Deteksi Nilai Hambur Balik Karang Massive Menggunakan Insrumen Hidroakustik CruzPro Fish Finder PcFF-80

DETEKSI NILAI HAMBUR BALIK KARANG MASSIVE
MENGGUNAKAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK CRUZPRO
FISHFINDER PCFF-80

MUHAMAD YUDHA ASMARA

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Deteksi Nilai Hambur
Balik Karang Massive Menggunakan Instumen Hidroakustik CruzPro Fish Finder
PcFF-80 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Muhamad Yudha Asmara
NIM C54090030

ABSTRAK
MUHAMAD YUDHA ASMARA. Deteksi Nilai Hambur Balik Karang Massive
Menggunakan Instrumen Hidroakustik CruzPro Fish Finder PcFF-80. Dibimbing
oleh SRI PUJIYATI dan BEGINER SUBHAN.
Di Indonesia, metode hidroakustik telah digunakan di berbagai penelitian
dibidang kelautan. Penggunaan metode hidroakustik merupakan salah satu
alternatif yang telah dikembangkan untuk mendapatkan informasi mengenai
terumbu karang. Penelitian ini membahas upaya untuk menganalisis nilai hambur
balik karang massive menggunakan instrumen hidroakustik. Pengambilan data
dilakukan di Pulau Karang Beras, Propinsi DKI Jakarta menggunakan instrumen
CruzPro yang dioperasikan dengan frekuensi 200 kHz. Validasi data terumbu
karang dilakukan dengan observasi visual yang didokumentasikan menggunakan
kamera underwater. Nilai rata-rata back scattering strength didapatkan dari
pantulan pertama (E1) dan pantulan kedua (E2). Hasil menunjukkan bahwa nilai

volume back scattering strength dari pantulan pertama (E1) berkisar antara -19.11
dB sampai -18.00 dB dan pantulan kedua (E2) berkisar antara -45.51 dB sampai 41.97 dB. Nilai rata-rata surface back scattering strength dari pantulan pertama
(E1) berkisar antara -15.56 dB sampai -14.45 dB dan pantulan kedua (E2) berkisar
antara -41.96 dB sampai -38.42 dB.
Kata kunci: CruzPro, hambur balik, karang massive, pantulan kedua (E2),
pantulan pertama (E1)

ABSTRACT
MUHAMAD YUDHA ASMARA. Detection of Back Scattering Value of
Massive Coral Using Hydroacoustic Instrument CruzPro Fish Finder PcFF-80.
Supervised by SRI PUJIYATI and BEGINER SUBHAN.
In Indonesia hydroacoustic methods have been used in various marine
research. Using Hydroacoustic method is one of many alternatives have been
developed to get information about coral reef. This research describes an attempt
to analysis back scattering value of massive coral using hydroacoustic instrument.
Data collection was carried out in Karang Beras Island, DKI Jakarta province by
CruzPro instrument which operated with frequency 200 kHz. Data validation of
coral reef was performed by visual observation which documented using
underwater camera. Back scattering strength value is gotten from first echo (E1)
and second echo (E2). The result is showed that the average value of volume back

scattering strength from first echo (E1) has range -19.11 dB to -18.00 dB and
second echo (E2) has range -45.51 dB dB to -41.97 dB. The average value of
surface back scattering strength from first echo (E1) has range -15.56 dB to -14.45
dB and second echo (E2) has range -41.96 dB dB to -38.42 dB.
Key words: back scattering, CruzPro, first echo, massive coral, second echo

DETEKSI NILAI HAMBUR BALIK KARANG MASSIVE
MENGGUNAKAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK CRUZPRO
FISH FINDER PCFF-80

MUHAMAD YUDHA ASMARA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Kelautan
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Deteksi Nilai Hambur Balik Karang Massive Menggunakan
Insrumen Hidroakustik CruzPro Fish Finder PcFF-80
Nama
: Muhamad Yudha Asmara
NIM
: C54090030

Disetujui oleh

Dr Ir Sri Pujiyati, MSi
Pembimbing I

Beginer Subhan, SPi MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh


Dr Ir I Wayan Nurjaya, Msc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus: 29 November 2013

Judul Skripsi
Nama
NIM

Deteksi Nilai Hambur Balik Karang Massive Menggunakan
Insrumen Hidroakustik CruzPro Fish Finder PcFF-80
Muhamad Yudha Asmara
C54090030

Disetujui oleh

sセゥケ。エG

セB@


Dr If
MSi
Pembimbing I

Tanggal Lulus: 29 November 2013

. eginer Subhan, SPi MSi
Pembimbing II

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
hingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul “Deteksi Nilai
Hambur Balik Karang Massive Menggunakan Instrumen Hidroakustik CruzPro
Fish Finder PcFF-80 yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan.
Dalam penulisan proposal penelitian ini, penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Ayah, Ibu, dan keluarga yang telah memberikan motivasi dan doa kepada
penulis.

2. Ibu Sri Pujiyati dan Bapak Beginer Subhan selaku dosen pembimbing yang
telah banyak memberikan motivasi dan pengarahan-pengarahannya kepada
penulis.
3. Bapak Totok Hestirianoto selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan
banyak masukan kepada penulis.
4. Ibu Neviaty P. Zamani selaku dosen pemeriksa Gugus Kendali Mutu (GKM)
yang telah memberikan banyak pengarahan kepada penulis dalam penulisan
skripsi.
5. Bapak I Wayan Nurjaya selaku ketua departemen yang telah memberikan
pengesahan pada skripsi ini.
6. Bang Willy sebagai teknisi di lapangan yang telah banyak membantu selama
penelitian.
7. Nia, Ferdy, Zae, Harahap, Tauhid, Imam, Mujahid, Irwan, Idris, Isna, Mba
Ratih, Sarah, dan Lia yang telah memberikan banyak masukan dan motivasi
kepada penulis.
8. Teman-teman kontrakan (Khalid, Guntur, Mansyur, Wiwit) yang telah
memberikan semangat kepada penulis.
9. Teman-teman di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan angkatan 46 serta
semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan kepada penulis.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa ini masih jauh dari sempurna, oleh

karena itu penulis dengan tulus mengharapkan saran dan kritik dari pembaca
sehingga dapat digunakan untuk pengembangan lebih lanjut.
Akhir kata semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya,
khususnya para mahasiswa mendatang yang melakukan penelitian pada kajian
yang sama. Terima kasih.

Bogor, Januari 2014
Muhamad Yudha Asmara

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Alat

CruzPro Fish Finder PcFF-80
Metode Pengumpulan Data Akustik
Observasi Visual
Pengambilan Data Akustik
Pemrosesan dan Analisis Data Akustik
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karang massive
Near Field
Echogram
Echogram Porites Tipe 1
Echogram Porites Tipe 2
Echogram Porites Tipe 3
Kekasaran (E1) dan Kekerasan (E2)
Surface Backscattering Strength (SS)
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP


vi
vi
vi
1
1
1
2
2
2
2
3
4
4
4
5
7
7
7
8

8
8
9
10
12
14
14
14
14
16
20

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Alat yang digunakan dalam penelitian
Spesifikasi CruzPro Fish Finder PcFF-80
Parameter dan setingan alat CruzPro Fish Finder PcFF-80
Hasil perhitungan luasan karang, near field, dan area cover beam
Nilai SV-E1 dan SV-E2 dari ketiga karang massive
Nilai SS-E1 dan SS-E2 dari ketiga karang massive

2
3
3
7
11
13

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

Perekaman data akustik dengan CruzPro fish finder PcFF-80
Diagram alir pengambilan, pemrosesan, dan analisis data akustik
(a) Echogram Porites Tipe 1 (b) Porites Tipe 1
(a) Echogram Porites Tipe 2 (b) Porites Tipe 2
(a) Echogram Porites Tipe 3 (b) Porites Tipe 3
(a) SS-E1 dan SS-E2 karang Porites
(b) SV-E1 dan SV-E2 karang Porites

5
6
8
9
9
10
11

DAFTAR LAMPIRAN
1 Lokasi penelitian
2 Syntax Matlab untuk pengolahan data akustik
3 Dokumentasi kegiatan penelitian

16
17
19

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Terumbu karang menjadi salah satu ekosistem yang sangat kompleks
dengan keanekaragaman hayati yang tinggi (Ikawati dan Parlan 2009) dan
memiliki banyak fungsi ekologis maupun ekonomis. Perairan Indonesia terkenal
memiliki keanekaragaman jenis karang tertinggi di dunia, sehingga secara
biogeografi Indonesia dinyatakan sebagai center of origin karang di dunia (Veron
1995). Mengingat wilayah perairan Indonesia yang sangat luas dan pentingnya
ekosistem terumbu karang, maka kajian terhadap keberadaan ekosistem terumbu
karang masih terus dilakukan.
Saat metode hidroakustik belum digunakan secara luas, survei kondisi
terumbu karang dilakukan melalui pengukuran langsung dengan menggunakan
metode SCUBA diving. Ketersediaan petugas lapangan yang terampil dan
berpengetahuan, menyebabkan teknik SCUBA diving masih tetap merupakan
metode yang paling efektif dan dapat diandalkan dalam pengumpulan data.
Namun, metode ini menjadi tidak efisien dilakukan ketika daerah kajian atau
sampling mencakup skala spasial yang luas.
Seiring dengan perkembangan teknologi, penelitian di bidang hidroakustik
di Indonesia sudah semakin luas dan tidak hanya mencakup sumberdaya ikan
namun sudah merambah kepada terumbu karang. Penggunaan metode akustik
menjadi salah satu alternatif yang telah dikembangkan karena keuntungannya
lebih efisien ketika dilakukan pada daerah sampling dengan skala yang luas.
Beberapa penelitian mengenai dasar perairan dengan mempergunakan deteksi
hidroakustik menunjukkan bahwa hambur balik dari pantulan pertama (E1)
menggambarkan kekasaran dan hambur balik pantulan kedua (E2)
menggambarkan kekerasan (Caruthers dan Fisher 2002). Beberapa peneliti seperti
Goff et al. (2000), Siwabessy (2001), Manik (2006), Satyamarayana et al. (2007),
Pujiyati dan Hartati (2009), dan Allo et al. (2009) telah melakukan analisis nilai
hambur balik dasar perairan dengan menggunakan berbagai tipe echosounder.
Penerapan metode akustik untuk klasifikasi karang juga sudah dilakukan
diantaranya oleh Manuhutu (2010), Bemba (2011), dan Hamuna (2013). Selain itu
penelitian dengan menggunakan metode akustik dalam memetakan dasar perairan
dan terumbu karang telah dilakukan diantaranya oleh Gleason et al. (2008) di
perairan Bahamas dan Carysfort Reef Florida, USA dengan menggunakan alat
Quester Tangens Corporation Series V (QTCV) 50 kHz single-beam, dan Roberts
et al. (2005) di perairan West Scotland menggunakan multibeam echosounder.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis nilai volume back scattering
strength (SV) dan surface backscattering strength (SS) dari karang massive
menggunakan instrumen CruzPro fish finder PcFF-80.

2

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai bulan Juli 2013 meliputi
tahapan persiapan, pengukuran data lapangan, pengolahan dan analisis data.
Pengambilan data akustik berupa data kedalaman dan hambur balik dilakukan
selama 3 hari sejak tanggal 13 - 15 April 2013. Lokasi penelitian berada pada
5º46’19,2” LS - 5º46’19,5” LS dan 106º34’2,4” BT - 106º34’2,8” BT yang
terletak disekitar Pulau Karang Beras, Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta
(Lampiran 1). Secara umum kondisi dasar perairan adalah heterogen dan kontur
yang agak landai dengan kedalaman sounding akustik lifeform karang sekitar 1,48
sampai 1,54 meter. Kegiatan pengolahan data akustik dilakukan di Laboratorium
Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
FPIK-IPB.
Bahan
Bahan yang digunakan untuk kegiatan penelitian adalah karang massive.
Alat
Alat yang digunakan untuk kegiatan penelitian baik pengumpulan maupun
pengambilan data akustik dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Alat yang digunakan dalam penelitian
Alat
Jenis
Kegunaan
CruzPro
PcFF-80, 200KHz, Pengambilan data akustik terumbu karang
50 Watt
GPS
Garmin
Penentuan posisi pengambilan data
Alat selam Scuba
Alat bantu dalam observasi visual terumbu
karang
Underwater Sony
Dokumentasi lifeform karang
camera
Laptop
Acer
Pemrosesan dan penyimpanan data akustik
terumbu karang
Kapal
Kapal nelayan 5
Wahana apung untuk pengambilan data
GT
Transek
Membatasi cakupan daerah yang diamati
kuadrat
Roll meter Mengukur dimensi karang
Tali
Mengikat transducer
Alat tulis
Sarana dan media penulisan data
Aki
Sebagai catu daya

3
Proses pengolahan data akustik juga menggunakan beberapa perangkat
lunak (software) seperti Matlab (R2010a), Microsoft Excell 2010, ArcGIS 9, dan
ImageJ.
CruzPro Fish Finder PcFF-80
CruzPro fish finder PcFF-80 merupakan instrumen akustik yang digunakan
untuk mengambil data primer di lapangan yang dihubungkan dengan single beam
echosounder dual frekuensi (50 kHz dan 200 kHz). Output data yang terekam oleh
echosounder berupa nilai – nilai amplitudo yang berekstensi file ( *.I). Spesifikasi
dari Instrumen Cruzpro PcFF-80 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Spesifikasi CruzPro fish finder PcFF-80 (CruzPro 2005)
Spesifikasi CruzPro Fish Finder PcFF-80
Operating
9.5 to 16.0 VDC, 0.05 amps nominal,
Voltage
4.7 amps peak at max power
Indicator
Front panel LED for Power ON/OFF
and communication
Indicator
Output power
2560 watts peak-to peak (320 W RMS).
24 kw DSP Processed
power (3200 WRMS)
Operating
0 to 50 deg Celcius (32 to 122 deg
Temperatur
Fahrenheit)
Interface Box
100 x 80 x 50 mm (4x 3.2 x 2 inch).
Powder Coated Aluminum
Extrusion
Interface
RS-232, 115 Kbaud, serial data and
USB
Transducer
Dual Frequency 50/200 kHz, Depth/
Temperature (single-beam
Echosounder
Sebelum melakukan proses sounding akustik, terlebih dahulu dilakukan
proses setting alat. Parameter dan setingan alat dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Parameter dan setingan alat CruzPro fish finder PcFF-80
Parameter
Nilai
Frekuensi (Hz)
200000
Transmitter power (W)
320
Near field (m)
0.94
Kecepatan suara (m/s)
1516
Durasi pulsa (ms)
0.4
Ping rate (s)
0.334
Surface gain
110
Change rate
240
Amplifier gain (dB)
-20.83
TS sphere (dB)
-42.43

4
Metode Pengumpulan Data Akustik
Pengumpulan data akustik dilakukan dengan pengukuran langsung di
lapangan. Tahap pengukuran diawali dengan observasi visual dengan cara
penyelaman untuk menentukan titik-titik pengambilan sampel karang massive
yang keberadaannya tidak bercampur dengan jenis lainnya.
Observasi Visual
Observasi visual dilakukan dengan penyelaman pada setiap titik pengamatan.
Proses pengambilan data akustik yang dilakukan oleh dua orang yang memiliki
keterampilan menyelam dan pemahaman dalam mengidentifikasi lifeform karang
serta dilengkapi dengan underwater camera untuk pengambilan dokumentasi
lifeform karang.
Pengambilan Data Akustik
Proses pengambilan data akustik dilakukan dengan menggunakan instrumen
CruzPro fish finder PcFF-80 (Gambar 1). Transduser diikatkan dengan kerangka
yang terbuat dari paralon agar pada saat pengambilan data, transduser tidak
goyang sehingga data yang diperoleh dapat akurat. Selain itu kerangka paralon
yang terdapat dibagian bawah berfungsi sebagai transek kuadrat untuk membatasi
cakupan daerah yang ingin diamati. Transduser dioperasikan menggunakan
frekuensi 200 kHz dengan kecepatan suara sebesar 1516 m/s dan power 2560
Watt. Transduser diarahkan pada karang massive dalam 3 kali ulangan, dimana
lifeform karang berada dibawah near field (0,94 meter) dan ada dalam area cover
beam. Proses pengambilan data dilakukan dengan kondisi kapal dalam keadaan
diam (stasioner) sehingga proses perekaman data diharapkan berasal dari target
yang sama. Proses perekaman data dilakukan selama ±10 menit dengan 3 kali
ulangan. Pengukuran suhu dan salinitas perairan juga dilakukan bersamaan
dengan pengambilan data akustik yang akan digunakan sebagai faktor koreksi
dalam proses kalibrasi. Data yang diperoleh selanjutnya disimpan dalam format
(*.I). Selain itu digunakan laptop untuk merekam data secara real time, dan juga
GPS (Global Positioning System) untuk mengetahui posisi lintang (latitude) dan
bujur (longitude).

5
Transducer

Paralon

Karang
massive

Gambar 1 Pengambilan data akustik dengan CruzPro fish finder PcFF-80
Pemrosesan dan Analisis Data Akustik
Setelah dilakukan pengambilan data akustik, tahap selanjutnya yaitu
melakukan pemrosesan data. Data akustik yang diperoleh dari instrumen CruzPro
yang masih dalam bentuk data berformat (*.I) selanjutnya diproses dengan
menggunakan perangkat lunak Matlab. Perangkat lunak Matlab digunakan untuk
menunjukkan pola perambatan pulsa akustik dalam SV yang diolah dengan
mengikuti listing program (Lampiran 2). Nilai SV dari lifeform karang di ekstrak
dari pantulan pertama dan pantulan kedua. Grafik pantulan echo pertama (E1)
yang mengindikasikan tingkat kekasaran (roughness) dan echo kedua (E2) yang
mengindikasikan
tingkat
kekerasan
(hardness)
ditampilkan
untuk
membandingkan echo yang dihasilkan oleh setiap objek pengamatan. Satuan dasar
pencuplikan data yaitu Elementary Sampling Unit (ESU) yang digunakan untuk
mengetahui nilai pantulan akustik tiap tipe karang. Nilai near field diperoleh
dengan menggunakan persamaan yang menghubungkan antara diameter
transduser dan panjang gelombang (persamaan 1), sedangkan area cover beam
diperoleh dengan rumus luasan lingkaran (persamaan 2).
…………………………….…(1)
keterangan : L = diameter transduser (m)
= panjang gelombang (m)

6
………………………………(2)
keterangan :
r = jarak (m)
Proses analisis data untuk pengolahan nilai back scattering strength didapat
dengan mengintegrasi data akustik yang sudah diekstrak. Nilai SV dan SS
diperoleh dengan mengambil sampel data kurang lebih 1000 ping dari raw data
yang kemudian dianalisis setiap 100 ping. Hasil rataan yang memiliki nilai puncak
tertinggi dianggap sebagai nilai backscattering strength dan ditampilkan dalam
grafik. Nilai yang kurang 50% dari nilai rata-rata SV atau SS maksimum tidak
digunakan. Diagram alir pengambilan, pemrosesan dan analisis data akustik dapat
dilihat pada Gambar 2.
Karang massive

Kedalaman
Kecepatan suara
Koefisien
absorbsi

CruzPro

Data Akustik
(Echogram)

Pengamatan
langsung +
Underwater
camera

Luasan Karang

Foto

Pemrosesan
Data Akustik
(Matlab)

Nilai SS dan SV

Analisis Nilai
Hambur Balik
Karang Massive

Gambar 2 Diagram alir pengambilan, pemrosesan, dan analisis data akustik

7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karang Massive
Dilihat dari bentuk pertumbuhan (lifeform), karang yang diamati di lokasi
penelitian tergolong karang massive yang berasal dari genus Porites. Karang
massive merupakan karang yang berbentuk seperti bongkahan batu dengan ukuran
bervariasi. Permukaan karang ini halus dan padat, biasanya ditemukan di
sepanjang tepi terumbu karang dan bagian atas lereng terumbu karang (English et
al. 1997). Karang massive hidup biasanya memiliki warna yang beraneka ragam
dan cemerlang serta tidak kusam, sedangkan karang massive mati biasanya
berwana putih pudar dan terkadang ditumbuhi alga, lumut atau sedimen. Ciri dari
karang massive bergenus Porites mirip dengan karang yang berasal dari genus
Montipora, yaitu bentuk koloni bervariasi, ada yang submassive, laminar,
menempel ataupun bercabang, ukuran koralit umumnya kecil, septa umumnya
memiliki dua lingkaran dengan bagian ujung (gigi) muncul keluar, apabila
disentuh maka akan terasa tajam, tidak memiliki columella, dinding koralit dan
coenosteum keropos, tentakel umumnya keluar pada malam hari (Veron 1986).
Near Field
Selain data posisi, kedalaman, dan luasan karang, data akustik berupa area
cover beam dan near field juga diperlukan sebagai data pendukung untuk
penentuan nilai hambur balik karang. Hasil perhitungan luasan karang, near field,
dan area cover beam ditunjukkan pada Tabel 4 dibawah ini.
Tabel 4 Hasil perhitungan luasan karang, near field, dan area cover beam
Area cover beam
Near field Luasan karang Kedalaman
Karang
(m2)
(m)
(m2)
(m)
Porites tipe 1
0.27
0.94
0.77
1.51
Porites tipe 2
0.28
0.94
0.80
1.54
0.26
0.94
0.29
1.48
Porites tipe 3
Saat dilakukan perekaman data, transduser memancarkan gelombang suara
sehingga terjadi perpindahan energi pada lingkungan. Energi yang dipancarkan
oleh transduser ke suatu medium dapat menghilang seiring perambatan suara pada
medium tersebut. Proses hilangnya energi tersebut bergantung pada jarak antara
titik observasi terhadap transduser. Near field merupakan jarak dari permukaan
transduser sampai jarak dimana terjadi fluktuasi yang tinggi dari intensitas atau
tekanan (MacLennan and Simmonds 2005). Lurton (2002) juga memaparkan
bahwa near field (zona fresnel) merupakan zona adanya pengaruh dari titik-titik
yang berbeda fase satu dengan lainnya pada saat transduser mentransmisikan
suara. Hasil perhitungan near field yang didapat yaitu sebesar 0,94 m. Hal ini
berarti pada jarak diatas 0,94 telah terjadi proses hilangnya energi (loss
attenuation).

8
Echogram
Echogram merupakan gambar perekaman sinyal-sinyal hasil deteksi
(sounding) dengan menggunakan instrumen akustik untuk mendapatkan informasi
yang diperlukan seperti profil dasar perairan, gerombolan ikan, dan kedalaman.
Intensitas dari tiap variabel dinotasikan sebagai warna pada tiap pixel. Skala
warna (colour scale) pada echogram menunjukkan sebaran nilai acoustic
backscattering strength. Nilai pixel yang tinggi akan menunjukkan pemantulan
dari target yang keras, sedangkan pengembalian yang lemah menunjukkan
pembelokkan sinyal akustik untuk target yang halus. Echogram ini akan
digunakan sebagai quality control dan analisa data pada penentuan nilai hambur
baik dari berbagai jenis lifeform karang (Manuhutu 2010).
Echogram Karang Porites Tipe 1
Tampilan yang ditunjukkan Gambar 3 (a) merupakan echogram untuk
karang Porites tipe 1. Posisi pengambilan data berada pada 5º46’19,2” LS dan
106º34’2,8” BT dengan kedalaman 1,51 meter. Karang Porites tipe 1 memiliki
nilai SV-E1 sebesar -18.58 dB sedangkan nilai SV-E2 sebesar -45.51 dB.
Echogram
-5

1

Paralon
-10

1.5

-15

2

Depth (m)

-20
2.5
-25
3

Porites

-30
3.5
-35
4
-40

200

400

600
800
1000
Ping Number

1200

1400

Gambar 3 (a) Echogram karang Porites tipe 1 (b) Porites tipe 1
Echogram Karang Porites Tipe 2
Gambar 4 (a) merupakan tampilan echogram untuk karang Porites tipe 2.
Posisi pengambilan data berada pada 5º46’19,5” LS dan 106º34’2,6” BT dengan
kedalaman 1,54 meter. Nilai SV-E1 yang diperoleh dari karang Porites tipe 2 yaitu
sebesar -18.00 dB sedangkan nilai SV-E2 sebesar -41.97 dB.

9
Echogram
-5

Depth (m)

1

1.5

-10

2

-15

Paralon

-20

2.5

-25

3

Porites
-30

3.5

-35
4
-40
4.5
100

200

300

400 500 600
Ping Number

700

800

900

Gambar 4 (a) Echogram karang Porites tipe 2 (b) Porites tipe 2
Echogram Karang Porites Tipe 3
Tampilan yang ditunjukkan Gambar 5 (a) merupakan echogram untuk
karang Porites tipe 3. Posisi pengambilan data berada pada 5º46’19,3” LS dan
106º34’2,4” BT dengan kedalaman 1,48 meter. Nilai SV-E1 yang diperoleh dari
karang Porites tipe 3 yaitu sebesar -19.11 dB sedangkan nilai SV-E2 sebesar 42.57 dB.
Echogram
-5

Depth (m)

1

1.5

-10

2

-15
-20

2.5

Porites
-25

3

-30

3.5

-35
4
-40
4.5
200

400
600
Ping Number

800

1000

Gambar 5 (a) Echogram karang Porites tipe 3 (b) Porites tipe 3
Berdasarkan data echogram yang diperoleh, setiap karang massive memiliki
nilai hambur balik yang spesifik karena karang yang berasal dari genus yang sama
dapat mempunyai bentuk pertumbuhan (growth form) yang berbeda pada suatu
lokasi pertumbuhan. Kondisi fisik yang sama dapat mempunyai bentuk
pertumbuhan yang mirip walaupun secara taksonomi berbeda (Veron 1986).

10
Adanya perbedaan bentuk pertumbuhan disebabkan oleh beberapa faktor
lingkungan diantaranya kedalaman, arus, dan topografi dasar perairan (English et
al. 1997). Diantara ketiga karang yang diperoleh, nilai SV-E1 yang terbesar
dihasilkan dari karang Porites tipe 2 sebesar -18.00 dB sedangkan nilai SV-E1
terkecil diperoleh dari karang Porites tipe 3 sebesar -19.11 dB. Hal ini disebabkan
karang Porites tipe 2 memiliki struktur yang padat serta luasan karang yang lebih
besar dibanding karang lainnya sehingga gelombang suara yang ditransmisikan
menghasilkan volume backscattering strength yang paling besar.
Nilai hambur balik yang berbeda berdasarkan hasil pengukuran dapat
dijadikan sebagai informasi mengenai target yang berada di bawah air. Sinyal
hambur balik yang berasal dari hamparan dasar perairan yang memiliki luasan
karang yang lebih luas akan menghasilkan nilai hambur balik yang besar
dibandingkan dengan luasan karang yang lebih kecil.
Kekasaran (E1) dan Kekerasan (E2)
Bentuk echo dan energi sangat tergantung pada jenis dasar perairan
khususnya berkaitan dengan tingkat kekasaran (roughness) dan kekerasan
(hardness). Dasar perairan yang sangat keras memiliki pantulan dasar yang lebih
kuat dari dasar perairan yang lunak dan halus (Siwabessy 2001). Gambar 6
memperlihatkan bentuk echo yang dihasilkan oleh ketiga karang Porites.

Gambar 6 (a) SS-E1dan SS-E2 karang Porites

11

Gambar 6 (b) SV-E1 dan SV-E2 karang Porites
Berdasarkan echo yang terekam oleh transduser, terlihat adanya pola
perambatan sinyal akustik yang menggambarkan adanya pantulan yang berasal
dari dasar perairan yang berupa first echo dan second echo dari setiap target.
Puncak pantulan pertama (first echo) dari volume backscattering strength
maksimum terlihat pada kedalaman sekitar 1,3 sampai 1,6 meter, sedangkan
pantulan kedua (second echo) terlihat pada kedalaman 3,3 sampai 3,6 meter. Hasil
pengolahan data hambur balik pertama dan hambur balik kedua yang dihasilkan
oleh ketiga karang Porites terlihat memiliki nilai yang tidak terlalu jauh berbeda
(Tabel 5).
Tabel 5 Nilai SV-E1 dan SV-E2 dari ketiga karang Porites
Karang Porites
Porites tipe 1
Porites tipe 2
Porites tipe 3

SV-E1 (dB)
Max
Min
Stdev
-18.58 -21.2
±1.1207
-18.00 -19.93
±1.0571
-19.11 -24.33
±2.4058

SV-E2 (dB)
Max
Min
-45.51
-45.69
-41.97
-42.64
-42.57
-44.18

Stdev
0.1021
0.2819
0.6361

Berdasarkan hasil yang diperoleh, nilai hambur balik pertama (E1) lebih
besar daripada hambur balik kedua (E2). Hal ini disebabkan sinyal pada pantulan
kedua telah mengalami pengurangan atau proses loss attenuation karena telah

12
dihamburkan (scattered) mengenai dasar sebagai pantulan pertama dan kemudian
dihamburkan kembali ke permukaan perairan, sehingga sinyal yang kembali telah
mengalami pengurangan. Sejumlah kasus menyebutkan bahwa terkadang nilai
second echo tidak didapatkan pada daerah dasar berbatu (karang) yang umumnya
cenderung memiliki struktur yang lebih kasar (roughess) karena adanya energi
yang hilang dari hamburan yang disebabkan oleh bentuk dari dasar perairan
tersebut (Hamilton 2001).
Nilai hambur balik pertama (E1) dan kedua (E2) tidak terlalu jauh berbeda
untuk setiap karang. Nilai SV-E1 berkisar antara -19.11 dB sampai -18.00 dB
sedangkan SV-E2 berkisar antara -41.97 sampai -45.51. Nilai SV-E1 tertinggi
dihasilkan oleh karang Porites tipe 2 sebesar -18.00 dB dan nilai SV-E1 terendah
dihasilkan oleh karang Porites tipe 3 sebesar -19.11 dB. Tingginya nilai SV-E1
pada karang Porites tipe 2 diikuti dengan nilai SV-E2 sebesar -41.97 dB dan nilai
SV-E2 terendah dihasilkan oleh karang Porites tipe 1 sebesar -45.51 dB. Nilai SVE1 yang dihasilkan oleh karang Porites tipe 3 lebih kecil dibandingkan karang
lainnya disebabkan tekstur permukaan karang Porites tipe 3 yang lebih halus
(smooth) karena adanya alga atau lumut yang menempel pada karang tersebut
sehingga gelombang suara yang mengenai target atau karang tersebut lebih
banyak diabsorbsi daripada dipantulkan kembali.
Standard deviasi digunakan untuk menentukan range atau kisaran pantulan
akustik sebuah objek yang dideteksi. Tingginya standard deviasi menandakan
bahwa pantulan pertama (E1) dan kedua (E2) nya lebih bervariasi atau beragam.
Karang Porites tipe 3 memiliki nilai standard deviasi yang tinggi. Hal ini
mengindikasikan bahwa variasi nilai pantulan E1 dan E2 yang tinggi
dibandingkan karang Porites tipe 1 dan karang Porites tipe 2.
Penelitian sebelumnya mengenai klasifikasi lifeform terumbu karang dengan
menggunakan metode hidroakustik telah dilakukan oleh Manuhutu (2010). Nilai
hambur balik pertama (E1) dan kedua (E2) yang diperoleh Manuhutu (2010) pada
penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang berbeda dengan penelitian ini. Hal
ini diduga karena tiap karang memiliki tingkat kekasaran dan kekerasan yang
berbeda-beda. Selain itu instrumen dan metode yang digunakan untuk
pengambilan data juga berbeda. Instrumen yang digunakan Manuhutu (2010)
adalah Simrad EY 60 dengan metode sounding secara mobile atau menggunakan
kapal yang bergerak dengan kecepatan konstan (tidak stasioner). Menurut Urick
(1983), dasar perairan laut memiliki karakteristik memantulkan dan
menghamburkan kembali gelombang suara seperti halnya permukaan perairan laut.
Efek yang dihasilkan lebih kompleks karena sifat dasar laut yang tersusun atas
beragam unsur mulai dari bebatuan yang keras hingga lempung yang halus serta
lapisan yang memiliki komposisi yang berbeda-beda.
Surface Backscattering Strength (SS)
Konsep scattering strength dimunculkan untuk mengkuantifikasi scattering
yang berasal dari dasar laut maupun permukaan laut, sedangkan back scattering
strength merujuk pada bagian dari gelombang akustik yang dipantulkan kembali
ke arah pemancar pada sistem sonar monostatik (Urick 1983). Nilai SS diperoleh
dari puncak nilai echo pantulan permukaan dasar perairan cenderung mengikuti
pola dari nilai SV. Berdasarkan hasil yang diperoleh terlihat bahwa nilai surface

13
backscattering strength dari pantulan pertama dan pantulan kedua pada setiap
sampel karang Porites tidak terlalu jauh berbeda (Tabel 6).
Tabel 6 Nilai SS-E1 dan SS-E2 dari ketiga karang Porites
Karang Porites
Porites tipe 1
Porites tipe 2
Porites tipe 3

SS-E1 (dB)
Max
Min
Stdev
-15.03 -17.65
±1.0978
-14.45 -16.38
±1.0326
-15.56 -20.78
±2.3458

SS-E2 (dB)
Max
Min
-41.96
-42.14
-38.42
-39.08
-39.02
-40.63

Stdev
0.1298
0.2609
0.3661

Nilai standard deviasi pada karang Porites tipe 3 cenderung paling besar
dibanding karang lainnya dikarenakan hambur balik pada karang Porites 3 tidak
berasal dari target yang sama sehingga variasi nilai hambur balik cenderung lebih
beragam (heterogen).
Nilai SS-E1 tertinggi dihasilkan oleh karang Porites tipe 2 sebesar -14.45 dB
dan nilai SS-E1 terendah dihasilkan oleh karang Porites tipe 3 sebesar -15.56 dB.
Nilai SS-E2 tertinggi dihasilkan oleh karang Porites tipe 2 sebesar -39.08 dB
sedangkan nilai SS-E2 terendah dihasilkan oleh karang Porites tipe 1 sebesar 41.96 dB. Hal ini terlihat dari luasan karang yang paling besar yang diperoleh
karang Porites tipe 2 sehingga menghasilkan nilai surface backscattering strength
(SS) yang besar juga. Nilai surface backscattering strength (SS) juga dipengaruhi
oleh kekasaran (roughness) permukaan lapisan karang.
Karang Porites tipe 3 memiliki nilai SS-E1 yang lebih kecil dibanding
karang lainnya. Hal ini disebabkan adanya tutupan alga yang menempel pada
karang sehingga menyebabkan gelombang suara yang mengenai target lebih
banyak diabsorbsi daripada dipantulkan kembali. Selain itu, faktor yang
menyebabkan nilai surface backscattering strength karang Porites tipe 3 lebih
kecil dibanding karang lainnya yaitu luasan karang. Karang Porites tipe 3
memiliki luasan karang yang paling kecil sehingga hambur balik gelombang suara
yang mengenai target tidak murni sepenuhnya berasal dari karang tersebut,
bahkan lebih banyak berasal dari substrat dasar perairan berupa pasir. Substrat
pasir yang cenderung lebih lunak dari karang dan menyerap gelombang suara
yang ditransmisikan sehingga echo yang kembali akan mengalami pelemahan.
Hasil penelitian Bemba (2011) menunjukan nilai surface backscattering
strength (SS) yang berbeda dengan penelitian ini. Hal ini diduga karena
penggunaan alat yang berbeda dengan frekuensi yang berbeda pula. Selain itu,
penggunaan algoritma yang berbeda pada data akustik yang sama terkadang akan
memberikan hasil yang berbeda pula (Bemba 2011). Faktor lain yang diduga
dapat menyebabkan perbedaan nilai SS adalah kondisi karang seperti usia karang
(Hamuna 2013). Karang yang berusia lebih tua akan memberikan nilai pantulan
yang lebih kuat dibandingkan usia karang yang lebih muda.

14

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa nilai
volume back scattering strength (SV) dan surface backscattering strength (SS)
dari tiap sampel karang massive memiliki nilai yang spesifik.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menganalisis karang dari berbagai
jenis lifeform dengan tutupan karang yang lebih luas, sehingga dapat melengkapi
data sekaligus sebagai pembanding data yang sudah ada.

DAFTAR PUSTAKA
Allo. O.T, S. Pujiyati, dan I. Jaya. 2009. Klasifikasi Habitat Dasar Perairan
dengan Menggunakan Instrumen Hidroakustik SIMRAD EY-60 di Perairan
Sumur, Pandeglang-Banten. Jurnal Kelautan Nasional, 1 (Edisi Khusus):
129-130
Bemba, J. 2011. Identifikasi dan Klasifikasi Lifeform Karang Menggunakan
Metode Hidroakustik [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Caruthers, J.W dan Fisher, C.A. 2002. Remote Sediment Classification Using
Acoustical Techniques. Final Report for Task 5, FY 01. The University of
Southern Mississippi. Departement of Marine Science. America.
CruzPro. 2005. CruzPro PC fishfinder for Win98, WinXp, Win2000 & Vista.
PcFF80 user’s manual. Auckland (NZ): Cruzpro Ltd.
English S, Wilkinson CR, Baker V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine
Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville, Quensland.
Gleason ACR, Reid RP, Kellison GT. 2008. Single-beam acoustic remote sensing
for coral reef mapping. Proceedings of the 11th International Coral Reef
Symposium; Ft. Lauderdale, Florida, 7-11 July 2008. Hlm 611-615
Goff, J.A, H.C. Olson dan C.S. Duncan, 2000. Correlation of Side Scan
Backscatter Intensity With Grain Size Distribution of Shelf Sediments,
New Jersey Margin. Geo-Marine latters, 20:43-49
Hamilton LJ. 2001. Acoustic Seabed Classification Systems. DSTO-TN-0401
Aeronautical and Maritime Reseach Laboratory.DSTO-Department of
Defense. Australia.
Hamuna B. 2013. Kuantifikasi dan Klasifikasi Karang Berdasarkan Kuat Hambur
Balik Menggunakan Metode Akustik Single Beam [tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ikawati, Y. dan H. Parlan. 2009. Coral Reef In Indonesia. COREMAP II DKP:
Jakarta
Manik HM, Furusawa M, Amakasu K. 2006. Measurement of Sea Bottom

15
Surface Backscattering Strength by Quantitative Echosounder. Fisheries
Science 2006, 72:503-512.
Manuhutu JF. 2010. Klasifikasi Lifeform Terumbu Karang Menggunakan
Instrumen Hidroakustik SIMRAD EY 60 di Pulau Pari, Kepulauan Seribu
[tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Pujiyati, S. dan S. Hartati, 2009. Pendekatan Metode Hidroakustik untuk Analisis
Tipe Substrat Dasar Perairan. Jurnal Kelautan Nasional, 1 (Edisi Khusus):
197-199
Roberts JM, Brown CJ, Long D, Bates CR. 2005. Acoustic mapping using a
multibeam echosounder reveals cold-water coral reefs and surrounding
habitats. Springer-Verlag 24:654-669.
Satyamarayana, Y. Naithani S. Anu, R. 2007. Seafloor Sedimen Classification
from Single Beam Echo Sounder data using LVQ network. Mar. Geophys.
Res 28:95-99
Siwabessy, P.J.W. 2001. An Investigation of Relation between Seabed Type and
Benthyc and bentho-pelagic Biota Using Acoustic Technique. [thesis].
Curtin University of Technology. Perth.
Urick R.J. 1983. Principles of Underwater Sound. New York: Mc-Graw-Hill
Publishing.
Veron, J.E.N. 1986. Coral of Australia and The Indofasific. Angus &
Robertos :Australia.
___________. 1995. Coral in space and time. Australian Institute of Marine
Science Cape Ferguson, Townsville, Quensland.

16
Lampiran 1 Lokasi penelitian

17
Lampiran 2 Syntax Matlab untuk pengolahan data akustik
C=1516;
pH=8;
T=30;
R=1.5;
S=33;
P1=1;
f=200;
A1=(8.86/C)*10^((0.78*pH)-5);
f1=(2.8*((S/35)^0.5))*(10^(4-1245/(T+273)));
A2=21.44*(S/C)*(1+(0.025*T));
P2=1-(1.37*(10^-4)*R)+(6.2*(10^-9)*(R^2));
f2=(8.17*(10^(8-1990/(T+273))))/(1+0.0018*(S-35));
P3=1-(3.83*(10^-5)*R)+(4.9*(10^-10)*(R^2));
A3=(3.964*(10^-4))-(1.146*(10^-5)*T)+(1.45*(10^-7)*(T^2))(6.5*(10^-10)*(T^3));
alpha=((A1*P1*f1*(f^2))/((f^2)+(f1^2)))+((A2*P2*f2*(f^2))/((f^2)+(
f2^2)))+(A3*P3*(f^2));
phi=3.14;
tau=0.00299;
makscount=255;
sdt=11/2;
AA=phi*(R*tan(sdt))^2;
A=10*log(AA);
SL=163;
RS=-185;
AVG=0;
AG=-20.83;
xx=massive1;
aa=xx(1:size(xx,1),18:size(xx,2));
aaa=rot90(aa);
VR=20*(log10((aaa)/makscount));
SS=VR-AVG+AG-RS-SL+(40*log(R))+2*alpha/1000*R-A;
SV=SS-10*log10(C*tau/2);
%%rata-rata target strength%%
NN=size(aa,2);
NNN=NN-11;
ff=aa(:,1:NNN);
hh=mean(ff);
VR1=20*(log10((hh)/makscount));
SS1=VR1-AVG+AG-RS-SL+(40*log(R))+2*alpha/1000*R-A;
SV1=SS1-10*log10(C*tau/2);
%% Matrik Kedalaman %%
range=([1:size(aaa,1)]);
N=length(range);
dpt=(0.01:0.05:length(aaa))';
Y=dpt(1:N);
YX=Y+1;
YY=sort(YX,1,'descend');
X=[1:1:length(aaa)];
XX=[1:1:length(ff)];
N1=length(hh);
dpt1=(0.01:0.05:length(hh))';
Y1=dpt1(1:N1);
YX1=Y1+1;
YY1=sort(YX1,1,'ascend');
X1=[1:1:length(hh)];
time=X(1:1:length(hh));

18
%% Figure 1 %%
figure('Name','Time Series of Scattering
Strength','NumberTitle','on')
imagesc(X,YY,SS);
colorbar('XTickLabel',{'SS
(dB)'},'XTick',[0.5],'XAxisLocation','top');
% propertis %
Title ('Echogram')
ylabel('Depth (m)')
xlabel('Ping Number')
%% figure 2 %%
figure('Name','Scattering Strength Vs Depth')
plot(SS1,YY1,'-r')
% propertis %
Title ('Backscattering Strength')
ylabel('Depth (m)')
xlabel('Intensitas Backscattering Strength (dB)')
grid on
hold on
plot(SV1,YY1,'-b')
legend ('SS','SV')
%% figure 3 %%
figure('Name','Scattering Strength Vs Depth')
plot(SV1,'-b')
% propertis %
Title ('Scattering Volume 200 kHz')
ylabel('SV (dB)')
xlabel('Time (ms)')
grid on
%% dendogram E1 dan E2%%
A=[E1 E2];
B=[E1 E2];
X = [A;B];
Y = pdist(X,'cityblock');
Z = linkage(Y,'average');T = cluster(Z,'maxclust',2);
[H,T] = dendrogram(Z,'colorthreshold','default');
set(H,'LineWidth',2)
ylabel('distance cluster')
xlabel('cluster')

19
Lampiran 3 Dokumentasi kegiatan penelitian

Perekaman data akustik

Pemasangan transducer

GPS untuk pencacatan posisi

Tampilan echogram di laptop

Instrumen CruzPro

Kapal penelitian

20

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 13 Juli 1991
dari ayah yang bernama Sumarman dan ibu yang bernama
Sartinah. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.
Tahun 2009 penulis menyelesaikan pendidikan di SMA
Negeri 1 Jakarta (BOEDOET) dan pada tahun yang sama
penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum Biologi
Laut pada tahun ajaran 2012/2013, Akustik Kelautan pada tahun ajaran 2012/2013
dan Dasar-dasar Akustik Kelautan pada tahun ajaran 2013/2014. Penulis juga
pernah mengikuti Program Kreatifitas Mahasiswa yang didanai oleh DIKTI pada
tahun 2012.
Penulis aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi
Kelautan (HIMITEKA) pada periode 2011/2012 sebagai Divisi Kewirausahaan.
Dalam rangka penyelesaian studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Deteksi Nilai Hambur Balik
Karang Massive Menggunakan Instrumen Hidroakustik CruzPro Fish Finder
PcFF-80”.