Efektivitas Ekstrak Tempe Terhadap Gambaran Siklus Estrus Tikus Putih (Rattus norvegius) yang Diberikan pada Usia Awal Pubertas.

EFEKTIVITAS EKSTRAK TEMPE TERHADAP GAMBARAN
SIKLUS ESTRUS TIKUS PUTIH ( Rattus norvegicus ) YANG
DIBERIKAN PADA USIA AWAL PUBERTAS

ALFONSA SRI HANDAYANI KUSUMA WARDANI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Efektivitas Ekstrak
Tempe Terhadap Gambaran Siklus Estrus Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang
Diberikan pada Usia Awal Pubertas” adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Alfonsa Sri Handayani Kusuma Wardani
NIM B04100156

ABSTRAK
ALFONSA SRI HANDAYANI KUSUMA WARDANI. Efektivitas Ekstrak Tempe
Terhadap Gambaran Siklus Estrus Tikus Putih (Rattus norvegius) yang Diberikan
pada Usia Awal Pubertas. Dibimbing oleh ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS.
Tempe merupakan salah satu hasil olahan kedelai yang mengandung
fitoestrogen. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh ekstrak tempe yang
diberikan pada tikus betina usia awal pubertas terhadap gambaran siklus estrus.
Sembilan ekor tikus betina usia 21 hari dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
kelompok kontrol yang tidak diberi ekstrak tempe dan dua kelompok perlakuan, yang
diberi ekstrak tempe 0.005 g/g BB, dan 0.01 g/g BB setiap hari masing-masing
selama 28 hari. Sampel ulas vagina diambil dua kali sehari dengan selang waktu 12
jam. Pengamatan sampel dilakukan dengan mengamati perubahan morfologi sel-sel
epitel vagina setiap fasenya. Pengambilan data dilakukan saat tikus mencapai usia 72
hari dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian pada kelompok yang diberi
ekstrak tempe 0.25 g/g BB menunjukkan perpanjangan total durasi siklus tetapi pada

kelompok yang diberi ekstrak tempe 0.5 g/g BB mengalami pemendekan total durasi
siklus. Pemberian perlakuan dengan kedua dosis tersebut mampu memperpanjang
fase estrus.
Kata kunci: ekstrak tempe, fitoestrogen, sel-sel epitel vagina, durasi siklus, tikus putih

ABSTRACT
ALFONSA SRI HANDAYANI KUSUMA WARDANI. The Efectivity of Tempe
Extract on White Rat Estrous Cycle (Rattus norvegius) in Early Pubertal Age.
Supervised by ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS.

Tempe is a soybean product that contains phytoestrogen. This research was
aimed to know the influence of tempe extract which were given on female rats at early
pubertal age on the estrous cycle. Nine 21-days old female rats were divided into
three groups, which were control group and two treatment group, given tempe extract
0.005 g per g bodyweight and 0.01 g per g bodyweight everyday for 28 days
respectively. Vaginal swab samples were taken twice a day with 12 hours intervals.
Sample analysis were based on morphologic vaginal epithelial cells that are changed
every phase. Data were collected when the rat have reached 72 days old and were
analyze descriptively. The result showed increase total cycle duration in the group
that were given tempe extract 0.005 g per g bodyweight, but in the group that were

given tempe extract 0.01 g per g bodyweight showed a decrease in total cycle
duration. Both of the treatment dosage could increase length duration of estrous
phase.
Keywords: tempe extract, phytoestrogen, vaginal epithelial cells, cycle duration,
white rat

EFEKTIVITAS EKSTRAK TEMPE TERHADAP GAMBARAN
SIKLUS ESTRUS TIKUS PUTIH ( Rattus norvegicus )YANG
DIBERIKAN PADA USIA AWAL PUBERTAS

ALFONSA SRI HANDAYANI KUSUMA WARDANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Efektivitas Ekstrak Tempe Terhadap
Gambaran Siklus Estrus Tikus Putih (Rattus norvegius) yang Diberikan pada Usia
Awal Pubertas” ini berhasil diselesaikan.
Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak.
Dengan segala hormat dan setulus hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Keluarga tercinta: mama, bude dan pakde yang seperti orang tua saya
sendiri (Justina Sri Poernomo, Bernadeta Sunarti Wiedaryanti (almh),
Gabriela Chatarina Utari (almh), dan Antonius Markus Djoko Sugiarto),
ayah (Hasan Iskandar (alm)), saudara-saudara sepupu yang menyerupai
kakak kandung (James Stefanus Sorongan, Dwi Lestari Siloastuti, dan
Guruh Adi Saputro), serta segenap keluarga besar Tranggono atas segala
dukungan, doa, dan kasih sayang yang tidak pernah putus diberikan.
2. Dr. Nastiti Kusumorini (almh) dan Dr. Drh. Aryani Sismin Satyaningtijas,
MSc selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan

selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.
3. Dr. Drh. Sri Murtini, MSi selaku dosen pembimbing akademik atas
bimbingan, dan ilmu yang diberikan selama kuliah di FKH.
4. Staf laboratorium Fisiologi dan staf UPHL (Bu Ida, Bu Sri, Pak Didik).
5. Teman-teman sepenelitian: Retno Tegarsih, Firman Eka, Roro Ambarwati,
Nur Hasreena Nadia, Nurul Chotimah, Ghina Indriani, dan Erlanda Satria
yang telah bersama-sama berjuang mengurus tikus dan mengumpulkan data
penelitian.
6. Teman-teman sepanjang kuliah, Mayah, Sefi, Ka Nova, Sinta, Pipit, Dwi,
Tatum, Abel, Gerard, Bang Raja, Andi, Sara, Iis, Davin, Fung, Anang, dan
Oliv, serta seluruh teman-teman Acromion (FKH 47) dan Ganglion (FKH
48).
Penulis menyadari adanya kekurangan dan keterbatasan dalam penulisan skripsi
ini. Namun penulis tetap berharap, semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat dan
memberikan tambahan ilmu. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015
Alfonsa Sri Handayani Kusuma Wardani

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1


Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Mekanisme Hormonal-Siklus Estrus Betina

2

Fitoestrogen dalam Tempe

3

METODE

4


Waktu dan Tempat

4

Alat dan Bahan

4

Prosedur Penelitian

4

Analisis Data

7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Pemberian Ekstrak Tempe Pada Saat Awal Pubertas Terhadap
Panjang Siklus Estrus
SIMPULAN DAN SARAN


7
7
10

Simpulan

10

Saran

10

DAFTAR PUSTAKA

10

RIWAYAT HIDUP

14


DAFTAR TABEL
1 Perbandingan jenis morfologi sel dan durasi perubahan sel pada tiap fase
yang terjadi pada preparat ulas vagina
2 Rataan waktu fase siklus (jam) masing-masing kelompok K, P1 (dosis
0.005 g/g BB) dan P2 (dosis 0.01 g/g BB)

6
7

DAFTAR GAMBAR
1 Bagan prosedur penelitian
2 Gambaran mikroskopik ulas vagina pada tiap fase siklus estrus

5
6

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tikus putih dengan nama latin Rattus norvegicus, merupakan salah satu

jenis hewan percobaan yang sering digunakan dalam berbagai penelitian. Menurut
Maeda et al. (2000), keuntungan memilih tikus sebagai hewan percobaan dalam
penelitian bidang reproduksi dibandingkan hewan lain adalah pendeknya siklus
estrus yang dimiliki tikus. Keuntungan tersebut memudahkan dalam pengamatan
siklus estrus. Sepanjang siklus estrus, terdapat hormon-hormon reproduksi yang
berperan dalam pengaturannya. Proses dalam siklus estrus diawali dengan
pelepasan gonadotropin-releasing hormone (GnRH) oleh hipotalamus ke hipofise
anterior. Rangsangan pada hipofise anterior ini akan menyebabkan terjadinya
pelepasan luteinizing hormone (LH) dan follicle-stimulating hormone (FSH).
Target organ dari hormon-hormon tersebut adalah ovarium yang selanjutnya
menghasilkan hormon progesteron dan estrogen (Goodman 2003). Menurut
Goodman (2003), pada masa pubertas, estrogen memicu perkembangan dan
pertumbuhan pada oviduk, uterus, vagina dan organ genitalia luar. Estrogen
memberikan efek pemicu secara tidak langsung untuk memulai siklus estrus yang
terdiri dari empat fase yaitu, proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Estrogen
mulai meningkat pada fase proestrus dan mencapai kadar tertinggi di fase estrus
sehingga menstimulasi pelepasan gonadotropin-releasing hormone yang memicu
proses ovulasi.
Tempe merupakan salah satu hasil produk olahan dari kedelai yang sering
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Tingkat konsumsi masyarakat yang tinggi
disebabkan karena tempe sebagai hasil produk olahan kedelai mengandung kadar
nutrisi yang tinggi dan baik untuk kesehatan (Astawan 2009). Kedelai, menjadi
salah satu sumber zat-zat asal tumbuhan yang baik untuk tubuh, seperti protein
nabati, asam amino, dan zat lainnya seperti isoflavon. Tempe juga mengandung
zat dari golongan flavonoid khususnya isoflavon yang struktur kimianya hampir
sama dengan estrogen dan mampu untuk berikatan dengan reseptor estrogen yang
terdapat di dalam sel (Muaris 2003), karena hal tersebut isoflavon sering disebut
sebagai fitoestrogen, estrogen yang dihasilkan oleh tanaman (Muhammad dan
Prima 2010). Isoflavon memiliki aktivitas estrogenik yang dapat digunakan dalam
terapi sulih hormon estrogen pada wanita menopause (Astawan 2009).
Berdasarkan hal tersebut, penelitian mengenai peran ekstrak tempe terhadap
kinerja reproduksi perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh yang berkaitan
dengan optimalisasi reproduksi tikus betina, khususnya dalam pola pengaturan
siklus estrus.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak
tempe dalam dosis 0.005 g/g BB dan 0.01 g/g BB terhadap gambaran siklus estrus
tikus yang telah berumur 72 hari.

2
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai peran
pemberian ekstrak tempe yang mengandung isoflavon sebagai fitoestrogen
terhadap gambaran siklus estrus tikus dewasa. Informasi berupa gambaran siklus
yang akan diperoleh, dapat membantu dalam bidang kedokteran dan fisiologi
reproduksi baik pada hewan dan manusia.

TINJAUAN PUSTAKA
Mekanisme Hormonal-Siklus Estrus Betina
Pubertas merupakan bentuk awal keadaan fisiologis yang menunjukkan
kedewasaan secara seksual dalam sistem reproduksi. Pubertas pada tikus betina
diawali dengan vaginal opening dan adanya proestrus pertama. Opening vaginal
orifice terjadi pada hari 33 hingga 42 hari sejak lahir dengan bobot sekitar 100
gram (Maeda et al. 2000). Siklus estrus dapat teramati dari fase-fase yang terjadi
pada ovarium dan fase-fase yang terjadi pada vagina. Dalam satu siklus estrus,
terjadi pergantian fase pada ovarium, yaitu fase folikuler dan fase luteal.
Pergantian fase pada vagina secara beruntun adalah fase proestrus, estrus,
metestrus, dan diestrus. Fase folikuler berlangsung bersamaan dengan proestrus
dan estrus, sedangkan fase luteal berlangsung saat metestrus dan diestrus
(Campbel et al. 2004). Selama berlangsungnya fase folikuler di ovarium, sel-sel
epitel di vagina juga mengalami perubahan karena adanya hormon-hormon yang
mempengaruhi, disebut hormon reproduksi. Fluktuasi hormon reproduksi ini
dipengaruhi dari sekresi gonadotropin (gonadotropin-releasing hormone, GnRH)
oleh hipotalamus ke dalam hipofise anterior untuk mensekresikan folliclestimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormon (LH) yang akan
mempengaruhi perubahan pada ovarium dan folikular (Lohmiller dan Swing
2006). Menurut TannerThies (2012), luteinizing hormone (LH) dan folliclestimulating hormone (FSH) merupakan dua hormon yang bekerja bersamaan di
ovarium. FSH menstimulasi perkembangan folikel yang mensekresi estrogen
sedangkan LH berperan dalam perubahan folikel yang telah berovulasi menjadi
corpora lutea yang mensekresi progesteron (Blackburn 2013).
Siklus estrus diawali dengan fase proestrus pertama. Menurut Stormshak
(2005), kira-kira delapan hingga sembilan hari sebelum proestrus pertama, terjadi
perubahan pola pelepasan luteinizing hormon (LH). Perubahan pola pelepasan LH
yang meningkat dapat berkelanjutan dari waktu ke waktu sehingga menyebabkan
ovarium menyintesis estrogen dan akan memicu perkembangan dan pertumbuhan
pada oviduk, uterus, vagina dan organ genitalia luar (Stormshak 2005).
Perkembangan dan pertumbuhan tersebut akan menyebabkan terjadinya fase
proestrus, sehingga tikus dapat memulai siklus estrusnya. Estrogen yang
dihasilkan pada fase proestrus semakin meningkat dan memuncak pada fase
estrus. Peningkatan kadar estrogen pada fase proestrus memicu meningkatnya
kadar LH untuk menstimulasi preovulatori folikel yang akan berovulasi. Fase
selanjutnya adalah fase estrus, pada fase ini kadar LH memuncak. LH yang
memuncak ini menyebabkan ovulasi (Blackburn 2013). Ovulasi yang terjadi pada

3
akhir fase estrus menghasilkan ovum yang telah siap untuk dibuahi. Kadar LH
akan menurun setelah fase estrus, menandakan telah dimulainya fase metestrus.
Folikel yang telah berovulasi membentuk corpora lutea yang mensekresi hormon
progesteron (Donnelly dan Hau 1994). Progesteron ini dipergunakan untuk
menjaga kebuntingan bila terjadi fertilisasi. Bila tidak terjadi fertilisasi maka
kadar progesteron akan menurun seiring dengan regenerasinya corpora lutea
(Douglas dan Sussman 2000). Penurunan kadar progesteron dan perkembangan
folikuler terkait dengan peningkatan kadar estradiol (Conrad 2005), terjadi pada
fase diestrus. Siklus telah lengkap bila kadar hormon estrogen kembali meningkat
(sebagai penanda awal) pada fase proestrus.

Fitoestrogen dalam Tempe
Menurut Astawan dan Kasih (2008), kedelai sebagai bahan dasar pembuatan
tempe mengandung senyawa organik (fitokimia) polifenol dengan spesifikasi
golongan flavonoid pada jenis isoflavon. Kandungan senyawa kimia (fitokimia)
polifenol dalam tempe dapat berfungsi sebagai antikanker, antimikroba,
antioksidan, antitrombotik, merangsang sistem imun, antiinflamasi, serta
menurunkan kolesterol (Astawan 2009). Proses pembuatan tempe secara fisik atau
enzimatis karena aktivitas mikroorganisme telah merubah komposisi kedelai.
Salah satu faktor penting dalam perubahan tersebut adalah dihasilkannya senyawa
isoflavon dalam bentuk bebas (aglikon) yaitu genestein, daidzein, dan glisetein,
serta senyawa faktor II (6,7,4’-trihidroksi isoflavon) yang khusus terdapat pada
tempe dan tidak terdapat pada kedelai (Astawan dan Kasih 2008). Jumlah
kandungan isoflavon dalam kacang kedelai dan tempe berbeda. Menurut
Suprihatin (2008), kandungan total senyawa isoflavon pada tepung tempe sebesar
901.24 mg/kg BK (90.124 mg/100 gram BK) jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan total senyawa isoflavon tepung kedelai sebesar 206.37 mg/kg BK (20.637
mg/100 gram BK). Isoflavon merupakan jenis fitokimia yang memiliki kemiripan
aktivitas estrogenik sehingga dapat berikatan dengan reseptor estrogen yang
terdapat di dalam sel. Cincin fenolat pada isoflavon merupakan struktur penting
pada kebanyakan komponen isoflavon yang berfungsi untuk berikatan dengan
reseptor estrogen (Winarsi 2005). Winarsi (2005) menyatakan, reseptor estrogen
adalah protein peningkat aktifasi ligan yang termasuk dalam superfamili reseptor
steroid. Reseptor estrogen mamalia dikodekan oleh dua gen yaitu, alfa untuk
estrogen reseptor α (ER α) dan beta untuk reseptor estrogen β (ER β) (Klinge
2001). ER α banyak ditemukan pada jaringan target estrogen seperti uterus,
kelenjar mamari, tulang, dan sistem kardiovaskular, sedangkan ER β ditemukan
terutama pada jaringan seperti prostat, ovarium, dan saluran urinaria (Zhao et al.
2004). ER α dan ER β diekspresikan secara seimbang di ovarium, tetapi ER β
predominan pada sel granulose, sedangkan ER α predominan pada endomentrium
(Noerpramana dan Tjahjanto 2006).

4

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Unit Pengelola Hewan Laboratorium (UPHL)
dan Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi,
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Februari-Juli
2014.

Alat dan Bahan
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus Rattus
norvegicus galur Sprague Dawley betina dengan umur 21 hari dan bobot rata-rata
40-50 gram. Selama penelitian, pakan dan minum diberikan ad libitum. Peralatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang tikus plastik berukuran 30cm
x 20cm x 20cm dengan penutup kawat kasa yang dialasi sekam pada dasarnya,
sonde lambung, spoit 1 mL, spoit 3 mL, object glass (preparat kaca), cotton bud,
pinset anatomi, kertas label, bak rendam preparat kaca, dan mikroskop. Bahan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak tempe (setiap 100 gram
ekstrak tempe mengandung 87.55 mg isoflavon yang terdiri dari 83.30 mg
daidzein dan 4.25 mg genestein (Tiffarent 2012)) dari Balai Penelitian Tanaman
Obat dan Aromatik (Balitro), cairan fisiologis (NaCl 0.9%), metanol dan Giemsa
10%.

Prosedur Penelitian
Sembilan ekor tikus putih betina yang telah lepas sapih pada usia 21 hari
dibagi menjadi 3 kelompok percobaan yang terdiri dari 3 ekor tikus untuk tiap
kelompok. Kelompok pertama sebagai kelompok kontrol yang tidak diberi ekstrak
tempe, kelompok kedua sebagai kelompok perlakuan satu yang diberi ekstrak
tempe dengan dosis 0.005 g/g BB, dan kelompok ketiga sebagai kelompok
perlakuan dua yang diberi ekstrak tempe dengan dosis 0.01 g/g BB. Dosis yang
diberikan merupakan ukuran dosis yang berdasarkan pada penelitian lanjutan yang
dilakukan oleh Pakarti (2014), Indriani (2014), dan penelitian-penelitian mengenai
ekstrak tempe sebelumnya. Ekstrak tempe (dengan campuran etanol selama proses
pembuatan ekstrak) yang diberikan merupakan ekstrak tempe kering yang
diencerkan dengan akuades, agar mudah diberikan sesuai takaran yang ditentukan.
Pemberian ekstrak tempe menggunakan sonde lambung selama 28 hari dimulai
pada saat tikus berusia 21 hari sampai dengan tikus berusia 48 hari. Tikus yang
telah berumur 48 hari, dibiarkan tanpa perlakuan dan dipelihara hingga berumur
72 hari.
Tikus yang sudah berusia 72 hari, dilakukan pengambilan sampel ulas
vagina (pengambilan sampel sel epitel dari dinding mukosa vagina) dengan
menggunakan cotton bud selama 12 hari. Pengambilan setiap harinya dilakukan
dua kali sehari (pagi dan sore) dengan rentang waktu 12 jam. Sebelum dilakukan
pengambilan sampel, telah dipersiapkan preparat kaca yang sudah diberikan label

5
dengan kode tikus yang berbeda pada tiap masing preparat kaca sesuai dengan
tikus yang akan diambil ulas vaginanya. Cotton bud yang bersih dicelupkan
kedalam cairan fisiologis (NaCl 0.9 %) dan diulaskan pada dinding vagina dengan
diputar 360 . Cotton bud yang telah diulaskan pada dinding vagina tikus,
diulaskan pada preparat kaca secara merata dan biarkan hingga mengering.
Siapkan bak rendam preparat kaca dan isi dengan metanol untuk memfiksasi
sampel yang telah diambil. Preparat yang telah mengering, segera rendam dalam
metanol selama lima menit dan tunggu kering. Siapkan kembali bak rendam
preparat kaca dan isi dengan menggunakan Giemsa 10%. Preparat yang telah
kering setelah perendaman metanol, direndam kembali pada bak rendam preparat
kaca yang telah berisi Giemsa 10% selama 30 menit dan biarkan hingga
mongering (Prayogha 2012).
Tikus putih betina lepas sapih usia 21 hari
(9 ekor)

Kontrol (K)
Tanpa perlakuan
(3 ekor)

Perlakuan 1
Diberi ekstrak tempe
0.005 g/g BB
(3 ekor)

Perlakuan selama 28 hari

Tikus dibiarkan dan dipelihara hingga
berumur 72 hari

Pengambilan sampel ulas vagina selama 12
hari, setiap pagi dan sore
(rentang waktu 12 jam)

Sampel difiksasi dengan metanol dan
dilakukan pewarnaan dengan
Giemsa 10 %

Pengamatan sampel dengan menggunakan
mikroskop dan data perbandingan jenis sel
untuk menentukan fase siklus estrus

Gambar 1 Bagan prosedur penelitian

Perlakuan 2
Diberi ekstrak tempe
0.01 g /g BB
(3 ekor)

6
Sampel yang telah didapat pada preparat kaca dilakukan pengamatan
dengan menggunakan mikroskop. Pengamatan menggunakan dasar perolehan
banyaknya jumlah sel-sel tertentu (leukosit, kornifikasi, pavement, dan sel berinti)
yang akan berubah dari fase yang satu ke fase yang lain. Tabel 1 menyajikan
perbandingan jenis sel yang dijadikan sebagai dasar penentuan fase dalam siklus
estrus.

Tabel 1 Perbandingan jenis morfologi sel dan durasi perubahan sel pada tiap fase
yang terjadi pada preparat ulas vagina
Fase Siklus Estrus
Morfologi Sel pada Hasil Ulasan
Durasi Perubahan
Vagina1
Sel (jam) 2
Proestrus

Sel epitel berinti ± 75%
Sel kornifikasi (sel tanduk) ± 25%
Estrus
Sel kornifikasi ± 75%
Sel pavement (menumpuk) ± 25%
Metestrus
Sel pavement 100%
Sel pavement dan leukosit
Diestrus
Leukosit 100%
Leukosit dan sel berinti mulai muncul
1
Sumber: Baker et al. 1980; 2Sharp & Villano 2013

12
12
21
57

Sel epitel berinti memiliki bentuk oval hampir bulat dengan inti jelas
berada di tengah. Fase proestrus ditunjukkan dengan adanya sel epitel berinti
(Lohmiller dan Swing 2006). Sel kornifikasi, merupakan sel tanduk yang
memiliki bentuk kotak, baik segi empat atau lebih (tidak beraturan) biasanya selsel ini tidak saling menumpuk. Fase estrus dimulai dengan ditunjukkan oleh
adanya sel kornifikasi. Beberapa jam pada fase estrus, sel kornifikasi
menunjukkan degenerasi dan menunjukkan bentuk epithelial pavement (Lohmiller
dan Swing 2006). Sel pavement (epithelial pavement) memiliki bentuk yang tidak
beraturan dan sel saling bertumpuk. Sel-sel biologis vaginal selama fase metestrus
terdiri dari banyak leukosit bersamaan dengan adanya sel berinti dan sel pavement
(Lohmiller dan Swing 2006). Sel leukosit yang banyak ditemukan dan disertai
dengan adanya sel berinti menunjukkan fase diestrus.

sel berinti

sel berinti
sel kornifikasi

sel pavement
leukosit

leukosit
sel berinti

Gambar 2 Gambaran mikroskopik ulas vagina pada tiap fase siklus estrus
Sumber: Pal & Pal (2005)

7

Analisis Data
Hasil pengamatan sampel dari perbandingan jumlah sel-sel tertentu
(leukosit, sel kornifikasi, sel pavement, dan sel berinti) yang ditemukan pada
preparat kaca akan digunakan untuk menentukan gambaran siklus estrus yang
terjadi. Gambaran siklus yang diperoleh selanjutnya dinyatakan dengan satuan
jam. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstrak tempe berasal dari bahan dasar tempe dengan kandungan zat aktif
isoflavon yang utamanya adalah genestein dan daidzein (Kim dan Park 2012).
Penelitian ini menggunakan ekstrak tempe yang bersifat estrogenik untuk melihat
panjang siklus estrus pada tikus usia awal pubertas. Hasil yang diperoleh disajikan
pada Tabel 2.

Pengaruh Pemberian Ekstrak Tempe Pada Saat Awal Pubertas Terhadap
Panjang Siklus Estrus
Tabel 2 Rataan waktu fase siklus (jam) masing-masing kelompok K, P1 (dosis
0.005 g/g BB) dan P2 (dosis 0.01 g/g BB)
Waktu (jam)
Jenis Fase Siklus
Estrus
K
P1
P2
Fase Proestrus
12±0
16±3.46
11±4.58
Fase Estrus
12±0
18±12
25.5±9.84
Fase Metestrus
36.67±11.02
28±17.32
16±6.93
Fase Diestrus
20.67±5.77
28±12.49
15.5±3.12
Panjang satu
74.67±10.07
90±18
68±6.93
siklus estrus
Keterangan: K, kelompok kontrol; P1, kelompok perlakuan 1 (dosis 0.005 g/g BB); P2, kelompok
perlakuan 2 (dosis 0.01 g/g BB)

Berdasarkan tabel di atas, total panjang siklus estrus pada kelompok P1
lebih panjang dibandingkan kelompok K dan P2. Proses pemanjangan ini dapat
dijelaskan adanya kemungkinan bahwa ekstrak tempe dengan dosis 0.01 g/g BB
(P2) menyebabkan terjadinya feed back negative, sedangkan ekstrak tempe
dengan dosis 0.005 g/g BB masih mampu meningkatkan total waktu siklus estrus.
Dosis ekstrak tempe pada kelompok P2 merupakan dua kali jumlah dosis dari
kelompok P1. Perbedaan ini menunjukkan bahwa, jumlah dosis dapat
mempengaruhi lama waktu onset siklus estrus. Kim dan Park (2012) menyatakan
bahwa dalam aspek onset pubertas (bagi tikus atau mencit), fitoestrogen akan
memberikan efek yang cukup berbeda bila dipengaruhi oleh faktor-faktor

8
diantaranya lama waktu pemberian (atau perlakuan), dosis, dan rute pemberian.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Bateman dan Patisaul (2008), Nagao et al.
(2001), dan Kouki et al. (2003) melaporkan bahwa genestein (salah satu bentuk
derivat isoflavon dalam tempe) dengan dosis yang berbeda-beda mempengaruhi
siklus estrus. Penelitian-penelitian tersebut mendukung bahwa dosis pemberian
perlakuan pada tikus dapat mempengaruhi lama waktu siklus estrus. Faktor-faktor
seperti suhu, status kesehatan, asupan pakan, dan usia, turut mempengaruhi proses
siklus estrus.
Zhuang et al. (2010) menyatakan bahwa saat mengalami menopause, wanita
kehilangan kemampuan fertilitas dan berbagai disfungsi fisiologis terjadi
dikarenakan penurunan tiba-tiba dari hormon-hormon pendukung kerja.
Banyaknya dampak negatif akibat menopause seperti osteoporosis, meningkatnya
resiko timbulnya kanker payudara, dan penyakit kardiovaskular (Ososki dan
Kennelly 2003), menimbulkan berbagai upaya dalam menanggulangi dampak
negatif tersebut. Penggunaan preparat hormon sebagai terapi sulih hormon
(Hormone Replacement Therapy) pada wanita menopause merupakan salah satu
alternatif yang dapat dilakukan (Manson & Martin 2001; Primiani 2013). Preparat
hormon yang biasanya digunakan dalam terapi sulih hormon merupakan hasil
sintetis, sehingga menghasilkan berbagai efek samping dalam pemakaian jangka
panjang. Menurut Primiani (2013), penggunaan bahan alam sebagai terapi sulih
hormon pada wanita menopause merupakan salah satu alternatif yang dapat
dilakukan dalam mengatasi efek samping yang ditimbulkan.
Salah satu bahan kimia asal tanaman yang memiliki kemiripan kerja dengan
hormon estrogen disebut fitoestrogen. Isoflavon adalah fitoestrogen yang
terkandung dalam kedelai sebagai bahan dasar ekstrak tempe yang terdiri dari
genistein, daidzein, dan glycitein (Urasopon et al. 2008). Cassidy et al. (1995) di
dalam Primiani (2013) menyatakan bahwa pemberian makanan produk kedelai
terfermentasi pada wanita premenopause selama satu kali siklus menstruasi dapat
memperpanjang fase folikuler. Adanya proses pemanjangan pada kelompok P1
(fase proestrus, estrus, dan diestrus) dan kelompok P2 (fase estrus) telah
menunjukkan bahwa estrogen turut berperan selama prosesnya. Estrogen
merupakan salah satu hormon penting dalam terjadinya siklus estrus, sehingga
dalam menanggapi kebutuhannya dikenal fitoestrogen. Fitoestrogen telah
dipertimbangkan sebagai bahan alami dan aman sebagai bentuk sediaan alternatif
dalam penggunaan Hormone Replacement Therapy (Rietjens et al. 2013).
Isoflavon yang terkandung dalam ekstrak tempe yang diberikan pada kelompok
P1 dan P2, merupakan salah satu bentuk klasifikasi dari fitoestrogen yang
ditemukan pada kacang kedelai dan produk hasil pakan dengan kandungan kacang
kedelai (Kim dan Park 2012).
Ekstrak tempe dengan dosis 0.01 g/g BB (P2), menyebabkan semua fase
(proestrus, metestrus, dan diestrus) menjadi lebih pendek dibandingkan kelompok
K dan P1, kecuali pada fase estrus. Fase estrus adalah fase yang memiliki kadar
estrogen endogen tinggi. Fase estrus pada kelompok P2 mengalami pemanjangan
waktu yang lebih panjang dibandingkan pada kelompok P1 dan K yang
menunjukkan sifat fitoestrogen sebagai estrogen agonis. Fitoestrogen sebagai
estrogen agonis memiliki kemampuan meniru kemampuan endogenus estrogen
dan menyebabkan efek estrogenik (Ososki dan Kennelly 2003). Pada kelompok

9
tikus yang diberi ekstrak tempe, fitoestrogen semakin mempertahankan kehadiran
sel-sel kornifikasi.
Berbagai material yang telah dipelajari oleh Carbonel et al. (2011)
menyatakan bahwa isoflavon memiliki kemampuan afinitas yang lebih kuat pada
reseptor estrogen β (ERβ) (lebih sedikit ditemukan pada endomentrium dan
kelenjar mamari dibanding reseptor α (ERα)). Bentuk aktifitas tersebut 500-1000
kali lebih lemah dibandingkan dengan estrogen endogenus, namun isoflavon dapat
memproduksi kadar estradiol dengan bioaktifitas yang sama, selama dalam
penggunaannya konsentrasi yang digunakan cukup tinggi untuk memperoleh
respon maksimum (Carbonel et al. 2011). Hal ini menjadi indikasi bahwa reseptor
estrogen dan kompleks reseptor isoflavonoid secara fungsional ekuivalen
(Markiewicz et al. 1993; Carbonel et al. 2011). ERβ ditemukan tertinggi pada sel
granulosa ovarian dan saluran gastrointestinal (Kim dan Park 2012). Keterkaitan
antara kemampuan afinitas dari isoflavon sebagai bentuk senyawa kompleks
dengan kemiripan aktifitas dengan estrogen dalam pernyatan-pernyataan
sebelumnya menunjukkan bahwa isoflavon dapat membantu memperpanjang
waktu siklus estrus (secara spesifik memperpanjang fase proestrus, estrus, dan
diestrus) pada kelompok tikus dengan perlakuan pemberian dosis 0.005 g/g BB.
Waktu siklus estrus pada kelompok P1 secara keseluruhan memiliki waktu
paling panjang dibandingkan kelompok lainnya kecuali pada fase metestrus. Fase
metestrus pada kelompok P1 dalam prosesnya diperkirakan kadar hormon
estrogen endogen sudah menurun sehingga kehadiran fitoestrogen tidak
bermakna. Mekanisme lain yang mungkin terjadi berupa kerja isoflavon dapat
memicu waktu degenerasi folikel yang tidak dibuahi menjadi lebih pendek. Pada
fase diestrus, pemanjangan waktu terjadi diduga karena pada saat itu estrogen
endogen sudah mulai meningkat kembali. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil
penelitian Mardiati dan Sitasiwi (2008) yang menunjukkan tingginya jumlah
folikel yang ditemukan pada fase-fase siklus estrus, kecuali fase metestrus.
Fase-fase lainnya, seperti fase proestrus, metestrus, dan diestrus pada
kelompok P2 mengalami pemendekan onset waktu jika dibandingkan dengan
kelompok K. Kemampuan tikus yang masih dapat menghasilkan hormon estrogen
secara alami pada kelompok P2, dengan pemberian ekstrak tempe dosis 0.01 g/g
BB yang mengandung isoflavon telah mengganggu ikatan alamiah antara hormon
estrogen dan reseptor estrogen (β dan α) dalam mekanisme yang mungkin terjadi
selama prosesnya. Fase-fase yang mengalami pemendekan waktu menunjukkan
sifat estrogen antagonis sebagai antiestrogenik. Menurut Ososki dan Kennelly
(2003) menyatakan bahwa fitoestrogen sebagai estrogen antagonis dapat memblok
atau menukar reseptor estrogen (ER) dan mencegah aktifitas estrogenik yang
menyebabkan efek antiestrogenik. Fitoestrogen (dalam penelitian ini isoflavon)
memiliki afinitas ikatan yang lemah dibandingkan dengan estradiol namun zat
kimia asal tanaman ini dapat berkompetisi dengan estradiol untuk berikatan
dengan reseptor estrogen sehingga aktifitas estrogen menjadi rendah (Kim dan
Park 2012). Kemampuan fitoestrogen dalam berikatan dengan reseptor estrogen
yang ada telah menurunkan keaktifan proses kerja dengan waktu onset lebih cepat
pada tiap fase (kecuali fase estrus).
Berbagai penjelasan kemungkinan mekanis-mekanisme yang dapat terjadi
telah menunjukkan efek estrogen agonis pada kelompok P1, sedangkan pada
kelompok P2 hampir secara keseluruhan menunjukkan efek estrogen antagonis.

10
Efek dari fitoestrogen telah didemonstrasikan baik secara agonis maupun
antagonis tergantung pada jumlah konsentrasinya (Kim et al. 2012). Pernyataan
tersebut dengan demikian telah mendukung adanya sifat dualisme dari
fitoestrogen yang terkandung dalam ekstrak tempe dipengaruhi oleh besarnya
jumlah yang diberikan.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pemberian ekstrak tempe dengan dosis 0.005 g/g BB setiap hari pada tikus
usia 21 hari selama 28 hari dapat memperpanjang total waktu siklus estrus tikus
berumur 72 hari sedangkan pemberian ekstrak tempe dengan dosis 0.01 g/g BB
per ekor setiap hari pada tikus usia 21 hari selama 28 hari dapat memperpendek
total waktu siklus estrus tikus berumur 72 hari. Pemberian ekstrak tempe dengan
dosis 0.005 g/g BB dan 0.01 g/g BB pada tikus usia 21 hari selama 28 hari mampu
memperpanjang fase estrus.

Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang pengaruh pemberian ekstrak
tempe terhadap kinerja reproduksi betina pada usia akhir pubertas.

DAFTAR PUSTAKA
Astawan M, Kasih AL. 2008. Khasiat Warna-warni Makanan. Jakarta (ID): PT
Gramedia Pustaka Utama.
Astawan M. 2009. Sehat Dengan Hidangan Kacang dan Biji-bijian. Jakarta (ID):
Penebar Swadaya.
Baker DEJ, Lindsey JR, Weisborth SH. 1980. The Laboratory Rat, Vol. 2. London
(UK): Academic Press Inc.
Bateman HL, Patisaul HB. 2008. Disrupted female reproductive physiology
following neonatal exposure to phytoestrogens or estrogen specific ligands
is associated with decreased GnRH activation and kisspeptin fiber density in
the hypothalamus. Neurotoxicology 29: 988–997.
Blackburn ST. 2013. Maternal, Fetal, & Neonatal Physiology, A Clinical
Perspective, 4th Edition. Philadelphia (USA): Elsevier Inc.
Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2004. Biology. Ed ke-3. California (USA):
Benjamin Cummings.
Carbonel AAF, Simoes RS, Santos RHBR, Baracat MCP, Simoes MdJ, Baracat
EC, Junior JMS. 2011. Effects of high-dose isoflavones on rat uterus. Rev
Assoc Med Bras 57 (5): 524–529.

11
Conrad C. 2005. A Woman’s Guide to Natural Hormones. New York (USA):
Berkley Publishing Group.
Donnelly H, Hau J. 1994. Handbook of Laboratory Animal Science, Vol. 2 Animal
Models: Chapter 7 Animal Models in Reproductive Physiology. Svendsen P,
Hau Jann, editor. Danvers (USA): CRC Press LLC.
Douglas A, Sussman JR. 2000. Trying Again: A Guide to Pregnancy After
Miscarriage, Stillbirth, and Infant Loss. Maryland (USA): Taylor Trade
Publishing.
Goodman HM. 2003. Basic Medical Endocrinology: Chapter 12 Hormonal
Control of Reproduction in the Female: The Menstrual Cycle. London
(UK): Academic Pr.
Indriani G. 2014. Peran pemberian ekstrak tempe terhadap kinerja reproduksi
tikus betina usia lepas sapih [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Kouki T, Kishitake M, Okamoto M, Oosuka I, Takebe M, Yamanouchi K. 2003.
Effects of neonatal treatment with phytoestrogens, genistein and daidzein,
on sex difference in female rat brain function: estrous cycle and lordosis.
Horm Behav 44: 140–145.
Kim SH, Park MJ. 2012. Effects of phytoestrogen on sexual development. Korean
J Pediatr 55 (8): 265–271.
Klinge CM. 2001. Estrogen receptor interaction with estrogen response elements.
Nucleic Acids Res. 29 (14): 2905–2919.
Lohmiller JJ, Swing SP. 2006. The Laboratory Rat, 2nd Edition: Chapter 6
Reproduction and Breeding. Suckow MA, Weisbroth SH, Franklin CL,
editor. London (UK): Elsevier Academic Pr.
Maeda K, Ohkura S, Tsukamura H. 2000. The Laboratory Rat: Chapter 9
Physiology of Reproduction. Krinke Georg J, editor. London (UK):
Academic Pr.
Mardiati SM, Sitasiwi AJ. 2008. Korelasi jumlah folikel ovarium dengan
konsentrasi hormon estrogen mencit (Mus musculus) setelah konsumsi
harian tepung kedelai selama 40 hari. J Ana Fis. 16 (2): 54–59.
Markiewicz L, Garey J, Adlercreutz H, Gurpide E. 1993. In vitro bioassays of
nonsteroidal phytoestrogens. J Steroid Biochem Mol Biol 45: 399–405.
Molla MD, Hidalgo-Mora JJ, Soteras MG. 2011. Phytotherapy as alternative to
hormone replacement therapy. Front Biosci 3: 191–204.
Muaris H. 2003. Makanan Sehat dan Lezat di Masa Menopause: SARAPAN.
Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama.
Muhammad HFL, Prima O. 2010. Bebas Kanker Tanpa Daging. Yogyakarta (ID):
Jogja Great Publisher.
Nagao T, Yoshimura S, Saito Y, Nakagomi M, Usumi K, Ono H. 2001.
Reproductive effects in male and female rats of neonatal exposure to
genistein. Reprod Toxicol 15: 399–411.
Noerpramana NP, Tjahjanto H. 2006. Fitoserm: Terapi Terkini dalam Mengatasi
Masalah Kesehatan Menopause. Simposium Nasional Perkumpulan
Menopause Indonesia; 2006 Feb 2-5; Jakarta, Indonesia.
Ososki AL, Kennelly EJ. 2003. Phytoestrogens: a review of the present state of
research. Phytother Res 17: 845–869.

12
Pakarti RAA. 2014. Peran pemberian ekstrak tempe terhadap kadar DNA dan
RNA organ reproduksi tikus betina pada usia lepas sapih [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Pal GK, Pal P. 2005. Textbook of Practical Physiology, 2nd Edition. Himayatnagar
(IND): Orient Longman Private Ltd.
Prayogha PKG. 2012. Profil hormon ovari sepanjang siklus estrus tikus (Rattus
norvegicus) betina menggunakan Fourrier Transform Infrared (FTIR)
[skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia.
Primiani CN. 2013. Potensi tepung tempe sebagai estrogen alami terhadap uterus
mencit premenopause. Sains & Mat 1 (2): 47–51.
Rietjens IMCM, Sotoca AM, Vervoort J, Louisse J. 2013. Mechanisms underlying
the dualistic mode of action of major soy isoflavones in relation to cell
proliferation and cancer risks. Mol. Nutr. Food Res. 57: 100–113.
Sharp P, Villano JS. 2013. The Laboratory Rat, 2nd Edition. Boca Raton (USA):
Taylor & Francis Group, LLC.
Sircar S. 2008. Principles of Medical Physiology. Stuttgart (GER): Georg Thieme
Verlag.
Stormshak F. 2005. Endocrinology: Basic and Clinical Principles 2nd Edition,
Part 11: Comparative Endocrinology. Melmed S, Conn PM, editor. New
Jersey (USA): Humana Press Inc.
Suprihatin. 2008. Optimalisasi kinerja reproduksi tikus betina setelah pemberian
tepung kedelai dan tepung tempe pada usia prapubertas [tesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
TannerThies R. 2012. Physiology An Illustrated Review. New York (USA):
Thieme Medical Publisher, Inc.
Tiffarent R. 2012. Pemberian fitoestrogen ekstrak tempe pada induk bunting dan
induk laktasi terhadap fungsi reproduksi anak betina tikus Sprague dawley
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Urasopon N, Hamada Y, Asaoka K, Poungmali U. 2008. Isoflavon content of
rodent diets and its estrogenic effecton vaginal cornification in Pueraria
mirifica treated rats. Science Asia 34: 371–376.
Winarsi. 2005. Isoflavon Berbagai Sumber, Sifat dan Manfaatnya pada Penyakit
Degeneratif. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Pr.
Zhao L, Wu T, Brinton RD. 2004. Estrogen receptor subtypes alpha and beta
contribute to neuroprotection and increased Bcl-2 expression in primary
hippocampal neurons. Brain Res. 1010: 22–34.
Zhuang XL, Fu YC, Xu JJ, Kong XX, Chen ZG, Luo LL. 2010. Effects of
genistein on ovarian follicular development and ovarian life span in rats.
Fitoterapia 81: 998–1002.

13

RIWAYAT HIDUP
Penulis memiliki nama lengkap Alfonsa Sri Handayani Kusuma Wardani.
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 31 Oktober 1991. Penulis merupakan
putri satu-satunya dari pasangan Hasan Iskandar (alm) dan Elizabeth J. Juarini.
Penulis telah menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas di Sekolah
Regina Pacis Bogor hingga tahun 2009. Pada tahun 2009, penulis diterima di
Universitas Katolik Atmajaya Jakarta pada jurusan Psikologi namun berhenti pada
tahun 2010 dan kemudian pada tahun 2010 diterima di Institut Pertanian Bogor
(IPB) melalui jalur Ujian Talenta Mandiri (UTM).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai pengurus Himpunan
Minat Profesi Satwa Liar (2012-2013). Berbagai kegiatan yang pernah diikuti
penulis sebagai penunjang kegiatan akademik adalah Kegiatan Magang di PDHB
drh. Cucu Jakarta berturut-turut pada tahun 2013, 2014 dan sebagai asisten
praktikum mata kuliah Fisiologi Veteriner II tahun 2015.