serovar Choleraesuis,
patogen yang beradaptasi pada babi, menyebabkan septisemia (paratifoid) pada
babi.
S. enterica serovar Dublin, patogen yang beradaptasi pada sapi,
menyebabkan bakterimia, peradangan di saluran pencernaan dan aborsi pada sapi.
Serotipe Arizonae menginfeksi reptil.
Ketiga serovar tersebut (Choleraesuis,
Dublin, dan Arizonae) kadang menyebabkan infeksi pada manusia. S. enterica
serovar Pullorum dan Gallinarum menginfeksi unggas (Bhunia 2008). Penyakitpenyakit yang disebabkan oleh Salmonella disarikan pada Tabel 7.
Tabel 7
Penyakit yang dapat disebabkan oleh Salmonella (Bell & Kyriakides
2002)
Penyakit
Serotipe yang
terlibat
Terutama anggota
subgrup/subgenus
I, tetapi dapat pula
subgrup III
Dosis Infektif
Karakteristik Penyakit
Gastroenteritis
Umumnya dibutuhkan jumlah
yang tinggi (>10 000 sel) untuk
menyebabkan sakit, tetapi jika
bakteri ini terlindung, misalnya
adanya kandungan lemak tinggi
dalam makanan, maka jumlah
kecilpun (
AYAM YANG DIJUAL DI PASAR-PASAR DI PROVINSI
JAWA BARAT
EDDY SUKMA WINATA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Keberadaan
Salmonella spp. pada Daging Sapi dan Ayam yang Dijual di Pasar-Pasar di
Provinsi Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2011
Eddy Sukma Winata
B04070082
ABSTRACT
EDDY SUKMA WINATA. Occurance of Salmonella spp. in beef and chicken
meat sold in markets in the Province of West Java. Under direction of
DENNY WIDAYA LUKMAN.
The study was aimed to observe the occurance of Salmonella in beef meat
and chicken meat which were sold in markets in the Province of West Java. A
total of 24 samples of beef meat and 36 samples of chicken meat were taken
purposively from markets in 12 cities/districts in the Province of West Java.
Salmonella was determined with the isolation and identification method according
to the Compendium of Methods for the Microbiological Examination of Foods
(Andrews et al. 2001). The result showed that the occurance of Salmonella in
beef meat and chicken meat sold in markets in the Province of West Java were
54.2% (13 possitive of 24 beef meat samples) dan 66.7% (24 possitive of 36
chicken meat samples), respectively. The high occurance of Salmonella in meat
could be a threat of public health.
RINGKASAN
EDDY SUKMA WINATA. Keberadaan Salmonella spp. pada Daging Sapi
dan Ayam yang Dijual di Pasar-Pasar di Provinsi Jawa Barat. Dibimbing
oleh DENNY WIDAYA LUKMAN.
Sejak tahun 1990 foodborne disease muncul menjadi masalah penting dan
terus berkembang dalam kesehatan masyarakat dan ekonomi di beberapa negara
(Signorini & Flores-Luna 2010). WHO memperkirakan 1.3 miliar kasus diare per
tahun terkait dengan non-tifoid salmonelosis dan menyebabkan kematian 3 juta
manusia setiap tahunnya (Maripandi & Al-Salamah 2010).
Berdasarkan data statistik Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan (Ditjennak Keswan 2009), tahun 2008 jumlah produksi daging sapi
Provinsi Jawa Barat (70010 ekor) menempati urutan kedua terbanyak setelah
Provinsi Jawa Timur (85173 ekor) dan untuk produksi daging ayam Provinsi Jawa
Barat (335151 ekor) menempati urutan pertama. Konsumsi daging sapi dan
daging ayam per kapita per minggu di Provinsi Jawa Barat tahun 2008 berturutturut sebanyak 0.007 kg dan 0.073 kg.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat keberadaan cemaran Salmonella pada
daging sapi dan ayam di pasar-pasar di Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini
dilakukan mulai bulan September 2009 sampai dengan Oktober 2009. Sampel
daging sapi dan ayam diambil dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat,
yaitu Kota Bekasi, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota
Sukabumi, Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kabupaten Cianjur, Kabupaten
Sumedang, Kabupaten Tasikmalaya, Kota Cirebon, dan Kabupaten Indramayu.
Pengujian presumtif Salmonella dilakukan di Laboratorium Kesehatan
Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor (FKH IPB) dan pengujian serologis (konfirmasi) dilakukan di Balai Besar
Penelitian Veteriner (BBALITVET) Bogor.
Jumlah sampel ditentukan secara purposif di pasar dari setiap
kabupaten/kota, yaitu masing-masing dua sampel daging sapi dan tiga sampel
daging ayam dari setiap kabupaten/kota. Jumlah keseluruhan sampel yang
diperiksa sebanyak 24 sampel daging sapi dan 36 sampel daging ayam. Berat
sampel daging sapi yang diambil minimum 300 gram dan sampel daging ayam
setengah karkas. Setiap sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik steril,
kemudian kantong plastik diberi label dan disimpan dalam cool box berisi es.
Sampel diuji maksimum 24 jam setelah pengambilan.
Pengujian Salmonella di laboratorium dilakukan dengan metode isolasi dan
identifikasi menurut the Compendium of Methods for the Microbiological
Examination of Foods (Andrews et al. 2001). Metode ini terdiri atas lima tahap,
yaitu pre-enrichment, selective enrichment, pemupukan pada media selektif,
pengujian biokimia, dan pengujian serologis.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa keberadaan Salmonella pada daging
sapi dan daging ayam yang dijual di pasar-pasar di Provinsi Jawa Barat adalah
berturut-turut 54.2% (13/24 sampel) dan 66.7% (24/36 sampel). Cemaran
Salmonella lebih banyak ditemukan pada daging ayam dibandingkan dengan
daging sapi. Salmonella pada daging sapi ditemukan di Kota Bekasi, Kabupaten
Purwakarta, Kabupaten Bogor, Kota Sukabumi, Kabupaten Bandung, Kabupaten
Cianjur, dan Kabupaten Sumedang, sedangkan di Kota Bogor dan Kabupaten
Tasikmalaya tidak ditemukan. Salmonella pada daging ayam ditemukan di Kota
Bekasi, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Sukabumi,
Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Tasikmalaya, sedangkan di Kabupaten
Cianjur, dan Kabupaten Sumedang tidak ditemukan. Tingkat pencemaran
Salmonella pada daging yang cukup tinggi dapat menjadi ancaman kesehatan
masyarakat.
.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KEBERADAAN Salmonella spp. PADA DAGING SAPI DAN
AYAM YANG DIJUAL DI PASAR-PASAR DI PROVINSI
JAWA BARAT
EDDY SUKMA WINATA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Skripsi
: Keberadaan Salmonella spp. pada Daging Sapi dan Ayam yang
Dijual di Pasar-Pasar di Provinsi Jawa Barat
Nama
: Eddy Sukma Winata
NIM
: B04070082
Disetujui
Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi
Ketua
Diketahui
Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal lulus:
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada Allah
SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang senantiasa dilimpahkan berupa
kekuatan lahir batin sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Judul skripsi adalah
Keberadaan Salmonella spp. pada Daging Sapi dan Ayam yang Dijual di PasarPasar di Provinsi Jawa Barat.
Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. drh. Denny W. Lukman,
M.Si selaku dosen pembimbing yang telah tanpa lelah dan penuh kesabaran
membimbing penulis untuk menyelesaikan penulisan ini dengan baik. Tidak lupa
juga penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. drh. Hj.
Mirnawati B. Sudarwanto, Ibu Prof. Dr. drh. Agatha Winny Sanjaya, MS, Bapak
Dr. drh. Trioso Purnawarman, MSi, Ibu drh. Herwin Pisestyani, M.Si, dan Ibu Ir.
Maya atas dukungan dan bimbingannya selama penelitian. Penulis juga ingin
menyampaikan terimakasih kepada Bapak Tedy Subarkah, AMd dan Bapak
Yuhendra yang telah banyak membantu penelitian ini. Kepada teman-teman satu
penelitian (Inda, Ellangga, Rifqy, Putra, Wulan, Fuji, Ningrum) penulis
berterimakasih atas kerjasama dan bantuannya selama penelitian.
Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Papa, Mama, dan adik
tersayang (Yuheri, SP, Emlisnidar, Alfy Sukma, dan Sri Sukmawati), serta
keluarga besar atas doa, semangat, dan cinta yang telah diberikan. Selanjutnya
ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada keluarga besar Ikatan Pelajar dan
Mahasiswa Minang (IPMM) Bogor dan teman-teman Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) Komisariat Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH
IPB) yang sama-sama berjuang dalam menempuh pendidikan di FKH IPB.
Penulis menyadari penulisan skripsi ini tidak luput dari kekurangan, untuk
itu penulis sangat berterimakasih atas kritik dan saran-saran yang bersifat
membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat.
Bogor, Juli 2011
Eddy Sukma Winata
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat pada tanggal 24
November 1989 dari ayah Yuheri, SP dan ibu Emlisnidar. Penulis merupakan
putra pertama dari tiga bersaudara.
Pendidikan formal penulis dimulai dari SD 26 Bukit Cangang, Bukittinggi
sampai kelas 2 dan kelas 3 sampai kelas 6 ditempuh di SD 07 Gulai Bancah,
Bukittinggi hingga lulus pada tahun 2001, yang kemudian dilanjutkan ke MTsN 1
Model Bukittinggi dan lulus pada tahun 2004. Pendidikan SMA penulis
selesaikan di SMAN 1 Bukittinggi dan lulus pada tahun 2007, kemudian
melanjutkan ke IPB pada tahun yang sama melalui jalur Undangan Seleksi Masuk
IPB (USMI). Jurusan yang dipilih penulis adalah Kedokteran Hewan, Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH IPB).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Ikatan Pelajar dan Mahasiswa
Minang (IPMM) Bogor sebagai Wakil Ketua (2009-2010), Badan Eksekutif
Mahasiswa Kabinet Sinergis 2008-2009 FKH IPB, Himpunan Minat dan Profesi
Satwaliar (SATLI) FKH IPB, dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat
FKH IPB.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………………………………………...………............
xi
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xii
PENDAHULUAN ……………………………………………………….
Latar Belakang …………………………………...……………........
Tujuan ……………………………………………...………….........
1
1
2
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………..........
Karakteristik Salmonella …………………………………....….......
Isolasi dan Identifikasi Salmonella pada Makanan ………………...
Cemaran Salmonella pada Daging ………………...………….…….
Prevalensi Salmonella di Beberapa Tempat …………………….….
Dampak Salmonella terhadap Kesehatan Masyarakat ……………...
Pencegahan Pencemaran Salmonella ……………………………….
3
3
5
11
13
15
17
BAHAN DAN METODE ………………………………….......………….
Waktu dan Tempat Penelitian …………………………………........
Pengambilan dan Jumlah Sampel …………………………………..
Bahan dan Alat ……………………………………………………..
Kuesioner ...........................................................................................
Pengujian Salmonella ………………………………………………
Analisis Data ………………………………………………………..
19
19
19
20
20
21
21
HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………...........
Karakteristik pedagang daging ………………………………….…..
Keberadaan Salmonella pada daging………………………………..
23
23
25
SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………….
Simpulan ...........................................................................................
Saran .................................................................................................
30
30
30
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………..…………
32
LAMPIRAN .................................................................................................
37
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Jumlah produksi daging sapi dan daging ayam di Provinsi Jawa Barat
2
2
Konsumsi daging sapi dan daging ayam per kapita per minggu di
Provinsi Jawa Barat ..............................................................................
2
3
Karakteristik pertumbuhan Salmonella ................................................
3
4
Ringer solution sebagai media selektif untuk Salmonella pada ayam
beku ......................................................................................................
7
5
Karakteristik reaksi Salmonella pada beberapa media isolasi ……….
8
6
Prevalensi Salmonella pada karkas/daging sapi dan ayam di beberapa
negara ...................................................................................................
14
7
Penyakit yang dapat disebabkan oleh Salmonella…………...................
16
8
Lokasi dan jumlah sampel daging sapi dan daging ayam yang diambil
di Provinsi Jawa Barat ..........................................................................
19
Hasil positif uji TSIA dan LIA untuk identifikasi Salmonella ………
22
10 Karakteristik pedagang daging di pasar-pasar tradisional di Provinsi
Jawa Barat ............................................................................................
24
11 Keberadaan Salmonella pada daging sapi dan daging ayam di 12
kabupaten/kota/di Provinsi Jawa Barat ………………………………
25
9
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Kuesioner untuk pedagang daging sapi dan daging ayam ...................
38
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Isolasi Salmonella pertama kali dilaporkan oleh Daniel E. Salmone dari babi
pada tahun 1885 dan organisme tersebut diberi nama Bacterium choleraesuis (saat
ini dikenal Salmonella enterica serovar Choleraesuis). Salmonella menyebabkan
gastroenteritis dan demam tifoid, serta merupakan salah satu patogen utama yang
ditularkan melalui makanan (foodborne pathogen), yang menjadi perhatian
kesehatan masyarakat di negera-negara maju dan berkembang (Stevens et al.
2006; Bhunia 2008). Dalam dua dasawarsa terakhir (sejak 1990), foodborne
disease menjadi masalah penting dan terus berkembang dalam kesehatan
masyarakat dan ekonomi di beberapa negara (Signorini & Flores-Luna 2010).
WHO memperkirakan 1.3 miliar kasus gastroenteritis akut atau diare per tahun
terkait dengan non-tifoid salmonelosis dan menyebabkan kematian 3 juta manusia
setiap tahunnya (Maripandi & Al-Salamah 2010).
Keamanan pangan secara mikrobiologis menjadi perhatian kesehatan
masyarakat yang semakin meningkat di seluruh dunia.
Beberapa studi
epidemiologi menunjukkan bahwa pangan asal hewan merupakan media utama
berkaitan dengan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh Campylobacter,
Salmonella, dan Yersinia spp. (Humphrey 2006).
EFSA (2007) melaporkan
wabah foodborne disease di Uni Eropa pada tahun 2005, yaitu 64% wabah
foodborne disease disebabkan oleh Salmonella (3406 dari 5355 wabah foodborne
disease) dan diikuti oleh Campylobacter (9%; 312 dari 5344 wabah foodborne
disease).
Di Indonesia, daging banyak dikonsumsi oleh masyarakat, khususnya pada
hari besar agama. Ada berbagai macam masakan Indonesia yang menggunakan
daging sebagai bahan baku, baik dimasak dengan cara direbus, ditumis,
dipanggang maupun dibakar. Selain itu, masakan juga dapat disajikan dalam
bentuk matang maupun setengah matang.
Berdasarkan data statistik Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan (Ditjennak Keswan 2009), jumlah produksi daging sapi di Provinsi Jawa
Barat menempati urutan kedua terbanyak setelah Provinsi Jawa Timur dan
produksi daging ayam di Provinsi Jawa Barat menempati urutan pertama. Jumlah
produksi daging sapi dan daging ayam di Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 1.
Pada Tabel 2 dapat dilihat konsumsi daging sapi dan daging ayam per kapita per
minggu di Provinsi Jawa Barat tahun 2007-2008.
Tabel 1
Jumlah produksi daging sapi dan daging ayam di Provinsi Jawa Barat
(Ditjennak Keswan 2009)
Jenis Daging
Tahun
2005
2006
2007
2008
Daging sapi (ekor)
72.529
77.759
50.646
70.010
Daging ayam (ekor)
259.749
276.195
279.851
335.151
Tabel 2
Konsumsi daging sapi dan daging ayam per kapita per minggu di
Provinsi Jawa Barat (Ditjennak Keswan 2009)
Jenis Daging
Satuan
Daging sapi
Daging ayam
Tahun
2007
2008
kg
0.008
0.007
kg
0.079
0.073
Pangan dapat berfungsi sebagai media pembawa agen patogen yang dapat
menyebabkan penyakit pada konsumen (foodborne illness) (Lukman 2009).
Mikroorganisme yang ditemukan pada daging dapat bersifat pembusuk dan
patogen. Bakteri patogen yang penting dari aspek kesehatan masyarakat dan
keamanan pangan adalah Salmonella (Nesbakken 2009).
Melihat
bahaya
penyakit
yang
ditimbulkan
akibat
pencemaran
mikroorganisme patogen khususnya Salmonella, maka perlu dilakukan penelitian
mengenai keberadaan cemaran Salmonella pada daging sapi dan ayam di Provinsi
Jawa Barat melalui pemeriksaan sampel daging secara acak dari beberapa pasar di
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan Salmonella pada
daging sapi dan ayam yang dijual di pasar-pasar di Provinsi Jawa Barat.
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Salmonella
Genus Salmonella merupakan anggota famili Enterobacteriaceae, Gram
negatif, berbentuk batang, tidak berspora, motil (kecuali Salmonella Pullorum dan
S. Gallinarum), memiliki flagela peritrikus, bersifat anaerob fakultatif, tumbuh
pada suhu antara 5-45 °C, dengan suhu optimum 35-37 °C. Salmonella mampu
tumbuh pada pH rendah dan umumnya sensitif pada kadar garam yang meningkat.
Salmonella membentuk rantai filamen yang panjang jika dibiakkan/ditumbuhkan
pada suhu ekstrim 4-8 °C atau 44 °C, serta pada pH 4.4 atau 9.4.
Semua
Salmonella merupakan patogen intraselular fakultatif dan bersifat patogen, serta
dapat menyerang makrofag, sel-sel dendrit, dan epitel (Bhunia 2008). Untuk lebih
lengkap, karakteristik pertumbuhan Salmonella dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Karakteristik pertumbuhan Salmonella (Norhana et al. 2010)
Parameter
Suhu (°C)
Minimum
Optimum
Maksimum
5.2 (sebagian serotipe tidak
berkembang pada suhu 0.99
pH
Daya tahan terhadap
garam (%)
Kelembaban
Salmonella dikelompokkan berdasarkan antigen somatik (O), flagela (H),
dan kapsular (Vi) (Mølbak et al. 2006; Bhunia 2008). Saat ini, terdapat 2463
serotipe Salmonella yang ditempatkan di bawah dua spesies, yaitu Salmonella
enterica dan Salmonella bongori. Salmonella enterica terdiri atas 2443 serotipe
dan Salmonella bongori terdiri atas 20 serotipe. Sekarang Salmonella enterica
terdiri atas enam subspesies yang ditulis dengan angka romawi, yaitu I (enterica),
II (salamae), IIIa (arizonae), IIIb (diarizonae), IV (houtenae), dan VI (indica).
Misalnya, nama isolat Salmonella ditulis sebagai Salmonella enterica subspesies I
serovar Enteritidis (Bhunia 2008).
Serovar-serovar S. enterica dapat dibagi menjadi dua kelompok besar,
bergantung pada perilaku kolonisasi dan kecenderungannya menyebabkan
penyakit sistemik pada induk semang yang sehat dan dewasa. Kelompok pertama
adalah serovar yang beradaptasi pada induk semang (host-adapted), terutama
Salmonella yang menginfeksi induk semang melalui jalur fekal-oral dan
multiplikasi bakteri terutama terjadi secara intraselular di dalam makrofag.
Serovar dalam kelompok ini seperti S. enterica serovar Typhi di manusia, serovar
Dublin di sapi, dan serovar Gallinarum di unggas, yang dicirikan dengan dosis
infektif yang rendah, masa inkubasi yang panjang, dan menyebabkan infeksi yang
sistemik. Kelompok kedua terdiri atas hampir semua serovar Salmonella enterica.
Serovar ini umumnya tidak mampu menyebabkan penyakit sistemik pada induk
semang yang sehat, tidak stres dan dewasa, serta berkoloni di saluran pencernaan
hewan tanpa menyebabkan gejala klinik. Karena berada di saluran pencernaan
hewan, maka serovar ini sering masuk dalam rantai pangan dan menyebabkan
kasus penyakit yang ditularkan melalui makanan atau foodborne salmonelosis
(Humphrey 2006).
Sejarahnya, nomenklatur Salmonella didasarkan pada tempat asal, seperti S.
miami, S. london, S. richmond, S. dublin, S. indiana, S. kentucky, dan S. tennessee.
Sistem klasifikasi ini sekarang tidak dilanjutkan dan Salmonella diklasifikasikan
berdasarkan kepekaannya (susceptibility) terhadap bakteriofage yang berbeda,
yang disebut phage typing. Lebih dari 200 definitive phage types (DT) telah
dilaporkan, seperti phase type (PT) 1, 4, 8, 13, 13a, 23, DT104, DT108, DT204,
dan lain-lain.
Resistensi terhadap antibiotik juga digunakan sebagai
pengklasifikasian Salmonella. Sebagai contoh, DT104 resisten terhadap berbagai
antibiotik seperti ampicillin, chloramphenicol, streptomycin, spectinomycin,
sulfonamides, florfenicol, tetracycline, nalidixic acid dan ciprofloxacin. Sekarang
dilaporkan bahwa DT204 menjadi emerging strain yang resisten terhadap 8-9
antibiotik dan menjadi masalah penting bagi kesehatan manusia (Bhunia 2008).
Dalam sistem nomenklatur modern, informasi mengenai subspesies
diabaikan. Sebagai contoh, isolat dengan nama Salmonella enterica subspesies I
serovar Enteritidis pada kalimat ditulis sebagai Salmonella Enteritidis (Mølbak et
al. 2006; Bhunia 2008). Para ilmuwan saat ini diharapkan mengikuti sistem
klasifikasi dan nomenklatur Salmonella agar terjadi keseragaman dalam laporan
dan menghindari kebingungan yang berlanjut (Bhunia 2008).
Salmonella terdapat di saluran intestinal burung/unggas, reptil, kura-kura,
insekta, ternak, dan manusia (Hanes 2003; Bhunia 2008), namun paling banyak
ditemukan pada unggas (Nørrung et al. 2009).
Spesies ini juga tersebar di
lingkungan alami seperti tanah dan air, yang mana Salmonella dapat bertahan
dalam jangka waktu yang lama, namun tidak dapat memperbanyak diri secara
signifikan seperti saat berada pada inangnya (Bell & Kyriakides 2002).
Isolasi dan Identifikasi Salmonella pada Makanan
Menurut Adams dan Moss (2008) metode isolasi dan identifikasi
Salmonella pada makanan mendapat perhatian lebih dari pada foodborne
pathogen lainnya.
Untuk mengidentifikasi Salmonella pada makanan dapat
menggunakan teknik biakan konvensional. Terdapat lima tahapan prosedur yang
sudah ditetapkan dan dapat diterima secara luas untuk mengidentifikasi
Salmonella pada makanan, yaitu tahap pre-enrichment (pra-pengayaan), selective
enrichment (pengayaan selektif), selective plating media (media pemupukan
selektif), uji biokimia, dan uji serologik.
Tahap pre-enrichment pada media non-selektif merupakan tahapan yang
bertujuan
untuk
meningkatkan
perbaikan
sel
Salmonella
memperbaiki sel-sel yang mengalami kerusakan subletal.
dengan
cara
Kerusakan subletal
dapat diakibatkan dari kondisi yang merugikan selama proses pengolahan
makanan, seperti pendinginan, pembekuan atau pengeringan (Adams & Moss
2008). Pada tahap pre-enrichment berdasarkan ISO 6579 (Horizontal method for
the detection of Salmonella spp.), sampel karkas ayam dibilas selama 2 menit
dengan 225 ml buffered peptone water (BPW) dan selanjutnya diinkubasi pada
suhu 37 °C selama 24 jam (Yildirim et al. 2011). Kegagalan dalam resusitasi sel
bakteri dalam tahap pre-enrichment dapat menyebabkan tidak terdeteksinya
bakteri dalam pengujian, yang mungkin sebenarnya terdapat pada makanan dan
bisa menyebabkan infeksi makanan (Adams & Moss 2008).
Tahap selective enrichment dilakukan untuk meningkatkan perbandingan
jumlah Salmonella dalam jumlah total mikroorganisme yang diinokulasi melalui
peningkatan proliferasi Salmonella dan menekan pertumbuhan bakteri lain.
Media selective enrichment mengandung bahan selektif yang tidak memengaruhi
pertumbuhan Salmonella tetapi menekan pertumbuhan bakteri lain.
Bahan
selektif tersebut, yaitu empedu, brilliant green, tetrathionate, dan selenite. Media
yang sering digunakan adalah selenite-cystine (SC) broth yang berisikan cystine
untuk menstimulasi pertumbuhan Salmonella; Müller-Kauffman tetrathionate
(TT) broth yang mengandung tetrathionate, brilliant green, empedu, dan
Rappaport-Vassiliadis (RV) broth yang berisikan malachite green, magnesium
chloride (MgCl2), dan pH agak rendah (Adams & Moss 2008).
Medium Rappaport-Vassiliadis (RV) secara umum telah diterima sebagai
media yang digunakan selain selenite cystine (SC) dan tetrathionate (TT) broth.
RV dan SC broth digunakan secara paralel pada tahap selective enrichment
(Adams & Moss 2008).
Dalam praktiknya, hanya satu media yang biasa
digunakan pada tahap selective enrichment yaitu RV broth.
SC broth tidak
banyak memperlihatkan hasil positif. Hal ini disebabkan oleh tingginya toksisitas
dari selenite pada penggunaan SC broth yang mencapai level kritis. Beberapa
studi juga memperlihatkan bahwa RV broth dapat mendeteksi Salmonella
Enteritidis (Boer 1998).
Müller et al. (1997) yang dikutip oleh Boer (1998) menyatakan bahwa
tetrathionate brilliant green bile (TTBG) broth menunjukkan produktivitas yang
lebih baik dalam mendeteksi Salmonella pada daging ayam.
komparatif,
media
modified
semisolid
Rappaport-Vassiliadis
Pada studi
(MSRV)
menunjukkan efektifitas yang lebih tinggi dalam pengisolasian Salmonella pada
makanan. Deteksi Salmonella dengan menggunakan media MSRV cukup mudah
dan tidak membutuhkan banyak biaya, serta dapat mendeteksi hasil positif dan
negatif dalam waktu 24 jam sesuai dengan standar metode ISO. Penambahan
buffered peptone water (BPW) dengan ferrioxamine E memperlihatkan
peningkatan motilitas Salmonella dan zona diameter di atas media semi solid
enrichment. Tabel 4 menunjukkan hasil positif Salmonella pada beberapa media
selektif dan dapat dilihat bahwa media Rappaport-Vassiliadis (RV) baik untuk
recovery Salmonella.
Tabel 4
Ringer solution sebagai media selektif untuk Salmonella pada ayam
beku (Busse 1995)
Sampel yang diuji
178
Sampel positif
118
100%
Pre-enrichment
48
41%
Selenite cystine 37 °C
41
35%
Tetrathionate bile 37 °C
35
30%
Rappaport modified 43 °C
72
61%
Ringer solution 37 °C
68
58%
Hasil positif pada:
Setelah 24 jam pada selective enrichment, biakan dari kedua SCB dan TTB
digoreskan pada media selektif seperti brilliant green agar (BGA), hektoen
enteric agar (HEA), dan xylose lysine deoxycholate (XLD) agar dan diinkubasi
pada suhu 37 °C selama 24-48 jam. Koloni Salmonella pada media selektif BGA,
HEA, dan XLD didapatkan setelah 24-48 jam inkubasi (Suresh et al. 2011).
Hasil yang diharapkan pada media ini adalah ketidakmampuan Salmonella
untuk memfermentasi laktosa dan atau memproduksi hidrogen sulfida. Dalam
pemilihan media yang akan digunakan, dianjurkan memilih dua jenis media
berdasarkan pada reaksi diagnostik yang berbeda untuk meyakinkan bahwa
kekhasan galur (seperti galur yang memfermentasi laktosa) tidak terlewatkan
(Adams & Moss 2008). Keberhasilan tahap enrichment merupakan tahapan yang
menentukan dalam deteksi Salmonella. Saat ini, telah dilakukan usaha-usaha
yang bertujuan untuk mengembangkan media dan prosedur untuk tahapan
enrichment (Busse 1995).
Selective plating agar yang memiliki tingkat efektifitas yang tinggi terhadap
perbaikan Salmonella (Boer 1998). Plating media untuk isolasi Salmonella dapat
dibagi ke dalam tiga kelompok berdasarkan agen selektif yang digunakan yaitu
bile salt agar, brilliant green agar, dan bismuth sulphite agar (Busse 1995).
Saat ini, banyak tersedia agar yang mengandung garam empedu, seperti
deoxycholate citrate agars (ditemukan oleh Leifson 1935), Salmonella Shigella
(SS) agar (ditemukan oleh Pollock dan Dahlgren 1974), Hektoen Enteric agar
(ditemukan oleh King dan Metzger 1968) and XLD agar (ditemukan oleh Taylor
1965). Deoxycholate agar dan XLD agar berisikan garam empedu dan sitrat
dalam jumlah 1-2 g/l (Busse 1995).
Terdapat dua modifikasi dari brilliant green agar. Berdasarkan pada ISO,
agar berisikan 4.7 mg/l brilliant green, sedangkan formulasi USP berisikan
hampir tiga kali zat warna.
Pada brilliant green agar, Salmonella dideteksi
dengan ketidakmampuan Salmonella memfermentasi laktosa atau laktosa dan
sukrosa dengan memberikan warna pink pada koloni (Busse 1995). Selanjutnya,
Van Schothorst et al. (1987) yang dikutip oleh Busse (1995) menyarankan
menggunakan mannitol-lysine-crystal violet-brilliant green agar (MLCB) yang
dikombinasikan dengan Rappaport-Vassiliadis Soya (RVS) broth karena memiliki
daya selektif yang tinggi. Tabel 5 memperlihatkan karakteristik reaksi Salmonella
pada beberapa media isolasi.
Tabel 5 Karakteristik reaksi Salmonella pada beberapa media isolasi (Boer 1998)
Media
Rambach
XLT4
SM-ID
NBGL
Selektif/karakteristik diagnostic
Reaksi +/- terhadap
Salmonella
Asam dari propilen glikol
+
β-Galaktosidase dengan kromogenik BCIG
-
Tergitol 4 (pertumbuhan)
+
Produksi H2S
+
Fermentasi laktosa
-
β-Galaktosidase dengan
+
Substrat kromogenik
-
Novobiosin (pertumbuhan)
+
Produksi H2S
+
Fermentasi gliserol
-
Fermentasi laktosa
-
Rambach: Rambach agar (Merck); XLT4: xylose lysine tergitol 4 agar; SM-ID: Salmonella medium SM-ID
(BioMe´rieux); NBGL: novobiocin brilliant green glycerol lactose agar.
Beberapa studi memperlihatkan bahwa selective plating agar yang memiliki
tingkat efektifitas yang tinggi terhadap perbaikan Salmonella dari sampel
makanan dengan aktivitas air tinggi adalah Rambach dan xylose lysine tergitol 4
(XLT4).
Salmonella medium SM-ID (SM-ID) memiliki spesifisitas dan
sensitifitas yang tinggi sebagai media isolasi Salmonella dari sampel makanan
asal hewan. Rambach memilki daya sensitifitas yang sangat tinggi sebagai media
isolasi Salmonella. Rambach dan modified solid Rappaport Vassiliadis (MSRV)
merupakan media yang memiliki spesifisitas yang tinggi sebagai media isolasi
Salmonella (Boer 1998).
Presumtif Salmonella dari media selektif harus dikonfirmasi dengan uji
biokimia dan uji serologi yang menggunakan antisera polivalen O.
Lama
pelaksanaan keseluruhan prosedur minimum empat hari. Selain itu, terdapat pula
teknik biakan pre-enrichment konvensional yang merupakan teknik inokulasi ke
dalam media diagnostik selektif. Media diagnostik selektif tersebut memberikan
perubahan warna dan mampu menggumpalkan partikel latex yang diberikan
coating antibodi terhadap Salmonella.
Hasil positif menghasilkan presumtif
Salmonella, yang harus dikonfirmasi dengan uji serologi konvensional dan uji
biokimia. Dengan teknik ini, identifikasi presumtif Salmonella dilakukan selama
42 jam. Pada metode lain, deteksi Salmonella membentuk imunopresipitasi, yang
mana antibodi terhadap Salmonella berdifusi ke bawah melalui media dan
berkontak dengan bakteri Salmonella yang bergerak ke atas pada media selektif
(Busse 1995).
Menurut Food and Drug Administration (FDA) (2011), konfirmasi
Salmonella dengan uji serologi dapat menggunakan media triple sugar iron agar
(TSIA) dan lysine iron agar (LIA).
Pengujian terhadap koloni yang diduga
Salmonella berdasarkan pada koloni yang menunjukkan tipe morfologi
Salmonella dan koloni yang tidak menunjukkan tipe morfologi Salmonella.
Yildirim et al. (2011) menambahkan bahwa pengujian konfirmasi Salmonella
berhubungan dengan faktor virulensi Salmonella, yaitu aglutinasi antisera O dan
H.
Pengujian terhadap koloni yang menunjukkan tipe morfologi Salmonella
adalah dengan mengambil dua atau lebih koloni, kemudian diinokulasikan pada
media TSIA dan LIA. Inokulan diinkubasi pada suhu 35 °C selama 24 ± 2 jam.
Sumbat tabung dilepas untuk menjaga kondisi aerobik selama inkubasi untuk
mencegah berlebihnya produksi H2S.
Pada media TSIA biakan Salmonella
dicirikan dengan terlihatnya reaksi basa pada slant (merah) dan asam pada butt
(kuning), dengan atau tanpa diproduksinya H2 S (hitam).
Pada media LIA,
Salmonella ditandai dengan timbulnya reaksi basa pada butt (ungu) yang
menunjukkan hasil positif, sedangkan reaksi asam (kuning terang) menunjukkan
hasil negatif. Salmonella pada media LIA memproduksi H2S. Beberapa biakan
non-Salmonella memproduksi warna merah bata pada media LIA (FDA 2011).
Semua biakan yang memberikan reaksi basa pada bagian butt media LIA,
tanpa memerhatikan reaksi pada media TSIA, disimpan sebagai isolat yang
berpotensi sebagai Salmonella dan dilanjutkan ke uji biokimia dan uji serologi.
Biakan yang memberikan reaksi asam pada bagian butt media LIA dan biakan
yang menimbulkan reaksi basa pada bagian slant dan reaksi asam pada bagian
butt media TSIA juga dapat dianggap sebagai biakan yang berpotensi sebagai
Salmonella dan dilanjutkan ke tahap pengujian biokimia dan uji serologi.
Biakan pada LIA yang memproduksi reaksi asam butt dan biakan pada
TSIA yang memproduksi reaksi asam slant dan reaksi asam butt dapat dibuang
dan dianggap negatif Salmonella. Jika biakan TSIA gagal untuk memberikan
reaksi khas untuk Salmonella (basa slant dan asam butt), ambil koloni yang
mencurigakan dari media selektif yang tidak menunjukkan biakan pesumtifpositif, kemudian diinokulasikan ke media TSIA dan LIA (FDA 2011).
Tahap identifikasi Salmonella terhadap biakan murni dari media TSIA dan
LIA dilanjutkan dengan uji urea.
Biakan presumtif-positif TSIA dan LIA
diinokulasikan ke media urea broth, kemudian diinkubasi selama 24 ± 2 jam pada
suhu 35 °C. Hasil positif uji urea ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah
bata pada daerah tusukan (FDA 2011).
Biakan yang tumbuh dari setiap urease-negative TSIA slant diinokulasikan
ke dalam brain heart infusion (BHI) broth dan diinkubasi selama 4-6 jam pada
suhu 35 °C atau diinokulasikan ke dalam trypticase soy-tryptose broth dan
diinkubasi selama 24 ± 2 jam pada suhu 35 °C. Kemudian ke dalam 5 ml kedua
biakan ditambahkan 2.5 ml larutan NaCl fisiologi yang diberi formalin.
Selanjutnya dipilih 2 biakan dari formalinized broth dan diuji dengan antiserum
polivalent flagellar (H). Sebanyak 0.5 ml antiserum polyvalent H ditempatkan
dalam tabung uji serologis berukuran diameter dan tinggi 10 x 75 mm atau 13 x
100 mm. Kemudian 0.5 ml antigen yang akan diuji ditambahkan ke dalam tabung
uji serologi yang berisikan 0.5 ml antiserum polyvalent H.
Larutan NaCl
fisiologis disiapkan sebagai kontrol dengan mencampur 0.5 ml larutan NaCl
fisiologis yang diformalin dengan 0.5 ml antigen formalin. Campuran diinkubasi
dalam penangas air (waterbath) yang bersuhu 48-50 °C. Kemudian diobservasi
setiap 15 menit dan hasil akhir dibaca setelah satu jam. Hasil positif ditunjukkan
dengan terjadinya aglutinasi pada campuran dan tidak pada kontrol. Hasil negatif
ditunjukkan dengan tidak terjadinya aglutinasi pada campuran dan kontrol. Hasil
nonspesifik ditunjukkan dengan terjadinya aglutinasi pada campuran dan kontrol.
Uji biakan juga dapat dilakukan dengan menggunakan antiserum Spicer-Edwards
(FDA 2011).
Uji serologis Spicer-Edwards digunakan sebagai alternatif untuk uji
polyvalent H. Hal ini juga dapat digunakan dengan biakan yang memberikan
aglutinasi non-spesifik dalam uji polyvalent H. Uji antiserum Spicer-Edwards
flagellar (H) dilakukan sebagaimana telah dijelaskan pada saat pengujian
formalinized broth dengan uji antiserum polyvalent H di atas.
Uji biokimia
tambahan dilakukan dengan larutan lysine decarboxylase broth, fenol red dulcitol
broth atau purple broth dengan dulcitol 0.5% pada biakan yang menunjukkan
positif flagela pada hasil uji (FDA 2011).
Uji polyvalent somatik (O) dilakukan dengan mengemulsikan biakan dari
media slant TSIA yang telah diinkubasi selama 24-48 jam atau lebih dianjurkan
dari tryptose blood agar dengan 2 ml 0.85% NaCl. Satu uji suspensi biakan dan
antiserum somatik (O) dicampurkan pada gelas objek yang telah ditandai. Untuk
kontrol digunakan satu uji larutan NaCl yang diuji pada gelas objek. Hasil positif
ditunjukkan dengan terjadinya aglutinasi pada pencampuran dan tidak terjadi
aglutinasi pada larutan garam. Hasil negatif ditunjukkan dengan tidak terjadinya
aglutinasi pada pengujian campuran dan kontrol (FDA 2011).
Cemaran Salmonella pada Daging
Berdasarkan aspek global dan aspek kesehatan masyarakat veteriner,
Salmonella merupakan bakteri patogen zoonotik yang dapat mencemari makanan
(Nesbakken 2009). Salmonella dapat menetap di saluran intestinal sebagai bagian
dari flora normal makhluk hidup. Lingkungan yang juga menjadi tempat menetap
Salmonella adalah tanah, air, dan serangga. Tanah dan air dapat tercemar melalui
feses atau melalui serangga yang sebelumnya berkontak dengan feses yang
kemudian dengan mudah berkontak dengan makanan (Brands 2006).
Pada dasarnya tubuh manusia memiliki ketahanan untuk mereduksi bakteri
Salmonella dalam kurun waktu lima sampai tujuh hari. Sehingga manusia atau
hewan yang tidak sakit dapat menularkan penyakit ke individu lain melalui feses
(Brands 2006).
Infeksi Salmonella spp. pada ternak seringkali tidak
memperlihatkan gejala klinis dan pada akhirnya menghasilkan daging yang
tercemar (Newell et al. 2010).
Lawrie dan Ledward (2006) mengemukakan pencemaran pada daging
terjadi melalui infeksi endogenus dan infeksi eksogenus.
Infeksi endogenus
merupakan infeksi terjadi secara in vivo, sedangkan infeksi eksogenus dapat
terjadi sejak pengeluaran darah saat pemotongan sampai daging dikonsumsi.
Kedua aspek tersebut sebaiknya diperhatikan, walaupun konsumen akan lebih
banyak menjumpai kontaminasi daging pascamati (infeksi eksogenus).
Jalur infeksi atau cemaran terpenting Salmonella enterica adalah di
pembibitan, yang mana infeksi diturunkan secara vertikal ke dalam telur tetas.
Sumber lain infeksi Salmonella pada unggas adalah pakan yang tercemar,
rodensia, cacing, dan hewan liar (Humphrey 2006).
Saat hewan dipersiapkan untuk dipotong dan diproses, biasanya hewan
ditangani oleh banyak pekerja. Salmonella atau agen patogen lain yang berada
pada peralatan, tangan atau pakaian pekerja, memungkinkan terjadinya
kontaminasi pada daging (Brands 2006). Pencemaran Salmonella pada daging
sapi biasanya terjadi pada proses pemotongan, khususnya saat eviserasi. Tingkat
cemaran Salmonella di rumah potong bergantung pada higiene pemotongan
(Lawrie & Ledward 2006; Humphrey 2006).
Bhunia (2008) menambahkan,
kolonisasi Salmonella di usus akan meningkatkan risiko pencemaran selama
proses pemotongan. Manusia dapat terinfeksi Salmonella melalui kontak dengan
manusia, hewan, dan makanan yang terkontaminasi (Bell & Kyriakides 2002).
Hewan yang terinfeksi Salmonella sering menunjukkan gejala subklinis
sehingga bakteri ini cenderung menyebar dengan mudah di antara flok atau
kumpulan ternak. Selain itu, hewan dapat menjadi pembawa penyakit (carrier)
yang persisten, sehingga prevalensi kejadian Salmonella tidak mudah dideteksi,
kecuali melalui pengambilan dan pemeriksaan sampel yang rutin (Namata et al.
2005).
Menurut Vindigni et al. (2007) yang dikutip Dallal et al. (2010), daging
unggas dan daging merah (red meat) yang mentah atau tidak dimasak sempurna
merupakan media utama yang penting dalam penularan penyakit. Secara umum,
Salmonella dapat ditemukan pada karkas, baik pada permukaan atau di dalam
ruang abdominal. S. enterica dapat berada di bagian-bagian karkas, seperti dalam
kulit antara kaki dan dada (Humphrey 2006). Selanjutnya, Nógrády et al. (2008)
mendapatkan dari penelitiannya bahwa cemaran Salmonella infantis di rumah
potong unggas di Hungaria barasal dari air yang telah tercemar Salmonella dan
pencemaran silang selama pencabutan bulu, pendinginan, serta penanganan
selama pemotongan (cutting) dan pengemasan (packaging).
Prevalensi Salmonella di Beberapa Tempat
Salmonelosis merupakan foodborne disease yang paling sering terjadi di
negara-negara
berkembang
dan
negara-negara
industri,
walaupun
laju
insidensinya bervariasi di setiap negara (Stevens et al. 2006). Wabah foodborne
disease secara rutin diobservasi dan sering dilaporkan (Newell et al. 2010).
Di Inggris, antara tahun 1968-1973, S. enterica serovar Typhimurium
diperoleh lebih dari 40% dari Salmonella yang diisolasi dari unggas, diikuti oleh
S. enterica serovar Enteritidis (6%), serovar Pullorum (4%), dan serovar
Gallinarum (3%). Namum sejak tahun 1980-an, S. enterica serovar Enteritidis
phage type 4 (PT4) muncul sebagai serovar yang dominan melebihi serovar
Typhimurium. Selain serovar Enteritidis dan Typhimurium, serovar yang sering
diisolasi pada unggas adalah Livingstone, Senftenberg, Kedougou, dan
Montevideo. Seringnya serovar tersebut diisolasi sebenarnya merupakan refleksi
aktivitas surveilans yang lebih baik dibandingkan dengan peningkatan nyata
gejala klinis (Walis 2006). Tingkat pencemaran Salmonella pada daging sapi dan
ayam di beberapa negara diringkas pada Tabel 6.
Tabel 6
Prevalensi Salmonella pada karkas/daging sapi dan ayam di beberapa
negara
Jenis Daging
Lokasi
Prevalensi
Pustaka
Karkas sapi
Rumah Potong, Irlandia Utara
1.5%
Madden et al. (2001)
Daging Sapi
Ritel daging, Dakar, Senegal
87% (174/199)
Stevens et al. (2006)
Daging Sapi
Rumah potong, Dakar, Senegal
43% (101/236)
Stevens et al. (2006)
Daging/karkas sapi
Rumah potong di Vietnam Selatan
27.4% (107/390)
Vo et al. (2006)
Daging sapi
Supermarket, Thailand
24% (6/25)
Minami et al. (2010)
Daging sapi
Pasar tradisional, Thailand
0% (0/4)
Minami et al. (2010)
Daging sapi
Ritel daging, Provinsi Shaanxi, Cina
17% (13/78)
Yang et al. (2010)
Daging sapi
Ritel daging, Teheran, Iran
20% (38/379)
Dallal et al. (2010)
Daging sapi
Supermarket dan pasar
provinsi Hebei, Cina
33.3% (15/45)
Yan et al. (2010)
Daging sapi
Pasar borongan, ritel daging, dan pasar
tradisional di Seoul, Korea Selatan
2.0% (tahun 2009)
Hyeon et al (2011)
Karkas ayam
Supermarket dan toko daging, Barat
Daya Spanyol
55% (22/40)
Capita et al. (2003)
Daging ayam
Toko daging, supermarket dan penjual
di jalan, Provinsi Gauteng, Afrika
Selatan
19.2% (19/99)
Nierop et al. (2005)
Daging ayam
Pasar Kota Metropolitan Kathmandu,
Nepal
14.5% (4/55)
Maharjan et al. (2006)
Vo et al. (2006)
terbuka
di
Karkas/daging ayam
Rumah potong di Vietnam Selatan
38.5% (99/257)
Daging ayam
Pasar di 5 district, Hanoi, Vietnam
48.9% (128/262)
Huong et al. (2006)
Karkas ayam
Rumah potong, Barat Daya Spanyol
17.9% (60/336)
Capita et al. (2007)
Supermarket,
Bursa, Turki
0.60%
(1/168);
Salmonella infantis
Cetinkaya et al. (2008)
Daging ayam (paha
atas)
toko
daging
Provinsi
Daging ayam
Ritel daging, Eastern County Hungaria
72.7%
(40/55)
Salmonella infantis
Nógrády et al. (2008)
Daging ayam
Ritel daging ayam, Kota Namakkal,
India Selatan
15.91% (92/578); S.
Enteritidis
Maripandi
dan
Salamah (2010)
Daging ayam
Supermarket, Thailand
57% (4/7)
Minami et al. (2010)
Daging ayam
Pasar tradisional, Thailand
48% (13/27)
Minami et al. (2010)
Daging ayam
Ritel daging, Provinsi Shaanxi, Cina
54% (276/515)
Yang et al. (2010)
Daging ayam
Ritel daging, Teheran, Iran
45% (86/379)
Dallal et al. (2010)
Pasar Al-Ahsa, Arab Saudi
10%;
arizona
Al-Dughaym
Altabari (2010)
Daging ayam (paha
atas)
Daging ayam
Supermarket dan pasar
provinsi Hebei, Cina
terbuka
di
Salmonella
15.8% (19/120)
Yan et al. (2010)
Ayam (flock)
Peternakan ayam pedaging di Perancis
8.6% (32/370)
Bouquin et al. (2010)
Ayam (flock)
Peternakan komersial ayam broiler di
Valencia (Spanyol Timur)
13.6%.(277/2036)
Marina et al. (2011)
Daging ayam
Pasar borongan, ritel daging, dan pasar
tradisional di Seoul, Korea Selatan
42.3% (tahun 2009)
Hyeon et al. (2011)
Daging ayam
Daging ayam mentah yang dijual di
beberapa pasar di central Anatolia
34% (68/200)
Yildirim et al. (2011)
Daging ayam
Rumah potong unggas di Perancis
7.52% (32/425)
Hue et al. (2011)
Daging ayam
Pasar tradisional di Taipe, Taiwan
41.4%
(173/417)
(tahun 2000-2005)
Chen et al. (2011)
Daging ayam
Ritel daging di Australia Selatan
38.8% (138/356)
Fearnley et al. (2011)
33% (66/200)
Thong
(2011)
Daging ayam dan
sapi
Hypermart dan Ritel di Kuala Lumpur
&
Al-
dan
Modarressi
Dampak Salmonella terhadap Kesehatan Masyarakat
Salmonelosis merupakan salah satu penyakit enterik yang disebabkan oleh
bakteri terpenting yang menyebabkan jutaan kasus penyakit pada manusia dan
hewan, serta menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan di seluruh dunia
(Nógrády et al. 2008).
Salmonelosis pada manusia umumnya dikategorikan
foodborne disease yang disebabkan oleh konsumsi makanan asal hewan yang
tercemar (daging, susu, unggas, telur). Produk susu, termasuk keju dan es krim,
juga pernah berkaitan dengan wabah salmonelosis (Bhunia 2008; Hugas et al.
2009).
Wabah salmonelosis akibat pangan asal hewan yang tercemar terus
mendapat perhatian khusus dari masyarakat dan pemerintah (Cao et al. 2009).
Foodborne disease
yang disebabkan oleh non-typhoid Salmonella
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di seluruh dunia (Yang et
al. 2010). Gejala salmonelosis pada manusia paling sering ditunjukkan sebagai
non-typhoid syndrome, yang meliputi onset demam yang akut, nyeri abdomen,
nausea, dan kadang-kadang muntah. Gejala ini berjalan dalam waktu tertentu
(self-limiting).
Menurut Namata et al. (2009), manusia umumnya terinfeksi
Salmonella karena mengonsumsi telur, daging unggas, daging babi, dan daging
sapi (jarang).
Salmonella menyebabkan tiga bentuk penyakit, yaitu demam tifoid (typhoid
fever), gastroenteritis, dan bakterimia.
Salmonella enterica serovar Typhi
merupakan tipe paling invasif dan menyebabkan demam tifoid, yang merupakan
penyakit sistemik pada manusia.
S. enterica serovar Paratyphi menyebabkan
infeksi seperti tifoid (typhoid-like infection) pada manusia. S. enterica serovar
Typhimurium
dan
serovar
Enteritidis
menyebabkan
gastroenteritis
atau
enterokolitis yang bersifat terbatas, yang umumnya terlokalisasi di saluran
gastrointestinal. Kedua serovar tersebut merupakan serovar yang paling sering
menyebabkan infeksi pada manusia.
S. enterica serovar Typhimurium
menyebabkan infeksi seperti tifoid pada mencit. S. enterica serovar Choleraesuis,
patogen yang beradaptasi pada babi, menyebabkan septisemia (paratifoid) pada
babi.
S. enterica serovar Dublin, patogen yang beradaptasi pada sapi,
menyebabkan bakterimia, peradangan di saluran pencernaan dan aborsi pada sapi.
Serotipe Arizonae menginfeksi reptil.
Ketiga serovar tersebut (Choleraesuis,
Dublin, dan Arizonae) kadang menyebabkan infeksi pada manusia. S. enterica
serovar Pullorum dan Gallinarum menginfeksi unggas (Bhunia 2008). Penyakitpenyakit yang disebabkan oleh Salmonella disarikan pada Tabel 7.
Tabel 7
Penyakit yang dapat disebabkan oleh Salmonella (Bell & Kyriakides
2002)
Penyakit
Serotipe yang
terlibat
Terutama anggota
subgrup/subgenus
I, tetapi dapat pula
subgrup III
Dosis Infektif
Karakteristik Penyakit
Gastroenteritis
Umumnya dibutuhkan jumlah
yang tinggi (>10 000 sel) untuk
menyebabkan sakit, tetapi jika
bakteri ini terlindung, misalnya
adanya kandungan lemak tinggi
dalam makanan, maka jumlah
kecilpun (