PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK TEMPE TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH JANTAN YANG DIINDUKSI PARASETAMOL

(1)

PENGARUH PE MBERI AN EKSTRAK TEMPE

TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS

PUTIH JANTAN YANG DIINDUKSI PARASETAMOL

(Skripsi)

Oleh ROHANA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

GINJAL TIKUS PUTIH JANTAN YANG DIINDUKSI PARASETAMOL

Nama Mahasiswa : R o h a n a

Nomor Pokok Mahasiswa : 0 8 1 8 0 1 1 0 4 2

Program Studi : P e n d i d i k a n D o k t e r

Fakultas : K e d o k t e r a n

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

dr. Evi Kurniawaty, M.Sc. dr. Syazili Mustofa

NIP. 197601202003122001 NIP. 198307132008121003

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. Sutyarso, M.Biomed. NIP. 195704241987031001


(3)

(4)

1. Tim Penguji

Ketua : dr. Evi Kurniawaty, M.Sc. _________________

Sekretaris : dr. Syazili Mustofa _________________

Penguji

Bukan Pembimbing : Dr. Susianti, M.Sc _________________

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. Sutyarso, M.Biomed. NIP 195704241987031001


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kalianda pada tanggal 15 Juni 1991, sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, dari bapak Rohani dan ibu Onengsih

Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 1 Bandar Agung tahun 2002, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) diselesaikan di SMPN 1 Sragi tahun 2005, dan Sekolah Menengah Umum (SMU) diselesaikan di SMA YP Unila 2008. Selama menjadi siswa SMA pernah menjadi wakil ketua PMR angkatan 2007-2008 dan menjadi Sekbid II Osis angkatan 2007-2008.

Tahun 2008, Penulis diterima dan terdaftar sebagai Mahasiswa Angkatan Ke-7 Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Pernah menjadi anggota BEM - FK periode 2008 – 2009. Tahun 2012 penulis melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Negeri Agung, Kecamatan Marga Tiga, Lampung Timur.


(6)

Papa, Mama, Kakakku, Adikku, dan

Almamaterku tercinta


(7)

Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan selama ada komitmen bersama untuk menyelesaikannya.

Mereka berkata bahwa setiap orang membutuhkan tiga hal yang akan membuat mereka berbahagia di dunia ini, yaitu; seseorang untuk dicintai, sesuatu untuk dilakukan, dan sesuatu untuk diharapkan. Tom Bodett

Belajarlah dari kesalahan orang lain. Anda tidak tak dapat hidup cukup lama untuk melakukan semua kesalahan itu sendiri. Martin Vanbee

Jika kita hidup setiap hari seperti hari terakhir bagi kita, kita akan menciptakan sesuatu yang benar benar besar akhirnya. Steve Jobs

Jika Anda terlahir miskin itu bukan salah anda, tapi jika Anda mati miskin itu adalah kesalahan Anda. Bill Gates


(8)

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi dengan judul “P E N G A R U H P E M B E R I A N E K S T R A K T E M P E TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH JANTAN YANG DIINDUKSI PARASETAMOL” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. Sutyarso, M.Biomed, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, dan Penguji Utama pada ujian skripsi atas masukan, ilmu, dan saran-saran yang diberikan kepada penulis;

2. dr. Evi Kurniawaty, M.Sc., selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini. Beliau juga Pembimbing Akademik yang banyak memberikan pengarahan, saran, dan motivasi sampai saat ini;

3. dr. Syazili Mustofa selaku Pembimbing Kedua atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran, kritik, dan motivasi dalam proses penyelesaian skripsi ini;

4. dr. Susianti, M.Sc., selaku penguji utama atas kesediaannya untuk memberikan masukan bagi kemajuan skripsi ini;

5. Papa dan Mama yang selalu mendo’akan, membimbing, mendukung, serta memberikan yang terbaik, tanpa kalian saya tidak akan seperti sekarang ini


(9)

6. Kakak-kakak saya yang selalu memberikan dukungan dan semangat untuk segera menyelesaikan skripsi ini;

7. Adikk-adik saya yang selalu memberikan candaan sehingga saya lebih rileks mengerjakan skripsi ini;;

8. Kakek Abu bakar dan nenek maemunah yang tidak henti-hentinya memanjatkan doa agar cucunya berhasil;

9. Alm. Kakek M. Toha dan Almh. Nenek Siti Khasanah saya persembahkan skripsi ini untuk kalian semoga bisa bangga dan tersenyum disana;

10. Tri Nanda saputra yang selalu memberikan bantuan, dukungan dan motivasi sehingga mempermudah saya dalam mengerjakan skripsi ini; 11. Sepupu saya vee yang selalu memberikan dukungan dan candaan sehingga

saya lebih rileks dalam mengerjakan skripsi ini;

12. Om-om dan tante-tante saya yang tidak henti-hentinya memanjatkan do’a untuk keberhasilan keponakannya,

13. Seluruh Staf Dosen Fakultas Kedokteran Unila atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis untuk menambah wawasan yang menjadi landasan untuk mencapai cita-cita;

14. Seluruh Staf Tata Usaha, Administrasi, dan Akademik Fakultas Kedokteran Unila dan pegawai yang turut membantu dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini;

15. Bapak Sahroni yang banyak membantu dalam proses pembuatan preparat histologi;

16. Sahabat saya Reisha Ghassani yang selalu menemani keseharian saya dari awal kuliah sampai terselesaikannya skripsi ini;


(10)

semoga kita semua bisa menjadi dokter yang sukses dan berguna bagi masyarakat;

18. Teman-teman angkatan 2008, Ricky, Raden, Rifky, Rara, Edy, Yogie, George, Nicky dan semuanya yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas kekompakan yang terjalin selama ini;

19. Kakak-kakak dan adik-adik tingkat (angkatan 2002–2012) yang memberikan semangat kebersamaan dalam satu kedokteran.

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun, semoga kesederhanaan ini dapat memberi manfaat bagi semua. Amiin.

Bandar Lampung, Januari 2013

Penulis,


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...….………...…... vii

DAFTAR GAMBAR ...….………...….... viii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...….………...…. 1

B. Perumusan Masalah…...………..……… 4

C. Tujuan Penelitian ………... 4

D. Manfaat Penelitian ………. 4

E. Kerangka Teori ……….. 5

F. Kerangka Konsep ………...………... 8

G. Hipotesis……...………. 8

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ginjal………..……...…. 9

1. Anatomi ginjal………... 9

2. Histologi ginjal……….. 10

3. Fungsi ginjal……….. 19

B. Parasetamol………. 20

1. Definisi parasetamol……..………... 20

2. Mikroskopis Kerusakan Ginjal Setelah Pemberian Parasetamol DosisToksik………..……….. 23


(12)

2. Pembuatan Tempe……….…….. 26

3. Khasiat dan Kandungan Gizi Tempe….……….. 30

D. Mekanisme Perlindungan Ekstrak Tempe terhadap Kerusakan Ginjal akibat Induksi Parasetamol .……...………...….. 33

III. METODOLODI PENELITIAN A. DesainPenelitian ………..………. 35

B. Waktu dan Tempat Penelitian………... 35

C. Populasi dan Sampel……….. 35

D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi……….…… 36

E. Alat dan Bahan Penelitian...……….……...….. 37

F. Prosedur Penelitian..………... 38

G. Identifikasi Variabel Penelitian………... 46

H. Definisi Operasional……..………..…... 47

I. AnalisisData ……….. 47

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ...………... 49

B. Pembahasan………... 54

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan………...……….. 64

B. Saran………... 64

LAMPIRAN


(13)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Parasetamol merupakan obat antipiretik dan analgetik yang telah lama digunakan di dunia. Parasetamol merupakan obat yang efektif, sederhana dan dianggap paling aman sebagai anti nyeri apabila digunakan dalam dosis terapi yang sesuai, sehingga banyak dijual bebas tanpa resep, oleh karena itu resiko terjadinya penyalahgunaan parasetamol di Indonesia menjadi lebih besar. Overdosis penggunaan obat yang merupakan derivat daripara amino fenolini berpotensi menimbulkan kerusakan hepar dan ginjal. Kerusakan pada ginjal tersebut ditandai oleh nekrosis tubulus akut disertai meningkatnya kadar ureum dan kreatinin plasma. Target utama dari nekrosis tubular akut pada kasus keracunan suatu zat adalah tubulus proksimal ginjal (Bagus, 2008).

Kebiasaan menggunakan parasetamol, terutama bagi kaum wanita untuk menghilangkan nyeri pada saat haid, dinilai sangat membahayakan. Penelitian ini dilakukan terhadap 1.700 wanita yang diteliti selama lebih dari 11 tahun, yang mengalami penurunan fungsi filtrasi ginjal sebesar 30%. Dari penelitian terlihat bahwa wanita yang mengkonsumsi parasetamol sebanyak 1.500-9.000 butir selama hidupnya, beresiko untuk mengalami gangguan ginjal sebesar


(14)

64%. Sedangkan untuk mereka yang mengkonsumsi lebih dari 9.000 tablet, resiko ini meningkat hingga dua kali lipat (Anonim, 2012).

Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar didunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia dilakukan dalam bentuk tempe, 40% tahu, dan 10% dalam bentuk produk lain (seperti tauco, kecap, dan lain- lain). Konsumsi tempe rata- rata per orang per tahun di Indonesia saat ini diduga sekitar 6,45 kg. Menurut Prof. DR. Ir. Made Astawan, MS. Dosen Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, IPB, di dalam tempe juga ditemukan suatu zat antioksidan dalam bentu kisoflavon. Seperti halnya vitamin C, E, dan karotenoid, isoflavon juga merupakan antioksidan yang sangat dibutuhkan tubuh untuk menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas (Astuti, 1999).

Radikal bebas adalah suatu atom atau molekul yang tidak stabil dan sangat reaktif karena memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya. Untuk mencapai kestabilan atom atau molekul, radikal bebas akan bereaksi dengan molekul disekitarnya untuk memperoleh pasangan elektron. Reaksi ini akan berlangsung terus menerus dalam tubuh dan apabila tidak dihentikan akan menimbulkan berbagai penyakit. Efek radikal bebas dalam tubuh akan dinetralisir oleh antioksidan yang dibentuk oleh tubuh sendiri dan suplemen dari luar melalui makanan, minuman atau obat-obatan, seperti karotenoid, vitamin C, E, dan lain–lain (Qomariyatus et al., 2008).


(15)

3

Ginjal merupakan organ tubuh yang sangat vital dalam pengeluaran sisa metabolisme. Dalam ginjal tersebut sisa metabolisme akan disaring oleh membran yang berpori sekitar 0,07 mm sehingga hanya bahan yang lebih kecil dari 0,07 saja yang dapat lolos. Sementara bahan yang lebih besar tidak akan lolos melewati membran karena mengakibatkan kerusakan ginjal. Jika proses ekskresi ini terganggu maka sampah metabolisme tersebut akan terakumulasi dan menyebabkan toksik bagi tubuh (Katzung, 2002).

Zat-zat tersebut maupun metaboliknya dikeluarkan oleh tubuh melalui proses ekskresi. Ginjal merupakan organ ekskresi utama dari tubuh, sehingga seringkali mengalami kerusakan akibat paparan berbagai macam bahan toksik dan penggunaan obat-obatan kimia maupun herbal dalam dosis yang berlebihan (Sarjadi, 2003). Hal ini sesuai dengan hasil studi Mitchell dkk, pada tikus Fischer bahwa kerusakan ginjal terjadi akibat akumulasi metabolit nefrotoksik parasetamol yang terbentuk pada tubulus proksimal ginjal (Bagus, 2008).

Penelitian tentang tempe di Indonesia masih sangat sedikit dilakukan terutama sebagai antioksidan dalam mekanisme renoprotektor. Hal inilah yang memicu penulis untuk melakukan penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak tempe terhadap gambaran histopatologi ginjal tikus putih jantan yang diinduksi parasetamol.


(16)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan masalah, yaitu:

1. Apakah ada pengaruh pemberian ekstrak tempe terhadap kerusakan sel ginjal tikus putih jantan yang diinduksi parasetamol?

2. Apakah ada pengaruh peningkatan dosis ekstrak tempe dalam meningkatkan efek proteksi terhadap kerusakan sel ginjal tikus putih jantan yang diinduksi parasetamol?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak tempe terhadap kerusakan sel ginjal tikus putih jantan yang diinduksi parasetamol.

2. Tujuan Khusus

Mengetahui pengaruh peningkatan dosis pemberian ekstrak tempe dapat meningkatkan efek renoprotektif terhadap kerusakan histopatologi ginjal tikus putih jantan akibat induksi parasetamol.

D. Manfaat Penelitian

1. Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak tempe terhadap kerusakan ginjal tikus putih jantan yang diinduksi dengan parasetamol agar dapat diaplikasikan ke manusia.

2. Memberikan gambaran kepada para peneliti lainnya dalam melakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek pemberian ekstrak tempe terhadap kerusakan ginjal tikus putih jantan yang diinduksi dengan parasetamol.


(17)

5

3. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat dipublikasikan sehingga memberikan sumbangan informasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran.

E. Kerangka Teori

Ketika asupan parasetamol jauh melebihi dosis terapi dan sebagian kecil akan beralih ke jalur sitokrom P450. Metabolisme melalui sitokrom P450 membuat parasetamol mengalami N-hidroksilasi membentuk senyawa antara, N-acetyl-para-benzoquinoneimine (NAPQI), yang sangat elektrofilik dan reaktif. Pada keadaan normal, senyawa antara ini dieliminasi melalui konjugasi dengan glutathione (GSH) yang berikatan dengan gugus sulfhidril dan kemudian metabolisme lebih lanjut menjadi suatu asam merkapturat yang selanjutnya diekskresi kedalam urin. Ketika terjadi overdosis, kadar GSH dalam sel hati menjadi sangat berkurang yang berakibat kerentanan sel-sel hati terhadap cedera oleh oksidan dan juga memungkinkan NAPQI berikatan secara kovalen pada makromolekul sel, yang menyebabkan disfungsi berbagai sistem enzim (Goodman and Gilman, 2008). Ikatan kovalen dengan makromolekul sel terutama pada gugus tiol protein sel dan kerusakan oksidatif juga merupakan patogenesis utama terjadinya nefropati analgesik (Cotranet al., 2007; Neal, 2006). Rangkaian metabolisme minor parasetamol ini dapat menyebabkan efek merugikan. Pengurangan GSH secara tidak langsung dapat menimbulkan terjadinya stres oksidatif akibat penurunan proteksi antioksidan endogen (antioksidan enzimatik), yang juga dapat menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid (Maser et al., 2002). Peroksidasi


(18)

lipid merupakan suatu proses autokatalisis yang mengakibatkan kematian sel. Selain itu, reaksi pembentukan NAPQI akibat detoksifikasi oleh sitokrom P450 memacu terbentuknya radikal bebas superoksida (O2-) yang dinetralisir oleh superoksida dismutase (SOD) menjadi H2O2, suatu Reactive Oxygen Species (ROS) yang tidak begitu berbahaya (Ojo et al., 2006). Namun, melalui reaksi Haber-Weiss dan Fenton, adanya logam transisi seperti Cu dan Fe akan membentuk radikal hidroksil yang sangat berbahaya yang akan menghancurkan struktur sel (Winarsi, 2007).

Vitamin E dapat menghambat peroksidasi lipid oleh radikal bebas yang dibentuk dari persenyawaan NAPQI melalui mekanisme penangkapan radikal bebas dan metal chelation (Priya and Vasudha, 2009). Selain itu, vitamin E dapat mempertahankan integritas membran sel dengan menghambat aktivitas NO (nitrit oxide) endotel dan menghambat adhesi leukosit pada sel yang mengalami kerusakan. Inhibisi aktivitas NO juga diperankan vitamin C, selain vitamin C juga merupakan penyetabil keberadaan vitamin E (Sukandar, 2006). Aktivitas antioksidan mineral berpengaruh sebagai kofaktor enzim antioksidan endogen. Baik Fe, Cu, dan Zn merupakan kofaktor aktivasi SOD yang dapat menghambat ROS, hasil persenyawaan NAPQI (Winarsi, 2007).

Adanya efek tempe sebagai antioksidan yang dapat memberikan efek proteksi terhadap ginjal akibat zat-zat toksik seperti parasetamol maka dapat disusun kerangka teori sebagai berikut :


(19)

7

Gambar 1.Kerangka teori pengaruh pemberian ekstrak tempe pada tikus Parasetamol dosis toksik

Deplesi glutathione Peningkatan NAPQI (elektrofilik) Bioaktivasi sitokrom P450 Lipid peroksida

Ikatan kovalen dengan makromolekul (nukleofilik) Aktivasi glutathione peroxidase Radical Oxygen Species(ROS) Kerusakan makromolekul Konjugasi glutathione Stres oksidatif Aktivasi SOD Meningkatkan TAS (Total Antioxidant

Status)

Nekrosis sel epitel tubulus proksimal ginjal

Kerusakan sel-sel ginjal Aktivasi NO

(nitrit oxide) dan adhesi leukosit Keterangan: : memacu : menghambat Ekstrak Tempe


(20)

F. Kerangka Konsep

Gambar 2. Kerangka Konsep

F. Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Pemberian ekstrak tempe dapat mencegah kerusakan ginjal tikus putih yang diinduksi parasetamol.

2. Peningkatan dosis ekstrak tempe dapat meningkatkan efek proteksi terhadap kerusakan ginjal tikus putih yang diinduksi parasetamol.

Ekstrak tempe

Aquadest Kontrol

Negatif

Parasetamol 2, 25 ml /200 gr/ hari

Kontrol Positif Dianalisis Gambaran Histopatologi Ginjal Kelompok 1

Ekstrak tempe dosis 0, 27 ml/hari + Parasetamol 2, 25 ml

Kelompok 2 Ekstrak tempe dosis

0,54 ml/hari + Parasetamol 2, 25 ml

Kelompok 3 Ekstrak tempe dosis

1,08 ml/hari + Parasetamol 2, 25 ml


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ginjal

1. Anatomi ginjal

Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga retroperitoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke medial. Pada sisi ini terdapat hilus ginjal yaitu tempat struktur-struktur pembuluh darah, sistem limfatik, sistem saraf dan ureter menuju dan meninggalkan ginjal. Di sebelah posterior, ginjal dilindungi oleh otot-otot punggung yang tebal serta tulang rusuk ke XI dan XII sedangkan di sebelah anterior dilindungi oleh organ-organ intraperitoneal (Purnomo, 2009).

Ginjal mendapat aliran darah dari arteri renalis yang merupakan cabang langsung dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui vena renalis yang bermuara ke dalam vena kava inferior. Sistem arteri ginjal adalah end arteries yaitu arteri yang tidak mempunyai anastomosis dengan cabang-cabang dari arteri lain, sehingga jika terdapat kerusakan pada salah satu cabang arteri ini, berakibat timbulnya iskemia/nekrosis pada daerah yang dilayaninya (Purnomo, 2009).


(22)

Gambar 3.Anatomi Ginjal (Snell, 2006).

2. Histologi Ginjal

Secara anatomis ginjal terbagi menjadi 2 bagian yaitu korteks dan medulla ginjal. Di dalam korteks terdapat berjuta-juta nefron, dimana setiap ginjal terdiri atas 1-4 juta nefron sedangkan di dalam medulla banyak terdapat duktuli ginjal. Nefron adalah unit fungsional terkecil dari ginjal yang terdiri atas, tubulus kontortus proksimalis, korpuskulus renal, tubulus kontortus distalis, segmen tipis dan tebal ansa Henle, dan tubulus kolegens. Darah yang membawa sisa-sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi di dalam glomerulus kemudian di tubulus ginjal, beberapa zat yang masih diperlukan tubuh mengalami reabsorbsi dan zat-zat hasil sisa metabolisme mengalami sekresi bersama air membentuk urine. Setiap hari tidak kurang 180 liter cairan tubuh difiltrasi di glomerulus dan menghasilkan urine 1-2 liter. Urin yang terbentuk di dalam nefron disalurkan melalui piramida ke sistem


(23)

11 pelvikalises ginjal untuk kemudian disalurkan ke dalam ureter (Purnomo, 2009).

Setiap ginjal tersusun atas ± 100 juta nefron yang merupakan unit fungsional ginjal terletak pada kortek ginjal yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi yang sama yaitu, pembentukan urin dan memelihara kekonstanan komposisi cairan ektraseluler tubuh (Soewolo, 2000). Nefron terdiri dari kapsula bowman yang mengelilingi rumbai kapiler glomerulus, tubulus kontraktus proksimal, segmen tipis dan tebal ansa (lengkung) henle dan tubulus kontraktus distal. Nefron dan tubulus koligens (saluran pengumpul) merupakan tubulus uriniferus yang merupakan satuan fungsional ginjal, menampung urin yang dihasilkan oleh nefron dan menghantarkannya ke pelvis renal (Marieb, 2005).


(24)

Gambar 5.Gambaran histologi korpuskel ginjal (Junqueira, 2007).

Gambar 6.Gambaran histologi korpuskel ginjal (Junqueira, 2007).

a. Glomerulus

Glomerulus merupakan anyaman pembuluh darah kapiler, yang merupakan cabang dari arteriol aferen. Setelah memasuki badan ginjal (korpus ginjal) korpuskula renalis, arteriol aferen biasanya bercabang


(25)

13 menjadi 2-5 cabang utama yang masing-masing bercabang lagi menjadi jala jala kapiler. Tekanan hidrostatik darah arteri yang terdapat dalam kapiler-kapiler ini. glomelurus diatur oleh arteriol eferen (Eroschenko, 2003).

Glomerulus dalam keadaan normal secara keseluruhan tertutup oleh kapsula bowman yang berbentuk mangkok, kapiler glomerulus dilapisi oleh sel-sel endotel, berlubang pori-pori dengan diameter kurang lebih 100 nm dan terletak pada membran basalis. Di bagian luar membran basalis adalah epitel viseral (podosit) (Robbins and Kumar, 2002).

b. Kapsula Bowman

Berkas kapiler glomelurus dikelilingi oleh kapsula Bowman. Kapsula bowman merupakan epitel berdinding ganda. Lapisan luar kapsula bowman terdiri atas epitel selapis gepeng, dan lapisan dalam tersusun atas sel-sel khusus yang disebut podosit (sel kaki) yang letaknya meliputi kapiler glomerulus. Antara kedua lapisan tersebut terbentuk rongga kapsul bowman. Sel-sel podosit, membran basalis dan sel-sel endotel kapiler membentuk lapisan membran filtrasi yang berlubang-lubang yang memisahkan darah yang terdapat dalam kapiler dengan ruang kapsuler. Sel-sel endotel kapiler glomerulus mempunyai pori-pori sel lebih besar dan lebih banyak daripada kapiler-kapiler pada organ lain. Hasil filtrasi cairan darah pada glomerulus atau disebut cairan ultrafiltrat selanjutnya ditampung pada rongga kapsul (Eroschenko, 2003).


(26)

Korpuskulum renal adalah segmen awal setiap nefron. Di sini, darah disaring melalui kapiler-kapiler glomerulus dan filtratnya ditampung di dalam rongga kapsular yang terletak di antara lapisan parietal dan viseral kapsul bowman. Setiap korpuskulum renal mempunyai kutub vaskular yang merupakan tempat keluar masuknya pembuluh darah dari glomerulus (Eroschenko, 2003).

d. Tubulus Kontortus Proksimal (TKP)

Tubulus kontortus proksimal merupakan saluran panjang yang berkelok-kelok mulai pada korpuskulum renalis kemudian menurun ke dalam medulla dan menjadi lengkung Henle(loop of Henle). Tubulus kontortus proksimal (TKP) biasa ditemukan pada potongan melintang korteks. TKP dibatasi oleh epitel kubus selapis dengan apeks sel menghadap lumen tubulus memiliki banyak mikrovili membentuk brush border (Eroschenko, 2003). Tubulus kontraktus proksimal sebagai bagian nefron yang paling panjang dan paling lebar membentuk isi kortek, di dalamnya filtrat glomerulus mulai berubah menjadi kemih oleh absorbsi beberapa zat dan penambahan sekresi zat-zat lain. Salah satu fungsi utama dari tubulus kontraktus proksimal adalah menyekresi kreatinin, albumin, protein, karbohidrat dan substansi asing bagi organisme seperti penisilin. Hal tersebut merupakan proses aktif yang disebut sekresi tubulus (Junqueira et al., 2007). Jumari (2007) menambahkan bagian tubulus ginjal berfungsi memproses hasil filtrasi dari glomerulus untuk direasorbsi atau dibuang dalam bentuk urin.


(27)

15

Gambar 7.Irisan Melintang Kortek ginjal P (tubulus proksimal); D (tubulus distal) (Junquera, 2007).

Sel epitel tubulus-tubulus ginjal terutama tubulus proksimal, sangat peka terhadap suatu iskemia, maka jaringan ini akan mengalami kerusakan. Salah satu gangguan pada ginjal akibat produksi radikal bebas yang berlebih salah satunya adalah Acute Tubular Necrosis (ANT) yang menyerang tubulus ginjal yang disebabkan oleh ketika sel tubular mendapatkan pengaruh dari racun obat atau molekul (nephrotoxic ATN) (Hanifah, 2008). Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan struktur dan fungsi sel pada ginjal adalah adanya radikal bebas. Radikal bebas merupakan salah satu produk reaksi kimia dalam tubuh yang mempunyai reaktifitas tinggi sehingga menimbulkan perubahan kimiawi dan merusak komponen sel hidup seperti protein, lipid, karbohidrat dan asam nukleat (Rahmawati, 2003).

Kerusakan ginjal yang berupa nekrosis tubulus disebabkan oleh sejumlah racun organik. Hal ini terjadi karena pada sel epitel tubulus terjadi kontak langsung dengan bahan yang direabsorbsi, sehingga sel epitel


(28)

ataupun nekrosis pada inti sel ginjal (Robbins and Kumar, 2002). Menurut Price & Wilson (2005), kematian sel yang disebabkan oleh nekrosis tubulus dapat ditandai dengan menyusutnya inti sel atau ketidakaktifan inti sel tubulus. Sel epitel tubulus proksimal sangat peka terhadap anoksia dan rentan terhadap toksik. Banyak faktor yang memudahkan tubulus mengalami toksik, seperti permukaan bermuatan listrik yang luas untuk reabsorbsi tubulus, sistem transport aktif untuk ion dan asam organik, kemampuan melakukan pemekatan secara efektif, selain itu kadar sitokrom P450 yang tinggi untuk mendetoksifikasi atau mengaktifkan toksikan (Cotranet al.,2003).

e. Loop of Henle

Lengkung Henle (LH) merupakan saluran panjang berbentuk seperti huruf U dapat dibedakan menjadi segmen tipis dan segmen tebal. Lengkung henle memiliki lubang lebih lebar daripada tubulus kontortus distal karena dinding LH terdiri dari sel-sel gepeng dengan inti menonjok ke dalam lumen. Bagian tipis lengkung Henle merupakan kelanjutan dari tubulus kontortus proksimal, sebagian besar berjalan turun (descenden) dan bagian tebal berjalan ke atas (ascenden). Bagian tipis menyerupai kepiler darah sehingga sukar dibedakan (Eroschenko, 2003).

Lengkung Henle tebal strukturnya sama dengan tubulus kontortus distal. Bagian descenden lengkung henle bersifat permeabel terhadap air dan ion-ion, sehingga memungkinkan pergerakan bebas air, Na+ dan Cl-.


(29)

17 Sedangkan bagianascendentidak permeabel terhadap air dan sangat aktif mentranspor klorida ke cairan insterstitial. Bertanggung jawab langsung pada hipertonisitas cairan insterstitial daerah medula sebagai akibat kehilangan natrium dan klorida. Oleh karena itu, cairan dalam tubulus yang mencapai tubulus kontortus distal adalah hipotonik. Fungsi lengkung henle adalah mengatur tingkat osmotik darah dan hipertonik (Eroschenko, 2003).

f. Tubulus Kontortus Distal (TKD)

Tubulus kontraktus distal seperti halnya tubulus kontraktus proksimal tempatnya terdapat di kortek perbedaannya didasarkan atas ciri-ciri tertentu yaitu pada sel tubulus kontraktus proksimal lebih besar dari pada sel tubulus distal, sel tubulus kontraktus proksimal memiliki brush border, yang tidak terdapat pada tubulus distal. Lumen tubulus distal lebih besar, dan karena sel-sel tubulus distal lebih gepeng dan lebih kecil dari yang ada di tubulus proksimal, maka tampak lebih banyak sel dan inti pada dinding tubulus distal (Junquera et al., 2007). Tubulus kontortus distal lebih pendek dan tidak begitu berkelok dibandingkan dengan tubulus kontortus proksimal. Sel-sel tubulus kontortus distal secara aktif mereabsorpsi ion-ion Na dari filtrat glomerular dan dimasukkan ke dalam interstitium. Aktivitas reabsorpsi ini berlangsung bersamaan dengan ekskresi ion H+ atau K+ ke dalam filtrat atau urin tubular (Junqueraet al., 2007).


(30)

korteks adrenal. Sebagai respon terhadap hormon ini, sel-sel tubulus kontortus distal secara aktif mengabsorpsi Na dari filtrat. Fungsi tubulus distal merupakan fungsi vital untuk mepertahankan keseimbangan asam-basa yang sesuai pada cairan tubuh (Eroschenko, 2003).

g. Aparatus jukstaglomerulus

Di dekat korpuskulum renal dan tubulus kontortus distal terdapat sekelompok sel khusus yang disebut aparatus jukstaglomerular. Aparatus ini terdiri atas sel-sel jukstaglomerular dan makula densa. Sel-sel jukstaglomerular adalah sekelompok sel otot polos yang telah dimodifikasi, terletak di dinding arteriol aferen sebelum memasuki kapsul glomerular membentuk glomerulus (Eroschenko, 2003). Sel jukstaglomerulus berhubungan erat dengan makula dense, yaitu suatu bagian khusus tubulus kontraktus distal yang terdapat diantara arteriol aferen dan eferen,memiliki sel-sel tunika otot polos, inti berbentuk bulat dan sitoplasma mengandung granula. Sel jukstaglomerulus berfungsi menghasilkan enzim renin. Dalam darah renin mempengaruhi angiotensinogen, suatu protein plasma, untuk menghasilkan angiotensin (Junqueraet al., 2007).

h. Tubulus koligens (tubulus collectivus)

Urin berjalan dari tubulus kontortus distal ke tubulus koligens yang apabila bersatu membentuk saluran lurus yang lebih besar yang disebut


(31)

19 duktus papilaris Bellini. Tubulus koligens merupakan unsur utama medulla berjalan lurus. Tubulus koligens yang lebih kecil dibatasi oleh epitel kubus, sedangkan garis tengah duktus koligens terdiri atas sel-sel berwarna muda. Tubulus yang besar dengan tubulus koligens yang lebih kecil yang berasal masing-masing medullary ray ternyata saling mengadakan hubungan tegak lurus mulai pada tubulus distal tetapi yang penting pada tubulus koligens adalah mekanisme yang tergantung pada hormon antidiuretik (ADH) untuk pemekatan atau pengenceran terakhir urin. Dinding tubulus distal dan tubulus koligens sangat mudah ditembus air bila terdapat ADH atau pengenceran terakhir urin (Eroschenko, 2003).

3. Fungsi Ginjal

Fungsi ginjal secara keseluruhan di bagi dalam dua golongan yaitu : a. Fungsi ekskresi

 Mengekskresi sisa metabolisme protein, yaitu ureum, kalium, fosfat, sulfat anorganik, dan asam urat.

 Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.  Menjaga keseimbangan asam dan basa. b. Fungsi Endokrin

 Berperan dalam eritropoesis. Menghasilkan eritropoetin yang berperan dalam pembentukan sel darah merah.

 Menghasilan renin yang berperan penting dalam pengaturan tekanan darah.


(32)

penyerapan kalsium.

 Memproduksi hormon prostaglandin, yang mempengaruhi pengaturan garam dan air serta mempengaruhi tekanan vaskuler.

B. Parasetamol

1. Definisi

Parasetamol (asetaminofen) merupakan metabolit aktif dari fenasetin yang mempunyai efek analgesik dan antipiretik (Goodman and Gilman, 2008). Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen (Katzung, 2002). Obat ini tidak mempunyai efek antiinflamasi yang bermakna, tetapi banyak digunakan sebagai analgesik ringan jika nyeri tidak memiliki komponen inflamasi. Hal ini karena selain merupakan penghambat prostaglandin yang lemah, parasetamol juga merupakan inhibitor siklooksigenase yang lemah dengan adanya H2O2 (hidrogen peroksida) konsentrasi tinggi yang dihasilkan neutrofil dan monosit pada lesi radang (Goodman and Gilman, 2008; Neal, 2006).

Parasetamol di Indonesia lebih dikenal dibandingkan dengan nama asetaminofen, dan tersedia sebagai obat bebas (Wilmana and Gunawan, 2007). Obat ini pertama kali digunakan dalam kedokteran oleh von Mering pada 1893, namun baru sejak 1949 obat ini populer setelah diketahui merupakan metabolit aktif utama dari asetanilid dan fenasetin. Sifat farmakologis yang ditoleransi dengan baik, sedikit efek samping, dan dapat diperoleh tanpa resep membuat obat ini dikenal sebagai analgesik yang


(33)

21 umum di rumah tangga (Goodman and Gilman, 2008; Wishart dan Knox, 2006).

Pemberian parasetamol secara oral dengan penyerapan yang cepat dan hampir sempurna di saluran pencernaan. Penyerapan dihubungkan dengan tingkat pengosongan lambung, dan konsentrasi dalam plasma mencapai puncak dalam 30 sampai 60 menit (Katzung, 2002). Waktu paruh dalam plasma 1 sampai 3 jam setelah dosis terapeutik dengan 25% parasetamol terikat protein plasma dan sebagian dimetabolisme enzim mikrosom hati (Wilmana and Gunawan, 2007). Hati merupakan tempat metabolisme utama parasetamol. Di dalam hati, 60% dikonjugasikan dengan asam glukuronat, 35% asam sulfat, dan 3% sistein; yang akhirnya menghasilkan konjugat yang larut dalam air serta diekskresi bersama urin. Jalur konjugasi pertama (terutama glukuronidasi dan sulfasi) tidak dapat digunakan lagi ketika asupan parasetamol jauh melebihi dosis terapi dan sebagian kecil akan beralih ke jalur sitokrom P450 (CYP2E1) (Defendi and Tucker, 2009; Goodman and Gilman, 2008).

Metabolisme melalui sitokrom P450 membuat parasetamol mengalami N-hidroksilasi membentuk senyawa antara, N-acetyl-para-benzoquinoneimine (NAPQI), yang sangat elektrofilik dan reaktif. Pada keadaan normal, senyawa antara ini dieliminasi melalui konjugasi denganglutathione(GSH) yang berikatan dengan gugus sulfhidril dan kemudian dimetabolisme lebih lanjut menjadi suatu asam merkapturat yang selanjutnya diekskresi ke dalam urin. Ketika terjadi overdosis, kadar GSH dalam sel hati menjadi sangat


(34)

oksidan dan juga memungkinkan NAPQI berikatan secara kovalen pada makromolekul sel, yang menyebabkan disfungsi berbagai sistem enzim (Goodman and Gilman, 2008). Ikatan kovalen dengan makromolekul sel terutama pada gugus tiol protein sel dan kerusakan oksidatif juga merupakan patogenesis utama terjadinya nefropati analgesik (Cotran et al., 2007; Neal, 2006).

Rangkaian metabolisme minor parasetamol ini dapat menyebabkan efek merugikan. Pengurangan GSH secara tidak langsung dapat menimbulkan terjadinya stres oksidatif akibat penurunan proteksi antioksidan endogen (antioksidan enzimatik), yang juga dapat menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid (Maser et al., 2002). Peroksidasi lipid merupakan suatu proses autokatalisis yang mengakibatkan kematian sel. Produk akhir peroksidasi lipid di dalam tubuh adalah malondialdehid (MDA) yang dapat menyebabkan kematian sel akibat proses oksidasi berlebihan dalam membran sel (Mayes, 2008; Winarsi, 2007). Selain itu, reaksi pembentukan NAPQI akibat detoksifikasi oleh sitokrom P450 memacu terbentuknya radikal bebas superoksida (O2-) yang dinetralisir oleh superoksida dismutase (SOD) menjadi H2O2, suatu Reactive Oxygen Species (ROS) yang tidak begitu berbahaya (Ojo et al., 2006). Namun, melalui reaksi Haber-Weiss dan Fenton, adanya logam transisi seperti Cu dan Fe akan membentuk radikal hidroksil yang sangat berbahaya yang akan menghancurkan struktur sel (Winarsi, 2007).


(35)

23 Indikasi pemberian parasetamol adalah sebagai analgesik dan antipiretik. Nyeri akut dan demam dapat diatasi dengan 325-500 mg empat kali sehari dan secara proporsional dikurangi untuk anak-anak (Katzung, 2002). Parasetamol juga merupakan analgesik paling sesuai untuk pasca operasi terutama pada pasien usia lanjut karena efek minimal penghambatan prostaglandin (Koppertet al., 2006). Parasetamol merupakan salah satu obat yang paling sering menyebabkan kematian akibat keracunan (self poisoning) (Neal, 2006).

Toksisitas parasetamol terjadi pada penggunaan dosis tunggal 10 sampai 15 gr (150 sampai 250 mg/kg BB); dosis 20 sampai 25 gr atau lebih kemungkinan menyebabkan kematian (Goodman and Gilman, 2008; Wilmana and Gunawan, 2007). Sedangkan dosis toksik untuk mencit atau LD50 mencit adalah 6,76 mg/20 gr BB mencit (Wishart and Knox, 2006). Akibat dosis toksik yang paling serius adalah nekrosis hati, walaupun nekrosis tubuli renalis dan koma hipoglikemik juga dapat terjadi. Sekitar 10% pasien yang mengalami keracunan yang tidak mendapatkan penanganan khusus mengalami kerusakan hati yang parah; sebanyak 10-20% di antaranya akhirnya meninggal karena kegagalan fungsi hati. Gagal ginjal akut juga terjadi pada beberapa pasien (Goodman and Gilman, 2008).

2. Mikroskopis Kerusakan Ginjal Setelah Pemberian Parasetamol Dosis Toksik

Nefrotoksisitas seperti akibat parasetamol dapat menyatukan beberapa jalur molekuler apoptosis, termasuk menghilangkan molekul protektif intraseluler


(36)

(messenger-Ribose Nucleid Acid) pada gen antiapoptosis Bcl-xL, tetapi dapat menurunkan kadar protein Bcl-xL, yang berarti dapat meningkatkan aktivitas apoptosis (Lorz et al., 2005). Parasetamol juga menginduksi stres retikulum endoplasma pada glomerulus ginjal, yang menyebabkan stres oksidatif dan inflamasi pada sel-sel podosit serta mesangial glomerulus (Inagi, 2009). Senyawa ROS, yang merupakan hasil metabolisme parasetamol, juga dapat menyebabkan kerusakan glomerulus yang diawali dengan infiltrasi leukosit (Singh et al., 2006). Salah satu efek merugikan overdosis parasetamol adalah nekrosis tubulus ginjal (Goodman and Gilman, 2008). Nekrosis terjadi setelah suplai darah hilang atau setelah terpajan toksin dan ditandai dengan pembengkakan sel, denaturasi protein, serta kerusakan organel sel. Perubahan nuklear nekrosis dapat dibagi menjadi tiga pola, yaitu:

a. Piknosis, ditandai dengan melisutnya inti sel dan peningkatan basofil kemudian DNA berkondensasi menjadi massa yang melisut padat.

b. Karioreksis, fragmen inti sel yang piknotik, yang selanjutnya dalam 1-2 hari inti dalam sel yang mati benar-benar menghilang.

c. Basofilia kromatin memudar (kariolisis), yang disebabkan oleh aktivitas DNA (Diribose Nucleid Acid) (Mitchell and Cotran, 2007).

Secara histologis, nekrosis tubulus akut toksik paling mencolok di tubulus proksimal, sedangkan membran basal tubulus umumnya tidak terkena. Nekrosis biasanya berkaitan dengan ruptur membran basal (tubuloreksis). Silinder berprotein di tubulus distal dan duktus koligentes tampak mencolok. Silinder ini terdiri atas protein Tamm-Horsfall (secara normal


(37)

25 disekresi oleh epitel tubulus) bersama dengan hemoglobin dan protein plasma lain. Gambaran histologis jaringan ginjal nekrosis yang bertahan selama seminggu akan mulai tampak regenerasi epitel dalam bentuk lapisan epitel kuboid rendah serta aktivitas mitotik di sel epitel tubulus yang tersisa. Regenerasi ini bersifat total dan sempurna, kecuali pada membran basal yang rusak (Mitchell and Cotran, 2007).

C. Tempe

Tempe adalah makanan yang dibuat dari fermentasi terhadap biji kedelai atau bahan lain yang menggunakan berbagai jenis kapang Rhizopus, seperti Rhizopus Oligosporus, Rhizopus Oryzae, dan Rhizopus arrhizus. Sediaan ini secara umum dikenal dengan ragi tempe. Adapun gambar tempe sebagai berikut :

Gambar 8.Tempe

1. Sejarah dan Perkembangan

Tidak seperti makanan kedelai tradisional lain yang biasanya berasal dari Cina atau Jepang, tempe berasal dari Indonesia. Tidak jelas kapan pembuatan tempe dimulai. Namun demikian, makanan tradisonal ini sudah


(38)

masyarakat di Yogyakarta dan Surakarta (Huang, 2000).

2. Pembuatan Tempe

Teknik pembuatan tempe di Indonesia yang ditemukan oleh Chandra Dwi Dhanarto. Secara umum terdiri dari tahapan perebusan, pengupasan, perendaman dan pengasaman, pencucian, inokulasi dengan ragi, pembungkusan, serta fermentasi. Pada tahap awal pembuatan tempe, biji kedelai harus bersih, bebas dari campuran batu kerikil, atau bijian lain, tidak rusak dan bentuknya seragam. Kulit biji kedelai harus dihilangkan untuk memudahkan pertumbuhan jamur. Penghilangan kulit biji dapat dilakukan secara kering atau basah. Cara kering lebih efisien, yaitu dikeringkan terlebih dahulu pada suhu 104oC selama 10 menit atau dengan pengeringan sinar matahari selama 1-2 jam. Selanjutnya penghilangan kulit dilakukan dengan alat “Burr Mill”. Biji kedelai tanpa kulit dalam keadaan kering dapat disimpan lama. Penghilangan biji secara basah dapat dilakukan setelah biji mengalami hidrasi yaitu setelah perebusan atau perendaman. Biji yang telah mengalami hidrasi lebih mudah dipisahkan dari bagian kulitnya, tetapi dengan cara basah tidak dapat disimpan lama.

a. Perendaman atau pre fermentasi

Selama proses perendaman, biji mengalami proses hidrasi, sehingga kadar air biji naik sebesar kira-kira dua kali kadar air semula, yaitu mencapai 62-65 %. Proses perendaman memberi kesempatan pertumbuhan bakteri-bakteri asam laktat sehingga terjadi penurunan pH


(39)

27 dalam biji menjadi sekitar 4,5 – 5,3. Penurunan biji kedelai tidak menghambat pertumbuhan jamur tempe, tetapi dapat menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri kontaminan yang bersifat pembusuk. Proses fermentasi selama perendaman yang dilakukan bakteri mempunyai arti penting ditinjau dari aspek gizi, apabila asam yang dibentuk dari gula stakhijosa dan rafinosa. Keuntungan lain dari kondisi asam dalam biji adalah menghambat penaikan pH sampai di atas 7,0 karena adanya aktivitas proteolitik jamur dapat membebaskan amonia sehingga dapat meningkatkan pH dalam biji. Pada pH di atas 7,0 dapat menyebabkan penghambatan pertumbuhan atau kematian jamur tempe.Hessseltine,et.al (1963), mendapatkan bahwa dalam biji kedelai terdapat komponen yang stabil terhadap pemanasan dan larut dalam air bersifat menghambat pertumbuhan Rhizopus oligosporus, dan juga dapat menghambat aktivitas enzim proteolitik dari jamur tersebut. Penemuan ini menunjukkan bahwa perendaman dan pencucian sangat penting untuk menghilangkan komponen tersebut. Proses hidrasi terjadi selama perendaman dan perebusan biji. Makin tinggi suhu yang dipergunakan makin cepat proses hidrasinya, tetapi bila perendaman dilakukan pada suhu tinggi menyebabkan penghambatan pertumbuhan bakteri sehingga tidak terbentuk asam.

b. Proses Perebusan

Proses pemanasan atau perebusan biji setelah perendaman bertujuan untuk membunuh bakteri-bakteri kontaminan, mengaktifkan senyawa


(40)

yang diperlukan untuk pertumbuhan jamur(Hidayatet al., 2006).

c. Penirisan dan Penggilingan

Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi kandungan air dalam biji, mengeringkan permukaan biji dan menurunkan suhu biji sampai sesuai dengan kondisi pertumbuhan jamur, air yang berlebihan dalam biji dapat menyebabkan penghambatan pertumbuhan jamur dan menstimulasi pertumbuhan bakteri-bakteri kontaminan, sehingga menyebabkan pembusukan.

d. Inokulasi

Inokulasi pada pembuatan tempe dapat dilakukan dengan mempergunakan beberapa bentuk inokulan(Hidayatet al., 2006) yaitu : 1). Usar, dibuat dari daun waru (Hibiscus tiliaceus) atau jati (Tectona

grandis) merupakan media pembawa spora jamur. Usar ini banyak dipergunakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

2). Tempe yang telah dikeringkan secara penyinaran matahari atau kering beku.

3). Sisa spora dan miselia dari wadah atau kemasan tempe.

4). Ragi tempe yang dibuat dari tepung beras yang dibuat bulat seperti ragi roti.


(41)

29 6). Isolat Rhizopus oligosporusdari agar miring untuk pembuatan tempe

skala laboratorium.

7). Ragi tempe yang dibuat dari tepung beras yang dicampurkan dengan jamur tempe yang ditumbuhkan pada medium dan dikeringkan.

e. Pengemasan

Kemasan yang dipergunakan untuk fermentasi tempe secara tradisional yaitu daun pisang, jati, waru atau bambu, selanjutnya dikembangkan penggunaan kemasan plastik yang diberi lubang. Secara laboratorium kemasan yang dipergunakan adalah nampan stainless stell dengan berbagai ukuran yang dilengkapi dengan lubang-lubang kecil.

f. Inkubasi atau Fermentasi

Inkubasi dilakukan pada suhu 25o-37o C selama 36-48 jam. Selama inkubasi terjadi proses fermentasi yang menyebabkan perubahan komponen-komponen dalam biji kedelai. Persyaratan tempat yang dipergunakan untuk inkubasi kedelai adalah kelembaban, kebutuhan oksigen dan suhu yang sesuai dengan pertumbuhan jamur(Hidayatet al., 2006).

g. Proses fermentasi tempe dapat dibedakan atas tiga fase yaitu :

1) Fase pertumbuhan cepat (0-30 jam fermentasi) terjadi penaikan jumlah asam lemak bebas, penaikan suhu, pertumbuhan jamur cepat,


(42)

makin lebat, sehingga menunjukkan masa yang lebih kompak.

2) Fase transisi (30-50 jam fermentasi) merupakan fase optimal fermentasi tempe dan siap untuk dipasarkan. Pada fase ini terjadi penurunan suhu, jumlah asam lemak yang dibebaskan dan pertumbuhan jamur hampir tetap atau bertambah sedikit, flavor spesifik tempe optimal, dan tekstur lebih kompak.

3) Fase pembusukan atau fermentasi lanjut (50-90 jam fermentasi) terjadi penaikan jumlah bakteri dan jumlah asam lemak bebas, pertumbuhan jamur menurun dan pada kadar air tertentu pertumbuhan jamur terhenti, terjadi perubahan flavor karena degradasi protein lanjut sehingga terbentuk amonia.

Dalam pertumbuhannya Rhizopus akan menggunakan Oksigen dan menghasilkan CO2 yang akan menghambat beberapa organisme perusak.

Adanya spora dan hifa juga akan menghambat pertumbuhan kapang yang lain. Jamur tempe juga menghasilkan antibiotikayang dapat menghambat pertumbuhan banyak mikrobia.

3. Khasiat dan Kandungan Gizi Tempe

Menurut Prof. DR Ir. Made Astawan, MS, terdapat beberapa kandungan zat pada tempe yaitu:


(43)

31 a. Asam Lemak

Selama proses fermentasi tempe, terdapat tendensi adanya peningkatan derajat ketidakjenuhan terhadap lemak. Dengan demikian, asam lemak tidak jenuh majemuk (polyunsaturated fatty acids, PUFA) meningkat jumlahnya. Dalam proses itu asam palmitat dan asam linoleat sedikit mengalami penurunan, sedangkan kenaikan terjadi pada asam oleat dan linolenat (asam linolenattidak terdapat pada kedelai). Asam lemak tidak jenuh mempunyai efek penurunan terhadap kandungan kolesterol serum, sehingga dapat menetralkan efek negatifsteroldi dalam tubuh (Hermana, 1996).

b. Vitamin

Dua kelompok vitamin terdapat pada tempe, yaitu larut air (vitamin B kompleks) dan larut lemak (vitamin A, D, E, dan K). Tempe merupakan sumber vitamin B yang sangat potensial, dan menjadi satu-satunya sumber vitamin yang potensial dari bahan pangan nabati. Jenis vitamin B yang terkandung dalam tempe antara lain vitamin B1 (tiamin), B2 (riboflavin), asam pantotenat, asam nikotinat (niasin), vitamin B6 (piridoksin), dan B12 (sianokobalamin). Vitamin B12 diproduksi oleh bakteri kontaminan seperti Klebsiella pneumoniae dan Citrobacter freundii. Kadar vitamin B12 dalam tempe berkisar antara 1,5 sampai 6,3 mikrogram per 100 gram tempe kering. Jumlah ini telah dapat mencukupi kebutuhan vitamin B12 seseorang per hari. Dengan adanya vitamin B12 pada tempe, para vegetarian tidak perlu merasa khawatir akan


(44)

menu hariannya (Hermana, 1996). c. Mineral

Tempe mengandung mineral makro dan mikro dalam jumlah yang cukup. Jumlah mineral besi 9,39 mg setiap 100 g tempe, tembaga 2,87 mg setiap 100 g tempe, dan zinc 8,05 mg setiap 100 g tempe. Kapang tempe dapat menghasilkan enzim fitase yang akan menguraikan asam fitat (yang mengikat beberapa mineral) menjadi fosfor dan inositol. Dengan terurainya asam fitat, mineral-mineral tertentu (seperti besi, kalsium, magnesium, dan zinc) menjadi lebih tersedia untuk dimanfaatkan tubuh (Hermana, 1996).

d. Antioksidan

Di dalam tempe juga ditemukan suatu zat antioksidan dalam bentuk isoflavon. Seperti halnya vitamin C, E, dan karotenoid, isoflavon juga merupakan antioksidan yang sangat dibutuhkan tubuh untuk menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas. Dalam kedelai terdapat tiga jenis isoflavon, yaitu daidzein, glisitein, dan genistein. Pada tempe, di samping ketiga jenisisoflavontersebut juga terdapat antioksidan faktor II (6,7,4-trihidroksi isoflavon) yang mempunyai sifat antioksidan paling kuat dibandingkan dengan isoflavon dalam kedelai. Antioksidan ini disintesis pada saat terjadinya proses fermentasi kedelai menjadi tempe oleh bakteri Micrococcus luteus dan Coreyne bacterium (Hermana, 1996). Kandungan zat gizi tempe dijelaskan pada tabel berikut :


(45)

33

Tabel 1.Kandungan zat gizi tempe (Widianarko, 2000)

Zat gizi Satuan Komposisi zat gizi

dalam 100 gram tempe

Energi Kal 201

Protein Gram 20,8

Lemak Gram 8,8

Hidrat Arang Gram 13,5

Serat Gram 1,4

Abu Gram 1,6

Kalsium Mg 155

Fosfor Mg 326

Besi Mg 9,39

Tembaga Mg 2,87

Zinc Mg 8,05

Karotin Mkg 34

Vitamin A SI 0

Vitamin B1 Mg 0,19

Vitamin B12 Mkg 6,3

Vitamin C Mg 0

Air Gram 55,3

D. Mekanisme Perlindungan Ekstrak Tempe terhadap Kerusakan Ginjal akibat Induksi Parasetamol

Kandungan utama tempe yang berperan dalam mencegah kerusakan ginjal akibat pemberian parasetamol dosis toksik adalah antioksidan. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektron kepada senyawa oksidan, dalam hal ini radikal bebas, sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut dapat dihambat. Antioksidan sekunder (eksogen), yang diperankan oleh asupan bahan makanan, bekerja dengan menangkap radikal bebas (free radical scavanger), kemudian mencegah reaktivitas amplifikasinya. Antioksidan primer (endogen), yang diperankan oleh enzim dalam tubuh, menghambat pembentukan radikal bebas dengan cara memutus reaksi berantai (chain


(46)

stabil (Winarsi, 2007).

Vitamin E dapat menghambat peroksidasi lipid oleh radikal bebas yang dibentuk dari persenyawaan NAPQI melalui mekanisme penangkapan radikal bebas dan metal chelation (Priya dan Vasudha, 2009). Selain itu, vitamin E dapat mempertahankan integritas membran sel dengan menghambat aktivitas NO (nitrit oxide) endotel dan menghambat adhesi leukosit pada sel yang mengalami kerusakan. Inhibisi aktivitas NO juga diperankan vitamin C, selain vitamin C juga merupakan penyetabil keberadaan vitamin E (Sukandar, 2006).

Antioksidan fitosterol dan fenol bermanfaat dalam menghambat radikal bebas. Fitosterol dan komponennya (β-sitosterol, stigmasterol, dan campesterol) dapat melawan peroksidasi lipid (Yoshida and Niki, 2003). Fenol mempunyai efek antioksidan terhadap adanya stres oksidatif. Fenol juga mempunyai efek antimikroba sehingga dapat melawan infeksi (Shettyet al., 2000).

Aktivitas antioksidan mineral berpengaruh sebagai kofaktor enzim antioksidan endogen. Baik Fe, Cu, Zn, dan Mn merupakan kofaktor aktivasi SOD yang dapat menghambat ROS, hasil persenyawaan NAPQI (Winarsi, 2007). Selenium merupakan satu satunya unsur yang dapat mengaktivasi glutathione peroxidase yang penting untuk mencegah kerusakan ginjal akibat adanya stres oksidatif dan Tumor Growth Factor-β (TGF-β), serta dapat mengkatalisis GSH, sehingga kadar GSH untuk konjugasi NAPQI dapat efektif (Singh et al., 2006).


(47)

35

III. METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Fakultas Kedokteran Unila. Waktu penelitian selama 42 hari.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi target meliputi tikus putih jantan galur wistar. Populasi terjangaku meliputi tikus putih galur wistar yang berusia 2 bulan dengan berat badan 150-200 yang diperoleh dari laboratorium Balai Penelitian Veteriner (BALTIVET) Bogor.

2. Sampel

Sampel yang digunakan diambil secara acak dari populasi terjangkau yaitu tikus putih jantan galur wistar yang berusia 2 bulan dengan berat badan 150-200 gram yang diperoleh dari laboratorium Balai Penelitian Veteriner (BALTITET) Bogor. Sampel : jumlah sampel yang digunakan berdasarkan rumus Menurut Federer yaitu :


(48)

( 5–1 ) ( n–1 ) > 15 4 ( n–1) > 15

4n > 15 + 4 n > 4, 75 Keterangan

k : jumlah kelompok

n : jumlah sampel dalam tiap kelompok

Pada penelitian ini jumlah sampel untuk tiap kelompok sebanyak 5 ekor tikus putih (n > 4, 75). Jumlah kelompok mencit ada 5 sehingga penelitian ini membutuhkan 25 ekor mencit dari populasi yang ada.

D. Kriteria Inklusi dan Ekslusi

Kriteria Inklusi adalah kriteria atau standar yang ditetapkan sebelum penelitian atau penelaahan dilakukan. Sedangkan kriteria eksklusi adalah kriteria pengecualian. Kriteria inklusi dan kriteria eksklusi dalam penelitian ini sebagai berikut :

Kriteria Inklusi : 1. Sehat

2. Berusia 2 bulan

3. Memiliki berat badan antara 150-200 gram 4. Jenis kelamin jantan


(49)

37 Kriteria Eksklusi :

1. Tikus mati saat perlakuan

2. Penampakan rambut kusam, rontok atau botak

3. Perubahan perilaku (tidak doyan makan, lemas, tidak lincah) selama penelitian

4. Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% setelah masa adaptasi di laboratorium

E. Alat dan Bahan Penelitian

Alat penelitian

Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Neraca analitik

1. Spuit oral 1 cc

2. Gunting minor set untuk membedah perut tikus (laparatomi) 3. Kapas dan alkohol

4. Alat untuk pembuatan preparat histopatologi ginjal yaitu mikrotom, cover glass, dan object glass

5. Mikroskop 6. Kandang tikus

Bahan penelitian

Tempe yang diperoleh dari penjual tempe pasar Bambu Kuning Bandar lampung, untuk kemudian dibuat ekstrak tempe. Menurut Sulistianto dkk (2004), tahap awal pembuatan ekstrak tempe adalah melakukan penimbangan tempe. Sebanyak 300 gram tempe dicampur dengan 300ml n-heksana(untuk


(50)

selama dua hari sampai larutan tidak berwarna.

Tahap selanjutnya adalah penyaringan dengan kain saring. Endapan yang diperoleh, kemudian dibagi menjadi dua bagian masing- masing 150 gram. Masing- masing bagian dimaserasi dengan pelarut air dan metanol selama dua hari. Supernatan yang diperoleh disaring dengan kain saring, kemudian disaring lagi dengan kertas whtaman 42. Pelarut air dan metanol didalam ekstrak dihilangkan sampai habis melalui evaporator pada suhu 50 °C untuk metanol dan 90 °C untuk air menggunakan pompa vakum berkekuatan 750 mmHg. Dari ekstrak ini dibuat larutan ekstrak dengan konsentrasi 20 % B/V (persen berat per volume, untuk 1% B/V= 1 g/100 mL). Hal tersebut bertujuan untuk memudahkan perhitungan dan pembuatan larutan ekstrak. Untuk pengenceran digunakan aquadest yang sesuai dengan konsentrasi ekstrak 20% B/V (Suarsanaet al, 2006).

Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini, berupa bahan kimia yang digunakan untuk pembuatan sediaan histopatologi ginjal tikus. Bahan kimia tersebut adalah formalin 10%, aquades, alkohol 80%, alkohol 95%, alkohol absolut, xylol, paraffin, dan bahan pewarna preparat harris Hematoxylin Eosin.

F. Prosedur Penelitian

Dari data tabel konversi penetapan volume cekok tunggal dari manusia ke hewan uji menurut Laurence dan Bacharach (1964) dan menurut Prof.


(51)

39 Ngatidjan dari Farmakologi UGM diketahui bahwa faktor konversi untuk manusia eropa (70 kg) ke tikus dengan berat 200 gram adalah 0,018, sehingga dosis parasetamol untuk tikus adalah: 3 x 18 mg/ 200 g tikus/ hari yang diperoleh dari perhitungan (0,018 x 1000 mg). Parasetamol 120 mg/ 5 ml, berarti dalam 1 kali pemberian, membutuhkan 3 x 0,75 mL/200 g tikus, sehingga dalam 1 hari, tikus mendapatkan dosis parasetamol sebanyak 2, 25 ml/200 gr/ hari.

1. Persiapan penelitian

Menyiapkan semua alat dan bahan untuk penelitian yang meliputi:

a. Menyiapkan hewan uji berjumlah 25 ekor umur 2 bulan dengan berat badan 150-200 gram.

b. Menyiapkan kandang tikus lengkap dengan tempat pakan dan minum. c. Menyiapkan parasetamol dan ekstrak tempe untuk perlakuan hewan uji

coba secara peroral.

2. Perhitungan Dosis Ekstrak Tempe

Dosis pertengahan ekstrak tempe yang akan digunakan dalam penelitian ini berpedoman pada beberapa hal yaitu dosis yang biasa dikonsumsi manusia per hari yang analognya manusia meminum ekstrak tempe 2 sendok makan per hari, yaitu 30 ml/hari. Berdasarkan faktor konversi manusia Eropa dengan barat badan (70 kg) ke tikus dengan berat badan 200 gr adalah 0,018 (Ngatidjan, 2006), sehingga dosis untuk tikus adalah: 30 ml/hari x 0,018 = 0,54 ml/hari. Dibagi menjadi tiga dosis yaitu dosis


(52)

maksimal sebesar 1,08 ml/hari.

Ekstrak dibuat dalam konsentrasi 20% B/V yang artinya mengandung 20 g berat ekstrak per 100 ml aquades, sehingga dalam 1 ml aquades mengandung 200 mg ekstrak. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa, dosis minimal adalah 0,27 ml/hari = 54 mg/hari, dosis pertengahan adalah 0,54 ml/hari = 108 mg/hari, dosis maksimal adalah 1,08 ml/hari = 216 mg/hari.

3. Pelaksanaan penelitian

a. Membagi secara acak 25 ekor tikus menjadi 5 kelompok,masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor.

b. Menimbang berat badan tikus.

c. Mengadaptasikan tikus selama seminggu, selama adaptasi tikus diberi makan dan minum 3 kali sehari.

d. Membuat persediaan ekstrak tempe dan parasetamol.

e. Menempatkan tikus pada kandang masing-masing, tiap kandang berisi 5 ekor tikus. Kelompok-kelompok tersebut nantinya akan diberi perlakuan sebagai berikut:

1) Kelompok kontrol negatif : Kelompok tanpa pemberian ekstrak tempe dan parasetamol (hewan kontrol).

2) Kelompok kontrol positif : kelompok tanpa pemberian ekstrak tempe, hanya diberi parasetamol 2,25ml/200gr/hari selama 42 hari.


(53)

41 3) Kelompok perlakuan I : kelompok yang diberi ekstrak tempe sebanyak 0,27ml/gbb/hari, 1x sehari dan diberi parasetamol sebanyak 2,25ml/200gr/hari selama 42 hari.

4) Kelompok perlakuan II : kelompok yang diberi ekstrak tempe sebanyak 0,54ml/gbb/hari, 1x sehari dan diberi parasetamol sebanyak 2,25ml/200gr/hari selama 42 hari.

5) Kelompok perlakuan III : kelompok yang diberi ekstrak tempe sebanyak 1,08ml/gbb/hari, 1x sehari dan diberi parasetamol sebanyak 2,25ml/200gr/hari selama 42 hari.

6) Setelah 42 hari, perlakuan diberhentikan.

7) Lima tikus putih jantan dari tiap kelompok dinarkosis dengan kloroform.

8) Dilakukan laparotomi, diambil ginjal untuk dibuat sediaan mikroskopis. Pembuatan sediaan mikroskopis dengan metode parafin dan pewarnaan hematoksilin eosin. Hematoksilin mempunyai sifat pewarna basa, yaitu memulas unsur jaringan yang basofilik, eosin memulas unsur jaringan yang bersifat asidofilik. Kombinasi ini adalah yang paling banyak digunakan (Junquieraet al, 2007).

9) Sampel ginjal difiksasi dengan formalin 10%, selanjutnya sampel ini dikirim ke Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung untuk dilakukan pembuatan sediaan mikroskopis jaringan ginjal.


(54)

Gambar 9. Diagram Pelaksanaan Penelitian 25 ekor tikus putih jantan galur wistar umur 2 bulan berat 150-200 gram

Tikus diadaptasi selama 1 minggu

Tikus diberikan perlakuan selama 42 hari

5 ekor tikus tanpa diberi parasetamol dan tanpa diberi ekstrak tempe sebagai K (-)

5 ekor tikus diberi parasetamol tanpa diberi ekstrak tempe sebagai K (+)

5 ekor tikus + parasetamol

+ ekstrak tempe sebagai K1

5 ekor tikus + parasetamol

+ ekstrak tempe sebagai K2

5 ekor tikus + parasetamol

+ ekstrak tempe sebagai K3

Setelah 42 hari perlakuan semua tikus di narkosis

Dilakukan laparotomi lalu ginjal tikus diambil

Sampel ginjal difiksasi dengan formalin 10%

Sampel ginjal dikirim ke Laboratorium Patologi Anatomi FK Unila untuk pembuatan sediaan histopatologi

Pengamatan sediaan histopatologi ginjal dengan mikroskop


(55)

43 d. Prosedur pembuatan preparat histopatologi ginjal

Adapun prosedur pembuatan preparat histopatologi ginjal (Akoso et al, 1999), yaitu :

1) Fixation

Spesimen yang akan digunakan dalam pembuatan preparat dimasukkan ke dalam larutan pengawet berupa buffer formalin 10%;

2) Trimming

Pada tahap trimming, spesimen yang telah difiksasi kemudian dipotong setebal 2-4 mm dan masukkan potongan jaringan tersebut ke dalam embedding cassette. Dalam satu embedding cassete dapat berisi 1-5 buah potongan jaringan disesuaikan dengan ukuran dari besar kecilnya potongan. Setelah itu, cuci dengan air mengalir.

3) Dehydration

Pada tahap ini dilakukan perendaman jaringan dalam alkohol 80% selama 2 jam. Lalu dilakukan perendaman dalam alkohol 90% selama 2 jam. Setelah itu, dilanjutkan perendaman selama 1 jamdalam alkohol 90%. Kemudian potongan jaringan itu direndam dalam alkohol absolut 1 selama 1 jam, 1 jam dalam alkohol absolut II, dan 1 jam dalam alkohol absolut III.

4) Clearing

Pada tahap clearing, dilakukan perendaman potongan jaringan dalam xylol I. Setelah itu, direndam dalam xylol II dan xylol III. Masing-masing perendaman dilakukan selama 1 jam


(56)

Pada tahap impregnation, potongan jaringan diletakkan dalam paraffin I. Kemudian dalam paraffin II dan paraffin III. Masing-masing dilakukan selama 2 jam.

6) Embedding

Pada tahap ini sisa-sisa paraffin dibersihkan didalam pan dengan memanaskan pan beberapa saat diatas api dan diusap dengan kapas. Lalu paraffin cair disiapkan dengan memasukkan cangkir logam dan dimasukkan dalam oven dengan suhu diatas 580C. Kemudian paraffin cair dituangkan kedalam pan, satu persatu raingan dipindahkan dari embedding cassette kedasar pan dengan mengatur jarak satu dengan yang lainnya. Setelah itu, pan diapungkan didalam air. Bila pan telah dingin, paraffin yang berisi jaringan tersebut dilepaskan dari pan dengan memasukkan kedalam suhu 4-60C beberapa saat. Paraffin yang berisi jaringan lalu dipotong sesuai letak jaringan yang ada menggunakan skapel hangat. Selanjutnya, diletakkan pada balok kayu dan pinggirnya diratakan serta ujungnya dibuat sedikit meruncing. Blok paraffinsiap dipotong dengan mikrotom.

7) Cutting

Blok paraffin yang telah terbentuk didinginkan terlebih dahulu. Selanjutnya, dilakukan pemotongan blok paraffin di ruangan dingin. Dilakukan pemotongan kasar dan dilanjutkan dengan pemotongan halus dengan ketebalan 4-5 mikron. Setelah pemotongan, dipilih lembaran jaringan yang paling baik, kemudian diapungkan didalam air dan


(57)

45 kerutannya dihilangkan dengan cara menekan salah satu sisi lainnya ditarik menggunakan kuas yang runcing. Kemudian lembaran jaringan tersebut dipindahkan ke dalam wadah water bath selama beberapa detik sampai mengembang sempurna. Lembaran jaringan tersebut diambil dengan slide bersih. Ini dilakukan dengan gerakan menyendok. Lalu diletakkan ditengah atau pada sepertiga atas ataupun bawah. Usahakan jangan sampai ada gelembung udara dibawah jaringan.

8) Staining (pewarnaan) dengan Harris Hematoxylin Eosin

Setelah jaringan melekat sempuran pada slide dipilih yang terbaik. Selanjutnya secara berurutan slide dimasukkan kedalam zat kimia dibawah ini dengan waktu sebagai berikut :

a) Slide dimasukkan kedalam xylol I, II, III. Masing-masing dilakukan selama 5 menit.

b) Slide dimasukkan kedalam alkohol absolut I, dan alkohol absolut II. Masing-masing selama 5 menit.

c) Slide dicuci denganaquadestselama 1 menit.

d) Tuangkan bahan pewarna preparat Harris hematoxylin selama 20 menit, kemudian dicuci dengan aquadest selama 1 menit.

e) Slide dimasukkan kedalam acid alkohol sebanyak 2-3 celupan. Selanjutnya dimasukkan kedalam aquadest selama 1 menit. Lalu slide dicuci denganaquadest.

f) Celupkan slide kedalam eosin selama 2 menit. Setelah itu, masukkan kedalam alkohol 96% I selama 2 menit, dan alkohol 96% II selama 3 menit. Selanjutnya dicelupkan kedalam alkohol absolut III dan


(58)

g) Celupkan kedalam xylol IV. Lalu kedalam xylol V, masing-,masing dilakukan selama 5 menit.

9) Mounting

Setelah proses pewarnaan selesai, slide ditempatkan diatas kertas tissue pada tempat datar. Slide diteteskan dengan bahan mounting yaitu kanada balsam. Kemudian ditutup dengan cover glass. Lakukan secara hati-hati agar tidak terbentuk gelembung udara dibawah jaringan.

10) Pembacaan slide dengan mikroskop

Slide diperiksa dibawah mikroskop sinar dengan perbesaran 100 kali, 200 kali, atau 400 kali.

G. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel Independen

a) Perlakuan coba : Pemberian perlakuan dengan ekstrak tempe dengan dosis 0,27ml/gbb, 0,54ml/gbb, dan 1,08ml/gbb. Serta pemberian parasetamol 2,25ml/200gr/hari.

b) Perlakuan kontrol patologis : Pemberian parasetamol 2,25ml/200gr/hari tanpa pemberian ekstrak tempe.

c) Perlakuan kontrol normal : pemberian akuades

2. Variabel Dependen


(59)

47 H. Definisi Operasional

Untuk memudahkan pelaksanaan penelitian dan agar penelitian tidak menjadi terlalu luas, maka dibuat definisi operasional sebagai berikut :

Tabel 2.Definisi Operasional

NO VARIABEL DEFINISI SKALA

1. Dosis ekstrak tempe

Dosis ekstrak tempe yang diberikan kepada tikus, yaitu dosis I = 0,27 ml/hari untuk kelompok I, dosis II = 0,54 ml/hari untuk kelompok II, dan dosis III = 1,08ml/hr untuk kelompok III.

Numerik

2. Parasetamol Parasetamol yang diberikan dalam satu hari untuk satu ekor tikus sebanyak 2, 25 ml/200 gr/ hari

Numerik

3. Gambaran histopatologi ginjal

Bagian yang diamati adalah gambaran kerusakan tubulus

proksimal ginjal tikus dilihat dengan melakukan pengamatan sediaan histopatologi dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan

pembesaran 400x pada 10 lapang pandang. Kerusakan tubulus proksimal ditandai dengan adanya pembengkakan sel. Persentase tubulus proksimal yang rusak tiap lapang pandang dijumlahkan dan dirata-ratakan.

Numerik

I. Analisis data

Sampel penelitian ini dibagi menjadi 5 kelompok, terdiri dari 1 kelompok kontrol dan 4 kelompok perlakuan. Data-data yang terkumpul pada tiap-tiap kelompok dianalisis menggunakan program SPSS 17.0 for Windows (Sarwono, J., 2010). Tahap pertama dilakukan uji normalitas (uji Kolmogorov-Sminovdan ujiSaphiro-Wilk) dan uji homogenitas terhadap data sel tubulus proksimal ginjal. Jika hasil uji menunjukkan distribusi data adalah


(60)

ditunjukkan oleh nilai p (Sig.) > 0,05, kemudian dilanjutkan dengan uji one way ANOVA. Namun, apabila distribusi data tidak normal dan varians data tidak homogen (tidak memenuhi syarat parametrik) dilakukan uji Kruskal Wallis. Jika hasil uji one way ANOVA memberikan nilai p (Sig.) < 0,05, artinya terdapat perbedaan yang bermakna antar kelompok data penelitian, kemudian dilakukan analisis Post Hoc LSD (Least Significant Difference) untuk mengetahui lebih terperinci perbedaan antar kelompok penelitian tersebut, dimana perbedaan bermakna antar kelompok ditentukan oleh nilai p (Sig.)< 0,05.


(61)

DAFTAR PUSTAKA

Akoso,B., Satja, S., Sri, D., Budi, T., Margaretha, A. 1999. Manual Standar Metode Diagnosa Laboratorium Kesehatan Hewan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Astawan, M. 2005. Tempe Sumber Antioksidan dan Antibiotika. Info Teknologi Pangan. Instititut Pertanian Bogor. Diakses tanggal 21 Oktober 2012.

Astawan, M. 2009. Sehat Dengan Hidangan Kacang dan Biji-bijian. Penerbit Swadaya, Jakarta.

Astuti, M. 1999.History of The Development of Tempe. Didalam Agranoff, J.,hlm 2-13

Bagus, R. Bambang, R.B. 2008. Pengaruh Pemberian Ekstrak Kunyit Terhadap Gambaran Mikroskopis Ginjal Mencit yang diberi Parasetamol. Surabaya:Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Dorland W. A. N. 2002.Kamus Kedokteran Dorland.Edisi XXIX. Jakarta: EGC Eroschenko, P. V. 2003, Atlas Histologi di Fiore Dengan Korelasi

Fungsional.Terjemahan: Jan Tambayong, Edisi 9. EGC. Jakarta. Gartner J. P., Hiatt J. L. 2007.Color Text Book of Histology. 3thed.

Philadelphia: Elsevier Saunders, pp: 437-45.

Goodman L. S., Gilman A. 2008. Dasar Farmakologi Terapi. Edisi X. Jakarta: EGC, pp: 682-4.

Grace, Margareta. 2012. Pengaruh Nefroprotektor Jus Paprika Merah (Capsicum Annuum Var. Grossum) Terhadap Kerusakan Histologi Sel Ginjal Mencit yang diinduksi Parasetamol. UNS FK:Surakarta

Guyton ,A.C. 2007.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.EGC. Jakarta.

Hanifah,Lil. 2008.Pengaruh Pemberian Buah Pepaya (Carica Papaya) terhadap tingkat nekrosis Epitel Glomerulus dan Tubulus Ginjal mencit (Mus


(62)

Hermana, Mien K., Karyadi D. 1996. Komposisi dan Nilai Gizi Tempe Serta Manfaatnya Dalam Peningkatan Mutu Gizi Makanan.Bunga Rampai Tempe Indonesia. 6. 1-6.

Huang, H.T. 2000. Science and Civilisation in China, Cambridge: Cambridge University Press. Volume VI:5. 342 hlm.

Inagi R. 2009. Endoplasmic Reticulum Stress in the Kidney as a Novel Mediator of Kidney Injury. Nephron Exp Nephrol.112:e1-9.

Katzung B. G. 2002. Farmakologi dasar dan klinik. Alih Bahasa: Staf Dosen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Edisi ke- 6. Jakarta EGC.

Koppert W., Frotsch K, Huzurudin N., Boswald W., Greissinger N., Weisbach V., Schmeider R. E., Schuttler J. 2006. The Effect of Paracetamol and Parecoxib on Kidney Function in Elderly Patients Undergoing Orthopedic Surgery.Anesth Analg. 103:1170-6.

Lorz C., Justo P., Sanz A. B., Egido J., Ortiz A. 2005. Role of Bcl-xL in Paracetamol-Induced Tubular Epithelial Cell Death. Kidney Int.67:S14-8. Maser R. L., Vassmer D., Magenheimer B. S., Calvet J. P. 2002. Oxidant Stress

and Reduced Antioxidant Enzyme Protection in Polycystic Kidney Disease. J Am Soc Nephrol.13:991-9.

Mayes P. A. 2003. Struktur dan Fungsi Vitamin larut-Lipid. Dalam: Biokimia Harper. Edisi XXV. Jakarta: EGC, pp: 618-9.

Mitchell R. N., Cotran R. S. 2007. Jejas, Adaptasi, dan Kematian Sel. Dalam: Kumar V., Cotran R. S., Robbins S. L. (eds). Buku AjarPatologi Robbins Volume 1.Edisi VII. Jakarta: EGC, pp: 3, 26-7.

Moore, Keith L. 2002. Anatomi Klinis Dasar.Jakarta:Hipokrates.

Neal M. J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Edisi V. Jakarta: Erlangga, pp: 70, 94-5.

Ngatidjan. 1991. Petunjuk Laboratorium Metode Laboratorium. Dalam: Toksikologi. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Bioteknologi UGM, pp: 152-94.

Ojo O. O., Kabutu F. R., Bello M., Babayo U. 2006. Inhibition of Parcetamol-Induced Oxidative Stress in Rats by Extracts of Lemongrass (Cymbropogon citratus) and Green Tea (Camellia sinensis) in Rats. Afr J Biotech.5:1227-32


(63)

Price SA, Wilson LM. 2006. Pathophysiology Clinical Concepts of Disease Processes 4th Edition. Philadelphia: Mosby Year Book.

Priya R., Vasudha K. C. 2009. Antioxidant Vitamins in Chronic Renal Failure. Biomed Research.20:67-70.

Qomariyatus, S., Aris, M. 2008. Pembentukan Radikal Bebas. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.

Robbins, S. L., Cotran, R. S., Kumar, V. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins. Terjemahan Awal Prasetyo dan Brham U. Pendit. New York: Buku Kedokteran EGC.

Schnellman RG, Goldstein RS.2001. Toxic Responses of kidney. In KlaasenCD, editor. Casarett and doull’s toxicology the basic sciences of poisons.New

York : The Mc Graw-Hill.

Shetty K., Lin Y. T., McCue P., Labbe R. G., Randhir R., Ho C. Y. 2000. Low Microbial Load Sprouts with Enhanced Antioxidants forAstronaut Diet. Snell, R.S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. EGC:

Jakarta.

Suarsana, I.N., Susari, W., Wresdiyati, T., Suprayogi, A. 2006. Penggunaan Ekstrak Tempe Terhadap Fungsi Hati Tikus dalam Kondisi Stres. Jurnal Veteriner. 7(2). 54–61.

Sukandar E. 2006. Stres Oksidatif sebagai Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskular. Farmacia.6:1

Sulistianto, D.E.,Harini, M.,Hanjani,N.S. (2004).Pengaruh pemberian ekstrak mahkota dewa terhadap Hepar Tikus Putih setelah perlakuan dengan Karbon Tetraklorida(CCL4) secara oral.Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Taufiqqurohman M. A. 2008. Pengantar Metodologi Penelitian untuk Ilmu Kesehatan.UNSPress. Surakarta.

Wilmana PF. 2002. Analgesik-antipiretik analgesik anti inflamasi nonsteroid dan obat pirai. Di dalam :Ganiswara SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi, editor.Farmakologi dan terapi,edisi 4. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Winarsi H. 2007. Antioksidan Alami & Radikal Bebas. Yogyakarta:kanisius, pp: 82-77, 105-9, 147-55.

Yoshida Y., Niki E. 2003. Antioxidant Effects of Phytosterol and Its Components. J Nutr Sci Vitaminol.49:277-80.


(64)

N O M I N A E X T R A C T E F F E C T O N R E N A L H I S T O P A T H O L O G I C P I C T U R E I N W H I T E M A L E R A T S I N D U C E D P A R A C E T A M O L

by

ROHANA

Nomina has been used for natural food sources since time immemorial. Nomina has been proven to containt the active chemical compound that are antioxidants, but is still a few scientific evidence on the effect of nomina protective against kidney damage.

This research aming for to prove protective effect nomina extract againts the picture of kidney demagen and knowing increase dosage nomina extract with picture kidney demage of white male rats. This Subjek research use 25 white male rats with 5 replication in each group rats were divided into 5 group ,there are negative control (given aquades), positif control (given paracetamol 2,25 ml/200gr/day), group I (given nomina extract 0, 27 ml/day and paracetamol 2,25 ml/200 gr/ day), group II (given nomina extract 0,54 ml/day and paracetamol 2,25 ml/200gr/day), group III (given nomina extract1,08 ml/day and paracetamol 2,25 ml/200gr/day) occur 42 day this researchused a randomized controlled.

In day-42, rats has given kloroform and than surgery then kidney’s rats make to preparat with blog parafin metode and colouring Hematoksilin Eosin. Renal histopathological picture observe and calculate based on the amount of damage in the form swelling of cell in the proximal tubulus.The test result ofone way ANOVA, there is a picture the effect of treatment kidney damage mice was significantly. Analysis testPost-Hoc LSD it can result p<0,05so it’s meaning there is significant differences

damage to proximal tubulus in kidneys white male rats found between the groups. So, nomina have protective effect to kidney’s white male rats damage have

already induced paracetamol. The increasing dosage nomina it can increasing

protective effect to kidney’s white male rats damage have already induced

paracetamol.


(65)

ABSTRAK

P E N G A R U H P E M B E R IA N E K S T R A K T E M P E TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH JANTAN YANG DIINDUKSI

PARASETAMOL

Oleh

ROHANA

Tempe telah digunakan sebagai sumber makanan alami sejak zaman dahulu. Tempe telah terbukti mengandung senyawa kimia aktif yang bersifat antioksidan, namun sampai saat ini masih sedikit pembuktian ilmiah tentang efek protektif tempe terhadap kerusakan ginjal yang terpapar parasetamol.

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan efek protektif ekstrak tempe terhadap gambaran kerusakan ginjal dan mengetahui hubungan peningkatan dosis ekstrak tempe dengan gambaran kerusakan ginjal pada tikus putih jantan. Subjek penelitian menggunakan 25 ekor tikus putih jantan dengan 5 ulangan pada tiap kelompok. Tikus putih dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kontrol negatif (diberi aquades), kontrol positif (diberi parasetamol 2,25 ml/200gr/hari), kelompok perlakuan I (diberi ekstrak tempe0, 27 ml/hari danparasetamol 2,25 ml/200 gr/ hari), kelompok perlakuan II (diberi ekstrak tempe 0,54 ml/hari dan parasetamol 2,25 ml/200gr/hari), kelompok perlakuan III (diberi ekstrak tempe1,08 ml/hari dan parasetamol 2,25 ml/200gr/hari) selama 42 hari. Penelitian ini menggunakan rancangan acak terkontrol.

Harike-42, tikus diberi kloroform lalu dilakukan pembedahan kemudian ginjal tikus dibuat preparat dengan metode blok parafin dan pengecatan Hematoksilin Eosin.Gambaran histopatologi ginjal diamati dan dihitung berdasarkan jumlah kerusakan berupa adanya pembengkakan sel pada tubulus proksimal. Hasil uji one way ANOVA terdapat pengaruh pemberian perlakuan terhadap gambaran kerusakan


(66)

Tempe terbukti memiliki efek protektif terhadap kerusakan ginjal tikus putih jantan yang diinduksi parasetamol. Peningkatan dosis tempe dapat meningkatkan efek protektif terhadap kerusakan ginjal tikus putih jantan yang diinduksi parasetamol. Kata kunci: Tempe, Efek protektif, Tubulus proksimal ginjal, Parasetamol


(67)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Kandungan zat gizi tempe……….………...….... 32

2. Definisi operasional………..……….……...…47

3. Hasil rata-rata gambaran kerusakan tubulus proksimal………... 53


(68)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka teori pengaruh pemberian ekstrak tempe pada tikus…………... 7

2. Kerangka konsep………...………. 8

3. Anatomi ginjal……….………....……10

4. Gambaran skematik nefron ginjal …..………11

5. Gambaran histologi korpuskel ginjal……..……….……….. 12

6. Gambaranhistologi korpuskel ginjal………..…... 12

7. Irisan melintang kortek ginjal……….…15

8. Tempe ...……….……….…25

9. Diagram Pelaksanaan Penelitian……….... 42

10.Kelompok kontrol negatif………...……….... 50

11. Kelompok kontrolpositif………... 51

12.Kelompok perlakuan I………... 51

13.Kelompok perlakuan II………...……. 52

14.Kelompok perlakuan III………...…52 .


(1)

Price SA, Wilson LM. 2006. Pathophysiology Clinical Concepts of Disease Processes 4th Edition. Philadelphia: Mosby Year Book.

Priya R., Vasudha K. C. 2009. Antioxidant Vitamins in Chronic Renal Failure. Biomed Research.20:67-70.

Qomariyatus, S., Aris, M. 2008. Pembentukan Radikal Bebas. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.

Robbins, S. L., Cotran, R. S., Kumar, V. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins. Terjemahan Awal Prasetyo dan Brham U. Pendit. New York: Buku Kedokteran EGC.

Schnellman RG, Goldstein RS.2001. Toxic Responses of kidney. In KlaasenCD, editor. Casarett and doull’s toxicology the basic sciences of poisons.New York : The Mc Graw-Hill.

Shetty K., Lin Y. T., McCue P., Labbe R. G., Randhir R., Ho C. Y. 2000. Low Microbial Load Sprouts with Enhanced Antioxidants forAstronaut Diet. Snell, R.S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. EGC:

Jakarta.

Suarsana, I.N., Susari, W., Wresdiyati, T., Suprayogi, A. 2006. Penggunaan Ekstrak Tempe Terhadap Fungsi Hati Tikus dalam Kondisi Stres. Jurnal Veteriner. 7(2). 54–61.

Sukandar E. 2006. Stres Oksidatif sebagai Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskular. Farmacia.6:1

Sulistianto, D.E.,Harini, M.,Hanjani,N.S. (2004).Pengaruh pemberian ekstrak mahkota dewa terhadap Hepar Tikus Putih setelah perlakuan dengan Karbon Tetraklorida(CCL4) secara oral.Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Taufiqqurohman M. A. 2008. Pengantar Metodologi Penelitian untuk Ilmu Kesehatan.UNSPress. Surakarta.

Wilmana PF. 2002. Analgesik-antipiretik analgesik anti inflamasi nonsteroid dan obat pirai. Di dalam :Ganiswara SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi, editor.Farmakologi dan terapi,edisi 4. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Winarsi H. 2007. Antioksidan Alami & Radikal Bebas. Yogyakarta:kanisius, pp: 82-77, 105-9, 147-55.

Yoshida Y., Niki E. 2003. Antioxidant Effects of Phytosterol and Its Components. J Nutr Sci Vitaminol.49:277-80.


(2)

N O M I N A E X T R A C T E F F E C T O N R E N A L H I S T O P A T H O L O G I C P I C T U R E I N W H I T E M A L E R A T S I N D U C E D P A R A C E T A M O L

by

ROHANA

Nomina has been used for natural food sources since time immemorial. Nomina has been proven to containt the active chemical compound that are antioxidants, but is still a few scientific evidence on the effect of nomina protective against kidney damage.

This research aming for to prove protective effect nomina extract againts the picture of kidney demagen and knowing increase dosage nomina extract with picture kidney demage of white male rats. This Subjek research use 25 white male rats with 5 replication in each group rats were divided into 5 group ,there are negative control (given aquades), positif control (given paracetamol 2,25 ml/200gr/day), group I (given nomina extract 0, 27 ml/day and paracetamol 2,25 ml/200 gr/ day), group II (given nomina extract 0,54 ml/day and paracetamol 2,25 ml/200gr/day), group III (given nomina extract1,08 ml/day and paracetamol 2,25 ml/200gr/day) occur 42 day this researchused a randomized controlled.

In day-42, rats has given kloroform and than surgery then kidney’s rats make to preparat with blog parafin metode and colouring Hematoksilin Eosin. Renal histopathological picture observe and calculate based on the amount of damage in the form swelling of cell in the proximal tubulus.The test result ofone way ANOVA, there is a picture the effect of treatment kidney damage mice was significantly. Analysis testPost-Hoc LSD it can result p<0,05so it’s meaning there is significant differences damage to proximal tubulus in kidneys white male rats found between the groups.

So, nomina have protective effect to kidney’s white male rats damage have already induced paracetamol. The increasing dosage nomina it can increasing protective effect to kidney’s white male rats damage have already induced paracetamol.


(3)

ABSTRAK

P E N G A R U H P E M B E R IA N E K S T R A K T E M P E TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH JANTAN YANG DIINDUKSI

PARASETAMOL

Oleh

ROHANA

Tempe telah digunakan sebagai sumber makanan alami sejak zaman dahulu. Tempe telah terbukti mengandung senyawa kimia aktif yang bersifat antioksidan, namun sampai saat ini masih sedikit pembuktian ilmiah tentang efek protektif tempe terhadap kerusakan ginjal yang terpapar parasetamol.

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan efek protektif ekstrak tempe terhadap gambaran kerusakan ginjal dan mengetahui hubungan peningkatan dosis ekstrak tempe dengan gambaran kerusakan ginjal pada tikus putih jantan. Subjek penelitian menggunakan 25 ekor tikus putih jantan dengan 5 ulangan pada tiap kelompok. Tikus putih dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kontrol negatif (diberi aquades), kontrol positif (diberi parasetamol 2,25 ml/200gr/hari), kelompok perlakuan I (diberi ekstrak tempe0, 27 ml/hari danparasetamol 2,25 ml/200 gr/ hari), kelompok perlakuan II (diberi ekstrak tempe 0,54 ml/hari dan parasetamol 2,25 ml/200gr/hari), kelompok perlakuan III (diberi ekstrak tempe1,08 ml/hari dan parasetamol 2,25 ml/200gr/hari) selama 42 hari. Penelitian ini menggunakan rancangan acak terkontrol.

Harike-42, tikus diberi kloroform lalu dilakukan pembedahan kemudian ginjal tikus dibuat preparat dengan metode blok parafin dan pengecatan Hematoksilin Eosin.Gambaran histopatologi ginjal diamati dan dihitung berdasarkan jumlah kerusakan berupa adanya pembengkakan sel pada tubulus proksimal. Hasil uji one way ANOVA terdapat pengaruh pemberian perlakuan terhadap gambaran kerusakan


(4)

putih ditemukan antara tiap kelompok.

Tempe terbukti memiliki efek protektif terhadap kerusakan ginjal tikus putih jantan yang diinduksi parasetamol. Peningkatan dosis tempe dapat meningkatkan efek protektif terhadap kerusakan ginjal tikus putih jantan yang diinduksi parasetamol. Kata kunci: Tempe, Efek protektif, Tubulus proksimal ginjal, Parasetamol


(5)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Kandungan zat gizi tempe……….………...….... 32

2. Definisi operasional………..……….……...…47

3. Hasil rata-rata gambaran kerusakan tubulus proksimal………... 53


(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka teori pengaruh pemberian ekstrak tempe pada tikus…………... 7

2. Kerangka konsep………...………. 8

3. Anatomi ginjal……….………....……10

4. Gambaran skematik nefron ginjal …..………11

5. Gambaran histologi korpuskel ginjal……..……….……….. 12

6. Gambaranhistologi korpuskel ginjal………..…... 12

7. Irisan melintang kortek ginjal……….…15

8. Tempe ...……….……….…25

9. Diagram Pelaksanaan Penelitian……….... 42

10.Kelompok kontrol negatif………...……….... 50

11. Kelompok kontrolpositif………... 51

12.Kelompok perlakuan I………... 51

13.Kelompok perlakuan II………...……. 52

14.Kelompok perlakuan III………...…52 .


Dokumen yang terkait

Pengaruh pemberian ekstrak etanol buah muda mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap gambaran histopatologi nekrosis sel hepar tikus putih jantan (Rattus norvegicus strain wistar) yang diinduksi parasetamol

2 7 26

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH MAHKOTA DEWA (Phaleria macrocarpa) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI HEPAR TIKUS PUTIH YANG DIINDUKSI ISONIAZID

4 40 83

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH MAHKOTA DEWA (Phaleria macrocarpa) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) GALUR SPRAGUE DAWLEY YANG DIINDUKSI RIFAMPISIN

6 25 78

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL 40% KULIT MANGGIS (Garcinia mangostana L.) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH JANTAN YANG DIINDUKSI RIFAMPISIN

2 30 64

PENGARUH PEMBERIAN MINYAK JELANTAH TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 26 71

UJI EFEK PEMBERIAN EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma Uji Efek Pemberian Ekstrak Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb.) Terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Putih Jantan Galur Wistar Yang Diinduksi Parasetamol.

0 8 15

UJI EFEK PEMBERIAN EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma Uji Efek Pemberian Ekstrak Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb.) Terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Putih Jantan Galur Wistar Yang Diinduksi Parasetamol.

0 3 14

DAFTAR PUSTAKA Uji Efek Pemberian Ekstrak Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb.) Terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Putih Jantan Galur Wistar Yang Diinduksi Parasetamol.

0 2 4

Pengaruh Pemberian Propolis Terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Yang Diberikan Parasetamol Dosis Tinggi.

0 0 12

Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Daun Sirsak Terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Yang Diinduksi Dmba

0 1 8