Deteksi keberadaan virus avian influenza Subtipe H5 pada kucing jalanan (Felis silvestris catus) Di beberapa pasar tradisional Di wilayah Kota Bogor

DETEKSI KEBERADAAN VIRUS AVIAN INFLUENZA
SUBTIPE H5 PADA KUCING JALANAN (felis silvestris catus)
DI BEBERAPA PASAR TRADISIONAL
DI WILAYAH KOTA BOGOR

HENDRIK TAUFIK

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Deteksi eberadaan virus Avian
Influensa subtipe H5 pada kucing jalanan (felis silvestris catus) di beberapa pasar
tradisional di wilayah kota Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2011

Hendrik Taufik
NRP. B151060031

ABSTRACT

HENDRIK TAUFIK Detection of Avian Influenza Virus Subtype H5 in Stray Cat
(Felis silvestris catus) in Several Traditional Markets in Bogor City Area. Under
suppervision of RETNO D. SOEJOEDONO and SRI MURTINI

Avian influenza or bird flu is disease of poultry caused by influenza type A
virus. This disease can also infects some other animals : pig, horse, seal, fox tiger and
cat. Bogor is endemic area of avian influenza in poultry. In Bogor city, stray cat usually
roaming around in several traditional markets in Bogor city, especially that selling of
life bird and poultry meat. The aim of this research is to study avian influenza
infection in stray cat and tradisional market in bogor city. Eigthy two samples of
serum and rectal swab were taken from stray cat wich roaming around in several

traditional markets in Bogor city. Serological examination were done by HI test. Virus
isolation and identification were done by inoculated the rectal swab to SPF egg and
identified by HA test and PCR. Result of HI test showed 16 positive out of 82 samples,
sera virus isolation and identification by HA test were and PCR showed negative
result. These data revealed that cats in traditional markets may be were infected by
H5N1 virus, but not yet shedding the virus in feses.
Key words : Avian influenza, cat, HI, HA, PCR

RINGKASAN
HENDRIK TAUFIK. Deteksi keberadaan virus Avian Influensa subtipe H5 pada
kucing jalanan (felis silvestris catus) di beberapa pasar tradisional di wilayah kota
Bogor. Dibimbing oleh RETNO D SOEJOEDONO dan SRI MURTINI
Wabah virus Avian Influenza di kawasan Asia khususnya Asia Tenggara pada
pertengahan tahun 2003 dilaporkan telah terjadi di beberapa negara seperti Kamboja,
China, Jepang, Republik Korea, Republik Demokrasi Rakyat Laos, Malaysia, Indonesia
dan Vietnam. Jenis strain teridentifikasi adalah H5N1 dan diklasifikasikan sebagai
Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI). Virus ini telah menyebabkan kematian
pada populasi burung, ayam dan itik (CDC 2006;WHO 2007).
Penyakit flu burung atau Avian Influenza (AI) yang disebabkan oleh virus
influenza H5N1 merupakan penyakit salah satu yang ditakuti saat ini. Ketakutan itu

bukan saja akibat ganasnya serangan penyakit pada ternak unggas tetapi juga akibat
potensi virus ini untuk bermutasi sehingga memungkinkan terjadinya pandemi seperti
kejadian tahun 1918.
Penyakit Avian Influenza selain menyerang unggas virus ini dapat juga
menyerang kelompok felidae seperti harimau, kucing dan leopard. Infeksi pada virus
AI H5N1 menimbulkan suatu fenomena baru, karena ketiga hewan ini sebelumnya
tidak pernah dilaporkan sebagai hewan rentan terhadap infeksi Avian Influenza
(Keawcharoen et al. 2004; Kuiken et al. 2004). Di Thailand telah dilaporkan bahwa
seekor kucing telah terinfeksi Avian Influenza H5N1 setelah memakan karkas burung
merpati. Virus yang diisolasi dari burung merpati dan kucing menunjukan dari
kelompok yang sama dengan virus yang terdeteksi selama terjadi outbreak di Thailand.
Pemberian pakan berupa ayam yang terinfeksi oleh H5N1 pada kucing terbukti
menyebabkan kucing tertular virus H5N1 (Thiry et al., 2007).
Bogor merupakan salah satu daerah yang pernah mengalami wabah Avian
Influenza pada unggas. Kucing merupakan hewan yang cukup dekat hubungannya
dengan manusia. Kejadian infeksi Avian Influenza pada kucing diduga dapat
menimbulkan bahaya bagi manusia. Kucing jalanan yang berkeliaran di pasar
tradisional sangat mungkin mengkonsumsi karkas/sisa karkas ayam yang terinfeksi
Avian Influenza, akibat interaksi tersebut memungkinkan terjadinya penularan virus
Avian Influenza dari unggas ke kucing jalanan. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui status serologis dan keberadaan virus AI pada kucing liar dibeberapa pasar
tradisional di kota Bogor
Metode dalam penelitian ini meliputi pengambilan sampel serum dan usap
rektal dari kucing jalanan yang berkeliaran disekitar pasar tradisional diwilayah kota
Bogor. Selain itu dilakukan pada pengamatan terhadap kondisi pasar dan populasi
kucing jalanan di masing masing pasar. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada Bulan
Januari sampai dengan Juli 2008. Pemeriksaan terhadap keberadaan antibodi anti
influenza H5N1 dari sampel yang diperoleh dilakukan dengan uji hemaglutinasi
inhibition (HI) (OIE 2005) menggunakan antigen standar berupa virus AI H5N1 titer 4

HAU/25. Sampel usap rektal diisolasi virusnya dengan menumbuhkannya pada telur
ayam berembrio (TAB) specific patogen free (SPF) umur 9 hari.
Berdasarkan hasil uji serologis dengan uji HI diketahui bahwa prevalensi
serologis pada kucing liar dibeberapa pasar tradisional di kota Bogor sebesar 19,5 %.
Tingkat keterpaparan kucing liar yang berasal dari ke sembilan pasar tradisional
berkisar antara 10 – 50 %. Prevalensi tertinggi pada serum kucing asal pasar Gunung
Batu dan terendah di pasar Balekambang dan pasar Anyar. Data diatas menggambarkan
bahwa kucing liar yang hidup di pasar tradisional pernah terpapar oleh virus Avian
Influenza H5N1. Hasil penelitian ini hampir sama dengan peneliti lainnya yang
menyatakan bahwa seroprevalensi AI H5N1 kucing di Bogor adalah 20% ( Tarigan et

al. 2008). Penelitian Murtini et al (2008) menunjukan bahwa prevalensi serologis AI
H5N1 kucing liar di beberapa pasar mencapai 18,9%. Prevalensi serologis terhadap
AI H5N1 pada kucing dipasar tidak hanya ditemukan di Bogor , namun juga di wilayah
lain diIndonesia yang pernah terserang wabah AI H5N1 pada unggas. Dilaporkan
bahwa prevalensi serologis AI H5N1 mencapai 29,6% di Depok, 16,7% di Bekasi,
20% di Bogor (Tarigan et.al 2008), 33,3% di kota Semarang (Dwiyanto et.al 2008), di
kota Bandung 25% (Nidom et.al 2008).
Rataan titer antibodi di kesembilan pasar berkisar 20,3 – 22,4. Nilai rataan titer
antibodi tersebut lebih rendah dari penelitian Murtini et al. (2008), yaitu 22,8 – 24,5
Rendahnya titer antibodi terhadap AI pada kucing yang diperiksa dapat dikarenakan
paparan sudah berlangsung lama sehingga titer antibodi mulai menurun. Perbedaan
tingkat keterpaparan tiap pasar dapat dipengaruhi oleh karakteristik keadaan pasar.
Karakteristik pasar tersebut meliputi kebersihan pasar, jumlah pedagang ayam, pola
penjualan ayam, area penjualan, tempat penampungan ayam (TPnA) serta jumlah
populasi kucing yang berkeliaran di pasar. Pasar yang kotor dapat meningkatkan resiko
penularan penyakit AI karena virus AI mempunyai kemampuan untuk dapat bertahan
hidup pada lingkungan dengan sanitasi yang kurang baik. Selain itu jumlah pedagang
yang sedikit serta kebersihan lokasi pasar yang terjaga dapat megurangi terpaparnya
virus terhadap lingkungan maupun kucing liar yang berada di pasar-pasar tersebut.
Adanya tempat penampungan ayam (TpnA) di pasar yang menjual berbagai jenis ayam

mempunyai resiko yang lebih besar terhadap penularan virus Avian Influenza. Pola
penjualan ayam hidup dapat mempengaruhi kemungkinan keterpaparan virus, kontak
antara kucing dengan unggas hidup mempengaruhi keterpaparan virus karena sangat
mungkin unggas yang diperdagangkan merupakan unggas pembawa virus (carier) yang
menyebarkan virus kelingkungan. Hasil isolasi dan identifikasi virus dengan uji
hemaglutinasi (HA) dan PCR dari masing-masing sampel usap rektal adalah negatif.
Hal ini kemungkinan tidak adanya material virus Avian Influenza yang dikeluarkan
melalui feses. Selain itu juga dikarenakan jumlah virus yang dikeluarkan melalui feses
belum cukup banyak tidak terjadi pengeluaran virus (shedding) dari tubuh kucing.
Kata – kata kunci : Avian influenza, cat, HI, HA, PCR

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak cipta dilindungi Undang – Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam

bentuk apapun tanpa izin IPB

DETEKSI KEBERADAN VIRUS AVIAN INFLUENZA
SUBTIPE H5 PADA KUCING JALANAN (felis silvestris catus)
DIBEBERAPA PASAR TRADISIONAL
DI WILAYAH KOTA BOGOR

HENDRIK TAUFIK

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Penguji Luar Komisi :

Prof. Dr. Drh. I Wayan T Wibawan, MS

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis

: Deteksi keberadaan virus Avian Influensa subtipe H5 pada kucing
Jalanan (felis silvestris catus) di beberapa pasar tradisional di wilayah
kota Bogor

Nama

: Hendrik Taufik

NRP

: B 151060031

Disetujui
Komisi Pembimbing


Prof. Dr. drh. Retno Damayanti Soejoedono,MS
Ketua

Dr. drh. Sri Murtini, M.Si
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Sains Veteriner
Prof.Dr. drh. Bambang Pontjo P., MS.,APVet Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 22 Desember 2010

Tanggal Lulus :


26 Januari 2011

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga tesis berhasil diselesaikan dengan baik. Penelitian dilaksanakan
dari Bulan Januari sampai dengan Juli 2008 dengan judul Deteksi keberadaan virus
Avian Influensa subtipe H5 pada kucing jalanan (felis silvestris catus) di beberapa pasar
tradisional di wilayah kota Bogor.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. drh. Retno Damayanti
Soejoedono MS selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr. drh. Sri Murtini, M.Si
selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan curahan saran,
arahan serta waktu dalam penelitian dan penulisan tesis. Bapak Prof. Dr. drh. Bambang
Pontjo P., MS.APVet selaku

ketua program studi Sains Veteriner. Teman-teman

seperjuangan (Pa Andrianto, Pa Adji, Pa Agung, Pa Muharam, Pa Nyoman, Pa
Mustopa, Bu Ketut, Bu Sofi serta Kalbe Grup). Penghargaan dan ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada orang tua, istri dan anak tercinta atas doa dan kasih

sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2011

Hendrik Taufik

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 5 September 1977 dari Ayah
Zaeni Amir dan Ibu Cucu Suhartini. Penulis merupakan putra pertama dari dua
bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Kedokteran Hewan,
Fakultas Kedokteran Hewan IPB, lulus pada tahun 2000. Melanjutkan Program Profesi
Dokter Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan IPB, lulus pada tahun 2002, penulis
melanjutkan

program magister di Program Studi Sains Veteriner pada Sekolah

Pascasarjana IPB. Penulis bekerja di Dinas Peternakan Kabupaten Sukabumi, sejak
tahun 2004.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xi
Hasil uji serologis pada 9 pasar tradisional di Kota Bogor ......……. 22
Hasil uji Isolasi, HA dan PCR terhadap Avian Influenza .............…. 22
Karakteristik pasar tempat pengambilan sampel ........................…. 22
Korelasi karakteristik pasar tempat pengambilan sampel ............... 25
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xii
Struktur morfologi virus influenza A ................................................... 7
Hasil PCR sampel feses .................................................................... 24
PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
Latar Belakang .................................................................................. 1
TINJAUAN PUSTAKA …................……………………………………………. 4
Virus Avian Influenza H5N1............................................................... 4
Morfologi ........................................................................................... 4
Struktur ............................................................................................. 5
Patogenesa penyakit Avian Influenza ..............................................

8

Teknik diagnosa ............................................................................... 10
Pasar tradisional sebagai penyebar penyakit AI .............................

11

Pengendalian penyakit .................................................................... 14

BAHAN DAN METODE ......………………………......………………………. 18
Tempat dan waktu penelitian..........................................................

18

Metode penelitian ............................................................................ 18
Pengambilan sampel..…………………………………………………. 18
Uji serologis .......………………………………………………………. 18
Isolasi Virus .........………………………………………………………. 19
Uji aglutinasi cepat ......……………………………………………….

19

Uji hemaglutinasi ...……………………………………………………. 19
Ekstraksi RNA virus Avian Influenza ………………………………. 20
Identifikasi virus dengan metoda RT-PCR ………………………….

21

HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 22
KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 30

DAFTAR TABEL

Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xi
Hasil uji serologis pada 9 pasar tradisional di Kota Bogor ......……. 22
Hasil uji Isolasi, HA dan PCR terhadap Avian Influenza .............…. 22
Karakteristik pasar tempat pengambilan sampel ........................…. 22
Korelasi karakteristik pasar tempat pengambilan sampel ............... 25

DAFTAR GAMBAR

Halaman
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xii
Struktur morfologi virus influenza A ................................................... 7
Hasil PCR sampel feses .................................................................... 24

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Wabah virus Avian Influenza di kawasan Asia khususnya Asia Tenggara
pada pertengahan tahun 2003 dilaporkan di beberapa negara seperti Kamboja,
China, Jepang, Republik Korea, Republik Demokrasi Rakyat Laos, Malaysia,
Indonesia dan Vietnam. Strain virus penyebab yang teridentifikasi adalah H5N1
dan diklasifikasikan sebagai Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI), virus ini
menyebabkan kematian pada populasi burung, ayam dan itik (CDC 2006;WHO
2007). Virus influenza termasuk kedalam famili Orthomyxoviridae, memiliki
amplop (envelope), bersegmen dan memiliki inti RNA utas tunggal negative
strain. Virus AI termasuk virus influenza tipe A.
Penyakit flu burung atau Avian Influenza (AI) merupakan salah satu
penyakit yang ditakuti saat ini. Ketakutan itu bukan saja akibat ganasnya
serangan penyakit pada ternak unggas tetapi juga akibat potensi virus ini untuk
bermutasi sehingga memungkinkan terjadinya pandemi seperti kejadian tahun
1918. Virus AI selain dapat menginfeksi unggas dapat pula menginfeksi hewan
mamalia yang hidup disekitar unggas. Berbagai macam jenis hewan selain
unggas yang dapat terinfeksi adalah babi, kuda, kucing, harimau, macan tutul
dan mamalia laut. Infeksi pada hewan famili Filidae merupakan fenomena
baru, karena hewan ini sebelumnya tidak pernah dilaporkan sebagai hewan
rentan terhadap infeksi Avian Influenza (Keawcharoen et al. 2004; Kuiken et al.
2004).
Penelitian terhadap adanya infeksi virus influenza A pada kucing
pertama kali dilakukan pada tahun 1970an. Pada waktu itu diamati terjadinya
infeksi virus influenza A subtype H3N2 dari manusia pada kucing peliharaan.
Infeksi virus influenza A subtype H7N3 dari kalkun maupun H7N7 dari singa
laut menyebabkan peningkatan suhu tubuh (demam) gejala klinis ringan pada

kucing. Terjadinya wabah infeksi virus avian influenza H5N1 pada unggas di
Asia pada tahun 2003 dilaporkan juga adanya infeksi pada kucing dan
kelompok felidae lain oleh virus ini. Di beberapa negara seperti Australia,
Thailand dan Belanda diketahui bahwa kucing dapat tertular oleh virus avian
influenza. Berdasarkan catatan European Center for Prevention and Control di
Stockholm, beberapa jenis hewan dapat terinfeksi oleh virus influenza tipe A,
salah satunya adalah kucing.
Wabah AI sampai saat ini telah memusnahkan jutaan ekor unggas dan
menghabiskan dana yang tidak sedikit. Wabah avian influenza (AI) untuk
pertama kali melanda Indonesia pada tahun 2003. Dalam waktu yang hampir
bersamaan telah dilaporkan juga kasus AI di beberapa negara di kawasan
Asia, meliputi Thailand, Vietnam, Korea Selatan, Jepang, Laos, Kamboja, dan
Pakistan. Kejadian wabah AI di negara-negara tersebut disebabkan oleh virus
AI subtipe H5N1, kecuali di Pakistan yang disebabkan oleh subtipe H7N3. Di
Indonesia sampai awal tahun 2009, kasus AI telah ditemukan di 25 propinsi di
Indonesia, meliputi 161 kabupaten/kota.
Di Thailand dilaporkan bahwa seekor kucing terinfeksi Avian Influenza
H5N1 setelah memakan karkas burung merpati. Virus yang diisolasi dari
burung merpati dan kucing menunjukan kesamaan strain virus yang terdeteksi
selama terjadi outbreak di Thailand. Pemberian pakan berupa ayam yang
terinfeksi oleh H5N1 pada kucing terbukti menyebabkan kucing tertular virus
H5N1 (Thiry et al., 2007). Pada bulan Desember 2003, dua harimau (Panthera
tigris) dan dua leopard (Panthera pardus) dilaporkan mati dikebun binatang
Suphanburi Thailand setelah memakan karkas dari rumah pemotongan lokal
(Keawcharoen et al. 2004).
Bogor merupakan salah satu daerah yang pernah mengalami wabah
Avian Influenza pada unggas. Insiden flu burung H5N1 di Hong Kong pada
tahun 1997 menunjukan adanya peran pasar unggas hidup sebagai sumber
penularan virus tersebut pada manusia. Pasar unggas diidentifikasi sebagai

faktor risiko penyebar virus H5N1 berdasar survey yang dilakukan di Hongkong
tahun 1997 (Kung et al. 2003). Kucing jalanan banyak berkeliaran di pasar
tradisional yang menjual ayam maupun karkas ayam. Kucing tersebut mungkin
mengkonsumsi karkas/sisa karkas ayam yang terinfeksi Avian Influenza. Akibat
interaksi tersebut memungkinkan terjadinya penularan virus Avian Influenza
dari unggas ke kucing jalanan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status serologis dan
keberadaan virus AI pada kucing liar dibeberapa pasar tradisional di kota
Bogor. Kucing merupakan hewan yang cukup dekat hubungannya dengan
manusia. Kejadian infeksi Avian Influenza pada kucing diduga dapat
menimbulkan bahaya bagi manusia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Virus Avian Influenza H5N1
Morfologi
Virus Avian Influenza H5N1 merupakan salah satu penyebab penyakit
unggas yang bersifat

zoonosis. Virus ini menyebabkan penyakit flu pada

unggas dan kematian baik unggas domestik maupun unggas liar. Kejadian
penyakit Flu burung pertama kali dilaporkan pada tahun 1878 sebagai wabah
yang menjangkiti ayam dan burung di Italia lebih dari 100 tahun lalu. Penyakit
ini menyebar di seluruh dunia dan mengakibatkan penyakit dengan gejala yang
ringan sampai kematian. Infeksi virus flu burung pada manusia pertama kali
dilaporkan di Hongkong yang mengakibatkan 6 orang meninggal dunia (WHO,
2004).
Virus influenza H5N1 penyebab penyakit flu burung merupakan virus
anggota famili Orthomyxoviridae (ICTV 2006). Famili ini terdiri dari tiga tipe
virus yaitu tipe A , B dan C, berdasarkan perbedaan antigenik pada
nukleoprotein dan matriks

(Payungporn et al. 2004). Virus influenza bersifat

pleiomorfik, berbentuk filamen atau steroid (bola) dengan diameter 80-120 nm
(Harris et al. 2006). Virus yang ditumbuhkan secara in vitro lebih banyak
berbentuk

steroid

dengan

diameter

dan

panjang

konstan,

karena

pertumbuhannya yang cepat (Whittaker 2001). Virus yang diisolasi dari infeksi
alami biasanya berbentuk filamen dengan diameter konstan 100-150nm tetapi
panjangnya bervariasi. Virus influenza mempunyai amplop yang dilapisi protein
matriks dengan glikoprotein integral yang menjulur keluar membentuk duri
(spike) di permukaan virion (Harris et al. 2006). Virus yang berbentuk filamen
lebih infektif dan lebih banyak mengandung RNA dibanding virus berbentuk
steroid (Robert & Compans 1998).

Virus influenza tipe A secara alam dapat menginfeksi unggas dan
manusia (Khawaja et al. 2005) Virus ini di bagi kedalam berbagai subtipe
berdasarkan analisis serologis dan genetis glikoprotein hemaglutinin (HA) dan
neuramidase (NA) (Lee et al. 2004). Sampai saat ini ada 16 subtipe HA (H1H16) dan 9 subtipe NA (N1-N9) (Webster 2005). Subtipe H 16 baru ditemukan
tahun 2004, diisolasi dan diidentifikasi pada burung camar laut kepala hitam.
Semua subtipe HA dan NA ditemukan pada unggas air, dan hanya 3 subtipe
HA (H1-H3) dan 2 subtipe NA (N1-N2) ditemukan pada manusia (Hoffman et
al. 2001) Subtipe H5 dan H7 bersifat sangat virulen pada unggas (Lee et al.
2004) dan dilaporkan berpotensi sebagai penyebab pandemi (Webster et al.
2004)
Struktur
Genom eksternal virus Influenza A terdiri atas genom hemaglutinin (HA)
dan neuraminidase (NA) yang akan mengekspresikan protein HA dan NA.
Kedua protein ini sebagai protein dari amplop yang berfungsi untuk perlekatan
dengan sel inang melalui reseptor spesifik yang terdapat pada permukaan sel
inang. Semua virus Influenza A memerlukan reseptor permukaan berupa
oligosakarida yang terikat pada asam sialat pada ujung terminalnya. Asam
sialat mempunyai struktur sembilan karbon (C), gula dan asam amino (5amino-3,5-dideoxy). Ujung amino selalu diganti dengan salah satu dari Nacetyl atau dengan N-glycolyl menghasilkan N-acetylneuraminic (NeuAc) atau
N-glycolylneuraminic (NeuGc). Ujung hidroksil dari struktur asam sialat ini
dapat diganti dengan asetil,laktoil, metil, sulfat atau fosfat.
Protein HA pada virus influenza akan berikatan dengan reseptor dan
protein NA akan menghancurkan reseptor. Spesifisitas reseptor dari HA dan
spesifisitas substrat untuk NA akan bekerja bersama-sama untuk menentukan
efisiensi replikasi virus Influenza (Suzuki et al., 2000). Asam amino yang
merupakan bagian dari tempat pengikatan reseptor (Receptor-binding Site -

RBS) sangat stabil susunannya, meskipun subtipenya berbeda. Virus
influenza A yang menginfeksi manusia mempunyai variabilitas yang berbeda
dengan virus yang menginfeksi unggas. Pada manusia bagian protein HA yang
mengandung asam amino leusin pada posisi 226 dan serin pada posisi 228
akan lebih mengenal 2,6

(SA

2,6 Gal). Sebaliknya virus AI pada unggas

protein HA pada posisi 226 asam amino glutamin (Gln) dan glisin (Gly) pada
posisi 228 akan lebih menempel reseptor 2,3

(SA a 2,3 Gal) (Vines et al.,

1998). Sementara itu, virus Avian Influenza H5Nl pada posisi tersebut diisi oleh
asam amino yang lain dan belum diketahui secara pasti perannya pada
pengikatan dengan reseptor.
Virus Influenza A manusia yang lebih dikenal mempunyai reseptor 2,6
(SA

2,6 Gal) dapat mengaglutinasi sel darah merah ayam, bebek, marmut,

domba, tetapi bukan sel darah merah dari kuda atau sapi. Virus Avian
Influenza yang menempel pada reseptor 2,3

(SA

2,3 Gal) dapat

mengaglutinasi semuanya. Hal ini menunjukkan bahwa sel darah merah
masing-masing spesies mempunyai reseptor yang berbeda. Sel darah merah
kuda lebih banyak mempunyai 2,3

(SA

2,3 Gal) dari pada 2,6

(SA

2,6

Gal), sedangkan sel darah merah manusia dan ayam mempunyai keduanya
(Vines et al., 1998).
Dua macam reseptor spesifik virus Avian Influenza yaitu

2,3 asam

sialat merupakan reseptor yang terdapat pada tubuh unggas, kuda dan babi
dan reseptor

2,6 asam sialat merupakan reseptor yang terdapat dalam tubuh

manusia dan babi. Pada prinsipnya virus Avian Influenza yang menginfeksi
unggas mempunyai spesifisitas reseptor
spesifisitasnya

2,3 dan yang menginfeksi manusia

2,6. Kedua protein permukaan ini, (protein HA dan NA)

dijadikan dasar untuk identifikasi serologis dengan menggunakan simbol H dan
N.

Gambar 1. Struktur morfologi virus influenza A (Webster 2001)
Genom internal virus Influenza A terdiri atas genom polymerase basic 2
(PB2); polymerase basic 1 (PBI) ; polymerase acidic (PA) ; nukleoprotein (NP) ;
Matriks (M) dan nonstructural (NS). Genom internal akan mengekspresikan
delapan macam protein internal, masing-masing genom menghasilkan satu
macam protein, kecuali fragmen M dan NS, masing-masing menghasilkan dua
macam protein yaitu protein MI dan M2, serta protein NS1 dan NS2. Protein
HA pada situs pencelah dapat digunakan untuk membedakan virulensi virus
Influenza. Umumnya virus Influenza 1 mempunyai asam amino arginin (R)
pada ujung karboksil HA1 dan asam amino glisin (G) pada ujung amino HA2.
Urutan nukleotida atau asam amino pada region HA1 yang berperan sebagai

antigenisitas merupakan faktor pembeda antarsubtipe. Perbedaan antarsubtipe
pada regio ini minimal sebesar 30% I (Horimoto dan Kawaoka, 2001).
Patogenesa penyakit Avian Influenza
Patogenesa merupakan suatu interaksi antara inang dan virus. Virus
influenza yang bersifat patogenik terhadap satu spesies unggas belum tentu
bersifat patogenik untuk spesies yang lainnya. Target jaringan atau organ
suatu virus berpengaruh terhadap tingkat patogenesitasnya. Virus AI dapat
diklasifikasikan ke dalam dua kelompok yaitu bentuk akut yang disebut dengan
Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) dan yang bentuk ringan disebut Low
Pathogenic Avian Influenza (LPAI). Virus pada unggas yang mempunyai
subtipe H5 atau H7 telah diketahui mempunyai hubungan yang erat dengan
penyakit yang bersifat patogenik, sebaliknya banyak juga virus influenza A
subtipe H5 atau H7 yang bersifat tidak patogen (Tabbu, 2000)

Office

Intenational des Epizootic (OIE) mengklasifikasi suatu virus sebagai HPAI
berdasarkan kemampuan virus dalam menyebabkan kematian 6, 7 atau 8 dari
8 ekor ayam umur 4-8 minggu yang peka dalam waktu 10 hari setelah
pemberian intra vena 0,2 ml pengenceran 1 : 10 cairan alantois infektif yang
bebas bakteri.
Infeksi virus H5N1 dimulai ketika virus memasuki sel inang setelah
terjadi penempelan spikes virion dengan reseptor spesifik yang ada di
permukaan sel inangnya. Virion akan menyusup ke sitoplasma sel dan akan
mengintegrasikan materi genetiknya di dalam inti sel inang, dan dengan
menggunakan mesin genetik dari sel inang, virus dapat bereplikasi membentuk
virion-virion baru, dan virion-virion ini dapat menginfeksi kembali sel-sel
disekitarnya. Fase penempelan (attachment) adalah fase yang paling
menentukan apakah virus bisa masuk atau tidak ke dalam sel inang untuk
melanjutkan replikasinya. Virus influenza A melalui spikes hemaglutinin (HA)
akan berikatan dengan reseptor yang mengandung sialic acid (SA) yang ada
pada permukaan sel inang. Ada perbedaan penting antara molekul reseptor

yang ada pada manusia dengan reseptor yang ada pada unggas atau
binatang. Virus flu burung, mereka dapat mengenali dan terikat pada reseptor
oligosakharida yang mengandung N-acethylneuraminic acid
(SA

2,3 Gal), molekul ini berbeda dengan reseptor yang ada pada manusia.

Reseptor yang ada pada permukaan sel manusia adalah SA
(SA

2,3 galactose
2,6 galactose

2,6-Gal), sehingga secara teoritis virus flu burung tidak bisa menginfeksi

manusia karena perbedaan reseptor spesifiknya.
Masa inkubasi pada unggas berkisar antara beberapa jam sampai 3
hari, masa inkubasi tersebut tergantung pada dosis virus, rute kontak dan
spesies unggas yang terserang. Avian influenza dapat ditemukan dalam dua
bentuk,yaitu bentuk akut (HPAI) dan bentuk ringan. Bentuk akut ditandai
dengan adanya proses penyakit yang cepat disertai mortalitas tinggi, gangguan
pernafasan, lakrimasi yang berlebihan, sinusitis, edema di daerah kepala dan
muka, perdarahan jaringan subkutan yang diikuti oleh sianosis pada kulit
terutama di daerah muka, jengger, pial, dada dan telapak kaki selain itu pula
diare gangguan produksi telur dan gangguan syaraf. Pada HPAI bentuk yang
sangat akut, dapat terjadi kematian mendadak tanpa adanya gejala tertentu
(Tabbu 2000). Avian influenza bentuk ringan yang tidak diikuti oleh infeksi
sekunder , akan terlihat adanya gangguan pernapasan, anoreksia depresi,
sinusitis gangguan produksi dan mortalitas yang rendah tetapi gradual. Ayam
yang terinfeksi LPAI bila diikuti infeksi sekunder oleh bakteri atau ayam dalam
keadaan stress akibat lingkungan gejala klinik dapat menjadi parah. Pada
HPAI maka morbiditas dan mortalitas dapat mencapai 100 %.
Di alam, yang bertindak sebagai reservoir utama virus AI adalah unggas
air antara lain itik liar. Dalam tubuh hewan tersebut ditemukan semua subtipe
virus dan dapat bersembunyi pada saluran pernapasan serta saluran
pencernaan kemudian menyebar ke unggas lain melalui inhalasi. Penularan
avian influenza dapat terjadi melalui kontak langsung antara ayam sakit
dengan ayam yang peka. Ayam yang terinfeksi mengeluarkan virus dari

saluran pernapasan, konjungtiva dan feses. Penularan juga dapat terjadi
secara

tidak

material/debu

langsung,
yang

misalnya

mengandung

melalui
virus

udara

yang

influenza,

tercemar oleh

makanan/minuman,

alat/perlengkapan peternakan, kandang, pakaian, kendaraan, peti telur,
nampan telur, burung dan mamalia yang tercemar virus influenza. Satu gram
feses yang mengandung virus avian influenza dapat menginfeksi ayam
sebanyak satu juta ekor. Agen infeksi lain, faktor lingkungan/stress dapat
berpengaruh

pada

berat/ringannya

suatu

penyakit.

Faktor-faktor

yang

mempengaruhi penularan flu burung yaitu kepadatan penduduk dan kepadatan
unggas, sirkulasi virus, biosekuriti, kerentanan daya tahan tubuh manusia dan
hewan.
Teknik Diagnosis
Diagnosa HPAI dapat dilakukan dengan uji serologis, isolasi virus
maupun teknik molekuler. Koleksi spesimen lainnya dapat berupa serum dan
usap trakhea atau rektal. Hewan laboratorium yang sering digunakan untuk
penelitian adalah ayam, kalkun, dan itik. Virus ini juga bereplikasi pada
musang, kucing, hamster, tikus, kera dan babi. Isolasi virus dapat dilakukan
pada telur ayam berembrio yang SPF (Specific Pathogen Free) umur 10-11
hari. Pemeriksaan serologis dapat digunakan untuk mengetahui adanya
pembentukan antibodi terhadap virus avian influenza A, yang dapat diamati
pada hari ke-7 sampai ke-10 pasca infeksi. Uji serologi yang sering digunakan
adalah uji hemaglutinasi inhibisi (HI) prinsip uji HI adalah deteksi ada tidaknya
antibodi yang menghambat ikatan antara haemagglutin yang ada pada dinding
virus dengan reseptor yang ada pada dinding sel darah merah kucing dan uji
agar gel presipitasi (AGP) untuk mengetahui adanya antibodi terhadap
neuramidase (N). Uji ini disebut agar gel presipitation test. Prinsip dari uji ini
yaitu adanya ikatan antibodi spesifik dengan antigen. Uji ini bertujuan untuk
mengetahui apakah serum atau antibody yang ditest merupakan antibody

spesifik terhadap virus digunakan yang telah diketahui. Uji ini dapat pula
digunakan untuk mengetahui virus spesifik yang dapat bereaksi dengan
antibody yang telah diketahui. Reaksi positif akan ditunjukkan dengan adanya
garis presipitasi yang berwarna putih yang ada antara antibody dengan virus
yang digunakan. Hal ini terjadi karena virus atau antigen dapat berdifusi
melalui pori-pori gel dan bereaksi. Virus yang memiliki kecocokkan dengan
jenis antibody yang digunakan akan bereaksi positip dengan membentuk
ikatan antigen-antibodi berupa garis presipitat berwarna putih. Kelembaban
harus sesuai untuk interaksi virus dengan antibodi. Jika kelembaban rendah
maka agar akan cepat kering sehingga pori – pori mengecil dan antigen –
antibodi tidak bisa bereaksi dan difusi tidak bisa berjalan secara maksimal.
Suhu yang cocok juga harus dipertimbangkan karena suhu dapat berpengaruh
terhadap kelembaban, suhu yang baik adalah suhu kamar antara 27- 300 C
dan sesuai dengan suhu dimana virus dapat bertahan dan survive. Konsentrasi
antigen dan antibodi akan menentukan apakah masing – masing memiliki
kecukupan jumlah molekul sehingga virus dapat berikatan. Antibodi dan
antigen yang cocok menentukan ada tidaknya garis presipitasi. Konsentrasi
agar menentukan lebarnya pori – pori, sehingga menentukan kemampuan
difusi dari antigen dan antibodi, pH akan mempengaruhi kestabilan struktur
antigen antibodi yang keduanya merupakan protein (Josep et al , 2008).
Pasar Tradisional Sebagai Penyebar Penyakit AI
Secara umum usaha perunggasan di Indonesia terbagi menjadi dua
bagian yaitu sektor modern dan sektor tradisional. Sektor modern merupakan
usaha perunggasan yang dilakukan dengan skala besar, menggunakan
teknologi modern dan dilakukan oleh perusahaan dengan modal yang besar.
Sektor tradisional merupakan usaha yang dilakukan dengan skala kecil,
menggunakan teknologi yang sederhana dan dilakukan oleh peternak rakyat.

Selain itu perbedaan antara keduanya juga dapat dilihat dari aspek
pemasarannya.
Pemasaran merupakan proses kegiatan atau aktivitas menyalurkan
produk dari produsen ke konsumen. Terjaminnya aspek permintaan dan
penawaran produk unggas tersebut merupakan tujuan dari usaha perunggasan
yang dilakukan. Oleh karena itu agar produk unggas sampai ke konsumen
dengan kualitas baik, maka selain fasilitas rumah potong ternak, pasar yang
baik serta memenuhi standar juga mutlak diperlukan. Penataan pasar menjadi
salah satu faktor penting dalam melakukan restrukturisasi perunggasan di
samping pembenahan pada subsistem hulu dan budidaya. Dalam pemasaran
unggas, pasar tradisional mendominasi total pasar yang ada di Indonesia.
Jumlah perdagangan unggas di pasar tradisional rata-rata mencapai 71,6 %
tiap tahunnya dan sisanya adalah pasar modern yang meliputi hipermarket,
supermarket dan minimarket. Data tersebut menunjukkan pasar tradisional
berperan besar dalam pendistribusian produk-produk perunggasan. Di sisi lain,
pasar tradisional juga kerap mengalami permasalahan-permasalahan yang
membutuhkan perhatian serius dalam pelaksanaannya. Pasar tradisional
merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan
adanya transaksi penjual pembeli secara langsung. Bangunan biasanya terdiri
atas kios-kios atau gerai, los dan lapak terbuka yang digelar penjual atau oleh
pengelola pasar. Pasar umumnya terletak dekat kawasan pemukiman agar
memudahkan pembeli untuk mencapai pasar. Pasar tradisional mempunyai
daya tarik tersendiri terutama bagi masyarakat menengah ke bawah. Di
Indonesia pasar tradisional masih merupakan wadah utama penjualan produkproduk kebutuhan pokok yang dihasilkan oleh para pelaku ekonomi berskala
menengah, kecil dan mikro. Harga yang relatif lebih murah, adanya proses
tawar menawar dan lokasi yang dekat dengan tempat tinggal merupakan
keunggulan dan daya tarik dari pasar tradisional. Alasan lain yang sering
dikemukakan konsumen pasar tradisional adalah produk yang disediakan lebih

segar dan lengkap, suasananya hidup, ramai dan jumlah pembelian bersifat
fleksibel. Namun demikian di balik peran yang besar tersebut, pasar tradisional
diduga berpotensi menjadi ancaman penyebaran penyakit flu burung (Avian
Influenza) atau penyakit unggas menular lainnya. Penyebaran wabah penyakit
flu burung (Avian Influenza/AI) melalui lalu lintas berbagai jenis unggas hidup
dan produknya. Penataan pasar khususnya pasar tradisional menjadi
komponen yang sangat penting dalam salah satu usaha dalam pembenahan
agribisnis perunggasan.
Kelemahan-kelemahan manajemen pasar tradisional antara lain adalah
kesadaran

rendah

terhadap

kedisplinan,

kebersihan

dan

ketertiban;

pemahaman rendah terhadap perilaku konsumen; pengelola pasar belum
berfungsi dan bertugas secara efektif; Standard Operation Procedure (SOP)
yang tidak jelas; manajemen keuangan yang tidak akuntabel dan transparan;
kurang perhatian terhadap pemeliharaan sarana fisik; pedagang kaki lima tidak
tertib karena tidak mendapatkan tempat yang layak; premanisme; tidak ada
pengawasan terhadap barang yang dijual dan standarisasi ukuran dan
timbangan; masalah fasilitas umum; dan penataan los/kios/lapak yang tidak
teratur. Namun demikian pasar tradisional lebih menggambarkan denyut nadi
perekonomian rakyat Indonesia. Pasar tradisional berperan besar dalam
proses pendistribusian produk unggas bagi masyarakat yang berada pada
lapisan menengah ke bawah.
Restrukturisasi

perunggasan,

penataan

dan

pembenahan

pasar

tradisional juga menjadi salah satu faktor penting yang harus dilakukan dalam
meningkatkan kesehjahteraan masyarakat dan menggerakkan perekonomian
rakyat khususnya lapisan menengah ke bawah. Mengingat besarnya peran
pasar tradisional dalam memajukan agribisnis

perunggasan

sekaligus

mengerakkan perekonomian nasional, pemerintah beserta stakeholders yang
terkait haruslah berhati-hati dalam menetapkan kebijakan-kebijakan dalam
penataan dan pembenahan pasar tersebut dengan mempertimbangkan

manfaat dan kerugian yang akan ditimbulkannya. Penentuan kebijakan tidak
hanya dilihat dari kacamata kesehatan dan kenyamanan semata melainkan
harus tetap memperhitungkan aspek ekonominya. (Daryanto. 2007)
Pasar tradisional menjual berbagai jenis unggas seperti ayam, itik,
entok, angsa, burung, dan bahkan mamalia seperti babi yang berasal dari
berbagai daerah, kemudian dari pasar akan menyebar ke daerah lain. Di
Pasar, unggas diletakan dalam area yang sangat berdekatan. Kondisi tersebut
mempermudah penularan Virus AI antar unggas (Nguyen et al., 2001)
Banyaknya itik yang diperdagangkan dalam kondisi hidup dalam suatu area di
pasar tradisional, menyebabkan sirkulasi VAI secara kontinyu dan berpotensi
mengalami mutasi, reassortment, dan rekombinasi (Hulse et al 2005 ; Choi et
al., 2005). Virus AI

jarang menyebabkan sakit pada itik tetapi itik terus

mengeluarkan virus sepanjang hari (Suarez et al., 1998). Kondisi tersebut
memiliki resiko sangat tinggi bagi pengunjung pasar hewan, karena dapat
tertular secara tidak langsung dan dapat sebagai sumber penyebar virus ke
hewan lain (Susanti et al., 2008). Upaya penurunan beban virus yang
bersirkulasi di pasar tradisional sangat dipengaruhi oleh perilaku pedagang
unggas dan distribusi unggas yang dijual. Pola penyebaran unggas di pasar
unggas ditentukan oleh beberapa hal yaitu pedagang, daerah asal unggas, dan
pembeli unggas.
Pengendalian Penyakit
Keberhasilan dalam pengendalian suatu penyakit sangat ditentukan
oleh keberhasilan dalam memutus rantai penularan penyakit tersebut. Hal ini
untuk

mengetahui

tindakan

apa

yang

sebaiknya

dilakukan.

Melihat

perkembangan jalur penularan AI ke manusia yang saat ini terjadi masih
berasal dari unggas maka tindakan memotong rantai penularan dari unggas ke
manusia merupakan langkah yang tepat. Komersialisasi komoditi unggas sehat
ini sangat penting memperhatikan rantai distribusi unggas dan produknya. Ada

empat titik kritis dalam rantai distribusi unggas dan produknya (daging) yaitu
peternakan, tempat penampungan unggas, tempat pemotongan unggas dan
tempat penjualan unggas dan produknya (pasar). Salah satu titik kritis yang
perlu segera mendapat penanganan adalah pasar. Sebagian besar pasar
tradisional yang ada di Indonesia terdapat tempat penjualan unggas hidup dan
produknya (pasar unggas). Hal ini harus mendapat perhatian serius mengingat
bahwa pasar yang terdapat penjualan unggas dan produknya (pasar unggas)
merupakan tempat yang memiliki risiko tinggi dalam penyebaran virus AI.
Pasar unggas di Asia merupakan pusat aktivitas sosial dan ekonomi, namun
pasar juga dapat menjadi sumber penyebaran penyakit. Hal ini mengingat
pasar sebagai tempat yang memungkinkan kontak langsung antara unggas
pembawa virus AI dengan manusia.
Lemahnya biosekuriti dan buruknya higiene sanitasi yang ada memicu
terjadinya penyebaran dan penularan virus AI di pasar yang menjual unggas
hidup dan produknya. Pasar tradisional di Indonesia umumnya terdapat
penjualan unggas hidup dan produknya. Selain itu, pada pasar tradisional juga
terdapat tempat penampungan unggas (TPnU), tempat pemotongan unggas
(TPU) dan tempat penjualan karkas.
Pada tahun 1997 FAO menyatakan bahwa berdasarkan penelitian yang
dilakukan di Hong Kong menunjukkan sebesar 20% unggas yang dijual di
pasar terinfeksi virus avian influenza (H5N1). Tahun 2006 terdeteksi
keberadaan H5N1 pada pasar makanan yang menjual unggas hidup di
Guangzhou, China. Penelitian ini menyatakan bahwa pasar makanan yang
terdapat penjualan unggas hidup dapat menjadi sumber infeksi virus AI dan
keberadaan virus dimungkinkan dibawa oleh unggas sehat. Pada penelitian ini
juga ditemukan adanya antibodi pada pekerja yang menangani unggas di
pasar. Sementara di Asia Tenggara keberadaan virus AI di pasar unggas hidup
dilaporkan pada tahun 2001. Pada saat itu terdeteksi H5N1 pada unggas lokal
yang dijual di pasar unggas hidup di Hanoi, Vietnam (Nguyen et al. 2001).

Berikut beberapa kondisi yang bisa ditemui di pasar yang menjual unggas
hidup dan produknya antara lain :
1. Belum adanya pemeriksaan kesehatan hewan dan produknya secara
rutin.
2. Biosekuriti yang masih buruk.
3. Tidak ada proses/program pembersihan dan desinfeksi kendaraan
pengangkut, keranjang, peralatan, dan bangunan. Kalaupun ada tidak
dilaksanakan secara rutin.
4. Tidak ada batas yang jelas antara tempat penampungan, pemotongan
dan penjualan unggas dan produknya dengan tempat komoditi lain.
5. Sumber asal-usul ayam tidak diketahui asal peternakannya dan status
kesehatannya.
6. Transportasi unggas belum memenuhi standar (menggunakan motor)
dan tidak memenuhi kaidah animal welfare.
7. Tidak ada pintu khusus buat keluar masuknya unggas ke pasar.
8. Tempat pengumpulan/penampungan dan pemotongan unggas yang
tidak memenuhi standar minimal higine dan sanitasi yang baik.
9. Penjualan multi spesies unggas (ayam buras, bebek, ayam ras) dalam
satu tempat.
10. Masih terdapat penjualan ayam hidup (konsumen membawa ayam
hidup ke rumahnya).
11. Belum ada peraturan tentang penataan unggas hidup dan produknya di
pasar.
12. Higiene personal yang masih buruk.
13. Kurangnya kesadaran dari para penjual dan pembeli mengenai produk
yang aman sehat utuh halal (ASUH).
Beberapa program pengendalian yang perlu dilakukan di pasar yang
menjual unggas hidup dan produknya antara lain dilakukannya pemeriksaan
kesehatan hewan dan produknya secara rutin serta adanya program

pembersihan dan desinfeksi kendaraan pengangkut, keranjang, peralatan, dan
bangunan. Program pengendalian penyakit AI di pasar meliputi :
1.

Keberadaan pasar, penerapan biosekuriti, higiene dan sanitasi, zoning
antara tempat aktifitas penanganan unggas dan produknya (tempat
penampungan unggas, tempat pemotongan unggas, tempat penjualan
karkas/daging unggas) dengan tempat penjualan komoditi lain,

2.

Aktifitas penanganan unggas dan produknya terletak dalam satu area,
kelayakan fasilitas dan infrastruktur

3.

Pemeriksaan kesehatan unggas, sistem pengawasan keamanan
daging unggas (meat inspection system)

4.

Konsep produk unggas yang keluar dari pasar dalam bentuk karkas
bukan dalam bentuk unggas hidup

5.

Pemberdayaan masyarakat pasar (pengelola pasar, pemasok unggas
hidup, pengumpul unggas hidup, pedagang unggas hidup, pemotong,
pedagang daging/karkas unggas, pemerintah daerah, pihak swasta,
konsumen), dan kerjasama semua pihak yang terkait.
Tindakan pencegahan lain yang dapat dilakukan adalah mencegah

kontak antara produk unggas dengan burung liar atau hewan liar disekitarnya,
pengendalian limbah peternakan unggas, surveilans dan penelusuran,
penerapan kebersihan kandang tempat penampungan, penyemprotan dengan
desinfektan terhadap kandang dan tempat berjualan produknya sebelum
pemasukan unggas atau ayam baru, peningkatan kesadaran masyarakat, serta
monitoring dan evaluasi (Rahardjo, 2004). Pencegahan yang lain adalah
mencuci tangan dengan sabun cair pada air yang mengalir sebelum dan
sesudah melakukan suatu pekerjaan, Tiap orang yang berhubungan dengan
bahan yang berasal dari saluran cerna unggas harus menggunakan pelindung
(masker, kacamata khusus), Mengkonsumsi daging ayam yang telah dimasak
dengan suhu 80o C selama satu menit, telur unggas dipanaskan dengan suhu
64o C selama lima menit (Patu. 2006).

BAB III
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Bagian Mikrobiologi
Medik, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada Bulan
Januari sampai dengan Juli 2008.
Metode Penelitian
Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel serum dan usap rektal diambil dari kucing jalanan
yang berkeliaran disekitar pasar tradisional diwilayah kota Bogor. Sampel usap
rektal selanjutnya dimasukkan dalam tabung berisi media transpor phosfat
buffer saline (PBS) gliserol (WHO 2002). Selain itu pengamatan terhadap
kondisi pasar dan populasi kucing jalanan di masing masing pasar.
Uji Serologis
Pemeriksaan terhadap keberadaan antibodi anti influenza H5N1 dari
sampel yang diperoleh dilakukan dengan uji hemaglutinasi inhibition (HI)
Prosedur –

. Antigen standar berupa virus AI H5N1 titer 4 HAU/25 µl dari

BBalitvet. Prosedur uji dimulai dengan mengisi PBS ke dalam sumur 1-12 dari
microplate masing-masing 25 µl dengan mikropipet kapasitas 10-100 µl.
Masing-masing sampel serum ditambahkan pada sumur pertama dan
diencerkan secara bertingkat kelipatan dua. Selanjutnya ditambahkan 25 µl
virus AI H5N1 titer 4 HAU pada semua sumur. Selanjutnya setelah ditambah
suspensi sel darah merah 1 % pada semua sumur dan diinkubasikan selama
30 meni pada suhu ruang. Pembacaan hasil uji dapat dilakukan bila sel darah
merah (SDM) pada tabung kontrol telah mengendap di dasar sumur. Sample

dinyatakan positif apabila SDM pada sumur sample mengendap. Titer HI
dihitung berdasarkan pengenceran serum tertinggi yang masih mampu
menghambat aglutinasi secara sempurna.
Isolasi Virus
Sampel usap rektal diisolasi virusnya dengan menumbuhkannya pada
telur ayam berembrio (TAB) specific patogen free (SPF) umur 9 hari. Setiap 13 sampel usap rektal (masing-masing sebanyak 100 µl) dikumpulkan (polling)
menjadi satu berdasarkan lokasi pengambilan sampel. Inokulum dibuat dengan
mencampur sampel usap rektal ke dalam tabung yang telah berisi 10 µl
phospate buffer saline (PBS) yang mengandung 2x106 U/L penisilin dan 200
mg/L streptomisin. Setelah diinkubasi 30 menit pada suhu kamar, inokulum
diinokulasikan pada ruang alantois TAB SPF. Telur diinkubasi pada suhu 37 oC
dan diamati setiap hari selama 4 hari. Pada hari ke empat, dipanen cairan
alantoisnya untuk identifikasi terhadap virus Avian Influenza. Identifikasi virus
AI dilakukan dengan uji Aglutinasi cepat, HA dan PCR
Uji Aglutinasi Cepat
Uji aglutinasi cepat dengan dilakukan mencampurkan satu tetes cairan
alantois dengan SDM ayam 5 % (v/v). Keberadaan virus ditunjukan adanya
aglutinasi SDM dalam waktu 15 menit setelah dicampur.
Uji Hemaglutinasi (HA)
Cairan alantois yang positif berdasar uji aglutinasi cepat, selanjutnya
dilakukan uji HA secara mikrotitrasi berdasarkan OIE (2005).Sumur 1 – 12 dari
microplate diisi dengan PBS pH 7,2 masing-masing 25 µl cairan alantois
dimasukan ke dalam sumur yang telah ditandai dengan nomor sampel uji.
Selanjutnya cairan alantois diencerkan bertingkat kelipatan dua dengan PBS,
kemudian ditambahkan 25 µl suspensi SDM ayam 0,1 % ke dalam seluruh

sumur. Tahap terakhir dilakukan pengocokan microplate dengan menggoyanggoyangkannya, kemudian diinkubasikan pada suhu ruang selama kurang lebih
30 menit. Pembacaan hasil uji dapat dilakukan bila SDM pada sumur kontrol
telah teraglutinasi di dasar sumur. Sampel dinyatakan positif bila SDM pada
sumur

sampel

mengalami

aglutinasi.

Titer

HA

dihitung

berdasarkan

pengenceran tertinggi alantois yang dapat mengaglutinasi sel darah merah
(WHO 2002)
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Ekstraksi RNA Virus Avian Influenza
Ekstraksi RNA virus dari cairan alantois dilakukan menggunakan QIAmp
viral RNA mini kit, Qiagen, Jerman. Sebanyak 560 µl buffer AVL yang
mengandung carrier RNA dimasukkan ke dalam tabung eppendorf

1,5 ml

selanjutnya dimasukkan cairan alantois sebanyak 140 µl , divorteks selama
15 detik untuk mencampur larutan. Larutan diinkubasikan pada suhu ruang
(15 – 25 oC) selama 10 menit. Sebanyak 560 etanol (96 - 100 %) ditambahkan
ke dalam larutan tersebut, divorteks selama 15 detik untuk menghomogenkan
larutan. Secara hati – hati diambil 630 µl dan dimasukkan ke dalam QIAmp
mini spin column yang telah dilengkapi dengan tabung koleksi. Column ditutup
dan disentrifugasi dengan kecepatan (6000 g) selama 1 menit. QIAmp mini
spin column diletakan pada tabung koleksi yang baru dan tabung koleksi yang
mengandung filtrat dibuang. Sebanyak 500 ul buffer AW1 ditambahkan ke
dalam column dan disentrifugasi dengan kecepatan (6000 g) selama 1 menit.
QIAmp mini spin column diletakan pada tabung koleksi yang baru dan tabung
koleksi yang mengandung filtrat dibuang. Sebanyak 500 ul buffer AW2
ditambahkan ke dalam column dan disentrifugasi dengan kecepatan (20.000 g)
selama 3 menit. QIAmp mini spin column diletakan pada tabung mikro yang
baru dan tabung koleksi yang mengandung filtrat dibuang. QIAmp mini spin
column diletakan pada tabung mikro yang baru, ditambahkan 60 ul buff