Analisis Multi Kriteria Teknologi Penangkapan Ikan yang Bertanggung Jawab di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah

ANALISIS MULTI KRITERIA TEKNOLOGI
PENANGKAPAN IKAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI
KABUPATEN KAPUAS KALIMANTAN TENGAH

FEBRINA BERLIANTI

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Analisis
Multi Kriteria Teknologi Penangkapan Ikan yang Bertanggung Jawab di
Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah adalah benar karya saya sendiri dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk
apapun ke perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian

akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2014
Febrina Berlianti
NIM C44100084

ABSTRAK
FEBRINA BERLIANTI. Analisis Multi Kriteria Teknologi Penangkapan Ikan
yang Bertanggung Jawab di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Dibimbing
oleh M. FEDI A. SONDITA dan ROZA YUSFIANDAYANI.
Penilaian status teknologi penangkapan ikan merupakan salah satu langkah
awal dalam merancang strategi pengelolaan perikanan di suatu tempat. Kegiatan
perikanan tangkap di Kabupaten Kapuas diselenggarakan di perairan umum dan
laut. Unit penangkapan ikan yang beroperasi di laut adalah lampara, sungkur,
rengge dan rawai, sedangkan yang beroperasi di sungai adalah togo, rakkang,
rengge dan rawai. Penilaian tentang tingkat tanggung jawab suatu alat
penangkapan ikan dilakukan dengan menerapkan multi criteria analysis yang
menggunakan 13 kriteria unit penangkapan ikan yang bertanggung jawab.
Penelitian ini bertujuan menentukan status teknologi penangkapan ikan yang
diterapkan nelayan Kabupaten Kapuas dan menentukan strategi perbaikan

perikanan tangkap di kabupaten tersebut. Berdasarkan adanya lima indikator
bernilai baik, tujuh indikator bernilai sedang dan satu indikator bernilai buruk,
peneliti menyimpulkan bahwa teknologi yang diterapkan dalam perikanan
tangkap di Kabupaten Kapuas yang direpresentasikan oleh 8 jenis unit
penangkapan ikan menunjukkan status baik dalam hal tanggung jawab terhadap
lingkungan. Unit penangkapan ikan aktif terbaik di laut adalah sungkur, unit
penangkapan ikan pasif terbaik di laut adalah rawai laut sedangkan unit
penangkapan ikan pasif terbaik di sungai adalah rengge sungai permukaan. Cara
penanganan discards dan kriteria ikan yang layak tangkap perlu diperkenalkan
di kalangan nelayan untuk mendukung kelangsungan hidup ikan sehingga
perikanan tangkap dapat berkelanjutan.
Kata kunci: Perikanan bertanggung jawab, pengelolaan perikanan, Kabupaten
Kapuas.

ABSTRACT

FEBRINA BERLIANTI. Multi Criteria Analysis on Fishing Responsibility in
Kapuas Regency, Central Kalimantan. Supervised by M. FEDI A. SONDITA
and ROZA YUSFIANDAYANI.
Assessment on the status of fishing responsibility is one of initial steps in

determining a strategy to develop sustainable fisheries. The capture fisheries
activities studied in Kapuas Regency covers local fishing activities in freshwater
and sea. Fishing units operated in marine waters are lampara, sungkur, gillnet
and longline, while those operated in the river are togo, rakkang, gillnet and
longline. This study applied an assessment on 8 types of fishing unit which
represent the studied fisheries using the 13 criteria of responsible fishing. This
study aims to determine the status of local fishing technology and strategies to

develop sustainable fisheries at the Kapuas Regency. The technology of the
current capture fisheries are considered good because it shows five indicators
with excellent category, seven indicators with good category and one indicator
with bad category. Both sungkur and marine longline were the best active and
passive gears operated at the sea respectively while surface gillnets was the best
passive gear operated in the rivers. One of the fisheries management strategies
identified was public campaign of good handling practice on unwanted catches
or discards to promote fish survivorship.
Keywords: Responsible fishing, management strategies, Kapuas Regency

ANALISIS MULTI KRITERIA TEKNOLOGI
PENANGKAPAN IKAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI

KABUPATEN KAPUAS KALIMANTAN TENGAH

FEBRINA BERLIANTI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi

: Analisis Multi Kriteria Teknologi Penangkapan Ikan yang
Bertanggung Jawab di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah

Nama
: Febrina Berlianti
NIM
: C44100084
Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap

Disetujui oleh

Dr.Ir. M.Fedi A. Sondita, M.Sc

Dr. Roza Yusfiandayani,S.Pi

Pembimbing I

Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc
Ketua Departemen


Tanggal Lulus :

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih adalah teknologi penangkapan ikan, dengan judul “Analisis Multi
Kriteria Teknologi Penangkapan Ikan yang Bertanggung Jawab di Kabupaten
Kapuas, Kalimantan Tengah”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian usulan penelitian ini.
1) Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc dan Dr. Roza Yusfiandayani, S.Pi.
selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan
dan saran;
2) Dr. Ir. Tri Wiji Nuraini, M.Si selaku dosen penguji yang telah
memberikan masukan dan saran;
3) Vita Rumanti Kurniawati, S.Pi, MT selaku Komisi Pendidikan yang telah
memberikan masukan dan saran;
4) Retno Muninggar, S.Pi, ME selaku dosen pembimbing akademik yang

selalu memberi masukan, dukungan dan doa;
5) Papah, Mamah, kakak Edelweisia Cristiana, ade Jennie Jesica, serta
seluruh keluarga, atas segala doa, kasih sayang, masukan dan dukungan;
6) Ir. Iriansyah, M.Si dan Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si yang telah
membantu dan memberi saran;
7) Ibu Roslina, Bapak Wisnu, Bapak Togio serta seluruh pegawai Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kapuas yang telah banyak
membantu;
8) Fumiya Okada, K Uwok, Moza, Wienda serta seluruh teman-teman PSP
yang selalu menemani dan banyak memberikan dukungan dan doa.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2014

Febrina Berlianti

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xii


DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2


Tujuan Penelitian

2

METODE PENELITIAN

3

Lokasi dan Waktu Penelitian

3

Alat dan Objek Penelitian

4

Metode Pengambilan Data

9


Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN

13
15

Hasil

15

Pembahasan

21

KESIMPULAN DAN SARAN

24

Kesimpulan


24

Saran

25

DAFTAR PUSTAKA

25

LAMPIRAN

28

RIWAYAT HIDUP

45

DAFTAR TABEL
1
2
3

Indikator yang dikembangkan untuk menilai teknologi
penangkapan ikan
Jumlah responden untuk 8 jenis unit penangkapan ikan
di lima desa di Kabupaten Kapuas
Skor setiap indikator unit penangkapan ikan
di perairan Kabupaten Kapuas

11
13
17

DAFTAR GAMBAR
1

Peta desa-desa pesisir di Kecamatan Kapuas Kuala,
Kabupaten Kapuas
2
Lampara untuk menangkap ikan dasar di laut
3 Sungkur untuk menangkap udang di laut
4 Rengge yang dioperasikan di dasar laut
5 Rengge yang dioperasikan di lapisan permukaan sungai
6 Rawai untuk menangkap ikan di perairan sungai dan laut
7 Rakkang untuk menangkap kepiting
8 Togo untuk menangkap ikan di kawasan pasang surut
9 Kerangka pemikiran pendekatan penelitian
10 Peta jalur kapal perikanan dan lokasi penangkapan

3
4
5
6
6
7
8
8
10
32

DAFTAR LAMPIRAN
1 Metode 13 indikator teknologi penangkapan ikan bertanggung jawab
2 Hasil perhitungan skor setiap jenis unit penangkapan ikan yang
diteliti di Kabupaten Kapuas Kuala pada bulan Juli-Agustus 2013

28
37

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kalimantan adalah pulau terbesar di Indonesia dengan empat provinsi, yaitu
Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Kalimantan
Timur dan Provinsi Kalimantan Barat. Provinsi Kalimantan Tengah merupakan
wilayah daratan yang sebagian besar terdiri atas hutan lebat. Provinsi ini
memiliki 13 kabupaten, salah satu di antaranya adalah Kabupaten Kapuas yang
memiliki dua wilayah kegiatan perikanan tangkap yaitu laut dan sungai
(Diskanlut 2008)
Kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Kapuas meliputi penangkapan
ikan di perairan umum (sungai, danau dan rawa) dan penangkapan ikan di
perairan laut. Perhatian pengelola perikanan tangkap umumnya cenderung
mengutamakan kegiatan penangkapan ikan di perairan laut. Berbeda dengan
kecenderungan umum tersebut, penelitian ini tidak melakukan pembatasan
terhadap kegiatan penangkapan ikan di perairan laut yang teliti karena mencakup
juga kegiatan penangkapan ikan di kawasan perairan umum, yaitu sungai.
Sungai merupakan bagian yang tak dapat terlepaskan dari masyarakat di
Kabupaten Kapuas. Salah satu manfaat sungai bagi mereka di antaranya adalah
produksi ikan. Nelayan di kabupaten ini umumnya merupakan nelayan sambilan,
yaitu mereka yang memiliki pekerjaan lain berupa kegiatan berladang dan
berdagang. Perikanan di Kabupaten Kapuas merupakan salah satu sumber utama
pangan walaupun perikanan di daerah tersebut masih dilakukan dalam skala usaha
kecil dan bersifat tradisional. Meskipun dilaksanakan dalam skala usaha kecil,
perikanan tradisional belum tentu diterapkan secara bertanggung jawab.
Teknologi penangkapan ikan adalah perangkat keras (peralatan) dan
perangkat lunak (metode pembuatan, penggunaan dan perawatan perangkat keras
yang terpadu dalam suatu sistem manajemen) untuk memanfaatkan sumberdaya
ikan. Teknologi penangkapan ikan yang saat ini sedang gencar dianjurkan adalah
teknologi penangkapan ikan yang bertanggung jawab. Penggunaan dan penerapan
teknologi penangkapan ikan yang bertanggung jawab merupakan suatu keharusan
sebab kegiatan penangkapan ikan yang tidak terkendali akan mengancam
kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan perairan.
Unit penangkapan ikan adalah satuan fungsional yang menghasilkan produk
berupa ikan dari proses penangkapan ikan. Satu unit penangkapan ikan umumnya
terdiri dari kapal, alat tangkap dan nelayan. Jenis-jenis unit penangkapan ikan
yang beroperasi di perairan laut Kabupaten Kapuas adalah lampara, sungkur,
rengge atau jaring insang dasar dan rawai, sedangkan yang beroperasi di sungai
adalah togo, rakkang, rengge atau jaring insang permukaan dan rawai.
Penggunaan alat penangkapan ikan sebagai sarana utama dalam
pemanfaatan ika, perlu diatur sedemikian rupa agar tidak berdampak negatif baik
pada habitat ikan (yaitu lingkungan perairan) dan sumber daya ikan, serta manfaat
lain dari jasa lingkungan yang tersedia di perairan. Penggunaan alat penangkapan
ikan harus dapat menjaga kestabilan di dalam ekosistem, termasuk mencegah

2

musnahnya biota-biota lain yang bukan menjadi sasaran penangkapan ikan atau
disebut spesies non target dikarenakan ekosistem dibangun oleh biota-biota laut
(Amin 2009). Hal ini sangat penting dipertimbangkan mengingat hilangnya salah
satu biota dalam struktur ekosistem laut dapat mempengaruhi populasi biota lain
yang membangun ekosistem secara keseluruhan.
Penilaian tentang tingkat tanggung jawab suatu unit penangkapan ikan dapat
dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai hal secara simultan, yaitu dengan
menerapkan pendekatan multi criteria analysis atau analisis multi kriteria,
disingkat AMK (Prinanto 2012). Penggunaan AMK disesuaikan fungsinya
sebagai perangkat pengambil keputusan yang dikembangkan untuk masalahmasalah kompleks multikriteria (kriteria lebih dari 1) dalam proses pengambilan
keputusan (Mendoza dan Macoun 1999). Beberapa jenis unit penangkapan ikan
yang ada di Kabupaten Kapuas pada penelitian ini akan dinilai tingkat tanggung
jawabnya melalui penerapan 13 kriteria unit penangkapan ikan yang bertanggung
jawab (Sondita 2012). Manfaat informasi tentang tingkat tanggung jawab ini di
antaranya adalah untuk menentukan jenis teknologi penangkapan ikan yang akan
dikembangkan di suatu kawasan.
Penelitian ini melakukan kajian terhadap unit-unit penangkapan ikan di
Kabupaten Kapuas sebagai salah satu upaya membantu Pemerintah Daerah
setempat mengembangan perikanan tangkap. Topik penelitian ini sangat tepat
karena sesuai dengan trend akibat kebijakan pengembangan perikanan tangkap
yang memprioritaskan penerapan teknologi penangkapan ikan yang bertanggung
jawab yang bertujuan memanfaatkan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan.

Tujuan Penelitian

1.
2.

Penelitian ini bertujuan:
Menentukan status teknologi penangkapan ikan yang diterapkan nelayan
Kabupaten Kapuas dari segi kriteria perikanan bertanggung jawab.
Menentukan strategi perbaikan perikanan tangkap di Kabupaten Kapuas
berdasarkan status teknologi penangkapan ikan.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini dapat dibagi untuk 2 kepentingan, yaitu bagi
ilmu pengetahuan dan bagi pengelola perikanan setempat. Bagi ilmu pengetahuan
perikanan tangkap, penelitian ini menyajikan informasi tentang penerapan
sejumlah kriteria untuk menilai status unit penangkapan ikan. Bagi pengelola
perikanan, penelitian ini menghasilkan informasi yang dapat dipertimbangkan
mereka dalam mengembangkan perikanan tangkap yang bertujuan untuk
mensejahterakan masyarakat dengan memastikan terwujudnya kelestarian
sumberdaya ikan yang menjadi andalan hidup mereka sehingga kegiatan yang

3

menjadi mata pencahariannya juga dapat terus berlanjut. Informasi tersebut
berupa aspek-aspek teknis yang perlu diperbaiki.

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan
dan penelitian utama. Kegiatan penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan
Januari 2013 untuk mengumpulkan informasi awal terkait kondisi perikanan
Kalimantan Tengah secara umum dan kondisi Kabupaten Kapuas secara khusus.
Penelitian pendahuluan ini dilakukan di kampus IPB dengan mempelajari bukubuku terkait keberlanjutan perikanan atau tingkat keramahan unit penangkapan
ikan. Penelitian pendahuluan juga mencakup kunjungan lapangan di Kabupaten
Kapuas, Kalimantan Tengah, pada bulan Januari 2013.
Penelitian utama dilaksanakan pada pertengahan Juli 2013 hingga akhir
Agustus 2013 untuk mengumpulkan data yang diperlukan di Kabupaten Kapuas,
Kalimantan Tengah, tepatnya di Kecamatan Kapuas Kuala (Gambar 1).

Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Kapuas 2010
Gambar 1 Peta desa-desa pesisir di Kecamatan Kapuas Kuala, Kabupaten Kapuas

4

Alat dan Objek Penelitian

Alat yang digunakan adalah alat tulis kantor, peralatan dokumentasi seperti
kamera, fasilitas kerja seperti laptop. Obyek penelitian adalah unit penangkapan
ikan di perairan laut dan sungai. Adapun unit penangkapan ikan di laut adalah
lampara, sungkur, rengge dan rawai, sedangkan unit penangkapan ikan di sungai
adalah rengge, rawai, togo dan rakkang.

Lampara
Lampara yang berada di wilayah perairan Kabupaten Kapuas adalah
lampara dasar. Lampara dasar termasuk jenis trawl dasar perairan/bottom trawl
(dragged gear) yang digunakan untuk menangkap udang sebagai hasil tangkapan
utama.
Lampara dasar merupakan modifikasi dari lampara permukaan, pukat pantai
dan dogol. Secara garis besar, bangun tubuh lampara dasar terbagi menjadi dua
bagian utama yaitu bagian sayap (kiri dan kanan) dan bagian kantong (Gambar 3).
Ukuran mata jaring dibagian depan 1 inci dan bagian belakang ¾ inci. Kapal yang
digunakan adalah tipe balapan berukuran panjang 10 m dan lebar 2 m (Bobot ≤ 3
GT) dengan mesin dumping kapasitas 40 PK (dua buah mesin masing-masing 20
PK). Hasil tangkapan utama adalah udang dan cumi-cumi (Diskanlut 2008).
Penggunaan lampara di wilayah Kabupaten Kapuas hanya digunakan di
desa Batanjung. Alat tangkap ini beroperasi dengan cara menyapu dasar perairan
sehingga dinilai dapat merusak lingkungan perairan.

Gambar 2 Lampara untuk menangkap ikan dasar di laut

5

Sungkur
Jaring sudu di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah disebut
“sungkur”yaitu suatu jenis alat tangkap untuk menangkap ikan yang dioperasikan
dengan perahu dan tenaga manusia (Murdiyanto 1999).
Sungkur (push net) adalah alat tangkap dengan bukaan mulut menyilang
membentuk segitiga dengan sebuah kantong dibelakang (Gambar 4). Alat tangkap
berbentuk serok ini memiliki lebar hingga 2 meter lebih dan panjang hingga 7
meter, serta terdapat 2 ukuran mata jaring yaitu 0,75” untuk menangkap udangudang kecil (ebi) dan 1,25” untuk menangkap udang windu. Mulut sungkur
berbentuk segitiga yang kedua sisinya diperkuat potongan bambu bulat yang
menyilang sedangkan bagian dasarnya tidak berkerangka. Sungkur dioperasikan
menggunakan perahu klotok di perairan pantai yang dangkal (1–1,5 m) dan tidak
bergelombang. Kapal yang digunakan tipe hawaian berbobot ≤ 2 GT (panjang 11
m dan lebar 1,5 m). Kapasitas mesin kapal 20 PK. Hasil tangkapan utama adalah
udang (Diskanlut 2008).
Penggunaan sungkur di wilayah Kabupaten Kapuas hanya digunakan di
desa Palampai. Alat tangkap ini beroperasi dengan cara diseret sehingga menyapu
perairan.

Gambar 3 Sungkur untuk menangkap udang di laut

Rengge/Jaring Insang/Gillnet Dasar Laut
Jaring insang yang terkenal dengan nama “rengge” di Kalimantan Tengah
merupakan alat tangkap yang bersifat pasif.
Rengge (bottom gillnet) ini memiliki mata jaring 2,5 – 3 inci (Gambar 5).
Bahan jaring atau webbing terbuat dari benang nylon. Nelayan di Kabupaten
Kapuas biasanya mengoperasikan rengge 30 – 40 pis dalam 1 kapal.
Hasil tangkapan utama adalah manangin dan puput. Pengoperasian biasanya
dilakukan selama 6 jam dengan cara membiarkan hingga ikan terjerat dalam
mata jaring.

6

Gambar 4 Rengge yang dioperasikan di dasar laut

Rengge/Jaring Insang/Gillnet Permukaan Sungai
Rengge (surface gillnet) yang digunakan merupakan rengge satu lapis
dengan bentuk persegi panjang dan mempunyai ukuran mata jaring (mesh size)
yang disesuaikan dengan hasil tangkapan target.
Menurut Nomura (1981), bagian-bagian utama jaring insang permukaan
terdiri dari pelampung, badan jaring, tali ris atas, tali ris bawah dan tali pemberat
(Gambar 6).
Alat tangkap yang dioperasikan dengan kapal berukuran 1-3 GT ini biasanya
dioperasikan di wilayah sekitar desa Sei Teras dikarenakan desa ini dekat dengan
perairan sungai dibandingkan desa lainnya. Hasil tangkapan utama adalah papuyu,
sapat dan balanak.

Gambar 5 Rengge yang dioperasikan di lapisan permukaan sungai

7

Rawai
Rawai datar atau horizontal long line yang dioperasikan di perairan laut dan
sungai di kabupaten Kapuas memiliki jenis yang sama. Ukuran mata pancing yang
digunakan adalah no. 7. Satu set pancing rawai terdiri atas 300 - 600 mata pancing
(Gambar 7). Rawai dioperasikan dengan kapal tipe hawaian berukuran ≤ 2 GT,
panjang 7 - 8 m, lebar 1,5 m dan berkapasitas mesin 20 PK (Diskanlut 2008)
Hasil tangkapan adalah otek, aluh-aluh, patin laut dan sembilang. Lama
pengoperasian sama seperti rengge yaitu 6 jam karena alat tangkap pancing rawai
bagi nelayan sampai saat ini merupakan alat tangkap tambahan yang akan
dioperasikan bila hasil tangkapan dari rengge kurang menguntungkan
Mata Pancing
(hooks)

Tali cabang
(branch line)

Tali utama
(main line)

Gambar 6 Rawai untuk menangkap ikan di perairan sungai dan laut

Rakkang
Rakkang (Crab lift and stake dip net) adalah alat tangkap yang digunakan
khusus menangkap kepiting. Alat tangkap ini terdiri dari tongkat yang terbuat dari
kayu galam sebagai tongkat yang berfungsi untuk menancapkan rakkang ke dasar
perairan, jaring rakkang yang terbuat dari bahan nilon monopilamen dan kawat
anyam, bilah besi. Bentuk rakkang seperti silinder (Rusmilyansari et al. 2006).
Menurut Anshori (2001) rakkang merupang alat penangkap kepiting yang
efektif tanpa merusak anggota badan kepiting. Rakkang bersifat pasif dan
tradisional, umumnya digunakan oleh masyarakat nelayan yang kawasan
pesisirnya terdapat hutan mangrove dan banyak muara sungai (Gambar 8).
Pengoperasian dilakukan dengan cara mendiamkan selama lima belas (15) jam,
yang biasanya dipasang pada sore hari pukul 15.00 WIB dan pengangkatan pukul
06.00 WIB

8

Gambar 7 Rakkang untuk menangkap kepiting

Togo
Togo adalah alat tangkap bersifat pasif yang diklasifikasikan ke dalam
kelompok perangkap dan penghadang (trap). Alat tangkap ini berupa badan jaring
berbentuk kerucut yang lengan-lengannya diikatkan pada 2 tiang (Gambar 9).
Tiang togo dipancang di laut pada kedalaman 2 m. Ukuran mata jaring depan 1
inch dan belakang ¾ inch. Alat tangkap ini ditujukan untuk menangkap udangudangan, patin laut, kakap dan otek (Diskanlut 2008).
Kapal atau perahu pada alat tangkap ini hanya digunakan sebagai
transportasi untuk ke daerah fishing ground. Kapal yang digunakan di perairan
Kabupaten Kapuas rata-rata berukuran 3 GT bertipe hawaian dengan mesin 20
PK. Dalam pengoperasiannya tidak digunakan alat bantu maupun umpan. Waktu
operasi siang dan malam hari selama 16 jam (Diskanlut 2008).
Metode pengoperasian dari togo adalah mengusahakan ikan untuk
memasuki jaring dari arah datangnya arus air. Jadi dengan cara demikian, togo
harus disesuaikan dengan arah datangnya arus air (Subani dan Barus 1989).

Gambar 8 Togo untuk menangkap ikan di kawasan pasang surut

9

Metode Pengambilan Data

Kerangka penelitian (Gambar 2) disesuaikan dengan tujuan dari penelitian
dan metode yang akan diterapkan, yaitu multi criteria analysis. Data yang
dibutuhkan untuk keperluan penelitian meliputi data alat tangkap, armada
penangkapan, hasil tangkapan, lokasi penangkapan dan informasi lainnya yang
menunjang kegiatan penelitian. Data tersebut diperoleh dari wawancara, observasi
langsung di lapangan dan informasi dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Kapuas serta berbagai tulisan melalui penelusuran pustaka (studi pustaka),
lembaga-lembaga pemerintah dan instansi terkait.
Jenis data yang dikumpulkan ditentukan dengan menjabarkan indikator
yang sesuai dengan setiap kriteria perikanan tangkap yang bertanggung jawab.
Ada 14 kriteria teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan (Purbayanto
et al. 2010). Kriteria tersebut dibahas dalam perkuliahan PSP513 Teknologi
Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan diasuh oleh Dr Ir M. Fedi A. Sondita, MSc
dan kawan-kawan di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Namun pada penelitian
ini, peneliti melakukan dua perubahan, yaitu: (1) perubahan judul kriteria dari
teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan menjadi teknologi
penangkapan ikan yang bertanggung jawab dan (2) mengurangi 1 kriteria
sehingga menjadi 13 kriteria. Perubahan judul dilakukan mengacu pada Code of
Conduct Responsible Fisheries (CCRF), sedangkan pengurangan satu kriteria
disebabkan kriteria tersebut (kriteria 8 yaitu ikan yang tertangkap legal) dianggap
telah termasuk dalam kriteria lain (kriteria nomor 7, yaitu selektif: ikan yang
tertangkap seragam, legal atau proper size). Berikut ini adalah tiga belas kriteria
teknologi penangkapan ikan yang bertanggung jawab:
1. Nelayan terlatih, memahami dan menerapkan konsep efisiensi dan konservasi
2. Tidak membahayakan nelayan dan orang lain di laut
3. Sesuai dengan peraturan
4. Hemat energi
5. Tidak menghasilkan polusi
6. Terbuat dari bahan yang pengadaannya tidak merusak lingkungan atau
ekosistem yang dilindungi
7. Selektif: Ikan yang tertangkap seragam, legal atau proper size
8. Low potential of ghost fishing
9. Memanfaatkan ikan secara maksimum
10. Menjamin survival dari ikan dan biota laut yang dikembalikan ke laut
(discards)
11. Tidak menangkap jenis yang dilindungi/biodiversity
12. Tidak merusak lingkungan perairan dan habitat
13. Tidak menimbulkan konflik dengan kegiatan lainnya

10

Teknologi
Penangkapan Ikan

Rengge
di Laut

Lampara
di Laut

Sungkur
di Laut

Rawai
di Laut

Rengge
di Sungai

Togo
di Sungai

Rakkang
di
Sungai

Analisis teknologi penangkapan ikan
bertanggung jawab

13 kriteria teknologi penangkapan ikan
bertanggung jawab

13 Indikator

Sub-indikator disesuaikan
dengan kebutuhan

Kategori

Status teknologi penangkapan
ikan dari segi kriteria
perikanan bertanggung jawab
terhadap lingkungan

Strategi perbaikan perikanan
tangkap berdasarkan status
teknologi penangkapan ikan

Gambar 9 Kerangka pemikiran pendekatan penelitian

Rawai
di
Sungai

11

Peneliti kemudian menyusun indikator-indikator dari setiap kriteria
perikanan bertanggung jawab tersebut karena hingga saat ini belum ada yang
menyusunnya secara lengkap. Setiap indikator selanjutnya dijabarkan dengan
sejumlah sub indikator. Jumlah sub indikator disesuaikan dengan kebutuhan
(Tabel 1).

Tabel 1 Indikator yang dikembangkan untuk menilai teknologi penangkapan ikan
No.
1

2

3

4

5
6

7

Kriteria Perikanan
Bertanggung jawab
Nelayan terlatih,
memahami dan
menerapkan konsep
efisiensi dan konservasi

Indikator
Kompetensi
nelayan (X1)

Sub-Indikator

Tingkat Terlatih
a) Lama Pengalaman
Kerja
b) Intensitas Pelatihan
Tingkat pemahamam dan
penerapan konsep
efesiensi
a) Paham
b) Penerapan
Tingkat pemahamam dan
penerapan konsep
konservasi
a) Paham
b) Penerapan
Tidak membahayakan
Keselamatan di laut Keselamatan ABK
nelayan dan orang lain di (X2)
Keselamatan Kasko
laut
Keselamatan Mesin
Keselamatan Alat
Penangkapan Ikan
Sesuai dengan peraturan Kepatuhan
Jalur penangkapan
terhadap peraturan Alat tangkap
(X3)
Hemat energi
Konsumsi bahan
Jumlah bahan bakar
bakar kapal (X4)
yang dipakai
Penggunaan angin
sebagai tenaga
penggerak kapal ikan
Tidak menghasilkan
Kuantitas bahan
Jumlah polutan udara
polusi
pencemar (X5)
Jumlah polutan cair
Terbuat dari bahan yang Bahan pembuatan
Penggunaan bahan alami
pengadaannya tidak
alat penangkapan
merusak lingkungan atau ikan (X6)
Penggunaan bahan
ekosistem yang
buatan
dilindungi
Selektif: Ikan yang
Komposisi ikan
Keragaman ikan yang
tertangkap seragam, legal yang tertangkap
ditangkap
atau proper size
(X7)
Jumlah ikan yang

12

No.

Kriteria Perikanan
Bertanggung jawab

8

Low potential of ghost
fishing

9

Memanfaatkan ikan
secara maksimum

10

Menjamin survival dari
ikan dan biota laut yang
dikembalikan ke laut
(discards)
Tidak menangkap jenis
yang dilindungi/
biodiversity

11

12

Tidak merusak
lingkungan perairan dan
habitat

13

Tidak menimbulkan
konflik dengan kegiatan
lainnya

Indikator

Tingkat kerawanan
suatu alat tangkap
(X8)
Proporsi hasil
tangkapan yang
dimanfaatkan (X9)
Perlakuan pada
ikan dan biota laut
yang dikembalikan
ke laut (X10)
Kasus
tertangkapnya jenis
biota yang
dilindungi (X11)
Potensi terjadi
kerusakan
lingkungan
perairan dan habitat
(X12)
Kejadian atau
potensi konflik
(X13)

Sub-Indikator
memiliki legal atau
proper size
Proporsi jenis ikan
sasaran (target species)
(tidak ada)

(tidak ada)

(tidak ada)

(tidak ada)

(tidak ada)

(tidak ada)

Sebagai contoh, untuk indikator keselamatan di laut (X2) diterangkan oleh 4
sub-indikator, yaitu: (1) Keselamatan ABK, (2) Keselamatan kasko, (3)
Keselamatan mesin dan (4) Keselamatan alat penangkapan ikan. Sub indikator
terkait dengan kriteria perikanan bertanggung jawab disajikan pada Lampiran 1.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei yaitu
metode pengumpulan data dengan mengambil sebagian objek populasi tetapi
dapat mencerminkan populasi (BPS 2014). Informasi tentang suatu unit
penangkapan ikan diperoleh dari responden yang memiliki pengetahuan cukup
tentang unit penangkapan tersebut. Tidak terdapat metode dalam pemilihan
responden dikarenakan situasi saat penelitian yang tidak mendukung. Jumlah
responden sumber informasi untuk setiap alat tangkap adalah 5 orang dengan total
responden 24 orang dimana 1 responden dapat mewakili beberapa jenis alat
penangkapan ikan (Tabel 2).

13

Tabel 2 Jumlah responden untuk 8 jenis unit penangkapan ikan di lima desa di
Kabupaten Kapuas
Unit Penangkapan Ikan

Desa
Sei Teras
Palampai
Pematang
Camara Labat
Batanjung
Total

Y1
5
5

Y2
4
1
5

Y3
3
1
1
5

Y4
3
1
1
5

Y5
3
1
1
5

Y6
3
2
5

Y7
4
1
5

Y8
5
5

Keterangan:
Y1 : Lampara; Y2 : Sungkur; Y3 : Rengge Laut; Y4 : Rawai Laut; Y5 : Rawai
Sungai; Y6 : Rengge Sungai; Y7 : Togo; Y8 : Rakkang

Analisis Data

Indikator-indikator yang dikembangkan oleh peneliti dalam penelitian ini,
indikator nomor 1 sampai 7 menggunakan sub-indikator sedangkan indikator
nomor 8 sampai 13 tidak dijelaskan dengan sub indikator. Indikator yang
menggunakan sub indikator, data yang diperoleh kemudian dikonversi menjadi
data ordinal. Data ordinal lima responden pada tiap sub indikator dihitung rataratanya. Nilai rata-rata yang diperoleh tiap sub indikator kemudian dijumlahkan.
Total nilai sub indikator akan menentukan kategori suatu unit penangkapan ikan;
setiap kategori tersebut memiliki kriteria berupa kisaran total nilai sub indikator.
Skor suatu indikator ditentukan berdasarkan kategori yang diperoleh. Berikut
adalah metode cara menilai skor setiap indikator yang dirumuskan oleh peneliti.
Indikator ke-1:


+



+



+

A adalah tingkat pelatihan, B adalah tingkat pemahaman dan penerapan konsep
efesiensi, C adalah tingkat pemahaman dan penerapan konsep konservasi

14

Indikator ke-2





A adalah keselamatan ABK, B adalah keselamatan kasko, C adalah keselamatan
mesin, D adalah keselamatan alat penangkapan ikan
Indikator ke-3 hingga ke-6



Indikator ke-7




A adalah tingkat keseragaman, B adalah tingkat legal atau proper size, C adalah
target spesies
Indikator ke-8 hingga ke-13


Indikator ke 8 s.d. 13 tidak memiliki sub-indikator.
Keterangan:
n : Nelayan atau responden
x : Sub indikator
X : Indikator

Hasil analisis data menunjukkan jenis unit penangkapan ikan terbaik pada
setiap kategori, yaitu kategori terbaik untuk alat tangkap bersifat aktif, bersifat

15

pasif, yang dioperasikan di sungai, di laut dan secara keseluruhan di Kabupaten
Kapuas.
Strategi perbaikan unit penangkapan ikan ditentukan untuk memperbaiki
indikator yang bernilai rendah. Strategi ini merupakan rekomendasi perbaikan
yang difokuskan pada indikator-indikator terburuk sehingga unit penangkapan
ikan tersebut akan semakin memenuhi kriteria ideal bertanggung jawab.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Penilaian teknologi penangkapan ikan dilakukan agar pengembangannya
dapat mewujudkan perikanan tangkap semakin bertanggung jawab. Penilaian
terbaik dilakukan berdasarkan tiap indikator, sifat aktif dan pasif, terbaik di
perairan sungai, terbaik di perairan laut dan terbaik secara umum.

Skor setiap indikator teknologi penangkapan ikan bertanggung jawab
Pengolahan data menghasilkan sebuah nilai yang menentukan skornya.
Terdapat 3 skor tiap indikator yaitu 1, 2 dan 3; nilai 3 berarti baik, nilai 2 berarti
tergolong cukup dan nilai 1 tergolong tidak baik (Tabel 3). Semakin tinggi skor
suatu indikator berarti unit penangkapan ikan memiliki ciri yang semakin
mendekati suatu kriteria ideal.
1. Indikator 1 : X1 = 2
Setiap jenis unit penangkapan yang diteliti dioperasikan oleh
nelayan yang cukup terlatih, memahami dan menerapkan konsep
efisiensi dan konservasi. Sebagian besar nelayan di Kabupaten
Kapuas memiliki pengalaman kerja rata-rata lebih dari 5 tahun
dan tingginya minat serta keaktifan nelayan dalam mengikuti
program pelatihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah.
Awalnya peneliti ingin mengukur indikator X1 dengan
membandingkan jumlah program yang telah diselenggarakan
dengan jumlah program yang pernah diikuti nelayan, namun
karena kesulitan dalam memperoleh data dan mendapatkan
keterangan maka penilaian dilakukan dengan mengandalkan
keterangan nelayan. Kurangnya pemahaman tentang konsep
efesiensi dan konservasi juga merupakan suatu hambatan dalam
melaksanakan pengelolaan perikanan secara bertanggung jawab.

16

2. Indikator 2 : X2 = 2
Berdasarkan aspek-aspek keselamatan anak buah kapal (ABK),
keselamatan kasko, keselamatan mesin dan keselamatan alat
penangkapan ikan, unit penangkapan ikan yang diteliti agak
membahayakan nelayan dan orang lain di perairan laut dan
sungai. Seluruh unit penangkapan ikan yang diteliti tidak
menyediakan fasilitas keselamatan di atas kapal (lihat hasil
perhitungan di Lampiran 2). Tampaknya hal ini disebabkan
nelayan pada umumnya menganggap kelengkapan fasilitas
keselamatan tersebut tidak terlalu penting karena semua nelayan
memiliki kemampuan renang. Pengabaian terhadap fasilitas
keselamatan sangat berbahaya pada lingkungan kerja di atas air
mengingat kecelakaan laut dapat terjadi sewaktu-waktu atau tak
terduga. Temuan ini menyimpulkan bahwa evaluasi terhadap
indikator keselamatan pada kapal-kapal ikan harus dilaksanakan
untuk untuk menjamin keselamatan nelayan maupun orang lain
di laut dari risiko kecelakaan.
3. Indikator 3 : X3 = 3 (Rengge laut, rengge sungai, rawai laut, rawai sungai dan
rakkang) dan X3 = 2 (lampara, sungkur dan togo)
Operasi penangkapan ikan di perairan wilayah ini bersifat harian
dengan lokasi tangkap (fishing ground) paling jauh ± 12 mil dari
garis pantai. Seluruh alat penangkapan ikan selalu dioperasikan
pada alur penangkapan yang sesuai. Sub indikator alat tangkap,
lampara, sungkur dan togo tergolong agak sesuai. Hal ini
dikarenakan lampara dasar yang digunakan lebih condong
seperti trawl, sehingga walaupun desainnya sesuai standar tetap
dianggap kurang sesuai peraturan. Alat tangkap sungkur
merupakan modifikasi dari alat tangkap seser (push net)
sehingga digolongkan agak sesuai peraturan. Togo merupakan
modifikasi dari alat tangkap udang/ikan tergolong agak sesuai
karena fungsinya tetap untuk menangkap udang dan ikan.
Kekurangsesuaian alat tangkap tidak menjadi hambatan
dikarenakan pemanfaatannya masih sesuai dengan tujuan hasil
tangkapannya.
4. Indikator 4 : X4 = 2 kecuali lampara dan rawai (skor 1)
Pemakaian bahan bakar secara standar menurut Nomura (1975)
ialah 0.02 kg/hp/jam. Peneliti tidak dapat melakukan
pengukuran secara kuantitatif disebabkan penggunaan bahan
bakar di Kabupaten Kapuas yang merupakan minyak campuran.
Penggunaan bahan bakar campuran tentu menyebabkan mesin
menjadi cepat rusak dan tidak hemat energi (Suara Merdeka
2003), sehingga peneliti hanya melakukan pengamatan terhadap
tiap unit penangkapan ikan berdasarkan jumlah bahan bakar
serta campuran bahan bakar yang digunakan.
Lampara dan rawai sungai tergolong sangat boros bahan bakar
dikarenakan mesin yang digunakan adalah mesin dumping
dengan bahan bakar campuran berupa bensin, solar, oli pelumas,
minyak tanah dan minyak goreng. Tingkat hemat energi yang

17

Tabel 3. Skor setiap indikator unit penangkapan ikan di perairan Kabupaten Kapuas
Alat Tangkap
Indikator Lampara
(Y1)

Sungkur
(Y2)

Rengge
Laut (Y3)

Rawai
Laut (Y4)

Rawai
Rengge
Sungai (Y5) Sungai (Y6)

Togo
(Y7)

Rakkang
(Y8)

Rata-rata

X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
X8
X9
X10
X11
X12
X13

2
2
2
1
1
3
2
3
3
1
3
1
2

2
2
2
2
2
3
3
3
3
1
3
2
3

2
2
3
2
2
3
2
3
2
1
3
3
3

2
2
3
2
2
3
2
3
3
1
3
3
3

2
2
3
2
2
3
2
3
3
1
3
3
3

2
2
3
2
2
3
3
3
3
1
3
3
3

2
2
2
2
2
3
3
3
3
1
3
3
3

2
2
3
2
2
3
3
2
3
1
3
3
3

2,0
2,0
2,6
1,9
1,9
3,0
2,5
2,9
2,9
1,0
3,0
2,6
2,9

Total

26

31

31

32

32

33

32

32

31,1

Keterangan:
X1 : Indikator 1; X2 : Indikator 2; ............ Xn : Indikator n
Y1 : Lampara; Y2 : Sungkur; Y3 : Rengge Laut; Y4 : Rawai Laut; Y5 : Rawai Sungai; Y6 : Rengge Sungai; Y7 : Togo; Y8 : Rakkang

18

5.

Indikator 5

6.

Indikator 6

7.

Indikator 7

rendah dapat ditingkatkan melalui penggantian mesin kapal
yang lama dan pemakaian bahan bakar secara konsisten yang
berarti penggunaan bahan bakar yang sama tanpa
pencampuran yang tentunya menyebabkan boros bahan bakar
dan cepat merusak mesin. Sulitnya mendapat bahan bakar
merupakan masalah yang sudah biasa di wilayah pesisir ini,
sehingga perlu adanya dukungan dari pemerintah berupa
pembangunan Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU) di
beberapa titik penting wilayah desa pesisir. Perlu
diperhatikan juga bahwa penggunaan alat tangkap akan
menjadi boros bergantung juga pada jarak daerah asal
(fishing base) ke daerah penangkapan (fishing ground), jenis
kapal, jenis mesin dan jenis bahan bakar yang digunakan,
sehingga perlu disesuaikan alat tangkap yang akan menjadi
tepat di suatu daerah pesisir.
: X5 = 2 kecuali lampara (skor 1)
Hasil yang diperoleh pada sub indikator polusi cair adalah
seluruh teknologi penangkapan ikan berada pada skor 3 yaitu
terjadi pencemaran air yang rendah di perairan laut dan
sungai. Semulanya berdasarkan kesaksian masyarakat sekitar
pada tahun 1960-an sungai masih cukup jernih, namun akibat
terjadinya abrasi tanah yang tergeruk membuat perairan
menjadi sangat kotor dan sedikit mengurangi populasi ikan.
Pengamatan pada sub indikator polusi udara dilakukan
terhadap umur mesin, jenis mesin, jarak tempuh dan periode
servis. Berdasarkan umur mesin penggerak kapal, dapat
diasumsikan bahwa semakin tua mesin kapal dan semakin
besar jarak tempuh berarti semakin tinggi polusi yang
disumbangkan ke lingkungan jika servis tidak dilakukan
secara rutin (Lupita 2013). Di lokasi penelitian, polusi udara
yang disebabkan rengge sungai permukaan dan togo
tergolong rendah karena unit-unit penangkapan ikan ini
dilengkapi dengan kapal dan mesin baru dari sumbangan dari
pemerintah. Perbaikan mesin dilakukan oleh nelayan itu
sendiri, penggantian mesin sangat jarang dilakukan karena
harganya yang mahal. Selain perbaikan mesin secara berkala,
perlu juga adanya bantuan dari pemerintah dalam pemberian
mesin baru kepada nelayan yang tentunya disesuaikan dengan
kebutuhan.
: X6 = 3
Penggunaan jumlah bahan alam yang sedikit seperti bambu
pada sungkur, kayu galam pada rakkang dan tongkat kayu
pada togo dianggap tidak merusak.
: X7 = 3 (sungkur, rengge sungai permukaan, togo dan
rakkang ) dan X7 = 2 (lampara, rengge laut dasar, rawai laut
dan rawai sungai)
Ikan yang tertangkap oleh sungkur, rengge sungai
permukaan, togo dan rakkang seragam, legal atau proper size,

19

sedangkan pada alat tangkap lampara, rengge laut dasar,
rawai laut dan rawai sungai tergolong cukup. Peneliti tidak
melakukan pengukuran terhadap ukuran ikan secara
terperinci pada penelitian ini, sehingga peneliti melakukan
pengamatan secara langsung dan wawancara dengan nelayan.
Tingkat keseragaman dan kelegalan erat kaitannya dalam
menjaga kelestarian sumberdaya secara berkelanjutan.
Keseragaman baiknya disesuaikan dengan ukuran yang
ditetapkan artinya telah memenuhi kiteria telah matang gonad
atau LM (length at first maturity).
8. Indikator 8 : X8 = 3 kecuali rakkang (skor 2)
Seluruh unit penangkapan ikan memiliki potensi rendah
terjadinya “ghost fishing” kecuali rakkang. Menurut
informasi yang diperoleh dari nelayan, rakkang tergolong
memiliki potensi cukup tinggi terjadinya “ghost fishing”.
Pengoperasian rakkang yang dilakukan dengan cara
mendiamkan selama lima belas (15) jam dan meninggalkan
alat tangkap diperairan merupakan penyebab mudahnya
hilang alat tangkap ini jika dibandingkan dengan alat tangkap
lainnya. Pemberian tagging perlu diperhatikan apakah
tagging dapat berfungsi optimal, sehingga pemberian tagging
yang tepat dan secara benar sangat diperlukan
9. Indikator 9 : X9 = 3 kecuali rengge laut dasar (skor 2).
Seluruh unit penangkapan ikan memanfaatkan hasil
tangkapan secara maksimum kecuali rengge laut dasar.
Pengoperasian rengge laut yang berada di dasar perairan
menyebabkan tertangkapnya berbagai jenis hasil tangkapan,
sehingga hasil tangkapan yang tidak sesuai target dan
dianggap kurang menguntungkan akan dibuang serta tidak
dimanfaatkan. Indikator ini berhubungan dengan indikator
menjamin survival dari ikan dan biota laut yang
dikembalikan ke laut (discards) dimana seluruh alat tangkap
berada pada skor 1 (indikator 10). Tanggung jawab mengenai
keberlangsungan hidup ikan tidak hanya oleh nelayan tetapi
juga masyarakat. Permintaan konsumen adalah salah satu
faktor penyebab tersedianya ikan kecil oleh nelayan,
sehingga sangat penting untuk memberikan pendidikan
kepada seluruh lapisan masyarakat mengenai ukuran
konsumsi ikan untuk menjaga keberlangsungan hidup ikan
secara berkelanjutan serta pentingnya perairan bagi
kehidupan masyarakat.
10. Indikator 10 : X10 = 1
Ikan dan biota laut yang tidak layak tangkap dikembalikan ke
laut tidak dijamin keberlangsungan hidupnya oleh seluruh
unit penangkapan ikan. Nelayan di wilayah perairan ini
memiliki pandangan yang sama mengenai keberlangsungan
hidup ikan. Alasan tidak dijaminnya hidup ikan adalah karena
hampir sebagian besar hasil tangkapan yang tertangkap mati

20

setelah didaratkan di atas kapal. Kurangnya informasi
mengenai pentingnya menjaga kelangsungan hidup ikan
menyebabkan kurang dihargainya biota perairan.
11. Indikator 11 : X11 = 3
Seluruh unit penangkapan ikan dalam pengoperasiannya
tidak
pernah
menangkap
jenis
biota
yang
dilindungi/biodiversity. Tidak ada jenis yang dilindungi pada
perairan laut di Kabupaten Kapuas, sedangkan untuk perairan
sungai jenis yang dilindungi adalah arwana (Scleropages
formosus ) dan labi-labi (Pelodiscus sinensis).
12. Indikator 12 : X12 = 3 kecuali sungkur (skor 2) dan lampara (skor 1).
Metode dan operasi penangkapan ikan pada alat tangkap
lampara tergolong sangat merusak lingkungan perairan dan
habitat dikarenakan dalam pengoperasiannya seluruh isi
perairan yang tersapu akan masuk kedalam kantung sehingga
sangat merusak habitat perairan. Beda halnya dengan lampara,
sungkur yang dioperasikan dengan cara yang sama tergolong
cukup merusak lingkungan perairan dan habitat.
13. Indikator 13 : X13 = 3 kecuali lampara (skor 2)
Seluruh unit penangkapan ikan tidak menimbulkan konflik
dengan kegiatan lainnya kecuali lampara. Lampara termasuk
cukup menimbulkan konflik dengan kegiatan lainnya
dikarenakan pengoperasiannya yang menyapu dasar perairan
sehingga banyak hasil tangkapan tertangkap dan mengurangi
jumlah hasil tangkapan alat tangkap sungkur. Konflik kecil
yang tejadi tetap perlu diwaspadai agar tidak menjadi besar
kedepannya, sehingga perlunya pembagian wilayah
penangkapan yang lebih jelas dan tidak berdekatan satu sama
lainnya.

Teknologi penangkapan ikan bertanggung jawab berdasarkan sifat aktif,
pasif dan secara umum
Menurut cara mengoperasikannya dalam mendekati ikan yang menjadi
sasaran penangkapan ikan, alat penangkapan ikan dapat dibedakan menjadi 2
jenis, yaitu alat tangkap aktif dan alat tangkap pasif. Alat yang bersifat aktif
adalah lampara dan sungkur, sedangkan alat yang bersifat pasif adalah rengge,
rawai, togo dan rakkang. Menurut lokasi tempat dioperasikan, unit penangkapan
ikan di Kabupaten Kapuas dibagi menjadi tiga yaitu aktif di laut, pasif di laut dan
pasif di sungai (tidak terdapat unit penangkapan ikan aktif di sungai Kabupaten
Kapuas dalam penelitian). Berikut unit penangkapan terbaik.
1.

Unit penangkapan ikan bersifat aktif yang terbaik di laut adalah sungkur.
Alat ini mendapatkan skor sebesar 31 sedangkan skor untuk lampara ialah 26.
Kedua alat penangkapan ikan ini memiliki persamaan, yaitu dioperasikan
dengan cara menyapu dasar perairan. Jika dibandingkan dengan lampara,
sungkur sebagai teknologi penangkapan ikan terbaik yang bersifat aktif dilaut
memiliki lima nilai yang berada diatas lampara yaitu konsumsi bahan bakar

21

2.
3.

kapal atau perahu (X4), kuantitas bahan pencemar (X5), komposisi ikan yang
tertangkap (X7), potensi terjadi kerusakan lingkungan perairan dan habitat
(X12) dan kejadian atau potensi konflik (X13)
Unit penangkapan ikan bersifat pasif yang terbaik di laut adalah rawai laut
dengan total nilai 32.
Unit penangkapan ikan bersifat pasif yang terbaik di sungai adalah rengge
sungai permukaan dengan total nilai 33.

Secara umum, teknologi penangkapan ikan yang paling bertanggung jawab
di laut adalah rawai laut dengan total nilai yaitu 31, sedangkan yang paling
bertanggung jawab di sungai adalah rengge sungai permukaan dengan total nilai
33. Dari kedelapan alat tangkap, rengge sungai permukaan adalah alat tangkap
terbaik di Kabupaten Kapuas.
Rengge sungai permukaan merupakan alat tangkap dominan di desa Sei
Teras. Perlu diperhatikan bahwa tiap daerah memiliki alat tangkap dominan.
Penggunaan alat tangkap didaerah tertentu mempengaruhi hasil penetapan
teknologi penangkapan ikan yang terbaik, sehingga diharapkan perhatian pada
setiap strategi perbaikan seluruh indikator.

Pembahasan

Analisis kuantitatif di atas menghasilkan status untuk setiap jenis unit
penangkapan ikan yang diteliti di Kabupaten Kapuas. Pembahasan terhadap hasil
penelitian tersebut akan difokuskan pada kondisi umum, indikator-indikator yang
memiliki skor terendah, serta jenis unit penangkapan ikan yang memiliki skor
terendah.
Secara sederhana, tiap orang ingin mendapatkan keuntungan sebesarbesarnya, hal ini juga berlaku dalam kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten
Kapuas. Semakin banyak hasil tangkapan maka semakin tinggi keuntungan yang
diperoleh, jika harga ikan per satuan berat atau per ekor tidak berubah atau
konstan (Soekartawi 1994). Beberapa nelayan menggunakan berbagai cara untuk
memperoleh keuntungan besar sehingga seringkali cara-cara yang diterapkan
mengabaikan pemikiran pentingnya menjaga lingkungan dan kelestarian sumber
daya ikan.
Dilihat dari 13 indikator yang dipakai untuk menentukan tingkat keramahan
terhadap lingkungan, perikanan tangkap yang dilakukan oleh nelayan-nelayan
Kabupaten Kapuas secara umum tergolong baik. Status baik ini ditunjukkan oleh
5 indikator yang memiliki skor dengan nilai rata-rata mendekati atau sama dengan
3 (Tabel 3). Kelima indikator tersebut adalah bahan pembuatan alat penangkapan
ikan (X6), tingkat kerawanan suatu alat tangkap (X8), proporsi hasil tangkapan
yang dimanfaatkan (X9), kasus tertangkapnya jenis biota yang dilindungi (X11)
dan kejadian atau potensi konflik (X13)
Status ini tampak sekali berkaitan erat dengan jenis alat penangkapan ikan
yang umumnya sederhana dan pengusahaan dalam skala kecil. Alat penangkapan
ikan dengan tingkat teknologi sederhana memiliki daya tangkap yang jauh lebih
kecil dibandingkan dengan alat penangkapan ikan yang modern (Zamzami 2007).

22

Daya tangkap yang rendah ini berkaitan dengan dimensi atau ukuran alat
penangkapan ikan sehingga tenaga kerja yang diperlukan untuk
mengoperasikannya hanya beberapa orang saja. Sebagai contoh, alat tangkap togo
dioperasikan 2-3 orang nelayan.
Semua jenis unit penangkapan ikan yang diteliti memiliki masalah untuk
indikator perlakuan pada ikan dan biota laut yang dikembalikan ke laut (X10).
Nelayan menganggap dicards bukan persoalan penting pada saat ini karena
perhatian mereka lebih kepada jenis-jenis ikan yang menjadi sasaran penangkapan
ikan. Meskipun jumlah discards rendah karena sebagian besar hasil tangkapan
dimanfaatkan (X9), jika ikan-ikan tersebut sebagian besar masuk dalam kategori
tidak layak tangkap, maka ancaman terjadinya overfishing juga tetap ada.
Kehidupan biota laut dan lingkungan saling tergantung satu sama lain,
lingkungan yang buruk akan mengganggu yang merupakan habitat bagi sejumlah
besar organisme akuatik (ikan, moluska, burung, serangga, tanaman air dan
sebagainya) dan mendukung keanekaragaman hayati pada wilayah daratan dan
sekelilingnya, termasuk sejumlah burung migrasi (Sukimin 2007). Overfishing
adalah salah satu penyumbang kerusakan lingkungan. Dampak yang diberikan
ialah berkurang atau musnahnya salah satu alur jaring makanan yang akan
menyebabkan hilangnya sumber makanan bagi suatu spesies dilanjutkan
hilangnya sumber makanan bagi spesies lainnya. Terganggunya ketersediaan
mangsa dan juga proporsi predator akan menyebabkan terganggunya
keseimbangan pada jaring makanan (food web) terutama ekosistem perairan
secara keseluruhan.
Pengamatan yang terjadi di lapangan ditemukan bahwa nelayan kurang
peduli dengan ukuran ikan yang ditangkap yang ditunjukkan dengan
ketidakpedulian dengan status juvenile atau dewasa hasil tangkapan yang
tertangkap. Saat ini dampak yang terjadi mungkin sangat kecil, namun jika
kegiatan perikanan setempat berkembang lebih pesat ada kemungkinan discards
yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya overfishing pada spesies-spesies
tersebut (Israel dan Caesar 1997).
Lampara merupakan alat tangkap yang telah ada sejak lama. Tahun 1980-an
di Kabupaten Kapuas tepatnya di Desa Batanjung, lampara menjadi alat tangkap
idaman sehingga nelayan yang sebelumnya menggunakan sungkur, rawai dan
rengge beralih menggunakan lampara. Hal ini disebabkan alat tangkap ini dapat
digunakan di semua musim serta hasil tangkapan yang diperoleh lebih banyak
sehingga keuntungan yang diterima juga meningkat. Namun lampara yang
dioperasikan nelayan Kabupaten Kapuas memiliki lebih banyak masalah
dibandingkan dengan alat-alat tangkap lainnya. Alat tangkap lampara yang
memiliki skor terendah dibanding alat tangkap lainnya (yaitu 26) memiliki
beberapa indikator yang bernilai rendah yaitu konsumsi bahan bakar kapal ikan
(X4), kuantitas bahan pencemar (X5), perlakuan pada ikan dan biota laut yang
dikembalikan ke laut (X10) dan potensi terjadi kerusakan lingkungan perairan dan
habitat (X12). Jenis unit penangkapan ikan ini harus diperhatikan secara seksama
karena jika dibiarkan dapat memicu konflik antar nelayan.
Masa lalu trawl banyak menimbulkan masalah sosial, selain masalah
ancaman terhadap kelestarian sumber daya. Permasalahan yang rumit ini biasanya
berakhir dengan konflik antar nelayan sehingga Pemerintah menerbitkan Keppres
nomor 39 tahun 1980 yang melarang penggunaan trawl kecuali pengoperasian

23

trawl udang yang dilengkapi dengan BED (bycatch excluder device) di perairan
tertentu saja yaitu Kepulauan Kei, Tanimbar, Aru, Papua dan Arufura laut, dari
1300 ke arah timur, termasuk garis pantai dari batas pulau dengan 10 meter
isobath. Pengecualian pelarangan trawl di tempat-tempat tertentu tersebut
berdasarkan alasan bahwa sumber daya udang di daerah tersebut masih cukup
baik dan belum pernah dimanfaatkan oleh para nelayan tradisional. Dampak
langsung dari larangan ini adalah penurunan yang signifikan dari produksi udang
nasional (Monintja et al. 2007). Namun pelanggaran banyak terjadi secara luas
dan konflik serupa berulang lama setelah penerbitan kebijakan tersebut, seperti
terjadi di perairan Kotabaru, Kalimantan Selatan (2009) dan perairan Asahan,
Sumatera Utara (2012).
Konflik nela