Maskulinisasi Belut Sawah Monopterus albus melalui penyuntikan 17a-metiltestosteron dan peningkatan suhu
MASKULINISASI BELUT SAWAH Monopterus albus
MELALUI PENYUNTIKAN 17α-METILTESTOTERON
DAN PENINGKATAN SUHU
LILIS DESMAWATI
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Maskulinisasi Belut
Sawah Monopterus albus melalui Penyuntikan 17α-metiltestosteron dan
Peningkatan Suhu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2014
Lilis Desmawati
NIM C14100022
ABSTRAK
LILIS DESMAWATI. Maskulinisasi Belut Sawah Monopterus albus melalui
Penyuntikan 17α-metiltestosteron dan Peningkatan Suhu. Dibimbing oleh
HARTON ARFAH dan DINAR TRI SOELISTYOWATI.
Belut sawah (Monopterus albus) merupakan ikan hermaprodit protogini
dengan peralihan kelamin dari betina, interseks menjadi jantan. Penelitian ini
bertujuan mengarahkan kelamin menjadi jantan pada belut sawah melalui induksi
17α-metiltestosteron (MT) dan peningkatan suhu. Perlakuan dirancang secara
faktorial dengan dua perlakuan yaitu dosis 17α-metiltestosteron (0 dan 50 mg/kg
ikan) dan suhu (ruang dan 32 oC). Setiap perlakuan digunakan 15 ekor belut
sawah, dengan kisaran panjang 26,01±2,23 cm dan bobot 13,67±4,31 g. Induksi
hormon MT diberikan melalui penyuntikan intramuskuler sekali dosis per minggu
sebanyak 5 kali, sedangkan perlakuan suhu diberikan selama 6 minggu. Hasil
penelitian menunjukkan perlakuan MT pada suhu ruang (B) menghasilkan belut
sawah jantan 50% serta interseks 50% dan pada suhu 32 oC (D) diperoleh 100%
interseks, sedangkan perlakuan tanpa MT pada suhu 32 oC (C) menghasilkan
57,15% interseks serta 42,85% betina, dan pada kontrol (A) menghasilkan 28,57%
interseks dan 71,43% betina. Induksi MT 50 mg/kg pada suhu ruang mampu
mengarahkan kelamin jantan belut sawah pada ukuran panjang 24,6-26,2 cm.
Kata kunci: belut sawah, Monopterus albus, 17α-metiltestosteron, suhu, jantan
ABSTRACT
LILIS DESMAWATI. Masculinization of the Ricefield Eel Monopterus albus by
injection of 17α-metiltestosteron and Increased Temperature. Supervised by
HARTON ARFAH and DINAR TRI SOELISTYOWATI.
Ricefield eel (Monopterus albus) is hermaphrodite protoginy fish with the
sex change from female, interseks and male. This study aimed to stimulate of sex
change to obtain male ricefield eel by injection 17α-metiltestosteron (MT) and
increased temperature. The treatment is designed factorial with two treatments,
17α-methyltestosterone doses (0 and 50 mg/kg body weight) and temperature
(room and 32 ° C). Each treatment consisted of 15 ricefield eel, with average body
length 26,01±2,23 cm and weight of 13,67±4,31 g. Induced MT hormone with
intramuscular method once dose every week as much as five weeks, whereas the
induction temperature treatment as long as six weeks. The results treatment MT
and in room water temperature (B) showed 50% male, 50% intersexes, and
temperature at 32oC (D) showed 100% intersexes, whereas the treatment without
MT added and temperature at 32 oC (C) showed 57,15% intersexes, 42,85%
female, and then control treatment (A) showed 28,57% intersexes and 71,43%
female. Induced MT 50 mg/kg body weight capable to direction male ricefield eel
at the body length 24,6-26,2 cm.
Keywords: ricefield eel, Monopterus albus, 17α-metiltestosteron, temperature, male
MASKULINISASI BELUT SAWAH Monopterus albus
MELALUI PENYUNTIKAN 17α-METILTESTOTERON
DAN PENINGKATAN SUHU
LILIS DESMAWATI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Budidaya Perairan
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Maskulinisasi
Belut Sawah Monopterus albus melalui Penyuntikan 17α-metiltestosteron dan
Peningkatan Suhu” ini berhasil diselesaikan. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Ir Harton Arfah, MSi dan Ibu Dr Ir Dinar Tri Soelistyowati, DEA
selaku pembimbing yang telah memberikan banyak saran dan dukungan dalam
pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini,
2. Ibu Dr Ir Mia Setiawati, MSi selaku dosen pembimbing akademik dan penguji
skripsi yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan motivasi selama
penulis menempuh pendidikan sarjana di Departemen Budidaya Perairan.
3. Bapak Ranta, Mbak Lina, Kang Abe, Bapak Arman, dan Bapak Henda yang
telah banyak membantu pelaksanaan penelitian,
4. Keluarga tercinta, Bapak Muhyidin, Ibu Rumiyati, Mbak Eka, Titik, Wiwin,
Putra, dan Nail atas segala bantuan dan dukungan yang diberikan baik secara
materi maupun moril,
5. Teman-teman seperjuangan PBI 47 dan BDP 47 yang telah banyak membantu
terutama Cindy, Fira, Dian, Dita, Evi, Alit, Rere, Aslia, Saki, Ina, Kurdi,
Ryan, Dea, dan Euis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi penulis, ilmu pengetahuan,
masyarakat, dan seluruh pihak yang membutuhkan
Bogor, Desember 2014
Lilis Desmawati
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL…………………………………………………………………ix
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………….......ix
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………....ix
PENDAHULUAN……………………………………………………………..... ..1
Latar Belakang………………………………………………………………... ..1
Tujuan Penelitian……………………………………………………………….. 2
METODE………………………………………………………………………… .2
Materi Uji……………………………………………………………………… .2
Ikan Uji ……………………………………………………………………….2
Persiapan Hormon ……………………………………………………………2
Rancangan Penelitian …………………………………………………………...2
Prosedur Penelitian ……………………………………………………………..3
Persiapan Wadah dan Pemeliharaan Ikan …………………………………….3
Perlakuan Maskulinisasi ……………………………………………………...3
Pengelolaan Kualitas Air ...…………………………………………………...3
Parameter Penelitian …………………………………………………………….4
Indeks Kematangan Gonad …………………………………………………...4
Histologi Gonad dan Identifikasi Status Kelamin ……………………………4
Penambahan Bobot Mutlak …………………………………………………4
Penambahan Panjang Mutlak ………………………………………………..5
Tingkat Kelangsungan Hidup ………………………………………………...5
Analisis Data ………...………………………………………………………….5
HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………………………5
Hasil …………………………………………………………………………….5
Morfologi Gonad ……………………………………………………………..5
Indeks Kematangan Gonad …………………………………………………...6
Histologi Gonad ………………………………………………………………7
Jenis Kelamin Belut Sawah…………..……………………………………….8
Pertambahan Bobot Mutlak …..………………………………………………9
Pertambahan Panjang Mutlak ...………………………………………………9
Tingkat Kelangsungan Hidup ……………………………………………….10
Pembahasan ……………………………………………………………………10
KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………….13
Kesimpulan….…………………………………………………………………13
Saran …………………………………………………………………………..13
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………14
LAMPIRAN ……………………………………………………………………...16
RIWAYAT HIDUP ………………………………………………………………18
DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
Panjang dan bobot rata-rata awal belut sawah………………………………... 2
Nilai kualitas air pemeliharaan belut sawah………………………………....... 4
Jenis kelamin belut sawah hasil pengamatan histologi gonad………………………. 8
Persentase jenis kelamin dan rata-rata panjang tubuh belut sawah pada
minggu ke-6 pasca induksi maskulinisasi dengan MT dan suhu….…………... 9
DAFTAR GAMBAR
1. Gonad belut sawah minggu ke-0 dan minggu ke-6 pada induksi maskulinisasi
dengan MT dan suhu…………………………………………………………... 6
2. Indeks kematangan gonad belut sawah minggu ke0-6 pada induksi
maskulinisasi dengan MT dan suhu: A (tanpa MT dan suhu ruang), B (MT 50
mg/kg ikan dan suhu ruang), C (tanpa MT dan suhu 32oC), dan D (MT 50
mg/kg ikan dan suhu 32oC)………………....................................................... 7
3. Histologi gonad belut sawah pada diinduksi maskulinisasi dengan MT dan
suhu: M (minggu), IM (telur immature), MI (telur maturing), OA (oosit
atresia), sg (spermatogonia), sc (spermatosit), sd (spermatid), sz
(spermatozoa)…………………………………………………..….…………... 7
4. Bobot mutlak belut sawah pada induksi maskulinisasi dengan MT dan suhu:
A (tanpa MT dan suhu ruang), B (MT 50 mg/kg ikan dan suhu ruang), C
(tanpa MT dan suhu 32oC), dan D (MT 50 mg/kg ikan dan suhu 32oC)……… 9
5. Panjang mutlak belut sawah pada induksi maskulinisasi dengan MT dan suhu:
A (tanpa MT dan suhu ruang), B (MT 50 mg/kg ikan dan suhu ruang), C
(tanpa MT dan suhu 32oC), dan D (MT 50 mg/kg ikan dan suhu 32oC)……… 10
6. Tingkat kelangsungan hidup belut sawah pada induksi maskulinisasi dengan
MT dan suhu: A (tanpa MT dan suhu ruang), B (MT 50 mg/kg ikan dan suhu
ruang), C (tanpa MT dan suhu 32oC), dan D (MT 50 mg/kg ikan dan suhu
32oC)………………………………………………………………………...… 10
DAFTAR LAMPIRAN
1. Wadah pemeliharaan belut sawah: (A) tanpa peningkatan suhu dan (B)
dengan peningkatan suhu…………………...................................................... 16
2. Histologi gonad mengacu pada Gunarso (1989)………………………........... 16
3. Indeks kematangan gonad sawah minggu ke-0 sampai minggu ke-6…….…… 17
4. Bobot mutlak belut sawah sampai minggu ke-6…………………………….… 17
5. Panjang mutlak belut sawah sampai minggu ke-6…………………………….. 17
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Belut sawah Monopterus albus merupakan hewan hermaprodit protogini
dengan peralihan kelamin dari betina, interseks kemudian jantan. Secara alami
peralihan kelamin belut dari betina ke jantan dimulai setelah belut mengalami
pemijahan, diikuti dengan menghilangnya jaringan ovari dan terbentuknya sel
interstitial (Leydig) (Chan & Philips 1967). Jenis kelamin belut diperkirakan
sangat berkaitan dengan panjang tubuhnya. Belut sawah dengan panjang tubuh
>35 cm telah mengalami perubahan menjadi jantan (Chan & Philips 1967; Riani
& Ernawati 2004).
Masa diferensiasi belut sawah menjadi jantan belum diketahui secara pasti
sehingga menjadi kendala ketersediaan sinkronisasi kelamin jantan dan betina
yang matang untuk proses reproduksi. Upaya untuk memperoleh kepastian fase
peralihan kelamin belut menjadi jantan dapat dilakukan menggunakan teknologi
sex reversal. Sex reversal pada belut sawah dapat diarahkan melalui dua
mekanisme yaitu hereditas dan faktor lingkungan (Gong et al. 2011). Faktor
lingkungan yang dapat digunakan sebagai pengalihan kelamin yaitu eksogenus
steroid berupa 17α-metiltestosteron dan suhu lingkungan. 17α-metiltestosteron
(MT) merupakan hormon sintetis dengan sisi atom karbon ke-17 dalam gugus
testosteron ditempeli gugus metil agar lebih tahan lama di dalam tubuh ikan
(Zairin 2002). Implantasi MT 150 µg/kg pakan dapat meningkatkan kadar hormon
testosteron dalam plasma darah ikan belida Notopterus chilata (Pamungkas 2006).
Kenaikan kadar testosteron pada gonad dapat merangsang diferensiasi gonad dan
spermatogenesis (Yamazaki 1983).
Hormon 17α-metiltestosteron yang masuk ke tubuh ikan mampu
memberikan rangsangan balik terhadap hypotalamus untuk memacu produksi
GnRH selanjutnya merangsang hipofisa melepas gonadotropin (Sumantadinata
1997). Peningkatan hormon gonadotropin (FSH dan LH) akan mempercepat
pematangan telur pada gonad belut sehingga memungkinkan terjadinya proses
interseks. Aplikasi MT dapat dilakukan melalui pakan, perendaman, dan suntikan
atau implantasi. Perendaman induk ikan gapi Poecilia reticulata Peters dalam
larutan MT 2 mg/l selama 24 dan 48 jam menghasilkan anak berfenotip jantan
sebesar 100% (Zairin et al. 2002). Induksi MT 5 mg/kg bobot juvenil kerapu
lumpur Ephinephelus suillus sebanyak 12 kali suntikan mengaktifkan proses
spermatogenesis pada gonad (Tan-Fermin et al. 1994), serta implantasi gabungan
androgen (MT, 11-Ketotestoteron, dan Testoteron Propionate) dengan dosis 1000
µg/kg bobot Epinephelus coioides mempengaruhi peralihan kelamin ke arah
jantan bahkan menjadi jantan fungsional (Shinn-Lih et al. 2003).
Suhu sebagai stimulus eksternal dapat menggerakkan waktu sintesis dan
sekresi hormon melalui sumbu otak (hypotalamus)-pituitary-gonad (Levy et al.
2011). Perubahan suhu lingkungan mempengaruhi produksi kadar testosteron,
17β-estradiol, dan enzim aromatase pada gonad (Athauda et al. 2012).
Peningkatan suhu pada pemeliharaan belut sawah diduga dapat mempengaruhi
peningkatan hormon jantan testosteron dan ketotestosteron. Pemeliharaan belut
sawah Monopterus albus berukuran 24±2 cm selama 42 hari pada suhu 32 oC
2
menunjukkan kadar testosteron lebih besar dibandingkan kontrol, bahkan terdapat
individu interseks hingga 83,33% (Syahputra 2014).
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah merangsang peralihan kelamin belut sawah
untuk mendapatkan belut sawah jantan pada umur dan ukuran yang sesuai melalui
induksi 17α-metiltestoteron (MT) dan suhu.
METODE
Materi Uji
Ikan Uji
Ikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah belut sawah diperoleh dari
hasil tangkapan didaerah Sukabumi. Panjang rata-rata dan bobot rata-rata belut
sawah yang digunakan perperlakuan disajikan pada Tabel 1. Jumlah ikan yang
digunakan setiap perlakuan yaitu 15 ekor. Sebelum diberi perlakuan, ikan
diadaptasikan pada lingkungan pemeliharaan secara terkontrol selama 1,5 bulan
dan diberi pakan cacing sutra.
Tabel 1 Panjang dan bobot rata-rata awal belut sawah
Perlakuan
A (tanpa MT dan suhu ruang)
B (MT 50* dan suhu ruang)
C (tanpa MT dan suhu 32oC)
D (MT 50* dan suhu 32oC)
Panjang rata-rata (cm)
26,29±2,07
26,06±1,75
25,77±1,69
26,23±2,32
Bobot rata-rata (gram)
15,09±4,75
12,97±4,01
13,02±3,78
13,45±4,60
*mg/kg bobot belut
Persiapan Hormon
Hormon yang digunakan dalam penelitian berupa hormon sintetis 17αmetiltestosteron. Hormon 17α-metiltestosteron 100 mg dilarutkan dalam 1 ml
alkohol 70%, kemudian diencerkan dengan 9 ml minyak zaitun sehingga kadar
alkohol menjadi 7%.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 6 minggu pemeliharaan pada bulan JuniAgustus 2014 di Laboratorium teknik produksi dan manajemen Akuakultur,
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor. Perlakuan dirancang secara faktorial dengan dua faktor yaitu
dosis 17α-metiltestosteron (0 dan 50 mg/kg ikan) dan suhu (ruang dan 32 oC)
sebagai berikut:
3
Perlakuan A : Tanpa 17α-metiltestosteron dan suhu ruang (28-29 oC)
Perlakuan B : 17α-metiltestosteron 50 mg/kg dan suhu ruang (28-29 oC)
Perlakuan C : Tanpa 17α-metiltestosteron dan suhu 32 oC
Perlakuan D : 17α-metiltestosteron 50 mg/kg dan suhu 32 oC
Prosedur Penelitian
Persiapan Wadah dan Pemeliharaan Ikan
Wadah yang digunakan berupa 4 buah akuarium berukuran 80x40x40 cm3.
Sebelum digunakan akuarium terlebih dahulu dibersihkan menggunakan sabun
kemudian dibilas bersih. Selanjutnya akuarium dicuci kembali dengan klorin
(N3OCl) dengan dosis 1000 ppm lalu dibilas hingga bersih. Sterilisasi juga
dilakukan pada peralatan yang akan digunakan seperti selang aerasi, pipa paralon,
dan batu aerasi. Semua sisi akuarium ditutup dengan plastik hitam, selain itu
setiap akuarium diberi shelter sebanyak 2 buah, berupa pipa paralon berdiameter 2
inci dan panjang 20 cm. Setelah siap akuarium diisi air setinggi 10 cm kemudian
dipasang aerator dan heather sesuai suhu perlakuan (Lampiran 1). Sebelum
perlakuan ikan dipelihara selama 1,5 bulan untuk adaptasi lingkungan. Kemudian
ikan dipindahkan pada wadah sesuai perlakuan dengan masing-masing perlakuan
15 ekor. Perlakuan ini berlangsung selama 6 minggu. Selama pemeliharaan belut
diberi pakan cacing sutra dua kali sehari pada pagi dan sore hari dengan metode
pemberian ad satiation yaitu selalu tersedia pakan dalam wadah.
Perlakuan Maskulinisasi
Sebelum disuntik, belut dipingsankan menggunakan stabilizer dengan cara
merendam belut pada dosis 1 ml/l air selama ± 20 menit. Setelah pingsan belut
ditimbang menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 gram dan
diukur panjang tubuhnya menggunakan penggaris 30 cm dengan ketelitian 0,1 cm.
Kemudian belut disuntik secara intramuskuler baik tanpa pemberian MT maupun
dengan pemberian MT. Belut sawah tanpa perlakuan MT disuntik dengan larutan
fisiologis (NaCl) dengan dosis 3 ml/kg bobot belut, sedangkan perlakuan MT
disuntik dengan MT dengan dosis 50 mg/kg bobot belut. Penyuntikan dilakukan
menggunakan syringe berukuran 0,5 ml dengan jarum berukuran 0,3 mm x 8 mm.
Ikan disuntik satu kali dalam seminggu sebanyak 5 kali yaitu pada minggu ke-0, 1,
2, 3, dan 4. Setelah disuntik, ikan disadarkan kembali dengan meletakkan ke
dalam akuarium yang diberi aerasi kuat. Kemudian masing-masing media
pemeliharaan yang diberi el bayu sebanyak 3 mg/L air untuk mempercepat
penyembuhan luka.
Pengelolaan Kualitas Air
Pengecekan kualitas air seperti suhu, DO, pH, NH3, dan nitrit dilakukan
pada awal, tengah dan akhir pemeliharaan. Penggantian air dilakukan setiap dua
hari sekali sebanyak 50% volume awal. Volume air yang digunakan sebanyak 32
liter yaitu 10 cm tinggi air dari tinggi akuarium. . Setiap akuarium diberi dua titik
4
aerasi untuk menambah oksigen dalam air. Hasil pengelolaan kualitas air selama
pemeliharaan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Nilai kualitas air pemeliharaan belut sawah
Parameter kualitas air
Suhu (oC)
DO (mg/L)
pH
Nitrit (mg/L)
NH3 (mg/L)
Media A
27,5-28,5
5,2-6,0
6,98-8,01
0,13-1,48
0,006-0,010
Media B
28,0-29,5
4,7-6,1
6,91-7,90
0,22-0,74
0,005-0,088
Media C
32,0-33,0
5,1-5,8
6,56-7,67
0,4-0,72
0,003-0,082
Media D
32,0-33,0
4,9-5,8
6,16-7,86
0,51-1,02
0,001-0,013
Parameter Penelitian
Indeks Kematangan Gonad
Indeks kematangan gonad merupakan sebuah nilai perbandingan antara
berat gonad dengan keseluruhan bobot tubuh ikan. Pengamatan IKG ini dilakukan
pada minggu ke-0, 2, 4, dan 6. Rumus IKG menurut Crim et al. (1988) adalah
sebagai berikut:
IKG =
Keterangan:
IKG
Wg
W
Wg
W
× 100%
: Indeks Kematangan Gonad (%)
: Bobot gonad (gram)
: Bobot tubuh ikan (gram)
Histologi Gonad dan Identifikasi Status Kelamin
Histologi gonad belut melalui tahapan fixation, decalcification, bleaching,
embedding, sectioning, staining, dan mounting yang mengacu pada metode
Gunarso (1989) (Lampiran 2). Histologi gonad dilakukan pada minggu ke-0, 2,
dan 4 sebanyak 3 ekor untuk masing-masing perlakuan, kemudian pada minggu
ke-6 semua ikan uji yang tersisa di histologi. Berdasarkan hasil histologi yang
diperoleh dapat diketahui status kelamin belut (betina, interseks, dan jantan),
persentase jenis kelamin belut dapat dihitung melalui rumus:
Persentase Jenis Kelamin (b,i,j) =
Keterangan:
b : betina
i : interseks
Jumlah Ikan (b,i,j)
Jumlah ikan diamati
× 100%
j : jantan
Penambahan Bobot Mutlak
Bobot tubuh belut diukur menggunakan timbangan digital dengan ketelitian
0,01 gram. Penambahan bobot mutlak dihitung dengan rumus:
5
Bm =
Bt - B0
t
Keterangan :
Bm
: Bobot mutlak (gram/hari)
Bt
: Bobot rata-rata pada akhir pemeliharaan (gram)
B0
: Bobot rata-rata awal pemeliharaan (gram)
t
: Waktu pemeliharaan (hari)
Penambahan Panjang Mutlak
Panjang tubuh belut diukur menggunakan penggaris dengan ketelitian 0,1
cm. Penambahan panjang mutlak dihitung dengan rumus:
Pm = Pt – P0
Pm
Pt
P0
: Panjang mutlak (cm)
: Panjang rata-rata pada akhir pemeliharaan (cm)
: Panjang rata-rata awal pemeliharaan (cm)
Tingkat Kelangsungan Hidup
Tingkat kelangsungan hidup (TKH) dihitung dengan rumus:
TKH=
Nt
N0
x 100%
Keterangan:
TKH
: Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt
: Jumlah ikan hidup pada akhir pemeliharaan (ekor)
N0
: Jumlah ikan pada awal pemeliharaan (ekor)
Analisis Data
Data hasil pengamatan indeks kematangan gonad (IKG), pertambahan bobot
mutlak dan panjang mutlak dianalisis menggunakan SPSS16.0 dengan taraf
kepercayaan 95%. Sedangkan, hasil pengamatan histologi gonad, persentase jenis
kelamin, dan tingkat kelangsungan hidup (TKH) dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Morfologi Gonad
Morfologi gonad belut sawah pada minggu ke-0 secara umum telah berisi
telur yang berwarna kuning, sedangkan pada minggu ke-6 berwarna putih
6
transparan (Gambar 1). Volume gonad belut pada minggu ke-0 lebih berisi
dibadingkan gonad di minggu ke-6. Gonad belut sawah terbagi menjadi 2 bagian
yaitu bagian berkembang dan tidak berkembang (rudimeter).
rudimeter
M0
A M6
B M6
C M6
D M6
Gambar 1 Gonad belut sawah minggu ke-0 dan minggu ke-6 pada induksi
maskulinisasi dengan MT dan suhu: A (tanpa MT dan suhu ruang), B
(MT 50 mg/kg ikan dan suhu ruang), C (tanpa MT dan suhu 32 oC), D
(MT 50 mg/kg ikan dan suhu 32 oC), M (minggu)
Indeks Kematangan Gonad
Pola Indeks kematangan gonad (IKG) belut sawah pada umumnya menurun
pada minggu ke-2 kemudian meningkat pada minggu ke-4 IKG dan menurun
kembali pada minggu ke-6, kecuali pada perlakuan MT dan suhu 32oC (D), IKG
meningkat pada minggu ke-2 kemudian menurun sampai minggu ke-6 (Gambar 2).
Akan tetapi, nilai IKG minggu ke-6 semua perlakuan secara statistik tidak
menunjukkan perbedaan nyata (P>0,05) (Lampiran 3).
Indeks Kematangan Gonad
(%)
7
0,008
0,007
0,006
0,005
0,004
0,003
0,002
0,001
0
A
B
C
D
0
2
4
6
Minggu ke-
Gambar 2 Indeks kematangan gonad belut sawah minggu ke0-6 pada induksi
maskulinisasi dengan MT dan suhu: A (tanpa MT dan suhu ruang), B
(MT 50 mg/kg ikan dan suhu ruang), C (tanpa MT dan suhu 32oC),
dan D (MT 50 mg/kg ikan dan suhu 32oC)
Histologi Gonad
Hasil histologi perkembangan gonad belut sawah pada pengamatan minggu
ke0-6 pada perlakuan induksi maskulinisasi dengan MT dan suhu di sajikan pada
Gambar 3.
A
sg
B
C
sd
OA
IM
sg
IM
sc
sc
sz
sd
MI
MI
100 µm
200 µm
200 µm
Gambar 3 Histologi gonad belut sawah pada induksi maskulinisasi dengan MT
dan suhu: A (betina), B (interseks), C (jantan), IM (telur immature), MI
(telur maturing), OA (oosit atresia), sg (spermatogonia), sc
(spermatosit); sd (spermatid), sz (spermatozoa)
Histologi gonad belut sawah menunjukkan tiga tipe gonad yaitu betina,
interseks, dan jantan. Gonad belut sawah betina terdapat oosit dengan beberapa
8
tahap perkembangan telur yaitu immature (IM) dan maturing (MI). Gonad belut
sawah interseks terdapat perkembangan oosit dan spermatogenesis. Pada individu
interseks telah terbentuk spermatogonia (sg) dan spermatosit (sc), serta peluruhan
telur atau oosit atresia (OA). Pada gonad belut sawah jantan sudah tidak terdapat
oosit bahkan telah terbentuk spermatozoa (sz) yang telah matang.
Jenis Kelamin Belut Sawah
Berdasarkan hasil histologi gonad yang dilakukan maka dapat ditentukan
jenis kelamin belut sawah. Pada minggu ke-0 belut sawah yang digunakan
berjenis kelamin betina, setiap dua minggu sekali jenis kelamin belut diperiksa
kembali. Jenis kelamin belut sawah selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.
Pada perlakuan kontrol (A) sampai minggu ke-4 belut sawah masih berkelamin
betina, namun pada minggu ke-6 telah terdapat individu interseks. Pada perlakuan
MT 50 mg/kg ikan dan suhu ruang (B) individu interseks terdapat sejak minggu
ke-2, selanjutnya pada minggu ke-6 diperoleh individu jantan. Pada perlakuan
tanpa MT dan suhu 32oC (C) individu interseks mulai diperoleh minggu ke-4
bahkan juga terdapat individu jantan. Akan tetapi, pada minggu ke-6 tidak
diperoleh individu jantan melainkan betina dan interseks. Pada perlakuan MT dan
suhu 32oC (D) individu interseks diperoleh sejak minggu ke-2, namun sampai
minggu ke-6 tidak terjadi inisiasi perubahan kelamin menjadi jantan.
Tabel 3 Jenis kelamin belut sawah hasil pengamatan histologi gonad
Betina
Perlakuan
A (tanpa MT
dan suhu
ruang)
B (MT 50**
dan suhu
ruang)
C (tanpa MT
dan suhu
32 oC)
D (MT 50**
dan suhu 32oC)
Minggu
ke-
n*
2
4
6
2
4
6
2
4
6
2
4
6
3
3
7
3
3
2
3
3
7
3
3
4
n*
panjang
tubuh (cm)
3
3
5
2
0
0
3
1
3
2
1
0
27,2±1,6
26,5±2,0
26,1±2,2
25,9±1,2
26,13±1,2
27,5±0,0
24,2±0,2
24,5±0,5
27,1±0,0
-
Interseks
panjang
tubuh
n*
(cm)
0 0 2 24,6±0,2
1 24,0±0,0
3 25,9±1,6
1 24,2±0,0
0 1 24,5±0,0
4 25,7±2,7
1 24,6±0,0
2 26,2±1,9
4 27,1±3,7
n*
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
Jantan
panjang
tubuh
(cm)
25,6±0,0
26,5±0,0
-
* jumlah ikan (ekor), ** mg/kg bobot belut
Persentase jenis kelamin belut sawah pada akhir pemeliharaan (minggu ke6) pasca induksi MT dan suhu disajikan pada Tabel 4. Pada perlakuan MT 50
mg/kg ikan dan suhu ruang (B) diperoleh 50% jantan dan 50% interseks dengan
rata-rat panjang tubuh 24,60±0 cm dan 24,20±0 cm. Sedangkan pada perlakuan
kontrol (A) tanpa MT dan suhu ruang menghasilkan 28,57% interseks serta
71,43% betina, perlakuan tanpa MT dan suhu 32oC (C) menghasilkan 57,15%
interseks serta 42,85% betina, perlakuan MT dan suhu 32oC (D) menghasilkan
100% interseks dengan rata-rata panjang tubuh 26,97±3,82 cm.
9
Tabel 4 Persentase jenis kelamin dan rata-rata panjang tubuh belut sawah pada
minggu ke-6 pasca induksi maskulinisasi dengan MT dan suhu
Perlakuan
A (tanpa MT dan
suhu ruang)
B (MT 50* dan
suhu ruang)
C (tanpa MT dan
suhu 32oC)
D (MT 50* dan
suhu 32oC)
Betina
Panjang
(%)
tubuh (cm)
Interseks
Panjang
(%)
tubuh (cm)
Jantan
Panjang
(%)
tubuh (cm)
71,43
26,14 ± 2,20
28,57
23,50 ± 0
0
-
0
-
50
24,20 ± 0
50
24,60 ± 0
42,85
23,35 ± 1,34
57,15
25,14 ± 2,69
0
-
0
-
100
26,97 ± 3,82
0
-
* mg/kg bobot ikan
Bobot mutlak (gram/hari)
Penambahan Bobot Mutlak
Penambahan bobot mutlak belut sawah antar perlakuan menunjukkan hasil
tidak berbeda nyata (P>0,05) (Lampiran 4) yaitu berkisar 0,0079-0,0150 gram/hari
(Gambar 4).
0,1
0,09
0,08
0,07
0,06
0,05
0,04
0,03
0,02
0,01
0
0,0145 ± 0,011
0,0079 ± 0,006 0,0099 ± 0,004
a
a
A
B
a
C
0,0150 ± 0,007
a
D
Perlakuan
Gambar 4 Bobot mutlak belut sawah pada induksi maskulinisasi dengan MT dan
suhu: A (tanpa MT dan suhu ruang), B (MT 50 mg/kg ikan dan suhu
ruang), C (tanpa MT dan suhu 32oC), dan D (MT 50 mg/kg ikan dan
suhu 32oC)
Penambahan Panjang Mutlak
Penambahan panjang mutlak antar perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05)
(Lampiran 5) yaitu berkisar 0,12-0,53 cm (Gambar 5).
Panjang mutlak (cm)
10
2
1,8
1,6
1,4
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
a
0,33 ± 0,23
0,27 ± 0,12
a
A
a
0,40 ± 0,10
a
B
C
0,53 ± 0,12
D
Perlakuan
Gambar 5 Panjang mutlak belut sawah pada induksi maskulinisasi dengan MT dan
suhu: A (tanpa MT dan suhu ruang), B (MT 50 mg/kg ikan dan suhu
ruang), C (tanpa MT dan suhu 32oC), dan D (MT 50 mg/kg ikan dan
suhu 32oC)
TKH (%)
Tingkat Kelangsungan Hidup
Tingkat kelangsungan hidup belut yang diinduksi hormon MT (perlakuan B
dan D) lebih rendah dibandingkan tanpa induksi MT (perlakuan A dan C),
sedangkan suhu 32oC menekan kelangsungan hidup belut yang diinduksi hormon
MT (D) dibandingkan tanpa MT (C) (Gambar 6).
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
78
78
44
22
A
B
C
D
Gambar 6 Tingkat kelangsungan hidup belut sawah pada induksi maskulinisasi
dengan MT dan suhu: A (tanpa MT dan suhu ruang), B (MT 50 mg/kg
ikan dan suhu ruang), C (tanpa MT dan suhu 32oC), dan D (MT 50
mg/kg ikan dan suhu 32oC).
Pembahasan
Perubahan kelamin belut sawah (Monopterus albus) secara berurutan yaitu
juvenile hermaprodit, betina fungsional, interseks (peralihan), kemudian jantan
11
fungsional. Perubahan secara alami dari betina ke jantan terjadi setelah belut
mengalami pemijahan, diikuti dengan menghilangnya jaringan ovari dan
terbentuknya sel interstitial (Leydig) (Chan & Philips 1967). Gonad belut sawah
terdiri dari dua bagian yaitu bagian yang berkembang dan tidak berkembang
(rudimeter) (Gambar 1). Hewan hermaprodit yang berurutan baik protogini
maupun protandri, sejak awal diferensiasi gonad, jaringan ovarian dan testikular
yang rudimeter (sangat kecil) telah ada di setiap ekor ikan (Sjafei et al.
1993).Posisi rudimeter tidak berubah baik telah atau belum matang gonad yaitu di
rongga perut sebelah kiri (Bachri 2000).
Indeks kematangan gonad belut sawah tidak berbeda nyata (P>0,05) antar
perlakuan (Lampiran 3) dan cenderung menurun pada akhir pemeliharaan
(Gambar 2). Nilai IKG tidak berbeda nyata diduga karena semua perlakuan
mengalami peralihan kelamin (interseks) sehingga IKG menurun. Penurunan nilai
IKG dikarenakan adanya telur atresia (luruh), sedangkan kenaikan IKG karena
perkembangan oosit telur. Atresia merupakan suatu proses degenaratif dari
folikel-folikel ovari yang hilang atau penyerapan oosit vitelogenik pada saat
sebelum ovulasi (Santos et al. 2008). Penurunan bobot gonad pada hewan
hermaprodit menunjukkan perubahan dari ovarium menuju perkembangan testes.
Morfologi gonad pada minggu ke-0 dan minggu ke-6 terlihat berbeda (Gambar 1).
Pada minggu ke-0 gonad masih berisi telur dan berwarna kuning, sedangkan di
minggu ke-6 tidak terlihat telur dan warna transparan. Perubahan morfologi ini
menunjukkan degenerasi gonad. Berdasarkan beberapa penelitian menyebutkan
bahwa degenerasi gonad dari ovarium yang mengarah pada perkembangan testis
mengakibatkan penurunan bobot gonad dan mengarah pada penurunan IKG
(Gong et al. 2011; Garcia et al.2013).
Masa transisi atau interseks pada belut sawah diketahui dengan munculnya
jaringan testes (spermatogonia, spermatosit, spermatid, dan spermatozoa) serta
menghilangnya jaringan ovarium (oosit atresia) pada gonad (Gambar 3). Ikan
hermaprodit protogini ketika masih muda gonadnya memiliki daerah testes dan
ovarium, setelah jaringan ovarium berfungsi dan dapat mengeluarkan telur akan
terjadi masa transisi yaitu membesarnya jaringan testes dan mengecilnya ovarium
(Effendie 1997). Secara morfologi belut sawah yang berjenis kelamin betina
punggung berwarna coklat kehitaman, perut kekuningan, kepala kecil dan ekor
panjang dengan ujung meruncing. Sedangkan berjenis kelamin jantan punggung
berwarna coklat kehijauan, perut kuning kecoklatan, kepala besar, dan ekornya
agak pendek dengan bagian ujung tumpul.
Belut sawah yang mengalami transisi kelamin (interseks) tanpa perlakuan
MT pada suhu kamar (kontrol) diduga berumur lebih tua dibandingkan belut
sawah pada kelompok perlakuan lainnya. Belut sawah yang digunakan berasal
dari hasil tangkapan di alam sehingga tidak dapat diketahui keseragaman umur
belut sawah yang digunakan, meskipun diperoleh ukuran yang seragam.
Perubahan kelamin belut sawah berkaitan dengan panjang tubuhnya dan umur
belut sawah (Riani & Ernawati 2004). Berdasarkan berbagai penelitian belut
sawah jantan memiliki panjang >35 cm (Chan & Philips, 1967; Sarwono, 1999;
Riani & Ernawati, 2004).
Belut sawah berkelamin jantan diperoleh dari perlakuan MT 50 mg/kg ikan
pada suhu ruang (B) sebesar 50%, sedangkan 50% lainnya masih interseks.
Hormon MT yang disuntikkan dalam tubuh belut sawah secara langsung akan
12
meningkatkan kadar testosteron pada gonad. Kadar testosteron yang meningkat ini
akan mempengaruhi determinasi kelamin belut sawah ke arah jantan. Peningkatan
testosteron pada hewan hermaprodit protogini secara alami terjadi ketika
pergantian kelamin. Menurut Chan dan Phillips (1969) sekresi estradiol secara
alami pada belut sawah lebih banyak diproduksi pada fase betina sedangkan
sekresi testosteron lebih banyak diproduksi pada fase jantan. Sehingga pemberian
MT tersebut dapat meningkatkan testosteron kemudian terjadi determinasi
kelamin belut sawah ke arah jantan. Selain itu, Perubahan kelamin pada ikan
hermaprodit protogini dikontrol oleh hormon gonadotropin melalui poros
hypotalamus-pituitari-gonad (Garcia et al. 2013). Hormon 17α-metiltestoteron
yang masuk ke tubuh ikan mampu memberikan rangsangan balik terhadap
hypotalamus untuk memacu produksi GnRH selanjutnya merangsang hipofisa
melepas gonadotropin (Sumantadinata 1997). Gonadotropin akan memproduksi
testosteron dan 17β-estradiol yang berfungsi dalam perkembangan gonad. Selain
itu, peningkatan hormon gonadotropin (FSH dan LH) akan mempercepat
pematangan telur pada gonad belut sawah selanjutnya ke tahap peralihan kelamin
(interseks).
Perlakuan suhu 32oC baik tanpa pemberian MT maupun dengan pemberian
MT hanya mendapatkan individu interseks. Perlakuan tanpa MT pada suhu 32 oC
(C) menghasilkan 57,15% interseks dan perlakuan MT pada suhu 32 oC (D)
menghasilkan 100% interseks. Secara alamiah perubahan lingkungan seperti suhu
diterima oleh organ perasa yang meneruskan ke sistem saraf pusat (hypotalamus),
kemudian hypotalamus melepaskan GnRH (gonadotropin releasing hormone)
yang bekerja merangsang kelenjar hipofisa untuk melepaskan GTH
(gonadotropin) (Sumantadinata 1997). Sebagai stimulus eksternal suhu dapat
menggerakkan waktu sintesis dan sekresi hormon dalam hypotalamus (Levy et al.
2011), selain itu dapat mempengaruhi produksi testosteron, 17β-estradiol, dan
enzim aromatase pada gonad (Athauda et al. 2012).
Meskipun perlakuan suhu 32oC menghasilkan >50% interseks, perlakuan ini
dinyatakan belum mampu mempercepat alih kelamin belut sawah. Perubahan suhu
lingkungan bekerja merangsang kelenjar hipofisa untuk melepaskan GTH
(gonadotropin) bukan menghambat enzim aromatase, sehingga testosteron yang
terbentuk tetap diubah menjadi estradiol. Hal ini telah diperiksa oleh Syahputra
(2014) bahwa pemeliharaan belut sawah pada suhu 32oC, hanya mampu
menaikkan konsentrasi testosteron plasma ketika terjadi kejut suhu dari keadaan
alami, selanjutnya konsentrasi menurun sampai akhir perlakuan, sedangkan
konsentrasi estradiol plasma stabil sampai akhir pemeliharaan. Begitu pula dengan
pemberian hormon MT pada suhu 32oC (D) tidak menghasilkan individu jantan
diduga karena kadar testosteron pada gonad tidak lebih tinggi dari kadar estradiol
karena kerja suhu yang meningkatkan GTH tanpa menghambat kerja enzim
aromatase.
Pertumbuhan merupakan penambahan bobot atau panjang dalam waktu
tertentu. Pertumbuhan belut sawah ini dilihat dari bobot mutlak dan panjang
mutlak selama pemeliharaan. Hasil penelitian ini baik panjang mutlak maupun
bobot mutlak belut sawah tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0,05). Hal ini
diduga media pemeliharaan belum nyaman dan penyuntikan setiap seminggu
sekali menyebabkan belut sawah mengalami stres sehingga pertumbuhan belut
sawah terhambat. Perdana (2013) menyatakan bahwa belut sawah yang dipelihara
13
pada media air jernih menunjukkan respon stres tinggi dilihat dari peningkatan
glukosa darah. Stres pada ikan menyebabkan pertumbuhan terhambat berkaitan
dengan nafsu makan ikan menurun (Handajani dan Widodo 2010). Selain faktor
stres, pertumbuhan belut sawah relatif lambat sehingga pemeliharaan selama 42
hari belum cukup untuk menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Khan dan
Ngan (2010) menyatakan bahwa pertumbuhan belut sawah dari 25 gram ke ±190
gram per individu membutuhkan waktu selama 6 bulan.
Kelangsungan hidup belut sawah yang diberi perlakuan hormon (C dan D)
menunjukkan hasil rendah yaitu 50% (Gambar 6). Rendahnya
kelangsungan hidup belut sawah diduga efek paradoksial hormon MT karena
penggunaan dosis atau lama pemberian belum tepat. Hunter dan Donaldson
(1983) menyatakan bahwa fenomena paradoksial dapat terjadi karena penggunaan
dosis hormon yang berlebihan yang berakibat meningkatnya mortalitas,
menurunnya tingkat pertumbuhan, bahkan menyebabkan ikan menjadi steril.
Dosis MT yang efektif dan efisien untuk maskulinisasi belut sawah belum
diketahui. Penggunaan MT pada belut sawah yang telah dilakukan oleh Tang et al.
(1974) dengan dosis 4 dan 8 mg/kg melalui injeksi 2 minggu sekali selama 8
minggu juga belum dapat mengubah kelamin ke arah jantan. Pada kasus ini,
metiltestosteron yang diberikan pada Monopterus albusi tidak signifikan
meningkatkan proses sex reversal, sedangkan adanya peningkatan
spermatogenesis terjadi karena proses alami dari perubahan kelamin belut sawah
(Tang et al. 1974).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Induksi 17α-metiltestosteron 50 mg/kg pada suhu ruang mampu
mengarahkan kelamin jantan belut sawah pada ukuran panjang 24,6-26,2 cm.
Peningkatan suhu media belum mampu menjadi sinyal lingkungan yang dapat
mengubah kelamin belut sawah menjadi jantan.
Saran
Penggunaan hormon 17α-metiltestosteron 50 mg/kg bobot ikan dapat
merangsang perubahan kelamin belut sawah, namun tingkat kelangsungan hidup
rendah. Sehingga untuk penelitian lebih lanjut disarankan menggunakan dosis
hormon MT lebih rendah dari 50 mg/kg bobot ikan.
14
DAFTAR PUSTAKA
Alit IG. 2009. Pengaruh padat penebaran terhadap pertambahan berat dan panjang
badan belut sawah (Monopterus albus). Jurnal Biologi. XIII (1): 25-28
Arfah H, Mariam S, dan Alimuddin. 2005. Pengaruh suhu terhadap reproduksi
dan nisbah kelamin ikan gapi (Poecillia reticulata Peters). Jurnal Akuakultur
Indonesia. 4 (1): 1-4
Athauda S, Anderson T, Nys Rd. 2012. Effect of rearing water temperature on
protandrous sex inversion in cultured asian seabass (Lates calcalifer). General
and Comperative Endriconology. 175: 416-423
Bahri F. 2000. Studi Mengenai Aspek Biologi Ikan Belut Sawah (Monopterus
albus) di Kecamatan Parung Kabupaten Bogor Jawa Barat. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor
Chan STH, Phillips JG. 1967. The structure of the gonad during natural sex
reversal in Monopterus albus (Pisces: Teleostei). Zoology Journal. 151: 129141
Chan STH, Phillips JG. 1969. The Biosynthesis of Steroids by the Gonads of the
Ricefield Eel Monopterus albus at Various Phases During Natural Sex reversal.
General and Comparative Endocrinology. 12: 619–636
Crim LW, Shenwood NM, Wilson CE. 1988. Sustained Hormon Release II,
Effectiveness of LHRH analog (LHRHa) Administration by Either Single Time
Injection or Cholesterol Pellet Implantation on Plasma Gonadotropin Levels in a
Bioassay Model Fish The Juvenile Rainbow Trout. Aquaculture. 74:87-95
Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Bogor
Garcia CEO, Bruno CA, Paulo HM, Amanda MN, Jandir ARF, Andreone TM,
Ricardo AZ, Lucile MFW, Renata GM. 2013. Involvement of Pituitary
Gonadotropins, Gonadal Steroids and Breeding Season in Sex Change of
Protogynous Dusky Grouper, Epinephelus marginatus (Teleostei: Serranidae),
Induced by a Non-Steroidal Aromatase Inhibitor. General and Comparative
Endocrinology. 192: 170-180
Gong S, Goubin Z, Lei Z, Yongchao Y, Hanwen Y. 2011. Effects of Estradiol
Valerate on Steroid Hormones and Sex Reversal of Female Rice Field Eel,
Monopterus albus (Zuiew). Journal of World Aquaculture Society. 42: 96-104
Gunarso W. 1989. Mikroteknik. PAU Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Handajani H, Widodo W. 2010. Nutrisi Ikan. UMM Press. Malang
Hunter GA, Donaldson, EM. 1983. Hormonal sex control and its application to
fish culture. pp. 223-303. In Fish Physiology. W.S. Hoar and D.J. Randall
(Eds.). Vol. IX. Academic Press. New York
Khanh NH, Ngan HTB. 2010. Current Practices of Rice Field Eel Monopterus
Albus (Zuiew, 1793) culture in Viet Nam. Research institute for Aquaculture.
Vol XV (3) : 26-29
Levy G, David D, Degani G. 2011. Effect of environmental temperature on
growth-and reproduction-related hormones gene expression in the female blue
gourami (Trichogaster tricopterus). Comparative Biochemistry and Physiology.
Part A 160: 381-389
Pamungkas AJ. 2006. Efektifitas Hormon 17α-metiltestoteron dan LHRH-a dalam
Mencapai Tingkat Kematangan Gonad Siap Memijah Ikan Belida (Notopterus
15
chitala). Tesis. Program Studi Ilmu Perairan, Sekolah Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor
Perdana BP. 2013. Kinerja Produksi Belut Monopterus albus pada Media
Budidaya yang Berbeda. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
Riani E, Ernawati Y. 2004. Hubungan perubahan jenis kelamin dan ukuran tubuh
ikan belut sawah (Monopterus albus). Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan
Perikanan Indonesia. 11 (2): 139-144
Shinn-Lih Y, Ching-Ming K, Yun-Yuan T, Ching-Fong C. 2003. The effect of
exogenous androgens on ovarian development and sex change in female
orange-spotted protogynous grouper, Epinephelus coioides. Aquaculture. 218:
729-739
Sjafei DS, Rahardjo MF, Affandi R, Brojo M, Sulistiono. 1993. Fisiologi Ikan II;
Reproduksi Ikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Sumantadinata K. 1997. Prospek Bioteknologi dalam Pengembangan Akuakultur
dan Pelestarian Sumberdaya Perikanan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu
Pemuliaan Ikan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor
Syahputra H. 2014. Maskulinisasi belut sawah (Monopterus albus) melalui
induksi aromatase inhibitor dan suhu. Tesis. Program Studi Ilmu Akuakultur,
Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor
Tan-Fermin JD, Garcia LMB, Castillo AR. 1994. Induction of sex inversion in
juvenile grouper, Ephinephelus suillus (Valenciennes) by injection of 17αmethyltestoteron. Ichtyologi Journal. 40 (4): 413-420
Tang F, Chan STH, Lofts B. 1974. Effect of steroid hormones on the process of
natural sex reversal in the rice-field eel, Monopterus albus (Zuiew). General
and Comparative Endocrinology. 24: 227-241
Yamazaki F. 1983. Sex Control and Manipulation in Fish. Aquaculture. 33: 329354
Zairin M. 2002. Sex Reversal Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina.
Penebar Swadaya. Depok
Zairin M, Yunianti A, Dewi RRSPS, Sumantadinata K. 2002. Pengaruh lama
waktu perendaman induk di dalam larutan hormon 17α-metiltestosteron
terhadap nisbah kelamin anak ikan gapi Poecilia reticulata Peters. Jurnal
Akuakultur Indonesia. 1(1): 31-35
16
LAMPIRAN
Lampiran 1 Wadah pemeliharaan belut sawah: (A) tanpa peningkatan suhu dan
(B) dengan peningkatan suhu
A
B
Lampiran 2 Histologi Gonad mengacu pada Gunarso (1989)
1. Fiksasi jaringan gonad ikan direndam dalam larutan BNF selama 24 jam,
setelah itu direndam alkohol 70% selama 24 jam
2. Dehidrasi sampel dengan merendam ke dalam larutan alkohol 80%, alkohol
90%, alkohol 95% secara berurutan selama 2 jam, selanjutnya direndam dalam
alkohol absolut I selama 12 jam, alkohol absolut II selama 1 jam, dan
alkohol:xylol (1:1) selama 30 menit
3. Clearing sampel dengan merendam dalam larutan xylol I, xylol II, dan xylol
III secara berurutan selama 30 menit. Kemudian secara berurutan direndam
cairan parafin I dan parafin II masing-masing selama 45 menit di dalam oven
bersuhu 60oC
4. Embedding yaitu mencetak sample dalam blok parafin setelah mengeras
sampel dipotong dan ditempelkan pada gelas objek
5. Deparafinasi dilakukan dengan merendam preparat jaringan ke dalam larutan
xylol I dan xylol II selama 5 menit, selanjutnya dalam alkohol absolut I,
alkohol absolut I, alkohol 95%, alkohol 90%, alkohol 80%, alkohol 70%,
alkohol 50%, dan akuades masing-masing selama 3 menit.
6. Pewarnaan preparat dilakukan dengan merendam dalam haematoksilin selama
7 menit kemudian dibilas pada air (aquadest) mengalir selama 5 menit.
Selanjutnya kembali direndam dalam eosin selama 3 menit
7. Dehidrasi kembali dilakukan dengan merendam preparat dalam alkohol 50%,
alkohol 70%, alkohol 85%, alkohol 90%, alkohol absolut I, dan alkohol
absolut II masing-masing selama 3 menit
8. Selanjutnya preparat direndam dalam larutan xylol I dan xylol II masingmasing selama 3 menit
17
9. Preparat yang telah diwarnai dilapisi perekat berupa entellan neu kemudian
ditutup dengan cover glass.
Lampiran 3 Indeks Kematangan Gonad belut sawah minggu ke-0 sampai minggu
ke-6
Ulangan ke-
A*
0,00672
0,00499
0,00572
0,01743
0,0058a
0,00050
1
2
3
Jumlah
Rata-rata
Standar error
Indeks Kematangan Gonad (%)
B*
C*
0,00571
0,00569
0,00487
0,00614
0,00419
0,00613
0,01479
0,01797
a
0,0049
0,0059a
0,00439
0,00014
*huruf yang sama menunjukkan data tidak berbeda nyata (p>0,05)
Lampiran 4 Bobot mutlak belut sawah sampai minggu ke-6
Ulangan ke1
2
3
Jumlah
Rata-rata
Standar error
A*
0,001
0,020
0,003
0,024
0,008a
0,010
Pertumbuhan (gram)
B*
C*
0,019
0,004
0,007
0,030
0,010a
0,008
0,001
0,037
0,006
0,044
0,015a
0,020
D*
0,016
0,002
0,028
0,045
0,015a
0,013
*huruf yang sama menunjukkan data tidak berbeda nyata (p>0,05)
Lampiran 5 Panjang mutlak belut sawah sampai minggu ke-6
Ulangan ke1
2
3
Jumlah
Rata-rata
Standar error
A*
0,5
0,2
0,1
0,8
0,267a
0,21
Pertumbuhan (cm)
B*
C*
0,8
0,3
0,1
0,3
0,1
0,6
1
1,2
0,333a
0,400a
0,40
0,17
*huruf yang sama menunjukkan data tidak berbeda nyata (p>0,05)
D*
0,7
0,6
0,3
1,6
0,533a
0,21
D*
0,00526
0,00497
0,00608
0,01631
0,0081a
0,00033
18
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Lilis Desmawati, dilahirkan di Gadingrejo,
Kabupaten Pringsewu, Lampung pada tanggal 6 Desember 1992. Penulis
merupakan putri kedua dari enam bersaudara pasangan Muhyidin dan Rumiyati.
Pendidikan formal penulis diawali di SD Negeri 1 Waygelang (1998-2004), SMP
Negeri 1 Kota Agung (2004-2007), dan SMA Negeri 1 Kota Agung (2007-2010).
Pada tahun 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor
program studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya melalui jalur
Undangan Saringan Masuk IPB (USMI).
Selama kuliah penulis pernah mengikuti kegiatan kemahasiswaan jurnalistik
yaitu Koran Kampus IPB (Korpus) sebagai Reporter periode 2010-2011. Selama
dua periode selanjutnya (2011-2013) penulis mengikuti kegiatan kemahasiswaan
Himpunan Mahasiswa Akuakultur (Himakua) divisi Pengembangan Riset dan
Keilmiahan. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Fisiologi Reproduksi
Organisme Akuatik tahun 2013. Penulis pernah lolos dalam pengajuan PKM
Penelitian yang didanai oleh DIKTI tahun 2013. Penulis juga pernah mengikuti
kegiatan lomba business plan skala nasional yang diadakan oleh Universitas
Negeri Yogyakarta pada April 2013 dan lolos sebagai juara harapan 1 serta
Universitas Gadjah Mada pada November 2013 dan lolos sebagai juara harapan 2.
Selain itu, penulis pernah menerima beasiswa BRI 100 tahun 2011-2012 dan
2012-2013, pada tahun 2013-2014 penulis mendapatkan beasiswa dari Yayasan
Karya Salemba Empat (KSE).
Penulis pernah mengikuti kegiatan IPB Goes To Field yang diadakan oleh
LPPM IPB di Desa Negarayu, Kecamatam Tonjong, Kabupaten Brebes Jawa
Tengah tahun 2012. Selain itu, penulis juga mengikuti magang liburan di Balai
Budidaya Pembenihan Laut di Lampung, komoditas kerapu bebek Chromileptes
altivelis pada tahun 2012. Praktek Kerja Lapang penulis dilakukan di Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut di Bali, pada pembenihan Bandeng
Chanos chanos Forsskal tahun 2013. Tugas akhir dalam pendidikan tinggi sarjana
diselesaikan oleh penulis dengan menyusun skripsi yang berjudul “Maskulinisasi
Belut Sawah Monopterus albus melalui Penyuntikan 17α-metiltestoteron dan
Peningkatan Suhu”.
MELALUI PENYUNTIKAN 17α-METILTESTOTERON
DAN PENINGKATAN SUHU
LILIS DESMAWATI
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Maskulinisasi Belut
Sawah Monopterus albus melalui Penyuntikan 17α-metiltestosteron dan
Peningkatan Suhu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2014
Lilis Desmawati
NIM C14100022
ABSTRAK
LILIS DESMAWATI. Maskulinisasi Belut Sawah Monopterus albus melalui
Penyuntikan 17α-metiltestosteron dan Peningkatan Suhu. Dibimbing oleh
HARTON ARFAH dan DINAR TRI SOELISTYOWATI.
Belut sawah (Monopterus albus) merupakan ikan hermaprodit protogini
dengan peralihan kelamin dari betina, interseks menjadi jantan. Penelitian ini
bertujuan mengarahkan kelamin menjadi jantan pada belut sawah melalui induksi
17α-metiltestosteron (MT) dan peningkatan suhu. Perlakuan dirancang secara
faktorial dengan dua perlakuan yaitu dosis 17α-metiltestosteron (0 dan 50 mg/kg
ikan) dan suhu (ruang dan 32 oC). Setiap perlakuan digunakan 15 ekor belut
sawah, dengan kisaran panjang 26,01±2,23 cm dan bobot 13,67±4,31 g. Induksi
hormon MT diberikan melalui penyuntikan intramuskuler sekali dosis per minggu
sebanyak 5 kali, sedangkan perlakuan suhu diberikan selama 6 minggu. Hasil
penelitian menunjukkan perlakuan MT pada suhu ruang (B) menghasilkan belut
sawah jantan 50% serta interseks 50% dan pada suhu 32 oC (D) diperoleh 100%
interseks, sedangkan perlakuan tanpa MT pada suhu 32 oC (C) menghasilkan
57,15% interseks serta 42,85% betina, dan pada kontrol (A) menghasilkan 28,57%
interseks dan 71,43% betina. Induksi MT 50 mg/kg pada suhu ruang mampu
mengarahkan kelamin jantan belut sawah pada ukuran panjang 24,6-26,2 cm.
Kata kunci: belut sawah, Monopterus albus, 17α-metiltestosteron, suhu, jantan
ABSTRACT
LILIS DESMAWATI. Masculinization of the Ricefield Eel Monopterus albus by
injection of 17α-metiltestosteron and Increased Temperature. Supervised by
HARTON ARFAH and DINAR TRI SOELISTYOWATI.
Ricefield eel (Monopterus albus) is hermaphrodite protoginy fish with the
sex change from female, interseks and male. This study aimed to stimulate of sex
change to obtain male ricefield eel by injection 17α-metiltestosteron (MT) and
increased temperature. The treatment is designed factorial with two treatments,
17α-methyltestosterone doses (0 and 50 mg/kg body weight) and temperature
(room and 32 ° C). Each treatment consisted of 15 ricefield eel, with average body
length 26,01±2,23 cm and weight of 13,67±4,31 g. Induced MT hormone with
intramuscular method once dose every week as much as five weeks, whereas the
induction temperature treatment as long as six weeks. The results treatment MT
and in room water temperature (B) showed 50% male, 50% intersexes, and
temperature at 32oC (D) showed 100% intersexes, whereas the treatment without
MT added and temperature at 32 oC (C) showed 57,15% intersexes, 42,85%
female, and then control treatment (A) showed 28,57% intersexes and 71,43%
female. Induced MT 50 mg/kg body weight capable to direction male ricefield eel
at the body length 24,6-26,2 cm.
Keywords: ricefield eel, Monopterus albus, 17α-metiltestosteron, temperature, male
MASKULINISASI BELUT SAWAH Monopterus albus
MELALUI PENYUNTIKAN 17α-METILTESTOTERON
DAN PENINGKATAN SUHU
LILIS DESMAWATI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Budidaya Perairan
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Maskulinisasi
Belut Sawah Monopterus albus melalui Penyuntikan 17α-metiltestosteron dan
Peningkatan Suhu” ini berhasil diselesaikan. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Ir Harton Arfah, MSi dan Ibu Dr Ir Dinar Tri Soelistyowati, DEA
selaku pembimbing yang telah memberikan banyak saran dan dukungan dalam
pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini,
2. Ibu Dr Ir Mia Setiawati, MSi selaku dosen pembimbing akademik dan penguji
skripsi yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan motivasi selama
penulis menempuh pendidikan sarjana di Departemen Budidaya Perairan.
3. Bapak Ranta, Mbak Lina, Kang Abe, Bapak Arman, dan Bapak Henda yang
telah banyak membantu pelaksanaan penelitian,
4. Keluarga tercinta, Bapak Muhyidin, Ibu Rumiyati, Mbak Eka, Titik, Wiwin,
Putra, dan Nail atas segala bantuan dan dukungan yang diberikan baik secara
materi maupun moril,
5. Teman-teman seperjuangan PBI 47 dan BDP 47 yang telah banyak membantu
terutama Cindy, Fira, Dian, Dita, Evi, Alit, Rere, Aslia, Saki, Ina, Kurdi,
Ryan, Dea, dan Euis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi penulis, ilmu pengetahuan,
masyarakat, dan seluruh pihak yang membutuhkan
Bogor, Desember 2014
Lilis Desmawati
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL…………………………………………………………………ix
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………….......ix
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………....ix
PENDAHULUAN……………………………………………………………..... ..1
Latar Belakang………………………………………………………………... ..1
Tujuan Penelitian……………………………………………………………….. 2
METODE………………………………………………………………………… .2
Materi Uji……………………………………………………………………… .2
Ikan Uji ……………………………………………………………………….2
Persiapan Hormon ……………………………………………………………2
Rancangan Penelitian …………………………………………………………...2
Prosedur Penelitian ……………………………………………………………..3
Persiapan Wadah dan Pemeliharaan Ikan …………………………………….3
Perlakuan Maskulinisasi ……………………………………………………...3
Pengelolaan Kualitas Air ...…………………………………………………...3
Parameter Penelitian …………………………………………………………….4
Indeks Kematangan Gonad …………………………………………………...4
Histologi Gonad dan Identifikasi Status Kelamin ……………………………4
Penambahan Bobot Mutlak …………………………………………………4
Penambahan Panjang Mutlak ………………………………………………..5
Tingkat Kelangsungan Hidup ………………………………………………...5
Analisis Data ………...………………………………………………………….5
HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………………………5
Hasil …………………………………………………………………………….5
Morfologi Gonad ……………………………………………………………..5
Indeks Kematangan Gonad …………………………………………………...6
Histologi Gonad ………………………………………………………………7
Jenis Kelamin Belut Sawah…………..……………………………………….8
Pertambahan Bobot Mutlak …..………………………………………………9
Pertambahan Panjang Mutlak ...………………………………………………9
Tingkat Kelangsungan Hidup ……………………………………………….10
Pembahasan ……………………………………………………………………10
KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………….13
Kesimpulan….…………………………………………………………………13
Saran …………………………………………………………………………..13
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………14
LAMPIRAN ……………………………………………………………………...16
RIWAYAT HIDUP ………………………………………………………………18
DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
Panjang dan bobot rata-rata awal belut sawah………………………………... 2
Nilai kualitas air pemeliharaan belut sawah………………………………....... 4
Jenis kelamin belut sawah hasil pengamatan histologi gonad………………………. 8
Persentase jenis kelamin dan rata-rata panjang tubuh belut sawah pada
minggu ke-6 pasca induksi maskulinisasi dengan MT dan suhu….…………... 9
DAFTAR GAMBAR
1. Gonad belut sawah minggu ke-0 dan minggu ke-6 pada induksi maskulinisasi
dengan MT dan suhu…………………………………………………………... 6
2. Indeks kematangan gonad belut sawah minggu ke0-6 pada induksi
maskulinisasi dengan MT dan suhu: A (tanpa MT dan suhu ruang), B (MT 50
mg/kg ikan dan suhu ruang), C (tanpa MT dan suhu 32oC), dan D (MT 50
mg/kg ikan dan suhu 32oC)………………....................................................... 7
3. Histologi gonad belut sawah pada diinduksi maskulinisasi dengan MT dan
suhu: M (minggu), IM (telur immature), MI (telur maturing), OA (oosit
atresia), sg (spermatogonia), sc (spermatosit), sd (spermatid), sz
(spermatozoa)…………………………………………………..….…………... 7
4. Bobot mutlak belut sawah pada induksi maskulinisasi dengan MT dan suhu:
A (tanpa MT dan suhu ruang), B (MT 50 mg/kg ikan dan suhu ruang), C
(tanpa MT dan suhu 32oC), dan D (MT 50 mg/kg ikan dan suhu 32oC)……… 9
5. Panjang mutlak belut sawah pada induksi maskulinisasi dengan MT dan suhu:
A (tanpa MT dan suhu ruang), B (MT 50 mg/kg ikan dan suhu ruang), C
(tanpa MT dan suhu 32oC), dan D (MT 50 mg/kg ikan dan suhu 32oC)……… 10
6. Tingkat kelangsungan hidup belut sawah pada induksi maskulinisasi dengan
MT dan suhu: A (tanpa MT dan suhu ruang), B (MT 50 mg/kg ikan dan suhu
ruang), C (tanpa MT dan suhu 32oC), dan D (MT 50 mg/kg ikan dan suhu
32oC)………………………………………………………………………...… 10
DAFTAR LAMPIRAN
1. Wadah pemeliharaan belut sawah: (A) tanpa peningkatan suhu dan (B)
dengan peningkatan suhu…………………...................................................... 16
2. Histologi gonad mengacu pada Gunarso (1989)………………………........... 16
3. Indeks kematangan gonad sawah minggu ke-0 sampai minggu ke-6…….…… 17
4. Bobot mutlak belut sawah sampai minggu ke-6…………………………….… 17
5. Panjang mutlak belut sawah sampai minggu ke-6…………………………….. 17
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Belut sawah Monopterus albus merupakan hewan hermaprodit protogini
dengan peralihan kelamin dari betina, interseks kemudian jantan. Secara alami
peralihan kelamin belut dari betina ke jantan dimulai setelah belut mengalami
pemijahan, diikuti dengan menghilangnya jaringan ovari dan terbentuknya sel
interstitial (Leydig) (Chan & Philips 1967). Jenis kelamin belut diperkirakan
sangat berkaitan dengan panjang tubuhnya. Belut sawah dengan panjang tubuh
>35 cm telah mengalami perubahan menjadi jantan (Chan & Philips 1967; Riani
& Ernawati 2004).
Masa diferensiasi belut sawah menjadi jantan belum diketahui secara pasti
sehingga menjadi kendala ketersediaan sinkronisasi kelamin jantan dan betina
yang matang untuk proses reproduksi. Upaya untuk memperoleh kepastian fase
peralihan kelamin belut menjadi jantan dapat dilakukan menggunakan teknologi
sex reversal. Sex reversal pada belut sawah dapat diarahkan melalui dua
mekanisme yaitu hereditas dan faktor lingkungan (Gong et al. 2011). Faktor
lingkungan yang dapat digunakan sebagai pengalihan kelamin yaitu eksogenus
steroid berupa 17α-metiltestosteron dan suhu lingkungan. 17α-metiltestosteron
(MT) merupakan hormon sintetis dengan sisi atom karbon ke-17 dalam gugus
testosteron ditempeli gugus metil agar lebih tahan lama di dalam tubuh ikan
(Zairin 2002). Implantasi MT 150 µg/kg pakan dapat meningkatkan kadar hormon
testosteron dalam plasma darah ikan belida Notopterus chilata (Pamungkas 2006).
Kenaikan kadar testosteron pada gonad dapat merangsang diferensiasi gonad dan
spermatogenesis (Yamazaki 1983).
Hormon 17α-metiltestosteron yang masuk ke tubuh ikan mampu
memberikan rangsangan balik terhadap hypotalamus untuk memacu produksi
GnRH selanjutnya merangsang hipofisa melepas gonadotropin (Sumantadinata
1997). Peningkatan hormon gonadotropin (FSH dan LH) akan mempercepat
pematangan telur pada gonad belut sehingga memungkinkan terjadinya proses
interseks. Aplikasi MT dapat dilakukan melalui pakan, perendaman, dan suntikan
atau implantasi. Perendaman induk ikan gapi Poecilia reticulata Peters dalam
larutan MT 2 mg/l selama 24 dan 48 jam menghasilkan anak berfenotip jantan
sebesar 100% (Zairin et al. 2002). Induksi MT 5 mg/kg bobot juvenil kerapu
lumpur Ephinephelus suillus sebanyak 12 kali suntikan mengaktifkan proses
spermatogenesis pada gonad (Tan-Fermin et al. 1994), serta implantasi gabungan
androgen (MT, 11-Ketotestoteron, dan Testoteron Propionate) dengan dosis 1000
µg/kg bobot Epinephelus coioides mempengaruhi peralihan kelamin ke arah
jantan bahkan menjadi jantan fungsional (Shinn-Lih et al. 2003).
Suhu sebagai stimulus eksternal dapat menggerakkan waktu sintesis dan
sekresi hormon melalui sumbu otak (hypotalamus)-pituitary-gonad (Levy et al.
2011). Perubahan suhu lingkungan mempengaruhi produksi kadar testosteron,
17β-estradiol, dan enzim aromatase pada gonad (Athauda et al. 2012).
Peningkatan suhu pada pemeliharaan belut sawah diduga dapat mempengaruhi
peningkatan hormon jantan testosteron dan ketotestosteron. Pemeliharaan belut
sawah Monopterus albus berukuran 24±2 cm selama 42 hari pada suhu 32 oC
2
menunjukkan kadar testosteron lebih besar dibandingkan kontrol, bahkan terdapat
individu interseks hingga 83,33% (Syahputra 2014).
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah merangsang peralihan kelamin belut sawah
untuk mendapatkan belut sawah jantan pada umur dan ukuran yang sesuai melalui
induksi 17α-metiltestoteron (MT) dan suhu.
METODE
Materi Uji
Ikan Uji
Ikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah belut sawah diperoleh dari
hasil tangkapan didaerah Sukabumi. Panjang rata-rata dan bobot rata-rata belut
sawah yang digunakan perperlakuan disajikan pada Tabel 1. Jumlah ikan yang
digunakan setiap perlakuan yaitu 15 ekor. Sebelum diberi perlakuan, ikan
diadaptasikan pada lingkungan pemeliharaan secara terkontrol selama 1,5 bulan
dan diberi pakan cacing sutra.
Tabel 1 Panjang dan bobot rata-rata awal belut sawah
Perlakuan
A (tanpa MT dan suhu ruang)
B (MT 50* dan suhu ruang)
C (tanpa MT dan suhu 32oC)
D (MT 50* dan suhu 32oC)
Panjang rata-rata (cm)
26,29±2,07
26,06±1,75
25,77±1,69
26,23±2,32
Bobot rata-rata (gram)
15,09±4,75
12,97±4,01
13,02±3,78
13,45±4,60
*mg/kg bobot belut
Persiapan Hormon
Hormon yang digunakan dalam penelitian berupa hormon sintetis 17αmetiltestosteron. Hormon 17α-metiltestosteron 100 mg dilarutkan dalam 1 ml
alkohol 70%, kemudian diencerkan dengan 9 ml minyak zaitun sehingga kadar
alkohol menjadi 7%.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 6 minggu pemeliharaan pada bulan JuniAgustus 2014 di Laboratorium teknik produksi dan manajemen Akuakultur,
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor. Perlakuan dirancang secara faktorial dengan dua faktor yaitu
dosis 17α-metiltestosteron (0 dan 50 mg/kg ikan) dan suhu (ruang dan 32 oC)
sebagai berikut:
3
Perlakuan A : Tanpa 17α-metiltestosteron dan suhu ruang (28-29 oC)
Perlakuan B : 17α-metiltestosteron 50 mg/kg dan suhu ruang (28-29 oC)
Perlakuan C : Tanpa 17α-metiltestosteron dan suhu 32 oC
Perlakuan D : 17α-metiltestosteron 50 mg/kg dan suhu 32 oC
Prosedur Penelitian
Persiapan Wadah dan Pemeliharaan Ikan
Wadah yang digunakan berupa 4 buah akuarium berukuran 80x40x40 cm3.
Sebelum digunakan akuarium terlebih dahulu dibersihkan menggunakan sabun
kemudian dibilas bersih. Selanjutnya akuarium dicuci kembali dengan klorin
(N3OCl) dengan dosis 1000 ppm lalu dibilas hingga bersih. Sterilisasi juga
dilakukan pada peralatan yang akan digunakan seperti selang aerasi, pipa paralon,
dan batu aerasi. Semua sisi akuarium ditutup dengan plastik hitam, selain itu
setiap akuarium diberi shelter sebanyak 2 buah, berupa pipa paralon berdiameter 2
inci dan panjang 20 cm. Setelah siap akuarium diisi air setinggi 10 cm kemudian
dipasang aerator dan heather sesuai suhu perlakuan (Lampiran 1). Sebelum
perlakuan ikan dipelihara selama 1,5 bulan untuk adaptasi lingkungan. Kemudian
ikan dipindahkan pada wadah sesuai perlakuan dengan masing-masing perlakuan
15 ekor. Perlakuan ini berlangsung selama 6 minggu. Selama pemeliharaan belut
diberi pakan cacing sutra dua kali sehari pada pagi dan sore hari dengan metode
pemberian ad satiation yaitu selalu tersedia pakan dalam wadah.
Perlakuan Maskulinisasi
Sebelum disuntik, belut dipingsankan menggunakan stabilizer dengan cara
merendam belut pada dosis 1 ml/l air selama ± 20 menit. Setelah pingsan belut
ditimbang menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 gram dan
diukur panjang tubuhnya menggunakan penggaris 30 cm dengan ketelitian 0,1 cm.
Kemudian belut disuntik secara intramuskuler baik tanpa pemberian MT maupun
dengan pemberian MT. Belut sawah tanpa perlakuan MT disuntik dengan larutan
fisiologis (NaCl) dengan dosis 3 ml/kg bobot belut, sedangkan perlakuan MT
disuntik dengan MT dengan dosis 50 mg/kg bobot belut. Penyuntikan dilakukan
menggunakan syringe berukuran 0,5 ml dengan jarum berukuran 0,3 mm x 8 mm.
Ikan disuntik satu kali dalam seminggu sebanyak 5 kali yaitu pada minggu ke-0, 1,
2, 3, dan 4. Setelah disuntik, ikan disadarkan kembali dengan meletakkan ke
dalam akuarium yang diberi aerasi kuat. Kemudian masing-masing media
pemeliharaan yang diberi el bayu sebanyak 3 mg/L air untuk mempercepat
penyembuhan luka.
Pengelolaan Kualitas Air
Pengecekan kualitas air seperti suhu, DO, pH, NH3, dan nitrit dilakukan
pada awal, tengah dan akhir pemeliharaan. Penggantian air dilakukan setiap dua
hari sekali sebanyak 50% volume awal. Volume air yang digunakan sebanyak 32
liter yaitu 10 cm tinggi air dari tinggi akuarium. . Setiap akuarium diberi dua titik
4
aerasi untuk menambah oksigen dalam air. Hasil pengelolaan kualitas air selama
pemeliharaan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Nilai kualitas air pemeliharaan belut sawah
Parameter kualitas air
Suhu (oC)
DO (mg/L)
pH
Nitrit (mg/L)
NH3 (mg/L)
Media A
27,5-28,5
5,2-6,0
6,98-8,01
0,13-1,48
0,006-0,010
Media B
28,0-29,5
4,7-6,1
6,91-7,90
0,22-0,74
0,005-0,088
Media C
32,0-33,0
5,1-5,8
6,56-7,67
0,4-0,72
0,003-0,082
Media D
32,0-33,0
4,9-5,8
6,16-7,86
0,51-1,02
0,001-0,013
Parameter Penelitian
Indeks Kematangan Gonad
Indeks kematangan gonad merupakan sebuah nilai perbandingan antara
berat gonad dengan keseluruhan bobot tubuh ikan. Pengamatan IKG ini dilakukan
pada minggu ke-0, 2, 4, dan 6. Rumus IKG menurut Crim et al. (1988) adalah
sebagai berikut:
IKG =
Keterangan:
IKG
Wg
W
Wg
W
× 100%
: Indeks Kematangan Gonad (%)
: Bobot gonad (gram)
: Bobot tubuh ikan (gram)
Histologi Gonad dan Identifikasi Status Kelamin
Histologi gonad belut melalui tahapan fixation, decalcification, bleaching,
embedding, sectioning, staining, dan mounting yang mengacu pada metode
Gunarso (1989) (Lampiran 2). Histologi gonad dilakukan pada minggu ke-0, 2,
dan 4 sebanyak 3 ekor untuk masing-masing perlakuan, kemudian pada minggu
ke-6 semua ikan uji yang tersisa di histologi. Berdasarkan hasil histologi yang
diperoleh dapat diketahui status kelamin belut (betina, interseks, dan jantan),
persentase jenis kelamin belut dapat dihitung melalui rumus:
Persentase Jenis Kelamin (b,i,j) =
Keterangan:
b : betina
i : interseks
Jumlah Ikan (b,i,j)
Jumlah ikan diamati
× 100%
j : jantan
Penambahan Bobot Mutlak
Bobot tubuh belut diukur menggunakan timbangan digital dengan ketelitian
0,01 gram. Penambahan bobot mutlak dihitung dengan rumus:
5
Bm =
Bt - B0
t
Keterangan :
Bm
: Bobot mutlak (gram/hari)
Bt
: Bobot rata-rata pada akhir pemeliharaan (gram)
B0
: Bobot rata-rata awal pemeliharaan (gram)
t
: Waktu pemeliharaan (hari)
Penambahan Panjang Mutlak
Panjang tubuh belut diukur menggunakan penggaris dengan ketelitian 0,1
cm. Penambahan panjang mutlak dihitung dengan rumus:
Pm = Pt – P0
Pm
Pt
P0
: Panjang mutlak (cm)
: Panjang rata-rata pada akhir pemeliharaan (cm)
: Panjang rata-rata awal pemeliharaan (cm)
Tingkat Kelangsungan Hidup
Tingkat kelangsungan hidup (TKH) dihitung dengan rumus:
TKH=
Nt
N0
x 100%
Keterangan:
TKH
: Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt
: Jumlah ikan hidup pada akhir pemeliharaan (ekor)
N0
: Jumlah ikan pada awal pemeliharaan (ekor)
Analisis Data
Data hasil pengamatan indeks kematangan gonad (IKG), pertambahan bobot
mutlak dan panjang mutlak dianalisis menggunakan SPSS16.0 dengan taraf
kepercayaan 95%. Sedangkan, hasil pengamatan histologi gonad, persentase jenis
kelamin, dan tingkat kelangsungan hidup (TKH) dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Morfologi Gonad
Morfologi gonad belut sawah pada minggu ke-0 secara umum telah berisi
telur yang berwarna kuning, sedangkan pada minggu ke-6 berwarna putih
6
transparan (Gambar 1). Volume gonad belut pada minggu ke-0 lebih berisi
dibadingkan gonad di minggu ke-6. Gonad belut sawah terbagi menjadi 2 bagian
yaitu bagian berkembang dan tidak berkembang (rudimeter).
rudimeter
M0
A M6
B M6
C M6
D M6
Gambar 1 Gonad belut sawah minggu ke-0 dan minggu ke-6 pada induksi
maskulinisasi dengan MT dan suhu: A (tanpa MT dan suhu ruang), B
(MT 50 mg/kg ikan dan suhu ruang), C (tanpa MT dan suhu 32 oC), D
(MT 50 mg/kg ikan dan suhu 32 oC), M (minggu)
Indeks Kematangan Gonad
Pola Indeks kematangan gonad (IKG) belut sawah pada umumnya menurun
pada minggu ke-2 kemudian meningkat pada minggu ke-4 IKG dan menurun
kembali pada minggu ke-6, kecuali pada perlakuan MT dan suhu 32oC (D), IKG
meningkat pada minggu ke-2 kemudian menurun sampai minggu ke-6 (Gambar 2).
Akan tetapi, nilai IKG minggu ke-6 semua perlakuan secara statistik tidak
menunjukkan perbedaan nyata (P>0,05) (Lampiran 3).
Indeks Kematangan Gonad
(%)
7
0,008
0,007
0,006
0,005
0,004
0,003
0,002
0,001
0
A
B
C
D
0
2
4
6
Minggu ke-
Gambar 2 Indeks kematangan gonad belut sawah minggu ke0-6 pada induksi
maskulinisasi dengan MT dan suhu: A (tanpa MT dan suhu ruang), B
(MT 50 mg/kg ikan dan suhu ruang), C (tanpa MT dan suhu 32oC),
dan D (MT 50 mg/kg ikan dan suhu 32oC)
Histologi Gonad
Hasil histologi perkembangan gonad belut sawah pada pengamatan minggu
ke0-6 pada perlakuan induksi maskulinisasi dengan MT dan suhu di sajikan pada
Gambar 3.
A
sg
B
C
sd
OA
IM
sg
IM
sc
sc
sz
sd
MI
MI
100 µm
200 µm
200 µm
Gambar 3 Histologi gonad belut sawah pada induksi maskulinisasi dengan MT
dan suhu: A (betina), B (interseks), C (jantan), IM (telur immature), MI
(telur maturing), OA (oosit atresia), sg (spermatogonia), sc
(spermatosit); sd (spermatid), sz (spermatozoa)
Histologi gonad belut sawah menunjukkan tiga tipe gonad yaitu betina,
interseks, dan jantan. Gonad belut sawah betina terdapat oosit dengan beberapa
8
tahap perkembangan telur yaitu immature (IM) dan maturing (MI). Gonad belut
sawah interseks terdapat perkembangan oosit dan spermatogenesis. Pada individu
interseks telah terbentuk spermatogonia (sg) dan spermatosit (sc), serta peluruhan
telur atau oosit atresia (OA). Pada gonad belut sawah jantan sudah tidak terdapat
oosit bahkan telah terbentuk spermatozoa (sz) yang telah matang.
Jenis Kelamin Belut Sawah
Berdasarkan hasil histologi gonad yang dilakukan maka dapat ditentukan
jenis kelamin belut sawah. Pada minggu ke-0 belut sawah yang digunakan
berjenis kelamin betina, setiap dua minggu sekali jenis kelamin belut diperiksa
kembali. Jenis kelamin belut sawah selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.
Pada perlakuan kontrol (A) sampai minggu ke-4 belut sawah masih berkelamin
betina, namun pada minggu ke-6 telah terdapat individu interseks. Pada perlakuan
MT 50 mg/kg ikan dan suhu ruang (B) individu interseks terdapat sejak minggu
ke-2, selanjutnya pada minggu ke-6 diperoleh individu jantan. Pada perlakuan
tanpa MT dan suhu 32oC (C) individu interseks mulai diperoleh minggu ke-4
bahkan juga terdapat individu jantan. Akan tetapi, pada minggu ke-6 tidak
diperoleh individu jantan melainkan betina dan interseks. Pada perlakuan MT dan
suhu 32oC (D) individu interseks diperoleh sejak minggu ke-2, namun sampai
minggu ke-6 tidak terjadi inisiasi perubahan kelamin menjadi jantan.
Tabel 3 Jenis kelamin belut sawah hasil pengamatan histologi gonad
Betina
Perlakuan
A (tanpa MT
dan suhu
ruang)
B (MT 50**
dan suhu
ruang)
C (tanpa MT
dan suhu
32 oC)
D (MT 50**
dan suhu 32oC)
Minggu
ke-
n*
2
4
6
2
4
6
2
4
6
2
4
6
3
3
7
3
3
2
3
3
7
3
3
4
n*
panjang
tubuh (cm)
3
3
5
2
0
0
3
1
3
2
1
0
27,2±1,6
26,5±2,0
26,1±2,2
25,9±1,2
26,13±1,2
27,5±0,0
24,2±0,2
24,5±0,5
27,1±0,0
-
Interseks
panjang
tubuh
n*
(cm)
0 0 2 24,6±0,2
1 24,0±0,0
3 25,9±1,6
1 24,2±0,0
0 1 24,5±0,0
4 25,7±2,7
1 24,6±0,0
2 26,2±1,9
4 27,1±3,7
n*
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
Jantan
panjang
tubuh
(cm)
25,6±0,0
26,5±0,0
-
* jumlah ikan (ekor), ** mg/kg bobot belut
Persentase jenis kelamin belut sawah pada akhir pemeliharaan (minggu ke6) pasca induksi MT dan suhu disajikan pada Tabel 4. Pada perlakuan MT 50
mg/kg ikan dan suhu ruang (B) diperoleh 50% jantan dan 50% interseks dengan
rata-rat panjang tubuh 24,60±0 cm dan 24,20±0 cm. Sedangkan pada perlakuan
kontrol (A) tanpa MT dan suhu ruang menghasilkan 28,57% interseks serta
71,43% betina, perlakuan tanpa MT dan suhu 32oC (C) menghasilkan 57,15%
interseks serta 42,85% betina, perlakuan MT dan suhu 32oC (D) menghasilkan
100% interseks dengan rata-rata panjang tubuh 26,97±3,82 cm.
9
Tabel 4 Persentase jenis kelamin dan rata-rata panjang tubuh belut sawah pada
minggu ke-6 pasca induksi maskulinisasi dengan MT dan suhu
Perlakuan
A (tanpa MT dan
suhu ruang)
B (MT 50* dan
suhu ruang)
C (tanpa MT dan
suhu 32oC)
D (MT 50* dan
suhu 32oC)
Betina
Panjang
(%)
tubuh (cm)
Interseks
Panjang
(%)
tubuh (cm)
Jantan
Panjang
(%)
tubuh (cm)
71,43
26,14 ± 2,20
28,57
23,50 ± 0
0
-
0
-
50
24,20 ± 0
50
24,60 ± 0
42,85
23,35 ± 1,34
57,15
25,14 ± 2,69
0
-
0
-
100
26,97 ± 3,82
0
-
* mg/kg bobot ikan
Bobot mutlak (gram/hari)
Penambahan Bobot Mutlak
Penambahan bobot mutlak belut sawah antar perlakuan menunjukkan hasil
tidak berbeda nyata (P>0,05) (Lampiran 4) yaitu berkisar 0,0079-0,0150 gram/hari
(Gambar 4).
0,1
0,09
0,08
0,07
0,06
0,05
0,04
0,03
0,02
0,01
0
0,0145 ± 0,011
0,0079 ± 0,006 0,0099 ± 0,004
a
a
A
B
a
C
0,0150 ± 0,007
a
D
Perlakuan
Gambar 4 Bobot mutlak belut sawah pada induksi maskulinisasi dengan MT dan
suhu: A (tanpa MT dan suhu ruang), B (MT 50 mg/kg ikan dan suhu
ruang), C (tanpa MT dan suhu 32oC), dan D (MT 50 mg/kg ikan dan
suhu 32oC)
Penambahan Panjang Mutlak
Penambahan panjang mutlak antar perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05)
(Lampiran 5) yaitu berkisar 0,12-0,53 cm (Gambar 5).
Panjang mutlak (cm)
10
2
1,8
1,6
1,4
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
a
0,33 ± 0,23
0,27 ± 0,12
a
A
a
0,40 ± 0,10
a
B
C
0,53 ± 0,12
D
Perlakuan
Gambar 5 Panjang mutlak belut sawah pada induksi maskulinisasi dengan MT dan
suhu: A (tanpa MT dan suhu ruang), B (MT 50 mg/kg ikan dan suhu
ruang), C (tanpa MT dan suhu 32oC), dan D (MT 50 mg/kg ikan dan
suhu 32oC)
TKH (%)
Tingkat Kelangsungan Hidup
Tingkat kelangsungan hidup belut yang diinduksi hormon MT (perlakuan B
dan D) lebih rendah dibandingkan tanpa induksi MT (perlakuan A dan C),
sedangkan suhu 32oC menekan kelangsungan hidup belut yang diinduksi hormon
MT (D) dibandingkan tanpa MT (C) (Gambar 6).
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
78
78
44
22
A
B
C
D
Gambar 6 Tingkat kelangsungan hidup belut sawah pada induksi maskulinisasi
dengan MT dan suhu: A (tanpa MT dan suhu ruang), B (MT 50 mg/kg
ikan dan suhu ruang), C (tanpa MT dan suhu 32oC), dan D (MT 50
mg/kg ikan dan suhu 32oC).
Pembahasan
Perubahan kelamin belut sawah (Monopterus albus) secara berurutan yaitu
juvenile hermaprodit, betina fungsional, interseks (peralihan), kemudian jantan
11
fungsional. Perubahan secara alami dari betina ke jantan terjadi setelah belut
mengalami pemijahan, diikuti dengan menghilangnya jaringan ovari dan
terbentuknya sel interstitial (Leydig) (Chan & Philips 1967). Gonad belut sawah
terdiri dari dua bagian yaitu bagian yang berkembang dan tidak berkembang
(rudimeter) (Gambar 1). Hewan hermaprodit yang berurutan baik protogini
maupun protandri, sejak awal diferensiasi gonad, jaringan ovarian dan testikular
yang rudimeter (sangat kecil) telah ada di setiap ekor ikan (Sjafei et al.
1993).Posisi rudimeter tidak berubah baik telah atau belum matang gonad yaitu di
rongga perut sebelah kiri (Bachri 2000).
Indeks kematangan gonad belut sawah tidak berbeda nyata (P>0,05) antar
perlakuan (Lampiran 3) dan cenderung menurun pada akhir pemeliharaan
(Gambar 2). Nilai IKG tidak berbeda nyata diduga karena semua perlakuan
mengalami peralihan kelamin (interseks) sehingga IKG menurun. Penurunan nilai
IKG dikarenakan adanya telur atresia (luruh), sedangkan kenaikan IKG karena
perkembangan oosit telur. Atresia merupakan suatu proses degenaratif dari
folikel-folikel ovari yang hilang atau penyerapan oosit vitelogenik pada saat
sebelum ovulasi (Santos et al. 2008). Penurunan bobot gonad pada hewan
hermaprodit menunjukkan perubahan dari ovarium menuju perkembangan testes.
Morfologi gonad pada minggu ke-0 dan minggu ke-6 terlihat berbeda (Gambar 1).
Pada minggu ke-0 gonad masih berisi telur dan berwarna kuning, sedangkan di
minggu ke-6 tidak terlihat telur dan warna transparan. Perubahan morfologi ini
menunjukkan degenerasi gonad. Berdasarkan beberapa penelitian menyebutkan
bahwa degenerasi gonad dari ovarium yang mengarah pada perkembangan testis
mengakibatkan penurunan bobot gonad dan mengarah pada penurunan IKG
(Gong et al. 2011; Garcia et al.2013).
Masa transisi atau interseks pada belut sawah diketahui dengan munculnya
jaringan testes (spermatogonia, spermatosit, spermatid, dan spermatozoa) serta
menghilangnya jaringan ovarium (oosit atresia) pada gonad (Gambar 3). Ikan
hermaprodit protogini ketika masih muda gonadnya memiliki daerah testes dan
ovarium, setelah jaringan ovarium berfungsi dan dapat mengeluarkan telur akan
terjadi masa transisi yaitu membesarnya jaringan testes dan mengecilnya ovarium
(Effendie 1997). Secara morfologi belut sawah yang berjenis kelamin betina
punggung berwarna coklat kehitaman, perut kekuningan, kepala kecil dan ekor
panjang dengan ujung meruncing. Sedangkan berjenis kelamin jantan punggung
berwarna coklat kehijauan, perut kuning kecoklatan, kepala besar, dan ekornya
agak pendek dengan bagian ujung tumpul.
Belut sawah yang mengalami transisi kelamin (interseks) tanpa perlakuan
MT pada suhu kamar (kontrol) diduga berumur lebih tua dibandingkan belut
sawah pada kelompok perlakuan lainnya. Belut sawah yang digunakan berasal
dari hasil tangkapan di alam sehingga tidak dapat diketahui keseragaman umur
belut sawah yang digunakan, meskipun diperoleh ukuran yang seragam.
Perubahan kelamin belut sawah berkaitan dengan panjang tubuhnya dan umur
belut sawah (Riani & Ernawati 2004). Berdasarkan berbagai penelitian belut
sawah jantan memiliki panjang >35 cm (Chan & Philips, 1967; Sarwono, 1999;
Riani & Ernawati, 2004).
Belut sawah berkelamin jantan diperoleh dari perlakuan MT 50 mg/kg ikan
pada suhu ruang (B) sebesar 50%, sedangkan 50% lainnya masih interseks.
Hormon MT yang disuntikkan dalam tubuh belut sawah secara langsung akan
12
meningkatkan kadar testosteron pada gonad. Kadar testosteron yang meningkat ini
akan mempengaruhi determinasi kelamin belut sawah ke arah jantan. Peningkatan
testosteron pada hewan hermaprodit protogini secara alami terjadi ketika
pergantian kelamin. Menurut Chan dan Phillips (1969) sekresi estradiol secara
alami pada belut sawah lebih banyak diproduksi pada fase betina sedangkan
sekresi testosteron lebih banyak diproduksi pada fase jantan. Sehingga pemberian
MT tersebut dapat meningkatkan testosteron kemudian terjadi determinasi
kelamin belut sawah ke arah jantan. Selain itu, Perubahan kelamin pada ikan
hermaprodit protogini dikontrol oleh hormon gonadotropin melalui poros
hypotalamus-pituitari-gonad (Garcia et al. 2013). Hormon 17α-metiltestoteron
yang masuk ke tubuh ikan mampu memberikan rangsangan balik terhadap
hypotalamus untuk memacu produksi GnRH selanjutnya merangsang hipofisa
melepas gonadotropin (Sumantadinata 1997). Gonadotropin akan memproduksi
testosteron dan 17β-estradiol yang berfungsi dalam perkembangan gonad. Selain
itu, peningkatan hormon gonadotropin (FSH dan LH) akan mempercepat
pematangan telur pada gonad belut sawah selanjutnya ke tahap peralihan kelamin
(interseks).
Perlakuan suhu 32oC baik tanpa pemberian MT maupun dengan pemberian
MT hanya mendapatkan individu interseks. Perlakuan tanpa MT pada suhu 32 oC
(C) menghasilkan 57,15% interseks dan perlakuan MT pada suhu 32 oC (D)
menghasilkan 100% interseks. Secara alamiah perubahan lingkungan seperti suhu
diterima oleh organ perasa yang meneruskan ke sistem saraf pusat (hypotalamus),
kemudian hypotalamus melepaskan GnRH (gonadotropin releasing hormone)
yang bekerja merangsang kelenjar hipofisa untuk melepaskan GTH
(gonadotropin) (Sumantadinata 1997). Sebagai stimulus eksternal suhu dapat
menggerakkan waktu sintesis dan sekresi hormon dalam hypotalamus (Levy et al.
2011), selain itu dapat mempengaruhi produksi testosteron, 17β-estradiol, dan
enzim aromatase pada gonad (Athauda et al. 2012).
Meskipun perlakuan suhu 32oC menghasilkan >50% interseks, perlakuan ini
dinyatakan belum mampu mempercepat alih kelamin belut sawah. Perubahan suhu
lingkungan bekerja merangsang kelenjar hipofisa untuk melepaskan GTH
(gonadotropin) bukan menghambat enzim aromatase, sehingga testosteron yang
terbentuk tetap diubah menjadi estradiol. Hal ini telah diperiksa oleh Syahputra
(2014) bahwa pemeliharaan belut sawah pada suhu 32oC, hanya mampu
menaikkan konsentrasi testosteron plasma ketika terjadi kejut suhu dari keadaan
alami, selanjutnya konsentrasi menurun sampai akhir perlakuan, sedangkan
konsentrasi estradiol plasma stabil sampai akhir pemeliharaan. Begitu pula dengan
pemberian hormon MT pada suhu 32oC (D) tidak menghasilkan individu jantan
diduga karena kadar testosteron pada gonad tidak lebih tinggi dari kadar estradiol
karena kerja suhu yang meningkatkan GTH tanpa menghambat kerja enzim
aromatase.
Pertumbuhan merupakan penambahan bobot atau panjang dalam waktu
tertentu. Pertumbuhan belut sawah ini dilihat dari bobot mutlak dan panjang
mutlak selama pemeliharaan. Hasil penelitian ini baik panjang mutlak maupun
bobot mutlak belut sawah tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0,05). Hal ini
diduga media pemeliharaan belum nyaman dan penyuntikan setiap seminggu
sekali menyebabkan belut sawah mengalami stres sehingga pertumbuhan belut
sawah terhambat. Perdana (2013) menyatakan bahwa belut sawah yang dipelihara
13
pada media air jernih menunjukkan respon stres tinggi dilihat dari peningkatan
glukosa darah. Stres pada ikan menyebabkan pertumbuhan terhambat berkaitan
dengan nafsu makan ikan menurun (Handajani dan Widodo 2010). Selain faktor
stres, pertumbuhan belut sawah relatif lambat sehingga pemeliharaan selama 42
hari belum cukup untuk menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Khan dan
Ngan (2010) menyatakan bahwa pertumbuhan belut sawah dari 25 gram ke ±190
gram per individu membutuhkan waktu selama 6 bulan.
Kelangsungan hidup belut sawah yang diberi perlakuan hormon (C dan D)
menunjukkan hasil rendah yaitu 50% (Gambar 6). Rendahnya
kelangsungan hidup belut sawah diduga efek paradoksial hormon MT karena
penggunaan dosis atau lama pemberian belum tepat. Hunter dan Donaldson
(1983) menyatakan bahwa fenomena paradoksial dapat terjadi karena penggunaan
dosis hormon yang berlebihan yang berakibat meningkatnya mortalitas,
menurunnya tingkat pertumbuhan, bahkan menyebabkan ikan menjadi steril.
Dosis MT yang efektif dan efisien untuk maskulinisasi belut sawah belum
diketahui. Penggunaan MT pada belut sawah yang telah dilakukan oleh Tang et al.
(1974) dengan dosis 4 dan 8 mg/kg melalui injeksi 2 minggu sekali selama 8
minggu juga belum dapat mengubah kelamin ke arah jantan. Pada kasus ini,
metiltestosteron yang diberikan pada Monopterus albusi tidak signifikan
meningkatkan proses sex reversal, sedangkan adanya peningkatan
spermatogenesis terjadi karena proses alami dari perubahan kelamin belut sawah
(Tang et al. 1974).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Induksi 17α-metiltestosteron 50 mg/kg pada suhu ruang mampu
mengarahkan kelamin jantan belut sawah pada ukuran panjang 24,6-26,2 cm.
Peningkatan suhu media belum mampu menjadi sinyal lingkungan yang dapat
mengubah kelamin belut sawah menjadi jantan.
Saran
Penggunaan hormon 17α-metiltestosteron 50 mg/kg bobot ikan dapat
merangsang perubahan kelamin belut sawah, namun tingkat kelangsungan hidup
rendah. Sehingga untuk penelitian lebih lanjut disarankan menggunakan dosis
hormon MT lebih rendah dari 50 mg/kg bobot ikan.
14
DAFTAR PUSTAKA
Alit IG. 2009. Pengaruh padat penebaran terhadap pertambahan berat dan panjang
badan belut sawah (Monopterus albus). Jurnal Biologi. XIII (1): 25-28
Arfah H, Mariam S, dan Alimuddin. 2005. Pengaruh suhu terhadap reproduksi
dan nisbah kelamin ikan gapi (Poecillia reticulata Peters). Jurnal Akuakultur
Indonesia. 4 (1): 1-4
Athauda S, Anderson T, Nys Rd. 2012. Effect of rearing water temperature on
protandrous sex inversion in cultured asian seabass (Lates calcalifer). General
and Comperative Endriconology. 175: 416-423
Bahri F. 2000. Studi Mengenai Aspek Biologi Ikan Belut Sawah (Monopterus
albus) di Kecamatan Parung Kabupaten Bogor Jawa Barat. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor
Chan STH, Phillips JG. 1967. The structure of the gonad during natural sex
reversal in Monopterus albus (Pisces: Teleostei). Zoology Journal. 151: 129141
Chan STH, Phillips JG. 1969. The Biosynthesis of Steroids by the Gonads of the
Ricefield Eel Monopterus albus at Various Phases During Natural Sex reversal.
General and Comparative Endocrinology. 12: 619–636
Crim LW, Shenwood NM, Wilson CE. 1988. Sustained Hormon Release II,
Effectiveness of LHRH analog (LHRHa) Administration by Either Single Time
Injection or Cholesterol Pellet Implantation on Plasma Gonadotropin Levels in a
Bioassay Model Fish The Juvenile Rainbow Trout. Aquaculture. 74:87-95
Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Bogor
Garcia CEO, Bruno CA, Paulo HM, Amanda MN, Jandir ARF, Andreone TM,
Ricardo AZ, Lucile MFW, Renata GM. 2013. Involvement of Pituitary
Gonadotropins, Gonadal Steroids and Breeding Season in Sex Change of
Protogynous Dusky Grouper, Epinephelus marginatus (Teleostei: Serranidae),
Induced by a Non-Steroidal Aromatase Inhibitor. General and Comparative
Endocrinology. 192: 170-180
Gong S, Goubin Z, Lei Z, Yongchao Y, Hanwen Y. 2011. Effects of Estradiol
Valerate on Steroid Hormones and Sex Reversal of Female Rice Field Eel,
Monopterus albus (Zuiew). Journal of World Aquaculture Society. 42: 96-104
Gunarso W. 1989. Mikroteknik. PAU Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Handajani H, Widodo W. 2010. Nutrisi Ikan. UMM Press. Malang
Hunter GA, Donaldson, EM. 1983. Hormonal sex control and its application to
fish culture. pp. 223-303. In Fish Physiology. W.S. Hoar and D.J. Randall
(Eds.). Vol. IX. Academic Press. New York
Khanh NH, Ngan HTB. 2010. Current Practices of Rice Field Eel Monopterus
Albus (Zuiew, 1793) culture in Viet Nam. Research institute for Aquaculture.
Vol XV (3) : 26-29
Levy G, David D, Degani G. 2011. Effect of environmental temperature on
growth-and reproduction-related hormones gene expression in the female blue
gourami (Trichogaster tricopterus). Comparative Biochemistry and Physiology.
Part A 160: 381-389
Pamungkas AJ. 2006. Efektifitas Hormon 17α-metiltestoteron dan LHRH-a dalam
Mencapai Tingkat Kematangan Gonad Siap Memijah Ikan Belida (Notopterus
15
chitala). Tesis. Program Studi Ilmu Perairan, Sekolah Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor
Perdana BP. 2013. Kinerja Produksi Belut Monopterus albus pada Media
Budidaya yang Berbeda. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
Riani E, Ernawati Y. 2004. Hubungan perubahan jenis kelamin dan ukuran tubuh
ikan belut sawah (Monopterus albus). Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan
Perikanan Indonesia. 11 (2): 139-144
Shinn-Lih Y, Ching-Ming K, Yun-Yuan T, Ching-Fong C. 2003. The effect of
exogenous androgens on ovarian development and sex change in female
orange-spotted protogynous grouper, Epinephelus coioides. Aquaculture. 218:
729-739
Sjafei DS, Rahardjo MF, Affandi R, Brojo M, Sulistiono. 1993. Fisiologi Ikan II;
Reproduksi Ikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Sumantadinata K. 1997. Prospek Bioteknologi dalam Pengembangan Akuakultur
dan Pelestarian Sumberdaya Perikanan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu
Pemuliaan Ikan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor
Syahputra H. 2014. Maskulinisasi belut sawah (Monopterus albus) melalui
induksi aromatase inhibitor dan suhu. Tesis. Program Studi Ilmu Akuakultur,
Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor
Tan-Fermin JD, Garcia LMB, Castillo AR. 1994. Induction of sex inversion in
juvenile grouper, Ephinephelus suillus (Valenciennes) by injection of 17αmethyltestoteron. Ichtyologi Journal. 40 (4): 413-420
Tang F, Chan STH, Lofts B. 1974. Effect of steroid hormones on the process of
natural sex reversal in the rice-field eel, Monopterus albus (Zuiew). General
and Comparative Endocrinology. 24: 227-241
Yamazaki F. 1983. Sex Control and Manipulation in Fish. Aquaculture. 33: 329354
Zairin M. 2002. Sex Reversal Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina.
Penebar Swadaya. Depok
Zairin M, Yunianti A, Dewi RRSPS, Sumantadinata K. 2002. Pengaruh lama
waktu perendaman induk di dalam larutan hormon 17α-metiltestosteron
terhadap nisbah kelamin anak ikan gapi Poecilia reticulata Peters. Jurnal
Akuakultur Indonesia. 1(1): 31-35
16
LAMPIRAN
Lampiran 1 Wadah pemeliharaan belut sawah: (A) tanpa peningkatan suhu dan
(B) dengan peningkatan suhu
A
B
Lampiran 2 Histologi Gonad mengacu pada Gunarso (1989)
1. Fiksasi jaringan gonad ikan direndam dalam larutan BNF selama 24 jam,
setelah itu direndam alkohol 70% selama 24 jam
2. Dehidrasi sampel dengan merendam ke dalam larutan alkohol 80%, alkohol
90%, alkohol 95% secara berurutan selama 2 jam, selanjutnya direndam dalam
alkohol absolut I selama 12 jam, alkohol absolut II selama 1 jam, dan
alkohol:xylol (1:1) selama 30 menit
3. Clearing sampel dengan merendam dalam larutan xylol I, xylol II, dan xylol
III secara berurutan selama 30 menit. Kemudian secara berurutan direndam
cairan parafin I dan parafin II masing-masing selama 45 menit di dalam oven
bersuhu 60oC
4. Embedding yaitu mencetak sample dalam blok parafin setelah mengeras
sampel dipotong dan ditempelkan pada gelas objek
5. Deparafinasi dilakukan dengan merendam preparat jaringan ke dalam larutan
xylol I dan xylol II selama 5 menit, selanjutnya dalam alkohol absolut I,
alkohol absolut I, alkohol 95%, alkohol 90%, alkohol 80%, alkohol 70%,
alkohol 50%, dan akuades masing-masing selama 3 menit.
6. Pewarnaan preparat dilakukan dengan merendam dalam haematoksilin selama
7 menit kemudian dibilas pada air (aquadest) mengalir selama 5 menit.
Selanjutnya kembali direndam dalam eosin selama 3 menit
7. Dehidrasi kembali dilakukan dengan merendam preparat dalam alkohol 50%,
alkohol 70%, alkohol 85%, alkohol 90%, alkohol absolut I, dan alkohol
absolut II masing-masing selama 3 menit
8. Selanjutnya preparat direndam dalam larutan xylol I dan xylol II masingmasing selama 3 menit
17
9. Preparat yang telah diwarnai dilapisi perekat berupa entellan neu kemudian
ditutup dengan cover glass.
Lampiran 3 Indeks Kematangan Gonad belut sawah minggu ke-0 sampai minggu
ke-6
Ulangan ke-
A*
0,00672
0,00499
0,00572
0,01743
0,0058a
0,00050
1
2
3
Jumlah
Rata-rata
Standar error
Indeks Kematangan Gonad (%)
B*
C*
0,00571
0,00569
0,00487
0,00614
0,00419
0,00613
0,01479
0,01797
a
0,0049
0,0059a
0,00439
0,00014
*huruf yang sama menunjukkan data tidak berbeda nyata (p>0,05)
Lampiran 4 Bobot mutlak belut sawah sampai minggu ke-6
Ulangan ke1
2
3
Jumlah
Rata-rata
Standar error
A*
0,001
0,020
0,003
0,024
0,008a
0,010
Pertumbuhan (gram)
B*
C*
0,019
0,004
0,007
0,030
0,010a
0,008
0,001
0,037
0,006
0,044
0,015a
0,020
D*
0,016
0,002
0,028
0,045
0,015a
0,013
*huruf yang sama menunjukkan data tidak berbeda nyata (p>0,05)
Lampiran 5 Panjang mutlak belut sawah sampai minggu ke-6
Ulangan ke1
2
3
Jumlah
Rata-rata
Standar error
A*
0,5
0,2
0,1
0,8
0,267a
0,21
Pertumbuhan (cm)
B*
C*
0,8
0,3
0,1
0,3
0,1
0,6
1
1,2
0,333a
0,400a
0,40
0,17
*huruf yang sama menunjukkan data tidak berbeda nyata (p>0,05)
D*
0,7
0,6
0,3
1,6
0,533a
0,21
D*
0,00526
0,00497
0,00608
0,01631
0,0081a
0,00033
18
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Lilis Desmawati, dilahirkan di Gadingrejo,
Kabupaten Pringsewu, Lampung pada tanggal 6 Desember 1992. Penulis
merupakan putri kedua dari enam bersaudara pasangan Muhyidin dan Rumiyati.
Pendidikan formal penulis diawali di SD Negeri 1 Waygelang (1998-2004), SMP
Negeri 1 Kota Agung (2004-2007), dan SMA Negeri 1 Kota Agung (2007-2010).
Pada tahun 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor
program studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya melalui jalur
Undangan Saringan Masuk IPB (USMI).
Selama kuliah penulis pernah mengikuti kegiatan kemahasiswaan jurnalistik
yaitu Koran Kampus IPB (Korpus) sebagai Reporter periode 2010-2011. Selama
dua periode selanjutnya (2011-2013) penulis mengikuti kegiatan kemahasiswaan
Himpunan Mahasiswa Akuakultur (Himakua) divisi Pengembangan Riset dan
Keilmiahan. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Fisiologi Reproduksi
Organisme Akuatik tahun 2013. Penulis pernah lolos dalam pengajuan PKM
Penelitian yang didanai oleh DIKTI tahun 2013. Penulis juga pernah mengikuti
kegiatan lomba business plan skala nasional yang diadakan oleh Universitas
Negeri Yogyakarta pada April 2013 dan lolos sebagai juara harapan 1 serta
Universitas Gadjah Mada pada November 2013 dan lolos sebagai juara harapan 2.
Selain itu, penulis pernah menerima beasiswa BRI 100 tahun 2011-2012 dan
2012-2013, pada tahun 2013-2014 penulis mendapatkan beasiswa dari Yayasan
Karya Salemba Empat (KSE).
Penulis pernah mengikuti kegiatan IPB Goes To Field yang diadakan oleh
LPPM IPB di Desa Negarayu, Kecamatam Tonjong, Kabupaten Brebes Jawa
Tengah tahun 2012. Selain itu, penulis juga mengikuti magang liburan di Balai
Budidaya Pembenihan Laut di Lampung, komoditas kerapu bebek Chromileptes
altivelis pada tahun 2012. Praktek Kerja Lapang penulis dilakukan di Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut di Bali, pada pembenihan Bandeng
Chanos chanos Forsskal tahun 2013. Tugas akhir dalam pendidikan tinggi sarjana
diselesaikan oleh penulis dengan menyusun skripsi yang berjudul “Maskulinisasi
Belut Sawah Monopterus albus melalui Penyuntikan 17α-metiltestoteron dan
Peningkatan Suhu”.