Kelemahan Teknik Peta Pikiran
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
85 |
4. bandingkan T
1
dan T
2
untuk menentukan seberapa besar perbedaan yang timbul, jika sekiranya ada itu disebabkan akibat dari digunakannya variabel
eksperimental X; 5.
ujilah perbedaan itu dengan t-test apakah signifikan untuk tingkat kepercayaan tertentu.
Populasi dan Sampel Populasi aitu totalitas se ua ilai a g u gki , hasil e ghitu g a ataupu
pengukuran, kuantitatif maupun kualitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-
sifat a “udja a,
: .
Adapun populasi yang akan penulis ambil dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong yang berjumlah enam kelas dengan jumlah siswa 239
orang. Untuk menentukan banyaknya sampel dalam penelitian ini, mengingat bahwa
penelitian ini bermaksud untuk melakukan uji coba suatu teknik pembelajaran maka penulis mengambil sampel dalam bentuk kelas, yakni kelas VIII-B. Penarikan
sampel ini dilakukan dengan teknik random sampling yaitu penarikan sampel secara acak yang didasarkan pada kelas atau kelompok.
Teknik Pengolahan Data Teknik pengolahan data yang penulis lakukan pada penelitian ini adalah teknik
pengolahan data kuantitatif. Teknik kuantitatif penulis maksudkan untuk membandingkan kemampuan berbicara siswa antara sebelum dan setelah
pembelajaran. Pengolahan data penulis lakukan mulai dari penginventarisasian data yang masuk,
kemudian data tersebut diseleksi. Data-data tersebut berupa hasil kemampuan siswa dalam berbicara. Rumus statistik yang penulis gunakan dalam penelitian ini
adalah rumus mean rata-rata dan t tes untuk membandingkan kemampuan siswa dalam berbicara antara sebelum dan sesudah pembelajaran dengan menggunakan
teknik peta pikiran. Rumus tersebut adalah sebagai berikut: Uji t atau t tes
1
2
N
N d
x Md
t
1
2
N
N d
x Md
t
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
| 86
Arikunto, 2002:275 Dimana :
Md = mean dari perbedaan tes awal dan tes akhir
rumus yang digunakan yaitu: N
d Md
d = jumlah keseluruhan nilai beda
xd = deviasi masing-masing subjek d
– Md x
2
d = jumlah kuadrat deviasi
N = subjek pada sampel
HASIL PENELITIAN
Kemampuan berbicara
siswa sebelum
pembelajaran maupun
setelah pembelajaran, diketahui bahwa kemampuan berbicara siswa setelah pembelajaran
dengan menggunakan teknik peta pikiran lebih baik jika dibandingkan dengan sebelum pembelajaran. Hasil tes kemampuan kemampuan berbicara yang diukur
dengan kemampuan menceritakan kembali isi sebuah cerpen sebelum pembelajaran mencapai rata-rata 5,59. Sedangkan pada akhir pembelajaran
mencapai rata-rata 7,13. Dari data tersebut terjadi peningkatan kemampuan berbicara sebesar 1,54. Rekapitulasi perbandingan kemampuan berbicara sebelum
dan setelah pembelajaran penulis visualisasikan pada tabel dan grafik berikut ini.
Tabel 4.3
Rekapitulasi rata-rata tes awal dan tes akhir
Kemampuan berbicara
Kriteria Penilaian
Tes Awal
Tes Akhir
Selisih
Isi Cerita 52
72 20
LafalIntona si
60 70
10 Diksi
64 71
7 Kelancaran
52 71
19 Rata-rata
55.86 71.29
15.43 Perbandingan kemampuan berbicara tersebut divisualisasikan dalam bentuk grafik
di bawah ini.
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
87 |
Grafik 4.1
Perbandingan kemampuan berbicara
Berdasarkan tabulasi dan grafik di atas, tampak terjadinya perubahan antara kemampuan awal siswa sebelum pembelajaran dengan setelah pembelajaran.
Secara umum terjadi perbedaan 15,43 antara nilai kemampuan berbicara siswa sebelum dan sesudah pembelajaran. Kemampuan siswa dalam mengemukakan isi
cerita menunjukkan perubahan yang paling besar mencapai 20. Hal ini menunjukkan bahwa dengan teknik peta pikiran kemampuan siswa dalam
mengemukakan kembali isi cerita menunjukkan perubahan yang sangat baik. Sementara itu, perubahan paling kecil terjadi pada kemampuan siswa dalam
penggunaan dan pemilihan diksi yang hanya mencapai 7. Hasil pengujian statistic menunjukkan t
hitung
t
tabel
10,23 2,444 pada taraf kepercayaan 95, sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan siswa dalam
berbicara khususnya menceritakan kembali isi sebuah cerita sebelum pembelajaran dan setelah pembelajaran berbeda.
Berdasarkan nilai rata-rata kemampuan berbicara, terungkap bahwa kemampuan berbicara siswa dalam menceritakan kembali isi sebuah cerita setelah
pembelajaran lebih baik jika dibandingkan dengan sebelum pembelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan teknik peta pikiran efektif dalam meningkatkan
kemampuan berbicara siswa khususnya dalam menceritakan kembali isi sebuah cerita.
Berbagai hambatan yang tampaknya dialami siswa antara lain penguasaan lapangan dalam arti bagaimana siswa menguasai audien pendengar. Bagi
pembicara pemula kondisi dan tanggapan audiens sering kali menjadi masalah, perasaan tegang, malu, kurangnya keberanian, takut salah dan lain-lain merupakan
factor psikologis utama yang mempengaruhi pembicaraan. Di samping itu
10 20
30 40
50 60
70 80
Isi Cerita Lafal
Diksi Kelancaran Rata-rata
pre pos
beda
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
| 88
penguasaan kebahasaan juga merupakan komponen penting yang menyebabkan rendahnya kemampuan berbicara.
Kondisi lain yang tampak menjadi hambatan bagi siswa dalam melaksanakan keterampilan berbicara adalah redahnya kemampuan terhadap isi pembicaraan.
Siswa khususnya dan pembicara pemula pada umumnya seringkali kebingungan untuk mengemukakan apa isi dari pembicaraan yang akan dilakukannya. Apalagi
ditambah dengan suara yang pelan dan kondisi ruangan yang luas dan bising, ini berdampak pada ketidaktersampaian maksud dari pembicaraan yang dilakukan.
Hambatan-hambatan tersebut releva dengan apa yang dikemukakan Sarani 2001:29 yang menyatakan bahwa hambatan-hambatan yang sering dialami oleh
setiap orang dalam berbicara adalah ketidaksempurnaan alat ucap, penguasaan komponen bahasa, penggunaan komponen isi, kelelahan dan kesehatan fisik
maupun mental, suara atau bunyi, media, pengetahuan pendengar, dan kondisi ruangan.
SIMPULAN Bagian akhir dari tulisan ini, penulis mencoba menarik beberapa simpulan yang
didasarkan pada rumusan masalah yang telah dituangkan pada bagian sebelumnya serta dilandasi hasil penelitian. Simpulan yang dapat ditarik dikemukakan di bawah
ini. 1.
Kemampuan berbicara sebelum menggunakan teknik peta pikiran mind mapping pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong tahun pelajaran 2006-
2007, menunjukkan kemampuan yang rendah, hal ini ditandai dengan pencapaian rata-rata pemahaman siswa terhadap cerpen yang hanya mencapai
55,86. Beberapa kriteria penilaian dan pencapaian kemampuan berbicara siswa khususnya dalam menceritakan kembali isi sebuah cerita antara lain rata-rata
kemampuan siswa dalam mengemukakan isi cerita 52, lafal dan intonasi 60, penggunaan diksi 64, serta kelancaran dalam melakukan
pembicaraan 52.
2. Kemampuan berbicara setelah menggunakan teknik peta pikiran mind
mapping pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong tahun pelajaran 2006- 2007, menunjukkan kemampuan berbicara yang baik. Hal ini ditandai dengan
pencapaian rata-rata 71,29. Sementara itu, kemampuan siswa dalam mengungkapka isi cerita dicapai sebesar 72, lafal dan intonasi 70,
penggunaan diksi 71, serta kelancaran dalam melakukan pembicaraan 71.
3. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kemampuan siswa dalam berbicara
khususnya dalam menceritakan kembali isi sebuah cerita sebesar 55,86 dan
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
89 |
kemampuan berbicara setelah pembelajaran dicapai rata-rata nilai 71,29. Dengan demikian, terjadi kenaikan rata-rata kemampuan berbicara siswa
dalam menceritakan kembali isi sebuah cerita sebesar 15,43. Sementara itu, berdasarkan hasil perhitungan statistik uji t yang dilakukan diperoleh t
hitung
t
tabel
10,23 2,444 pada taraf kepercayaan 95, sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan berbicara
siswa dalam menceritakan kembali isi sebuah cerita sebelum pembelajaran dan setelah pembelajaran berbeda. Sementara itu, diamati dari rata-rata kemampuan
berbicara siswa menunjukkan bahwa penggunaan teknik peta pikiran efektif dalam meningkatkan kemampuan berbicara siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Ambary, Abdullah. 1983. Intisari Sastra Indonesia. Bandung: Jatnika. Aminuddin. 1995. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. De Porter, Bobbi dan Mike Hernacki. 2001. Quantum Learning. Bandung: Mizan
Media Utama.
De Porter, Bobbi dkk. 2000. Quantum Teaching. Bandung: Mizan Media Utama. Husen. H. Akhlan. 1996. Perencanaan Pengajaran Bahasa. Jakarta: Proyek
Penataran Guru SLTP Setara D-III. Maidar, G.A 1986. 1984. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa indonesia.
Jakarta: Erlangga. Mulyadiana. 2000. Seni Mengukir Kata. Bandung: MLC.
Rakhmat, Jalaludin. 2001. Retorika Modern Pendekatan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Rahmanto, B dan P. Hariyanto. 1997. Cerita Rekaan dan Drama. Jakarta:
Universitas Terbuka. Rose, Colin dan Malcolm J. Nicholl. 2002. Accelerated Learning for 21
st
Century. Bandung: Nuansa.
Sarani. 2001. Efektivitas Pendekatan Kooperatif Tipe Talking Chips dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Berbicara Siswa Kelas VII SMP. Bandung.
Skripsi UPI Bandung. Suhendar, Supinah. 1992. MKDU Bahasa Indonesia, Pengajaran dan Keterampilan
Membaca dan Keterampilan Menulis. Bandung: Pionir Jaya. Tarigan, H.G. 1981. Berbicara sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung:
Angkasa. Tarigan, Djago. 1996. Materi Pokok Pendidikan Bahasa Indonesia I. Jakarta:
Universitas Terbuka. Tarigan, H.G. dan Djago, Tarigan. 1986. Teknik Pengajaran Keterampilan
Berbahasa. Bandung: Angkasa.
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
| 90
Tarigan, H.G. dkk. 1998. Pengembangan Keterampilan Berbicara. Jakarta: Depdikbud.
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
91 | TEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS CDA
PADA PEMBELAJARAN CERPEN
Oleh:
Drs. Didin Sahidin, M.Pd
Dosen STKIP Garut
Abstrak
Lontaran-lontaran tentang kekecewaan terhadap hasil pembelajaran sastra meneguhkan kenyataan tentang buruknya kondisi pembelajaran sastra di
Indonesia. Kondisi ini ditandai dengan masih lemahnya pemahaman siswa mengenai hasil karya sastra yang dibacanya. Untuk menanggulangi fenomena
tersebut, perlu dicari teknik dan metode pembelajaran sastra yang cocok untuk mencapai tujuan tersebut. Di antara sekian banyak teknik pengajaran sastra, kita
mengenal adanya suatu teknik yang berupaya untuk memahami isi wacana atau karya sastra, yaitu teknik analisis wacana kritis atau teknik Critical Discourse
Analysis CDA. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan membaca cerpen sebelum dan sesudah pembelajaran dengan menggunakan teknik
analisis wacana kritis atau serta untuk mengetahui perbedaan kemampuan membaca antara sebelum dan sesudah pembelajaran. Penelitian dilakukan di kelas
VIII SMPN 2 Leuwigoong Garut Tahun Pelajaran 2005-2006 dengan menggunakan metode penelitian yaitu metode eksperimen. Instrumen yang digunakan sebagai
alat pengumpul data berbentuk tes kemampuan memahami cerpen.
PENDAHULUAN Dharmojo 2005:1 dalam web sitenya
e ge ukaka ah a ko disi
pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal sejauh ini dapat dikatakan e ge e aka . Keke e aa te hadap pe
elaja a sast a itu dilo ta ka pula oleh berbagai pihak, antara lain, Rusyana 19771978; Nasution dkk. 1981;
Rahman dkk. 1981; Rusyana 1992; Sarjono 2000; Sudaryono 2000; Sayuti 2000; dan Kuswinarto 2001. Lontaran-lontaran tentang pembelajaran sastra
tersebut meneguhkan kenyataan tentang buruknya kondisi pembelajaran sastra di Indonesia. Simpulan umum tentang kondisi pembelajaran sastra berdasarkan hasil
penelitian dan para pemerhati pembelajaran sastra tersebut adalah 1 pada dasarnya pembelajaran sastra berpengaruh pada minat murid terhadap sastra,
namun, ternyata tidak terdapat hubungan antara teori yang diajarkan dan kemampuan apresiasi murid; 2 pengajar tidak memiliki waktu serta tidak tahu
bagaimana cara mengikuti perkembangan sastra di luar buku wacana; dan 3 murid tidak mampu mengaitkan nilai sastrawi dengan nilai-nilai etismoral budaya
dalam kehidupan.
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
| 92
Keberhasilan dan kegagalan pembelajaran sastra pada lembaga pendidikan sudah barang tentu disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya, karena pembelajaran
sastra merupakan sebuah sistem yang meliputi kurikulum, sarana dan prasarana, minat baca murid, dan iklim bersastra pada umumnya. Dikaitkan dengan kurikulum,
Depdiknas menyusun Kerangka Acuan Pemasyarakatan Kebijaksanaan Pendidikan dan Kebudayaan 2004:15 yang secara tegas menyatakan bahwa: tujuan
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia antara lain dimaksudkan untuk mendidik murid sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan
produktif serta sehat jasmani dan rohani.
Pe didika de ga tujua sepe ti itu pada dasa a e upaka pe didika a g
diorientasikan pada pembentukan keberwacanaan, baik keberwacanaan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, maupun dalam kehidupan sosial
as a akat A i uddi , :
. Untuk mencapai tujuan itu, selanjutnya A i uddi
e ataka pe elaja a ahasa da sast a I do esia
esti diorientasikan pada model literacy-based instruction
. De ga o ie tasi a g demikian itu, pendidikan bahasa dan sastra Indonesia selain ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan berbahasa Indonesia dalam berbagai aspeknya serta kemampuan apresiasi sastra dalam berbagai bentuknya juga diorientasikan pada
pengembangan keberwacanaan dalam bidang budaya. Implikasi dari hal itu ialah pembelajaran sastra tidak terpisahkan dari pembelajaran menyimak, berbicara,
membaca, dan menulis. Dalam hal demikian, materi pembelajaran sastra mestilah memanfaatkan wacana yang secara potensial memiliki area isi kehidupan sosial
budaya. Di samping itu kecenderungan guru Bahasa dan Sastra Indonesia dewasa ini lebih
senang mengajarkan bahasa daripada mengajarkan sastra. Kalaupun pengajaran sastra dilakukan hanya berupa informasi mengenai teori sastra dan kurang
menuntut pengalaman berapresiasi dan berkreasi siswa terhadap sastra, sehingga mengakibatkan daya tarik siswa terhadap pembelajaran sastra berkurang. Di antara
mereka ada yang menganggap bahwa tidak ada bedanya mempelajari sastra dengan mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Gejala ini membuat masalah pembelajaran
sastra semakin jauh dari yang diharapkan. Di satu pihak kondisi yang berhubungan dengan pengajaran sastra dan di pihak lain minat siswa yang berkurang.
Berdasarkan hal tersebut, bahwa dalam pengajaran sastra masih sering ditemukan berbagai permasalahan. Di satu pihak tujuan pengajaran sastra berupaya untuk
memberikan pengalaman berapresiasi pada siswa, di pihak lain guru bahasa yang cenderung lebih senang mengajarkan bahasa daripada sastra, kalaupun pengajaran
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
93 |
sastra diberikan sebatas teori dan informasi saja. Dengan demikian, antara tujuan yang hendak dicapai dengan pelaksanaan pengajaran di lapangan masih belum
berjalan dengan baik. Untuk menanggulangi fenomena tersebut, di samping guru harus terus berupaya
lebih meningkatkan kemampuannya dalam sastra, juga perlu dicari teknik dan metode pengajaran sastra yang cocok untuk mencapai tujuan tersebut. Di antara
sekian banyak teknik pengajaran sastra, kita mengenal adanya suatu teknik yang berupaya untuk memahami isi wacana atau karya sastra, yaitu teknik analisis
wacana kritis atau teknik Critical Discourse Analysis CDA. Teknik Critical Discourse Analysis CDA adalah suatu teknik pembelajaran sastra
dengan mengedepankan suatu proses pemahaman untaian kata dan kalimat dalam wacana secara analitis. Sebagaimana proses membaca pada umumnya, dalam
kegiatan membaca wacana sastra, pembaca mesti berusaha memahami gambaran makna dan satuan-satuan pengertian dalam wacana sehingga membuahkan
pemahaman tertentu. Di samping itu siswa diarahkan pada suatu proses kemampuan merekonstruksi pemahaman secara baik. Dalam pembentukan ulang
pemahaman, pembaca seyogyanya tidak sekadar melakukan rekonstruksi makna dalam wacana. Gambaran makna dan pengertian dalam wacana tersebut oleh
pembaca perlu dihubungkan dan diperbandingkan dengan kenyataan yang ada pada masa sekarang, dengan kenyataan masa lalu, maupun kemungkinan
pertaliannya dengan yang akan datang. Dikaitkan dengan karakteristik kelas mata pelajaran bahasa dan sastra, model CDA
hendaknya dipandang sebagai bentuk relasi sosial. Artinya, melalui interaksi belajar-mengajar terjadi hubungan yang dinamis antara wacana sastra dengan
murid, wacana sastra dengan pengajar, pengajar dengan murid, atau murid dengan murid dengan refleksi kehidupan sosial sesuai dengan nuansa pembelajaran dan
tujuan yang hendak dicapai. Dalam hal ini pembelajaran tidak lagi bernuansa hapalan, sekadar penjelasan dan tanya jawab, namun lebih dari itu pembelajaran
yang berlangsung hendaknya ditandai ciri responsif dan kolaboratif. Dalam pembelajaran ini, murid dan pengajar bersama-sama memberikan tanggapan
terhadap fakta yang dipelajarinya, termasuk dalam hal penentuan materi yang dipelajari. Dengan model pembelajaran seperti itu diharapkan insteraksi belajar-
mengajar dapat mengarah pada terciptanya komunikasi dalam konteks konstruksi sosial. Komunikasi dalam kelas itu didasarkan pada konstruksi sosial melalui
kegiatan membaca, menyimak, berbicara, dan menulis secara terpadu. Berdasarkan pada uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang
berkenaan dengan penggunaan teknik teknik analisis wacana kritis atau teknik
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
| 94
Critical Discourse Analysis CDA dalam pembelajaran sastra khususnya dalam pembelajaran cerpen di kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong tahun ajaran 2005-2006.
Berdasarkan latar belakang di atas penulis merumusan masalah dalam penelitin ini adalah se agai e ikut Apakah pe ggu aa teknik analisis wacana kritis atau
Critical Discource Analysis CDA mampu meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran membaca cerpen di kelas VIII SMPN 2 Leuwiggong Garut tahun
ajaran 2005-
? . Lebih jelasnya rumusan masalah tersebut penulis jabarkan dalam bentuk
pertanyaan penelitian sebagai berikut ini 1 Bagaimanakah kemampuan pemahaman membaca cerpen sebelum menggunakan teknik analisis wacana kritis
atau Critical Discource Analysis CDA pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Tahun Pelajaran 2005-2006?; 2 Bagaimanakah kemampuan pemahaman
membaca cerpen setelah menggunakan teknik analisis wacana kritis atau Critical Discource Analysis CDA pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Tahun Pelajaran
2005-2006?; dan 3 Apakah terdapat perbedaan hasil pembelajaran pemahaman cerpen antara sebelum dan sesudah menggunakan teknik analisis wacana kritis
atau Critical Discource Analysis CDA pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Tahun Pelajaran 2005-2006?
Penulis menetapkan tujuan penelitian seperti di bawah ini: 1 Untuk mengetahui kemampuan membaca cerpen sebelum menggunakan teknik analisis wacana kritis
atau Critical Discource Analysis CDA pada siswa Kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Tahun Ajaran 2005-2006.; 2 Untuk mengetahui kemampuan membaca cerpen
setelah menggunakan teknik analisis wacana kritis atau Critical Discource Analysis CDA pada siswa Kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Tahun Ajaran 2005-2006; dan 3
Untuk mengetahui perbedaan hasil pembelajaran pemahaman membaca cerpen sebelum dan sesudah meggunakan teknik analisis wacana kritis atau Critical
Discource Analysis CDA pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Tahun Ajaran 2005-2006.
KAJIAN TEORETIS 1.
Critical Discourse Analysis CDA sebagai Teknik Pembelajaran
Dikaitkan dengan karakteristik kelas mata pelajaran bahasa dan sastra, teknik CDA hendaknya dipandang sebagai bentuk relasi sosial. Artinya, melalui
interaksi belajar-mengajar terjadi hubungan yang dinamis antara wacana sastra dengan murid, wacana sastra dengan pengajar, pengajar dengan murid, atau
murid dengan murid dengan refleksi kehidupan sosial sesuai dengan nuansa
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
95 |
pembelajaran dan tujuan yang hendak dicapai. Dalam hal ini pembelajaran tidak lagi bernuansa hafalan, sekadar penjelasan dan tanya jawab, namun lebih dari
itu pembelajaran yang berlangsung hendaknya ditandai ciri responsif dan kolaboratif. Dalam pembelajaran yang demikian itu, murid dan pengajar
bersama-sama memberikan tanggapan terhadap fakta yang dipelajarinya
— termasuk dalam hal penentuan materi yang dipelajari. Dengan teknik
pembelajaran seperti itu diharapkan insteraksi belajar-mengajar dapat mengarah pada terciptanya komunikasi dalam konteks konstruksi sosial.
Komunikasi dalam kelas itu didasarkan pada konstruksi sosial melalui kegiatan membaca, menyimak, berbicara, dan menulis secara terpadu.
Pembelajaran apresiasi sastra di kelas dengan menggunakan teknik CDA, menurut Aminuddin 2000:50
—51 hendaknya memperhatikan dan memenuni persyaratan sebagai berikut. 1 Pembelajaran sastra di kelas ditandai oleh
terdapatnya aktivitas membaca karya sastra, baik itu dilakukan oleh pengajar maupun murid. 2 Pengajar menciptakan kelas pembelajaran sastra sebagai
sebuah bentuk hubungan sosial kemanusiaan sehingga dalam pembelajaran terjadi dialog antara murid dengan murid maupun pengajar dengan murid. 3
Pe gaja tidak lagi
e ggu ui tetapi e e i kese pata kepada u id
untuk menyampaikan pendapatnya secara variatif, baik secara lisan maupun tertulis. 4 Pembelajaran sastra di kelas sungguh-sungguh tampil sebagai sosok
pembelajaran yang diisi aktivitas tukar pendapat, refleksi pemahaman, proses penyusunan pengertian, mengkomunikasikan fakta, pendapat dan pemahaman
secara lisan maupun tertulis. Dengan aktivitas seperti itu, lanjut Aminuddin, diharapkan akan mendorong
munculnya aktivitas murid yang satu dengan yang lain untuk 1 saling menceritakan pengalaman dan pemahamannya setelah membaca karya sastra;
2 bekerja sama membentuk pemahaman dan membuat kesimpulan tentang pesan ataupun makna tersirat dalam karya sastra tertentu; 3 bertukar
pendapat dalam memberikan penilaian terhadap makna dalam wacana sastra tertentu; dan 4 bekerja sama dalam menuliskan pemahaman dan komentar
terhadap suatu karya sastra, baik pada tahap perencanaan, penulisan naskah awal draft, maupun sewaktu revisi dan penyuntingan.
Dalam CDA, pembelajaran sastra dapat dilakukan dengan tata cara sebagai berikut :
a.
Pemahaman untaian kata dan kalimat dalam wacana secara analitis. Sebagaimana proses membaca pada umumnya, dalam kegiatan membaca
wacana sastra, pembaca harus berusaha memahami gambaran makna dan satuan-satuan
pengertian dalam
wacana sehingga
membuahkan
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
| 96
pemahaman tertentu. Pemahamannya dinyatakan bersifat analitis karena nilai kebenarannya tidak harus diujikan pada kenyataan-kenyataan kongkret
secara langsung
b. Penguntaian asosiasi semantis dalam wacana dengan konteks, wacana lain
secara intertertekstual, maupun pola-pola anggapan yang terkait dengan praanggapan logis, semantis, maupun pragmatis. Dalam proses memahami
karya sastra,
penafsiran dan
pengambilan kesimpulannya
perlu memperhatikan hubungan kata dan kalimat dalam keseluruhan wacananya.
Dalam proses penafsiran dan penyimpulan itu pembaca juga perlu mengerahkan khazanah pengetahuan yang dimiliki, apakah itu terkait
dengan wacana filsafat, sejarah, agama maupun informasi dari majalah serta koran sebagai informasi yang dapat dimanfaatkan sebagai dasar penafsiran.
c. Asumsi implisit yang melatarbelakangi, ciri koherensinya dengan makna
dalam wacana, dan inferensi. Ketika membaca wacana, pembaca perlu membentuk asumsi sebagai anggapan dasar yang mengarahkan proses
pemaknaan yang dilakukannya. Asumsi tersebut misalnya, karya sastra merupakan bayang-bayang realitas yang dapat menghadirkan gambaran dan
refleksi berbagai permasalahan dalam kehidupan. Berdasarkan asumsi demikian, maka kegiatan membaca yang dilakukan haruslah diarahkan untuk
berusaha
mengeksplisitkan bayang-bayang
dengan disertai
upaya menggambarkan berbagai permasalahan kehidupan yang termuat di
dalamnya. Proses pemaknaannya juga perlu memperhatikan kesatuan hubungan isi dan pengambilan kesimpulan yang dapat dipertanggung-
jawabkan secara logis.
d. Rekonstruksi pemahaman secara hermeneutis. Dalam pembentukan ulang
pemahaman, pembaca seyogyanya bukan semata-mata melakukan rekonstruksi makna dalam wacana. Gambaran makna dan pengertian dalam
wacana tersebut oleh pembaca perlu dihubungkan dan diperbandingkan dengan kenyataan yang ada pada masa sekarang, dengan kenyataan masa
lalu, maupun kemungkinan pertaliannya dengan yang akan datang Aminuddin, 2000:52
—53. Dengan teknik CDA
, e i ja pe
ataa “a uti :
Hakikat penyelenggaraan pendidikan harus dikembalikan kepada khitah-nya, yakni
mengkondisikan manusia- didik e apai kep i adia
a . De ga a a de ikia , pendidikan merupakan proses pembudayaan dan karenanya, harus berorientasi
pada tumbuh-kembangnya kesadaran budaya. Pendidikan sebagai proses pembudayaan untuk mencapai perkembangan kepribadian murid mengandaikan
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
97 |
adanya visi dan misi pengajar untuk mengubah dan memperbarui keadaan, sekaligus menyadarkan dan membebaskan siswa dan pengajar dari berbagai
kete paksaa di dala p oses elaja -mengajar. Pada satu sisi upaya pengembangan itu mengandung tindakan-tindakan kongkret, dan pada sisi lainnya,
secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran terhadap realitas yang menumbuhkan hasrat untuk mengubahnya.
Pembelajaran sastra dengan teknik CDA mengisyaratkan adanya hak-hak para murid untuk memperhitungkan latar belakang pengalaman dan pengetahuannya
masing-masing dalam menyusun makna wacana sastra. Caranya, meminjam pendapat Sayuti 2000:62
— , pa a u id te se ut e a ggil ke
ali ske a internal yang telah mereka miliki dan mengoperasikannya tatkala berhadapan
de ga a a a te te tu dala a gka pe aha a a . Melalui t a saksi-
t a saksi -nya dengan wacana sastra, para murid menyusun makna dalam rentangan kemungkinan yang disediakan oleh wacana sastra tersebut. Terdapat
ko st uk a u , ak a a u a g disusu e dasa ka atas se piha a a a sastra yang digelutinya. Transaksi itu pada hakikatnya merupakan konversasi atau
dialog terus-menerus antara wacana sastra dan siswa yang belajar, atau menurut “a uti
: : se uah egosiasi a ta a apa a g diketahui pe
a a da apa a g disajika teks .
Akan tetapi, harus diwaspadai, bahwa membangun negosiasi antara pembaca dan wacana sastra tidak pernah bisa dikerjakan dalam satu situasi yang terisolasi dari
lingkungan sosial tempat pembacaan dan pembelajaran sastra berlangsung. Itulah se a
a, e u ut “a uti :
e a gu egosiasi juga e is a aka
adanya perubahan yang sinambung mengenai hal yang sebelumnya telah dihipotesiska . Mak a dalam sastra adalah sebuah opini dan opini hanya dapat
diperoleh melalui negosiasi yang dikembangkan dalam strategi transaksional. Implikasinya, selama pembelajaran sastra belangsung, para pengajar memberi
kese pata kepada u id u tuk
e duga-duga de ga hipotesis atau asumsi- asumsi makna sastra yang mereka baca, merefleksikan dan membuat proses
berpikir mereka eksplisit. Untuk itu, para murid dapat dibantu untuk mengajukan pertanyaan-
pe ta aa k itis a se a a aktif da jika dipe luka e a ggah makna wacana sastra yang mereka baca: murid-murid dibawa masuk ke dalam
situasi pe sete ua de ga a a a sast a a g di a a a. Implikasi seperti itu, menurut Sayuti 2000:64 dapat dilakukan melalui cara 1
Memformulasikan teka-teki mereka sendiri dan bukannya menjawab pertanyaan pengajarnya; 2 Melakukan spekulasi dan merumuskan hipotesis. Cara ini
merupakan aktivitas yang diarahkan melalui metode-metode pembelajaran tertentu, yakni metode yang menghindarkan diri dari sifat memberikan hukuman
jika siswa melakukan kesalahan menurut versi pengajarnya; dan 3 Mencocokkan
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
| 98
ideologi-ideologi tekstual dengan ideologi yang dimiliki oleh para siswa, misalnya saja de ga e gajuka pe ta aa “iapa a g e i a a kepada siapa, kapa , di
a a, e gapa? , Desain apa yang dimiliki teks ini menurut pendapat saya, seha us akah sa a e e ta g da e sete u de ga
a? . Semua itu harus diarahkan pada pemenuhan fungsi utamanya, yakni edukatif dan
kultural. Untuk itu pembelajaran yang memandang wacana sastra sebagai sesuatu a g p o le atik dapat di a a g, ak i de ga tek ik A alisis Wa a a K itis
CDA . De ga a a de ikia , do i asi pe gaja a g sela a i i e kuasa
dalam proses pembelajaran apresiasi sastra dapat dihindari. Ruang kelas dapat dijadikan tem
pat pe edaa atau pe sete ua gagasa , ak a, da ilai-nilai dalam konteks dialektika budaya. Dalam praktik pembelajaran di kelas, wacana
sastra dapat didekonstruksi dan kemudian direkonstruksi, karena wacana sastra dan pembacanya dipandang sebagai sesuatu yang problematik.
2.
Implementasi Teknik CDA dalam Pembelajaran Cerpen
Sebagai sebuah teknik, CDA dapat diimplementasikan diaplikasikan pada pembelajaran sastra Indonesia dan daerah. Oleh karena pembelajaran sastra
Indonesia telah lazim dibahas, dalam kesempatan ini akan dikemukakan implementasi teknik CDA dalam pembelajaran sastra khususnya pembelajaran
cerpen. Dalam praktik pembelajaran dengan teknik CDA
, a a a e pe dihadi ka di dalam kelas. Murid atau pengajar dapat membacanya dan murid lain menyimak
dengan sebaik-baiknya. Pengajar dalam mengantarkan kegiatan pembelajaran, tidak perlu berceramah panjang-lebar, melainkan informasi yang diberikan oleh
pengajar menyangkut hal-hal yang penting saja. Misalnya, 1 aktivitas apa yang akan dikerjakan murid saat itu, 2 tujuan aktivitas pembelajaran, dan 3 bentuk-
bentuk aktivitas yang harus dilakukan oleh murid sehubungan dengan pembelajaran teknik CDA.
Wacana cerpen, sebagai teks sastra yang, tentulah di dalamnya terdapat berbagai anasir sastrawi, seperti tema dan amanat berupa pesan-pesan yang secara tersurat
atau tersirat. Hal-
hal itulah a g se ogia a dijadika aha akti itas e a a,
menyimak, berbicara, dan menulis bagi siswa. Pendeknya, dalam pembelajaran teknik CDA
sis a di u gki ka e dapatka ak a ek easi e dapatka
ke ik ata da e kese pata elakuka ek easi elakuka pe iptaa
kembali sesuai dengan makna dan pesan yang berhasil diapresiasi oleh murid- murid bandingkan Sudaryono, 2000:57
—76. Jadi, alur kegiatan pembelajaran teknik CDA adalah: 1 membaca wacana cerpen; 2 menyimak secara intensif;
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
99 |
3 berbicara berdiskusi sesama murid lain dan pengajar; dan 4 menulis kreatif, yang mengarah pada penciptaan kembali makna-makna yang berhasil
dipahaminya. Pada tahap pertama, pengajar dapat memberi kesempatan kepada salah seorang
siswa, untuk membacakan wacana cerita pendek dan para siswa lainya menyimaknya. Sebagai variasi, pengajar dapat memberi kesempatan kepada siswa
u tuk
e apa ka ke ali e ita pe dek te se ut ke dala ahasa a se di i.
Tujua pe apa a i i ialah aga sis a lai dapat e gikuti p oses pe elaja a .
“elai itu, de ga pe apa a itu di u gkinkan proses komunikasi diharapkan dapat berjalan dengan lancar.
Tahap pertama itu diikuti tahap kedua, yakni seluruh siswa melakukan penyimakan pembacaan cerita pendek. Hal-hal yang perlu disimak ialah tema dan pesan
makna yang ada di dalam wacana, dan berbagai hal yang dipandang penting oleh pengajar. Sebaiknya, sebelum atau setelah pembacaan wacana cerita yang dipilih,
pengajar memberikan informasi yang secukupnya tentang latar belakang sosial budaya wacana cerita yang dipilih. Informasi yang diberikan oleh pengajar ini
pe ti g aga
ak a a g dipe oleh sis a e a -benar tepat sesuai dengan konteks ceritanya.
Tahap ketiga, pengajar memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan diskusi, yakni mendiskusikan hasil pemaknaan masing-masing siswa terhadap cerita
pe dek a g di a a. Dala e diskusi, p i sip ke e asa e pe dapat hendaknya menjadi perhatian pengajar. Dalam konteks ini, tidak ada pendapat
a g salah atau pe dapat a g e a le ih-lebih benar atau salah menurut versi pengajar. Pengajar sejauh mungkin memberikan kebebasan bagi siswa untuk
berpendapat mengemukakan hasil pemaknaannya masing-masing. Kedudukan pengajar dalam hal ini ialah sebagai dinamisator, motor, dan motivator agar
pembicaraan tidak sampai kendor. Dengan kegiatan ini siswa diharapkan memiliki keterampilan berbicara.
Tahap terakhir, pengajar memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiata ek easi , ak i pe iptaa ke
ali se uah e ita, atau hasil pe ak aa , dalam bentuk tulisan kreatif. Sekali lagi, dalam hal ini pengajar berkedudukan
sebagai dinamisator, motor, dan motivator bagi siswa. Dengan kegiatan ini, siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengkomunikasikan segala sesuatu yang
dipandang berharga dan bernilai sebagai manifestasi hasil pemaknaan terhadap wacana cerita yang diangkat sebagai bahan pembelajaran. Dengan kegiatan ini
diharapkan siswa dapat menguasai keterampilan menulis.
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
| 100
Dengan langkah-langkah kegiatan seperti itu siswa dapat diharapkan mencapai tingkat 1 menggemari karya sastra, 2 tingkat menikmati karya sastra, 3 tingkat
mereaksi karya sastra, dan 4 tingkat menghasilkan karya sastra. Dalam tingkat menggemari ditunjukkan oleh adanya indikator bahwa siswa mulai gemar terhadap
karya sastra. Dalam tingkat menikmati karya sastra, seseorang siswa mulai dapat menikmati karya sastra karena pengertian sudah mulai tumbuh. Tingkat mereaksi
ditandai oleh adanya keinginan siswa untuk menyatakan pendapatnya tentang wacana sastra yang telah dinikmati diapresiasi. Tingkatan menghasilkan ditandai
oleh adanya keinginan siswa untuk menghasilkan menulis wacana sastra. METODE DAN TEKNIK PENELITIAN
Untuk menguji permasalahan di atas, penulis akan menggunakan metode true experimental yang merupakan salah satu kelompok dari metode eksperimen.
Metode ekperimental dalam penelitian ini menggunakan desain One group pre-test post-test design. Perbedaan antara observasi sebelum eksperimen dan setelah
eksperimen diasumsikan merupakan efek dari treatmen atau perlakuan. Desain penelitian ini dapat penulis gambarkan sebagai berikut.
E
O
1
X O
2
Suharsimi, 2002:78 Populasi dan Sampel
1.
Populasi
Yang dimaksud populasi menurut Surahmad 1989 : 93 adalah sebagai berikut: Karena tidak mungkinnya penyelidikan selalu langsung menyelidiki segenap
populasi, padahal tujuan penyelidikan adalah menemukan generasi yang berlaku secara umum, maka sering kali penyelidikan terpaksa menggunakan sebagian saja
dari populasi yaitu sebuah sampel yang dapat dipandang representatif terhadap populasi.
Sedangkan yang dimaksud populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwiggong Garut tahun pelajaran 2005-2006 yang berjumlah empat
kelas. 2. Sampel
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
101 |
Untuk menentukan banyaknya sampel dalam penelitian ini, mengingat bahwa penelitian ini bermaksud untuk melakukan uji coba suatu teknik pembelajaran
maka penulis mengambil sampel dalam bentuk kelas, yaitu mengambil satu kelas sebagai sampel dalam penelitian ini. Penarikan sampel ini dilakukan dengan teknik
random sampling yaitu penarikan sampel secara acak yang didasarkan pada kelas atau kelompok. Dari hasil pengundian tersebut, yang terpilih untuk menjadi sampel
adalah kelas VIII-C. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data yang penulis lakukan pada penelitian ini adalah teknik pengolahan data kuantitatif. Teknik kuantitatif penulis maksudkan untuk
membandingkan keberhasilan belajar siswa dalam pengajaran cerpen . Pengolahan data penulis lakukan mulai dari penginventarisasian data yang masuk,
kemudian data tersebut diseleksi. Data-data tersebut berupa hasil pengajaran berupa nilai pemahaman terhadap cerpen.
Rumus statistik yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah rumus mean rata-rata dan t tes untuk membandingkan keberhasilan belajar siswa antara
sebelum dan sesuadah pembelajaran dengan menggunakan teknik analisis wacana kritis atau Critical Discource Analysis CDA. Rumus tersebut adalah sebagai berikut:
Uji t atau t tes
Arikunto, 2002:275 Dimana :
Md
= mean dari perbedaan tes awal dan tes akhir rumus yang digunakan yaitu:
N d
Md
d
= jumlah keseluruhan nilai beda xd
= deviasi masing-masing subjek d – Md
x
2
d = jumlah kuadrat deviasi
N = subjek pada sampel
Instrumen Penelitian Bentuk instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, terdiri atas dua bentuk
instrumen, yaitu instrumen pelaksanaan pembelajaran dan instrumen tes.
1
2
N
N d
x Md
t
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
| 102
Instrumen pelaksanaan pembelajaran digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yaitu berentuk desain pembelajaran. Sementara itu
instrumen tes digunakan untuk mengukur pemahaman siswa dalam memahami sebuah cerpen.
HAIL PENELITIAN Berdasarkan deskripsi data baik pemahaman membaca siswa sebelum
pembelajaran maupun setelah pembelajaran, diketahui bahwa pemahaman membaca siswa setelah pembelajaran dengan menggunakan teknik analisis wacana
kritis lebih baik jika dibandingkan dengan sebelum pembelajaran. Hasil tes kemampuan pemahaman membaca sebelum pembelajaran mencapai rata-rata 5,1
sementara pada akhir pembelajaran dicapai rata-rata 7,02, maka terjadi peningkatan kemampuan pemahaman bacaan sebesar 1,91. Rekapitulasi
perbandingan kemampuan pemahaman membaca sebelum dan setelah pembelajaran penulis visualisasikan pada tabel berikut ini.
Tabel 1
Rekapitulasi Rata-rata Tes Awal dan Tes Akhir Kemampuan Pemahaman Membaca
Perbandingan kemampuan pemahaman bacaan tersebut divisualisasikan dalam bentuk grafik di bawah ini.
Kriteria Penilaian Tes Awal
Tes Akhir Selisih
Tema 45,47
79,49 34,02
Alur 49,23
75,73 26,5
Tokoh 54,7
76,75 22,05
Amanat 51,97
62,39 10,42
Sinopsis 52,31
65 12,69
Nilai 51,1
70,2 19,1
50 100
Tema Tokoh
Sinop Nilai
Kriteria Penilaian Grafik Perbandingan Kemampuan Pemahaman Bacaan
Tes Awal Tes Akhir
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
103 |
Grafik 4.1 Perbandingan Kemampuan Pemahaman Bacaan
Berdasarkan tabulasi dan grafik di atas, tampak terjadinya perubahan antara kemampuan awal siswa sebelum pembelajaran dengan setelah pembelajaran.
Secara umum terjadi perbedaan 19,1 antara nilai kemampuan pemahaman bacaan siswa sebelum dan sesudah pembelajaran. Penguasaan siswa terhadap tema dan
alur cerita menunjukkan perubahan yang paling besar mencapai 34,02 dan 26,5. Hal ini menunjukkan bahwa dengan teknik analisis wacana kritis kemampuan siswa
dalma memahami tema dan alur cerita menunjukkan perubahan yang sangat baik, sementara itu perubahan paling kecil terjadi pada kemampuan siswa memahami
amanat yang disampaikan isi cerita yang hanya mencapai 10,42. Hasil pengujian statistic menunjukkan bahwa t
hitung
t
tabel
14,38 2,428 pada taraf kepercayaan 95,
sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan siswa dalam memahami cerpen sebelum pembelajaran dan setelah pembelajaran berbeda. Berdasarkan nilai rata-
rata kemampuan pemahaman bacaan siswa terhadap cerpen, terungkap bahwa kemampuan pemahaman bacaan siswa terhadap cerpen setelah pembelajaran
lebih baik jika dibandingkan dengan sebelum pembelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan teknik membaca analisis wacana kritis efektif dalam
meningkatkan kemampuan pemahaman bacaan siswa terhadap cerpen. SIMPULAN
Bagian akhir dari tulisan ini, penulis mencoba menarik beberapa simpulan yang didasarkan pada rumusan masalah yang telah dituangkan pada bagian sebelumnya
serta dilandasi hasil penelitian. Simpulan yang dapat ditarik dikemukakan di bawah ini.
1.
Kemampuan pemahaman membaca cerpen sebelum menggunakan teknik analisis wacana kritis atau Critical Discaurce Analysis CDA pada siswa kelas VIII
SMPN 2 Leuwigoong Tahun Ajaran 2005-2006, menunjukkan kemampuan yang rendah, hal ini ditandai dengan pencapaian rata-rata pemahaman siswa
terhadap cerpen yang hanya mencapai 5,11. Beberapa kriteria penilaian dan pencapaian pemahaman siswa terhadap cerpen antara lain rata-rata
pemahaman terhadap tema 45,47, alur cerita dalam cerpen 49,23, pemahaman terhadap tokoh dan penokohan 54,7, pemahaman terhadap
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
| 104
amanat yang terkandung dalam cerpen 51,97 serta kemampuan siswa dalam mengungkapkan kembali isi cerpen 52,31.
2. Kemampuan pemahaman membaca cerpen setelah menggunakan teknik
analisis wacana kritis atau Critical Discaurce Analysis CDA pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Tahun Ajaran 2005-2006, menunjukkan kemampuan
pemahaman bacaan yang baik. Hal ini ditandai dengan pencapaian rata-rata 7,02. Sementara itu, pemahaman siswa terhadap rata-rata tema cerpen dicapai
sebesar 79,49, alur cerita dalam cerpen 75,73, pemahaman terhadap tokoh dan penokohan 76,75, pemahaman terhadap amanat yang
terkandung dalam cerpen 62,39 serta kemampuan siswa dalam mengungkapkan kembali isi cerpen 65
3. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata pemahaman awal siswa terhadap
cerpen dicapai sebesar 51,1 dan pemahaman akhir setelah pembelajaran dicapai rata-rata nilai 70,2, dengan demikian terjadi kenaikan rata-rata
kemampuan pemahaman siswa terhadap cerpen sebesar 19,1. Sementara itu berdasarkan hasil perhitungan statistik uji t yang dilakukan diperoleh t
hitung
t
tabel
14,38 2,428 pada taraf kepercayaan 95, sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan siswa dalam memahami cerpen sebelum pembelajaran dan
setelah pembelajaran berbeda. Sementara itu diamati dari rata-rata pemahaman siswa terhadap bacaan cerpen menunjukkan bahwa penggunaan
teknik analisis wacana kritis atau Critical Discaurce Analysis CDA efektif dalam meningkatkan pemahaman siswa terhadap karya sastra khususnya cerpen.
Daftar Pustaka
Aminudin. 1987. Pengantar Apresiasi Sastra. Malang: Sinar Baru. Aminuddin. 2000.
Pe elajara “astra se agai Proses Pe
erwa a aa da Pe aha a Peru aha Ideologi . Dala “udiro “atoto da ai uddi
Fananie Eds.. Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan. Surakarta: University Muhamadiyah Press
–HISKI Komisariat Surakarta. Arikunto, Suharsimi. 1996. Prosedur Penelitian Suatau Pendekatan Praktek. Bandung:
Rineka Cipta. Depdikbud. 2004. Kerangka Acuan Pemasyarakatan Kebijaksanaan Pendidikan dan
Kebudayaan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dharmojo, dkk. 1998. Sastra Lisan Ekagi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa. ------------- 2005. Critical Discourse Analysis CDA Sebagai Model Pembelajaran Sastra.
Web site. Jabrohim Ed. 1994. Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kerja sama Pustaka Pelajar dan FPBS
IKIP Muhammadiyah. Kus i a to.
. Dan Sastrawan pun Tak Lagi Percaya kepada Guru Sastra . Dala Asep S. Sambodja, dkk. Eds.. Cyber Graffiti Kumpulan Esai. Bandung:
Yayasan Multimedia Sastra dan Angkasa.
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
105 |
Nadeak. 1985. Pengajaran Apresiasi Sastrai. Bandung: Sinar Baru. Nasution, J.U., dkk. 1981. Minat Membaca Sastra Pelajar SMA Kelas III DKI Jakarta.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Rahmanto. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kansius.
Rusyana, Y. 19771978. Penelitian Kegiatan Apresiasi Sastra Murid SMA Jawa Barat. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
‘us a a, Y. . Bahan Baku dan Pengolahan Bahan Pelajaran Sastra , akalah pada
Seminar Pengelolalan Bahan Pelajaran Sastra dalam Buku Teks Bahasa dan “ast a I do esia . Diku pulka dala La dasa Teo i da Pe golaha Baha
Pelajaran Sastra. Bandung: Program Pascasarjana IKIP Bandung. Sarjono, A.R. 2000. Beberapa Upaya menggairahkan Pembelajaran Sastra. Dalam Agus R.
Sarjono. Sastra dalam Empat Orba 2000, hlm. 207 —231. Yogyakarta:
Bentang. Sayuti, S.A. 2000. Menuju Pendidikan dan Pembelajaran Sastra yang Memerdekakan:
Catatan Pengantar. Dalam Sudiro Satoto dan Zainuddin Fananie Eds.. Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan hlm. 57
—65. Surakarta: University Muhamadiyah Press
– HISKI Komisariat Surakarta. Sudaryono, 2000.
“trategi ‘e-Kreasi dala Pe gajara Apresiasi Puisi di “ekolah. Jurnal Ilmiah IMPASMAJA Th. III 6 November: 57
—76. Surachmad. 1989. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik. Bandung:
TarsitoTarigan, H.G. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Tarigan. 1985. Pengajaran Morfologi. Angkasa: Bandung.
SEMANTIK
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
| 106
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
SEMANTIK
107 |
KEANEKARAGAMAN PANTUN DI INDONESIA
Oleh : Dinni Eka Maulina
Dosen STKIP Siliwangi Bandung
Abstraksi
Dari perbandingan sejumlah pantun Melayu, Sunda, Banjar, dan Betawi, jelaslah bahwa pantun di satu daerah dengan daerah selalu memperlihatkan adanya
persamaan dan sekaligus juga perbedaan. Kesamaan umum terletak pada fungsi pantun yang secara sadar digunakan untuk kepentingan menyampaikan pesan-
pesan moral dan etika tentang tata kehidupan. Kesamaan lain terletak pada ciri-ciri pantun yang ditandai dengan adanya sampiran dan isi. Hanya, jika sampiran pada
pantun Melayu lebih ditujukan untuk mengantarkan isi, tanpa ada kaitan logis antara sampiran dan isi, dalam beberapa kasus, justru berfungsi untuk menegaskan
isi. Oleh karena itu, sampiran kadangkala juga bermakna simbolik. Jadi, dengan demikian, kehadiran sampiran tidak sekadar sebagai pengantar memasuki
kesamaan bunyi isi, tetapi sekaligus pengantar pada tema atau persoalan yang hendak disampaikan.
Dari sejumlah perbandingan itu, makin jelas bagi kita, bahwa pantun selain sebagai sarana menyampaikan pesan moral dan pesan etika, juga di dalamnya
merepresentasikan kultur tempatnya. Oleh karena itu, mempelajari pantun sesungguhnya dapat juga dijadikan sebagai pintu masuk untuk memahami
kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Begitulah, masyarakat di wilayah Nusantara ini mengenal pantun tanpa
meninggalkan ciri budaya tempatannya. Perkara lokalitas, terutama yang menyangkut nama tempat, istilah, dan ungkapan tempatan itulah yang
sesungguhnya membedakan pantun dari satu daerah dengan pantun dari daerah yang lain. Meskipun di dalamnya tetap terungkapkan bahwa pantun yang
dihasilkan masyarakat di berbagai daerah itu sebagai produk khas budaya mereka, mereka
juga umumnya
memahami konsepsi
pantun dengan
tetap mempertahankan adanya sampiran dan isi dengan pola persajakan a-b-a-b.