Kinerja Penyuluh Pertanian di Kabupaten Pidie Provinsi Aceh

KINERJA PENYULUH PERTANIAN DI KABUPATEN PIDIE
PROVINSI ACEH

MUJIBURRAHMAD

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kinerja Penyuluh
Pertanian di Kabupaten Pidie Provinsi Aceh adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014

Mujiburrahmad
NRP I351120021

RINGKASAN
MUJIBURRAHMAD. Kinerja Penyuluh Pertanian di Kabupaten Pidie Provinsi
Aceh. Dibimbing oleh PUDJI MULJONO dan DWI SADONO.
Kondisi penyuluhan selama dekade terakhir ini banyak mengalami
kemunduran, kemandulan dan stagnasi. Hal ini terjadi secara nasional dan kondisi
tersebut juga terjadi di Kabupaten Pidie sehingga maju mundurnya penyuluh
sangat bergantung dari apresiasi dari pemegang kebijakan di masing-masing
daerah dalam memahami tugas dan fungsi strategis penyuluhan pertanian dalam
membangun sistem dan usaha agribisnis. Berbagai program dan hasil yang telah
dicapai tersebut tentunya tidak terlepas dari peran penyuluh pertanian dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam membina petani. Pada
pelaksanaannya program penyuluhan, tugas dan tanggung jawab penyuluh
pertanian jelas, sehingga mereka berupaya menciptakan kinerja yang baik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi tingkat kinerja penyuluh
pertanian dalam melaksanakan tugasnya, serta menganalisis faktor–faktor yang
berhubungan dengan kinerja penyuluh pertanian. Metode yang digunakan dalam
pengumpulan data adalah sensus dan menggunakan paradigma kuantitatif.

Penelitian dilakukan di Kabupaten Pidie Provinsi Aceh. Pengumpulan data
dilaksanakan dari bulan Februari 2014 sampai dengan April 2014 dengan
menggunakan kuisioner, wawancara, pengamatan dan studi literatur. Populasi
dalam penelitian ini adalah 47 orang, dengan rincian 34 orang penyuluh tanaman
pangan serta 13 orang penyuluh tanaman holtikultura. Terkait dengan penggunaan
teknik pengambilan sampel secara sensus, maka jumlah responden dalam
penelitian ini adalah sebanyak 47 orang. Data yang diperoleh ditabulasi dan
selanjutnya dianalisis dengan menggunakan uji korelasi rank Spearman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kinerja penyuluh pertanian di
Kabupaten Pidie secara keseluruhan hasil kinerjanya berada dalam kategori
rendah. Hal ini disebabkan oleh rendahnya beberapa aspek kinerja yaitu: evaluasi
dan pelaporan, pengembangan penyuluhan pertanian, pengembangan profesi
termasuk dan penunjang tugas penyuluh pertanian. Faktor karakteristik internal
penyuluh pertanian yang berhubungan dengan kinerja penyuluh adalah: masa
kerja, dan jumlah kelompok binaan, sedangkan yang tidak berhubungan adalah:
umur, tingkat pendidikan formal, motivasi kerja dan pemanfaatan media. Faktor
eksternal karakteristik petani yang berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh
adalah: dukungan administrasi dan kondisi lingkungan kerja, sedangkan yang
tidak berhubungan nyata adalah: ketersediaan prasarana dan sarana, keterjangkuan
daerah tempat bekerja dan tingkat partisipasi aktif petani. Faktor kompetensi tugas

penyuluh yang berhubungan dengan kinerja penyuluh pertanian adalah: penerapan
prinsip belajar orang dewasa, kemampuan berkomunikasi dan kemampuan
bekerjasama, sedangkan pengelolaan program penyuluhan dan pengelolaan
kegiatan penyuluhan tidak berhubungan nyata.
Key words: penyuluh pertanian, kinerja, karakteristik, kompetensi

SUMMARY
MUJIBURRAHMAD. Performance of Agricultural Extension in Pidie District
Aceh Province. Supervised by PUDJI MULJONO and DWI SADONO.
Illumination conditions during the last decade many setbacks, sterility and
stagnation. This happens nationally and these conditions also occur in Pidie
district so that reciprocation of extension is very dependent on the appreciation of
the policy holder in each region in understanding the duties and functions of
agricultural extension in developing strategic and agribusiness system. Various
programs and the results achieved must not be separated from the role of
agricultural extension workers in carrying out their duties and responsibilities in
fostering farmer. In the implementation of extension programs, duties and
responsibilities clearly agricultural extension, so they strive to create a good
performance.
This study aimed to identify the level of performance of agricultural

extension in carrying out their duties, and to analyze factors associated with the
performance of agricultural extension. The method used in the census and data
collection is to use quantitative paradigm. The study was conducted in Pidie
District of Aceh Province. The data collection was carried out from February 2014
to April 2014 using questionnaires, interviews, observation and study of literature.
The population in this study was 47, with details of the extension 34 food crops
and 13 extension horticulture crops. Associated with the use of sampling
techniques in the census, the number of respondents in this study were as many as
47 people. The data obtained were tabulated and analyzed by using the Spearman
rank correlation test.
The results showed that the level of performance of agricultural extension in
Pidie district overall performance results are in the low category. This is due to
lower some aspects of performance, namely: evaluation and reporting,
development of agricultural extension, and supporting professional development
including agricultural extension task. Internal characteristics of agricultural
extension factors related to the performance of extension are: years of service, and
the number of auxiliaries, whereas unrelated are: age, level of formal education,
motivation and use of media. External factors related to the characteristics of real
farmers with extension performance are: administrative support and working
conditions, while not significantly correlated are: the availability of facilities and

infrastructure, affordability of the area where the work and the level of active
participation of farmers. Extension task competence factors related to the
performance of agricultural extension are: the application of adult learning
principles, communication skills and ability to work together, while the
counseling program management and management of extension activities are not
related.
Key words: agricultural extension, performance, characteristics, competencies

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

KINERJA PENYULUH PERTANIAN DI KABUPATEN PIDIE
PROVINSI ACEH


MUJIBURRAHMAD

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Aida Vitayala S Hubeis
Penguji Program Studi

: Prof Dr Ir Sumardjo MS

Judul Tesis : Kinerja Penyuluh Pertanian di Kabupaten Pidie Provinsi Aceh

Nama
: Mujiburrahmad
NIM
: I351120021

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Pudji Muljono, MSi
Ketua

Dr Ir Dwi Sadono, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Penyuluhan
Pembangunan


Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof Dr Ir Sumardjo, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 23 Juli 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah
Kinerja Penyuluh Pertanian di Kabupaten Pidie Provinsi Aceh.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Pudji Muljono, MSi dan
Dr Ir Dwi Sadono, MSi selaku pembimbing yang tak mengenal lelah, kesabaran
yang luar biasa dan saran yang hebat serta segala kemudahan yang diperoleh
penulis selama penelitian dan penulisan tesis ini. Terimakasih kepada Bapak Prof
Dr Ir Sumardjo, MS selaku ketua program studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan,

Ibu Prof Dr Ir Aida Vitayala S Hubeis selaku dosen penguji pada ujian tesis, dan juga
seluruh dosen pada program studi PPN IPB.
Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, atas Beasiswa BPPS yang diberikan. Ucapan terimakasih juga
disampaikan kepada seluruh responden, informan, dan narasumber lainnya
khususnya yang ada di Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan
(BPPKP) Kabupaten Pidie dan di instansi Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh
Pidie.
Ungkapan terima kasih kepada sahabat seperjuangan angkatan 2012 PPN,
Bang Firmansyah (P’Men), Aan Hermawan, Ismi, Nurul, Rindi, Mbak Annisa,
Mbak Lina, Delki, Dek Isni, Bang Muhib, Enik, dan Azwar atas dukungan dan
kebersamaan selama ini.
Akhirnya, ungkapan rasa syukur dan terima kasih untuk orang tua tercinta
ayah (Alm) Musa Thaib dan ibu Nyak Maneh yang telah bersusah payah
melahirkan, merawat, membesarkan, dan mendidik penulis sehingga bisa
menempuh pendidikan tinggi hingga seperti sekarang ini, serta dukungan penuh
seluruh keluarga yang tidak putus-putusnya mengiringi penulis dengan materi dan
do’a.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.


Bogor, Agustus 2014
Mujiburrahmad

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian

Manfaat Penelitian

1
1
4
6
6

TINJAUAN PUSTAKA
Penyuluhan Pertanian
Penyuluh Pertanian
Karakteristik Internal Penyuluh
Karakteristik Eksternal Penyuluh
Kompetensi Penyuluh Pertanian
Kinerja Penyuluh Pertanian
Tugas Penyuluh Pertanian
Kerangka Berpikir dan Hipotesis Penelitian

6
6
8
10
12
14
19
20
22

METODE
Rancangan dan Lokasi Penelitian
Populasi dan Responden Penelitian
Data dan Instrumenasi
Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Analisis Data
Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah

25
25
25
25
26
28
28

HASIL DAN PEMBAHASAN
Wilayah Penelitian
Karakteristik Internal Penyuluh
Karakteristik Eksternal Penyuluh
Kompetensi Penyuluh Pertanian
Kinerja Penyuluh Pertanian
Hubungan Karakteristik Internal Penyuluh dengan Kinerja Penyuluh
Hubungan Karakteristik Eksternal Penyuluh dengan Kinerja Penyuluh
Hubungan Karakteristik Kompetensi dengan Kinerja Penyuluh

31
31
35
40
45
47
53
56
59

SIMPULAN DAN SARAN

62

DAFTAR PUSTAKA

63

LAMPIRAN

68

DAFTAR TABEL
1
2
3

Sebaran mata pencaharian penduduk di Kabupaten Pidie
Kondisi pengairan lahan persawahan di Kabupaten Pidie
Sasaran luas tanam, panen, produktivitas dan produksi komoditas
pertanian tanaman pangan di Kabupaten Pidie
4 Distribusi penyuluh pertanian berdasarkan kecamatan dan kekurangan
penyuluh
5 Rasio antara jumlah penyuluh dengan petani, luas wilayah binaan,
jumlah BPP dan jumlah BOP
6 Karakteristik internal penyuluh di Kabupaten Pidie tahun 2014
7 Karakteristik eksternal penyuluh di Kabupaten Pidie tahun 2014
8 Kompetesi penyuluh pertanian di Kabupaten Pidie tahun 2014
9 Tingkat kinerja penyuluh pertanian di Kabupaten Pidie tahun 2014
10 Hubungan karakteristik internal dengan kinerja penyuluh pertanian
11 Hubungan karakteristik eksternal dengan kinerja penyuluh pertanian
12 Hubungan kompetensi tugas dengan kinerja penyuluh pertanian

32
32
33
34
35
36
41
45
48
54
57
60

DAFTAR GAMBAR
1

Kerangka berpikir operasional kinerja penyuluh pertanian di Kabupaten
Pidie Provinsi Aceh

24

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Lokasi penelitian
Hasil analisis korelasi
Dokumentasi penelitian

68
69
72

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sektor pertanian hingga kini masih memiliki peranan yang strategis dalam
pembangunan nasional, baik bagi pertumbuhan ekonomi maupun pemerataan
pembangunan. Peran strategis sektor pertanian bagi pertumbuhan ekonomi antara
lain: penyedia pangan bagi penduduk Indonesia, penghasil devisa negara melalui
ekspor, penyedia bahan baku industri, peningkatan kesempatan kerja dan usaha,
peningkatan PDB, pengentasan kemiskinan dan perbaikan SDM pertanian melalui
kegiatan penyuluhan pertanian. Sesuai dengan visi pembangunan pertanian adalah
terwujudnya pertanian tangguh untuk pemantapan ketahanan pangan, peningkatan
nilai tambah dan daya saing produk pertanian serta peningkatan kesejahteraan
petani. Untuk mewujudkan ketahanan pangan suatu wilayah, diperlukan kebijakan
pemerintah yang lebih berpihak kepada petani agar seluruh rangkaian proses
produksi pertanian dapat berjalan dengan optimal melalui pencapaian produksi
dan stabilitas (kepastian) harga yang menempatkan petani pada posisi tawar yang
menguntungkan. Pencapaian tersebut dapat terlaksana bila didukung juga oleh
kondisi sumberdaya manusia petani dan aparatur yang berkualitas
(Departemen Pertanian 2012).
Penyuluhan pertanian di Indonesia saat ini mendapatkan payung hukum
dalam pembangunan pertanian sejak diterbitkannya Undang Undang Nomor 16
Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
(UU SP3K). Lahirnya UU ini dapat dimaknai sebagai upaya untuk mewujudkan
revitalisasi pertanian, dimana pertanian dipandang secara luas yang meliputi
pertanian, perikanan dan kehutanan. UU SP3K tersebut dapat digunakan oleh
pemerintah pusat maupun daerah dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan
pertanian di Indonesia. Konsekuensinya adalah pembenahan pelaksanaan
penyuluhan pertanian di Indonesia. Pembenahan tersebut meliputi aspek
kelembagaan, aspek sumberdaya manusia, baik penyuluh maupun petani,
disamping aspek lainnya. Dalam hal kelembagaan, pada setiap tingkatan (pusat,
propinsi, kabupaten, dan kecamatan) telah dirancang bentuk-bentuk kelembagaan
dengan fungsi dan tugasnya masing-masing. Sejalan dengan itu Leeuwis (2009)
menyatakan bahwa sampai saat ini, penyuluhan terutama dilihat sebagai suatu
fungsi, sangat penting dalam membantu perkembangan pengetahuan dan alih
tekhnologi diantara para petani dan peneliti, atau diantara para petani itu sendiri.
Undang-undang No. 16 Tahun 2006 disebutkan bahwa pembangunan
pertanian, perikanan, dan kehutanan yang berkelanjutan merupakan suatu
keharusan untuk memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan bahan baku industri,
memperluas lapangan kerja dan berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat
khususnya petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan,
dan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan untuk mengentaskan
masyarakat dari kemiskinan khususnya di pedesaan, meningkatkan pendapatan
nasional serta menjaga kelestarian lingkungan. Hal yang perlu dilakukan untuk
meningkatkan peran sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan adalah dengan

2
cara meningkatkan sumberdaya manusia yang berkualitas, andal, serta
berkemampuan manajerial, kewirausahaan, dan organisasi bisnis sehingga pelaku
pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan mampu membangun usaha
dari hulu sampai dengan hilir yang berdaya saing tinggi dan mampu berperan
serta dalam melestarikan hutan dan lingkungan hidup sejalan dengan prinsip
pembangunan berkelanjutan.
Penyuluh dapat didefinisikan sebagai seseorang yang atas nama pemerintah
atau lembaga penyuluhan berkewajiban untuk mempengaruhi proses pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh sasaran untuk menghadapi inovasi. Lebih lanjut
UU No. 16 Tahun 2006 menyebutkan penyuluh adalah perorangan, WNI bisa
Pegawai Negeri Sipil, penyuluh swasta dan penyuluh swadaya. Permen PAN No.
2 Tahun 2008 menegaskan Penyuluh Pertanian adalah Jabatan Fungsional yang
memiliki ruang lingkup tugas, tanggung jawab
dan wewenang penyuluhan pertanian yang diduduki oleh Pegawai Negeri
Sipil yang diberi hak serta kewajiban secara penuh oleh pejabat yang berwenang.
Penyuluh pegawai negeri sipil yang selanjutnya disebut penyuluh PNS
adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan
hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi lingkup
pertanian, perikanan, atau kehutanan untuk melakukan kegiatan penyuluhan.
Penyelenggaraan penyuluhan dapat dilaksanakan oleh pelaku utama (petani) dan
atau warga masyarakat sebagai mitra pemerintah dan pemerintah daerah, baik
secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama, yang dilaksanakan secara terintegrasi
dengan programa pada tiap-tiap tingkatan administrasi pemerintah
(Departemen Pertanian 2012).
Kinerja penyuluh pertanian yang baik merupakan dambaan setiap
stakeholder pertanian. Petani yang terbelenggu kemiskinan merupakan ciri bahwa
penyuluhan pertanian masih perlu untuk terus meningkatkan perannya dalam
rangka membantu petani memecahkan masalah mereka sendiri terutama dalam
aspek usahatani.
Menurut Herbenu (2007) kinerja penyuluh pertanian merupakan capaian
hasil kerja penyuluh dalam melaksanakan tugas–tugas yang dibebankan
kepadanya, didasarkan atas kemampuan, pengalaman dan kesungguhan serta
penggunaan waktu. Kinerja penyuluh akan baik bila penyuluh telah melaksanakan
unsur–unsur yang terdiri dari kesetiaan dan komitmen yang tinggi pada tugas
menyiapkan kegiatan penyuluhan, kedisiplinan dan kreativitas dalam
melaksanakan kegiatan penyuluhan, kerjasama dengan petani dan pihak yang
terkait dalam pengembangan usahatani, kepemimpinan yang menjadi panutan,
kepribadian yang baik, jujur dan objektif dalam membina petani, serta
tanggungjawab terhadap tugas.
Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 mencantumkan bahwa penyuluh
pertanian harus mempunyai kemampuan, keterampilan dan semangat kerja untuk
memajukan pertanian di Indonesia. Namun dalam kenyataannya tidak semua
penyuluh mempunyai kemampuan, ketrampilan dan semangat kerja seperti yang
tercantum dalam undang-undang. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi
kinerja, antara lain: kepemimpinan, motivasi, lingkungan kerja, insentif, budaya
kerja, komunikasi, pemberian gizi pegawai, pelatihan dan masih banyak yang
lainnya. Semua faktor itu pasti berpengaruh ada yang dominan dan ada juga yang
tidak. Hal ini bisa dipahami karena masing masing individu penyuluh mempunyai

3
latar belakang pendidikan, pengalaman, motivasi, kemampuan dasar, dan hal
lainnya yang berbeda, yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja mereka. Oleh
karena itu kehadiran seorang pemimpin yang mampu memotivasi, menyamakan
persepsi, menyatukan visi dan misi, sangat dibutuhkan.
Pada masa orde baru, penyuluhan pertanian dicitrakan sebagai alat
pemerintah dalam membantu pemerintah menciptakan swasembada pangan
dengan pendekatan peningkatan produksi usahatani oleh petani. Penyuluhan
pertanian saat itu sangat diperhatikan dan dinilai sukses mengantarkan
swasembada pangan. Selanjutnya, pada masa orde reformasi, penyuluhan
pertanian mengalami masa yang suram terutama dengan perubahan kelembagaan
penyuluhan itu sendiri dengan keluarnya undang-undang pemerintahan daerah
tentang otonomi daerah yang secara langsung berdampak pada kinerja penyuluh
pertanian.
Keberhasilan penyuluhan pertanian di masa orde baru cenderung
menggunakan pendekatan dipaksa, terpaksa dan biasa. Petani dipaksa untuk
menerima teknologi tertentu, sehingga petani terpaksa melakukannya, dan
kemudian petani menjadi biasa melakukannya, yang pada akhirnya petani akan
meningkat kemampuannya sehingga dapat meningkatkan produktivitas
usahataninya. Dalam era reformasi dan otonomi sekarang ini, pendekatan dari atas
tentunya sudah tidak relevan lagi karena yang diinginkan adalah petani dan
keluarganya mengelola usahataninya dengan penuh kesadaran, bukan terpaksa,
serta mampu melakukan pilihan-pilihan yang tepat dari alternatif yang ada, yang
ditawarkan penyuluh pertanian dan pihak-pihak lain. Dengan pilihannya itu maka
petani menjadi yakin bahwa dia akan dapat mengelola usahataninya dengan
produktif, efisien dan menguntungkan serta berdaya saing tinggi. Dalam
melakukan pilihan inilah, petani mendapatkan bantuan dari penyuluh pertanian
dan pihak lain yang berkepentingan dalam bentuk hubungan kemitraan sehingga
tidak terjadi pemaksaan.
Penyuluh pertanian merupakan ujung tombak yang bersentuhan langsung
dengan masyarakat khususnya petani dalam kedudukan tersebut sudah seharusnya
penyuluh memiliki berbagai peran yang dapat menunjang tugas dan fungsinya
dalam memajukan petani. Hal tersebut terutama karena masalah yang dihadapi di
lapangan tidak saja menyangkut persoalan usahatani semata, melainkan berbagai
persoalan, baik masalah sosial, budaya, tingkat pengetahuan, maupun kepercayaan
masyarakat petani. Oleh karena itu, penyuluh dituntut untuk menggunakan
pendekatan yang beragam dalam membantu menyelesaikan persoalan petani.
Namun demikian, kenyataan yang terjadi pada saat ini menunjukkan bahwa
pada tiga darsawarsa terakhir ini kondisi penyuluhan pertanian berada pada posisi
yang cukup memprihatinkan. Mereka diharapkan sebagai ujung tombak
pembaharuan teknologi produksi pertanian, ternyata tombak yang dimiliki tumpul
dan belum pantas disebut tombak pembaharuan. Mereka diharapkan dapat
mengatasi permasalahan teknologi pertanian dan manajemen produksi petani,
akan tetapi kenyataannya mereka mempunyai permasalahan internal organisasi
yang kurang mendukung peran mulia yang dipikulkan kepada mereka.
Upaya mengatasi permasalahan tersebut diharapkan respon baik dari
pemerintah daerah untuk membangun sistem penyuluhan dan penyelenggaraan
penyuluhan yang terintegrasi. Untuk mencapai hal ini, perlu adanya sosialisasi
secara luas kepada seluruh pemangku kepentingan untuk membangun kesamaan

4
persepsi dalam operasionalisasinya sehingga penyelenggaraan penyuluhan
pertanian dapat berjalan dengan produktif, efektif dan efesien di setiap tingkatan
dalam satu kelembagaan yang kuat. Berkaitan dengan pembangunan pertanian
masa depan, peran penyuluh dalam pembangunan pertanian dewasa ini kian
diperlukan dan menempati posisi yang srategis dan menentukan bagi keberhasilan
pembangunan. Penyuluh sebagai patner sekaligus konsultan petani dituntut
mampu memberikan: (a) kondisi kondusif sehingga berbagai kegiatan penyuluhan
sebagai proses pembelajaran petani berjalan optimal, (b) menjawab tuntutan dan
tantangan dalam berbagai hal, dan (c) menggali dan meningkatkan kemampuan
petani dalam memenuhi kebutuhan petani sesuai amanah UU No.16/2006.
Berbagai program dan hasil yang telah dicapai tersebut tentunya tidak
terlepas dari peran penyuluh pertanian dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya dalam membina petani. Pada pelaksanaannya program penyuluhan,
tugas dan tanggung jawab penyuluh pertanian jelas, sehingga mereka berupaya
menciptakan kinerja yang baik. Berdasarkan latar belakang di atas, maka menjadi
penting dilakukan penelitian tentang kinerja penyuluh pertanian dengan adanya
perubahan kelembagaan penyuluhan yang sesuai dengan amanah UU No.16/2006.

Perumusan Masalah
Salah satu Kabupaten di Provinsi Aceh yang usaha sektor pertaniannya
berpeluang dan potensial untuk dikembangkan adalah Kabupaten Pidie. Menurut
data BPS Pidie (2012), wilayah Kabupetan Pidie didominasi oleh lahan pertanian
yang luasnya mencakup sekitar 22 persen dari luas total lahan yang ada.
Kabupaten Pidie memiliki potensi pertanian yang cukup tinggi. Sektor ini
menjadi sektor unggulan sebagai kontributor terbesar terhadap perekonomian
Pidie di tahun 2012. Hal ini ditandai dengan kontribusi sektor pertanian terhadap
PDRB yang mencapai 59.25 persen pada tahun 2012 dengan nilai nominal
mencapai Rp2 781. Sektor dengan kontribusi terbesar kedua adalah sektor jasajasa, dengan kontribusi sebesar 15.50 persen. Sektor dengan kontribusi terkecil
terhadap pembentukan PDRB Kabupaten Pidie adalah listrik, gas dan air bersih
yakni hanya 0.35 persen (BPS Pidie 2012).
Jumlah kecamatan di Kabupaten Pidie sebanyak 23 kecamatan, jumlah
mukim sebanyak 94 mukim dan jumlah desa ada 730 desa, jumlah penyuluh
Kabupaten Pidie adalah 111 orang, 57 orang di antaranya sebagai Tenaga Harian
Lepas (THL) dan 54 orang sebagai penyuluh pegawai negeri sipil. Mata
pencaharian masyarakat di Kabupaten Pidie sekitar 62.45 persen atau 98.140 jiwa
penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian yang mempunyai potensi
besar untuk pembangunan pertanian. Potensi lahannya pun ada, tapi kenyataannya
jumlah penyuluh pertanian masih jauh dari ideal (BPS Pidie 2012).
Kondisi penyuluhan selama dekade terakhir ini banyak mengalami
kemunduran, kemandulan dan stagnasi. Hal ini terjadi secara nasional dan kondisi
tersebut juga terjadi di Kabupaten Pidie sehingga maju mundurnya penyuluh
sangat bergantung dari apresiasi dari pemegang kebijakan di masing-masing
daerah dalam memahami tugas dan fungsi strategis penyuluhan pertanian dalam
membangun sistem dan usaha agribisnis. Permasalahan tentang kondisi tenaga

5
penyuluh pertanian pada saat ini adalah sebagai berikut: (1) Berdasarkan UU
Nomor 16 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007
setiap desa harus mempunyai penyuluh pertanian paling tidak satu orang
penyuluh. Banyak alih tugas penyuluh pertanian ke jabatan lain yang tidak sesuai
dengan kompetensi penyuluh pertanian. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya
tenaga penyuluh pertanian yang mengakibatkan tidak sebandingnya jumlah tenaga
penyuluh pertanian dengan jumlah petani/kelompoktani yang harus dilayani.
Kondisi tersebut juga menyebabkan banyak penyuluh pertanian yang frustasi
karena ditempatkan pada jabatan yang tidak sesuai dengan kompetensinya.
(2) Penyuluh pertanian swakarsa dan swasta belum berkembang dengan baik,
karena pembinaannya belum terprogram dan belum didukung oleh peraturan
perundang-undangan. Kondisi ini menyebabkan belum optimalnya peran serta
petani dan swasta dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian. (3) Peningkatan
kompetensi penyuluh pertanian, terutama melalui diklat, sudah jarang dilakukan.
Hal ini menyebabkan rendahnya kemampuan penyuluh dalam menjalankan
tugasnya dan menurunnya kredibilitas mereka di mata petani. (4) Pembiayaan
penyuluhan pertanian yang bersumber dari pemerintah, provinsi dan
kabupaten/kota baik melalui dana dekonsentrasi, Dana Alokasi Umum (DAU),
dan APBD maupun kontribusi dari petani dan swasta masih sangat terbatas.
Kondisi ini menyebabkan penyelenggaraan penyuluhan pertanian tidak optimal,
yang pada gilirannya akan menghambat pelaksanaan program pembangunan
pertanian. (5) Terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki penyuluh pertanian
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Kondisi ini akan menyebabkan
rendahnya mobilitas penyuluh pertanian dan kurang optimalnya pelayanan
terhadap petani.
Dari uraian di atas, timbul suatu pertanyaan, bagaimanakah kinerja
penyuluh pertanian saat ini di Kabupaten Pidie. Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, maka perlu dilakukan telaah mendalam tentang hal tersebut. Secara
khusus masalah yang ditelaah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana tingkat kinerja Penyuluh Pertanian di Kabupaten Pidie dalam
melaksanakan tugas–tugasnya?
2. Faktor–faktor apa yang berhubungan dengan kinerja penyuluh pertanian?

Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan, tujuan penelitian ini
adalah:
1. Mengindentifikasi tingkat kinerja penyuluh pertanian di Kabupaten Pidie
dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
2. Menganalisis faktor–faktor yang berhubungan dengan kinerja penyuluh
pertanian.

6
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara
teoritis maupun praktis sebagai berikut :
1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi
pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan, khususnya yang berkaitan
dengan peningkatan kinerja penyuluh pertanian sehingga dapat dijadikan acuan
bagi peneliti lain untuk penelitian lebih lanjut.
2. Secara praktis penelitian ini diharapkan diharapkan dapat bermanfaat untuk
dijadikan sebagai acuan bagi instansi teknis pusat dan daerah yang menangani
pembinaan penyuluhan pertanian dalam menyusun kebijakan guna perbaikan
sistem penyuluhan pertanian selanjutnya, khususnya di Kabupaten Pidie.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Penyuluhan Pertanian
Jika melihat dari sejarah, penyuluhan itu berawal dari suatu sistem
pertukaran informasi mengenai pertanian (agricultural information exchange)
yang dengan tujuan untuk meningkatkan hasil pertanian. Hal ini sudah dilakukan
oleh Mesir kuno, Mesopotamia, dan Yunani (Leeuwis 2004).
Dalam bahasa Inggris, istilah penyuluhan menggunakan istilah extention.
Penggunaan istilah ini berawal dari university extension atau extension of the
university yang merupakan kegiatan staf pengajar dari universitas untuk
menyebarkan informasi dan ilmu pengetahuan tentang pertanian kepada
masyarakat non-universitas (Leeuwis 2004).
Penggunaan extension akhirnya lebih lazim digunakan terutama untuk
penyuluhan pertanian (agricultural extension). Penggunaannya berkembang
ke bidang-bidang lain keluarlah istilah Extension Education, Development
Communication atau Development Extension (Penyuluhan Pembangunan)
(Hafsah 2009).
Kartasapoetra (1991) menyatakan bahwa: “Penyuluhan pertanian adalah
suatu usaha atau upaya untuk mengubah perilaku petani dan keluarganya, agar
mereka mengetahui dan mempunyai kemauan serta mampu memecahkan
masalahnya sendiri dalam usaha atau kegiatan-kegiatan meningkatkan hasil
usahanya dan tingkat kehidupannya”.
Di Indonesia istilah “penyuluhan”, berasal dari akar kata “suluh” yang
berarti obor (torch). Istilah ini sejalan dengan istilah yang digunakan di Belanda
yaitu voorlichting, yang berarti “menerangi jalan di depan agar orang dapat
menemukan jalannya sendiri”, sama seperti fungsi obor. Atau dengan kata lain,
penyuluhan adalah upaya untuk membantu orang menemukan jalan keluar atas
persoalan yang dihadapi (enlightenment) (Leeuwis 2004).
Konsep enlightenment inilah yang mengawali pengertian penyuluhan,
dimana digambarkan bahwa ada seseorang yang secara akademik memadai
memberikan pencerahan kepada orang-orang awam agar mereka bisa melihat

7
jalan yang lebih baik untuk diri mereka sendiri. Pengertian seperti ini, jelas-jelas
menunjukkan dimensi pendidikan (edukasi) dari penyuluhan, walau masih bersifat
paternalistik dimana seorang penyuluh datang sebagai orang yang mengajarkan
sesuatu yang baru kepada peserta penyuluhan, sedangkan peserta penyuluhan
hanya bersifat pasif mendengarkan dan berusaha memahami (Leeuwis 2004). Van
den Ban dan Hawkins (1999) mengatakan bahwa: Penyuluhan merupakan
keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar
dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa
membuat keputusan yang benar.
Mengenai pengertian penyuluhan penulis setuju dengan pendapat
Slamet (2003), sebagai berikut:
“Suatu pendidikan yang bersifat non formal yang bertujuan untuk
membantu masyarakat/petani merubah perilakunya dalam hal pengetahuan,
keterampilan dan sikap agar mereka dapat memecahkan masalah yang
dihadapinya guna mencapai kehidupan yang lebih baik”. Tujuan utama dari
penyuluhan pertanian adalah mempengaruhi para petani dan keluarganya
agar berubah perilakunya sesuai dengan yang diinginkan, yaitu perbaikan
mutu hidup dari para keluarga tani. Penyuluh pertanian yang efektif adalah
yang dapat menimbulkan perubahan informasi atau perolehan informasi
baru kepada petani, memperbaiki kemampuan atau memberi kemampuan
dan kebiasaan baru petani dalam upaya memperoleh sesuatu yang mereka
kehendaki.
Undang–undang No.16 Tahun 2006 tentang sistem penyuluhan pertanian,
perikanan, dan kehutanan merumuskan bahwa: “Penyuluhan pertanian adalah
proses pembelajaran bagi para pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau
dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses
informasi pasar, teknologi, permodalan, sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk
meningkatkan produktifitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya
serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian lingkungan hidup”.
Mardikanto (2009) menyatakan, penyuluhan sebagai proses pendidikan atau
proses belajar diartikan bahwa, kegiatan penyebarluasan informasi dan penjelasan
yang diberikan dapat merangsang terjadinya proses perubahan perilaku yang
dilakukan melalui proses pendidikan atau kegiatan belajar. Artinya, perubahan
perilaku yang terjadi/dilakukan oleh sasaran tersebut berlangsung melalui proses
belajar.

Penyuluh Pertanian
Undang–undang Nomor 16 Tahun 2006, penyuluh pertanian, penyuluh
perikanan, atau penyuluh kehutanan, baik penyuluh PNS, swasta maupun swadaya
yang selanjutnya disebut penyuluh adalah perorangan warga Negara Indonesia
yang melakukan kegiatan penyuluhan. Penyuluh pegawai negeri sipil yang
selanjutnya disebut penyuluh PNS adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas,
tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang
pada satuan organisasi lingkup pertanian, perikanan, atau kehutanan untuk
melakukan kegiatan penyuluhan. Penyelenggaraan penyuluhan dapat dilaksanakan

8
oleh pelaku utama (petani) dan atau warga masyarakat sebagai mitra pemerintah
dan pemerintah daerah, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama, yang
dilaksanakan secara terintegrasi dengan programa pada tiap-tiap tingkatan
administrasi pemerintah (Departemen Pertanian 2012).
Peranan dari penyuluh pertanian sebagai fasilitator, motivator dan sebagai
pendukung gerak usaha petani merupakan titik sentral dalam memberikan
penyuluhan kepada petani akan pentingnya berusahatani dengan memperhatikan
kelestarian dari sumberdaya alam. Kesalahan dalam memberikan penyuluhan
kepada petani akan menimbulkan dampak negatif dan merusak lingkungan.
Penyuluh sebagai motivator berperan mendorong petani mandiri melakukan
perubahan dengan menggunakan ide baru untuk memperbaiki taraf hidupnya.
Penyuluh adalah seorang profesional yang bergerak di garis depan yang
berinisiatif melakukan perubahan, membantu masyarakat sasaran melaksanakan
aktivitas usahataninya, memperkenalkan dan menyebarkan ide–ide baru,
mendorong partisipasi dan mendukung kepentingan masyarakat sasaran
(Mardikanto 2009).
Penyuluh pertanian lebih luas dan lebih jauh dari sekedar kegiatan
penerangan. Penyuluh melibatkan proses komunikasi umpan balik dan ada
evaluasi terhadap perubahan perilaku yang dicapai pada diri sasaran
(Slamet 2000). Proses penyelenggaraan penyuluhan pertanian dapat berjalan
dengan baik dan benar apabila didukung dengan tenaga penyuluh yang
profesional, kelembagaan penyuluh yang handal, materi penyuluhan yang terusmenerus mengalir, sistem penyelenggaraan penyuluhan yang benar serta metode
penyuluhan yang tepat dan manajemen penyuluhan yang polivalen (Warya 2008).
Penyuluhan pertanian sebagai suatu proses pembelajaran seharusnya
menjadi jembatan bagi pelaku utama dan usaha pertanian dari tidak tahu menjadi
tahu terhadap suatu inovasi. Rogers dan Shoemaker (1985) mendefinisikan
inovasi sebagai gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh seseorang.
Dikatakannya ada empat unsur penting dalam proses penyebaran (difusi) suatu
inovasi yaitu: (1) inovasi: (2) yang dikomunikasikan melalui saluran tertentu: (3)
dalam jangka waktu tertentu: kepada (4) anggota suatu sistem sosial. Di dalam
mengkomunikasikan suatu inovasi ke dalam suatu sistem sosial itulah dibutuhkan
agen pembaharu. Fungsi utama agen pembaharu adalah menjadi mata rantai
penghubung antara dua sistem sosial atau lebih. Penyuluh pertanian sebagai salah
satu komponen agen pembaharu merupakan penghubung mata rantai antara petani
dengan lembaga lain yang terkait dengan aktivitas usahatani. Agen pembaharu
berperan sebagai tangan-tangan lembaga pembaharu, yakni instansi pemerintah
atau organisasi yang bertujuan untuk mengadakan perubahan di masyarakat
ke arah kemajuan.
Mardikanto (1993) menyatakan bahwa semula peran utama penyuluh adalah
menyampaikan inovasi dan mempengaruhi sasaran penyuluhan melalui teknik dan
metode tertentu sehingga mereka sadar dan mampu mengadopsi inovasi yang
disampaikan. Namun sesuai dengan perubahan kondisi maka peran penyuluh
pertanian mengalami pergeseran meliputi: penyampai inovasi, mempengaruhi
keputusan sasaran, menjadi jembatan penghubung antara pemerintah dan lembaga
penyuluhan dengan petani, serta menggerakkan masyarakat agar mau berubah.
Padmowiharjo (2001) mempertegas bahwa peran penyuluhan hendaknya
memberikan penekanan pada aspek pendidikan, bukan pelayanan, dalam program

9
pembangunan masyarakat. Pendidikan membantu masyarakat bagaimana
mengerjakan sesuatu bagi mereka sendiri, sedangkan pelayanan adalah
mengerjakan sesuatu untuk masyarakat. Pendidikan menjadikan masyarakat
percaya diri, pelayanan menjadikan masyarakat tergantung pada orang lain.
Rogers dan Shoemaker (1985) menyatakan ada tujuh peran agen pembaharu
dalam memperkenalkan inovasi kepada kliennya:
a. Membangkitkan kebutuhan untuk berubah. Ini berarti agen pembaharu
berperan sebagai katalisator bagi kebutuhan kliennya. Dalam memulai proses
perubahan agen pembaharu dapat mengemukan alternatif baru dalam
mengatasi permasalahan yang ada. Bila perlu dapat juga mendramatisir
permasalahan sehingga kliennya merasa yakin bahwa inovasi yang
disodorkan memang betul-betul mampu memecahkan masalah mereka.
b. Mengadakan hubungan untuk perubahan. Begitu kebutuhan untuk berubah
telah tumbuh maka agen pembaharu harus membuka hubungan secara fisik
dan sosial dengan kliennya, sebelum mereka diminta menerima inovasi yang
dipromosikan.
c. Mendiagnosa masalah. Agen pembaharu harus mampu menganalisis
kebutuhan kliennya untuk menyatakan bahwa cara-cara yang sekarang
digunakan kliennya sudah tidak mampu lagi mengatasi masalah yang ada,
untuk itu secara psikologis ia harus terjun ke dalam situasi klien agar dapat
melihat dunia klien menurut pandangan klien itu sendiri.
d. Mendorong atau menciptakan motivasi untuk berubah pada diri klien. Agen
pembaharu harus membangkitkan motivasi untuk mengadakan perubahan
serta menimbulkan dorongan untuk menerima, atau setidak-tidaknya menaruh
minat, terhadap inovasi yang ditawarkan.
e. Merencanakan tindakan pembaharuan. Agen pembaharuan hendaknya
berusaha mempromosikan pelaksanaan yang disarankannya. Klien diharapkan
tidak hanya menyetujui atau menaruh minat terhadap inovasi tetapi termasuk
merencanakan tindakan dalam pelaksanaan pembaharuan.
f. Memelihara program pembaharuan dan mencegahnya dari kemacetan. Agen
pembaharu diharapkan dapat memberikan berbagai informasi penunjang agar
klien tetap merasa aman dan terasa segar melaksanakan pembaharuan.
g. Mencapai hubungan terminal. Tujuan akhir dari tugas agen pembaharu adalah
berkembangnya perilaku “memperbarui diri sendiri” pada kliennya. Untuk itu
agen pembaharu harus berusaha agar kliennya dapat mengembangkan diri
sehingga dapat berperan sebagai agen pembaharu, paling tidak untuk dirinya
sendiri.
Seorang penyuluh sesungguhnya adalah sebagai agen perubahan
(change agent). Menurut Lippit et al. (1958) ada lima peran agen perubahan di
dalam proses perubahan pada suatu masyarakat yaitu:
a. Melakukan mediasi dan mendorong hubungan baru di dalam sistem klien. Agen
perubahan hendaklah mampu mendorong terciptanya hubungan baru antar
bagian yang ada di dalam sistem dan mereorganisasi hubungan lama.
Hubungan baru yang lebih kondusif ini diperlukan untuk memungkinkan
adanya perubahan di dalam masyarakat.
b. Menunjukkan pengetahuan keahlian dalam prosedur. Agen perubahan harus
mampu meyakinkan kliennya bahwa prosedur perubahan yang ia tawarkan
betul-betul dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Agen

10
perubahan dapat melakukan hal ini dengan memperkenalkan pengalamannya
sehingga memungkinkan kliennya dapat menggali sendiri pengetahuan dan
pengalaman yang ada di lingkungan mereka.
c. Mendorong kekuatan dari dalam. Perubahan di dalam masyarakat sering
menimbulkan konflik yang dapat menggagalkan proses perubahan itu. Oleh
karenanya harus didorong munculnya kekuatan dari dalam sistem yang ada
agar dapat menciptakan suasana yang kondusif untuk perubahan.
d. Menyediakan lingkungan khusus. Ada kalanya klien tidak bisa
mengembangkan dirinya dalam lingkungan yang ada, oleh karena itu harus
diciptakan lingkungan khusus yang memungkinkan mereka dapat belajar
misalnya membentuk kelompok diskusi atau mengunjungi tempat tertentu.
e. Memberikan dukungan selama proses perubahan. Proses sering membutuhkan
waktu yang panjang dan kompleks, oleh karena itu agen perubahan harus
memberikan dukungan agar kliennya merasa yakin bahwa perubahan yang
dilakukan merupakan suatu hal yang dapat terlaksana.

Karakteristik Internal Penyuluh
Sumardjo (1999) membagi faktor internal penyuluh seperti: tingkat
kekosmopolitan, pengalaman bekerja sebagai penyuluh, motivasi, persepsi,
kesehatan dan karakteristik sosial ekonomi. Padmowiharjo (2000) menyebutkan
beberapa faktor kararakteristik individu yang mempengaruhi proses belajar yaitu:
umur, jenis kelamin, kesehatan, sikap mental, kematangan mental, kematangan
fisik, dan bakat.
Spencer dan Spencer (1993) mengatakan bahwa karakteristik individu yang
dapat membentuk kompetensi dan menciptakan kinerja yang baik adalah:
(1) motif individu, (2) ciri-ciri fisik, (3) konsep diri, (4) pengetahuan, dan
(5) kemampuan teknis. Rogers dan Shoemaker (1985) menegaskan bahwa sifatsifat penting (karakteristik personal) agen pembaharu yang berperan dalam adopsi
inovasi adalah: (1) kredibilitas, yang merujuk pada kompetensi, tingkat
kepercayaan, dan kedinamisan agen pembaharu yang dirasakan oleh masyarakat
sasaran, (2) kedekatan hubungan dan rasa memiliki antara agen pembaharu
masyarakat sasaran, (3) sifat-sifat pribadi yang dimiliki seperti kecerdasan, rasa
empati, komitmen, tingkat perhatian pada petani, kemampuan komunikasi,
keyakinan dan orientasinya pada pembangunan.
Huda (2010) menyatakan bahwa umur merupakan salah satu faktor utama
yang mempengaruhi efisiensi belajar, karena akan berpengaruh terhadap minatnya
pada macam pekerjaan tertentu sehingga umur seseorang juga akan berpengaruh
terhadap motivasinya untuk belajar. Mardikanto (1993) mengatakan bahwa umur
akan berpengaruh kepada tingkat kematangan seseorang (baik kematangan fisik
maupun emosional) yang sangat menentukan kesiapannya untuk belajar. Selaras
dengan hal tersebut Mardikanto (2009) mengemukakan bahwa sesuai dengan
bertambahnya umur, seseorang akan menumpuk pengalaman-pengalamannya
yang merupakan semberdaya yang sangat berguna bagi kesiapannya untuk belajar
lebih lanjut.

11
Masa kerja berkaitan erat dengan pengalaman kerja. Pengalaman adalah
segala sesuatu yang muncul dalam riwayat hidup seseorang. Pengalaman
seseorang menentukan perkembangan keterampilan, kemampuan, dan
kompetensi. Pengalaman seseorang bertambah seiring dengan bertambahnya usia.
Pengalaman seseorang dapat diukur secara kuantitatif berdasarkan jumlah tahun
seseorang bekerja dalam bidang yang dijalani (Bandura 1986).
Menurut Padmowiharjo (2004) pengalaman adalah suatu kepemilikian
pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan.
Pengaturan pengalaman yang dimiliki seseorang sebagai hasil belajar selama
hidupnya dapat digambarkan dalam otak manusia. Seseorang akan berusaha
menghubungkan hal yang dipelajari dengan pengalaman yang dimiliki dalam
proses belajar. Pengalaman kerja merupakan penentu yang lebih besar terhadap
perilaku seseorang. Gagne (1967) mengatakan bahwa, pengalaman adalah
akumulasi dari proses belajar yang dialami seseorang, kemudian menjadi
pertimbangan-pertimbangan baginya dalam menerima ide-ide baru.
Pengalaman kerja menyediakan tidak hanya pengetahuan tetapi juga
kegiatan praktek langsung dalam bidangnya. Padmowiharjo (1994) menambahkan
bahwa pengalaman baik yang menyenangkan maupun yang mengecewakan, akan
berpengaruh pada proses belajar seseorang. Seseorang yang pernah mengalami
keberhasilan dalam proses belajar, maka dia akan memiliki perasaan optimis akan
keberhasilan dimasa mendatang. Sebaliknya seseorang yang pernah mengalami
pengalaman yang mengecewakan, maka dia telah memiliki perasaan pesimis
untuk dapat berhasil. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa, hakekat
pendidikan adalah untuk meningkatkan kemampuan manusia agar dapat
mempertahankan bahkan memperbaiki mutu keberadaannya agar menjadi
semakin baik. Gilley dan Eggland (1989) menjelaskan bahwa, konsep
behavioristik dari kinerja manusia dan konsep pendidikan menjadi dasar bagi
pengembangan sumberdaya manusia. Orientasi ini menekankan pada pentingnya
pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi
organisasi.
Slamet (2003) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang, semakin tinggi pula pengetahuan, sikap dan keterampilan, efisien
bekerja dan semakin banyak tahu cara-cara dan teknik bekerja yang lebih baik dan
lebih menguntungkan. Sejalan dengan pendapat tersebut. Bahua (2010)
menyatakan bahwa pendidikan formal yang diikuti penyuluh dapat mempengaruhi
kinerja penyuluh, karena dengan pendidikan formal seorang penyuluh dapat
meningkatkan kinerjanya sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Peran media massa seperti surat kabar, majalah, radio, televisi dan internet
sangat penting dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat. Media
tersebut selain untuk sumber informasi, juga untuk menyampaikan gagasan,
pendapat dan perasaan kepada orang lain (Van den Ban dan Hawkins 1999).
Dengan media pertukaran interpersonal lebih langsung untuk sinkronisasi diantara
pihak-pihak yang berkomunikasi dapat terjadi, yakni media dimana pengirim dan
penerima dapat dengan mudah berubah peran (Leeuwis 2004).
Dalam pelaksanaan pembangunan pedesaan sangat diperlukan berbagai
sumberdaya, termasuk media massa. Media masa diperlukan karena dapat
menimbulkan suasana yang kondusif bagi pembangunan dan dapat memotivasi

12
masyarakat serta menggerakan warga masyarakat desa untuk berpartisipasi dalam
pembangunan (Jahi 2008).
Pengertian kelompok menurut Slamet dan Sumardjo (2010) bahwa sebuah
kelompok adalah dua individu atau lebih yang berinteraksi tatap muka (face to
face interaction), yang masing-masing menyadari keanggotaannya dalam
kelompok, masing-masing menyadari keberadaan orang lain yang juga anggota
kelompok, dan masing-masing menyadari saling ketergantungan secara positif
dalam mencapai tujuan bersama. Kelompok tani, menurut Mardikanto (1993)
diartikan sebagai kumpulan orang-orang tani atau petani, yang terdiri atas petani
dewasa (pria/wanita) maupun petani taruna (pemuda/i), yang terikat secara
informal dalam suatu wilayah kelompok atas dasar keserasian dan kebutuhan
bersama serta berada di lingkungan pengaruh dan pimpinan seorang kontak tani.
Menurut Slamet (2001) bahwa salah salah satu kelemahan penyelenggaraan
penyuluhan yang muncul pada periode 1986-1991 jumlah kelompok binaan
penyuluh yang semula sekitar 16 kelompok dengan luas wilayah kerja penyuluh
meliputi tiga sampai empat desa karena jangkauan geografis dan sosiologisnya
makin, maka hanya sekitar 5–8 kelompok saja yang dapat "dibina" secara relatif
intensif oleh penyuluh pertanian lapangan (PPL). Artinya tingkat kinerja penyuluh
pertanian dikatakan baik apabila penyuluh tersebut mampu membina lima sampai
delapan kelompok tani dalam satu wilayah kerja. Berdasarkan pada berbagai
pendapat dan teori tentang karakteristik internal tersebut, maka dapat
disintesakan/disimpulkan bahwa karakteristik internal penyuluh merupakan sifatsifat yang dimiliki seorang penyuluh pertanian yang berhubungan dengan aspek
kehidupan dan lingkungannya, dengan faktor-faktor karakteristik meliputi: umur,
masa kerja, pendidikan formal, pemanfaatan media, dan jumlah kelompok yang
dibina.

Karakteristik Eksternal Penyuluh
Sumardjo (1999) mengatakan selain faktor internal, faktor eksternal juga
mempengaruhi kesiapan penyuluh dalam mendukung pertanian yang
berkelanjutan. Menurutnya, faktor eksternal tersebut meliputi: dukungan
kelembagaan penyuluhan, sistem nilai, sarana informasi/inovasi terjangkau,
potensi lahan dan dukungan lembaga pelayanan. Banyak pengamat dan penyuluh
pertanian berpendapat, bahwa pada periode 1991-1996 terjadi stagnasi atau
kemunduran penyelenggaraan penyuluhan pertanian, bahkan sebagian
mengatakan sebagai kehancuran penyuluhan pertanian.
Menurut Slamet (2001) bahwa administrasi kepegawaian pada masa ini
dikelola secara terpisah oleh masing-masing subsektor, yang menyebabkan
perbedaan perlakuan sesama penyuluh dalam karirnya. Sistem manajemen
organisasi yang mendukung karyawan seperti adanya administrasi yang baik dan
rapi, tunjangan finansial yang mendukung, sistem reward yang jelas, promosi
jabatan, sistem penggajian yang adil, serta sistem pendidikan dan pelatihan yang
terus berkesinambungan akan menimbulkan profesionalisme yang tinggi bagi
seorang karyawan dalam mengoptimalkan kinerjanya (Wibowo 2007).
Slamet (2001) berpendapat bahwa melemahnya kemampuan penyuluh
selain disebabkan oleh faktor pengkotakan dalam kelembagaan penyuluhan, juga

13
disebabkan oleh kurangnya fasilitas penyuluh untuk menjangkau petani.
Mardikanto (2009) mengemukakan bahwa upaya-upaya perubahan usahatani yang
disampaikan oleh penyuluh kepada petani sangat bergantung pada ketersediaan
sarana produksi dan peralatan (baru) dalam bentuk jumlah, mutu dan waktu yang
tepat. Jika sarana ini tersedia, maka keberhasilan penyuluh akan tercapai.
Van den Ban dan Hawkins (1999) berpendapat bahwa ketidaktersedianya sarana
penunjang untuk kegiatan penyuluhan menimbulkan masalah bagi seorang
penyuluh yang kehilangan kepercayaan dari petani karena dianggap tidak mampu
menyediakan sarana yang mereka butuhkan.
Persoalan keterbatasan fasilitas kerja menurut Hubeis (2008) merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi etos kerja seorang pekerja. Penyuluh
sebagai pekerja lapangan memang seharusnya memerlukan bantuan fasilitas kerja
yang memadai. Untuk meningkatkan kinerja penyuluh pertanian di lapangan perlu
dukungan dan partisipasi aktif dari pemerintah daerah dan peman