Kelemahan Teknik Peta Pikiran

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK 85 | 4. bandingkan T 1 dan T 2 untuk menentukan seberapa besar perbedaan yang timbul, jika sekiranya ada itu disebabkan akibat dari digunakannya variabel eksperimental X; 5. ujilah perbedaan itu dengan t-test apakah signifikan untuk tingkat kepercayaan tertentu. Populasi dan Sampel Populasi aitu totalitas se ua ilai a g u gki , hasil e ghitu g a ataupu pengukuran, kuantitatif maupun kualitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat- sifat a “udja a, : . Adapun populasi yang akan penulis ambil dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong yang berjumlah enam kelas dengan jumlah siswa 239 orang. Untuk menentukan banyaknya sampel dalam penelitian ini, mengingat bahwa penelitian ini bermaksud untuk melakukan uji coba suatu teknik pembelajaran maka penulis mengambil sampel dalam bentuk kelas, yakni kelas VIII-B. Penarikan sampel ini dilakukan dengan teknik random sampling yaitu penarikan sampel secara acak yang didasarkan pada kelas atau kelompok. Teknik Pengolahan Data Teknik pengolahan data yang penulis lakukan pada penelitian ini adalah teknik pengolahan data kuantitatif. Teknik kuantitatif penulis maksudkan untuk membandingkan kemampuan berbicara siswa antara sebelum dan setelah pembelajaran. Pengolahan data penulis lakukan mulai dari penginventarisasian data yang masuk, kemudian data tersebut diseleksi. Data-data tersebut berupa hasil kemampuan siswa dalam berbicara. Rumus statistik yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah rumus mean rata-rata dan t tes untuk membandingkan kemampuan siswa dalam berbicara antara sebelum dan sesudah pembelajaran dengan menggunakan teknik peta pikiran. Rumus tersebut adalah sebagai berikut: Uji t atau t tes 1 2    N N d x Md t 1 2    N N d x Md t SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia | 86 Arikunto, 2002:275 Dimana : Md = mean dari perbedaan tes awal dan tes akhir rumus yang digunakan yaitu: N d Md   d = jumlah keseluruhan nilai beda xd = deviasi masing-masing subjek d – Md x 2 d = jumlah kuadrat deviasi N = subjek pada sampel HASIL PENELITIAN Kemampuan berbicara siswa sebelum pembelajaran maupun setelah pembelajaran, diketahui bahwa kemampuan berbicara siswa setelah pembelajaran dengan menggunakan teknik peta pikiran lebih baik jika dibandingkan dengan sebelum pembelajaran. Hasil tes kemampuan kemampuan berbicara yang diukur dengan kemampuan menceritakan kembali isi sebuah cerpen sebelum pembelajaran mencapai rata-rata 5,59. Sedangkan pada akhir pembelajaran mencapai rata-rata 7,13. Dari data tersebut terjadi peningkatan kemampuan berbicara sebesar 1,54. Rekapitulasi perbandingan kemampuan berbicara sebelum dan setelah pembelajaran penulis visualisasikan pada tabel dan grafik berikut ini. Tabel 4.3 Rekapitulasi rata-rata tes awal dan tes akhir Kemampuan berbicara Kriteria Penilaian Tes Awal Tes Akhir Selisih Isi Cerita 52 72 20 LafalIntona si 60 70 10 Diksi 64 71 7 Kelancaran 52 71 19 Rata-rata 55.86 71.29 15.43 Perbandingan kemampuan berbicara tersebut divisualisasikan dalam bentuk grafik di bawah ini. Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK 87 | Grafik 4.1 Perbandingan kemampuan berbicara Berdasarkan tabulasi dan grafik di atas, tampak terjadinya perubahan antara kemampuan awal siswa sebelum pembelajaran dengan setelah pembelajaran. Secara umum terjadi perbedaan 15,43 antara nilai kemampuan berbicara siswa sebelum dan sesudah pembelajaran. Kemampuan siswa dalam mengemukakan isi cerita menunjukkan perubahan yang paling besar mencapai 20. Hal ini menunjukkan bahwa dengan teknik peta pikiran kemampuan siswa dalam mengemukakan kembali isi cerita menunjukkan perubahan yang sangat baik. Sementara itu, perubahan paling kecil terjadi pada kemampuan siswa dalam penggunaan dan pemilihan diksi yang hanya mencapai 7. Hasil pengujian statistic menunjukkan t hitung t tabel 10,23 2,444 pada taraf kepercayaan 95, sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan siswa dalam berbicara khususnya menceritakan kembali isi sebuah cerita sebelum pembelajaran dan setelah pembelajaran berbeda. Berdasarkan nilai rata-rata kemampuan berbicara, terungkap bahwa kemampuan berbicara siswa dalam menceritakan kembali isi sebuah cerita setelah pembelajaran lebih baik jika dibandingkan dengan sebelum pembelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan teknik peta pikiran efektif dalam meningkatkan kemampuan berbicara siswa khususnya dalam menceritakan kembali isi sebuah cerita. Berbagai hambatan yang tampaknya dialami siswa antara lain penguasaan lapangan dalam arti bagaimana siswa menguasai audien pendengar. Bagi pembicara pemula kondisi dan tanggapan audiens sering kali menjadi masalah, perasaan tegang, malu, kurangnya keberanian, takut salah dan lain-lain merupakan factor psikologis utama yang mempengaruhi pembicaraan. Di samping itu 10 20 30 40 50 60 70 80 Isi Cerita Lafal Diksi Kelancaran Rata-rata pre pos beda SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia | 88 penguasaan kebahasaan juga merupakan komponen penting yang menyebabkan rendahnya kemampuan berbicara. Kondisi lain yang tampak menjadi hambatan bagi siswa dalam melaksanakan keterampilan berbicara adalah redahnya kemampuan terhadap isi pembicaraan. Siswa khususnya dan pembicara pemula pada umumnya seringkali kebingungan untuk mengemukakan apa isi dari pembicaraan yang akan dilakukannya. Apalagi ditambah dengan suara yang pelan dan kondisi ruangan yang luas dan bising, ini berdampak pada ketidaktersampaian maksud dari pembicaraan yang dilakukan. Hambatan-hambatan tersebut releva dengan apa yang dikemukakan Sarani 2001:29 yang menyatakan bahwa hambatan-hambatan yang sering dialami oleh setiap orang dalam berbicara adalah ketidaksempurnaan alat ucap, penguasaan komponen bahasa, penggunaan komponen isi, kelelahan dan kesehatan fisik maupun mental, suara atau bunyi, media, pengetahuan pendengar, dan kondisi ruangan. SIMPULAN Bagian akhir dari tulisan ini, penulis mencoba menarik beberapa simpulan yang didasarkan pada rumusan masalah yang telah dituangkan pada bagian sebelumnya serta dilandasi hasil penelitian. Simpulan yang dapat ditarik dikemukakan di bawah ini. 1. Kemampuan berbicara sebelum menggunakan teknik peta pikiran mind mapping pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong tahun pelajaran 2006- 2007, menunjukkan kemampuan yang rendah, hal ini ditandai dengan pencapaian rata-rata pemahaman siswa terhadap cerpen yang hanya mencapai 55,86. Beberapa kriteria penilaian dan pencapaian kemampuan berbicara siswa khususnya dalam menceritakan kembali isi sebuah cerita antara lain rata-rata kemampuan siswa dalam mengemukakan isi cerita 52, lafal dan intonasi 60, penggunaan diksi 64, serta kelancaran dalam melakukan pembicaraan 52. 2. Kemampuan berbicara setelah menggunakan teknik peta pikiran mind mapping pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong tahun pelajaran 2006- 2007, menunjukkan kemampuan berbicara yang baik. Hal ini ditandai dengan pencapaian rata-rata 71,29. Sementara itu, kemampuan siswa dalam mengungkapka isi cerita dicapai sebesar 72, lafal dan intonasi 70, penggunaan diksi 71, serta kelancaran dalam melakukan pembicaraan 71. 3. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kemampuan siswa dalam berbicara khususnya dalam menceritakan kembali isi sebuah cerita sebesar 55,86 dan Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK 89 | kemampuan berbicara setelah pembelajaran dicapai rata-rata nilai 71,29. Dengan demikian, terjadi kenaikan rata-rata kemampuan berbicara siswa dalam menceritakan kembali isi sebuah cerita sebesar 15,43. Sementara itu, berdasarkan hasil perhitungan statistik uji t yang dilakukan diperoleh t hitung t tabel 10,23 2,444 pada taraf kepercayaan 95, sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan berbicara siswa dalam menceritakan kembali isi sebuah cerita sebelum pembelajaran dan setelah pembelajaran berbeda. Sementara itu, diamati dari rata-rata kemampuan berbicara siswa menunjukkan bahwa penggunaan teknik peta pikiran efektif dalam meningkatkan kemampuan berbicara siswa. DAFTAR PUSTAKA Ambary, Abdullah. 1983. Intisari Sastra Indonesia. Bandung: Jatnika. Aminuddin. 1995. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru. Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. De Porter, Bobbi dan Mike Hernacki. 2001. Quantum Learning. Bandung: Mizan Media Utama. De Porter, Bobbi dkk. 2000. Quantum Teaching. Bandung: Mizan Media Utama. Husen. H. Akhlan. 1996. Perencanaan Pengajaran Bahasa. Jakarta: Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III. Maidar, G.A 1986. 1984. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa indonesia. Jakarta: Erlangga. Mulyadiana. 2000. Seni Mengukir Kata. Bandung: MLC. Rakhmat, Jalaludin. 2001. Retorika Modern Pendekatan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Rahmanto, B dan P. Hariyanto. 1997. Cerita Rekaan dan Drama. Jakarta: Universitas Terbuka. Rose, Colin dan Malcolm J. Nicholl. 2002. Accelerated Learning for 21 st Century. Bandung: Nuansa. Sarani. 2001. Efektivitas Pendekatan Kooperatif Tipe Talking Chips dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Berbicara Siswa Kelas VII SMP. Bandung. Skripsi UPI Bandung. Suhendar, Supinah. 1992. MKDU Bahasa Indonesia, Pengajaran dan Keterampilan Membaca dan Keterampilan Menulis. Bandung: Pionir Jaya. Tarigan, H.G. 1981. Berbicara sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Tarigan, Djago. 1996. Materi Pokok Pendidikan Bahasa Indonesia I. Jakarta: Universitas Terbuka. Tarigan, H.G. dan Djago, Tarigan. 1986. Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia | 90 Tarigan, H.G. dkk. 1998. Pengembangan Keterampilan Berbicara. Jakarta: Depdikbud. Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK 91 | TEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS CDA PADA PEMBELAJARAN CERPEN Oleh: Drs. Didin Sahidin, M.Pd Dosen STKIP Garut Abstrak Lontaran-lontaran tentang kekecewaan terhadap hasil pembelajaran sastra meneguhkan kenyataan tentang buruknya kondisi pembelajaran sastra di Indonesia. Kondisi ini ditandai dengan masih lemahnya pemahaman siswa mengenai hasil karya sastra yang dibacanya. Untuk menanggulangi fenomena tersebut, perlu dicari teknik dan metode pembelajaran sastra yang cocok untuk mencapai tujuan tersebut. Di antara sekian banyak teknik pengajaran sastra, kita mengenal adanya suatu teknik yang berupaya untuk memahami isi wacana atau karya sastra, yaitu teknik analisis wacana kritis atau teknik Critical Discourse Analysis CDA. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan membaca cerpen sebelum dan sesudah pembelajaran dengan menggunakan teknik analisis wacana kritis atau serta untuk mengetahui perbedaan kemampuan membaca antara sebelum dan sesudah pembelajaran. Penelitian dilakukan di kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Garut Tahun Pelajaran 2005-2006 dengan menggunakan metode penelitian yaitu metode eksperimen. Instrumen yang digunakan sebagai alat pengumpul data berbentuk tes kemampuan memahami cerpen. PENDAHULUAN Dharmojo 2005:1 dalam web sitenya e ge ukaka ah a ko disi pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal sejauh ini dapat dikatakan e ge e aka . Keke e aa te hadap pe elaja a sast a itu dilo ta ka pula oleh berbagai pihak, antara lain, Rusyana 19771978; Nasution dkk. 1981; Rahman dkk. 1981; Rusyana 1992; Sarjono 2000; Sudaryono 2000; Sayuti 2000; dan Kuswinarto 2001. Lontaran-lontaran tentang pembelajaran sastra tersebut meneguhkan kenyataan tentang buruknya kondisi pembelajaran sastra di Indonesia. Simpulan umum tentang kondisi pembelajaran sastra berdasarkan hasil penelitian dan para pemerhati pembelajaran sastra tersebut adalah 1 pada dasarnya pembelajaran sastra berpengaruh pada minat murid terhadap sastra, namun, ternyata tidak terdapat hubungan antara teori yang diajarkan dan kemampuan apresiasi murid; 2 pengajar tidak memiliki waktu serta tidak tahu bagaimana cara mengikuti perkembangan sastra di luar buku wacana; dan 3 murid tidak mampu mengaitkan nilai sastrawi dengan nilai-nilai etismoral budaya dalam kehidupan. SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia | 92 Keberhasilan dan kegagalan pembelajaran sastra pada lembaga pendidikan sudah barang tentu disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya, karena pembelajaran sastra merupakan sebuah sistem yang meliputi kurikulum, sarana dan prasarana, minat baca murid, dan iklim bersastra pada umumnya. Dikaitkan dengan kurikulum, Depdiknas menyusun Kerangka Acuan Pemasyarakatan Kebijaksanaan Pendidikan dan Kebudayaan 2004:15 yang secara tegas menyatakan bahwa: tujuan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia antara lain dimaksudkan untuk mendidik murid sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani. Pe didika de ga tujua sepe ti itu pada dasa a e upaka pe didika a g diorientasikan pada pembentukan keberwacanaan, baik keberwacanaan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, maupun dalam kehidupan sosial as a akat A i uddi , : . Untuk mencapai tujuan itu, selanjutnya A i uddi e ataka pe elaja a ahasa da sast a I do esia esti diorientasikan pada model literacy-based instruction . De ga o ie tasi a g demikian itu, pendidikan bahasa dan sastra Indonesia selain ditujukan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa Indonesia dalam berbagai aspeknya serta kemampuan apresiasi sastra dalam berbagai bentuknya juga diorientasikan pada pengembangan keberwacanaan dalam bidang budaya. Implikasi dari hal itu ialah pembelajaran sastra tidak terpisahkan dari pembelajaran menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dalam hal demikian, materi pembelajaran sastra mestilah memanfaatkan wacana yang secara potensial memiliki area isi kehidupan sosial budaya. Di samping itu kecenderungan guru Bahasa dan Sastra Indonesia dewasa ini lebih senang mengajarkan bahasa daripada mengajarkan sastra. Kalaupun pengajaran sastra dilakukan hanya berupa informasi mengenai teori sastra dan kurang menuntut pengalaman berapresiasi dan berkreasi siswa terhadap sastra, sehingga mengakibatkan daya tarik siswa terhadap pembelajaran sastra berkurang. Di antara mereka ada yang menganggap bahwa tidak ada bedanya mempelajari sastra dengan mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Gejala ini membuat masalah pembelajaran sastra semakin jauh dari yang diharapkan. Di satu pihak kondisi yang berhubungan dengan pengajaran sastra dan di pihak lain minat siswa yang berkurang. Berdasarkan hal tersebut, bahwa dalam pengajaran sastra masih sering ditemukan berbagai permasalahan. Di satu pihak tujuan pengajaran sastra berupaya untuk memberikan pengalaman berapresiasi pada siswa, di pihak lain guru bahasa yang cenderung lebih senang mengajarkan bahasa daripada sastra, kalaupun pengajaran Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK 93 | sastra diberikan sebatas teori dan informasi saja. Dengan demikian, antara tujuan yang hendak dicapai dengan pelaksanaan pengajaran di lapangan masih belum berjalan dengan baik. Untuk menanggulangi fenomena tersebut, di samping guru harus terus berupaya lebih meningkatkan kemampuannya dalam sastra, juga perlu dicari teknik dan metode pengajaran sastra yang cocok untuk mencapai tujuan tersebut. Di antara sekian banyak teknik pengajaran sastra, kita mengenal adanya suatu teknik yang berupaya untuk memahami isi wacana atau karya sastra, yaitu teknik analisis wacana kritis atau teknik Critical Discourse Analysis CDA. Teknik Critical Discourse Analysis CDA adalah suatu teknik pembelajaran sastra dengan mengedepankan suatu proses pemahaman untaian kata dan kalimat dalam wacana secara analitis. Sebagaimana proses membaca pada umumnya, dalam kegiatan membaca wacana sastra, pembaca mesti berusaha memahami gambaran makna dan satuan-satuan pengertian dalam wacana sehingga membuahkan pemahaman tertentu. Di samping itu siswa diarahkan pada suatu proses kemampuan merekonstruksi pemahaman secara baik. Dalam pembentukan ulang pemahaman, pembaca seyogyanya tidak sekadar melakukan rekonstruksi makna dalam wacana. Gambaran makna dan pengertian dalam wacana tersebut oleh pembaca perlu dihubungkan dan diperbandingkan dengan kenyataan yang ada pada masa sekarang, dengan kenyataan masa lalu, maupun kemungkinan pertaliannya dengan yang akan datang. Dikaitkan dengan karakteristik kelas mata pelajaran bahasa dan sastra, model CDA hendaknya dipandang sebagai bentuk relasi sosial. Artinya, melalui interaksi belajar-mengajar terjadi hubungan yang dinamis antara wacana sastra dengan murid, wacana sastra dengan pengajar, pengajar dengan murid, atau murid dengan murid dengan refleksi kehidupan sosial sesuai dengan nuansa pembelajaran dan tujuan yang hendak dicapai. Dalam hal ini pembelajaran tidak lagi bernuansa hapalan, sekadar penjelasan dan tanya jawab, namun lebih dari itu pembelajaran yang berlangsung hendaknya ditandai ciri responsif dan kolaboratif. Dalam pembelajaran ini, murid dan pengajar bersama-sama memberikan tanggapan terhadap fakta yang dipelajarinya, termasuk dalam hal penentuan materi yang dipelajari. Dengan model pembelajaran seperti itu diharapkan insteraksi belajar- mengajar dapat mengarah pada terciptanya komunikasi dalam konteks konstruksi sosial. Komunikasi dalam kelas itu didasarkan pada konstruksi sosial melalui kegiatan membaca, menyimak, berbicara, dan menulis secara terpadu. Berdasarkan pada uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berkenaan dengan penggunaan teknik teknik analisis wacana kritis atau teknik SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia | 94 Critical Discourse Analysis CDA dalam pembelajaran sastra khususnya dalam pembelajaran cerpen di kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong tahun ajaran 2005-2006. Berdasarkan latar belakang di atas penulis merumusan masalah dalam penelitin ini adalah se agai e ikut Apakah pe ggu aa teknik analisis wacana kritis atau Critical Discource Analysis CDA mampu meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran membaca cerpen di kelas VIII SMPN 2 Leuwiggong Garut tahun ajaran 2005- ? . Lebih jelasnya rumusan masalah tersebut penulis jabarkan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut ini 1 Bagaimanakah kemampuan pemahaman membaca cerpen sebelum menggunakan teknik analisis wacana kritis atau Critical Discource Analysis CDA pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Tahun Pelajaran 2005-2006?; 2 Bagaimanakah kemampuan pemahaman membaca cerpen setelah menggunakan teknik analisis wacana kritis atau Critical Discource Analysis CDA pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Tahun Pelajaran 2005-2006?; dan 3 Apakah terdapat perbedaan hasil pembelajaran pemahaman cerpen antara sebelum dan sesudah menggunakan teknik analisis wacana kritis atau Critical Discource Analysis CDA pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Tahun Pelajaran 2005-2006? Penulis menetapkan tujuan penelitian seperti di bawah ini: 1 Untuk mengetahui kemampuan membaca cerpen sebelum menggunakan teknik analisis wacana kritis atau Critical Discource Analysis CDA pada siswa Kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Tahun Ajaran 2005-2006.; 2 Untuk mengetahui kemampuan membaca cerpen setelah menggunakan teknik analisis wacana kritis atau Critical Discource Analysis CDA pada siswa Kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Tahun Ajaran 2005-2006; dan 3 Untuk mengetahui perbedaan hasil pembelajaran pemahaman membaca cerpen sebelum dan sesudah meggunakan teknik analisis wacana kritis atau Critical Discource Analysis CDA pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Tahun Ajaran 2005-2006. KAJIAN TEORETIS 1. Critical Discourse Analysis CDA sebagai Teknik Pembelajaran Dikaitkan dengan karakteristik kelas mata pelajaran bahasa dan sastra, teknik CDA hendaknya dipandang sebagai bentuk relasi sosial. Artinya, melalui interaksi belajar-mengajar terjadi hubungan yang dinamis antara wacana sastra dengan murid, wacana sastra dengan pengajar, pengajar dengan murid, atau murid dengan murid dengan refleksi kehidupan sosial sesuai dengan nuansa Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK 95 | pembelajaran dan tujuan yang hendak dicapai. Dalam hal ini pembelajaran tidak lagi bernuansa hafalan, sekadar penjelasan dan tanya jawab, namun lebih dari itu pembelajaran yang berlangsung hendaknya ditandai ciri responsif dan kolaboratif. Dalam pembelajaran yang demikian itu, murid dan pengajar bersama-sama memberikan tanggapan terhadap fakta yang dipelajarinya — termasuk dalam hal penentuan materi yang dipelajari. Dengan teknik pembelajaran seperti itu diharapkan insteraksi belajar-mengajar dapat mengarah pada terciptanya komunikasi dalam konteks konstruksi sosial. Komunikasi dalam kelas itu didasarkan pada konstruksi sosial melalui kegiatan membaca, menyimak, berbicara, dan menulis secara terpadu. Pembelajaran apresiasi sastra di kelas dengan menggunakan teknik CDA, menurut Aminuddin 2000:50 —51 hendaknya memperhatikan dan memenuni persyaratan sebagai berikut. 1 Pembelajaran sastra di kelas ditandai oleh terdapatnya aktivitas membaca karya sastra, baik itu dilakukan oleh pengajar maupun murid. 2 Pengajar menciptakan kelas pembelajaran sastra sebagai sebuah bentuk hubungan sosial kemanusiaan sehingga dalam pembelajaran terjadi dialog antara murid dengan murid maupun pengajar dengan murid. 3 Pe gaja tidak lagi e ggu ui tetapi e e i kese pata kepada u id untuk menyampaikan pendapatnya secara variatif, baik secara lisan maupun tertulis. 4 Pembelajaran sastra di kelas sungguh-sungguh tampil sebagai sosok pembelajaran yang diisi aktivitas tukar pendapat, refleksi pemahaman, proses penyusunan pengertian, mengkomunikasikan fakta, pendapat dan pemahaman secara lisan maupun tertulis. Dengan aktivitas seperti itu, lanjut Aminuddin, diharapkan akan mendorong munculnya aktivitas murid yang satu dengan yang lain untuk 1 saling menceritakan pengalaman dan pemahamannya setelah membaca karya sastra; 2 bekerja sama membentuk pemahaman dan membuat kesimpulan tentang pesan ataupun makna tersirat dalam karya sastra tertentu; 3 bertukar pendapat dalam memberikan penilaian terhadap makna dalam wacana sastra tertentu; dan 4 bekerja sama dalam menuliskan pemahaman dan komentar terhadap suatu karya sastra, baik pada tahap perencanaan, penulisan naskah awal draft, maupun sewaktu revisi dan penyuntingan. Dalam CDA, pembelajaran sastra dapat dilakukan dengan tata cara sebagai berikut : a. Pemahaman untaian kata dan kalimat dalam wacana secara analitis. Sebagaimana proses membaca pada umumnya, dalam kegiatan membaca wacana sastra, pembaca harus berusaha memahami gambaran makna dan satuan-satuan pengertian dalam wacana sehingga membuahkan SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia | 96 pemahaman tertentu. Pemahamannya dinyatakan bersifat analitis karena nilai kebenarannya tidak harus diujikan pada kenyataan-kenyataan kongkret secara langsung b. Penguntaian asosiasi semantis dalam wacana dengan konteks, wacana lain secara intertertekstual, maupun pola-pola anggapan yang terkait dengan praanggapan logis, semantis, maupun pragmatis. Dalam proses memahami karya sastra, penafsiran dan pengambilan kesimpulannya perlu memperhatikan hubungan kata dan kalimat dalam keseluruhan wacananya. Dalam proses penafsiran dan penyimpulan itu pembaca juga perlu mengerahkan khazanah pengetahuan yang dimiliki, apakah itu terkait dengan wacana filsafat, sejarah, agama maupun informasi dari majalah serta koran sebagai informasi yang dapat dimanfaatkan sebagai dasar penafsiran. c. Asumsi implisit yang melatarbelakangi, ciri koherensinya dengan makna dalam wacana, dan inferensi. Ketika membaca wacana, pembaca perlu membentuk asumsi sebagai anggapan dasar yang mengarahkan proses pemaknaan yang dilakukannya. Asumsi tersebut misalnya, karya sastra merupakan bayang-bayang realitas yang dapat menghadirkan gambaran dan refleksi berbagai permasalahan dalam kehidupan. Berdasarkan asumsi demikian, maka kegiatan membaca yang dilakukan haruslah diarahkan untuk berusaha mengeksplisitkan bayang-bayang dengan disertai upaya menggambarkan berbagai permasalahan kehidupan yang termuat di dalamnya. Proses pemaknaannya juga perlu memperhatikan kesatuan hubungan isi dan pengambilan kesimpulan yang dapat dipertanggung- jawabkan secara logis. d. Rekonstruksi pemahaman secara hermeneutis. Dalam pembentukan ulang pemahaman, pembaca seyogyanya bukan semata-mata melakukan rekonstruksi makna dalam wacana. Gambaran makna dan pengertian dalam wacana tersebut oleh pembaca perlu dihubungkan dan diperbandingkan dengan kenyataan yang ada pada masa sekarang, dengan kenyataan masa lalu, maupun kemungkinan pertaliannya dengan yang akan datang Aminuddin, 2000:52 —53. Dengan teknik CDA , e i ja pe ataa “a uti : Hakikat penyelenggaraan pendidikan harus dikembalikan kepada khitah-nya, yakni mengkondisikan manusia- didik e apai kep i adia a . De ga a a de ikia , pendidikan merupakan proses pembudayaan dan karenanya, harus berorientasi pada tumbuh-kembangnya kesadaran budaya. Pendidikan sebagai proses pembudayaan untuk mencapai perkembangan kepribadian murid mengandaikan Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK 97 | adanya visi dan misi pengajar untuk mengubah dan memperbarui keadaan, sekaligus menyadarkan dan membebaskan siswa dan pengajar dari berbagai kete paksaa di dala p oses elaja -mengajar. Pada satu sisi upaya pengembangan itu mengandung tindakan-tindakan kongkret, dan pada sisi lainnya, secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran terhadap realitas yang menumbuhkan hasrat untuk mengubahnya. Pembelajaran sastra dengan teknik CDA mengisyaratkan adanya hak-hak para murid untuk memperhitungkan latar belakang pengalaman dan pengetahuannya masing-masing dalam menyusun makna wacana sastra. Caranya, meminjam pendapat Sayuti 2000:62 — , pa a u id te se ut e a ggil ke ali ske a internal yang telah mereka miliki dan mengoperasikannya tatkala berhadapan de ga a a a te te tu dala a gka pe aha a a . Melalui t a saksi- t a saksi -nya dengan wacana sastra, para murid menyusun makna dalam rentangan kemungkinan yang disediakan oleh wacana sastra tersebut. Terdapat ko st uk a u , ak a a u a g disusu e dasa ka atas se piha a a a sastra yang digelutinya. Transaksi itu pada hakikatnya merupakan konversasi atau dialog terus-menerus antara wacana sastra dan siswa yang belajar, atau menurut “a uti : : se uah egosiasi a ta a apa a g diketahui pe a a da apa a g disajika teks . Akan tetapi, harus diwaspadai, bahwa membangun negosiasi antara pembaca dan wacana sastra tidak pernah bisa dikerjakan dalam satu situasi yang terisolasi dari lingkungan sosial tempat pembacaan dan pembelajaran sastra berlangsung. Itulah se a a, e u ut “a uti : e a gu egosiasi juga e is a aka adanya perubahan yang sinambung mengenai hal yang sebelumnya telah dihipotesiska . Mak a dalam sastra adalah sebuah opini dan opini hanya dapat diperoleh melalui negosiasi yang dikembangkan dalam strategi transaksional. Implikasinya, selama pembelajaran sastra belangsung, para pengajar memberi kese pata kepada u id u tuk e duga-duga de ga hipotesis atau asumsi- asumsi makna sastra yang mereka baca, merefleksikan dan membuat proses berpikir mereka eksplisit. Untuk itu, para murid dapat dibantu untuk mengajukan pertanyaan- pe ta aa k itis a se a a aktif da jika dipe luka e a ggah makna wacana sastra yang mereka baca: murid-murid dibawa masuk ke dalam situasi pe sete ua de ga a a a sast a a g di a a a. Implikasi seperti itu, menurut Sayuti 2000:64 dapat dilakukan melalui cara 1 Memformulasikan teka-teki mereka sendiri dan bukannya menjawab pertanyaan pengajarnya; 2 Melakukan spekulasi dan merumuskan hipotesis. Cara ini merupakan aktivitas yang diarahkan melalui metode-metode pembelajaran tertentu, yakni metode yang menghindarkan diri dari sifat memberikan hukuman jika siswa melakukan kesalahan menurut versi pengajarnya; dan 3 Mencocokkan SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia | 98 ideologi-ideologi tekstual dengan ideologi yang dimiliki oleh para siswa, misalnya saja de ga e gajuka pe ta aa “iapa a g e i a a kepada siapa, kapa , di a a, e gapa? , Desain apa yang dimiliki teks ini menurut pendapat saya, seha us akah sa a e e ta g da e sete u de ga a? . Semua itu harus diarahkan pada pemenuhan fungsi utamanya, yakni edukatif dan kultural. Untuk itu pembelajaran yang memandang wacana sastra sebagai sesuatu a g p o le atik dapat di a a g, ak i de ga tek ik A alisis Wa a a K itis CDA . De ga a a de ikia , do i asi pe gaja a g sela a i i e kuasa dalam proses pembelajaran apresiasi sastra dapat dihindari. Ruang kelas dapat dijadikan tem pat pe edaa atau pe sete ua gagasa , ak a, da ilai-nilai dalam konteks dialektika budaya. Dalam praktik pembelajaran di kelas, wacana sastra dapat didekonstruksi dan kemudian direkonstruksi, karena wacana sastra dan pembacanya dipandang sebagai sesuatu yang problematik. 2. Implementasi Teknik CDA dalam Pembelajaran Cerpen Sebagai sebuah teknik, CDA dapat diimplementasikan diaplikasikan pada pembelajaran sastra Indonesia dan daerah. Oleh karena pembelajaran sastra Indonesia telah lazim dibahas, dalam kesempatan ini akan dikemukakan implementasi teknik CDA dalam pembelajaran sastra khususnya pembelajaran cerpen. Dalam praktik pembelajaran dengan teknik CDA , a a a e pe dihadi ka di dalam kelas. Murid atau pengajar dapat membacanya dan murid lain menyimak dengan sebaik-baiknya. Pengajar dalam mengantarkan kegiatan pembelajaran, tidak perlu berceramah panjang-lebar, melainkan informasi yang diberikan oleh pengajar menyangkut hal-hal yang penting saja. Misalnya, 1 aktivitas apa yang akan dikerjakan murid saat itu, 2 tujuan aktivitas pembelajaran, dan 3 bentuk- bentuk aktivitas yang harus dilakukan oleh murid sehubungan dengan pembelajaran teknik CDA. Wacana cerpen, sebagai teks sastra yang, tentulah di dalamnya terdapat berbagai anasir sastrawi, seperti tema dan amanat berupa pesan-pesan yang secara tersurat atau tersirat. Hal- hal itulah a g se ogia a dijadika aha akti itas e a a, menyimak, berbicara, dan menulis bagi siswa. Pendeknya, dalam pembelajaran teknik CDA sis a di u gki ka e dapatka ak a ek easi e dapatka ke ik ata da e kese pata elakuka ek easi elakuka pe iptaa kembali sesuai dengan makna dan pesan yang berhasil diapresiasi oleh murid- murid bandingkan Sudaryono, 2000:57 —76. Jadi, alur kegiatan pembelajaran teknik CDA adalah: 1 membaca wacana cerpen; 2 menyimak secara intensif; Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK 99 | 3 berbicara berdiskusi sesama murid lain dan pengajar; dan 4 menulis kreatif, yang mengarah pada penciptaan kembali makna-makna yang berhasil dipahaminya. Pada tahap pertama, pengajar dapat memberi kesempatan kepada salah seorang siswa, untuk membacakan wacana cerita pendek dan para siswa lainya menyimaknya. Sebagai variasi, pengajar dapat memberi kesempatan kepada siswa u tuk e apa ka ke ali e ita pe dek te se ut ke dala ahasa a se di i. Tujua pe apa a i i ialah aga sis a lai dapat e gikuti p oses pe elaja a . “elai itu, de ga pe apa a itu di u gkinkan proses komunikasi diharapkan dapat berjalan dengan lancar. Tahap pertama itu diikuti tahap kedua, yakni seluruh siswa melakukan penyimakan pembacaan cerita pendek. Hal-hal yang perlu disimak ialah tema dan pesan makna yang ada di dalam wacana, dan berbagai hal yang dipandang penting oleh pengajar. Sebaiknya, sebelum atau setelah pembacaan wacana cerita yang dipilih, pengajar memberikan informasi yang secukupnya tentang latar belakang sosial budaya wacana cerita yang dipilih. Informasi yang diberikan oleh pengajar ini pe ti g aga ak a a g dipe oleh sis a e a -benar tepat sesuai dengan konteks ceritanya. Tahap ketiga, pengajar memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan diskusi, yakni mendiskusikan hasil pemaknaan masing-masing siswa terhadap cerita pe dek a g di a a. Dala e diskusi, p i sip ke e asa e pe dapat hendaknya menjadi perhatian pengajar. Dalam konteks ini, tidak ada pendapat a g salah atau pe dapat a g e a le ih-lebih benar atau salah menurut versi pengajar. Pengajar sejauh mungkin memberikan kebebasan bagi siswa untuk berpendapat mengemukakan hasil pemaknaannya masing-masing. Kedudukan pengajar dalam hal ini ialah sebagai dinamisator, motor, dan motivator agar pembicaraan tidak sampai kendor. Dengan kegiatan ini siswa diharapkan memiliki keterampilan berbicara. Tahap terakhir, pengajar memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiata ek easi , ak i pe iptaa ke ali se uah e ita, atau hasil pe ak aa , dalam bentuk tulisan kreatif. Sekali lagi, dalam hal ini pengajar berkedudukan sebagai dinamisator, motor, dan motivator bagi siswa. Dengan kegiatan ini, siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengkomunikasikan segala sesuatu yang dipandang berharga dan bernilai sebagai manifestasi hasil pemaknaan terhadap wacana cerita yang diangkat sebagai bahan pembelajaran. Dengan kegiatan ini diharapkan siswa dapat menguasai keterampilan menulis. SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia | 100 Dengan langkah-langkah kegiatan seperti itu siswa dapat diharapkan mencapai tingkat 1 menggemari karya sastra, 2 tingkat menikmati karya sastra, 3 tingkat mereaksi karya sastra, dan 4 tingkat menghasilkan karya sastra. Dalam tingkat menggemari ditunjukkan oleh adanya indikator bahwa siswa mulai gemar terhadap karya sastra. Dalam tingkat menikmati karya sastra, seseorang siswa mulai dapat menikmati karya sastra karena pengertian sudah mulai tumbuh. Tingkat mereaksi ditandai oleh adanya keinginan siswa untuk menyatakan pendapatnya tentang wacana sastra yang telah dinikmati diapresiasi. Tingkatan menghasilkan ditandai oleh adanya keinginan siswa untuk menghasilkan menulis wacana sastra. METODE DAN TEKNIK PENELITIAN Untuk menguji permasalahan di atas, penulis akan menggunakan metode true experimental yang merupakan salah satu kelompok dari metode eksperimen. Metode ekperimental dalam penelitian ini menggunakan desain One group pre-test post-test design. Perbedaan antara observasi sebelum eksperimen dan setelah eksperimen diasumsikan merupakan efek dari treatmen atau perlakuan. Desain penelitian ini dapat penulis gambarkan sebagai berikut. E O 1 X O 2 Suharsimi, 2002:78 Populasi dan Sampel 1. Populasi Yang dimaksud populasi menurut Surahmad 1989 : 93 adalah sebagai berikut: Karena tidak mungkinnya penyelidikan selalu langsung menyelidiki segenap populasi, padahal tujuan penyelidikan adalah menemukan generasi yang berlaku secara umum, maka sering kali penyelidikan terpaksa menggunakan sebagian saja dari populasi yaitu sebuah sampel yang dapat dipandang representatif terhadap populasi. Sedangkan yang dimaksud populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwiggong Garut tahun pelajaran 2005-2006 yang berjumlah empat kelas. 2. Sampel Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK 101 | Untuk menentukan banyaknya sampel dalam penelitian ini, mengingat bahwa penelitian ini bermaksud untuk melakukan uji coba suatu teknik pembelajaran maka penulis mengambil sampel dalam bentuk kelas, yaitu mengambil satu kelas sebagai sampel dalam penelitian ini. Penarikan sampel ini dilakukan dengan teknik random sampling yaitu penarikan sampel secara acak yang didasarkan pada kelas atau kelompok. Dari hasil pengundian tersebut, yang terpilih untuk menjadi sampel adalah kelas VIII-C. Teknik Pengolahan Data Teknik pengolahan data yang penulis lakukan pada penelitian ini adalah teknik pengolahan data kuantitatif. Teknik kuantitatif penulis maksudkan untuk membandingkan keberhasilan belajar siswa dalam pengajaran cerpen . Pengolahan data penulis lakukan mulai dari penginventarisasian data yang masuk, kemudian data tersebut diseleksi. Data-data tersebut berupa hasil pengajaran berupa nilai pemahaman terhadap cerpen. Rumus statistik yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah rumus mean rata-rata dan t tes untuk membandingkan keberhasilan belajar siswa antara sebelum dan sesuadah pembelajaran dengan menggunakan teknik analisis wacana kritis atau Critical Discource Analysis CDA. Rumus tersebut adalah sebagai berikut: Uji t atau t tes Arikunto, 2002:275 Dimana : Md = mean dari perbedaan tes awal dan tes akhir rumus yang digunakan yaitu: N d Md   d = jumlah keseluruhan nilai beda xd = deviasi masing-masing subjek d – Md x 2 d = jumlah kuadrat deviasi N = subjek pada sampel Instrumen Penelitian Bentuk instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, terdiri atas dua bentuk instrumen, yaitu instrumen pelaksanaan pembelajaran dan instrumen tes. 1 2    N N d x Md t SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia | 102 Instrumen pelaksanaan pembelajaran digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yaitu berentuk desain pembelajaran. Sementara itu instrumen tes digunakan untuk mengukur pemahaman siswa dalam memahami sebuah cerpen. HAIL PENELITIAN Berdasarkan deskripsi data baik pemahaman membaca siswa sebelum pembelajaran maupun setelah pembelajaran, diketahui bahwa pemahaman membaca siswa setelah pembelajaran dengan menggunakan teknik analisis wacana kritis lebih baik jika dibandingkan dengan sebelum pembelajaran. Hasil tes kemampuan pemahaman membaca sebelum pembelajaran mencapai rata-rata 5,1 sementara pada akhir pembelajaran dicapai rata-rata 7,02, maka terjadi peningkatan kemampuan pemahaman bacaan sebesar 1,91. Rekapitulasi perbandingan kemampuan pemahaman membaca sebelum dan setelah pembelajaran penulis visualisasikan pada tabel berikut ini. Tabel 1 Rekapitulasi Rata-rata Tes Awal dan Tes Akhir Kemampuan Pemahaman Membaca Perbandingan kemampuan pemahaman bacaan tersebut divisualisasikan dalam bentuk grafik di bawah ini. Kriteria Penilaian Tes Awal Tes Akhir Selisih Tema 45,47 79,49 34,02 Alur 49,23 75,73 26,5 Tokoh 54,7 76,75 22,05 Amanat 51,97 62,39 10,42 Sinopsis 52,31 65 12,69 Nilai 51,1 70,2 19,1 50 100 Tema Tokoh Sinop Nilai Kriteria Penilaian Grafik Perbandingan Kemampuan Pemahaman Bacaan Tes Awal Tes Akhir Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK 103 | Grafik 4.1 Perbandingan Kemampuan Pemahaman Bacaan Berdasarkan tabulasi dan grafik di atas, tampak terjadinya perubahan antara kemampuan awal siswa sebelum pembelajaran dengan setelah pembelajaran. Secara umum terjadi perbedaan 19,1 antara nilai kemampuan pemahaman bacaan siswa sebelum dan sesudah pembelajaran. Penguasaan siswa terhadap tema dan alur cerita menunjukkan perubahan yang paling besar mencapai 34,02 dan 26,5. Hal ini menunjukkan bahwa dengan teknik analisis wacana kritis kemampuan siswa dalma memahami tema dan alur cerita menunjukkan perubahan yang sangat baik, sementara itu perubahan paling kecil terjadi pada kemampuan siswa memahami amanat yang disampaikan isi cerita yang hanya mencapai 10,42. Hasil pengujian statistic menunjukkan bahwa t hitung t tabel 14,38 2,428 pada taraf kepercayaan 95, sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan siswa dalam memahami cerpen sebelum pembelajaran dan setelah pembelajaran berbeda. Berdasarkan nilai rata- rata kemampuan pemahaman bacaan siswa terhadap cerpen, terungkap bahwa kemampuan pemahaman bacaan siswa terhadap cerpen setelah pembelajaran lebih baik jika dibandingkan dengan sebelum pembelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan teknik membaca analisis wacana kritis efektif dalam meningkatkan kemampuan pemahaman bacaan siswa terhadap cerpen. SIMPULAN Bagian akhir dari tulisan ini, penulis mencoba menarik beberapa simpulan yang didasarkan pada rumusan masalah yang telah dituangkan pada bagian sebelumnya serta dilandasi hasil penelitian. Simpulan yang dapat ditarik dikemukakan di bawah ini. 1. Kemampuan pemahaman membaca cerpen sebelum menggunakan teknik analisis wacana kritis atau Critical Discaurce Analysis CDA pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Tahun Ajaran 2005-2006, menunjukkan kemampuan yang rendah, hal ini ditandai dengan pencapaian rata-rata pemahaman siswa terhadap cerpen yang hanya mencapai 5,11. Beberapa kriteria penilaian dan pencapaian pemahaman siswa terhadap cerpen antara lain rata-rata pemahaman terhadap tema 45,47, alur cerita dalam cerpen 49,23, pemahaman terhadap tokoh dan penokohan 54,7, pemahaman terhadap SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia | 104 amanat yang terkandung dalam cerpen 51,97 serta kemampuan siswa dalam mengungkapkan kembali isi cerpen 52,31. 2. Kemampuan pemahaman membaca cerpen setelah menggunakan teknik analisis wacana kritis atau Critical Discaurce Analysis CDA pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Tahun Ajaran 2005-2006, menunjukkan kemampuan pemahaman bacaan yang baik. Hal ini ditandai dengan pencapaian rata-rata 7,02. Sementara itu, pemahaman siswa terhadap rata-rata tema cerpen dicapai sebesar 79,49, alur cerita dalam cerpen 75,73, pemahaman terhadap tokoh dan penokohan 76,75, pemahaman terhadap amanat yang terkandung dalam cerpen 62,39 serta kemampuan siswa dalam mengungkapkan kembali isi cerpen 65 3. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata pemahaman awal siswa terhadap cerpen dicapai sebesar 51,1 dan pemahaman akhir setelah pembelajaran dicapai rata-rata nilai 70,2, dengan demikian terjadi kenaikan rata-rata kemampuan pemahaman siswa terhadap cerpen sebesar 19,1. Sementara itu berdasarkan hasil perhitungan statistik uji t yang dilakukan diperoleh t hitung t tabel 14,38 2,428 pada taraf kepercayaan 95, sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan siswa dalam memahami cerpen sebelum pembelajaran dan setelah pembelajaran berbeda. Sementara itu diamati dari rata-rata pemahaman siswa terhadap bacaan cerpen menunjukkan bahwa penggunaan teknik analisis wacana kritis atau Critical Discaurce Analysis CDA efektif dalam meningkatkan pemahaman siswa terhadap karya sastra khususnya cerpen. Daftar Pustaka Aminudin. 1987. Pengantar Apresiasi Sastra. Malang: Sinar Baru. Aminuddin. 2000. Pe elajara “astra se agai Proses Pe erwa a aa da Pe aha a Peru aha Ideologi . Dala “udiro “atoto da ai uddi Fananie Eds.. Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan. Surakarta: University Muhamadiyah Press –HISKI Komisariat Surakarta. Arikunto, Suharsimi. 1996. Prosedur Penelitian Suatau Pendekatan Praktek. Bandung: Rineka Cipta. Depdikbud. 2004. Kerangka Acuan Pemasyarakatan Kebijaksanaan Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dharmojo, dkk. 1998. Sastra Lisan Ekagi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. ------------- 2005. Critical Discourse Analysis CDA Sebagai Model Pembelajaran Sastra. Web site. Jabrohim Ed. 1994. Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kerja sama Pustaka Pelajar dan FPBS IKIP Muhammadiyah. Kus i a to. . Dan Sastrawan pun Tak Lagi Percaya kepada Guru Sastra . Dala Asep S. Sambodja, dkk. Eds.. Cyber Graffiti Kumpulan Esai. Bandung: Yayasan Multimedia Sastra dan Angkasa. Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK 105 | Nadeak. 1985. Pengajaran Apresiasi Sastrai. Bandung: Sinar Baru. Nasution, J.U., dkk. 1981. Minat Membaca Sastra Pelajar SMA Kelas III DKI Jakarta. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Rahmanto. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kansius. Rusyana, Y. 19771978. Penelitian Kegiatan Apresiasi Sastra Murid SMA Jawa Barat. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. ‘us a a, Y. . Bahan Baku dan Pengolahan Bahan Pelajaran Sastra , akalah pada Seminar Pengelolalan Bahan Pelajaran Sastra dalam Buku Teks Bahasa dan “ast a I do esia . Diku pulka dala La dasa Teo i da Pe golaha Baha Pelajaran Sastra. Bandung: Program Pascasarjana IKIP Bandung. Sarjono, A.R. 2000. Beberapa Upaya menggairahkan Pembelajaran Sastra. Dalam Agus R. Sarjono. Sastra dalam Empat Orba 2000, hlm. 207 —231. Yogyakarta: Bentang. Sayuti, S.A. 2000. Menuju Pendidikan dan Pembelajaran Sastra yang Memerdekakan: Catatan Pengantar. Dalam Sudiro Satoto dan Zainuddin Fananie Eds.. Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan hlm. 57 —65. Surakarta: University Muhamadiyah Press – HISKI Komisariat Surakarta. Sudaryono, 2000. “trategi ‘e-Kreasi dala Pe gajara Apresiasi Puisi di “ekolah. Jurnal Ilmiah IMPASMAJA Th. III 6 November: 57 —76. Surachmad. 1989. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik. Bandung: TarsitoTarigan, H.G. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Tarigan. 1985. Pengajaran Morfologi. Angkasa: Bandung. SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia | 106 Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK 107 | KEANEKARAGAMAN PANTUN DI INDONESIA Oleh : Dinni Eka Maulina Dosen STKIP Siliwangi Bandung Abstraksi Dari perbandingan sejumlah pantun Melayu, Sunda, Banjar, dan Betawi, jelaslah bahwa pantun di satu daerah dengan daerah selalu memperlihatkan adanya persamaan dan sekaligus juga perbedaan. Kesamaan umum terletak pada fungsi pantun yang secara sadar digunakan untuk kepentingan menyampaikan pesan- pesan moral dan etika tentang tata kehidupan. Kesamaan lain terletak pada ciri-ciri pantun yang ditandai dengan adanya sampiran dan isi. Hanya, jika sampiran pada pantun Melayu lebih ditujukan untuk mengantarkan isi, tanpa ada kaitan logis antara sampiran dan isi, dalam beberapa kasus, justru berfungsi untuk menegaskan isi. Oleh karena itu, sampiran kadangkala juga bermakna simbolik. Jadi, dengan demikian, kehadiran sampiran tidak sekadar sebagai pengantar memasuki kesamaan bunyi isi, tetapi sekaligus pengantar pada tema atau persoalan yang hendak disampaikan. Dari sejumlah perbandingan itu, makin jelas bagi kita, bahwa pantun selain sebagai sarana menyampaikan pesan moral dan pesan etika, juga di dalamnya merepresentasikan kultur tempatnya. Oleh karena itu, mempelajari pantun sesungguhnya dapat juga dijadikan sebagai pintu masuk untuk memahami kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Begitulah, masyarakat di wilayah Nusantara ini mengenal pantun tanpa meninggalkan ciri budaya tempatannya. Perkara lokalitas, terutama yang menyangkut nama tempat, istilah, dan ungkapan tempatan itulah yang sesungguhnya membedakan pantun dari satu daerah dengan pantun dari daerah yang lain. Meskipun di dalamnya tetap terungkapkan bahwa pantun yang dihasilkan masyarakat di berbagai daerah itu sebagai produk khas budaya mereka, mereka juga umumnya memahami konsepsi pantun dengan tetap mempertahankan adanya sampiran dan isi dengan pola persajakan a-b-a-b.

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah Pantun bagi masyarakat di kawasan Nusantara ibarat sesuatu yang begitu dekat, tetapi kini terasa jauh ketika budaya populer low culture makin menjadi primadona dalam industri hiburan. Dalam kondisi itu, pantun kini laksana pepatah, tak kenal maka tak sayang. Itulah yang terjadi pada pantun. Seolah- olah, ia hanya produk masa lalu yang sudah usang dan tiada berguna. Bahkan, bagi anak-anak muda di Jakarta dan beberapa kota besar di Jawa, pantun SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia | 108 seperti tidak lebih dari sekadar produk budaya Melayu, dan oleh karena itu, dianggap hanya milik orang Melayu. Tentu saja pemahaman itu tidaklah benar. Betul, pantun sepertinya berasal dari tradisi Melayu yang sudah begitu kuat mengakar dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Pantun boleh jadi penyebarannya sejalan dengan perkembangan bahasa Melayu yang menjadi lingua franca di kawasan Nusantara. Boleh jadi karena itu pula, dibandingkan dengan masyarakat di daerah lain, pantun bagi masyarakat Melayu sudah begitu kukuh menyatu dan sebagai media penting dalam menyampaikan nasihat berkenaan dengan tata pergaulan dalam kehidupan bermasyarakat. Di berbagai daerah lain di Nusantara ini, pantunpun sudah dikenal masyarakat dengan sangat baik. Boleh jadi karena pantun mengandungi sampiran dan isi, serta dapat dimanfaatkan dalam berbagai kesempatan dan disampaikan dalam berbagai masa, dalam kegiatan apa pun, dan dilakukan oleh siapapun juga, pantun pada gilirannya paling banyak diminati oleh masyarakat tanpa terikat oleh status sosial, agama, dan usia. Pantun menjadi sarana yang efektif yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Itulah salah satu kelebihan pantun dibandingkan gurindam atau syair. Pantun mudah saja diciptakan oleh setiap anggota masyarakat dengan latar belakang budayanya sendiri. Maka, siapapun dari etnis dan latar belakang budaya mana pun, boleh saja membuat pantun. 2. Rumusan Masalah a. Apa pengertian pantun? b. Bagaimana sejarah pantun masuk ke Indonesia? c. Bagaimana perkembangan Pantun Sunda? d. Nasib buruk pantun Banjar masa kini. e. Apa ciri-ciri yang menonjol dari pantun Betawi?

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Pantun Zaidan dkk 1994:143 mendefinisikan pantun sebagai jenis puisi lama yang terdiri atas 4 larik dengan rima akhir abab. Setiap larik biasanya terdiri atas 4 kata, larik 1-2 merupakan sampiran, larik 3-4 merupakan isi. Berdasarkan ada tidaknya hubungan antara sampiran dan isi ini, pantun dapat dipilah-pilah menjadi 2 genrejenis, yakni pantun mulia dan pantun tak mulia. Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK 109 | Disebut pantun mulia jika sampiran pada larik 1-2 berfungsi sebagai persiapan isi secara fonetis dan sekaligus juga berfungsi sebagai isyarat isi. Sementara, pantun tak mulia adalah pantun yang sampirannya larik 1-2 berfungsi sebagai persiapan isi secara fonetis saja, tidak ada hubungan semantik apa-apa dengan isi pantun di larik 3-4. Sementara Rani 1996:58 mendefinsikan pantun sebagai jenis puisi lama yang terdiri atas 4 baris dalam satu baitnya. Baris 1-2 adalah sampiran, sedang baris 3-4 adalah isi. Baris 1-3 dan 2-4 saling bersajak akhir vertikal dengan pola abab. Hampir semua suku bangsa di tanah air kita memiliki khasan pantunnya masing- masing. Menurut Sunarti 1994:2, orang Jawa menyebutnya parikan, orang Sunda menyebutnya sisindiran atau susualan, orang Mandailing menyebutnya ende-ende, orang Aceh menyebutnya rejong atau boligoni, sementara orang Melayu, Minang, dan Banjar menyebutnya pantun. Dibandingkan dengan genrejenis puisi rakyat lainnya, pantun merupakan puisi rakyat yang murni berasal dari kecerdasan linguistik lokal genius bangsa Indonesia sendiri. Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara. Pantun berasal dari kata patuntun dalam bahasa Minangkabau yang berarti petuntun. Dalam bahasa Jawa, misalnya, dikenal sebagai parikan, dalam bahasa Sunda dikenal sebagai sisindiran, dan dalam bahasa Batak dikenal sebagai umpasa baca: uppasa. Lazimnya pantun terdiri atas empat larik atau empat baris bila dituliskan, setiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, bersajak akhir dengan pola a-b-a-b dan a-a-a-a tidak boleh a-a-b-b, atau a-b-b-a. Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis. Semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi. Sampiran adalah dua baris pertama, kerap kali berkaitan dengan alam mencirikan budaya agraris masyarakat pendukungnya, dan biasanya tak punya hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan rimasajak. Dua baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut. Karmina dan talibun merupakan bentuk kembangan pantun, dalam artian memiliki bagian sampiran dan isi. Karmina merupakan pantun versi pendek hanya dua baris, sedangkan talibun adalah versi panjang enam baris atau lebih. a. Peran Pantun SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia | 110 Sebagai alat pemelihara bahasa, pantun berperan sebagai penjaga fungsi kata dan kemampuan menjaga alur berfikir. Pantun melatih seseorang berfikir tentang makna kata sebelum berujar. Ia juga melatih orang berfikir asosiatif, bahwa suatu kata bisa memiliki kaitan dengan kata yang lain. Secara sosial pantun memiliki fungsi pergaulan yang kuat, bahkan hingga sekarang. Di kalangan pemuda sekarang, kemampuan berpantun biasanya dihargai. Pantun menunjukkan kecepatan seseorang dalam berfikir dan bermain-main dengan kata. Namun demikian, secara umum peran sosial pantun adalah sebagai alat penguat penyampaian pesan. Pantun dapat digunakan sebagai alat komunikasi, untuk menyelusupkan nasihat atau wejangan, atau bahkan untuk melakukan kritik sosial, tanpa e ede ai pe asaa siapa pu . Itulah kele iha pa tu . Pa tu uka saja digunakan sebagai alat hiburan, kelakar, sindiran, melampiaskan rasa rindu dendam, tetapi yang lebih menarik ialah peranannya sebagai media dalam e a paika tu juk aja . b. Struktur Pantun Setidak-tidaknya ada 6 kriteria konvensional yang harus dirujuk dalam hal bentuk fisik dan bentuk mental pantun, yakni : 1 Setiap barisnya dibentuk dengan jumlah kata minimal 4 buah. 2 Jumlah baris dalam satu baitnya minimal 2 baris pantun kilat dan 4 baris pantun biasa dan pantun berkait. 3 Pola formulaik persajakannya merujuk kepada sajak akhir vertikal dengan pola aa pantun kilat, aaaa, aabb, dan abab pantun biasa dan pantun berkait. 4 Khusus untuk pantun kilat, baris 1 berstatus sampiran dan baris 2 berstatus isi. 5 Khusus untuk pantun biasa dan pantun berkait, baris 1-2 berstatus sampiran dan baris 3-4 berstatus isi. 6 Lebih khusus lagi, pantun berkait ada juga yang semua barisnya berstatus isi, tidak ada yang berstatus sampiran. Menurut Sutan Takdir Alisjahbana fungsi sampiran terutama menyiapkan rima dan irama untuk mempermudah pendengar memahami isi pantun. Ini dapat dipahami karena pantun merupakan sastra lisan. Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK 111 | Meskipun pada umumnya sampiran tak berhubungan dengan isi kadang- kadang bentuk sampiran membayangkan isi. Sebagai contoh dalam pantun di bawah ini: Air dalam bertambah dalam Hujan di hulu belum lagi teduh Hati dendam bertambah dendam Dendam dahulu belum lagi sembuh Beberapa sarjana Eropa berusaha mencari aturan dalam pantun maupun puisi lama lainnya. Misalnya satu larik pantun biasanya terdiri atas 4-6 kata dan 8-12 suku kata. Namun aturan ini tak selalu berlaku. c. Jenis Pantun  Pantun Adat Menanam kelapa di pulau Bukum Tinggi sedepa sudah berbuah Adat bermula dengan hukum Hukum bersandar di Kitabullah  Pantun Agama Banyak bulan perkara bulan Tidak semulia bulan puasa Banyak tuhan perkara tuhan Tidak semulia Tuhan Yang Esa  Pantun Budi Apa guna berkain batik Kalau tidak dengan sujinya Apa guna beristeri cantik Kalau tidak dengan budinya  Pantun Jenaka Pantun Jenaka adalah pantun yang bertujuan untuk menghibur orang yang mendengar, terkadang dijadikan sebagai media untuk saling menyindir dalam suasana yang penuh keakraban, sehingga tidak menimbulkan rasa tersinggung, dan dengan pantun jenaka diharapkan suasana akan menjadi semakin riang. Contoh: Jalan-jalan ke rawa-rawa Jika capai duduk di pohon palm Geli hati menahan tawa Melihat katak memakai helm  Pantun Kepahlawanan SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia | 112 Pantun kepahlawanan adalah pantun yang isinya berhubungan dengan semangat kepahlawanan Kalau orang menjaring ungka Rebung seiris akan pengukusnya Kalau arang tercorong kemuka Ujung keris akan penghapusnya  Pantun Kias Kayu tempinis dari kuala Dibawa orang pergi Melaka Berapa manis bernama nira Simpan lama menjadi cuka  Pantun Nasihat Kemuning di tengah balai Bertumbuh terus semakin tinggi Berunding dengan orang tak pandai Bagaikan alu pencungkil duri  Pantun Percintaan Coba-coba menanam mumbang Moga-moga tumbuh kelapa Coba-coba bertanam sayang Moga-moga menjadi cinta  Pantun Peribahasa Ke hulu memotong pagar Jangan terpotong batang durian Cari guru tempat belajar Jangan jadi sesal kemudian  Pantun Teka-teki Kalau tuan bawa keladi Bawakan juga si pucuk rebung Kalau tuan bijak bestari Binatang apa tanduk dihidung ?  Pantun Perpisahan Pucuk pauh delima batu Anak sembilang ditapak tangan Biar jauh dinegeri satu Hilang dimata dihati jangan 2. Sejarah Pantun Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK 113 | Sejarah Pantun adalah genre kesusasteraan tradisional Melayu yang berkembang di seluruh dunia khususnya di Nusantara sejak ratusan tahun lampau. Pantun adalah simbol artistik masyarakat Nusantara dan ia adalah lambang kebijaksanaan berfikir. Pantun sering dijadikan sebagai alat komunikasi. Pantun bersifat ringkas, romantik dan mampu mengetengahkan aspirasi masyarakat dengan lebih jelas. Pantun begitu sinonim dengan pemikiran dan kebudayaan masyarakat nusantara dan Malaysia. Di Nusantara, pantun terwujud dalam 39 dialek Melayu dan 25 bukan dialek. Pantun juga didapati turut berkembang di selatan Burma, Kepulauan Cocos, Sri Lanka, Kemboja, Vietnam serta Afrika Selatan Karena pengaruh imigran dari Indonesia dan Malaysia. Pantun di Malaysia dan Indonesia telah ditulis sekitar empat abad lalu. Malah, ia mungkin berusia lebih tua daripada itu seperti tertulis dalam Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu. Menyedari kepentingan pantun dalam memartabatkan budaya Melayu, kerjasama kebudayaan, kesenian dan warisan negara di Kementerian. Ada pendapat mengatakan bahwa pantun berasal dari bahasa Minangkabau yaitu pantun yang bermaksud pembimbing atau penasihat yang berasaskan sastra lisan dalam pengucapan pepatah yang popular dalam masyarakat tersebut. Sehingga hari ini, pantun sering digunakan dalam upacara peminangan dan perkawinan atau sebagai pembuka atau penutup bicara dalam majelis-majelis resmi. Umumnya terdapat dua jenis utama pantun yaitu pantun berkait dan pantun tidak berkait. Bilangan baris dalam setiap rangkap pantun dikenali sebagai kerat. Lima bentuk utama pantun ialah pantun dua kerat, pantun empat kerat, pantun enam kerat, pantun lapan kerat dan pantun dua belas kerat. Pantun yang popular digunakan ialah pantun dua kerat dan empat kerat. Setiap pantun mempunyai pembayang dan maksud pantun. Pembayang dalam setiap rangkap adalah separuh pertama daripada keseluruhan jumlah baris dalam rangkap berkenaan. Separuh kedua dalam setiap rangkap pantun pula ialah maksud atau isi pantun. Antara ciri-ciri lain yang ada dalam sebuah pantun ialah pembayangnya mempunyai hubungan yang rapat dengan alam dan persekitaran yang rapat dengan pengucapnya seperti yang terdapat dalam contoh pantun dua kerat berikut: Sebab pulut santan terasa, SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia | 114 Sebab mulut badan binasa Rima pantun yang baik berakhir dengan ab,ab. bagi pantun empat kerat dan a,a. bagi pantun dua kerat. Selain pembayang, maksud dan rima, pantun juga terikat dengan hukum suku katanya. Bagi pantun Melayu, suku kata untuk setiap baris antara delapan hingga dua belas suku kata saja. Melalui bentuknya yang hemat dan padat, pantun menjadi alat yang penting untuk menghibur, memberi nasihat dan mengungkapkan perasaan Pantun turut berfungsi sebagai media untuk menyampaikan hasrat seni atau rahasia yang tersembunyi melalui penyampaian yang berkias. Orang melayu mencipta pantun untuk melahirkan perasaan mereka secara berkesan tetapi ringkas, kemas, tepat dan menggunakan bahasa yang indah-indah. Pada zaman dahulu masyarakat melayu belum pandai menulis dan membaca. karena, masyarakat Melayu pada waktu itu belum cerdas. Keadaan ini telah membuktikan bahwa orang melayu sebelum tahu menulis dan membaca telah pandai mencipta dan berbalas-balas pantun antara satu sama lain. Menurut kajian bahawa pada abad yang ke-17 barulah sempurna bentuk, isi, maksud dan alasan pantun itu. 3. Pantun Sunda Pantun Sunda pengertiannya berbeda dengan pantun Melayu. Pantun Melayu semakna dengan sisindiran Sunda, yaitu puisi yang terdiri atas dua bagian; sampiran dan isi. Sedangkan pantun Sunda adalah seni pertunjukan. Pantun adalah cerita tutur dalam bentuk sastra Sunda lama yang disajikan secara paparan prolog, dialog, dan seringkali dinyanyikan. Seni Pantun itu dilakukan oleh seorang juru pantun tukang pantun sambil diiringi alat musik kecapi yang dimainkannya sendiri. a. Sejarah Pantun Sunda Seni pantun merupakan seni yang sudah cukup tua usianya. Disebutkan dalam naskah Siksa Kandang Karesyan, yang ditulis pada tahun 1518 Masehi, bahwa pantun telah digunakan sejak zaman Langgalarang, Banyakcatra, dan Siliwangi. Ceritanya pun berkisar tentang cerita-cerita Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi dan lain-lain yang disajikan oleh prepantun tukang pantun. Pantun terdapat pula pada naskah kuno yang dituturkan oleh Ki Buyut Rambeng, yakni Pantun Bogor. Dalam Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK 115 | perkembangannya, cerita-cerita pantun yang dianggap bernilai tinggi itu terus bertambah, seperti cerita Lutung Kasarung, Ciung Wanara, Mundinglaya Dikusumah, Dengdeng pati Jayaperang, Ratu Bungsu Kamajaya, Sumur Bandung, Demung Kalagan dll. Masyarakat Kanekes yang hidup dalam budaya Sunda Kuno sangat akrab dengan seni Pantun. Seni ini melekat sebagai bagian dari ritual mereka. Adapun lakon-lakon suci Pantun Kanekes yang disajikan secara ritual seperti Langgasari Kolot, Langgasari Ngora dan Lutung Kasarung. Seni Pantun yang cukup tua usianya melahirkan beberapa tukang pantun pada setiap zamannya. Di Cianjur misalnya, dikenal nama R. Aria Cikondang abad ke-17, Aong Jaya Lahiman dan Jayawireja abad ke-19. Di Bandung terkenal Uce, juru pantun kabupaten Bandung awal abad ke-20 dan Pantun Beton Wikatmana pertengahan abad ke-20; dan di Bogor terkenal juru pantun Ki Buyut Rombeng. Alat musik yang dipakai mengiringi seni pantun adalah kacapi. Pada mulanya kacapi tersebut sangat sederhana seperti yang terdapat di Baduy, yaitu kacapi kecil berdawai 7 dari kawat. Selanjutnya, sejalan dengan tumbuhnya seni Cianjuran, kacapi tersebut diganti dengan kacapi gelung tembang, dan akhirnya menggunakan kacapi siter Jawa. Adapun tangga nada laras yang digunakan dalam iringan kacapi tersebut adalah pelog, namun selanjutnya banyak yang menggunakan laras salendro.

b. Pertunjukan

Seni Pantun disajikan masyarakat Sunda dalam dua bentuk. Pertama, untuk hiburan, dan kedua untuk acara ritual ruwatan. Sajian hiburan, ceritanya mengambil dari salah satu cerita pantun yang dikuasai juru pantun, atau atas permintaan penanggap. Sedangkan untuk acara ritual dalam ruwatan, ceritanya sama dengan dalam pertunjukan wayang, yaitu Batara Kala, Kama Salah atau Murwa Kala. Dalam sajian pantun untuk ruwatan tolak bala diperuntukkan bagi orang- orang yang termasuk dalam sukerta, di antaranya anak tunggal, anak kembar, lima anak laki-laki, atau untuk keselamatan rumah baru, bangunan baru dan lain-lain. Pertunjukannya biasa dimulai sekitar pukul 02.00 - 05.00. Rajah dalam pertunjukan ruwatan lebih panjang lebih nampak kesakralannya. Sedangkan sajian pantun untuk kepentingan hiburan biasanya diadakan di rumah penanggap yang waktunya pada malam hari. Pertunjukan dimulai pukul 20.00 dan berakhir sekitar pukul 04.00. Sekalipun pertunjukan pantun untuk hiburan, namun tidak sembarangan disajikan. Pantun masih SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia | 116 dianggap oleh masyarakat Sunda memiliki sifat sakral yang selalu dikaitkan dengan upacara penghormatan pada leluhur. Dengan demikian bentuk pertunjukan pantun biasanya masih diikat dengan struktur pertunjukan yang baku dengan lakon yang selalu berkisar tentang raja-raja Sunda atau legenda masyarakat Sunda. Secara umum pola pertunjukan pantun dapat diurutkan sebagai berikut: penyediaan sesajen; ngukus membakar kemenyan; mengumandangkan rajah pamunah; babak cerita dari pembukaan hingga penutupan; ditutup dengan mengumandangkan rajah pamungkas. Sebagai kesenian yang hidup sejak zaman Hindu sampai Islam yang jadi panutan masyarakat, tak heran jika ungkapan dan ajaran petuah ki juru pantun merupakan pembauran keduan zaman itu. Selain isthigfar Islam terdengar pula ungkapan kepada dewata, Pohaci, para karuhun leluhur, buyut dll. Kesenian pantun Sunda yang bercirikan budaya Sunda dengan berbagai aspeknya, terutama aspek kepercayaan Sunda kuno, memberi dampak pada nilai kedudukan seni Pantun di masyarakat Sunda yang berbeda dengan kesenian-kesenian lain. Seni pantun bagi masyarakat Sunda merupakan medium untuk dapat merasakan kembali sebuah masa keemasan sejarah masa lampau masyarakatnya. Dewasa ini perkembangan seni pantun harus diakui sangat memprihatinkan, namun dari sisi lain ada hal yang cukup mengesankan, bahwa seni pantun pun dapat bertahan dengan tidak meleburkan diri menjadi satu bentuk kesenian yang popkitchs. Seni pantun dapat bertahan sebagai seni yang adiluhung sekalipun dewasa ini ada sedikit pergeseran-pergeseran dibanding masa lalu, terutama pada fungsinya yang sakral menjadi profan.

c. Daftar Cerita Pantun Sunda

1 Ciung Wanara 2 Lutung Kasarung 3 Mundinglaya di Kusumah 4 Aria Munding Jamparing 5 Banyakcatra 6 Badak Sangorah 7 Badak Singa 8 Bima Manggala

4. Pantun Banjar

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK 117 | Pantun Banjar adalah pantun yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar. Bahasa Banjar dituturkan oleh suku Banjar yang umumnya digunakan di Kalimantan Selatan dan provinsi tetangganya serta daerah perantauan suku Banjar. Definisi pantun Banjar menurut rumusan Tajuddin Noor Ganie 2006 adalah puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi khusus yang berlaku dalam khasanah folklor Banjar.

a. Pantun Banjar Masa Kini : Bernasib Buruk

Pada zaman sekarang ini, pantun, khususnya pantun Banjar, tidak lagi menjadi puisi rakyat yang fungsional di Kalsel. Sudah puluhan tahun tidak ada lagi forum Baturai Pantun yang digelar secara resmi sebagai ajang adu kreatifitas bagi para Pamantunan yang tinggal di desa-desa di seluruh daerah Kalsel. Pantun Banjar yang masih bertahan hanya pantun adat yang dibacakan pada kesempatan meminang atau mengantar pinengset bahasa Banjar Patalian. Selebihnya, pantun Banjar cuma diselipkan sebagai sarana retorika bernuansa humor dalam pidato-pidato resmi para pejabat atau dalam naskah-naskah tausiah para ulama. Syukurlah, seiring dengan maraknya otonomi daerah sejak tahun 2000 yang lalu, ada juga para pihak yang mulai peduli dan berusaha untuk menghidupkan kembali Pantun Banjar sebagai sarana retorika yang fungsional bukan sekedar tempelan. Ada yang berinisiatif menggelar pertunjukan eksibisi Pantun Banjar di berbagai kesempatan formal dan informal, memperkenalkannya melalui publikasi di berbagai koranmajalah, melalui siaran khusus yang bersifat insidental di berbagai stasiun radio milik pemerintah atau swasta, dan ada pula yang berinisiatif mememasukannya sebagai bahan pengajaran muatan lokal di sekolah-sekolah yang ada di seantero daerah Kalsel. Sekarang ini di Kalsel sudah beberapa puluh kali digelar kegiatan lomba tulis Pantun Banjar bagi para peserta di berbagai tingkatan usia. Tidak ketinggalan Stasiun TVRI Banjamasin juga sudah membuka acara Baturai Pantun yang digelar seminggu sekali oleh Bapak H. Adjim Arijadi dengan pembawa acara Jon Tralala, Rahmi Arijadi, dan kawan-kawan SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia | 118

b. Fungsi Sosial Pantun Banjar

Pada masa-masa Kerajaan Banjar masih jaya-jayanya 1526-1860, pantun tidak hanya difungsikan sebagai sarana hiburan rakyat semata, tetapi juga difungsikan sebagai sarana retorika yang sangat fungsional, sehingga para tokoh pimpinan masyarakat formal dan informal harus mempelajari dan menguasainya dengan baik, yakni piawai dalam mengolah kosa-katanya dan piawai pula dalam membacakannya. Tidak hanya itu, di setiap desa juga harus ada orang-orang yang secara khusus menekuni karier sebagai tukang olah dan tukang baca pantun bahasa Banjar Pamantunan. Uji publik kemampuan atas seorang Pamantunan yang handal dilakukan langsung di depan khalayak ramai dalam ajang adu pantun atau saling bertukar pantun yang dalam bahasa Banjar disebut Baturai Pantun. Para Pamantunan tidak boleh tampil sembarangan, karena yang dipertaruhkan dalam ajang Baturai Pantun ini tidak hanya kehormatan pribadinya semata, tetapi juga kehormatan warga desa yang diwakilinya.

5. Pantun Betawi

Pantun Betawi masih tersebar di wilayah budaya Betawi yang meliputi pinggiran Krawang, Tambun, Bekasi di bagian Timur; Depok, Cimanggis, Cibinong, dan Ciputat di bagian selatan; dan Tanggerang di bagian timur. Adapun di wilayah Jakarta sendiri yang menjadi daerah penelusuran pantun Betawi, dilakukan di kawasan yang diperkirakan masih banyak dihuni masyarakat Betawi asli. Wilayah-wilayah itu meliputi daerah pesisir utara Marunda, Pasar Ikan, Tanjung Priok, Jakarta Pusat Tanah Abang, Glodok, Senen, Jakarta Selatan Condet, Cipete, Pasar Minggu, Pondok Labu, Lenteng Agung, dan perkampungan Betawi di Jagakarsa. Satu hal yang sangat menonjol dalam pantun Betawi ini adalah kuatnya ciri yang menunjukkan ekspresi yang spontan. Hampir semua sampiran memperlihatkan nada yang demikian. Boleh jadi semangat dan ekspresi spontanitas itu didasari oleh keinginan untuk membangun kesamaan bunyi: a-b-a-b. Oleh karena itu, sampiran umumnya tidak ada kaitannya dengan isi. Sampiran seperti terlontar begitu saja, lepas, bebas, tanpa beban. Perhatikan contoh berikut: Mbelah nangka di daon waru Daon digelar ama pengejeg Sapa nyangka nasibnya guru Pagi ngajar sorenya ngojeg Berkenaan dengan isi pantun, sejumlah besar pantun Betawi, selain coba mengungkapkan berbagai nasihat yang berkaitan dengan etika, moral, adab, sopan