The Effect of Tin Mining on the Diversity of River Fish and Indigenous Knowledge of Local Community in Bangka Island.

PENGARUH PENAMBANGAN TIMAH TERHADAP
KEANEKARAGAMAN IKAN SUNGAI DAN KEARIFAN LOKAL
MASYARAKAT DI KABUPATEN BANGKA

KHOIRUL MUSLIH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Penambangan
Timah terhadap Keanekaragaman Ikan Sungai dan Kearifan Lokal Masyarakat di
Kabupaten Bangka adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014

Khoirul Muslih
C251110021 

RINGKASAN
KHOIRUL MUSLIH. Pengaruh Penambangan Timah terhadap Keanekaragaman
Ikan Sungai dan Kearifan Lokal Masyarakat di Kabupaten Bangka. Dibimbing
oleh ENAN M ADIWILAGA dan SOERYO ADIWIBOWO.
Penambangan timah di Kabupaten Bangka telah menimbulkan kerusakan
lingkungan perairan terutama sungai yang menjadi habitat sumberdaya ikan.
Aktivitas penambangan yang terus berlangsung dikhawatirkan akan
mempengaruhi kualitas dan kondisi habitat perairan serta mengancam
keanekaragaman sumberdaya ikan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan
menganalisis pengaruh aktivitas penambangan timah terhadap kualitas air dan
keanekaragaman jenis ikan di perairan sungai Kabupaten Bangka serta
mengetahui pengaruhnya terhadap kearifan lokal dan adat masyarakat setempat
terkait dengan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya perairan.
Penelitian dilaksanakan pada Februari sampai dengan Mei 2013 di dua

sungai yaitu Sungai Menduk (mewakili lokasi yang mendapat pengaruh
penambangan timah) dan Sungai Jeruk sebagai pembanding (tanpa penambangan
timah). Pengambilan sampel ikan dilakukan dengan menggunakan jaring insang
dengan ukuran mata jaring ¾ inci, 1 inci dan 1½ inci dan untuk melengkapi data
secara kualitatif dilakukan penangkapan spesimen ikan menggunakan serok,
tangkul dan bubu. Parameter kualitas air yang diukur yaitu arus, suhu air,
kecerahan, kekeruhan, TDS (Total Dissolved Solids), TSS (Total Suspended
Solids), pH, alkalinitas, oksigen terlarut, Biological Oxygen Demand (BOD5), dan
logam berat (Pb, Zn, Cu, Sn). Data hasil pengukuran kualitas air kemudian
dianalisis menggunakan Indeks Pencemaran (IP) untuk mengetahui tingkat
pencemarannya dan indeks habitat untuk menganalisis gangguan yang terjadi pada
habitat. Data sosial terkait kearifan lokal masyarakat dikumpulkan melalui
observasi langsung dan wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat dan para
pemangku adat.
Aktivitas penambangan timah berpengaruh terhadap kualitas air Sungai
Menduk terutama kecerahan, kekeruhan dan TSS. Limbah tailing penambangan
menyebabkan tingginya nilai TSS dan kekeruhan sehingga berpengaruh pada
kecerahan. Tingkat pencemaran Sungai Menduk akibat penambangan timah
masuk ke dalam kondisi tercemar ringan. Tingkat gangguan habitat berdasarkan
indeks habitat menunjukkan bahwa Sungai Menduk bagian hulu akibat

penambangan masuk dalam kondisi gangguan berat sedangkan Sungai Jeruk
masih dalam kategori optimal/minim gangguan. Komposisi jenis ikan yang
ditemukan di Sungai Jeruk lebih banyak dan beragam dibandingkan dengan
Sungai Menduk. Jumlah ikan yang ditemukan di Sungai Jeruk terdiri dari 36 jenis
ikan dari 16 famili. Sedangkan Sungai Menduk yang keruh akibat sedimentasi
tailing penambangan timah hanya ditemukan 21 jenis ikan dari 10 famili. Sungai
Menduk memiliki besaran nilai indeks keanekaragaman yang lebih kecil bila
dibandingkan dengan Sungai Jeruk.
Dukun sungai menjadi tokoh sentral yang berperan penting dalam sistem
kearifan lokal masyarakat di perairan sungai. Dukun sungai bertugas sebagai
ketua adat yang memiliki kewenangan penuh dalam menentukan aturan dan
menjatuhkan hukuman. Masyarakat memiliki aturan dan pantangan yang harus

ditaati dalam melakukan penangkapan ikan. Segala aktivitas pemanfaatan sungai
harus dilakukan secara arif tanpa merusak habitat perairan dan mengancam
kelestarian sumberdaya ikan. Pelanggaran atas aturan yang berlaku akan
dikenakan sangsi berupa denda atau kewajiban melakukan ritual khusus.
Walaupun kondisi Sungai Menduk tercemar sedimentasi akibat penambangan
timah namun secara umum tidak memberi pengaruh berarti pada kearifan lokal
yang telah ada. Masyarakat masih kuat dan taat menjaga norma adat. Norma dan

aturan adat ternyata hanya dikuti dan ditaati oleh masyarakat lokal saja, sementara
para penambang timah yang merusak ekosistem kebanyakan merupakan
masyarakat pendatang terutama dari luar Pulau Bangka.
Kata kunci: kualitas air, ikan sungai, timah, kearifan lokal, Bangka

SUMMARY
KHOIRUL MUSLIH. The Effect of Tin Mining on the Diversity of River Fish
and Indigenous Knowledge of Local Community in Bangka Island. Supervised by
ENAN M ADIWILAGA and SOERYO ADIWIBOWO.
Tin mining operation in Bangka significantly damages the aquatic
environment, especially the water quality, river fish habitat, and diversity of fish
resources. The objective of the research is to analyze the effects of tin mining
operations on water quality, fish species diversity, and indigenous knowledge
related to the protection and use of river ecosystem. The research was conducted
from February to May 2013 in two rivers, the Menduk River - represent river
under influenced of tin mining operation - and the Jeruk River represent without
tin mining operation.
Water quality parameters that measured among others were stream
velocity, temperature, brightness, turbidity, TDS (Total Dissolved Solids), TSS
(Total Suspended Solids), pH, alkalinity, Dissolved Oxygen (DO), Biological

Oxygen Demand (BOD5), and heavy metals (Pb, Zn, Cu, Sn). Fish sampling was
carried out by using gill nets with mesh sizes ¾ inch, 1 inch and 1½ inch. Further,
a ladle, tangkul and traps are also applied for enriching the fish biodiversity data.
Based on water quality data, a Pollution Index (PI) was calculated. Furthermore, a
habitat index was analyzed to measure the disturbances of the river habitat. Social
aspects are measured through interviews and observations to community leaders
and relevant stakeholders.
The result shows that, first, the tin mining operations affects is
significantly the water quality of the upstream of Menduk River where the mining
site are located. The quality of brightness, turbidity and TSS of the upstream river
are lower compare to the downstream areas. Furthermore, the water quality along
the upstream to downstream of Menduk River is significantly lower than the Jeruk
River as shown in the Menduk’s PI that reach 4.2 meanwhile the Jeruk’s PI 1.2.
Second, those mentioned habitat changing of the Menduk River, more over
affect to the fish diversity. Under disturbed habitat, the fish diversity of Menduk’s
river comprise only of 21 species from 10 families. It is different significantly
with the relatively undisturbed habitat of Jeruk River where the fish diversity
reached 36 species from 16 families.
Third, the local community surround both rivers are still maintaining the
indigenous knowledge and rules for protecting and sustainable use of rivers and

its fish aquatic resource. The elder (dukun) has authority to enforce rules and
sanctions and the community members complies the rules. However, since most
of the illegal tin mining operated by migrants from outside Bangka Island, the
local knowledge, wisdom and local rules are not obey by the migrants.
Keywords: water pollution, freshwater fish biodiversity, tin mining, Indigenous
Knowledge, Bangka Island.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGARUH PENAMBANGAN TIMAH TERHADAP
KEANEKARAGAMAN IKAN SUNGAI DAN KEARIFAN LOKAL
MASYARAKAT DI KABUPATEN BANGKA


KHOIRUL MUSLIH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir H Ridwan Affandi, DEA

Judul Tesis : Pengaruh Penambangan Timah terhadap Keanekaragaman Ikan
Sungai dan Kearifan Lokal Masyarakat di Kabupaten Bangka
Nama
: Khoirul Muslih

NRP
: C251110021

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Enan M Adiwilaga
Ketua

Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc


Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr

Tanggal Ujian: 25 Februari 2014

Tanggal Lulus:

Judul Tesis : Pengaruh Penambangan Timah terhadap Keanekaragaman Ikan
Sungai dan Kearifan Lokal Masyarakat di Kabupaten Bangka
Nama
: Khoirul Muslih
: C251110021
NRP

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

セO@
Dr Ir Enan M Adiwilaga
Ketua


Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Tanggal Ujian: 25 Februari 2014

Tanggal Lulus:

2 7 MAR 201 4

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala
atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul
yang dipilih pada penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini
adalah Pengaruh Penambangan Timah terhadap Keanekaragaman Ikan Sungai dan

Kearifan Lokal Masyarakat di Kabupaten Bangka. Terima kasih penulis ucapkan
kepada:
1. Dr Ir Enan M Adiwilaga dan Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS selaku komisi
pembimbing, atas bimbingan serta nasihat selama penyusunan tesis ini.
2. Dr Ir H Ridwan Affandi, DEA sebagai dosen penguji luar komisi yang telah
memberikan banyak saran serta masukan demi penyempurnaan penulisan
tesis ini.
3. Seluruh dosen dan staf pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya
Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan IPB.
4. DIKTI yang telah memberikan bantuan dana pendidikan melalui Beasiswa
Pendidikan Pasca Sarjana (BPPS).
5. Segenap rekan di Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi Universitas
Bangka Belitung serta masyarakat Desa Menduk dan Desa Tanah Bawah
Kabupaten Bangka yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini.
6. Segenap rekan di Sekolah Pascasarjana IPB, khususnya di Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Perairan IPB.
7. Ayahanda Sutono, Ibunda Siti Fathonah, Mbak Umi, Mas Ali, Dek Heri, dan
Dek Mukhlas, serta istri tercinta Vina Ayuningtyas atas segala doa, kasih
sayang, serta perhatian yang diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2014
Khoirul Muslih

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xiv

DAFTAR GAMBAR

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

xiv

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
1
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA

3

3 METODE PENELITIAN
Waktu dan lokasi penelitian
Metode Pengambilan dan Penanganan Sampel
Analisis Data

9
9
11
12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

17

5 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

48
48
48

DAFTAR PUSTAKA

48

LAMPIRAN

55

RIWAYAT HIDUP

73

DAFTAR TABEL
Lokasi stasiun pengambilan sampel air dan ikan
Parameter dan metode pengukuran fisika kimia air
Kriteria penilaian terhadap habitat
Klasifikasi kriteria indeks pencemaran kualitas air
Nilai korelasi Pearson antara parameter kecerahan, kekeruhan dan TSS
Vegetasi riparian dan tanaman air di Sungai Jeruk dan Sungai Menduk
Komposisi Jenis Ikan antar stasiun di Sungai Jeruk dan Sungai Menduk
Frekuensi Keterdapatan (Fi) Ikan antar Stasiun
Nilai koefisien korelasi Pearson hubungan antara kelimpahan ikan
dengan parameter kualitas air
Matriks perbandingan antara Sungai Jeruk dan Sungai Menduk

10
11
14
15
18
24
27
29
34
47

DAFTAR GAMBAR
Skema alur kerangka perumusan masalah
Peta lokasi penelitian

Denah lokasi pengambilan sampel penelitian
Sebaran suhu perairan pada stasiun pengamatan
Sebaran nilai kecerahan, kekeruhan, dan TSS pada tiap stasiun
pengamatan
Sebaran nilai TDS pada stasiun pengamatan
Sebaran nilai DO dan BOD pada stasiun pengamatan
Sebaran nilai pH stasiun pengamatan
Sebaran nilai kadar Sn pada setiap stasiun pengamatan
Kelimpahan Relatif (Kr) Ikan (a) Sungai Menduk, (b) Sungai Jeruk
Nilai indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C)
Grafik Nilai Indeks Habitat pada Stasiun Pengamatan
Grafik Nilai Indeks Pencemaran pada Stasiun Pengamatan
Dendogram pengelompokan habitat berdasarkan kesamaan ciri fisik
kimia air
Ordinasi Parameter Lingkungan dengan Menggunakan PCA

2
9
10
17
18
20
20
22
23
28
30
31
32
33
34

DAFTAR LAMPIRAN
Hasil rekapitulasi pengukuran parameter kualitas air
Pengukuran Indeks Habitat
Perhitungan Indeks Pencemaran (IP)
Daftar jenis ikan yang ditemukan di Sungai Jeruk
Daftar jenis ikan yang ditemukan di Sungai Menduk
Gambar jenis-jenis ikan yang tertangkap di lokasi penelitian
Perhitungan Indeks H', E, dan C ikan Sungai Jeruk
Perhitungan Indeks H', E, dan C ikan Sungai Menduk
Perhitungan kelimpahan relatif dan frekuensi keterdapatan ikan
Gambaran lokasi penelitian

55
56
60
62
63
64
68
69
70
71

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penambangan timah di Kabupaten Bangka telah menimbulkan kerusakan
lingkungan perairan terutama sungai yang menjadi habitat sumberdaya ikan.
Bahkan hampir sebagian besar sungai di Bangka dalam kondisi rusak dan kritis.
Hal ini cukup memprihatinkan karena sungai bagi sebagian besar masyarakat
berperan penting dalam kehidupan dan menjadi sumber penghidupan. Kebutuhan
air bersih terpenuhi dari aliran sungai, baik untuk air minum sampai aktivitas
mandi dan cuci. Sungai juga menyimpan potensi sumberdaya ikan yang besar
sehingga menjadi lahan bagi nelayan untuk melakukan aktivitas penangkapan.
Aktivitas penambangan timah di sekitar aliran sungai diduga akan
berdampak pada ekosistem dan mengancam keanekaragaman hayati perairan
seperti ikan, apalagi ikan merupakan organisme yang sensitif dan rentan terhadap
perubahan lingkungan (Alonso et al. 2011). Perubahan lingkungan sangat
mempengaruhi komposisi dan distribusi ikan (Humpl dan Pivnicka 2006) seperti
faktor fisika (Jackson et al. 2001), kimia, dan biologi (Grossman et al. 1998)
perairan. Diduga akan terdapat perbedaan jenis dan keanekaragaman ikan di tiap
lokasi yang berbeda, terlebih di lokasi yang terkena dampak sedimentasi akibat
penambangan timah (Vila-Gispert et al. 2002).
Rusaknya ekosistem sungai juga dikhawatirkan akan berpengaruh pada
hilangnya tradisi dan adat masyarakat lokal dalam menjaga kelestarian
lingkungan. Apalagi masih banyak kearifan lokal masyarakat yang belum
diketahui, terutama dalam konteks ilmiah dikarenakan sifatnya yang normatif atau
tidak tertulis. Bahkan dikhawatrikan kearifan lokal yang dulu pernah ada, sudah
mulai menghilang atau tidak dijalankan lagi oleh masyarakat lokal terutama
karena adanya perubahan lingkungan seperti rusaknya ekosistem sungai akibat
penambangan timah.
Perlu segera adanya solusi untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan
menentukan rencana pengelolaan yang tepat. Strategi pengelolaan membutuhkan
data dan informasi yang memadai mengenai kondisi ekologi dan habitat dari
sumberdaya perairan yang akan dikelola. Selain itu pelibatan masyarakat lokal
terutama lembaga adat dalam pengelolaan menjadi hal yang penting khususnya
untuk pengelolaan terpadu (co-management). Berdasarkan pertimbangan tersebut
maka penelitian ini perlu dilakukan sebagai langkah awal dan sebagai dasar bagi
pengelolaan sumberdaya perairan yang tepat.
Perumusan Masalah
Perairan sungai yang terkena pengaruh penambangan timah diduga akan
memiliki karakteristik habitat yang berbeda bila dibandingkan dengan perairan
sungai yang masih alami tanpa penambangan timah. Karakteristik habitat dapat
dicirikan melalui perubahan kualitas air baik fisika, kimia maupun biologi
perairan. Perubahan kualitas air dikhawatirkan akan menurunkan status perairan
menjadi tercemar sehingga berdampak buruk bagi habitat dan kehidupan biota air,
terutama ikan. Kondisi habitat yang rusak selanjutnya akan mengubah struktur
komunitas ikan di perairan. Perairan yang masih alami dan terjaga diduga

2
memiliki struktur komunitas ikan yang berbeda dibandingkan dengan perairan
yang rusak akibat pengaruh penambangan timah.
Habitat perairan yang terjaga tidak lepas dari sistem lembaga masyarakat
dalam menjaga dan melestarikan lingkungan perairan. Lembaga masyarakat ini
dapat berupa lembaga adat maupun sistem norma, aturan dan kearifan lokal
masyarakat. Wilayah yang masih kuat dalam memegang norma, aturan, adat dan
kearifan lokal diduga akan memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan
dengan wilayah yang telah mengalami perubahan dan kerusakan lingkungan.
Selain itu kerusakan lingkungan yang diakibatkan bukan oleh masyarakat lokal
tentunya juga akan mempengaruhi lembaga adat yang ada dan sistem kearifan
lokal yang sedang berjalan. Penelitian ini mencoba untuk meneliti pengaruh
penambangan timah terhadap kondisi habitat dan keanekaragaman ikan serta
dampaknya terhadap kearifan lokal masyarakat yang ada.
Penambangan
Timah

Tanpa Penambangan
Timah
Kearifan Lokal
dan Adat

Sungai

Sungai
Analisis
Struktur
Komunit

Kondisi Habitat
Perairan

Keanekaragaman
Jenis Ikan

Fisika
Kualitas Air

Kimia

Analisis
Kualitas
Air

Status Perairan

Biologi

input

proses

output

Gambar 1. Skema alur kerangka perumusan masalah
Tujuan Penelitian
1. Menganalisis pengaruh aktivitas penambangan timah terhadap kualitas air
sungai.
2. Menganalisis
pengaruh
aktivitas
penambangan
timah
terhadap
keanekaragaman ikan sungai.
3. Menganalisis pengaruh aktivitas penambangan timah terhadap kearifan lokal
dan adat masyarakat setempat serta pengaruhnya terhadap pranata/lembaga
lokal terkait dengan pemanfaatan sumberdaya perairan.
Manfaat Penelitian
1. Mendapatkan informasi mengenai karakteristik serta kondisi kualitas air
perairan sungai yang terkena pengaruh penambangan timah.

3
2. Mengetahui potensi sumber daya ikan yang ada di perairan sungai Kabupaten
Bangka.
3. Mengetahui dinamika sosial dan kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan
perairan sungai di Kabupaten Bangka.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem Sungai
Sungai merupakan badan air yang memiliki karakteristik khas yaitu: (1)
ekosistem terbuka, (2) aliran yang linier dan mengarah pada satu arah
(unidirectional) berdasarkan prinsip gravitasi dari hulu ke hilir, (3) arus relatif
kencang dengan kecepatan berkisar antara 0,1–1,0 m/detik (Effendi 2003), (4) laju
aliran yang selalu berfluktuasi tergantung pada musim dan curah hujan, (5) dasar
perairan dan garis tepian yang relatif tidak stabil akibat aliran yang fluktuatif
(Giller dan Malmqvist 1998), (6) memiliki tingkat heterogenitas fisika, kimia, dan
biologi yang tinggi baik secara spasial dan temporal serta, (7) memiliki hierarki
organisasi ekosistem yang jelas, dan umumnya memiliki biota khas yang
terspesialisasi untuk hidup pada perairan mengalir. Sungai akan melewati
berbagai macam penggunaan lahan di sepanjang daerah tangkapan air (catchment
area) sehingga masukan nutrien ke dalam sungai akan berbeda sesuai dengan tata
guna lahan di sekitarnya. Sungai juga turut menyumbang nutrien bagi daratan di
tepian sungai terutama daratan yang tadinya tergenang pada saat fluktuasi air
meningkat di musim hujan (Cummins dan Wilzbach 2008).
Ikan sebagai Organisme Akuatik Perairan Sungai
Sungai memiliki bentuk ekosistem kompleks yang tersusun dari biota
akuatik dan komponen fisika-kimia perairan. Ikan adalah salah satu di antara biota
akuatik penting yang mendiami habitat sungai. Ikan merupakan kelompok utama
vertebrata air yang memiliki nilai komersial bagi manusia sebagai bahan
konsumsi untuk pemenuhan protein hewani. Terdapat sekitar 41% (sekitar 8500
spesies) ikan dunia hidup di perairan tawar (Wilzbach dan Cummins 2008). Ikan
adalah kelompok organisme air yang termasuk dalam kelas Pisces (ichthyes)
dikenal dengan finfish, bertulang belakang (vertebrae), bergerak dengan siripsirip, bernafas terutama dengan insang, mempunyai suhu tubuh relatif sama
dengan suhu habitatnya (air)/(poikilotermal).
Ikan air tawar (freshwater fish) secara umum dapat dibagi ke dalam tiga
golongan; (1) blackfishes, yaitu ikan yang memiliki kemampuan adaptasi tinggi di
seluruh habitat perairan tawar, tahan terhadap perubahan lingkungan dan
umumnya menjadi ikan yang residen di daerah tertentu serta dilengkapi organ
pernafasan tambahan, (2) whitefishes, yaitu ikan yang selama daur hidupnya aktif
bermigrasi dan sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, (3) ikan moderat
(greyfishes), yaitu ikan dengan kemampuan adapatasi yang lebih baik dari
whitefishes, dapat ditemukan di berbagai tipe habitat, dan apabila terjadi
perubahan habitat, maka ikan jenis ini akan cenderung memisah dan membetuk
komunitas tersendiri (Welcomme 1985; Hoggarth dan Halls 1997).
Distribusi ekologis ikan umumnya sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor
lingkungan, di antaranya suhu, kedalaman, cahaya, pH, oksigen terlarut, musim,

4
faktor ketersediaan makanan di perairan, serta tingkat kompetisi dan predasi.
Distribusi ikan ditandai dengan adanya perubahan komposisi di tiap-tiap lokasi
sebagai akibat faktor lingkungan tersebut (Bhukaswan 1980). Perbedaan gradien
longitudinal pada aliran sungai juga akan mempengaruhi struktur komunitas ikan
di perairan sungai. Beberapa spesies ikan dominan akan ditemukan dengan
komposisi berbeda di daerah hulu, tengah, maupun hilir sebagai bentuk adaptasi
terhadap tipe dan volume habitat serta ketersediaan makanan di sepanjang aliran
sungai. Ikan yang umumnya hidup di hulu dengan tipe habitat khas berarus deras
dan kandungan oksigen yang tinggi adalah ikan-ikan perenang aktif yang
memiliki tingkat metabolisme dan konsumsi oksigen tinggi seperti Tor soro. Ikan
jenis ini umumnya memiliki bentuk tubuh yang efisien dan mampu bergerak
mempertahankan posisinya pada arus deras untuk mendapatkan makanan berupa
larva insekta yang menempel di bebatuan serta invertebrata yang hanyut bersama
air (Wilzbach dan Cummins 2008). Ikan beradaptasi terhadap variasi arus sungai
dengan bentuk tubuh yang ramping memanjang, sebagai upaya untuk mengurangi
gesekan akibat arus yang deras. Beberapa spesies lain mengembangkan anggota
tubuhnya untuk mempertahankan posisi agar tidak terbawa oleh arus yang deras.
Ikan Glyplothorax platypogon, Gobidaae misalnya mengembangkan sirip ventral
agar mampu menempel pada bagian keras substrat bebatuan (Rahardjo et al.
2011). Ikan yang hidup di daerah hulu umumnya bersifat soliter sehingga dapat
menjadi petunjuk tentang wilayah teritorial sebaran spasial pada relung yang ada
(Wilzbach dan Cummins 2008).
Kekayaan spesies ikan umumnya semakin melimpah pada daerah
pertengahan sungai, seiring dengan arus yang relatif menjadi lebih lambat dan
debit yang lebih besar karena melebarnya sungai. Secara umum alur badan sungai
menjadi lebih kompleks dan habitat secara keseluruhan menjadi lebih heterogen
(Wilzbach dan Cummins 2008). Beragamnya mikrohabitat sungai akan
menyebabkan ditemukan ikan yang khas untuk masing-masing habitat. Spesies
ikan yang menghabiskan seluruh atau sebagian waktu hidupnya di sungai utama
mempunyai bentuk yang memanjang seperti wader (Puntius binotatus), dan
sebaliknya pada area yang arusnya tertahan (melemah) dan sering berasosiasi
dengan tumbuhan (makrofita), dihuni oleh spesies ikan dengan bentuk tubuh yang
memungkinkan untuk mudah bergerak dan berakselerasi secara cepat pada jarak
pendek misalnya lalawak (Barbonymus balleroides) (Rahardjo et al. 2011).
Daerah hilir sungai yang memiliki ciri perairan dengan fluktuasi salinitas
yang dinamis umumnya menjadi habitat bagi ikan-ikan yang bersifat euryhaline,
atau mampu hidup pada kisaran salinitas yang cukup luas. Moyle dan Cech (2004)
membedakan ikan-ikan yang hidup di perairan hilir sungai menjadi lima tipe,
yaitu: (1) ikan air tawar yang secara temporer berasal dari hulu sungai (umumnya
mampu mentolerir salinitas dalam waktu singkat) seperti ikan-ikan dari famili
Aplocheillidae, Cichlidae dan Poeciliidae; (2) ikan diadromus atau kelompok ikan
yang secara reguler beruaya antara perairan tawar dan perairan laut, seperti sidat
(Anguilla sp); (3) ikan estuari sejati yang menyelesaikan seluruh siklus hidupnya
di perairan esuaria, seperti ikan-ikan dari famili Ambassidae, Clupeidae,
Engraulidae dan Gobiidae; (4) ikan-ikan laut bebas yang umumnya ditemukan di
daerah sekitar muara tetapi tidak tergantung pada daerah tersebut untuk
melengkapi sikus hidupnya, seperti Cymatogaster aggregata, Leptocottus armatus
dan Platichthys stellatus; (5) ikan laut terikat atau ikan-ikan yang paling sedikit di

5
dalam siklus hidupnya berada di daerah estuaria, misalnya untuk memijah (Clupea
spp, Brevoortia spp dan Sciaenidae), mengasuh anak-anaknya (Totoaba
macdonaldi), atau sebagai daerah untuk mencari makan bagi ikan dewasa.
Ikan Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan
Sungai sebagai ekosistem perairan yang rentan mengalami degradasi akibat
aktivitas penambangan menuntut kajian dan penelitian dengan pendekatan
metodologi yang komprehensif untuk mengevaluasi kondisi yang sebenarnya dan
memantau laju perubahan yang terjadi (Rosenberg dan Resh 1993 diacu dalam Li
et al. 2010). Informasi mengenai kondisi fisik, kimia, dan biologi perairan sangat
dibutuhkan sebagai dasar bagi pengelolaan ekosistem perairan yang tepat.
Biomonitoring dengan menggunakan bioindikator telah terbukti menjadi metode
yang diperlukan dalam teknik pemantauan yang sederhana untuk mengetahui
informasi tersebut secara cepat dan tepat. Bioindikator juga digunakan untuk
memperoleh gambaran umum status ekologi sungai dengan menggunakan
organisme air, seperti aquaflora (makrofita dan diatom) (Feio et al. 2012; Luis et
al. 2011) dan makroinvertebrata bentik (Li et al. 2010).
Sejarah penggunaan sistem bioindikator pada penilaian kualitas perairan
telah dimulai oleh Kolenati pada tahun 1848 dan Cohn pada tahun 1853
(Liebmann 1962 diacu dalam Iliopoulou-Georgudaki et al. 2003). Hasil observasi
menunjukkan bahwa organisme di perairan tercemar ternyata berbeda dengan
organisme di perairan yang bersih/tidak tercemar. Bioindikator menggambarkan
kualitas air dan perubahannya dalam skala waktu yang lama yang lebih dapat
dipercaya dibanding beberapa analisa fisika kimia air secara terpisah. Ikan adalah
salah satu komponen biologi yang sering digunakan sebagai indikator terjadinya
perubahan kualitas perairan sungai dan dapat digunakan secara terpisah ataupun
secara bersamaan (Dudgeon 2008; Li et al. 2010).
Komunitas ikan sebagai bagian komponen penyusun ekosistem sungai telah
sejak lama digunakan sebagai bioindikator untuk memantau kesehatan ekosistem
sungai (Alonso et al. 2011). Dalam jejaring makanan di perairan, ikan menempati
bagian atas rantai makanan, serta dimanfaatkan juga untuk konsumsi manusia,
sehingga dianggap penting untuk menilai kondisi ikan yang terkontaminasi bahan
pencemar (Barbour et al. 1999). Ikan dapat menjadi indikator yang baik dalam
jangka panjang (beberapa tahun) untuk melihat efek dan kondisi habitat yang luas
(Barbour et al. 1999) karena siklus hidup yang relatif panjang dan mobilitas yang
aktif. Selain itu, dengan berbagai trofik level, termasuk tingkat tertinggi yang
ditempati oleh top predator, struktur komunitas ikan dapat mencerminkan
kesehatan lingkungan perairan secara terpadu (Li et al. 2010).
Kepekaan ikan terhadap kualitas lingkungan perairan menjadi dasar untuk
menjadikannya sebagai bioindikator dan biomonitoring untuk memantau
kerusakan lingkungan (Li et al. 2010). Komunitas ikan mampu merespon secara
signifikan hampir semua jenis gangguan antropogenik, termasuk eutrofikasi,
acidifition, pencemaran kimia, arus, perubahan fisik habitat akibat eksploitasi,
aktivitas antropogenik, dan introduksi spesies baru ke perairan. Dengan demikian
ikan dapat digunakan untuk memprediksi perubahan lingkungan perairan
(Barbour et al. 1999).
Ada beberapa teknik biomonitoring ekosistem sungai yang digunakan saat
ini. Pemilihan suatu teknik yang tepat tergantung pada masalah yang sedang
dihadapi dan sumber daya yang tersedia. Metode biomonitoring yang sering

6
digunakan salah satunya adalah meliputi indeks keanekaragaman. Indeks
keanekaragaman merupakan pendekatan biomonitoring yang paling sederhana,
yang sering dikembangkan untuk menggambarkan tanggapan komunitas
organisme terhadap variasi lingkungan, dengan menggabungkan ketiga komponen
struktur komunitas, yaitu kekayaan richness (jumlah spesies sekarang),
kemerataan evenness (keseragaman dalam distribusi individu di antara spesies)
dan kelimpahan abundance (jumlah total individu hadir) (misalnya Indeks
Shannon-Wiener). Asumsinya adalah bahwa suatu lingkungan yang masih alami
(tidak terganggu) indeks keragaman atau kekayaan yang tinggi dan indeks
kemerataan individu di antara spesies memiliki nilai sedang sampai tinggi (Li et
al. 2010).
Penambangan Timah di Bangka
Pulau Bangka merupakan salah satu daerah dengan deposit timah terbesar di
dunia. Menjadi bagian wilayah dari zona sabuk timah Asia Tenggara (Southeast
Asian Tin Belt) yang memanjang dari utara ke selatan sepanjang 2800 km dan
lebar 400 km, membentang dari Burma (Myanmar), Thailand ke Semenanjung
Malaysia dan Kepulauan Indonesia. Secara keseluruhan 9.6 juta ton timah atau
setara 54% produksi timah dunia berasal dari daerah ini (Schwartz et al. 1995).
Kegiatan penambangan timah di Pulau Bangka tidak hanya melibatkan
perusahaan skala besar seperti PT Timah Tbk dan PT Koba Tin, tetapi juga
melibatkan masyarakat yang lebih dikenal dengan Tambang Inkonvensional (TI)
atau tambang rakyat. TI mulai muncul sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun
1997. Selanjutnya pertambangan rakyat menjadi semakin marak setelah
diterbitkannya SK Bupati Bangka No. 540.K/271/Tamben/2001 tentang
pemberian izin usaha pertambangan untuk pengolahan dan penjualan (ekspor).
Secara ekonomi aktivitas TI memberi kontribusi terhadap peningkatan ekonomi
masyarakat, karena tingginya pendapatan masyarakat pelaku usaha TI
dibandingkan dengan masyarakat yang mempunyai jenis pekerjaan lainnya (Elfida
2007). Tetapi aktivitas tersebut juga mempunyai pengaruh buruk bagi lingkungan
seperti kerusakan lahan dan ekosistem perairan serta pengaruh buruk terhadap
budaya dan adat istiadat setempat.
Dampak Penambangan Timah terhadap Ekosistem Perairan Sungai
Aktivitas antropogenik di sepanjang aliran sungai dapat mengakibatkan
perubahan geometri aliran sungai, dinamika air dan gerakan sedimen, serta dapat
menimbulkan pencemaran yang akan menganggu komunitas biota akuatik dan
ekosistem perairan dan riparian (Wohl 2006). Secara umum aktivitas
penambangan timah dapat menyebabkan beberapa hal, di antaranya:
1.
Sedimentasi
Praktek penambangan timah umumnya akan selalu menghilangkan tanah
permukaan dan batuan pada lapisan atas (overburden), untuk mengekspos bahan
mineral yang terkandung di dalamnya (US-EPA 2005). Aktivitas ini selanjutnya
akan menghasilkan limbah buangan (tailing) yang dapat menyebabkan
sedimentasi pada aliran sungai (Griffith et al. 2012) sehingga dapat merubah
bentuk atau bahkan memutus aliran sungai (Hilmes dan Wohl 1995). Sedimentasi
juga dapat mengurangi kapasitas sungai serta menurunkan kualitas air.
2.
Timbulnya habitat akuatik baru
Penambangan terbuka akan menghasilkan danau galian (pit lake), yang
terbentuk akibat pengisian lubang galian oleh air hujan setelah penambangan

7
selesai. Danau bekas tambang timah di Pulau Bangka disebut kolong. Kolong
menjadi habitat yang unik dengan ciri luasan yang sempit dan dalam tanpa zona
litoral yang dikelilingi oleh dinding batuan yang terjal/curam serta tidak terdapat
aliran masuk atau keluar. Debit air dan kondisi air secara fisik kimia sangat
dipengaruhi oleh proses evapokonsentrasi. Debit air cukup berfluktuasi pada
musim kering yang mengakibatkan terkonsentrasinya kandungan-kandungan
secara kimia (Henny dan Susanti 2009).
3.
Air asam tambang (acid mine drainage/AMD)
Permasalahan utama akibat dampak penambangan timah adalah timbulnya
air asam tambang (acid mine drainage/AMD) (Protano dan Riccobono 2002;
Concas et al. 2006; Luis et al. 2011). Air asam tambang terjadi akibat proses
oksidasi batuan/mineral sulfida seperti pirit (FeS2) dari mine tailing, batuan
buangan tambang (overburden) atau batuan dinding kolong yang diikuti oleh
oksidasi besi ferous [Fe(II)] yang melepaskan ion hidrogen dan sulfat sehingga
bereaksi membentuk asam sulfat. Adapun reaksi oksidasi dari mineral sulfida
sekaligus oksidasi besi ferous adalah:
2FeS2(s) + 7O2 + 2H2O  4SO42- + 2Fe2+ + 4H+
4Fe2+ + O2 + 10H2O
 4Fe(OH)3(s) + 8H+
Untuk area tambang yang didominasi oleh batuan mineral sulfida dan besi
akan menghasilkan AMD yang pH-nya rendah dan mengandung sulfat dan logam
yang tinggi seperti Fe. Penelitian Henny dan Susanti (2009) pada beberapa
perairan bekas penambangan timah di Bangka menunjukkan kualitas air yang
buruk dengan pH berkisar 2.9-4.5 (Brahmana et al. 2004; Subardja et al. 2004).
4.
Kandungan logam berat
Aktivitas penambangan akan selalu meninggalkan bekas berupa tailing yang
banyak mengandung logam (Luis et al. 2011). Logam berat tersebut merupakan
hasil oksidasi dari mineral sulfida yang banyak terkandung dalam tanah bekas
penambangan timah sehingga melepaskan logam berat seperti As, Cd, Cu, Pb, Al,
dan Zn (Blodau 2006; Mlayah et al. 2009). Potensi kandungan logam berat yang
cukup tinggi dikhawatirkan akan mengontaminasi lingkungan di sekitarnya baik
air permukaan, air tanah, sedimen maupun biota perairan (Concas et al. 2006;
Protano dan Riccobono 2002; Luis et al. 2011). Aktivitas penambangan juga
berpotensi menghasilkan logam berat dari hasil rembesan hujan dan erosi pada
limbah tailing yang kemudian terbawa ke sungai (Reis et al. 2007 diacu dalam
Luis et al. 2011). Kandungan logam berat pada perairan bekas penambangan
timah di Bangka sangat tinggi mencapai 5-8 mg/l (Brahmana et al. 2004; Henny
dan Susanti 2009).
5.
Perubahan debit sungai
Aktivitas penambangan timah di sekitar aliran sungai secara tidak langsung
akan mempengaruhi debit sungai. Hal ini disebabkan karena: (1) hilangnya
vegetasi akibat penebangan untuk kegiatan tambang, sehingga mengurangi tingkat
evapotranspirasi dari daerah aliran sungai (Griffith et al. 2012), (2) kolong bekas
penambangan timah akan terisi air sehingga membentuk akuifer tersendiri dan
mengurangi pemasukan air menuju sungai (Griffith et al. 2012), (3) pemadatan
permukaan tanah akibat penambangan dapat mengurangi infiltrasi curah hujan dan
meningkatkan limpasan air ke darat, serta (4) rusaknya daerah hulu sehingga akan
mempengaruhi aliran air dari hulu hingga ke hilir.

8
Kearifan Lokal
Kearifan lokal merupakan istilah yang sering dipakai kalangan ilmuwan
untuk mewakili sistem nilai dan norma yang disusun, dianut, dipahami dan
diaplikasikan masyarakat lokal berdasarkan pemahaman, dan pengalaman mereka
dalam berinteraksi dan berinterrelasi dengan lingkungan (Tjahjono et al. 1999).
Kearifan lokal atau Indigenous Knowledge (IK) adalah kumpulan pengetahuan
tentang hubungan antara makhluk hidup (termasuk manusia) dengan
lingkungannya yang diciptakan dari hasil pemikiran dan tindakan manusia dalam
lingkungan ekosistem tempat tinggal, yang berlangsung secara terus menerus dan
diturunkan dari generasi ke generasi melalui transmisi budaya selama puluhan
tahun, dalam upaya mengatasi lingkungan ekologi dan sosio-ekonomi yang selalu
berubah (Kaniki dan Mphahlele 2002 diacu dalam Lwoga et al. 2010; Berkes
1999 diacu dalam Charnley et al. 2007). Kearifan lokal yang menurut Berkes
(1999) diacu dalam Charnley et al. (2007) dapat diistilahkan sebagai traditional
ecological knowledge meliputi pengetahuan, praktek, dan keyakinan yang
terintegrasi satu sama lain dan bersifat dinamis serta selalu berkembang seiring
dengan pengalaman dan pengamatan, eksperimen, pembelajaran, dan adaptasi
masyarakat terhadap perubahan lingkungan dari waktu ke waktu. Kearifan lokal
secara khusus berbasis pada wilayah geografis yang spesifik, dan paling sering
ditemukan pada masyarakat yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya alam di
suatu tempat tertentu selama jangka jangka waktu tertentu, seperti masyarakat
adat (Berkes 1999 diacu dalam Charnley et al. 2007). Secara umum komponen
yang menyusun suatu kearifan lokal meliputi: (1) pengetahuan mengenai beragam
spesies dan klasifikasinya (etnobiologi), (2) pengetahuan mengenai proses-proses
ekologis dan keterhubungan antara manusia dengan lingkungannya (human
ecology), (3) pengetahuan dan praktek pertanian, perburuan, perikanan dan
kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup lainnya, dan (4) persepsi masyarakat
mengenai perannya di dalam ekosistem dan interaksinya dengan proses-proses
ekologis.
Secara konseptual kearifan lokal menurut Berkes (1995) diacu dalam Berkes
et al. (2000) memiliki peranan penting dalam konservasi keanekaragaman hayati
karena sistem ini menghendaki adanya pemanfaatan yang berkelanjutan untuk
kepentingan manusia tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang. Ada
tiga kekuatan utama sistem kearifan lokal, yaitu: (1) self-interest; kearifan lokal
menjadi kunci penting dalam upaya konservasi, karena kekuatannya yang datang
dari ―dalam‖ bukan dari luar, (2) akumulatif; kearifan lokal merupakan akumulasi
dari pola adaptasi ekologi komunitas lokal yang telah berlangsung selama
berabad-abad, (3) pengetahuan tradisional yang sangat potensial untuk membantu
mendesain upaya konservasi sumber daya alam secara efektif, dikarenakan
dukungan masyarakat lokal dan tingkat adaptasi serta pertimbangan practibilitynya yang tinggi (Berkes 1995 diacu dalam Berkes et al. 2000).
Data tentang kearifan lokal masyarakat dalam hubungannya dengan menjaga
kelestarian alam sudah banyak ditemukan. Ada yang masih berupa kearifan asli
namun ada pula yang sudah dilegasi dan digabungkan dengan kebijakan
pengelolaan kawasan. Para ninik mamak di Keluru Kabupaten Kerinci misalnya,
menetapkan Rimbo Temedak sebagai wilayah Hukum Adat mereka. Hal ini
muncul atas keprihatinan akibat meningginya frekuensi perambahan areal dan
pengambilan hasil alam (Nuansa Lingkungan 2000). Penelitian untuk

9
menginventarisir kerifan lokal di Kabupaten Musi Rawas juga telah dilakukan
oleh Wardana et al. (2000) yang berhasil membuktikan bahwa pola-pola kearifan
lokal masih berlaku dan dipatuhi masyarakat setempat dengan adanya Dewan
Marga, adanya sistem pengelolaan sungai dan masih dipakainya pola pertanian
yang khas seperti huma.
Perubahan Kearifan Lokal
Jika pada awalnya masyarakat memiliki kearifan yang luar biasa terhadap
lingkungan sekitarnya, secara perlahan kearifan tersebut akan memudar akibat
berbagai faktor seperti adanya gangguan dan kerusakan terhadap lingkungan.
Kerusakan akan menyebabkan hilang atau terganggunya fungsi lingkungan bagi
keberlanjutan generasi sekarang dan masa yang akan datang. Istimewanya,
manusia dan kebudayaannya memiliki kelenturan ekologis yang tinggi, namun
makhluk hidup lainnya akan terancam punah karena kerusakan habitat. Hasil
penelitian Tjahjono et al. (2000) menunjukkan bahwa pergeseran kearifan lokal
masyarakat diakibatkan berbagai faktor, antara lain rendahnya penguasaan
teknologi, pertambahan penduduk, migrasi penduduk, keterbatasan wilayah,
kebijakan yang mengebiri hak adat, serta kebebasan dalam mengeksploitasi hasil
alam.

3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei 2013 di sungai
yang ada di wilayah Kabupaten Bangka (Gambar 2). Pemilihan lokasi penelitian
didasarkan pada tujuan penelitian. Adapun sungai yang dipilih pada penelitian ini
adalah Sungai Menduk yang terkena pengaruh aktivitas penambangan timah dan
sebagai pembanding dipilih Sungai Jeruk yang masih belum terkena pengaruh
penambangan timah. Sungai Menduk terletak di Kecamatan Mendobarat,
sedangkan Sungai Jeruk terletak di Kecamatan Puding Besar, keduanya masih
terletak di Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kedua
sungai tersebut sama-sama terletak di bagian barat Pulau Bangka yang bermuara
di Selat Bangka. Penelitian ini dilakukan di beberapa titik yang mewakili aliran
Sungai Menduk (lokasi 1) dan Sungai Jeruk (lokasi 2).

Gambar 2. Peta lokasi penelitian

10
Penentuan Stasiun
Penelitian menggunakan metode ex post de facto. Metode ini dimulai
dengan melukiskan keadaan sekarang, yang dianggap sebagai akibat dari faktor
yang terjadi sebelumnya, kemudian mencoba menyelidiki ke belakang guna
menetapkan faktor-faktor yang diduga sebagai penyebabnya. Pemilihan lokasi
pengambilan sampel dilakukan di enam stasiun pengamatan yang mewakili
perairan yang ingin diteliti berdasarkan tujuan penelitian. Adapun lokasi
pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 3 dan Tabel 1.
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3

Sungai Jeruk

Aktivitas
penambangan timah

Stasiun 1
Stasiun 2

Sungai Menduk

Stasiun 3
3 Km

Gambar 3. Denah lokasi pengambilan sampel penelitian.
Tabel 1. Lokasi stasiun pengambilan sampel air dan ikan
Stasiun Lokasi
I.
Sungai Menduk
1
Desa Petaling
2

Desa Mendo

3

Desa Mendo

II.
1

Sungai Jeruk
Desa Labu

2

Desa Tanah bawah

3

Dusun Telang

Deskripsi Area
Daerah hulu yang terdapat aktivitas penambangan
timah
Daerah aliran sungai yang dekat dengan pemukiman
masyarakat, terkena pengaruh antropogenik
Daerah aliran sungai yang mendapat pengaruh
kegiatan perkebunan dan pertanian
Daerah hulu yang belum terkena dampak aktivitas
penambangan timah
Daerah aliran sungai yang dekat dengan pemukiman
masyarakat, terkena pengaruh antropogenik
Daerah aliran sungai yang mendapat pengaruh
kegiatan perkebunan dan pertanian

Gambaran kondisi lokasi penelitian di setiap stasiun pengamatan dapat dilihat
pada Lampiran 10.

11
Metode Pengambilan dan Penanganan Sampel
1

Pengambilan Sampel Ikan
Alat tangkap yang digunakan untuk pengambilan sampel ikan pada
penelitian ini adalah jaring insang (gill net) dengan ukuran mata jaring ¾ inci, 1
inci dan 1½ inci. Panjang jaring mencapai 45 m dengan lebar 2 m. Pengambilan
sampel ikan di setiap stasiun dilakukan dengan perlakuan yang sama yaitu dengan
menggunakan alat tangkap yang sama dan pengulangan yang sama untuk setiap
masing-masing stasiun. Untuk melengkapi data, maka secara kualitatif dilakukan
penangkapan spesimen ikan pada jarak 100 m dari titik stasiun ke arah anak-anak
sungai dengan menggunakan serok, tangkul dan bubu. Sampel ikan yang
diperoleh di lapangan dibawa ke laboratorium untuk diawetkan dan diidentifikasi
dengan mengacu pada literatur Saanin (1984) dan Kottelat et al. (1993).
2
Parameter Fisika Kimia Air
Pengambilan sampel air dilakukan empat kali yaitu pada setiap bulan
selama Februari sampai dengan Mei 2013, pada waktu yang bersamaan dengan
waktu pengambilan sampel ikan. Pengambilan sampel air dilakukan pada lapisan
permukaan atau pada kedalaman ±30 cm di tiap stasiun. Sampel air kemudian
dimasukkan ke dalam botol sampel dan diberi label yang dicantumkan berupa
keterangan dan informasi mengenai lokasi pengambilan, waktu (jam & tanggal)
serta kondisi cuaca. Sampel air kemudian dimasukkan ke dalam coolbox untuk
dibawa ke laboratorium guna analisis lanjutan. Adapun beberapa parameter diukur
secara in situ (analisis langsung di lapangan) dan ex situ (analisis lanjut di
laboratorium). Parameter fisika dan kimia air yang diukur pada penelitian ini
tertera pada Tabel 2. Kandungan logam berat di perairan juga diukur dalam
penelitian ini karena berdasarkan Henny dan Susanti (2009) perairan pasca
penambangan timah memiliki kandungan logam seperti Pb, Cu dan Zn yang tinggi
melebihi baku mutu dengan tingkat keasaman yang tinggi yaitu pH airnya