Struktur Biaya Budidaya Ikan Hias Air Tawar Studi Kasus Pada Tiga Usaha di Kab. Bogor

i

STRUKTUR BIAYA BUDIDAYA IKAN HIAS AIR TAWAR
STUDI KASUS PADA TIGA USAHA DI KAB. BOGOR

PRASETYO ATMA HADI

PROGRAM AGRIBISNIS ALIH JENIS
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Struktur Biaya
Usaha Budidaya Ikan Hias Air Tawar Studi Kasus di Tiga Pembudidaya Kab.
Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

Prasetyo Atma Hadi
NIM H34114045

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

i

ABSTRAK
PRASETYO ATMA HADI. Struktur Biaya Budidaya Ikan Hias Air Tawar Studi
Kasus Pada Tiga Usaha di Kab. Bogor. Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI.
Usaha Budidaya ikan hias air tawar di Kab. Bogor bervariasi, baik dalam

ukuran usaha maupun jenis ikan yang dibudidayakan. Ukuran usaha dapat dilihat
dari jumlah kepemilikan akuarium, karena mampu mencerminkan alokasi biaya
dan produktifitas. Penelitian ini bertujuan mencari ukuran usaha yang paling
efisien dengan cara membandingkan struktur biaya pada tiga usaha budidaya ikan
hias air tawar. Pada hasil penelitian menunjukan, Semakin besar ukuran usaha
maka akan menghasilkan struktur biaya yang lebih efisien. Berdasarkan analisis
R/C, usaha yang paling efisien adalah usaha budidaya ikan hias air tawar yang
ukuran usahanya terbesar.
Kata kunci: budidaya ikan hias air tawar, efisiensi, analisis struktur biaya

ABSTRACT
PRASETYO ATMA HADI. Cost Structure of Freshwater Ornamental Fish
Culture Case Study On Three Business in Kab. Bogor. Guided by NUNUNG
KUSNADI
The freshwater ornamental fish culture in Kab. Bogor are widely vary,
either in the size of business in the term of fish species. The size of business can be
seen from the number of aquarium ownership, since it reflects the allocation of
costs and productivity. This study aims to find the most efficient business size by
comparing the cost structure of the three freshwater ornamental fish culture
cases. The results showed, bigger size of business will generate a more efficient

cost structure. Based on R/C ratio, the most efficient business size is the Biggest
freshwater ornamental fish culture size among the three.
Keywords: freshwater ornamental fish culture, efficiency, cost structure analysis

ii

iii

STRUKTUR BIAYA BUDIDAYA IKAN HIAS AIR TAWAR
STUDI KASUS PADA TIGA USAHA DI KAB. BOGOR

PRASETYO ATMA HADI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

PROGRAM AGRIBISNIS ALIH JENIS

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

iv

v

Judul Skripsi : Struktur Biaya Budidaya Ikan Hias Air Tawar Studi Kasus Pada
Tiga Usaha di Kab. Bogor
Nama
: Prasetyo Atma Hadi
NIM
: H34114045

Disetujui oleh

Dr Ir Nunung Kusnadi, Ms

Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Dwi Rachmina
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

vi

vii

PRAKATA
Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober
sampai dengan Mei 2014 ini adalah struktur biaya, dengan judul Struktur Biaya
Budidaya Ikan Hias Air Tawar Studi Kasus Pada Tiga Usaha di Kab. Bogor.
Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan

berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih secara tertulis
sebagai bentuk penghargaan kepada Bapak Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku
pembimbing yang dengan penuh kesabaran memberi bimbingan dan arahannya
kepada penulis, Ibu Ir. Popong Nurhayati, MM selaku dosen evaluator kolokium
yang telah memberikan banyak saran, Ibu Eva Yolynda Aviny, SP, MM selaku
dosen komdik sidang dan Ibu Netti Tinaprilla selaku dosen penguji utama sidang
yang telah memberi banyak panduan untuk hasil akhir skripsi yang baik. Kedua
orang tua Penulis, serta sahabat yang telah memberikan motivasi doa dan materi.
Disamping itu, penghargaan Penulis sampaikan untuk Para pemilik usaha ikan
hias air tawar, yaitu Bapak Hermanu, Bapak Asep, dan Bapak Budi yang telah
membantu selama pengumpulan data, serta semua pihak yang tidak dapat
disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014

Prasetyo Atma Hadi

viii


ix

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

ix

DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xi

PENDAHULUAN


1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

5

Tujuan Penelitian

7

Manfaat Penelitian

7

Ruang Lingkup Penelitian


8

TINJAUAN PUSTAKA

8

Persentasi biaya tetap dan variabel pada beberapa penelitian

8

Penentuan Skala Usaha pada Beberapa Penelitian

9

Analisis Efisiensi dan Titik Impas pada Beberapa Penelitian

10

Struktur Biaya Tanaman Pangan, Produktifitas, dan Profitabilitas


12

Skala Usaha Agribisnis Ikan Hias Air Tawar dan Struktur Biaya

14

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis

15
15

Usahatani

15

Struktur Biaya dan Skala Usaha

17


Analisis Efisiensi

21

Analisis Titik Impas (Break Even Poin)

22

Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN

22
24

Lokasi dan Waktu Penelitian

25

Metode Penelitian

25

Metode Pengumpulan Data

25

Metode Pengolahan dan Analisis Data

26

Komponen Biaya dalam Usaha Budidaya Ikan Hias Air Tawar
Analisis Penerimaan

26
27

Analisis Efisiensi

27

Analisis Titik Impas (Break Even Poin)

28

Keadaan Wilayah, Topografi, dan Demografi Lokasi Penelitian

29

x

Keadaan Wilayah dan Topografi Kabupaten Bogor

29

Demografi

31

Keadaan Demografi Penduduk

31

Komposisi Penduduk Berdasarkan Persentasi Lapangan Usaha

32

Potensi Unggulan Daerah

32

Deskripsi Umum Usaha Budidaya Ikan Hias Air Tawar di Lokasi Penelitian 33
Lokasi Usaha Budidaya Ikan Hias Air Tawar

34

Sejarah Dan Latar Belakang Usaha Budidaya Ikan Hias Air Tawar di Lokasi
Penelitian
35
Penyediaan Sarana Produksi

37

Teknik Pendederan Ikan Hias Air Tawar

38

Persiapan Wadah

38

Penebaran Benih

38

Pemberian Pakan

38

Pengelolaan Air

39

Panen, Sortasi dan Grading

39

Pengemasan

40

Pengangkutan

40

Kapasitas Produksi dan Penjualan Produk Pada Tiap Usaha
Analisis Struktur Biaya Usaha Budidaya Ikan Hias Air Tawar di Lokasi
Penelitian

40
41

Biaya Tetap dan Biaya Variabel

42

Analisis Penerimaan

51

Analisis efisiensi

54

Analisis Titik Impas (Break Even Poin) Pada Tiap Usaha di Lokasi
Penelitian

55

SIMPULAN DAN SARAN

56

Simpulan

56

Saran

57

DAFTAR PUSTAKA

58

LAMPIRAN

60

RIWAYAT HIDUP

65

xi

DAFTAR TABEL
Tabel 1 PDB lapangan usaha (atas dasar harga berlaku) tahun 2008-2012
Tabel 2 Pasar ekspor terbesar ikan hias Indonesia 2010-2012
Tabel 3 Pencapaian produksi ikan hias di Kabupaten Bogor tahun 2009-2010
Tabel 4 Hasil perhitungan struktur biaya usaha ikan hias air tawar
Tabel 5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 6 Alamat usaha budidaya ikan hias air tawar pada tiga usaha
Tabel 7 Komponen biaya tetap usaha budidaya ikan hias air tawar pada tiga skala
Tabel 8 Komponen biaya variabel usaha budidaya ikan hias air tawar pada tiga
Tabel 9 Struktur biaya usaha budidaya ikan hias air tawar pada tiga usaha
Tabel 10 Penerimaan budidaya ikan hias air tawar pada tiga usaha
Tabel 11 Persentasi penggunaan akuarium dan penerimaan per komoditi pada tiga
Tabel 12 Hasil perhitungan R/C ratio pada tiga usaha
Tabel 13 Perhitungan nilai titik impas pada tiga usaha

1
2
4
29
31
34
43
46
50
52
53
55
56

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Komposisi negara asal impor ikan hias Singapura 2012 ................................... 3
Gambar 2 Hubungan antara kurva AC, AVC, dan MC .................................................... 17
Gambar 3 Beberapa kemungkinan kapasitas produksi usaha (business size) ................... 19
Gambar 4 Hubungan kurva AC dan LRAC ...................................................................... 20
Gambar 5 Kurva break even poin ..................................................................................... 22
Gambar 6 Kerangka Pemikiran Operasional .................................................................... 24
Gambar 7 Peta wilayah Kabupaten Bogor, Jawa Barat .................................................... 30
Gambar 8 Diagram penyebaran penduduk berdasarkan persentasi lapangan ................... 32
Gambar 9 Bentuk kurva biaya rata-rata pada masing- masing skala usaha ...................... 51

DAFTAR LAMPIRAN
1 Komponen biaya penyusutan usaha (Hatchery 1) pada pembudidaya TYA FF
2 Komponen biaya penyusutan usaha (Hatchery 2) pada pembudidaya TYA FF
3 Komponen biaya penyusutan (Hatchery 1) pada pembudidaya AT FF
4 Komponen biaya penyusutan (Hatchery 2) pada pembudidaya AT FF
5 Komponen biaya penyusutan (Hatchery 1) pada pembudidaya Tirac FF

60
61
62
63
64

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Budidaya perikanan adalah sebuah kegiatan pemanfaatan sumberdaya hayati
perairan yang dikelola dengan orientasi bisnis maupun upaya melestarikan
kelangsungan hidup makhluk yang terkandung didalamnya. Sektor perikanan
memiliki peranan yang cukup nyata dalam pembangunan ekonomi nasional
Indonesia, dengan adanya berbagai usaha pada sektor tersebut turut
menumbuhkan peluang kerja baru bagi masyarakat sekitar tempat usaha tersebut
berada. Kegiatan usaha ikan tersebut bertujuan untuk mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya dengan memanfaatkan segala sumber daya yang dimiliki,
kegiatan itu diharapkan mampu memberikan peningkatan pendapatan para
pembudidaya ikan yang akhirnya akan berimplikasi pada tingkat pendapatan
daerah pembudidaya ikan tersebut berada.
Perikanan dan kelautan Indonesia memiliki potensi pembangunan ekonomi
dan termasuk prospek bisnis yang cukup besar, baik pada pasar lokal maupun
pasar luar negeri sehingga dapat dijadikan prioritas untuk mengatasi krisis
ekonomi karena melalui penjualan produk perikanan secara ekspor mampu
memberikan keuntungan ekonomi yang lebih besar dan akan meningkatkan devisa
Negara. Berdasarkan Potensi sumber daya yang dimiliki, sektor perikanan
merupakan salah satu sektor penggerak roda perekonomian Indonesia. Hal ini
terlihat dari sumbangan Produk Domestik Bruto (PDB), dalam periode 2008-2012
pertumbuhan PDB sub sektor perikanan mencapai 5,7 persen per tahun dan
merupakan rata-rata tertinggi dalam sektor Pertanian secara umum. Selengkapnya
perkembangan PDB sektor perikanan sebagaimana disajikan pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1 PDB lapangan usaha (atas dasar harga berlaku) tahun 2008-2012
Lapangan usaha
Pertanian, peternakan,
Kehutanan dan
Perikanan
Tanaman bahan
makanan
Tanaman
perkebunan
Peternakan dan
hasil-hasilnya
Kehutanan
Perikanan
Produk Domestik Bruto
PDB Tanpa Migas
Persentasi PDB
Perikanan terhadap :
PDB Pertanian
PDB
PDB Tanpa Migas
Sumber : BPS, 2012

2008
716 656

2009
857 196

2010
985 448

2011
1 093 446

2012
1 190 412

349 795

419 194

482 377

530 603

574 330

105 960

111 378

136 026

153 884

159 753

83 276

104 883

119 371

129 578

146 089

40 375
137 249
4 948 688
4 427 633

45 119
176 620
5 606 203
5 141 414

48 289
199 383
6 436 270
5 936 237

51 638
227 761
7 427 086
6 794 474

54 906
255 332
8 241 864
7 604 759

19.15
2.77
3.10

20.60
3.15
3.44

20.23
3.10
3.36

20.83
3.07
3.35

21.45
3.10
3.36

2

Besaran PDB subsektor perikanan pada tahun 2012 adalah sebesar Rp255.33
triliun atau naik sebesar 6.48 persen dibanding tahun 2011. Kontribusi subsektor
perikanan terhadap PDB nasional menyumbang sebesar 3.10 persen atau
kontribusi terhadap PDB tanpa migas mencapai 3.36 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa subsektor perikanan memegang peranan strategis dalam mendorong
pertumbuhan pada PDB kelompok pertanian secara umum maupun pada PDB
nasional. Dengan demikian, sektor perikanan merupakan sektor yang sangat
berpotensi dan dirasa penting untuk dikembangkan karena mampu menggerakkan
roda perekonomian nasional.
Seiring dengan peningkatan nilai PDB perikanan dari tahun 2008 sampai
tahun 2012, hal tersebut juga diimbangi dengan peningkatan nilai ekspor pada
komoditi perikanan. Berdasarkan data dari UN Comtrade, nilai ekspor ikan hias
Indonesia pada tahun 2012 sebesar US$ 21.02 juta , atau naik 5.63 persen
dibandingkan ekspor pada tahun 2011. Hal tersebut tidak terlepas dari keberadaan
lima negara pengimpor ikan hias dari Indonesia yaitu Hong Kong, Amerika
Serikat, Jepang, Singapura dan Malaysia yang mampu menyumbang devisa dari
ikan hias dalam lima tahun terakhir. Ekspor ikan hias Indonesia ke beberapa
Negara di tingkat internasional ditunjukkan dalam Tabel 2. Pada tabel tersebut,
dapat dilihat bahwa tujuan ekspor ikan hias Indonesia terbesar adalah Hong Kong
dengan Share 17.73 persen, Amerika Serikat dengan Share 12.77 persen, Jepang
dengan Share 12.53 persen, Singapura dengan Share 11.40 persen dan Malaysia
dengan Share 3.76 persen.

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Tabel 2 Pasar ekspor terbesar ikan hias Indonesia 2010-2012
Negara
Nilai Ekspor US$ (Juta)
Share
Perubahan
2010
2011
2012 2012 (%) 11-12 (%)
Hong Kong SAR
2.62
2.96
3.73
17.73
25.88
USA
2.21
2.00
2.68
12.77
34.05
Japan
2.34
2.30
2.63
12.53
14.64
Singapore
2.77
2.31
2.40
11.40
3.68
Malaysia
1.85
1.52
0.79
3.76
-48.08
UK
0.60
0.87
0.79
3.76
-9.09
China
0.27
1.02
0.71
3.37
-30.36
Other Asia
0.68
0.66
0.71
3.37
7.22
Germany
0.50
0.54
0.64
3.04
17.97
Australia
0.50
0.37
0.62
2.97
68.77
Others
5.42
5.35
5.32
25.31
-0.54
Total
19.77
19.90 21.02
100.00
5.63

Sumber : UN Comtrade

3

Brasil Others
9%
2%
Japan
2%

Hong Kong
3% Australia
5%
USA
6%
China
6%

Thailand
7%
Other Asia
8%

Indonesia
31%

Malaysia
21%

Sumber : UN Comtrade

Gambar 1 Komposisi negara asal impor ikan hias Singapura 2012
Untuk saat ini, pemasaran ikan hias Indonesia belum maksimal menembus
pasar ekspor. Berdasarkan Gambar 1, Indonesia menguasai 31 persen pangsa
impor ikan hias di Singapura, naik 6.5 persen pada 2012 dibandingkan tahun
sebelumnya. Di lain sisi, Singapura memiliki pangsa pasar pemasaran ikan hias
paling besar di dunia, Berdasarkan data badan perdagangan dunia (United Nation
Commodity Trade Statistics Database), Singapura berada pada posisi teratas
eksportir ikan hias dunia. Akan tetapi sebagian besar dari ikan hias Singapura
berasal dari Indonesia, karena 70 persen keanekaragaman ikan hias dunia dapat
ditemukan melimpah di Indonesia.
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati dengan keragaman spesies ikan
hias, dan untuk saat ini telah menjadi isu strategis yang potensial untuk
perdagangan dalam negeri maupun luar negeri. Banyak para pembudidaya ikan
tertarik untuk melakukan budidaya ikan hias, alasan utama bagi mereka adalah
budidaya ikan hias mampu dilakukan pada lahan yang minim dan juga dapat
dilakukan meskipun dengan permodalan terbatas. Usaha ini memiliki tingkat
perputaran uang atau modal cenderung cukup cepat, dikarenakan siklus produksi
yang dilakukan cenderung singkat. Pasar yang dituju pun masih terbuka lebar,
dengan sumberdaya yang melimpah di Indonesia disertai dengan teknik budidaya
ikan sesuai standar mutu tentu akan mampu meningkatkan jumlah produksi ikan
hias. Skala usaha relatif berbeda pada tiap individu atau kelompok yang
menjalankan usaha tersebut, seringkali dilihat dari besarnya modal yang
ditanamkan, komoditi yang diusahakan, karakteristik jenis ikan, kelengkapan
sarana dan prasarana, sumberdaya manusia, serta jumlah produksi.
Ikan hias ada beberapa jenis dan secara garis besar dibagi menjadi empat,
yaitu pertama ikan hias yang berasal dari air tawar, dikenal dengan istilah
perdagangan freshwater ornamental fish; kedua Ikan hias yang berasal dari air
laut, dikenal dengan isilah perdagangan marine ornamental fish; ketiga tanaman
hias air tawar, dikenal dengan freshwater ornamental plant atau aquatic plant;
dan yang keempat kerang-kerangan atau biota laut dikenal sebagai invertebrate.
Ikan hias air laut sekitar 650 spesies, sudah teridentifikasi 480 spesies dan

4

diperdagangkan sekitar 200 spesies, sedangkan jumlah spesies ikan hias air tawar
Indonesia diperkirakan sekitar 400 spesies dari 1 100 spesies ikan hias yang ada di
seluruh dunia. Ikan hias air tawar yang dibudidayakan di Indonesia tidak hanya
komoditi ikan hias lokal saja, ikan hias air tawar asal impor seperti Koi (Cyrpinus
carpio), Maskoki (Carrasius auratus), Black Ghost (Apteronotus albifrons),
Discus (Symphysodon discus), Guppy (Poecilia reticulata), Neon Tetra, dan
Cardinal Tetra (Paracheirodon axelrodi) juga telah dibudidayakan. Jumlah ikan
hias yang diperdagangkan Indonesia mencapai 1 600 jenis, dimana 750 jenis
diantaranya adalah ikan hias air tawar1. Keanekaragaman dari berbagai jenis ikan
hias tersebut yang menjadi daya tarik kuat, memiliki corak warna yang atraktif,
cerah dan indah dengan berbagai karakteristik berbeda dari tiap jenis ikan hias.
Kabupaten Bogor merupakan salah satu salah satu sentra penghasil ikan hias
air tawar di provinsi jawa barat, Perkembangan produksi ikan hias terus
mengalami peningkatan dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2012 dengan ratarata peningkatan per tahun sebesar 7.96 persen (Data Dinas Perikanan dan
Peternakan), hal tersebut menunjukkan bahwa prospek budidaya ikan hias di
Kabupaten Bogor cukup baik. Besarnya produksi ikan hias yang dihasilkan oleh
usaha pembesaran dipengaruhi oleh jumlah produksi benih yang mampu
dihasilkan oleh pembudidaya pembenihan, semakin banyak benih ikan yang
mampu disuplai kepada pembudidaya pendederan dan pembesaran maka akan
semakin banyak pula output ikan hias yang bisa dijual.
Perkembangan produksi ini dikarenakan adanya peningkatan jumlah
pembudidaya ikan hias air tawar di Kabupaten Bogor. Pembudidaya ikan hias air
tawar di Kabupaten Bogor tersebar di beberapa wilayah seperti Ciampea, Ciseeng,
Cibinong, dan Parung. Perkembangan produksi yang terus meningkat,
menunjukan bahwa komoditi ikan hias air tawar prospektif untuk dikembangkan
dan harus mendapat perhatian dari semua pihak yang terkait untuk keberhasilan
usaha ikan hias tersebut. Data pencapaian produksi ikan tahun 2009-2010 di
Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Pencapaian produksi ikan hias di Kabupaten Bogor tahun 2009-2010
Target
Realisasi
Pencapaian
Tahun
(Ribu ekor)
(Ribu ekor)
(persen)
2009
87 052
104 603
120.16
2010
110 879
112 085
101.09
Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor

Pada tahun 2009 pencapaian target produksi ikan hias air tawar di
Kabupaten Bogor mencapai 120.16 persen, dari jumlah produksi yang ditargetkan
sebesar 87 051 ribu ekor ternyata realisasinya dapat melebihi target yang
diharapkan yaitu sebesar 104 603 ribu ekor. Pencapaian tersebut terus meningkat
hingga pada tahun 2010, jumlah produksi ikan hias kembali mampu melampaui
target dengan persentasi pencapaian produksi sebesar 101.09 persen. Hal tersebut
menunjukan bahwa Kabupaten Bogor memiliki potensi yang sangat baik dalam
budidaya ikan hias air tawar. Tren permintaan akan ikan hias air tawar asal
1

http://www.kkp.go.id/index.php/mobile/arsip/c/492/DKP-DAN-LIPI-KEMBANGKAN-IKANHIAS/?category_id=34

5

Indonesia terus meningkat tiap tahunnya, Dinas Pertanian Kota Bogor mencatat
permintaan ikan hias air tawar jenis tetra memiliki permintaan rata-rata mencapai
750 000 ekor setiap bulannya dan baru bisa dipenuhi sebanyak 250 000 ekor. Hal
tersebut menandakan masih terdapat ceruk pasar untuk dipenuhi oleh para
pembudidaya ikan hias air tawar.
Budidaya ikan hias air tawar di kabupaten Bogor memiliki variasi yang
cukup tinggi, hal tersebut didasari oleh perbedaan modal yang dimiliki oleh para
pembudidaya. Keterbatasan modal usaha akan mempengaruhi kegiatan produksi,
kemampuan pembudidaya untuk memiliki lahan usaha, sarana dan prasarana
perikanan budidaya, minat untuk membudidayakan suatu jenis ikan hias air tawar
tertentu, aplikasi teknologi yang dipakai tentu akan menimbulkan perbedaan skala
usaha yang signifikan. Dari besaran jumlah input dan output usaha akan
membedakan usaha-usaha tersebut kedalam kategori skala usaha kecil, menengah
maupun besar, salah satu tolak ukur untuk dapat menentukan skala usaha pada
pembudidaya ikan hias air tawar dapat dilihat dari jumlah kepemilikan akuarium,
karena dari faktor produksi tersebut mampu mencerminkan alokasi biaya-biaya
yang dibutuhkan untuk operasional serta produktivitas dari usaha tersebut.
Komponen yang termasuk dalam struktur biaya usaha terbagi kedalam dua
kategori yaitu biaya tetap dan biaya variabel, pada tiap skala akan memiliki
struktur biaya yang berbeda, kombinasi komponen tersebut akan sangat
berpengaruh pada profit usaha budidaya ikan hias air tawar yang dijalankan.
Ketika pembudidaya mampu merencanakan usaha dengan alokasi biaya yang
minimum, maka akan semakin efisien usaha tersebut untuk meraih profit.
Perumusan Masalah
Budidaya ikan hias air tawar merupakan usaha yang dapat dilakukan pada
lahan yang minim, selain itu memiliki waktu pemeliharaan ikan yang relatif
singkat. Budidaya tersebut dapat dilakukan dengan sarana dan prasarana yang
beragam tergantung dari besarnya keluaran produk ikan hias yang diharapkan.
Untuk mendapatkan hasil budidaya ikan hias air tawar yang baik dapat dilakukan
dengan selalu menjaga kualitas teknis pengelolaanya, dimulai dari pengetahuan
tentang cara budidaya, pemilihan induk yang berkualitas, menjaga kualitas air,
mengetahui jenis pakan yang sesuai pada tiap fase pertumbuhan dan teratur dalam
pemberiannya, serta menanggulangi hama dan penyakit.
Budidaya ikan hias air tawar memiliki beberapa segmen usaha berdasarkan
sistem budidayanya yaitu segmen budidaya pembenihan, segmen budidaya
pendederan dan segmen budidaya pembesaran. Tiap segmen budidaya tersebut
memiliki perbedaan pada input dan output yang dihasilkan dari kegiatan
produksinya. Pada proses pelaksanaannya, budidaya ikan hias air tawar memiliki
beberapa pola yang dilakukan oleh para pembudidaya yaitu; Pola budidaya secara
ekstensif yang ditandai dengan penggunaan modal yang relatif kecil, kepemilikan
akuarium yang sedikit, cara budidaya serta metode pemberian dan perhitungan
pakan yang cenderung didapat dari hasil pembicaraan sesama pembudidaya
tradisional atau kebiasaan, aplikasi teknologi yang sederhana namun cenderung
tidak ada, memiliki padat penebaran ikan yang cenderung sedikit. Sedangkan
sistem budidaya secara intensif dapat dilihat dari penggunaan modal yang besar,
kepemilikan akuarium yang banyak, mengetahui ilmu perikanan budidaya dengan

6

baik, memiliki padat penebaran budidaya ikan hias yang tinggi, mampu menjaga
dan mengolah kualitas air sedemikian rupa serta pengaplikasian teknologi yang
mampu meningkatkan produktivitas pada usaha tersebut.
Kabupaten Bogor merupakan pengekspor ikan hias air tawar terbesar di
wilayah Jawa Barat, bahkan di Indonesia. Sepanjang 3 tahun, nilai ekspor ikan
hias mencapai Rp58 241 726 300. Menurut Kepala Bidang (Kabid) Bina Usaha
pada Dinas Perikanan dan Peternakan (Disnakan) Kabupaten Bogor, Wawan
Haryono, data ekspor yang terlaporkan ke pihaknya pada tahun 2010 sebanyak 15
887 box ikan hias diekspor dengan nilai Rp13 341 452 784, tahun 2011 tercatat 1
986 241 ekor ikan dengan nilai Rp16 343 696 616. Sementara tahun 2012 lalu
tercatat 2 506 989 ekor ikan hias yang diekspor dengan nilai Rp28 556 576 900.
Beberapa daerah di Kabupaten Bogor dan sekitarnya yang menjadi sentra
budidaya ikan hias adalah; Ciampea, Ciseeng, Cibinong, dan Parung. Hingga saat
ini, lokasi pemasaran ikan hias air tawar dilakukan di Depo Ikan Hias Cibinong,
Pasar Benih Ciseeng, Holding Ground Ciawi, Terminal Agribisnis Rancamaya
serta Raiser. Selain itu, di Kabupaten Bogor memiliki 6 eksportir ikan hias air
tawar yang aktif hingga kini di Kabupaten Bogor. Diantaranya, CV. Maju
Aquarium, PT Sunny Indopramita, PT. Qianhu Joe Aquatic. CV. Gunung Mas,
Maram Aquatic, serta Harlequin Aquatic. Beberapa komoditi ikan hias yang
menjadi andalan para eksportir adalah Ikan Arwana, Koi, Koki, Botia, Cat fish,
Corydoras sp, Plecostomus sucker, Tetra, Ciclids, Synodontys sp, Guppies,
Platies, Pimelodus sp, Rainbow, dan Red cristal shrimp. Negara yang menjadi
tujuan ekspor adalah berbagai negara Eropa, Timur Tengah, Singapura, Jepang,
Amerika Serikat, Malaysia dan China2.
Tiap usaha ikan hias air tawar memiliki komoditi ikan hias air tawar yang
dipelihara, hatchery, kepemilikan akuarium dan tenaga kerja yang berbeda,
sehingga akan menghasilkan output produksi yang juga berbeda. Kepemilikan
akuarium dan komoditi yang dibudidayakan merupakan salah satu faktor-faktor
produksi dalam usaha tersebut, dengan demikian dapat menjadi indikasi bahwa
usaha budidaya ikan hias air tawar memiliki variasi yang sangat luas. Beragamnya
faktor-faktor produksi yang digunakan dalam suatu usaha akan menentukan skala
usaha yang dijalankan, ukuran usaha terebut dapat dikelompokkan menjadi skala
kecil, menengah, dan besar berdasarkan faktor-faktor produksinya. Pada tiap skala
usaha tentu memiliki alokasi biaya yang juga berbeda, struktur biaya tersebut akan
menentukan apakah usaha telah berjalan dengan efisien.
Penelitian ini dilaksanakan pada tiga pembudidaya ikan hias air tawar,
Lokasi usaha tersebut tersebar ke dalam tiga daerah berbeda yaitu, Ciherang kidul,
Cibinong, dan Pondok petir. Usaha tersebut sama-sama bergerak pada segmen
budidaya pendederan ikan hias air tawar, yang membedakan dari masing-masing
usaha adalah komoditas ikan hias air tawar yang dibudidayakan dan juga
kepemilikan akuarium serta hatchery. Dikarenakan hal tersebut dirasa penting
untuk dapat menentukan skala usaha manakah yang paling menguntungkan dan
efisien dengan membandingkan struktur biaya pada masing-masing usahanya.
Faktor penting dalam menganalisis struktur biaya dapat dilihat dari penggunaan

2

http://bogorkita.com/pemerintahan/kabupaten-bogor/3971-kabupaten-bogorpengekspor-ikan-hias-terbesar-di-indonesia.html

7

biaya variabel dan biaya tetap. Berdasarkan hal tersebut, perlu diketahui informasi
mengenai alokasi biaya-biaya yang digunakan pada kegiatan produksi.
Alokasi penggunaan sumberdaya dan biaya akan menjadi hal yang penting
untuk mencapai produktivitas usaha yang optimal, semakin efektif penggunaan
tersebut akan semakin efisien menunjang keberhasilan usaha yang dijalankan,
dalam kata lain akan memberikan keuntungan yang lebih besar untuk para
pembudidaya ikan hias air tawar. Salah satu cara mengukur efisiensi usaha adalah
dengan melakukan analisis penerimaan untuk setiap biaya yang dikeluarkan atau
Revenue and Cost Ratio (R/C rasio). Informasi mengenai jumlah penerimaan
usaha minimal yang harus diperoleh penting untuk dipelajari agar mampu
mengetahui pada penerimaan berapakah usaha tersebut telah menghasilkan suatu
nilai yang tidak lagi mendapatkan keuntungan (impas), Hal tersebut dapat
diketahui dengan melakukan analisis titik impas (break even point). Berdasarkan
informasi tersebut maka didapat rumusan masalah yang dapat diidentifikasi
adalah:
1. Bagaimana struktur biaya pembudidaya usaha ikan hias pada tiap skala?
2. Bagaimana penerimaan usaha pembudidaya ikan hias di lokasi penelitian?
3. Skala usaha ikan hias manakah yang paling efisien berdasarkan hasil analisis
R/C Ratio?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian
yang ingin dicapai adalah sebagai berikut :
1. Mengkaji struktur biaya usaha ikan hias air tawar pada tiap skala usaha.
2. Menganalisis penerimaan usaha ikan hias air tawar di lokasi penelitian.
3. Mengetahui struktur biaya pada skala usaha manakah yang paling efisien.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Pembudidaya ikan hias air tawar
Dapat memberi informasi apakah usaha ini mampu memberikan income
besar dan mensejahterakan rumahtangga petani ikan hias terkait skala usaha
yang dijalankan, serta dapat menjadi rujukan untuk dilakukannya
pengembangan usaha ikan hias.
2. Pembaca
Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai struktur biaya dan
skala usaha ikan hias paling efisien, bagi individu maupun kelompok yang
berniat menjadi pelaku usaha maupun investor untuk menanamkan modal pada
usaha di sub-sektor perikanan hias air tawar. Selain itu, Penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan informasi mengenai skala usaha ikan hias
kepada peneliti lain, sebagai referensi dan studi perbandingan untuk penelitian
selanjutnya.
3. Pemerintah

8

Menjadi bahan pertimbangan untuk menetapkan sebuah kebijakan baru
yang mendukung usaha budidaya secara intensif pada komoditi ikan hias asal
Indonesia untuk tujuan pasar dalam negeri maupun mancanegara.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dilakukan untuk mengetahui skala usaha yang
paling efisien berdasarkan analisis struktur biaya pada tiga pembudidaya ikan hias
air tawar. Skala usaha dibagi berdasarkan jumlah kepemilikan akuarium pada tiap
pembudidaya, dalam usaha budidaya ikan hias air tawar besaran skala suatu usaha
dapat dinilai dari jumlah kepemilikan akuarium karena mampu mencerminkan
produktivitas, penerimaan, serta biaya-biaya yang harus dikeluarkan pada usaha
tersebut.

TINJAUAN PUSTAKA
Persentasi biaya tetap dan variabel pada beberapa penelitian
Dalam melakukan produksi suatu usaha terdapat dua komponen biaya, yaitu
biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap didefinisikan sebagai biaya yang
jumlahnya relatif tetap dan akan terus dikeluarkan walaupun hasil produksi yang
diperoleh banyak atau sedikit. Biaya variabel adalah biaya yang besar-kecilnya
dipengaruhi oleh output produk yang dihasilkan, dengan kata lain semakin banyak
output yang dihasilkan maka semakin besar pula biaya variabel yang akan
dikeluarkan.
Pada analisis usaha budidaya ikan hias air tawar yang telah dilakukan oleh
Stani (2009), Persentasi biaya tetap dan biaya variabel usaha adalah, biaya
variabel untuk usaha I sebesar 91.65 persen, usaha II sebesar 87.58 persen dan
usaha III sebesar 80.69 persen, sedangkan untuk biaya tetap usaha I sebesar 8.35
persen, usaha II sebesar 12.40 persen dan usaha III sebesar 19.31 persen.
Komponen biaya tetap yang memiliki nilai paling besar adalah penyusutan ternak
pada masing-masing skala usaha yaitu sebesar 5.05 persen pada skala I, 3.68
persen pada skala II, dan 5.36 persen pada skala III. Pada komponen biaya
variabel yang memiliki nilai paling besar dalam skala I adalah tenaga kerja
sebesar 40,09 persen, pada skala II biaya pakan memiliki nilai paling besar yaitu
36.67 persen, dan pada skala III tenaga kerja memiliki nilai yang paling besar
yaitu 26.82 persen.
Pada penelitian Bantani (2004) mengenai analisis struktur biaya dan
pendapatan usaha pemotongan ayam tradisional di Kelurahan Kebon Pedes,
Bogor, Jawa Barat memiliki persentasi biaya biaya variabel dan biaya tetap
masing-masing sebesar; pada kriteria pemotong satu, skala usaha kecil sebesar
95.28 persen, skala menengah sebesar 96.52 persen, dan skala besar sebesar 97.46
persen. Sedangkan untuk biaya tetap, skala usaha kecil memiliki nilai persentasi
sebesar 4.72 persen, skala menengah sebesar 3.48 persen, dan skala besar sebesar
2.54 persen. Untuk kriteria pemotong dua memiliki nilai persentasi untuk biaya

9

variabel skala kecil sebesar 90.66 persen, skala menengah sebesar 92.23 persen,
dan skala besar sebesar 94.37 persen. Sedangkan untuk biaya tetap memiliki nilai
persentasi skala kecil sebear 9.34 persen, skala menengah 7.77 persen, dan skala
besar sebesar 5.63 persen. Dari analisis tersebut memiliki kesimpulan bahwa
semakin besar usaha pemotongan ayam pada pemotong I dan pemotong II maka
persentasi biaya variabel semakin meningkat sedangkan persentasi biaya tetapnya
semakin menurun, secara umum komponen biaya terbesar yang dikeluarkan pada
biaya variabel adalah biaya pembelian ayam hidup.
Pada penelitian Damayanti (2011) mengenai analisis struktur biaya usaha
budidaya anggrek di taman anggrek ragunan memiliki nilai persentasi biaya
variabel dan biaya tetap masing-masing sebesar; biaya variabel pada usaha I
sebesar 76.94 persen, pada usaha II sebesar 78.82 persen, dan pada usaha III
sebesar 84.14 persen. Sedangkan untuk persentasi biaya tetap pada usaha I sebesar
23.06 persen, usaha II sebesar 21.17 persen, dan usaha III sebesar 15.86 persen.
Pada komponen biaya variabel tertinggi pada usaha I, II dan III terdapat pada bibit
seedling dengan masing-masing persentasi sebesar 53.43 persen, 58.00 persen,
dan 52.63 persen dan komponen biaya tetap tertinggi pada masing-masing usaha
terdapat pada komponen biaya tenaga kerja sebesar 14.09 persen, 8.44 persen, dan
7.08 persen.
Penentuan Skala Usaha pada Beberapa Penelitian
Penentuan skala usaha (SK) bertujuan agar pengusaha mampu mengetahui
sejauh mana dia harus berproduksi sesuai keadaan skala usaha yang dimilikinya.
Produksi dilakukan dengan kepemilikan sejumlah sumberdaya yang diolah
sedemikian rupa agar mampu menciptakan keuntungan dalam sebuah usaha.
Dalam penelitian Stani (2009) mengenai struktur biaya usaha budidaya ikan hias
air tawar skala usaha ditentukan berdasarkan jumlah pemilikan kambing perah
yang dinyatakan dalam satuan ST (Satuan Ternak), yang dibagi dalam tiga strata
yaitu skala usaha I (skala kecil) berjumlah 5 ekor kambing atau 0.53 ST, skala
usaha II (skala menengah) berjumlah 61 ekor kambing atau 5.95 ST, dan skala
usaha III (skala besar) berjumlah 161 ekor kambing atau 17.36 ST.
Berdasarkan Penelitian mengenai struktur biaya yang telah dilakukan oleh
Bantani (2004), Struktur biaya dan pendapatan usaha dianalisis menurut skala
usaha dan kriteria pemotongan ayam tradisional di tempat penelitian. Skala usaha
ditentukan berdasarkan volume pemotongan ayam per hari yang dinyatakan dalam
ekor. Kriteria pemotong ayam tradisional terdiri dari kriteria pemotong I dan
kriteria pemotong II. Skala usaha ditentukan berdasarkan rata-rata pemotongan
ayam per hari (ekor) dan nilai simpangan baku dari data yang ada. Simpangan
baku yang digunakan adalah setengah dari nilai simpangan baku data yang
diamati. Hal ini dilakukan untuk memperoleh sebaran frekuensi responden yang
berimbang pada tiap skala usaha. Selanjutnya ditentukan skala usaha kecil yang
diperoleh berdasarkan hasil pengurangan antara rataan dari total pemotongan
ayam di tempat penelitian dengan simpangan baku dari data yang ada. Skala
usaha besar diperoleh berdasarkan hasil penjumlahan antara rataan dari total
pemotongan ayam di tempat penelitian dengan simpangan baku dari data yang
ada. Skala usaha menengah diperoleh dari nilai antara skala usaha kecil dengan
skala usaha besar.

10

Menurut Damayanti (2011), keragaan usaha anggrek di TAR dapat
dikelompokan menjadi empat segmen yaitu usaha pembibitan, budidaya dari
seedling, budidaya dari remaja dan pemasaran. Nunky Orchis (usaha I) dan Syams
Orchid (usaha III) melakukan budidaya semua jenis anggrek dalam satu tempat
yang sama sedangkan I-yon Orchid (usaha II) melakukan sistem pemeliharaan
anggrek yang terpisah antara anggrek Phalaenopsis dengan anggrek yang lainnya.
Pada penelitian ini skala usaha dibagi berdasarkan luas lahan yang dipakai, dibagi
kedalam 3 kelompok yaitu usaha I (kecil, < 0.5 Ha.), usaha II (menengah, 0.5 Ha2 Ha) dan usaha III (besar, > 2 Ha).
Analisis Efisiensi dan Titik Impas pada Beberapa Penelitian
Efisiensi ekonomi usaha ternak kambing perah pada penelitian Stani (2009)
didekati dengan kriteria biaya minimum karena didasari bahwa adanya
keterbatasan modal yang dimiliki oleh peternak, sehingga tujuan
memaksimumkan keuntungan dicapai dengan menekan biaya produksi sekecilkecilnya. Pada penelitian ini tidak dilakukan analisis R/C Ratio, Keragaman skala
usaha tersebut masing-masing menunjukkan nilai efisiensi yang berbeda. Untuk
mengetahui nilai efisiensi tiap skala usaha tersebut dilihat nilai struktur biayanya.
Skala usaha efisien dapat diamati dengan cara membandingkan nilai
efisiensi dari masing-masing skala yang kemudian dapat ditarik kesimpulan skala
mana yang lebih efisien. Skala usaha yang paling efisien diperlihatkan oleh
indikator biaya per unit yang paling rendah. Berdasarkan kurva LAC, dalam
penelitian ini terbukti bahwa semakin besar skala usaha, maka biaya yang
dikeluarkan semakin kecil dan berimplikasi pada penerimaan yang lebih tinggi.
Skala III merupakan skala usaha yang mempunyai nilai biaya rata-rata yang
rendah dan penerimaan yang tinggi, maka bisa dikatakan skala III adalah skala
usaha yang efisien.
Hasil analisis BEP (produksi) pada usaha ternak kambing perah memiliki
nilai pada skala I sebesar -5.35, diperoleh nilai BEP minus yang disebabkan oleh
tingginya biaya variabel per liter susu, sedangkan harga jual sangat rendah karena
kualitas susu yang rendah. Tingginya biaya variabel karena termasuk biaya yang
diperhitungkan (biaya non tunai) seperti rumput dan tenaga kerja dimana kedua
komponen biaya tersebut mempunyai persentasi yang sangat tinggi pada biaya
variabel. Artinya dalam skala bisnis, skala I merupakan skala yang tidak
menguntungkan (unprofitable) karena jumlah ternak yang sedikit dan teknologi
yang sederhana menyebabkan biaya produksi menjadi besar. Tetapi jika tidak
dihitung biaya non tunainya, maka akan diperolah nilai BEP yang positif bahkan
volume produksi aktualnya telah melebihi BEP produksi yaitu sebesar 21.6
liter/bulan.
Volume produksi susu kambing aktual skala II di atas BEP volume
produksi. Nilai yang harus dicapai agar impas adalah saat produksi sebesar 38.7
liter/bulan, pada hasil penelitian didapat data volume produksi pada skala II
adalah 211 liter/bulan. Hal serupa juga terjadi pada skala III, dimana produksi
aktual sebesar 747 liter/bulan, jauh dari nilai impas produksi yakni 29.3
liter/bulan. Hal ini berarti kedua peternakan tersebut sudah untung karena
produksi susu kambing sudah di atas nilai titik impas, sehingga dapat terhindar
dari kerugian. Berdasarkan analisis titik impas, dapat disimpulkan bahwa semakin

11

besar skala usaha, maka peternak semakin bisa menutupi biaya totalnya sehingga
terhindar dari kerugian. Hal tersebut terlihat dari volume produksi aktual yang
semakin jauh dari nilai BEP produksi.
Pada penelitian Bantani (2004), kriteria pemotong I memiliki nilai R/C pada
skala usaha ≤ 573 dengan nilai 1.22, pada skala usaha 574-1.113 dengan nilai
1.23, pada skala usaha ≥ 1.114 dengan nilai 1.24. Dari analisis tersebut dapat
dinyatakan skala usaha ≥ 1.114 yang paling efisien, karena memiliki nilai paling
besar yaitu 1.24, dapat diartikan setiap Rp. 1 yang dikeluarkan usaha tersebut
mampu memberikan return sebesar Rp0.24. Pada kriteria pemotong II memiliki
nilai R/C pada skala usaha ≤ 99 dengan nilai 1.13, pada skala usaha 100-205
dengan nilai 1.09, pada skala usaha ≥ 206 dengan nilai 1.15. Dari analisis
tersebut dapat dinyatakan skala usaha ≥ 206 yang paling efisien, karena memiliki
nilai paling besar yaitu 1.15, dapat diartikan setiap Rp. 1 yang dikeluarkan usaha
tersebut mampu memberikan return sebesar Rp0.15.
Analisis BEP pada skala usaha pemotong I dan pemotong II berdasarkan
analisis regresi sederhana menunjukan kecenderungan yang semakin menurun,
artinya semakin besar jumlah ayam yang dipotong maka persentasi nilai titik
impas semakin kecil. Pada kriteria usaha pemotong I memiliki nilai BEP (Rp)
pada skala usaha ≤ 573 dengan nilai 18.88 persen, pada skala usaha 574-1.113
dengan nilai 13.79 persen, pada skala usaha ≥ 1.114 dengan nilai 10.00 persen.
Dari hasil analisis tersebut dapat dinyatakan nilai BEP yang paling efisien pada
skala usaha ≥ 1.114 karena memiliki nilai persentasi terkecil diantara nilai BEP
pada kriteria usaha pemotong I yaitu 10.00 persen. Pada kriteria usaha pemotong
II memiliki nilai BEP (Rp) pada skala usaha ≤ 99 dengan nilai 42.86 persen, pada
skala usaha 100 - 205 dengan nilai 48.05 persen, pada skala usaha ≥ 206 dengan
nilai 29.94 persen. Dari hasil analisis tersebut dapat dinyatakan nilai BEP yang
paling efisien pada skala usaha ≥ 206 karena memiliki nilai persentasi terkecil
diantara nilai BEP pada kriteria usaha pemotong II yaitu 29.94 persen.
Berdasarkan analisis R/C Ratio atas biaya tunai memiliki nilai 0.77 pada skala
usaha kecil, memiliki nilai 2.14 pada skala usaha menengah, memiliki nilai 0.09
pada skala usaha besar. Berdasarkan analisis R/C Ratio atas biaya total memiliki
nilai 0.96 pada skala usaha kecil, memiliki nilai 1.86 pada skala usaha menengah,
memiliki nilai 0.63 pada skala usaha besar.
Berdasarkan analisis BEP yang dihasilkan, nilai BEP (pot) usaha I untuk
anggrek Dendrobium, Phalaenopsis, Vanda dan Catleya yaitu 3 421 pot, 1 197
pot, 1 142 pot dan 1 073 pot. Jumlah penjualan pot usaha I untuk anggrek Cattleya
telah melebihi dari nilai BEP tetapi usaha tersebut masih menderita kerugian.
Nilai BEP usaha II untuk anggrek Dendrobium, Phalaenopsis, Vanda dan Catleya
yaitu 3 499 pot, 5 345 pot, 1 761 pot dan 1 099 pot. Jumlah penjualan pot usaha II
selama tahun 2010 untuk anggrek Dendrobium dan Phalaenopsis telah melebihi
dari nilai BEP dan keuntungannya mampu menutupi biaya produksi anggrek
lainnya. Nilai BEP usaha III untuk anggrek Dendrobium, Phalaenopsis, Vanda
dan Catleya yaitu 17 492 pot, 21 531 pot, 11 545 pot dan 10 249 pot. Jumlah
penjualan pot usaha III untuk ke empat jenis anggrek masih kurang dari nilai BEP
sehingga usaha menderita kerugian. Berdasarkan analisis titik impas, dapat
disimpulkan bahwa semakin besar skala usaha, maka target penjualan semakin
besar karena nilai BEP yang dihasilkan semakin besar agar petani bisa menutupi
biaya totalnya sehingga terhindar dari kerugian.

12

Struktur Biaya Tanaman Pangan, Produktifitas, dan Profitabilitas
Berdasarkan penelitian yang ditulis oleh supadi pada tahun 2005 mengenai
struktur biaya dan profitabilitas usahatani tanaman pangan (kasus desa-desa
patanas) analisis keuntungan didasarkan atas biaya tunai yaitu nilai total
penerimaan dikurangi total biaya tunai yang dikeluarkan. Kompensasi (biaya
yang harus ditanggung) untuk sewa lahan, manajemen dan curahan tenaga kerja
keluarga tidak diperhitungkan, dan untuk analisis tingkat efisiensi dan
profitablitas usahatani suatu komoditi dapat diketahui dari parameter produktivitas
harga jual produk, penerimaan, total biaya, profitabilitas, imbangan penerimaan
dan total biaya (R/C) dan biaya pokok produksi untuk setiap kg produk yang
dihasilkan. Parameter sederhana yang dapat digunakan untuk mengukur efisiensi
adalah R/C dan biaya pokok produksi. Kedua parameter ini menunjukkan nilai
yang berlawanan arah, jika nilai R/C tinggi maka biaya produksi pokok akan
rendah (murah) dan sebaliknya
Struktur biaya dan profitabilitas usahatani tanaman padi berdasarkan musim
tanam, pada MH pangsa biaya saprodi untuk tanaman padi secara umum lebih
besar dibandingkan MK 2004, sedangkan untuk upah tenaga kerja relatif sama.
Untuk MH petani mengalokasikan biaya untuk pupuk lebih besar dibandingkan
pestisida. Berdasarkan strata luas, terdapat kecenderungan bahwa pangsa biaya
saprodi semakin mengecil dengan semakin luasnya garapan usahatani. Hal ini
berarti petani sempit lebih intensif
dalam penggunaan sarana produksi
dibandingkan petani luas. Biaya untuk upah tenaga kerja pada seluruh strata luas
menempati pangsa terbesar berkisar 60.3 persen – 63.8 persen. Sebagian besar
biaya ini dikeluarkan untuk membayar upah panen. Di desa-desa penelitian,
petani menggunakan sistem bawon untuk upah panen, dibayar dalam bentuk
natura dengan kisaran antar desa sepersepuluh sampai seperenam bagian dari
hasil panen.
Terdapat kecenderungan petani
luas mengeluarkan biaya lain-lain
(pengairan, pajak, zakat dan lain-lain) lebih besar dibandingkan yang lainnya.
Secara agregat untuk kedua musim tanam tanpa membedakan strata luas garapan
pangsa pengeluaran untuk sarana produksi adalah 28.5 persen, upah tenaga kerja
61.6 persen dan biaya lain-lain 9.9 persen. Produktivitas usahatani padi sawah
pada MH 2004/2005 lebih tinggi dibandingkan dengan MK yaitu 5.65 ton/ha
berbanding 4.64 ton/ha. Ini berarti tingkat produktivitas pada MH 21.8 persen
lebih besar daripada MK. Sebaliknya harga jual yang diterima petani pada MH 9.1
persen lebih rendah. Dengan peningkatan produktivitas yang masih lebih baik ini
maka besar R/C maupun biaya pokok produksi pada MH lebih baik dibandingkan
MK, sehingga tingkat efisiensi dan profitabilitas usahatani padi MH lebih tinggi
dibandingkan MK.Berdasarkan strata luas terdapat kecenderungan semakin luas
lahan garapan, usahatani maka produktivitas semakin rendah. Pada MK 2004
menunjukkan semakin besar luas garapan lahan usahatani maka usahatani
semakin efisien. Namun pada MH 2004/2005 terjadi sebaliknya, semakin sempit
luas garapan usahatani maka usahatani semakin efisien, hal ini diduga karena
petani sempit dapat menekan pengeluaran biaya total yang pada MK sebesar Rp2
491 ribu menjadi Rp2 373 ribu pada MH, sedangkan untuk kedua strata luas
lainnya biaya total untuk MH lebih tinggi dibandingkan MK.Secara agregat tanpa
membedakan strata luas garapan usahatani dikatakan bahwa produktivitas padi

13

sawah adalah 5 144 kg/ha. Harga gabah yang diterima petani Rp1 140/kg.
Penerimaan dan profitabilitas usahatani rata-rata per musim masing-masing
sebesar Rp5 86 juta dan Rp3 57 juta (60.9 persen dari penerimaan usahatani).
Efisiensi cukup tinggi dengan R/C 2.56 dan hanya memerlukan biaya sebesar
Rp446 untuk memproduksi satu kilogram GKP.
Sedangkan untuk struktur biaya dan profitabilitas usahatani tanaman jagung,
pangsa biaya sarana produksi usahatani jagung pada MK 2004 sebesar 74.5
persen sedangkan MH 65persen dan secara agregat 68.9 persen. Dua jenis sarana
produksi yang membutuhkan biaya yang besar adalah pupuk anorganik dan benih.
Pupuk yang banyak digunakan adalah Urea dan ZA dan harga benih jagung
(hibrida) berkisar Rp20 – 30 ribu per kg. Pangsa biaya untuk upah tenaga kerja
MH lebih tinggi dibandingkan MK. Rata-rata pangsa upah tenaga kerja sebesar
24,2persen terutama untuk tanam dan panen. Sedangkan untuk pengolahan tanah
sangat kecil karena umumnya tanpa olah tanah (zerro tillage) dan penggunaan
herbisida. Pada MH pangsa biaya sarana produksi relatif lebih rendah
dibandingkan dengan MK. Sebaliknya pangsa pengeluaran untuk upah tenaga
kerja dan biaya lain-lain lebih besar. Berdasarkan strata luas, terlihat bahwa
semakin besar luas garapan usahatani maka pangsa biaya untuk upah semakin
besar. Hal ini dapat diduga karena penggunaan tenaga kerja keluarga pada petani
sempit lebih intensif. Sedangkan petani luas lebih mengandalkan tenaga kerja
upahan.
Terdapat kecenderungan semakin sempit luas garapan usahatani maka
pangsa biaya sarana produksi (benih, pupuk dan pestisida) semakin besar
dibandingkan petani lainnya. Secara agregat struktur biaya usahatani jagung
terbesar diperuntukkan biaya saprodi sebesar 68.9 persen sedangkan untuk upah
tenaga kerja dan biaya lain-lain masing-masing 24.2 persen dan 6.9 persen. Secara
rata-rata produktivitas pada MH lebih tinggi dibandingkan MK yaitu 5 357 kg/ha
dan 3 044 kg/ha, sedangkan harga jual relatif sama. Dibandingkan dengan MK,
usahatani jagung pada MH lebih efisien dan lebih menguntungkan, hal ini
ditunjukkan dari nilai R/C 2.84 dibandingkan 2.30 dan biaya pokok produksi
Rp348/kg berbanding Rp427/kg. Berdasarkan strata luas usahatani menunjukkan
bahwa semakin luas garapan usahatani maka semakin tinggi produktivitasnya.
Produktivitas petani sempit pada MK 2004 hanya 2 779 kg/ha, sedangkan
sedangkan petani luas 3 311 kg/ha. Sedangkan pada MH 2004/2005 petani sempit
4 296 kg/ha dan petani luas 6.243 kg/ha, ini berarti semakin luas tanah garapan
maka tingkat produktivitas semakin besar/meningkat.Penerimaan usahatani
konsisten dengan tingkat produktivitas, yaitu penerimaan semakin besar sejalan
dengan semakin luasnya lahan garapan usahatani. Secara agregat tanpa
membedakan musim dan luasan, profitabilitas jagung adalah Rp2.56
juta/ha/tanam (61.8persen) dan biaya pokok per unit Rp377/kg.
Struktur biaya dan profitabilitas tanaman ubikayu pola penanaman ubikayu
tidak mengenal musim tanaman. Bila dibandingkan dengan usahatani padi sawah
dan jagung, pangsa biaya selama produksi pada usatani ubikayu jauh lebih rendah.
Dari dua jenis upah tenaga kerja yang dibayar, biaya panen dan angkut merupakan
dua bagian terbesar yang dibayar petani, sedangkan biaya pengolahan lahan,
tanam dan penyiangan relatif sangat kecil. Pangsa biaya sarana produksi antar
strata luas relatif sama yaitu sekitar 22.1 persen yang berasal dari pupuk 20persen,
benih 1.5 persen dari pestisida kurang dari 1persen. Secara keseluruhan pangsa

14

biaya sarana produksi ubikayu adalah 21.6 persen jauh lebih rendah
dibandingkan dengan komoditi padi sawah dan jagung. Sebaliknya pangsa upah
tenaga kerja jauh lebih tinggi yaitu 73.5 persen.
Dengan kata lain usahatani ubikayu lebih mengutamakan penggunaan
tenaga kerja dibandingkan sarana produksi. Produktivitas ubikayu lebih tinggi
pada petani luas, rata-rata produktivitas mencapai 20 422 kg/ha. Harga penjualan
ubikayu petani sekitar Rp320/kg. Penerimaan petani berkisar Rp6.0 – 7.0 juta/ha
atau rata-rata Rp6.5 juta/ha. Setelah dikurangi biaya usahatani sekitar Rp2.06 –
2.33 juta/ha, profitabilitas petani sempit Rp3.94 juta/ha dan petani luas Rp4.68
juta/ha (66 persen dari penerimaan usahatani). Dari segi efisiensi antar strata luas
usahatani relatif sama dengan R/C 2.96 dan biaya per unit Rp108/kg.
Dibandingkan dengan usahatani pada sawah dan jagung, nilai R/C usahatani
ubikayu lebih besar.
Skala Usaha Agribisnis Ikan Hias Air Tawar dan Struktur Biaya
Pada komoditi ikan hias, Soni Gumilar (2007) telah melakukan penelitian
yang membahas tentang Strategi Pengembangan Agribisnis Ikan Hias Air Tawar
dalam Meningkatkan Ekonomi Wilayah Kota Bogor. Selain membahas tentang
strategi pengembangan agribisnis ikan hias air tawar, penelitian ini juga
membahas tentang k