Escherichia coli yang Resisten terhadap Antibiotik yang Diisolasi dari Sapi Potong yang Diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta

Escherichia coli YANG RESISTEN TERHADAP ANTIBIOTIK
YANG DIISOLASI DARI SAPI POTONG YANG DIIMPOR
MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK JAKARTA

GIGIH IKHTIARI ERFIANTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Escherichia coli yang Resisten
terhadap Antibiotik yang Diisolasi dari Sapi Potong yang Diimpor melalui
Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Gigih Ikhtiari Erfianto
NIM B 251120131

RINGKASAN
GIGIH IKHTIARI ERFIANTO. Escherichia coli yang Resisten Terhadap
Antibiotik yang Diisolasi dari Sapi Potong yang Diimpor Melalui Pelabuhan
Tanjung Priok Jakarta. Dibimbing oleh TRIOSO PURNAWARMAN dan HADRI
LATIF.
Resistensi antibiotik merupakan perhatian utama di bidang kesehatan
masyarakat. Tingkat resistensi terhadap antibiotik pada bakteri komensal
Escherichia coli (E. coli) dipandang sebagai indikator yang baik untuk melihat
cara penggunaan antibiotik dan masalah resistensinya. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk melihat keadaan resistensi E. coli pada sapi potong dari Australia
yang diimpor melalui pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Isolat E. coli (n=60) diperoleh dari 20 sampel feses sapi potong. Besaran
sampel ditentukan menggunakan metode detect diseases. Seluruh isolat yang
berjumlah 60 diuji resistensinya terhadap 10 jenis agen antibiotik (ampisillin,
sefalotin, eritromisin, tetrasiklin, streptomisin, gentamisin, kloramfenikol,

trimetoprim-sulfametoksasol, asam nalidiksid, dan enrofloksasin) dengan
menggunakan metode disc diffusion pada agar Muller-Hinton dan interprestasi
hasil mengacu pada pedoman Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI).
Hasil pengujian resistensi pada isolat menunjukkan 6 isolat (10%) masih
sensitif terhadap 10 agen. Isolat telah resisten terhadap eritromisin 49 (81.7%),
cefalotin 22 (36.7%), ampisillin 15 (25%), streptomisin 2 (3.3%), tetrasiklin 2
(3.3%), enrofloksasin 1 (1.7%), dan trimetoprim-sulfametoksasol 1 (1.7%). Tidak
ditemui resistensi terhadap agen antibiotik gentamisin, asam nalidiksid dan
kloramfenikol. E coli yang berasal dari sapi potong impor dan telah mengalami
resistensi terhadap antibiotik memiliki potensi menyebarkan resistensi tersebut.
Kemampuan E. coli untuk memindahkan gen resisten tersebut harus diwaspadai
terhadap penyebarannya di Indonesia.
Kata kunci: Escherichia coli, resistensi antibiotik, sapi potong

SUMMARY
GIGIH IKHTIARI ERFIANTO. Antibiotic Resistance in Escherichia coli Isolates
from Imported Beef Cattles through Tanjung Priok Port Jakarta. Supervised by
TRIOSO PURNAWARMAN and HADRI LATIF.
Antibiotic resistance is a major global public health concern. Level of
antibiotic resistance in commensal Escherichia coli (E. coli) is considered to be a

good indicator of the selection pressure exerted by antibiotic use and for resistance
problems. The purposed of this study was to determine E. coli resistance in beef
cattle from Western Australia and Queensland imported through Tanjung Priok
port, Jakarta.
E. coli (n=60) isolates were collected from 20 samples of beef cattle feses.
Samples size counted using detect diseases method. A total of 60 E. coli isolates
were tested for resistance to 10 antimicrobial agents (ampicillin, cephalothin,
erytromycin, tetracycline, streptomycin, gentamycin, chloramphenicol,
trimethoprim-sulfamethoxazole, nalidixic acid, and enrofloxacin) using the disc
diffusion method on Muller-Hinton agar following Clinical and Laboratory
Standards Institute (CLSI) guidelines for interpretation.
Testing the antibiotic resistence of the isolates showed 6 isolates (10%) were
still sensitive to 10 antimicrobial agents. Isolates were resistant to erythromycin
49 (81.7%), cephalotin 22 (36.7%), ampicillin 15 (25%), streptomycin two
(3.3%), tetracycline 2 (3.3%), enrofloxacin 1 (1.7%), and trimethopimsulfamethoxazole 1 (1.7%). There was no resistance in antibiotic of types
gentamycin, nalidixcid acid and chloramphenicol. E coli derived from imported
beef cattle and resistant to antibiotics have the potential spread of antibiotic
resistance. The ability from E. coli to transfer the resistant geneand its spread in
Indonesia should be taken into account.
Key words: antimicrobial resistance, beef cattle, Escherichia coli


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

Escherichia coli YANG RESISTEN TERHADAP ANTIBIOTIK
YANG DIISOLASI DARI SAPI POTONG YANG DIIMPOR
MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK JAKARTA

GIGIH IKHTIARI ERFIANTO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains

pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi

Judul Tesis : Escherichia coli yang Resisten terhadap Antibiotik yang Diisolasi dari
Sapi Potong yang Diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta
Nama
: Gigih Ikhtiari Erfianto
NIM
: B251120131
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Drh Trioso Purnawarman, MSi

Ketua

Dr med vet Drh Hadri Latif, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi

Tanggal Ujian: 19 Agustus 2014

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2013 hingga April
2014 adalah resistensi antibiotik, dengan Escherichia coli yang Resisten terhadap
Antibiotik yang Diisolasi dari Sapi Potong yang Diimpor melalui Pelabuhan Tanjung
Priok Jakarta
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Drh Trioso
Purnawarman, MSi dan Dr med vet Drh Hadri Latif, MSi selaku pembimbing yang
selama ini telah bersedia membimbing penulis selama proses penulisan tesis. Terima
kasih kepada Bapak Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi selaku Ketua
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner dan penguji luar komisi yang telah
memberikan saran, perbaikan, dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis.
Seluruh dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner SPs IPB atas
bimbingannya selama menempuh pendidikan. Penulis juga mengucapkan terimakasih
kepada staf laboratorium Terpadu IPB, staf Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi
Produk Hewan (BPMSPH) Bogor, dan staf bagian Bakteriologi Balai Besar Veteriner
(BBalitvet) yang memberikan bantuannya kepada penulis selama penelitian.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Badan Sumber Daya Manusia
Kementerian Pertanian yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

menempuh pendidikan sekolah pascasarjana di IPB, Kepala Balai Besar Karantina
Pertanian (BBKP) Soekarno-Hatta yang telah memberikan dukungan moral selama
penulis menempuh pendidikan, Kepala Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP)
Tanjung Priok atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk pengambilan
sampel. Teman-teman mahasiswa SPs KMV angkatan tahun 2012 (Eko Susanto,
Vita, Melani, Anis, Dede, Murni, Rastina, Loisa, Karunia, Risma, dan Nining).
Kedua orang tua penulis (Bapak Maryoto dan Ibu Harminatun), istri tercinta (Sri
Wahyuni Siswanti) dan kedua putri penulis (Westra Bornie Kailani dan Alana
Kikandriya Pramudhita) yang selalu memberikan semangat, dukungan dan doanya
kepada penulis. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih mempunyai keterbatasan.
Kritik dan saran membangun penulis harapkan dari semua pihak, dan semoga hasil
penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Gigih Ikhtiari Erfianto

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN

1

Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian


1
2
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Antibiotik
Penggunaan Antibiotik pada Peternakan
Resistensi Antibiotik
Resistensi Antibiotik pada Escherichia coli
Gambaran Resistensi Antibiotik pada Escherichia coli di Indonesia
Gambaran Resistensi Antibiotik pada Escherichia coli di Australia

3
3
4
4
5
5

6

3 METODE
Kerangka Konsep Penelitian
Tempat Penelitian
Waktu Penelitian
Metode Pengambilan Sampel
Isolasi dan Identifikasi Bakteri
Metode Isolasi Escherichia coli
Metode Deteksi Escherichia coli Patogen
Uji Resistensi Bakteri
Pengujian Laboratorium
Isolasi Escherichia coli
Pengujian Produksi Hemolisin
Pengujian Kepekaan Terhadap Antibiotik
Analisis Data

6
6
7
7
7
8
8
8
9
9
9
11
11
12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Isolasi Escherichia coli dari Sampel Feses
Deteksi Escherichia coli Patogen
Pengujian Kepekaan Escherichia coli Terhadap Antibiotik
Pembahasan
Isolasi Escherichia coli dari Sampel Feses
Deteksi Escherichia coli Patogen
Pengujian Kepekaan Escherichia coli terhadap Antibiotik

12
12
12
12
12
14
14
15
15

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

17
17
18

DAFTAR PUSTAKA

18

LAMPIRAN

21

RIWAYAT HIDUP

24

1

DAFTAR TABEL

Jumlah dan frekeunsi sapi potong yang diimpor melalui Pelabuhan
Tanjung Priok (BBKP Tanjung Priok 2013)
1
2 Hasil reaksi indole, methyl red, Voges-Proskauer,dan citrate (IMViC)
pada E. coli
8
3 Standar interprestasi diameter zona hambat antibiotik (CLSI 2012)
9
4 Jumlah sampel dan hasil pengujian terhadap E. coli
12
5 Pola resistensi isolat E. coli terhadap golongan antibiotik
14

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka konsep penelitian
2 Koloni diduga E. coli dalam media Mac Conkey agar
3 Koloni diduga E. coli dalam media L-EMB agar
4 Hasil uji biokimia IMViC
5 Bentuk hemolisis tipe β
6 Hasil uji kepekaan terhadap antibiotik
7 Tingkat kepekaan bakteri E. coli terhadap antibiotik

6
10
10
10
11
11
13

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil pengujian resistensi terhadap 10 antibiotik pada 60 Isolat

2

Hasil pengujian serotiping Escherichia coli

21
23

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Resistensi antibiotik telah menjadi perhatian penting di bidang kesehatan
masyarakat, terutama pada bidang pengobatan, sehingga menyebabkan sedikit
pilihan obat untuk menyembuhkan suatu penyakit (Shakya et al. 2013).
Resistensi antibiotik adalah dampak yang tidak diinginkan dari penggunaan
antibiotik pada manusia dan hewan. Akibat dari paparan terus menerus dari
penggunaan antibiotik diantaranya adalah bakteri yang resisten, baik yang
patogen, komensal, maupun bakteri lingkungan (EFSA dan ECDC 2013).
Escherichia coli (E. coli) secara alami merupakan bakteri komensal pada
saluran pencernaan hewan maupun manusia. Bakteri ini juga berperan untuk
mencegah organisme patogen di dalam saluran pencernaan. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa E. coli sebagai flora normal saluran pencernaan dapat
menghambat pertumbuhan strain toksigenik E. coli lain yang berkaitan dengan
penyakit food-borne pada manusia. Beberapa strain E. coli biasanya menjadi
patogen karena adanya kemampuan patogenik dan virulen gen yang berada pada
transmissible genetic element. Keadaan ini tidak bisa dibedakan dengan strain
E. coli yang komensal (Ajayi et al. 2011). E. coli umumnya dipilih sebagai
indikator bakteri Gram negatif yang mudah ditemukan dalam feses hewan dan
sering diperoleh plasmid yang secara konjugasi dapat berpindah antar bakteri
enterik lainnya. Keberadaan E. coli yang memiliki gen resisten terhadap antibiotik
dapat menyebarkan gen tersebut secara horisontal ke bakteri zoonotik dan bakteri
lain (EFSA dan ECDC 2013).
Kebutuhan daging Indonesia untuk konsumsi dan industri pada tahun 2012
sebanyak 484 ribu ton. Kebutuhan tersebut baru bisa dicukupi dari pemotongan
sapi lokal sebanyak 399 ribu ton (82.5%), sehingga masih terdapat kekurangan
penyediaan sebesar 85 ribu ton (17.5%). Salah satu cara untuk memenuhi
kekurangan tersebut adalah dengan melakukan impor sapi potong dari Australia
sebanyak 283 ribu ekor (Ditjen PKH 2012). Beberapa pelabuhan di Indonesia
ditunjuk sebagai tempat masuk dari sapi potong impor tersebut dan salah satu
pelabuhan tersebut adalah Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Frekuensi dan jumlah
sapi potong impor dari Australia yang melalui pelabuhan Tanjung Priok dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1 Jumlah dan frekeunsi sapi potong yang diimpor melalui Pelabuhan
Tanjung Priok (BBKP Tanjung Priok 2013)
Tahun 2011

Tahun 2012

Tahun 2013

Jumlah
(ekor)

Frekuensi

Jumlah
(ekor)

Frekuensi

Jumlah
(ekor)

Frekuensi

180 472

81

129 916

88

176 327a

140

a

Jumlah sampai dengan 15 November 2013

2
Importasi sapi potong dapat berpotensi membawa E. coli yang resisten
terhadap antibiotik tertentu. Keberadaan E. coli yang resisten terhadap antibiotik
dapat berpotensi mentransferkan gen resisten tersebut ke bakteri lain terutama
yang tergolong dalam foodborne bakteri dan apabila menginfeksi ke manusia
dapat menyebabkan kerugian bagi kesehatan manusia, diantaranya adalah
kegagalan pengobatan dengan antibiotik terhadap agen penyakit yang telah
resisten.
Resistensi terhadap foodborne bakteri bisa terjadi akibat penggunaan
antibiotik pada hewan secara terus menerus dan tidak terkontrol. Penggunaan
antibiotik di peternakan bertujuan untuk mengobati penyakit, mencegah terjadinya
penyakit dengan menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen dan sebagai
bahan tambahan dalam pakan hewan (feed additive) yang dapat membantu proses
metabolisme yang ada dalam tubuh sehingga berfungsi sebagai pemacu
pertumbuhan (growth promotor). Pemakaian antibiotik dalam waktu yang lama
dan terus menerus akan berpengaruh secara signifikan terhadap ketahanan bakteri,
baik patogen maupun mikroflora normal di dalam tubuh makhluk hidup.
Kang et al. (2005) menyatakan bahwa penggunaan antibiotik dalam pakan ternak
berhubungan erat dengan kejadian resistensi antimikrobial terhadap bakteri.
Resistensi dapat terjadi pada bakteri E. coli yang merupakan bakteri
komensal pada pencernaan hewan dan ada beberapa strain yang bersifat patogen
terhadap manusia. Penanganan yang kurang bijaksana selama masa pemeliharaan
di feedlot akan dapat meningkatkan potensi resistensi terhadap antibiotik.
Kontaminasi pada daging pada saat proses pemotongan perlu diwaspadai karena
kontaminasi oleh E. coli yang telah mengalami resistensi terutama dari strain yang
patogen akan menimbulkan ancaman bagi kesehatan manusia.
Daging yang terkontaminasi oleh E. coli yang telah resisten dapat
memindahkan bakteri tersebut ke manusia melalui jalur rantai makanan atau
secara kontak langsung, akibatnya koloni E. coli asal hewan dapat ditemukan
berada di manusia dan karena sifatnya yang resisten terhadap antibiotik maka
dapat menyebabkan infeksi dengan sedikit pilihan obat dalam penyembuhannya.
Kondisi ini dapat menyebabkan kegagalan pengobatan dan dapat menimbulkan
masalah serius terhadap pasien. E. coli asal hewan yang telah reisten juga dapat
berperan sebagai donor gen yang resisten terhadap antibiotik pada E. coli yang
patogen (Hammerum dan Heuer 2009).
Perumusan Masalah
Importasi sapi potong dapat berpotensi membawa E. coli yang resisten
terhadap antibiotik tertentu. Keberadaan E. coli yang resisten terhadap antibiotik
dapat berpotensi mentransferkan gen resisten tersebut ke bakteri lain terutama
yang tergolong dalam foodborne bakteri dan apabila menginfeksi ke manusia
dapat menyebabkan kerugian bagi kesehatan manusia, diantaranya adalah
kegagalan pengobatan dengan antibiotik terhadap agen penyakit yang telah
resisten.

3
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengisolasi dan menguji tingkat
resistensi E. coli yang berasal dari feses sapi potong yang diimpor melalui
pelabuhan Tanjung Priok terhadap berbagai antibiotik.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi ilmiah mengenai
E. coli yang diisolasi dari feses sapi potong yang diimpor melalui pelabuhan
Tanjung Priok dan informasi ilmiah mengenai resistensinya terhadap antibiotik
sehingga dapat mencegah peluang penyebaran bakteri yang mengalami resistensi.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Antibiotik
Antibiotik adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh cendawan atau
bakteri yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri atau
mikroorganisme lain (JETACAR 1999). Komponen antibiotik dapat disintesis
secara kimiawi maupun diproduksi secara alami (Guilfoile 2007). Antibiotik
dikenal juga sebagai agen antimikroba, merupakan obat yang melawan infeksi,
terutama yang disebabkan oleh bakteri. Beberapa antibiotik merupakan senyawa
sintetis (tidak dihasilkan oleh mikroorganisme) juga dapat membunuh atau
menghambat pertumbuhan bakteri.
Meskipun antibiotik memiliki banyak
manfaat, tetapi penggunaannya telah berkontribusi tehadap terjadinya resistensi
(Katzung 2007).
Prinsip cara kerja antibiotik adalah dengan menghambat kerja enzim,
membuat perubahan molekul protein dan asam nukleat, sehingga menghambat
sintesis dari asam nukleat mikroorganisme patogen. Zat antibiotik dapat berupa
peptidoglikan (materi penyusun membran sel) yang mirip dengan peptidoglikan
bakteri patogen sehingga menyebabkan bakteri patogen tersebut akan mengambil
peptidoglikan antibiotik untuk menyusun dinding sel bakterinya, karena secara
substansi fungsi biologisnya berbeda mengakibatkan dinding sel bakteri tersebut
tidak berfungsi sehingga menyebabkan bakteri patogen tidak berkembang dan
mati (Madiggan et al. 2012).
Menurut Lüllmann et al. (2005) berdasarkan aktivitasnya, antibiotik dibagi
menjadi dua golongan besar, yaitu:
a. Antibiotik kerja luas (broad spectrum) adalah golongan yang dapat
menghambat pertumbuhan dan mematikan bakteri Gram positif maupun
bakteri Gram negatif. Contohnya tetrasiklin dan derivatnya, kloramfenikol,
ampisilin, sefalosporin, dan karbapenem.
b. Antibiotik kerja sempit (narrow spectrum) adalah golongan yang hanya aktif
terhadap beberapa bakteri saja. Contohnya penisilin, streptomisin, neomisin,
dan basitrasin.

4
Penggunaan Antibiotik pada Peternakan
Menurut Yuningsih (2005) penggunaan antibiotik di peternakan bertujuan
untuk pengobatan sehingga dapat mengembalikan kondisi ternak menjadi normal
kembali (sehat). Tujuan lain dari pemakaian antibiotika adalah sebagai imbuhan
pakan sehingga dapat mempercepat pertumbuhan ternak. Antibiotik ditambahkan
biasanya sebagai imbuhan pakan (feed additive) untuk memacu pertumbuhan yang
secara umum bermanfaat karena secara tidak langsung berpengaruh terhadap
pertumbuhan mikroorganisme perusak zat-zat gizi dalam pakan dan merangsang
pertumbuhan mikroorganisme pembentukan asam amino.
Antibiotik pada ternak di beberapa negara digunakan dalam jumlah yang
cukup besar terutama untuk meningkatkan produktivitas ternak. Sebanyak 5 100
sampai 10 825 ton antibiotik dari golongan makrolida, polipeptida, fenikol dan
aminoglikosida digunakan di Amerika Serikat sebagai pemacu pertumbuhan
ternak pada pertengahan tahun 1990-an (Marshall dan Levy 2011). Peternak di
Jepang menggunakan antibiotik dari golongan tetrasiklin, fenikol, aminoglikosida,
fluorokuinolon, dan sulfonamides sebanyak 870 ton untuk ternak unggas, babi,
dan sapi (Harada dan Asai 2010). Sektor peternakan Australia menggunakan
sebanyak 358.9 ton antibiotik diantaranya dari golongan makrolida dan
aminoglikosida pada tahun 2010. Menurut Bahri et al. (2005), sebagian besar
pakan komersial yang beredar di Indonesia mengandung antibiotik dan digunakan
secara luas di peternakan ayam, sapi perah, dan sapi potong. Antibiotik yang
digunakan diantaranya dari golongan makrolida, aminoglikosida, dan tetrasiklin.
Resistensi Antibiotik
Resistensi antibiotik adalah suatu keadaan di mana mikroorganisme
mempunyai kemampuan untuk menghambat efek suatu antibiotik, pada
konsentrasi hambat minimal. Bakteri dapat resisten terhadap antibiotik melalui
mutasi terhadap gen tertentu atau membentuk gen baru (Harahap dan
Hadisahputra 1995).
Bakteri yang telah resisten terhadap antibiotik sudah ada jauh sebelum era
penggunaan antibiotik. Ekstraksi, purifikasi, sintesis, dan pemberian antibiotik
dalam jumlah besar yang dilakukan oleh manusia telah mempercepat evolusi
bakteri dengan memberikan tekanan selektif terhadap bakteri yang harus
memberikan respon untuk bertahan hidup dan menjadi resisten atau mati.
Mikroba yang semula peka terhadap suatu antimikroba, dapat berubah sifat
genetiknya menjadi tidak peka (resisten) atau kurang peka (Yenny dan Herwana
2007).
Kejadian resistensi antibiotik dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok
yaitu resistensi alami dan resistensi dapatan. Resistensi alami merupakan sifat
dari antibiotik tersebut yang memang kurang atau tidak aktif terhadap suatu
bakteri dan bersifat diturunkan. Resistensi dapatan terjadi apabila bakteri tersebut
sebelumnya sensitif terhadap suatu antibiotik kemudian berubah menjadi resisten.
Terdapat dua mekanisme terjadinya resistensi ini yaitu karena adanya mutasi pada
kromosom DNA bakteri atau terdapat materi genetik spesifik baru yang dapat

5
menghambat mekanisme kerja antibiotik. Salah satu contoh resistensi dapatan ini
adalah E. coli yang resisten terhadap ampisilin.
Resistensi Antibiotik pada Escherichia coli
E. coli adalah bakteri Gram negatif berbentuk batang, bersel tunggal atau
berpasangan, merupakan anggota famili Enterobacteriacea dan flora normal
intestinal yang mempunyai kontribusi pada fungsi normal intestinal. Spesies
E. coli bersifat motil dengan flagel peritrik yang dimilikinya, tetapi beberapa ada
yang nonmotil (Brooks et al. 2001).
Serotipe E. coli sangat banyak, mencapai hingga sekitar 160 serotipe.
Berdasarkan sifat antigen virulensi yang dimiliki oleh serotipe E. coli dalam
menimbulkan penyakit, bakteri ini dapat dikelompokkan menjadi enteropatogenik,
enterohemorrhagik, enterotoksigenik, entero-agregatif, enteroinvasif, dan
uropatogenik. Dosis E. coli untuk dapat menimbulkan gejala infeksi pada hospes
tergantung pada sifat virulensi tersebut (Ariyanti et al. 2007).
Sebagai salah satu bakteri foodborne, E. coli dapat menimbulkan penyakit
secara langsung dari hewan ke manusia melalui makanan. Ternak merupakan
reservoir penting dari strain E. coli. Beberapa penelitian melaporkan bahwa strain
E. coli sering diisolasi dari feses hewan sehat. Seperti halnya Enterobacteriaceae,
E. coli telah banyak yang resisten terhadap golongan β - laktam, fosfomisin, dan
golongan kuinolon (Durst et al. 1999).
E. coli merupakan bakteri komensal pada manusia dan hewan yang
mempunyai kemampuan mentransfer gen yang resisten terhadap antibiotik ke
spesies lain termasuk bakteri patogen (Madiggan et al. 2000). E. coli yang
resisten terhadap antibiotik dapat mengakibatkan dampak yang merugikan bagi
kesehatan manusia dan dapat mengakibatkan infeksi pada manusia melalui pangan
sehingga menyebabkan penyakit yang parah pada manusia dan mengakibatkan
kegagalan pengobatan dengan antibiotik (Ariyanti et al. 2007).
Gambaran Resistensi Antibiotik pada Escherichia coli di Indonesia
Informasi resistensi antibiotik terhadap bakteri penyebab foodborne disease
di Indonesia tidak mudah didapat karena jarang dilaporkan atau dipublikasikan
dalam jurnal ilmiah (Noor dan Poeloengan 2005). Ariyanti et al. (2007)
menyatakan isolasi E. coli yang dilakukan pada bahan pangan asal hewan selama
tahun 2000-2004 mendapatkan hasil dari 292 sampel yang diuji ditemukan positif
E. coli sebanyak 221 sampel (75.68%). Terhadap 5 isolat dilakukan uji resistensi
terhadap 10 macam antibiotik.
Antibiotik tersebut adalah amoksisilin,
siprofloksasin, enrofloksasin, eritromisin, fosfomisin, gentamisin, lincomisin,
neomisin, oksitetrasiklin, dan sulfamethoksazole-trimetoprim. Empat isolat
diantaranya multi resisten pada 3 sampai 5 macam antibiotik dan 1 isolat resisten
terhadap satu macam antibiotik. E. coli bersifat resisten terhadap amoksisilin,
siprofloksasin, enrofloksasin, eritromisin, gentamisin, dan oksitetrasiklin. Hanya
1 isolat yang resisten terhadap satu macam antibiotik (eritromisin).

6
Gambaran Resistensi Antibiotik pada Escherichia coli di Australia
Pemerintah Australia melalui Department of Agriculture, Fisheries and
Forestry (DAFF) menggagas program surveilan terhadap resistensi antibiotik pada
bakteri yang berasal dari hewan. Tujuan dari program ini adalah untuk
memperkirakan prevalensi resistensi antibiotik penting diantara organisme
indikator yang ditemukan dalam saluran pencernaan hewan ternak.
Sampel isi saluran pencernaan yang berasal dari sapi sehat diperoleh dari 31
rumah potong hewan (RPH) di Queensland, New South Wales, Victoria, dan
South Australia dengan proporsi sapi perah sebanyak 31%, sapi penggemukan
34% dan sebanyak 35% diperoleh dari sapi yang cara pemeliharaannya dengan
digembalakan. Sampel yang diperoleh sebanyak 204 sampel dan E. coli diisolasi
dari 194 sampel (95%).
Terhadap isolat tersebut kemudian dilakukan
pemeriksaan terhadap konsentrasi hambat minimal antibiotik sesuai dengan
metode National Committee on Clinical Laboratory Standards (NCCLS) yang
sekarang dikenal dengan Clinical and Laboratory Standards Institutes (CLSI).
Antibiotik yang dipilih untuk pengujian adalah yang digunakan di
peternakan, beberapa antibiotik yang penting dalam pengobatan di manusia dan
antimikrobia yang tidak dipergunakan di Australia tetapi memiliki peranan dalam
bidang kesehatan masyarakat secara internasional. Isolat E. coli yang diperoleh
kemudian diuji resistensinya terhadap ampisilin, sefotaksim, seftiofur,
kloramfenikol, siprofloksasin, florfenikol, gentamisin, asam nalidiksik, tetrasiklin
dan kombinasi antara trimetoprim-sulfametoksasol.
Pengujian resistensi antibiotik terhadap 194 isolat E. coli didapatkan hasil
bahwa isolat tersebut resisten terhadap florfenikol (1%) dan tetrasiklin (3.1%)
serta tidak ada yang memperlihatkan multi resisten. Tidak ada isolat E. coli dari
sapi yang resisten terhadap ampisilin, sefotaksim, seftiofur, kloramfenikol,
siprofloksasin, gentamisin, asam nalidiksik, dan trimetoprim-sulfametoksasol
(DAFF 2007).

3 METODE
Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep penelitian Escherichia coli yang Resisten Terhadap
Antibiotik yang Diisolasi dari Sapi Potong dang Diimpor melalui Pelabuhan
Tanjung Priok Jakarta dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka konsep penelitian

7
Tempat Penelitian
Pengambilan sampel feses sapi potong untuk penelitian ini dilakukan di
Pelabuhan Tanjung Priok. Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Terpadu
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB), Balai Pengujian
Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan (BPMSPH), dan Balai Besar Penelitian
Veteriner (BBALITVET)
Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2013 sampai dengan bulan
April 2014.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan meliputi feses sapi potong impor asal Australia,
buffer peptone water (BPW) 0.1% (Oxoid), Mac Conkey agar (Oxoid), Levineeosin methylen blue agar (Oxoid), nutrien agar (Oxoid), agar darah, Reagen
Kovacs, MR-VP, larutan α-naphthol, larutan KOH 40%, indikator MR, Simmon
Citrate Aagar atau SCA (Oxoid), sulfite indole motility agar (Oxoid), McFarland
Broth 0.5, Agar Muller Hinton (MHA), NaCl fisiologis, alkohol, disc antibiotik
(Oxoid) yaitu ampisilin, sefalotin, gentamisin, streptomisin, enrofloksasin, asam
naliksid, eritromisin, klorampenikol, trimetoprim-sulfametoksasol, dan tetrasiklin,
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah timbangan digital, pinset steril,
gelas Erlenmeyer, tabung reaksi (20-50 ml) steril, vortex atau pengocok mekanis,
cawan petri steril (diameter 100 mm dan tinggi 150 mm), kantung plastik steril,
refrigerator, penangas air, ose, autoklaf, label, spidol, waterbath, inkubator
35-37°C.
Metode Pengambilan Sampel
Sampel berupa feses yang diambil dari sapi potong yang diimpor melalui
pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Metode yang digunakan untuk menentukan
jumlah sampel adalah detect diseases. Metode ini digunakan untuk mendeteksi
keberadaan suatu penyakit dalam suatu populasi. Jumlah sampel dihitung
berdasarkan rumus deteksi penyakit yang ditetapkan oleh Martin et al. (1987):
n = [1- (1-a) 1/D] [N-(D-1)/2]
Keterangan :
N = Jumlah populasi
n = Ukuran sampel
a = Tingkat kepercayaan (95%)
D = Nilai dugaan populasi yang sakit
D =PxN, dengan asumsi P: 15% (Heller et al. 2013)

8
Perhitungan sampel berdasarkan jumlah sapi potong yang diimpor pada
periode 1 Januari sampai 15 November 2013 yaitu sebanyak 176 327 ekor. Hasil
perhitungan besaran sampel dengan perangkat Win Episcope 2.0 diperoleh
sekurang-kurangnya 19 sampel.
Sampel diambil dari sapi potong yang
diberangkatkan dari wilayah Western Australia dan Queensland masing masing 10
sampel.
Sampel diambil dengan melihat kondisi feses yang diduga berasal dari sapi
terinfeksi E. coli. Feses yang dijadikan sampel rata-rata berkonsistensi lembek
dan yang diambil adalah bagian dalam feses. Sampel feses berasal dari 3 dek
pada 2 sisi kapal yang berbeda. Sampel feses yang diperoleh kemudian dilakukan
isolasi dan identifikasi terhadap E. coli. Isolat E. coli yang diperoleh kemudian
dilakukan pengujian resistensi terhadap antibiotik.
Isolasi dan Identifikasi Bakteri
Metode Isolasi Escherichia coli
Pengujian yang dilakukan untuk isolasi E. coli adalah dengan menggunakan
media pengencer buffered phosphate water (BPW) 0.1%, Mac Conkey agar, eosin
methylen blue agar dan untuk konfirmasi biokimianya mengacu pada Standar
Nasional Indonesia 2897 Tahun 2008 tentang Metode Pengujian Cemaran
Mikroba dalam Daging, Telur dan Susu serta Hasil Olahannya (BSN 2008).
Interpretasi hasil reaksi uji biokimia E. coli dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil reaksi indole, methyl red, Voges-Proskauer,dan citrate (IMViC)
pada E. coli
Tipe Organisme
E. coli spesifik
E. coli non spesifik

Indole
+
-

MR
+
+

VP
-

Citrate
-

Metode Deteksi Escherichia coli Patogen
Pengujian yang dilakukan untuk mendeteksi E. coli yang patogen
dilakukan dengan menumbuhkan isolat E. coli pada media agar darah untuk
melihat hemolisis yang terjadi. Isolat yang menunjukkan hemolisis tipe β
kemudian dilakukan pengujian terhadap serotipe isolat tersebut.
Isolat E. coli ditumbuhkan dalam media agar darah dan diinkubasi selama
18-24 jam pada suhu 37 °C. Koloni yang melisiskan darah menunjukkan adanya
zona bening diduga adalah E. coli yang patogen. Terhadap isolat yang melisiskan
darah tersebut kemudian dilakukan pengujian terhadap serotipe E. coli tersebut.

9
Uji Resistensi Bakteri
Pengujian kepekaan bakteri E. coli terhadap antibiotik dilakukan dengan
metode difusi cakram (disc diffusion method) dan interpretasi hasil mengacu pada
Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI 2012). Interpretasi hasil
sesuai dengan Tabel 3.
Isolat bakteri ditentukan kepekaannya terhadap
antimikrobial dengan mengukur diameter zona hambat yang terbentuk. Penentuan
sensitif (S), intermediet (I), dan resisten (R) ditentukan melalui ukuran zona
hambat yang terbentuk berdasarkan rekomendasi standar CLSI. Kontrol positif
yang dipergunakan dalam pengujian resistensi ini menggunakan isolat E. coli dari
American Type Culture Colection (ATCC) tipe 25922.
Tabel 3 Standar interprestasi diameter zona hambat antibiotik (CLSI 2012)

Grup Antibiotik

β-Laktam
Aminoglikosida
Fluorokuinolon
Makrolida
Fenicol
Potentiated
Sulfonamides
Tetrasiklin

Antibiotik

Ampisilin
Sefalotin
Gentamisin
Streptomisin
Enrofloksasin
Asam Nalidiksid
Eritromisin
Kloramfenikol
TrimethoprimSulfametoksasol
Tetrasiklin

Isi disk
(μg)

10
30
10
10
5
30
15
30
1.25/
23.75
30

Standar interpretasi zona
diameter zona hambat (mm)
S

I

Ra

≥17
≥18
≥15
≥15
≥23
≥19
≥23
≥18
≥16

14-16
15-17
13-14
12-14
17-22
14-18
14-22
13-17
11-15

≤13
≤14
≤12
≤11
≤16
≤13
≤13
≤12
≤10

≥19

15-18

≤14

a :

S Sensitif I: Intermediet R: Resisten

Pengujian Laboratorium
Isolasi Escherichia coli
Isolasi E. coli dilakukan dengan cara sampel sebanyak 25 gram dan
diencerkan dengan larutan BPW 0.1% sebanyak 225 ml (1:9), selanjutnya
dilakukan pengenceran secara berseri. Hasil pengenceran kemudian diambil
sebanyak 1 ml untuk ditumbuhkan dalam 15-18 ml media Mac Conkey agar
(MCA) dengan metode tuang. Biakan diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam.
Koloni dengan bentuk bulat, halus, berwarna merah, dan dikelilingi zona keruh
diduga sebagai E. coli (Gambar 2).

10

Gambar 2 Koloni diduga E. coli dalam media Mac Conkey agar
Isolat diduga E. coli dari media MCA kemudian ditumbuhkan pada media
Agar Levine eosin methylene blue (L-EMBA) dengan metode gores. Biakan
diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam. Koloni dengan warna hijau metalik
dengan titik hitam pada bagian tengah diidentifikasi sebagai E. coli (Gambar 3).

Gambar 3 Koloni diduga E. coli dalam media L-EMB agar
E. coli positif pada media L-EMB kemudian dilakukan uji biokomia
sulfide indol motility (SIM), methyl red-Voges Proskauer dan citrate (IMViC).
Masing-masing tabung uji tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37 °C selama
24 jam dengan hasil ++-- atau -+-- (Gambar 4). Isolat tersebut kemudian disimpan
pada media nutrient agar (NA) miring sebagai bahan pengujian kepekaan terhadap
antibiotik.

Gambar 4 Hasil uji biokimia IMViC

11
Pengujian Produksi Hemolisin
Produksi hemolisin ditentukan berdasarkan adanya zona hemolisis yang
dibentuk oleh isolat E. coli. Isolat ditumbuhkan pada agar darah, kemudian
diinkubasi pada suhu 37 °C selama 18-24 jam. Zona bening yang terlihat di
sekitar koloni setelah 18 jam inkubasi pada suhu 37 °C dianggap sebagai hasil
positif produksi hemolisin tipe β (Gambar 5).

Gambar 5 Bentuk hemolisis tipe β
Pengujian Kepekaan Terhadap Antibiotik
Isolat E. coli dari NA miring dipindahkan ke media NA dalam cawan petri
dan diinkubasi dengan temperatur 35 °C selama 24 jam. Koloni diambil dengan
menggunakan ose dan dipindahkan ke tabung yang berisi 5 ml NaCl fisiologis,
kemudian dilihat kekeruhan yang terjadi hingga sama dengan kekeruhan pada
larutan 0.5 McFarland. Larutan diambil 0.5 ml dan dimasukkan dalam cawan
petri yang berisi media agar Muller Hinton dan diratakan. Paper disk yang
mengandung antibiotik dimasukkan dalam agar Muller Hinton dan diinkubasi
pada suhu 35 °C selama 24 jam. Setelah 24 jam dilakukan pengukuran diameter
zona hambat yang terbentuk (Gambar 6).
A

Gambar 6 Hasil uji kepekaan terhadap antibiotik (A: terbentuk zona hambat;
B: tidak terbentuk zona hambat)

12
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan menyajikan hasil uji
keberadaan E. coli pada feses sapi potong impor dan E. coli yang resisten terhadap
antibiotik dalam bentuk tabel dan gambar.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Isolasi Escherichia coli dari Sampel Feses
Sebanyak 20 sampel feses diperoleh dengan komposisi 10 sampel berasal
dari sapi potong yang dikapalkan dari Western Australia dan 10 sampel berasal
dari sapi yang dikapalkan dari Queensland kemudian dilakukan pengujian isolasi
dan identifikasi Escherichia coli. Hasil pengujian terhadap 20 sampel feses
menunjukkan bahwa E. coli ditemukan pada keseluruhan sampel. Sebanyak
3 koloni tunggal diambil dari setiap sampel sehingga diperoleh sebanyak 60 isolat
E. coli untuk pengujian patogenitas dan resistensi terhadap antibiotik. Ringkasan
Tabel 4 Jumlah sampel dan hasil pengujian terhadap E. coli
Asal pengapalan
sapi
Western Australia
Queensland
Total

Jumlah sampel
diambil
10
10
20

Jumlah sampel
positif E. coli
10
10
20

Jumlah Isolat
E. coli
30
30
60

asal sampel dan hasil pengujian disajikan pada Tabel 4.
Deteksi Escherichia coli Patogen
Deteksi E. coli patogen pada 60 isolat dilakukan dengan cara menumbuhkan
isolat tersebut pada media agar darah dan diperoleh hasil bahwa hanya 1 isolat
yang menunjukkan adanya hemolisis tipe β. Isolat yang menunjukkan hemolisis
selanjutnya dilakukan pengujian (serotiping) untuk mengetahui serotipe dari
E. coli tersebut. Hasil pengujian menunjukkan bahwa isolat tersebut dinyatakan
sebagai O157:H7. Serotipe ini merupakan salah satu serotipe E. coli yang
patogen.
Pengujian Kepekaan Escherichia coli Terhadap Antibiotik
Pengujian terhadap kepekaan antibiotik pada 60 isolat E. coli dengan
cakram antibiotik menunjukkan resistensi terhadap eritromisin sebanyak 49 isolat
(81.7%), sefalotin 22 (36.7%), dan ampisilin 15 (25%). Isolat E. coli juga

13
mengalami resistensi terhadap streptomisin dan tetrasiklin masing-masing 2 isolat
(3.3%), sedangkan terhadap enrofloksasin dan trimetothroprim-sulfametoksasol
masing-masing 1 isolat. Tidak didapatkan resistensi E. coli terhadap agen
antibiotik gentamisin, asam nalidiksid, dan kloramfenikol.
Hasil uji kepekaan antibiotik juga menunjukkan interprestasi intermediet.
Interprestasi intermediet tertinggi didapatkan pada antibiotik sefalotin sebanyak
27 isolat (36.7%), eritromisin 10 (16.7%), dan streptomisin 8 (13.3%). Hasil
pengujian dengan interprestasi intermediet juga ditemukan pada ampisilin dan
enrofloksasin masing sebanyak 3 (5%) isolat, sedangkan pada kloramfenikol dan
gentamisin ditemukan sebanyak 2 (3.3%) dan 1 (1.7%). Pada agen antibiotik
gentamisin, asam nalidiksid, dan kloramfenikol tidak ditemukan interprestasi
tingkat intermediet.
Isolat E. coli menunjukkan tingkat sensitifitas yang tinggi pada agen
antibiotik gentamisin 60 (100%), trimetoprim-sulfametoksasol 59 (98.3%), dan
gentamisin 59 (98.3%) Tingkat sensitifitas yang cukup tinggi ditemukan pada
kloramfenikol dan tetrasiklin sebanyak 58 (96.7%), sedangkan terhadap
enrofloksasin terdapat 56 isolat (93.3%) yang masih sensitif. Tingkat kepekaan
pada ampisilin dan sefalotin masing-masing 42 (70%) dan 11 (18.3%).
Sensitifitas terendah ditemukan pada agen antibiotik eritromisin, dimana hanya
1 isolat (1.7%) yang masih sensitif (Gambar 7).

Gambar 7 Tingkat kepekaan bakteri E. coli terhadap antibiotik ampisilin (AMP),
sefalotin (KF), gentamisin (CN), streptomisin (S), enrofloksasin
(ENR), asam nalidiksid (NA), eritromisin (E), kloramfenikol (C),
trimetoprim-sulfametoksasol (SXT), dan tetrasiklin (TE) yang
diisolasi dari sapi potong.
Hasil pengujian terhadap resistensi menunjukkan hanya ada 6 isolat yang
masih sensitif terhadap semua antibiotik yang diujikan. Sebanyak 28 isolat
mengalami resistensi terhadap satu jenis antibiotik yaitu eritromisin dan sefalotin,
21 isolat resisten terhadap 2 jenis antibiotik dan sebanyak 4 isolat mengalami

14
resistensi terhadap 3 jenis antibiotik. Resistensi terhadap 4 dan 5 jenis antibiotik
juga terlihat masing-masing pada satu isolat. Hasil selengkapnya disajikan pada
Tabel 5.
Tabel 5 Pola resistensi isolat E. coli terhadap golongan antibiotik
Pola resistensi terhadap agen
antibiotik

a

Jenisa dan Jumlah isolat

0

6

1

E (22), KF (6)

2

E+KF (12), E+ENR (1), E+SXT (1),
E+AMP (7)

3

E+ENR+AMP (1), E+KF+AMP (3)

4

E+S+AMP+TE (1)

5

E+KF+S+AMP+TE (1)

ampisilin (AMP), sefalotin (KF), gentamisin (CN), streptomisin (S), enrofloksasin
(ENR), asam nalidiksid (NA), eritromisin (E), klorampenikol (C), trimethoprimsulfametoksasol (SXT), dan tetrasiklin (TE)
Pembahasan
Isolasi Escherichia coli dari Sampel Feses

Bakteri E. coli berhasil diisolasi dari seluruh sampel feses yang diuji. E. coli
merupakan bakteri yang mudah ditemukan dalam feses hewan karena bakteri ini
bersifat komensal pada hewan dan manusia. E. coli merupakan mikroflora yang
paling
mendominasi
saluran
pencernaan
manusia
dan
hewan
(Ariyanti et. al. 2007). E. coli berperan penting dalam sintesis vitamin K,
konversi pigmen-pigmen empedu, asam-asam empedu, dan penyerapan zat-zat
makanan (Kusuma 2010).
Menurut OIE (2013) E. coli sebagai bakteri komensal adalah bakteri yang
umum dipergunakan sebagai indikator dalam program surveilan dan monitoring
resistensi antibiotik. E. coli dapat bertindak sebagai reservoir gen yang telah
resisten terhadap antibiotik. Gen ini dapat dipindahkan ke bakteri lain yang
patogen. E. coli dipilih karena merupakan indikator bakteri Gram negatif yang
sering dijumpai pada feses hewan dan berkaitan dengan pengobatan pada manusia
serta sering ditemukan plasmid konjugasi yang bisa berpindah diantara bakteri
enterik. Keberadaan E. coli komensal pada usus hewan ternak bertindak sebagai
reservoir gen resisten yang dapat memindahkan secara horisontal ke E. coli yang
patogen dan bakteri lain pada rantai makanan. Monitoring resistesi antibiotik
pada E. coli dapat memeberikan informasi kejadian resistensi pada suatu populasi.
Data yang diperoleh bermanfaat untuk melihat hubungan antara penggunaan
antibiotik tertentu dan pengaruhnya terhadap populasi bakteri usus pada hewan
ternak. E. coli juga berguna menunjukkan keberadaan Enterobacteriaceae untuk

15
melihat kemunculan dan perubahan perbandingan bakteri yang memiliki
extended-spectrum beta-lactam (ESBL) (EFSA dan ECDC 2011).
Sebanyak 3 isolat diambil dari setiap sampel yang menunjukkan hasil positif
E. coli sehingga diperoleh 60 isolat yang akan dilakukan pengujian resistensi
terhadap antibiotik. Pengambilan 3 isolat ini dilakukan karena E. coli memiiki
serotipe yang sangat banyak. Menurut Ariyanti et al. (2007) E. coli memiliki
hinggga 160 serotipe. Hasil pengujian resistensi isolat E. coli terhadap 10 jenis
antibiotik menunjukkan adanya pola resistensi yang berbeda pada isolat yang
berasal dari 1 sampel.
Deteksi Escherichia coli Patogen
Pengujian terhadap E. coli O157 H:7 dilakukan karena E. coli O157 H:7
adalah bakteri yang mempunyai peran cukup penting sebagai agen penyakit
zoonotik yang disebarkan melalui makanan. Meskipun secara normal E. coli
terdapat pada saluran pencernaan baik manusia maupun hewan, tetapi E. coli
O157 H:7 adalah strain yang virulen berasal dari sapi dan domba (Andriani 2004).
Prevalensi shedding E. coli O157:H7 dari sapi di Australia diperkirakan mencapai
15% (Heller et al. 2013).
Analisis sifat virulensi dari suatu bakteri dapat diketahui melalui secara
genetik substansi kromosom maupun plasmid. Sifat virulensi dari suatu bakteri
juga dapat diketahui dari fenotipenya berupa kemampuan bakteri melisiskan
eritrosit. Bakteri yang mampu melisiskan eritrosit bersifat lebih virulen
dibandingkan bakteri yang tidak mampu melisiskan eritrosit (Suardana et al.
2014). Sedangkan menurut Nugraha et al (2013) adanya hemolisis pada media
agar darah domba merupakan salah satu ciri koloni E. coli yang patogen, sehingga
patogenitas E. coli dapat dikonfirmasi dengan sifatnya yang menghemolisis darah.
Sejak muncul outbreak diare berdarah yang pertamakali disebabkan oleh
E. coli O157 pada tahun 1982, maka sejak itulah hewan ruminansia yang sehat
terutama sapi diketahui dalam saluran pencernaannya merupakan reservoir bagi
E. coli O157. Bentuk mutan dari E. coli yaitu E. coli O157: H7 biasanya
ditemukan di saluran pencernaan ternak sapi, domba, kambing, babi, bahkan
ayam. E. coli O157: H7 dalam saluran pencernaan hewan tidak menyebabkan
hewan tersebut menderita sakit. Hewan yang dalam saluran pencernaannya
terdapat E. coli O157: H7 maka hewan tersebut berperan sebagai carrier, yang
dapat menyebarkan bakteri ini baik ke hewan lain maupun ke manusia. Salah satu
dari strain E. coli, E. coli O157: H7 dapat menyebabkan enterohaemorrhagic atau
disebut EHEC. E. coli O157: H7 yang tumbuh dan berkembang dalam saluran
pencernaan manusia dalam jumlah banyak dapat menghasilkan toksin. Toksin
yang dihasilkan oleh E. coli O157: H7 adalah verotoksin atau disebut sebagai
shiga-like toxin (SLT) (Andriani 2004).
Pengujian Kepekaan Escherichia coli terhadap Antibiotik
Resistensi E. coli terhadap eritromisin adalah pola yang paling banyak
diperoleh dalam penelitian yang dilakukan. E. coli adalah salah satu bakteri Gram

16
negatif yang resisten terhadap eritromisin. Resistensi ini dapat terjadi melalui
beberapa mekanisme yang diperantarai oleh plasmid antara lain modifikasi
reseptor atau target obat yang melibatkan gen erythromycin resistance methylase
dan inaktivasi antibiotik (hidrolisis obat) oleh enzim esterase yang dihasilkan oleh
Enterobacteriaceae termasuk E. coli (Krisnaningsih et al. 2005). Eritromisin
adalah agen antibiotik yang termasuk dalam golongan makrolida yang
diperbolehkan untuk dicampur pada pakan sebagai growth promotor di Australia
(Schipp 2012).
Resistensi dalam jumlah yang cukup tinggi juga ditemukan pada isolat
E. coli terhadap ampisilin dan sefalotin. Resistensi terhadap ampisilin dan
sefalotin yang merupakan antibiotik dari golongan β-laktam dapat disebabkan
oleh kemampuan bakteri menghasilkan enzim β-laktamase yang disandi oleh gen
dalam plasmid faktor R. Ampisilin juga merupakan antibiotik yang diperbolehkan
dipergunakan sebagai campuran pakan di Australia (Krisnaningsih et al. 2005;
Schipp 2012).
Resistensi terhadap ampisilin dapat menyebar pada populasi bakteri baik
secara klonal dan dilanjutkan dengan perubahan genetik secara horisontal
sehingga dapat mencapai lebih banyak strain bakteri dibandingkan dengan
resistensi terhadap asam nalidiksid yang umumnya tidak bisa dipindahkan dan
hanya dapat menyebar secara klonal (Bortolaia et al. 2010).
Pemakaian antibiotik sebagai growth promotor yang dicampur pada pakan
atau air minum diduga berperan dalam munculnya kejadian resistensi ini.
Konsentrasi antibiotika yang di tambahkan dalam pakan ternak merupakan dosis
rendah yaitu berkisar 2.5-12.5mg/kg (ppm) terbukti dapat memacu terjadinya
resistensi bakteri patogen dan bakteri komensal dalam saluran pencernaan (Noor
dan Poeloengan 2005).
Efek yang diharapkan pemberian antibiotik adalah agar itu mampu
membunuh bakteri patogen yang merugikan tetapi jarang dipertimbangkan bahwa
banyak antibiotika diabsorbsi secara tidak sempurna atau akan di ekskresi kembali
dalam bentuk utuh atau bentuk yang telah mengalami modifikasi tapi masih
mempunyai aktivitas antimikroba. Setiap kali antibiotik digunakan, flora normal
akan terpapar dalam konsentrasi dan lama pemberian obat yang bervariasi.
Pemakaian antibiotik, khususnya bila digunakan tanpa aturan yang jelas seperti
yang banyak terjadi di negara berkembang akan menyebabkan penggunaan
antibiotik secara tidak rasional. Adanya penggunaan antibiotik secara berlebihan
menyebabkan tingginya prevalensi resistensi pada flora normal aerobik
(Yenny 2007).
Hasil pengujian juga mendapatkan interprestasi yang bersifat intermediet
yang cukup tinggi pada beberapa jenis antibiotik. Interprestasi intermediet pada
uji kepekaan terhadap E. coli menunjukkan kemungkinan aktivitas yang tidak
optimal yang akan dicapai oleh antibiotik tersebut dalam penggunaan klinis
terhadap infeksi karena E. coli, sehingga akan diambil kebijakan dengan
menaikkan dosis antibiotik untuk memperoleh hasil pengobatan yang optimal.
Hal ini dapat menjadi penyebab berkembangnya sifat resistensi bakteri terhadap
antibiotik (Krisnaningsih et al. 2005).
Tingkat sensitifitas E. coli terhadap jenis antibiotik streptomisin,
enrofloksasin, trimetropim-sulfametoksasol, dan tetrasiklin termasuk cukup tinggi.
Keadaan ini ditunjang dengan kebijakan pemerintah Australia yang melarang

17
antibiotik dari jenis gentamisin, klorampenikol, dan golongan florokuinolon
dipergunakan untuk campuran pakan (Schipp 2012).
Menurut Krisnaningsih et al. (2005), multiple-drug resistance yang meliputi
ampisilin (turunan penisilin), streptomisin, dan tetrasiklin hampir selalu dapat
ditemukan dalam setiap kasus resistensi bakteri khususnya E. coli dan
Salmonella sp. Pernyataan ini memperkuat hasil uji yang diperoleh dari 2 isolat
yang mengalami resistensi terhadap beberapa antibiotik sekaligus yaitu ampisilin,
streptomisin, tetrasikin, eritromisin dan kloramfenikol. Hasil penelitian yang
dilaporkan oleh DAFF (2007) menyatakan bahwa telah terjadi resistensi terhadap
tetrasiklin sebanyak 3.1% meskipun resistensi yang terjadi di Australia adalah
resistensi tunggal.
Penggunaan antibiotik secara berlebihan telah diidentifikasi sebagai
penyebab berkembangnya bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Salah satu
tempat penggunaan antibiotik secara terus menerus dan sebagai suatu keharusan
adalah peternakan sapi, terutama pada feedlot. Penggunaan antibiotik yang
dicampur dengan pakan pada feedlot selain untuk memacu pertumbuhan juga
diharapkan dapat mencegah infeksi penyakit. Keadaan tersebut pada akhirnya
menimbulkan perhatian karena berkembangnya bakteri yang mengalami resistensi
terhadap berbagai macam antibiotik karena kontaminasi feses (Snell 2008).
Waktu henti atau withdrawal time dari antibiotik juga berpengaruh terhadap
resistensi bakteri. Menurut Murdiati (1997), waktu henti satu antibiotika tidak
sama dengan antibiotika yang lainnya, tergantung juga dari jenis ternak dan cara
pemakaian antibiotika. Waktu henti dari suatu obat termasuk antibiotika sangat
dipengaruhi oleh proses absorbsi, distribusi, dan eliminasi dari obat. Proses
tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain umur dan jenis hewan, status
kesehatan dan nutrisi hewan, serta sifat kimia dan fisika dari obat seperti berat
molekul, kelarutan dalam air maupun dalam lemak dan ikatannya dengan protein
tubuh. Melihat dari banyak faktor yang mempengaruhi waktu henti obat maka
diperlukan penanganan lebih cermat dalam proses tersebut untuk mengurangi
kejadian resistensi antibiotik.
Variasi sifat resistensi E. coli terhadap antibiotik ini dapat dipengaruhi
beberapa faktor antara lain adalah kebiasaan peternak dalam menggunakan
antibiotik yang berbeda di masing-masing wilayah. Faktor lain mungkin
berkaitan adanya gen resistensi (faktor R) pada plasmid bakteri yang dapat
dipindahkan ke bakteri lain yang masih sensitif terhadap antib