Maskulinisasi Belut Sawah (Monopterus albus) Melalui Induksi Aromatase Inhibitor dan Suhu

i

MASKULINISASI BELUT SAWAH (Monopterus albus)
MELALUI INDUKSI AROMATASE Inhibitor DAN SUHU

HAFIF SYAHPUTRA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Maskulinisasi Belut
Sawah (Monopterus albus) Melalui Induksi Aromatase Inhibitor dan Suhu adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Hafif Syahputra
C151114021

ii

RINGKASAN
HAFIF SYAHPUTRA. Maskulinisasi Belut Sawah (Monopterus albus) Melalui
Induksi Aromatase Inhibitordan Suhu. Dibimbing oleh AGUS OMAN
SUDRAJAT dan DINAR TRI SOELISTYOWATI.
Belut Sawah (Monopterus albus) tergolong ikan hermaprodit protogini
yang pada awal hidupnya berjenis kelamin betina kemudian melalui fase interseks
berubah menjadi jantan. Masa diferensiasi menjadi jantan belum diketahui secara
pasti sehingga menjadi kendala ketersediaan sinkronisasi kelamin jantan dan
betina yang matang untuk proses reproduksi. Penelitian ini bertujuan untuk
memaskulinisasi belut sawah menjadi jantan dengan mengevaluasi mekanisme sex

reversal. Materi uji yang digunakan adalah belut sawah sebanyak 120 ekor
dengan ukuran panjang tubuh 24±2 cm asal Bogor. Penelitian ini menggunakan
rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan. Ikan yang digunakan
sebanyak 24 ekor per perlakuan. Induksi pengarahan kelamin jantan dilakukan
dengan penyuntikan aromatase inhibitor (AI) menggunakan imidazole pada dosis
berbeda (0,001; 0,01; 0,1 mg/kg bobot ikan) dibandingkan dengan perlakuan suhu
32ºC dan NaCl 0,95% sebagai Kontrol. Penyuntikkan AI dilakukan setiap minggu
selama empat minggu. Sedangkan perlakuan suhu 32ºC diberikan selama enam
minggu. Ikan dipelihara dalam akuarium yang berukuran 80x40x40 cm per
perlakuan selama enam minggu. Belut sawah yang diberi perlakuan NaCl dan AI
dipelihara pada suhu 28ºC.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aromatase inhibitor meningkatkan
konsentrasi testosteron plasma. Perlakuan AI 0,1 mg/kg bobot ikan meningkatkan
konsentrasi testosteron yang tertinggi yaitu 1,89 ng/ml pada minggu ke-6 atau tiga
kali lipat dibandingkan dengan Kontrol (0,49 ng/ml). Sebaliknya, konsentrasi
estradiol tertekan pada perlakuan AI 0,01 dan 0,1 mg/kg bobot ikan pada minggu
ke-6. Pengarahan kelamin jantan dengan aromatase inhibitor 0,1 mg/kg bobot ikan
menghasilkan 40% jantan dan 60% interseks dalam waktu enam minggu. Pada
perlakuan AI 0,001 dan 0,01 mg/kg bobot ikan dihasilkan individu interseks 50%85,72% dan betina 14,28%-50%, sedangkan dengan induksi suhu 32ºC
menghasilkan 83,33% interseks dan 16,66% betina.

Pemberian aromatase inhibitor pada belut dengan dosis 0.1 mg/kg ikan
telah menyebabkan biosintesis estradiol dari testosterone terhambat, sehingga
konsentrasi estradiol plasma rendah, sementara konsentrasi testosteron meningkat
secara signifikan. Hal tersebut menginduksi maskulinisasi belut ukuran 24±2cm.
Sedangkan perlakuan suhu 32ºC belum efektif dalam menginduksi maskulinisasi
dan menghasilkan individu interseks. Peningkatan dosis AI diduga dapat
meningkatkan efektivitas maskulinisasi pada belut.
Aromatase inhibitor mampu memaskulinisasi belut sawah pada ukuran
24±2 cm melalui mekanisme peningkatan konsentrasi testosteron plasma
endogenous dan penurunan konsentrasi estradiol plasma endogenous dalam waktu
enam minggu.
Kata Kunci : aromatase inhibitor, maskulinisasi, Monopterus albus, testosteron

iii

SUMMARY
HAFIF SYAHPUTRA. Masculinization of the Ricefield Eel (Monopterus albus)
By Induction of Aromatase Inhibitor and Temperature. Supervised by AGUS
OMAN SUDRAJAT and DINAR TRI SOELISTYOWATI.
Ricefield eel (Monopterus albus) is hermaphrodite protoginy fish that in

their early life belong to female sex and through a phase of intersex then they
differenciate into male sex. The period of differentiation from females to males is
not clear, so that the synchronization the availability of matured male and female
constrainted for the reproductive processes. This study aimed to masculinisize
ricefield eel to the male sex. The masculinization was performed by induction the
different doses of aromatase inhibitor (AI) applying imidazole of 0,001; 0,01; 0,1
mg/kg of fish weight in comparison to the temperature at 32°C and NaCl 0.95%
as control. The experiment was conducted using 24 fish each treatment which
were collected from Bogor with a total length of 24±2 cm. The AI was injected
every week for four weeks. All of fish groups of treatment were cultured for 6
weeks of rearing period in aquarium sized 80x40x40 cm. The AI and NaCl 0.95%
treated-fishes were cultured in 28°C water temperature.
The results showed that aromatase inhibitor increased the concentration of
plasma testosterone. The dose of AI 0.1mg/kg body weight accelerated the
concentration of plasma testosterone at six week the highest (1.89 ng/ml) or
increased three fold in comparison with the controls (0.49 ng/ml). In contrast, the
doses of AI 0.01 and 0.1mg/kg body weight depressed estradiol concentrations.
The masculinization applying with aromatase inhibior 0.1mg/kg body weight
resulted 40% of males and 60% intersexes within sixweeks, while the induction of
temperature at 32ºC produced 83.33% intersexes and 16.66% females. Whereas,

the treatment of AI 0.001 and 0.01mg/kg body weight produced 50%-85.72%
intersexes and 14.28% -50% females.
Implementation the dose of aromatase inhibitor 0.1 mg/kg of fish has led
to the biosynthesis of estradiol from testosterone inhibited. So that the plasma
estradiol concentrations was lower when the concentrations of testosterone
increased significant in the ricefield eel. The AI induced masculinization of
ricefield eel at size of 24±2 cm. While the treatment of temperature 32ºC was not
effective in masculinization but it just induced to intersexes. Increasing the AI
doses might accelerate the effectiveness of masculinization of the ricefield eel.
Aromatase inhibitors are able to induce the masculinization of ricefield eel
through the mechanism of increasing plasma testosterone concentrations and
decreasing plasma estradiol concentrations within six weeks.
Keywords:aromatase inhibitor, masculinization, Monopterus albus, testosterone

iv

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

1

MASKULINISASI BELUT SAWAH (Monopterus albus)
MELALUI INDUKSI AROMATASE INHIBITOR DAN SUHU

HAFIF SYAHPUTRA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

2

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Tatag Budiardi, MSi

3

Judul Tesis : Maskulinisasi Belut Sawah (Monopterus albus) Melalui Induksi
Aromatase Inhibitor dan Suhu
Nama
: Hafif Syahputra
NIM
: C151114021

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Dr Ir Agus Oman Sudrajat, MSc
Ketua

Dr Ir Dinar Tri Soelistyowati, DEA
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Akuakultur

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Widanarni, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian: 16 Mei 2014

Tanggal Lulus:


4

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menunaikan tugas akhir pendidikan
pascasarjana pada program studi Ilmu Akuakultur, Institut Pertanian Bogor.
Dengan menyelesaikan penelitian yang berjudul “Maskulinisasi Belut Sawah
(Monopterus albus) Melalui Induksi Aromatase Inhibitor dan Suhu” yang telah
dilaksanakan pada bulan September-Desember 2013 yang bertempat di Kolam
Percobaan Babakan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian
Bogor. Analisis hormon testosteron dan estradiol dilakukan di Laboratorium Unit
Reproduksi dan Rehabilitasi Fakultas Kedokteran Hewan dan histologi gonad
dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan Departemen Budidaya Perairan
Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr Ir Agus Oman Sudrajat
MSc dan Ibu Dr Ir Dinar Tri Soelistiyowati DEA selaku dosen pembimbing yang
telah banyak memberikan saran, arahan dan bimbingan selama penulis melakukan
penelitian. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ayah dan Ibu yang tidak

lelah untuk mendidik dan selalu memberi dukungan baik moral maupun materi.
Terimakasih kepada kak Melati, Bang Fanda, Dila, Mizan, Dani, Rafli dan Bila
yang selalu memberi semangat. Terimakasih kepada teman-teman Akuakultur
Bang Rodi, Bang Muhar, Bang Ial, Mas Nurdin, Alex, Ega, Vina, Lia, Azis dan
Nurhayati yang selalu memberi dukungan moral.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2014

Hafif Syahputra

5

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

x

xi
vi

1 Pendahuluan
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan dan Manfaat Penelitian

1
1
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Morfologi Belut Sawah
Reproduksi Belut Sawah
Enzim Aromatase dan Aromatase Inhibitor

3
3
4
5

3 METODE
Bahan dan Materi Uji
Rancangan Penelitian
Prosedur Penelitian
Analisis Data

6
6
6
6
8

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan

8
8
14

5 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

16
16
16

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

17
22
26

6

DAFTAR TABEL
1 Kualitas air media penelitian belut sawah
2 Konsentrasi estradiol pada maskulinisasi belut sawah menggunakan AI
dan suhu 32ºC
3 Konsentrasi testosteron pada maskulinisasi belut sawah menggunakan
AI dan suhu 32ºC
4 Persentase jenis kelamin dan rata-rata ukuran panjang tubuh belut
sawah pada minggu ke-6

7
10
11
14

DAFTAR GAMBAR
1 Bentuk tubuh belut sawah (Monopterus albus)
2 Proses steroidogenesis pada ikan
3 Gonad belut sawah minggu ke-0 pada perlakuan A (Kontrol), B (AI
0,001 mg/kg Bobot Ikan), C (AI 0,01 mg/kg bobot ikan), D (AI 0,1
mg/kg bobot ikan) dan E (Suhu 32oC)
4 Gonad belut sawah minggu ke-6 pada perlakuan A (Kontrol), B (AI
0,001 mg/kg bobot ikan), C (AI 0,01 mg/kg bobot ikan, D (AI 0,1
mg/kg bobot ikan) dan E (Suhu 32oC)
5 Konsentrasi testosteron (a) dan estradiol (b) minggu ke 0-6 pada
maskulinisasi belut sawah menggunakan AI dan suhu 32°C.
6 Indeks kematangan gonad belut sawah yang diinduksi dengan AI dan
suhu
7 Histologi gonad belut sawah yang diinduksi dengan AI dan suhu 32oC
minggu ke 0-6
8 Pertumbuhan bobot dan panjang belut sawah pada minggu ke 0-6

4
5

9

9
10
11
12
14

DAFTAR LAMPIRAN
9 Prosedur pengambilan sampel darah Belut Sawah
10 Prosedur analisis testosteron dan estradiol plasma menggunakan teknik
ELISA dengan Vidas ELISA Kit
11 Prosedur histologi gonad
12 Kandungan oksigen terlarut (mg/L) pada minggu ke-0 sampai minggu
ke-6
13 pH (1-14) air pada minggu ke-0 sampai minggu ke-6
14 Suhu air (oC) pada minggu ke-0 sampai minggu ke-6
15 Indeks kematangan gonad belut sawah minggu ke-6
16 Pertumbuhan bobot tubuh belut sawah pada minggu ke-0 sampai
minggu ke-6
17 Pertumbuhan panjang tubuh belut sawah minggu ke-0 sampai minggu
ke-6

22
22
22
23
24
24
24
24
25

1

1 Pendahuluan

Latar Belakang
Belut sawah (Monopterus albus) merupakan salah satu spesies belut asli
perairan Indonesia yang memiliki prospek pasar cukup baik. Dua spesies belut
lainnya adalah belut rawa (Synbranchus bengalensis) dan belut laut (Macrotema
caligans Cant). Pada tahun 2011 ekspor belut sawah hidup mencapai 2.068.680 kg
atau meningkat 400% dibanding tahun 2007 (Direktorat Jenderal Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Perikanan 2012). Tingginya permintaan belut sawah dipenuhi
dari hasil tangkapan atau menangkap benih dari alam yang kemudian dibesarkan
pada media lumpur. Penangkapan yang terjadi secara terus menerus di alam akan
memberikan dampak negatif terhadap ketersediaan benih, induk betina dan
terutama induk jantan di alam semakin langka yang ditandai dengan ukuran belut
yang tertangkap semakin kecil (Bahri 2000). Belut sawah yang berukuran kecil
umumnya berjenis kelamin betina, karena belut sawah secara biologi tergolong
ikan hermaprodit protogini yaitu diawal hidupnya berjenis kelamin betina
kemudian melalui fase interseks akan berubah menjadi jantan. Beberapa
penelitian menyebutkan bahwa perubahan kelamin menjadi jantan pada belut
sawah secara alami dimulai dari ukuran panjang tubuh 30-45 cm (Chan dan
Phillips 1969; Affandi et al. 2003). Dalam proses reproduksi diperlukan
ketersediaan induk berjenis kelamin jantan dan betina yang matang secara seksual
sehingga proses reproduksi dapat berlangsung.
Perubahan kelamin belut sawah betina menjadi jantan dapat diarahkan
secara buatan dengan rekayasa proses steroidogenesis, sehingga didapatkan
kepastian calon induk berjenis kelamin jantan untuk mendukung upaya reproduksi
baik secara alami, semi alami maupun buatan dan diharapkan budidaya belut
sawah dapat berkembang sehingga penangkapan belut sawah di alam dapat
berkurang.
Hormon steroid kelamin berperan penting dalam proses diferensiasi
kelamin baik pada ikan gonokoristik maupun ikan hermafrodit protogini dan
protandri. Hal ini terbukti dari pemberian hormon estrogen ataupun androgen
eksogen pada berbagai jenis ikan yang masing-masing menghasilkan ikan berjenis
kelamin betina atau jantan. Pada ikan hermaprodit, terjadi perubahan pola hormon
steroid kelamin selama proses perubahan kelamin kearah jantan (Guiguen et al.
2010). Hormon steroid kelamin dimodulasi oleh hormon pituitari dan otak yang
memainkan peran penting pada saat penyebaran, perawatan dan maturasi pada
perkembangan kelamin jantan ataupun betina serta sangat penting untuk inisiasi
perubahan kelamin pada ikan hermafrodit (Bhandari et al. 2003).
Enzim aromatase memainkan peran penting pada proses steroidogenesis
dan diferensiasi kelamin pada ikan. Enzim ini terlibat dalam proses biosintesis
hormon testosteron kemudian diubah menjadi estradiol selama proses diferensiasi.
Menurut Zhang et al. (2008) secara alami terdapat korelasi antara aktivitas enzim
aromatase dengan struktur gonad, yaitu belut sawah yang memiliki aktivitas
enzim aromatase yang tinggi menunjukkan jenis kelamin betina dan pada saat
diferensiasi kearah jantan aktivitas enzim aromatase terus mengalami penurunan.
Pada ikan hermaprodit, regulasi enzim aromatase memicu pengarahan kelamin

2

betina dan mempertahankan diferensiasi ovarium, maka rekayasa proses
steroidogenesis dengan manghambat kerja enzim aromatase
dapat
memaskulinisasi ikan hermaprodit protogini (Guiguen et al. 2010). Penghambatan
kerja enzim aromatase dapat dilakukan dengan induksi fisik seperti suhu (Athauda
et al. 2012) maupun senyawa kimia steroid dan non steroid (Seralini dan Moslemi
2001), sehingga rasio testosteron terhadap estradiol meningkat dan mampu untuk
memicu perubahan kelamin belut sawah kearah jantan.
Efektivitas aromatase inhibitor diantaranya pernah diteliti pada ikan
gonokoristik pada dosis 100 µg/g pakan mampu memaskulinisasi ikan atlantik
halibut (Babiak et al. 2011), ikan european sea bass (Navarro-Martin et al. 2008).
Pada ikan hermaprodit protogini, aromatase inhibitor mampu memaskulinisasi
ikan Epinephelus marginatus pada minggu kesembilan (Garcia et al. 2013), pada
ikan Coryphopterus nicholsii (Kroon dan Liley 2000) dalam waktu tujuh minggu
dan pada ikan Halichoeres trimaculatus dalam waktu lima hari (Nozu et al. 2009).
Ikan hermaprodit protandri Acanthopagrus schlegeli yang diberi aromatase
inhibitor 0,1 µg/g bobot tubuh selama 4 minggu dapat mempertahankan pada
kondisi jantan (Dufour et al 2004). Menurut Arfah et al. (2005) bahwa induk ikan
gapi yang dipelihara pada suhu 30oC menghasilkan keturunan jantan lebih banyak
dibanding suhu 27oC. Selim et al. (2009) melaporkan bahwa larva ikan medaka
yang dipelihara pada suhu 32oC menghasilkan persentase jantan lebih banyak
dibanding suhu 27oC. Kemudian pada ikan hermaprodit protandri Lates calcarifer
yang dipelihara pada suhu 31ºC dan 34ºC menghasilkan individu interseks lebih
sedikit dibanding suhu 25ºC dan 28ºC (Athauda et al. 2012). Penggunaan
aromatase inhibitor dan suhu 32ºC pada belut sawah dalam penelitian ini
diharapkan mampu untuk mengarahkan kelamin belut sawah kearah jantan dengan
mengevaluasi regulasi hormon steroid kelamin yaitu testosteron dan estradiol pada
perkembangan fungsi reproduksinya.
Rumusan Masalah
Diferensiasi kelamin belut sawah dari betina menjadi jantan belum
diketahui secara pasti sehingga menimbulkan masalah dalam sinkronisasi
ketersediaan antara induk berjenis kelamin jantan dan betina yang matang gonad
pada ukuran yang seragam untuk proses reproduksi, baik secara alamiah maupun
buatan. Aromatase merupakan enzim yang berperan dalam biosintesis estradiol
dari testosterone. Penghambatan biosintesis estradiol telah diketahui dapat
berdampak maskulinisasi pada ikan. Penghambatan aktivitas enzim aromatase
menggunakan aromatase inhibitor diharapkan dapat meningkatkan konsentrasi
testosteron plasma pada ikan, sehingga memicu pengarahan kelamin belut sawah
betina menjadi jantan (maskulinisasi). Dengan demikian pada belut yang memiliki
ukuran yang sama dimungkinkan terdapat jantan dan betina matang secara
seksual, sehingga memudahkan proses reproduksi.
Tujuan dan Manfaat
Tujuan penelitian ini adalah untuk memaskulinisasi belut sawah dengan
mengevaluasi mekanisme sex reversal pada belut sawah secara artifisial dengan
menggunakan bahan aditif aromatase inhibitor (imidazole) dibandingkan dengan

3

induksi fisik menggunakan suhu 32ºC. Manfaat dari penelitian ini adalah
mendapatkan metode pengarahan kelamin jantan belut sawah untuk penyediaan
calon induk jantan yang seragam, tepat waktu dan kontinyu sehingga proses
reproduksi dapat dilakukan dan budidaya belut sawah dapat berkembang.

2 Tinjauan Pustaka

Morfologi Belut Sawah (Monopterus albus)
Menurut Prihatman (2000) terdapat tiga spesies belut di dunia yaitu belut
rawa (Synbranchus bengalensis), belut laut/belut kali (Synbranchus caligans
Cant) dan belut sawah (Monopterus albus). Pada umumnya belut yang ditemui di
pasar-pasar tradisional di Indonesia adalah belut sawah dan merupakan salah satu
spesies asli perairan Indonesia. Penyebaran belut sawah di Indonesia meliputi
daerah Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, NTT, dan NTB. Menurut Saanin
(1968) dalam Bahri (2000), klasifikasi belut sawah adalah sebagai berikut :
Kindom

: Animalia

Filum

: Chordata

Sub filum

: Vertebrata

Kelas

: Pisces

Sub kelas

: Teleostei

Ordo

: Synbranchoidea

Famili

: Synbranchidae

Genus

: Monopterus

Spesies

: Monopterus albus

Belut sawah memiliki bentuk tubuh silinder dengan badan tanpa sisik dan
bagian kulitnya yang licin (Gambar 1). Hidung belut tumpul membundar dengan
bentuk mulut bagian atas melebihi bagian bawah dan sirip dada serta perut
tereduksi menjadi lipatan kulit yang bersatu dengan sirip punggung, ekor, dan anal
(Kottelat et al. 1993 dalam Bahri 2000). Gigi-giginya kecil dan runcing berbentuk
kerucut dengan bibir berupa lipatan kulit yang lebar sekitar mulutnya. Belut
sawah memiliki panjang tubuh 20 kali tinggi badan dan letak permukaan sirip
punggung sedikit dibelakang perut (Sarwono 1999 dalam Bahri 2000). Belut
merupakan kelompok air breathing fishes, yaitu ikan yang mampu mengambil
oksigen dari udara bebas secara langsung karena belut memiliki alat pernafasan
tambahan yaitu berupa kulit tipis berlendir yang terdapat dirongga mulut dan
dapat dikarakterisasi sebagai ikan facultative air-breather (Iversen et al. 2013).
Belut sawah secara alami terdapat pada lingkungan yang berlumpur seperti sawah,
kolam berlumpur dan kanal (Gong et al. 2011).

4

M

K

P

E

Gambar 1 Bentuk tubuh belut sawah (Monopterus albus) M (mulut), K (kepala), P
(perut), E (ekor)

Belut betina pada umumnya berukuran panjang 10-29 cm dengan warna
kulit lebih cerah atau lebih muda (hijau muda pada punggung dan putih kuning
pada perutnya) dibanding belut jantan, bentuk kepala runcing dan usianya selalu
dibawah sembilan bulan. Sedangkan belut jantan mempunyai panjang tubuh lebih
dari 30 cm, dengan warna lebih gelap, bentuk kepala tumpul dan umur diatas
sembilan bulan (Sarwono 1999 dalam Bahri 2000).
Reproduksi Belut Sawah (Monopterus albus)
Belut sawah digolongkan ikan hermaprodit protogini, dimana
perkembangan awal dari kelaminnya adalah sebagai betina dan pada usia tertentu
berubah menjadi jantan fungsional (Liu 1944 dalam Tao et al. 1993). Selanjutnya
Chan dan Phillips (1969) menambahkan bahwa terdapat korelasi antara panjang
tubuh dengan status kelamin dari belut sawah, belut sawah yang berukuran kecil
umumnya adalah betina sedangkan yang ukuran besar umumnya adalah jantan.
Perubahan seksual pada ikan hermaprodit salah satu tujuannya adalah untuk
memperpanjang masa reproduksi (Liem 1963). Pada belut sawah sex reversal
alami dimulai setelah periode pemijahan pada ukuran 30-45 cm (Chan dan
Phillips 1969; Affandi et al. 2003). Secara alami belut sawah bereproduksi
setahun sekali yaitu dimulai dari musim penghujan sampai dengan awal musim
kemarau dan pada umumnya terjadi pada malam hari (Sarwono 1999 dalam Bahri
2000).
Hormon steroid seks memainkan beberapa peran penting dalam proses sex
reversal pada belut sawah. Menurut Chan dan Phillips (1969) steroid yang
diproduksi oleh gonad belut sawah pada berbagai fase seksual berbeda; steroid
seks utama menunjukkan adanya pergeseran selama sex reversal sehingga
estrogen lebih banyak diproduksi pada fase betina dan ketika transformasi
struktural dari ovarium ke testis dimulai maka produksi androgen meningkat
tajam. Peningkatan produksi androgen tampaknya berkaitan dengan
perkembangan sel-sel interstisial selama proses perubahan kelamin kearah jantan
(Chan dan Phillips 1969). Perubahan kadar plasma steroid seks pada belut sawah
terkait dengan pematangan jaringan kelamin betina dan jantan serta siklus
reproduksi musiman (Yeung dan Chan 1987).
Sex reversal pada belut sawah dikontrol oleh dua mekanisme utama yaitu
hereditas dan faktor lingkungan (Gong et al. 2011; Baroiller et al. 1999). Sex
reversal terutama dikontrol oleh hereditas, namun fenomena dialam secara
signifikan dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Tao et al. 1993; Shi 2005),
termasuk perubahan suhu, polusi kimia dan food additives. Faktor lingkungan,
bahan kimia atau hormon eksogen dilaporkan berpengaruh terhadap
perkembangan sel interstisial, gonad dan diferensiasi gamet melalui perubahan
sekresi steroid (Tang et al. 1974; Shi 2005; Singh 2013).

5

Enzim Aromatase dan Aromatase Inhibitor
Enzim aromatase adalah enzim sitokrom P-450 yang mengkatalis
perubahan dari androgen menjadi estrogen. Enzim aromatase terekspresi pada
banyak jaringan seperti pada gonad, otak dan jaringan adipos (D’Cottae et al.
2001). Aktivitas enzim aromatase terbatas pada daerah dengan target estradiol dan
berfungsi untuk mengatur jenis kelamin, reproduksi dan tingkah laku (Callard et
al. 2001). Enzim aromatase menunjukkan aktivitas yang paling tinggi pada ikan
dan burung dewasa dibanding dengan hewan vertebrata lainnya (D’Cottae et al.
2001). Guiguen et al. (2010) menambahkan bahwa estrogen dan enzim aromatase
memainkan peran penting untuk mengontrol ovarium dan diferensiasi testis, baik
pada ikan gonokoristik maupun ikan hermaprodit. Regulasi enzim aromatase
dibutuhkan tidak hanya untuk memicu tetapi juga untuk mempertahankan
diferensiasi ovarium, maka dengan menurukan regulasi enzim aromatase adalah
salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memaskulinisasi ikan hermaprodit
protogini (Guiguen et al. 2010). Aktivitas enzim aromase diotak lebih tinggi
dibanding dengan aktivitas aromatase digonad, hal ini menunjukkan kemungkinan
bahwa enzim aromatase terlebih dahulu diproduksi oleh otak kemudian ditransfer
ke gonad karena otak adalah organ utama yang merespon kondisi lingkungan
(Athauda et al. 2012).
Penghambatan aromatase dapat dikarenakan oleh faktor fisika seperti suhu
(Watts et al. 2004; Selim et al. 2009; Athauda et al. 2012), senyawa kimia steroid
dan non steroid yang telah mencapai tingkat tertentu dalam keberhasilan sex
reversal ikan (Seralini dan Moslemi 2001). Apabila kerja enzim aromatase
dihambat, maka testosteron tidak lagi diubah menjadi estradiol sehingga rasio
testosteron terhadap estradiol meningkat yang diharapkan mampu untuk memicu
ikan hermaprodit ataupun gonokoristik untuk melakukan diferensiasi kearah
jantan atau maskulinisasi.

Gambar 2 Proses steroidogenesis pada ikan (Schulz dan Nobrega 2011)

6

3 METODE

Bahan dan Materi Uji
Dalam penelitian ini digunakan belut sawah sebanyak 120 ekor dengan
panjang 24±2 cm yang berasal dari Bogor. Bahan yang digunakan untuk
pengarahan kelamin jantan belut sawah adalah aromatase inhibitor (AI) jenis
imidazole. Pakan yang digunakan selama penelitian adalah cacing tanah.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini dirancang menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) 5
dengan 5 perlakuan. Setiap perlakuan digunakan ikan sebanyak 24 ekor.
Perlakuan A : NaCl 0,95% (Kontrol)
Perlakuan B : Aromatase inhibitor 0,001 mg/kg bobot ikan
Perlakuan C : Aromatase inhibitor 0,01 mg/kg bobot ikan
Perlakuan D : Aromatase inhibitor 0,1 mg/kg bobot ikan
Perlakuan E : Suhu 32oC tanpa penyuntikan
Prosedur Penelitian
Persiapan Ikan Uji
Wadah penelitian menggunakan akuarium sebanyak 5 unit dengan ukuran
80x40x40 cm3. Akuarium dibersihkan dengan air hingga bersih dan kemudian
dijemur. Setelah itu diisi air setinggi 10 cm dan kemudian diberi larutan PK.
Kemudian air dibuang dan dibilas kembali hingga bersih. Selanjutnya akuarium
diisi kembali dengan air bersih kira-kira 10 cm kemudian diberi aerasi, heater dan
pipa paralon pada posisi horizontal didasar akuarium dengan panjang 25 cm dan
diameter 2-3 inci untuk tempat bernaung belut sawah.
Belut sawah diangkut dari pengumpul menggunakan plastik yang diisi
oksigen. Kemudian plastik dibuka dan ikan uji dimasukkan kedalam akuarium
untuk proses aklimatisasi. Aklimatisasi dilakukan agar ikan mampu beradaptasi
dengan lingkungan baru dan pakan. Kemudian ikan dipuasakan selama 24 jam
untuk adaptasi dengan wadah pemeliharaan dan pakan diberikan pada hari
berikutnya selama 7 hari secara at satiation. Pakan yang diberikan pada belut
sawah selama penitian adalah cacing tanah. Agar cacing tanah dapat bertahan
hidup, cacing tanah diletakkan didalam suatu wadah plastik kemudian diberi
media tanah, kotoran ternak dan batang pohon pisang sebagai media hidup cacing
tanah. Sebelum diberikan sebagai pakan, cacing tanah terlebih dahulu direndam
didalam air untuk membersihkan tanah yang menempel pada cacing. Kemudian
cacing tanah diletakkan didalam akuarium tepat didepan pipa paralon. Ikan uji
dipilih sebanyak 120 ekor dengan ukuran panjang 24±2 cm untuk 5 perlakuan
masing-masing 24 ekor setiap perlakuan.

7

Perlakuan Maskulinisasi
Induksi aromatase inhibitor
diberikan dengan cara penyuntikkan.
Sebelum ikan disuntik, ikan dibius terlebih dahulu dengan menggunakan stabilizer
dengan dosis 1 ml/L. Kemudian bobot ikan ditimbang menggunakan timbangan
digital dengan tingkat ketelitian dua digit dibelakang koma satuan gram (g).
Setelah itu panjang tubuh belut sawah diukur menggunakan penggaris 30 cm.
Selanjutnya ikan disuntik secara intramaskular sesuai dengan perlakuan yaitu
garam fisiologis (Kontrol) dan aromatase inhibitor. Ikan disuntik sebanyak 1 kali
dalam seminggu yaitu pada minggu ke-0, 1, 2, 3 dan 4. Setelah disuntik, ikan
diletakkan kembali kedalam akuarium dengan aerasi yang kuat untuk disadarkan
kembali. Kemudian untuk perlakuan suhu digunakan heater dengan suhu 32ºC
untuk menjaga suhu air agar tetap konstan.
Pemeliharaan Belut Sawah
Belut sawah dipelihara selama enam minggu dan diberi pakan cacing
tanah secara at satiation sebanyak dua kali sehari sebanyak 3% dari bobot total
belut sawah. Untuk perlakuan Kontrol (NaCl 0,95%) dan AI dipelihara pada
kisaran suhu 27,7-27,9ºC; pH 5,96-6,24 dan kandungan oksigen terlarut 5,48-5,71
mg/L (Tabel 1). Cacing tanah yang diberikan sebanyak 3% dari bobot tubuh belut
sawah. Akuarium disipon satu kali sehari yaitu pada waktu pagi hari sebanyak
5%, kemudian dilakukan pergantian air.
Tabel 1 Kualitas air media penelitian belut sawah
Parameter Kualitas Air
Perlakuan
DO (mg/L)
Suhu (oC)
pH (0-14)
NaCl
5,52
27,8
5,96
AI 0,001*
5,48
27,9
6,00
AI 0,01*
5,67
27,9
5,98
AI 0,1*
5,60
27,7
6,24
o
Suhu (32 C)
5,71
32,0
6,08
Keterangan: * : mg/kg bobot ikan

Parameter Penelitian
Konsentrasi dan Estradiol
Konsentrasi testosteron dan estradiol dalam darah plasma belut sawah
diukur dengan menggunakan teknik ELISA (Lampiran 2) dengan Vidas Elisa Kit
(EIA 2693 untuk estradiol dan EIA 1559 untuk testosteron). Sampel darah
(Lampiran 1) dikoleksi dari 3 ekor individu setiap perlakuan yang dilakukan pada
minggu ke 0, 2, 4 dan 6.
Indeks Kematangan Gonad (IKG)
Penimbangan bobot gonad dilakukan pada minggu ke 0, 2, 4 dan 6
menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 satuan gram (g). Indeks
Kematangan Gonad dihitung menggunakan rumus Beullens et al. (1997):

8

IKG =



100%

Ket:
IKG
Wg
W

: Indeks Kematangan Gonad (%)
: Bobot Gonad (g)
: Bobot Tubuh (g)

Histologi Gonad dan Status Kelamin
Histologi gonad mengacu pada metode Gunaro (1989). Histologi gonad
dilakukan pada minggu ke-0, 2, 4 dan 6. Kemudian pada minggu ke-6 semua ikan
uji yang tersisa dibedah untuk mengevaluasi persentase jenis kelamin belut sawah
(betina, interseks ataupun jantan) dengan mengamati hasil histologi.
Pertumbuhan Panjang dan Bobot Tubuh
Pengukuran pertumbuhan panjang dan bobot tubuh dilakukan setiap
minggu (enam minggu) selama penelitian. Panjang tubuh diukur dengan
menggunakan penggaris 30 cm. Sedangkan bobot tubuh diukur dengan
menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 satuan gram (g).
Analisis Data
Seluruh data hasil pengamatan parameter penelitian dianalisis ANOVA
dengan taraf kepercayaan 95% menggunakan perangkat lunak minitab 14. Apabila
berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan, sedangkan pengamatan histologi
gonad untuk penentuan jenis kelamin dianalisis secara deskriptif.

4 Hasil dan Pembahasan

Hasil
Morfologi Gonad Belut Sawah
Kondisi gonad belut sawah pada minggu ke-0 disajikan pada Gambar 3.
Gonad belut sawah pada minggu ke-0 secara umum telah berisi dengan telur, dan
terdapat beberapa yang telah matang hal ini terlihat dari telur yang berwarna
kuning. Pada minggu ke-6 secara umum gonad belut sawah mengecil dan
cenderung berwarna transparan, pada perlakuan AI 0,1 mg/kg bobot ikan (D)
tampak morfologi testis belut sawah pada pengamatan minggu ke-6 (Gambar 4).

9

A

B

C

D

E
Gambar 3 Gonad belut sawah minggu ke 0 pada perlakuan A (Kontrol), B (AI 0,001
mg/kg bobot ikan), C (AI 0,01 mg/kg bobot ikan, D (AI 0,1 mg/kg bobot ikan)
dan E (Suhu 32oC). Ukuran gonad 4-6 cm.
A

B

C

D

E
Gambar 4 Gonad belut sawah minggu ke 6 pada perlakuan A (Kontrol), B (AI 0,001
mg/kg bobot ikan), C (AI 0,01 mg/kg bobot ikan, D (AI 0,1 mg/kg bobot ikan)
dan E (Suhu 32oC). Ukuran 4-6 cm.

Konsentrasi Testosteron dan Estradiol
Respon hormonal belut sawah terhadap perlakuan aromatase inhibitor dan
suhu ditunjukkan oleh adanya perubahan sekresi hormon steroid yang dihasilkan
yaitu estradiol tertekan dan testosteron meningkat dalam darah plasma (Gambar
5).
(ng/ml)
Konsentrasi Estradiol

2
1,8
1,4

a

1,6
A (Kontrol)

1,2
1

B (0,001 mg/kg bobot tubuh)

0,8

C (0,01 mg/kg bobot tubuh)

0,6

D (0,1 mg/kg bobot tubuh)

0,4

E (32ºC)

0,2
0
0

2

4
Minggu ke

6

10

2
Konsentrasi Testosteron (ng/ml)

1,8

b

1,6
1,4
1,2

A (Kontrol)

1

B (AI 0,001 mg/kg bobot tubuh)

0,8

C (AI 0,01 mg/kg bobot tubuh)

0,6

D (0,1 mg/kg bobot tubuh)

0,4

E (Suhu 32ºC)

0,2
0
0

2

4

6

Minggu ke-

Gambar 5 Konsentrasi estradiol (a) dan testosteron (b) minggu ke 0-6 pada maskulinisasi
belut sawah menggunakan aromatase inhibitor dan suhu 32°C

Secara umum konsentrasi estradiol pada minggu ke-2 meningkat dan stabil
pada kisaran 0,15 ng/ml pada perlakuan suhu 32°C sampai minggu ke-6 (Gambar
5 a). Kelompok Kontrol menunjukkan peningkatan tertinggi pada minggu ke-6
dibanding perlakuan lainnya yang terus tertekan terutama pada perlakuan AI 0,01
dan 0,1 mg/kg bobot ikan. Konsentrasi estradiol minggu ke-6 pada semua
perlakuan lebih rendah dan secara statistik menunjukkan perbedaan nyata
(P