Portal Publikasi - STKIP Siliwangi Bandung – Jurnal Semantik Vol. 2 No. 1

(1)

MENTRADISIKAN KESANTUNAN BERBAHASA:

UPAYA MEMBENTUK GENERASI BANGSA YANG BERKARAKTER Ika Mustika

STKIP Siliwangi, Bandung

Alamat Kontak:Jln.Terusan Jenderal Sudirman, Kebon Rumput Cimahi-Bandung (022)6658680. pos-el:mestikasaja@yahoo.co.id

Abstrak

Pembentukkan karakter menjadi hal yang sangat penting saat ini karena banyak perilaku bangsa yang dipertanyakan keabsahannya sebagai karakter bangsa terlebih adanya pergeseran zaman menuju arus globalisasi semakin deras. Kehidupan berbangsa menjadi semakin kehilangan jatidirinya. Berbagai upaya dilakukan untuk mengembalikan karakter bangsa tersebut agar kehidupan berbangsa menjadi kukuh kembali. Salah satu cara melalui penggunaan bahasa yang santun (kesantunan berbahasa). Bahasa Indonesia saat ini selain sebagai alat pemersatu juga menjadi jatidiri dan karakter dari bangsa Indonesia. Jatidiri dan karakter ini akan berubah menjadi kesantunan dalam berbahasa. Kesantunan berbahasa merupakan awal dalam pembentukkan karakter seseorang yang mencerminkan suatu bangsa. Agar kesantunan berbahasa ini menjadi tradisi dalam masyarakat Indonesia, maka perlu upaya pembinaan melalui pembiasaan. Membiasakan diri mematuhi norma-norma berbahasa akan menjadikan generasi bangsa selalu mematuhi tatanan-tatanan yang ada pada bahasa Indonesia. Lingkungan pendidikan formal maupun informal dapat dijadikan sebagai sarana dalam mentradisikan kesantunan berbahasa. Tulisan ini, menyajikan sebuah pemikiran sederhana mengenai bentuk-bentuk perilaku kesantunan berbahasa yang dapat diterapkan di lingkungan pendidikan formal maupun informal.

Kata kunci: Kesantunan Berbahasa, Generasi yang Berkarakter

Character Building tend to be very important nowadays since the validity of people’s behaviors as the real characters of our nation are questionable, further more due to the shifting of the era toward a complicated globalized era. The real character of this nation is getting biased. Any efforts are committed to return such a character in order that the life of this nation is getting hefty. One of the efforts is through the use of language politeness. Nowadays, Bahasa Indonesia has two functions namely as a means of uniting the nation and as the character of the nation as well. The genuineness and this character may turn into language politeness. Language politeness refers to an initial aspect of someone’s character building as a reflection of a nation. In order that such a politeness becomes a tradition in Indonesian society, an effort of accustoming character building is needed. To keep obeying the norms of language use may turn the generation to be more obedient to the social order of society enclosed in Bahasa Indonesia. The domain of formal and informal education can be a medium of accustoming language politeness. This paper presents a simple thinking about language politeness realization that can be implemented in the atmosphere of formal and informal education.


(2)

Key words: Language Politeness, Characterized Generation 1. PENDAHULUAN

Era globalisasi tengah melanda berbagai negara dan merambah segenap kehidupan manusia. Kondisi ini menyebabkan suatu negara harus menjalin kerjasama dengan bangsa lain. Bahasa merupakan sarana yang efektif dalam menjalin kerjasama tersebut. Saat ini, bahasa bukan sekedar sebagai aspek fungsional tetapi memiliki peran sebagai identitas suatu bangsa serta mencerminkan peradaban suatu bangsa. Demikian pula halnya dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia saat ini selain berfungsi sebagai alat pemersatu juga menjadi jatidiri dan karakter dari bangsa Indonesia. Dalam konteks inilah kesantunan berbahasa berperan membentuk karakter seseorang.

Sebuah ungkapan menyebutkan “bahasa mencerminkan kepribadian seseorang”. Artinya, dengan bahasa kita dapat menilai karakter seseorang. Jika penggunaan bahasa kita baik dan penuh kesantunan maka pencitraan diri kita pun sebagai pribadi yang baik dan berbudi, sementara itu apabila penggunaan bahasa kita tidak memenuhi etika berbahasa yang santun maka pencitraan diri kita pun menjadi buruk. Oleh karena itu, kesantunan berbahasa menjadi salah satu tolak ukur pribadi yang berkarakter. Sekaitan dengan itu, mentradisikan kesantunan berbahasa melalui lingkungan pendidikan formal maupun informal merupakan upaya yang harus dilakukan untuk menyiapkan generasi bangsa yang berkarakter. Generasi yang berkarakter diperlukan dalam menghadapi era globalisasi.

2. PEMBAHASAN

2.1 Jatidiri Bangsa dan Karakter Bangsa

Jatidiri dan karakter merupakan dua istilah yang berbeda meskipun penggunaannya sering dipertukarkan. Jatidiri memiliki pengertian ciri-ciri, gambaran, atau keadaan khusus seseorang atau suatu benda; identitas (KBBI, 2008:570). Karakter sebagai sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak (KBBI, 2008:623). Jadi, Jatidiri merupakan identitas seseorang dengan segala ciri-cirinya yang merupakan fitrah manusia sebagai


(3)

pemberian dari Tuhan. Sementara itu, karakter merupakan nilai-nilai yang terpatri dan terejawantahkan dalam prilaku yang membedakan seseorang dari yang lain.

Karakter merujuk pada tingkah laku seseorang. Sebagai contoh, apabila seseorang berprilaku tidak jujur atau kejam dapatlah dikatakan orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, bertanggu jawab, suka menolong tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter baik/mulia. Jadi, Istilah karakter erat kaitannya dengan sikap dan tingkah laku yang bersifat personality. Seseorang disebut berkarakter apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Soedarsono (2008:97) menjelaskan karakter merupakan nilai-nilai yang terpatri dalam diri kita melalui pendidikan, pengalaman, percobaan, pengorbanan, dan pengaruh lingkungan, dipadukan dengan nilai-nilai dari dalam diri manusia sehingga menjadi semacam nilai intrinsik yang mewujud dalam sistem daya juang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku.

Dengan demikian, karakter adalah keseluruhan nilai-nilai, perilaku atau perbuatan yang telah membentuk diri seseorang dan menjadi ciri khas tiap individu. Dengan kata lain, karakter tidak muncul dengan sendirinya akan tetapi harus dibentuk. Proses pembentukannya dipengaruhi oleh faktornature(bawaan, fitrah) dannurture (sosialisasi dan pendidikan). Artinya potensi karakter yang baik dimiliki manusia sebelum dilahirkan, tetapi potensi tersebut harus terus-menerus dibina melalui sosialisasi dan pendidikan (Muslich,2011:97). Dalam hal ini diperlukan pembiasaan. Pembiasaan dalam pemikiran (habits of mind), pembiasaan dalam hati (habits of heart), dan pembiasaan dalam tindakan (habits of action) (Lickona, 2004:7). Lingkungan pendidikan formal maupun lingkungan pendidikan informal dapat dijadikan sebagai sarana yang tepat dalam melalukan proses pembiasaan ini. Selain dibiasakan juga ditanamkan pada diri individu untuk memiliki keinginan berbuat baik (desiring the good). Muslich (2011:135) menjelaskan keinginan berbuat baik bersumber dari kecintaan untuk berbuat baik (loving the good). Aspek kecintaan ini sebagai sumber energi yang secara efektif membuat seseorang mempunyai karakter yang konsisten antara pengetahuan moral (moral knowing) dan tindakannya (moral


(4)

action). Aspek ini menyangkut wilayah emosi sehingga sulit diajarkan. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan membangkitkan kesadaran akan pentingnya memberikan komitmen terhadap nilai-nilai moral.

Dapat disimpulkan jatidiri merupakan sesuatu yang diberikan Tuhan dan merupakan fitrah manusia. Kemudian jatidiri bangsa merupakan pencerminan atau tampilan dari jatidiri bangsa Indonesia. Sementara itu, karakter merupakan perbuatan yang telah membentuk diri seseorang dan menjadi ciri khas individu. Selanjutnya karakter bangsa merupakan akumulasi dari karakter individu anak bangsa yang berproses secara terus-menerus yang mengelompok menjadi bangsa Indonesia. Dan yang dimaksud dengan generasi bangsa yang berkarakter adalah akumulasi dari anak bangsa yang secara terus-menerus berproses membentuk dirinya menjadi pribadi yang berkarakter yang mengelompok menjadi bangsa yang memiliki identitas dan menjadi penanda yang membedakannya dengan bangsa lain. Bangsa yang dimaksud adalah bangsa Indonesia. Jadi bangsa Indonesia merupakan identitas dari warga negara Indonesia yang membedakannya dengan bangsa lain.

2.2 Kesantunan Berbahasa dan Karakter

Kesantunan berbahasa diperlukan agar kegiatan berkomunikasi dapat terbina dengan baik. Beberapa ahli mengemukakan pendapatnya tentang teori kesantunan berbahasa. Robin Lakof (Chaer, 2010:46) mengisyaratkan setiap penutur diminta untuk menghindarkan diri dari ekspresi yang tidak menyenangkan mitra tuturnya. Terlebih lagi melakukan sesuatu yang dapat mengancam apalagi menghilangkan wajah mitra tutur. Hal ini bertemali dengan kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh Brow dan Levinson (Chaer, 2010: 49) yang menjelaskan kesantunan berbahasa berkisar atas nosi muka atau wajah. Kesantunan berbahasa digunakan apabila terdapat tindak tutur mengancam muka. Sekaitan dengan itu kesantunan dapat didefinisikan sebagai tindakan melindungi muka. Bruce Fraser (Chaer, 2010:47) membahas kesantunan berbahasa atas dasar strategi, artinya kesantunan merupakan bagian dari tuturan sehingga lawan tuturlah yang menentukan kesantunan sebuah tuturan dengan


(5)

ketentuan si penutur tidak melampaui haknya dan memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada lawan tutur. Geoffrey Leech (1993:31) menjelaskan teori kesantunan berbahasa akan terpenuhi apabila setiap orang mampu menaati sejumlah maksim yang terkandung dalam prinsip komunikasi. Sementara itu, Pranowo (Chaer,2010:62) mengemukakan bahwa ciri penanda kesantunan berbahasa tercermin dari penggunaan kata-kata tertentu sebagai pilihan kata yang diucapkan seseorang, diantaranya penggunaan piliha kata: tolong, maaf, terima kasih, berkenan, beliau, bapak/Ibu.

Teori kesantunan berbahasa yang dikemukakan para ahli di atas membahas teori kesantunan berbahasa dari sudut pandang yang berbeda-beda meskipun demikian dapat ditarik benang merah yang menyiratkan pada satu pemahaman bahwa kegiatan komunikasi akan berlangsung dengan efektif apabila penutur dan lawan tutur menaati sejumlah aturan yang terkandung dalam prinsip komunikasi sehingga kegiatan komunikasi dapat terhindar dari kesalahpahaman.

Sejumlah teori kesantunan berbahasa yang diuraikan di atas dapat dimanfaatkan sebagai landasan dalam melakukan kegiatan berkomunikasi. Manakah teori kesantunan berbahasa yang cocok untuk masyarakat Indonesia? Tentu saja masyarakat Indonesia dapat memanfaatkan teori-teori tersebut. Selain itu, aturan kesantunan berbahasa di lingkungan masyarakat Indonesia berpedoman pada aturan budaya yang berlaku dilingkungan masyarakat Indonesia yakni aturan kesantunan berbahasa yang berasal dari akar budaya masyarakat Indonesia itu sendiri. Dengan kata lain piranti kesantunan berbahasa selain berpedoman pada substansi bahasa juga bepedoman pada etika berbahasa. Dalam praktik berbahasa kedua hal ini saling berkaitan satu sama lain. Untuk dapat berkomunikasi dengan harmonis dan mencapai tujuan komunikasi, kesantunan berbahasa dan etika berbahasa harus digunakan secara terpadu.

Bangsa Indonesia terdiri atas suku-suku bangsa yang memiliki keragaman budaya, maka kesantunan berbahasa akan bertemali dengan kebudayaan masyarakat penuturnya. Meskipun demikian, bukan berarti kesantunan berbahasa diukur


(6)

berdasarkan norma-norma masyarakat budayanya masing-masing tetapi kesantunan berbahasa diukur berdasarkan norma-norma nasional yang terkait dengan pilar-pilar karakter baik yakni mencintai Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, memiliki kemandirian dan tanggung jawab, menjunjung nilai kejujuran, melaksanakan amanah, bersikap hormat/santun, memiliki rasa percaya diri, kreatif, dan uket, memiliki jiwa kepemimpinan dan keadilan, bersikap rendah hati, dan bertoleransi pada sesama. Bertemali dengan itu, karakter positif akan termanifestasi dalam bahasa yang santun. Seseorang yang terbiasa berbahasa santun akan senantiasa menjaga kehormatan dan martabat dirinya serta kehormatan dan martabat lawan tuturnya. Ini akan menjadi karakter dirinya. Karakter ini menjadi identitas diri yang membedakannya dengan orang.

2.3 Kesantunan Berbahasa dan Pendidikan Karakter

Digariskan dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang secara eksplisit menyebutkan tujuan utama pendidikan adalah menghasilkan pribadi yang matang secara intelektual, emosional, dan spiritual. Artinya pendidikan selain membentuk pribadi yang cerdas juga membentuk pribadi yang berkarakter. Alhasil, pendidikan diyakini sebagai satu-satunya jalan untuk memanusiakan manusia. Dalam konteks ini, pendidikan dipandang mampu untuk membentuk manusia seutuhnya yang menyadari keberadaan dirinya, lingkungannya juga Tuhannya. Di sinilah pentingnya pendidikan karakter.

Sekaitan dengan itu, sistem pendidikan di sekolah harus mampu menghasilkan peserta didik yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Kemampuan berkomunikasi termasuk salah satu bentuk kecerdasan emosional. Kemampuan berkomunikasi yang berlangsung dalam suasana edukatif akan membentuk peserta didik yang dapat berkomunikasi dengan mentaati norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Membiasakan peserta didik berlatih menggunakan bahasa yang santun akan memberikan nilai-nilai positif bagi peserta


(7)

didik. Oleh karena itu, pendidikan di sekolah harus mampu mewujudkan pendidikan berbahasa yang santun.

Untuk itu diperlukan strategi yang terus-menerus dikembangkan secara komprehensif dan terpadu. Seperti yang disampaikan Sauri (Hendaryan, 2011:239) pengembangan strategi pendidikan bahasa santun diartikan sebagai upaya mendayagunakan potensi yang dimiliki sekolah seperti kurikulum, guru, metode, dan situasi edukatif guna mewujudkan kesantunan berbahasa di kalangan warga sekolah. Selain pendidikan di sekolah, pendidikan di lingkungan keluarga pun harus mampu mewujudkan pendidikan berbahasa yang santun. Pada bagian selanjutnya akan diuraikan contoh sederhana bentuk-bentuk perilaku kesantunan berbahasa yang dapat diterapkan di lingkungan pendidikan formal maupun informal.

2.4 Implementasi Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Pendidikan Formal dan Informal

2.4.1 Contoh Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Pendidikan Formal

Uraian dimuka memaparkan, kesantunan berbahasa merupakan salah satu parameter generasi yang berkarakter. Kesantunan berbahasa merupakan awal dalam pembentukkan karakter seseorang yang mencerminkan suatu bangsa. Agar kesantunan berbahasa ini menjadi tradisi dalam masyarakat Indonesia, maka perlu upaya pembinaan melalui pembiasaan. Membiasakan diri mematuhi norma-norma berbahasa akan menjadikan generasi bangsa selalu mematuhi tatanan-tatanan yang ada pada bahasa Indonesia. Lingkungan pendidikan formal maupun informal dapat dijadikan sebagai sarana dalam mentradisikan kesantunan berbahasa.

Pendidikan formal sebagai rumah kedua peserta didik setelah lingkungan keluarga harus mampu menyediakan praktik-praktik kesantunan berbahasa yang memadai sehingga dapat menghasilkan generasi bangsa yang tidak saja memiliki kecerdasan intelektual akan tetapi menghasilkan generasi bangsa yang memiliki kecerdasan emosional dan spiritual. Perpaduan ketiga hal ini akan menghasilkan generasi bangsa yang berkarakter.


(8)

Implementasi kesantunan berbahasa melalui lingkungan pendidikan formal dapat dilakukan dengan mengintegrasikannya dalam semua mata pelajaran pada semua jenjang pendidikan. Guru harus menjadi contoh teladan dalam mentradisikan kesantunan berbahasa.

Berikut contoh sederhana yang dapat dipraktikan guru di kelas. (a) Pemakaian kata sapaan

“Wat, Wati bisa bantu Ibu mengambilkan buku ini?” (b) Pemagaran ujaran

“Tolong, jangan ribut!”

(c) Menggunakan kalimat tidak langsung menyuruh “Ruangan ini terasa panas sekali”

(Misalnya ucapan seorang guru kepada para siswa dengan maksud menyuruh membuka jendela dan sebagainya )

Contoh di atas hanya merupakan sebagian kecil dari bentuk-bentuk kesantunan berbahasa yang dapat dipraktikan guru di kelas. Mengacu pendapat Oktarina (2010: 425) terdapat beberapa strategi kesantunan berbahasa agar komunikasi dapat terbina dengan harmonis diantaranya: tingkat kelugasan tuturan, pemakaian kata sapaan, pemakaian basa-basi, eufemisme, pilihan jawaban, alasan, pemagaran ujaran, dan penggunaan bahasa nonverbal.

Penanaman prinsip-prinsp kesantunan berbahasa sejak dini kepada peserta didik merupakan tugas para guru. Tentu saja penanaman prinsip-prinsip kesantunan berbahasa ini bukan hanya tugas guru Bahasa Indonesia melainkan juga tugas guru bidang studi lain. Penanaman prinsip-prinsip kesantunan berbahasa merupakan perwujudan mencintai bahasa sendiri, Bahasa Indonesia. Ini merupakan kesepakatan yang telah menjadi cita-cita luhur bangsa Indonesia, yakni berbangsa satu bangsa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia, menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.


(9)

2.4.2 Contoh Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Pendidikan Informal

Implementasi kesantunan berbahasa di lingkungan pendidikan informal (keluarga) pun dapat ditanamkan sejak dini. Keluarga sebagai lingkungan pertama dan utama dalam proses perkembangan manusia menuju kedewasaan berperan dalam menanamkan kesantunan berbahasa, pada akhirnya berperan dalam proses pembentukkan karakter bangsa. Seperti dinyatakan dalam Undang-Undang Sistem pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa Pendidikan keluarga termasuk pendidikan jalur luar sekolah merupakan salah satu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengalaman seumur hidup. Pendidikan dalam keluarga memberikan keyakinan agama, nilai budaya yang mencakup nilai moral dan aturan-aturan pergaulan serta pandangan, keterampilan, dan sikap hidup yang mendukung kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kepada anggota keluarga yang bersangkutan. Oleh karena itu keluarga merupakan pendidikan yang sangat utama bagi keberlangsungan pendidikan generasi muda maupun bagi pembinaan bangsa pada umumnya.

Sekaitan dengan itu penanaman kesantunan berbahasa di lingkungan pendidikan informal (keluarga) dapat dilakukan dengan membiasakan anak untuk bertutur dan bersikap yang baik. Orang tua harus memberikan contoh tauladan. Seorang anak akan mempersepsikan tradisi yang sering dilihat dan didengarnya itu sebagai sesuatu hal yang diangap benar. Orang tua hendaknya berusaha untuk menanamkan kesantunan berbahasa dengan memberi contoh cara bertutur maupun bersikap yang santun. Seorang anak dapat dibimbing untuk selalu terbiasa menggunakan bahasa yang santun sehingga secara berangsur-angsur hal ini akan menjadi kebiasaan yang tertanam dalam dirinya. Jika telah terbiasa, lama kelamaan sikap ini akan terbentuk menjadi kebiasaan yang positif/baik. Berikut contohnya.

(a) Pemakaian kata sapaan

“Kakak, Ibu mau minta tolong sama Kakak” (b) Pemagaran ujaran


(10)

“Tolong, ambilkan buku di atas meja!”

(c) Menggunakan kalimat tidak langsung menyuruh “Nak, Ibu ingin sekali merapikan kamar ini”

(Ucapan seorang Ibu kepada anaknya dengan maksud si anak merapikan kamar ini)

Untuk menerapkan kesantunan berbahasa di lingkungan masyarakat Indonesia (lingkungan pendidikan formal dan informal) selain berpedoman pada kebakuan terhadap norma-norma berbahasa yang dimiliki oleh bahasa Indonesia juga mengacu pada kebakuan terhadap etika/tata krama berbahasa yang berlaku di lingkungan masyarakat Indonesia. Artinya, piranti kesantunan berbahasa mengacu pada konsep kesantunan bahasa dan etika berbahasa. Kesantunan berbahasa lebih cenderung berhubungan dengan isi bahasanya (substansi bahasa) sedangkan etika berbahasa lebih cenderung pada perilaku berbahasa (perilaku bertutut). Meskipun diakui kesantunan berbahasa Indonesia belum memiliki piranti yang baku namun norma kebahasaan yang mencerminkan nilai-nilai budaya serta nilai sosial kemasyarakatan dapat dijadikan acuan dalam menerapkan kesantunan berbahasa.

3. SIMPULAN

Kesantunan berbahasa menjadi salah satu tolak ukur generasi yang berkarakter. Oleh karena itu mentradisikan kesantunan berbahasa melalui lingkungan pendidikan formal maupun informal merupakan upaya yang harus dilakukan untuk menyiapkan generasi bangsa yang berkarakter. Generasi bangsa yang berkarakter dibutuhkan untuk menghadapi era globalisasi. Para guru dan orang tua dapat menjadi model dalam menanamkan kesantunan berbahasa ini. Wujudnya melalui sikap keteladanan sehingga para peserta didik maupun anak-anak dapat meniru sikap tersebut, pada akhirnya sikap tersebut akan menjadi kebiasaan yang tertanam dalam diri mereka. Piranti yang dapat digunakan untuk menerapkan kesantunan berbahasa


(11)

selain mengacu pada norma-norma berbahasa Indonesia juga mengacu pada etika berbahasa yang berlaku di lingkungan masyarakat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2010.Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.

Hendaryan, 2011. Menunjukkan Karakter melalui Berbahasa Santun dalam Riksa bahasa 4 Pendidikan Karakter dalam Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: Rizqi Press.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. E disi keempat, 2008. Jakarta: Balai Pustaka.

Koesoema A, Doni. 2010.Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo.

Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).

Lickona, Thomas. 2004. Character Matters: How To Help Our Children Develop Good Judgment, Integrity, and Other Essential Virtues. New York, Simon & Schuster.

Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional.Jakarta: Bumi Aksara.

Oktarina, Santi. 2010.Membudayakan Kesantunan Berbahasa melalui Pendidikan: Upaya Pembentukan Sikap Generasi Muda Berkarakter dalam Idiosinkrasi-Pendidikan Karakter melalui Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: Kepel Press Soedarsono, Soemarno. 2008.Membangun Kembali Jati Diri Bangsa.Jakarta: Elex

Media Komputindo.

Undang-undang RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Biodata Penulis

Ika Mustika dilahirkan di Ciamis pada 04 Maret 1968. Menyelesaikan Program Doktor pada tahun 2012. Ia mengajar sebagai dosen tetap Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Siliwangi Cimahi-Bandung. Ia cukup aktif menulis dan mengikuti berbagai pertemuan ilmiah baik sebagai peserta maupun pemakalah di tingkat lokal, nasional, maupun internasional terkait pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis dapat dihubungi di nomor telepon 08122389373 atau melalui pos-elmestikasaja@yahoo.co.id


(12)

(13)

PENERAPAN MODEL TONGKAT BERBICARA BERORIENTASI KARAKTER

DALAM PEMBELAJARAN BERDEBAT oleh

Deden Sutrisna STIKes Cirebon deden.sutrisna@yahoo.co.id

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Penerapan Model Tongkat Berbicara Berorientasi Karakter dalam Pembelajaran Debat (Eksperimen terhadap Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Palimanan Kabupaten Cirebon Tahun Ajaran 2013/2014).Latar belakang penelitian ini adalah minimnya kompetensi siswa dalam berbicara terutama kemampuan berdebat. Tujuan penelitian ini adalah memberikan alternatif model pembelajaran berdebat yang meningkatkan kemampuan berdebat sekaligus menanamkan karakter positif kepada peserta didik.

Hipotesis penelitian ini yaitu terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berdebat siswa yang menggunakan model tongkat berbicara berorientasi karakter dibandingkan dengan peningkatan kemampuan berdebat siswa yang menggunakan model terlangsung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan rancangan The Randomized Pretest-Postest Control Group Design. yang diujicobakan kepada popualsi penelitian. Dalam penelitian ini, kelompok eksperimen diberikan perlakuan dengan menggunakan model tongkat berbicara berorientasi karakter sedangkan kelompok kontrol diberi perlakuan model terlangsung.

Berdasarkan hasil perhitungan statistik diperoleh data bahwa t hitung > t tabel = 4,476 > 2,021, sehingga hipotesis yang diajukan penulis dapat diterima. Jadi, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan berdebat siswa yang menggunakan model tongkat berbicara berorientasi karakter dibandingkan dengan siswa yang menggunakan model terlangsung.

Kata kunci: Model Tongkat Berbicara, Pendidikan Karakter, Pembelajaran Berdebat A. Pendahuluan

Dalam pembelajaran bahasa salah satu keterampilan yang harus dikuasai siswa adalah keterampilan berbicara. Keterampilan berbicara mempunyai kedudukan yang penting karena hampir sebagian besar waktu kita habiskan untuk kegiatan ini. Dalam kegiatan pembelajaran di kelas, kemampuan berbicara menjadi salah satu indikator pemahaman siswa. Siswa yang pandai umumnya pandai ketika mengungkapkan ide atau gagasannya secara lisan dan mampu menuangkannya dalam bentuk tulisan.


(14)

bahasa lisan. Berbicara tidak hanya sekadar menyampaikan pesan tetapi proses melahirkan pesan itu sendiri. Proses melahirkan pesan yang dapat tersampaikan dengan baik memerlukan pelatihan secara berkesinambungan. Seorang pembicara yang baik terlahir dari proses pelatihan dan pengamatan terhadap fenomena kehidupan.

Tarigan (2008:1) menjelaskan bahwa keterampilan berbahasa mempunyai empat komponen yang saling berhubungan erat yaitu, menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Artinya, berbicara juga sangat berkaitan dengan aspek keterampilan yang lain karena proses penangkapan ide ketika berbicara melalui kegiatan mendengar, membaca, melihat, merasakan, meneliti, mencoba, dan sebagainya. Sumber ide tersebut kemudian diolah oleh pembicara menjadi pesan atau gagasan yang disampaikan secara lisan.

Berbicara, sebagai suatu keterampilan, hanya akan dimiliki atau dikuasai seseorang apabila dia mau berlatih. Hal ini sejalan dengan penjelasan Nurjamal (2011:23) bahwa tidak ada satu pun keterampilan yang dapat dikuasai seseorang tanpa adanya proses perlatihan yang terus menerus. Untuk terampil berbicara itu pun kita diharuskan berlatih dan terus berlatih. Dengan latihan yang diawasi secara berkesinambungan, kemahiran berbicara siswa akan terbentuk sehingga siswa bisa menjadi pembicara yang kreatif.

Sejalan dengan pendapat di atas, Arsjad dan Mukti (1988:1) mengatakan bahwa memiliki keterampilan berbicara tidak semudah yang dibayangkan banyak orang. Ada anggapan mengatakan keterampilan berbicara dengan sendirinya bisa diperoleh tanpa melalui pembinaan. Anggapan ini tidak sepenuhnya salah, hanya saja ketika berbicara terdapat proses melahirkan pesan berupa ide atau gagasan, proses berpikir atau berimajinasi, dan proses mengorganisasikan pembicaraan.

Setiap individu pada dasarnya secara alamiah mampu berbicara. Namun, saat dihadapkan pada situasi formal sering timbul rasa gugup. Rasa gugup ini berdampak pada gagasan yang dikemukakan menjadi tidak teratur. Akibat lainnya, proses berpikir menjadi terhambat. Dengan demikian, keterampilan berbicara secara formal memerlukan latihan, praktik, dan pengarahan secara intensif. Di sinilah pentingnya pelajaran bahasa Indonesia sebagai salah satu mata pelajaran yang membina keterampilan berbahasa siswa.

Keterampilan berbicara dapat dibina melalui pelajaran bahasa Indonesia karena tujuan mata pelajaran ini adalah belajar berkomunikasi (Puskur, 2003). Saat ini, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi baik lisan maupun tulisan. Kurangnya perhatian terhadap pembelajaran berbicara dikarenakan adanya anggapan bahwa keterampilan berbicara mudah dan alami perolehannya. Tentu saja anggapan ini keliru karena keterampilan berbicara perlu dibina agar tumbuh keberanian dan kepercayaan diri ketika berbicara. Selain itu, pembelajaran berbicara merupakan saluran pendidikan karakter karena dalam pembelajaran ini terdapat serangkaian aktivitas yang bisa menunjukkan karakter siswa (Abidin, 2012:140).

Di lingkungan sekolah, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menghendaki kegiatan pembelajaran di dalam kelas memunculkan karakter-karakter


(15)

positif. Inilah yang kemudian dikenal dengan pendidikan karakter yang dalam pelaksanaannya diintegrasikan pada setiap mata pelajaran. Pelajaran bahasa Indonesia, misalnya, guru bahasa Indonesia bisa memasukan nilai-nilai karakter pada saat pembelajaran berdebat.

Menurut Abidin (2012:141) terdapat keterkaitan yang erat antara pembelajaran berbicara dengan pendidikan karakter karana pada tahap berbicara siswa akan terbangun nilai karakter disiplin, kepemimpinan, sungguh-sungguh, berorientasi prestasi, dan sopan serta santun. Melalui aktivitas-aktivitas yang dilakukan, siswa akan beroleh pengetahuan, pengalaman, sekaligus pengembangan karakter. Pembelajaran berbicara dapat digunakan sebagai wahana bagi implemantasi karakter. Syarat utamanya adalah pembelajaran berbicara harus dilakukan dalam gamitan pembelajaran aktif dan kreatif.

Di antara tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku baik secara lisan maupun tulisan. (Depdiknas, 2006). Tujuan di atas akan tercapai dengan baik apabila dalam pelaksanaan pembelajaran guru memasukkan unsur-unsur pembentukan karakter positif.

Pembelajaran aspek keterampilan berbicara di sekolah diarahkan untuk membekali siswa, salah satunya meningkatkan keterampilan berbicara. Arsjad dan Mukti (1988:36) mengungkapkan bahwa keterampilan berbicara dapat dikembang melalui berbagai bentuk antara lain melalui diskusi kelompok, bercakap-cakap, konversasi, wawancara, pidato, bercerita, sandiwara, dan sebagainya. Dalam penelitian ini, peneliti berfokus pada pembelajaran diskusi khususunya kemampuan berdebat.

Melalui pembelajaran berdebat, siswa diharapkan mampu menyampaikan gagasan, ide, pikiran, dan perasaan kepada guru, teman, serta orang lain. Selain itu, siswa juga dilatih untuk memiliki keberanian dalam menyampaikan persetujuan maupun penolakan. Diharapkan selain memiliki kemampuan berpendapat dan bekerja sama, akan tumbuh pada diri siswa nilai-nilai positif, seperti sopan santun dan etika.

Sesuai dengan kurikulum bahasa Indonesia Sekolah Menengah Atas (SMA), salah satu kompetensi dasar yang harus dimiliki siswa adalah memberikan persetujuan atau dukungan terhadap artikel yang terdapat dalam media cetak dan atau elektronik. Debat adalah salah satu bentuk kegiatan pembelajaran yang dapat digunakan untuk menunjang penguasaan kompetensi dasar tersebut.

Sebagai sebuah alternatif, peneliti bermaksud untuk mengangkat model tongkat berbicara berorientasi karakter sebagai wahana bagi implementasi pendidikan karakter dan sebagai alternatif pemecahan masalah rendahnya kemampuan berbicara siswa. Tongkat berbicara pada dasarnya bertujuan untuk menumbuhkan keberanian siswa dalam berbicara dan menumbuhkan karakter-karakter positif, di antararanya karakter disiplin, kepemimpinan, sungguh-sungguh, berorientasi prestasi, sopan serta santun, komunikatif, dan senang bersahabat.


(16)

suatu forum (pertemuan antarsuku). Tongkat ini digunakan untuk memutuskan siapa yang mempunyai hak berbicara. Pada saat pimpinan rapat mulai berdiskusi dan membahas suatu permasalahan, ia harus memegang tongkat berbicara.

Model pembelajaran tongkat berbicara termasuk ke dalam model pembelajaran kooperatif. Penggunaan model ini sangat mudah dan bisa diaplikasikan pada semua mata pelajaran yang membutuhkan keaktifan siswa dalam menyampaikan pendapat. Penggunaan tongkat sebagai tanda giliran berbicara akan melatih kepekaan siswa untuk senantiasa siap mengemukakan pendapat misalnya, pada pembelajaran bahasa Indonesia dengan kompetensi berdebat.

Penggunaan model tongkat berbicara yaitu dengan cara siapa saja siswa yang mendapatkan tongkat harus berbicara dan berpendapat saat itu juga. Dengan cara seperti ini, siswa akan terpacu untuk berpikir secara cepat dan bisa menyampaikan ide atau gagasannya dalam berbagai konteks dan tujuan pembicaraan. Semangat siswa juga akan tumbuh dan dia akan mencoba mempertahankan pendapat yang ia yakini kebenarannya. Dengan demikian, akan timbul suasana kelas yang penuh dengan tantangan dan akan timbul antusias belajar yang tinggi pada diri siswa. Di samping itu, model ini akan menumbuhkan karakter positif dalam diri siswa diantaranya karakter berdisiplin dan kerja keras.

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini meliputi: 1) Bagaimanakah profil pembelajaran berdebat dengan model terlangsung? 2) Bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran berdebat dengan menggunakan model tongkat berbicara berorientasi karakter? 3) Adakah perbedaan yang signifikan antara kemampuan berdebat siswa kelas ekperimen dan siswa kelas kontrol?

B. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Dengan kata lain, penelitian ini mencari perlakuan (treatment) tertentu dalam kondisi yang dikendalikan. Perlakuan dalam penelitian ini adalah model tongkat berbicara berorientasi karakter. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen desain kelompok pretest dan postest dengan kelompok kontrol,The Randomized Pretest-Postest Control Group Design. Menurut Syamsuddin dan Vismaia (2006: 169) penelitian eksperimental merupakan suatu metode yang sistematis dan logis untuk melihat kondisi-kondisi yang dikontrol dengan teliti, dengan memanipulasikan suatu perlakuan, stimulus, atau kondisi-kondisi tertentu, kemudian mengamati pengaruh atau perubahan yang diakibatkan oleh manipulasi. Prosedur penelitian meliputi langkah-langkah sebagai berikut.

Pertama, melakukan observasi pendahuluan. Kedua, menyepakati dengan guru tentang pelaksanaan pembelajaran debat dengan menggunakan model tongkat berbicara berorientasi karakter pada kelas eksperimen. Di dalam penelitian ini, guru melaksanakan proses pembelajarannya sedangkan penulis bertindak sebagai observer dan partner guru. Selanjutnya, pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang telah direncanakan.

Ketiga, merencanakan (planning), yakni menyusun rencana penelitian, meliputi kemampuan-kemampuan yang diperlukan dalam pelaksanaan penelitian,


(17)

rumusan yang hendak dicapai sesuai dengan penelitian tersebut, dan desain atau langkah-langkah penelitian. Keempat, melakukan uji instrumen, yaitu dengan cara meminta pertimbangan dua orang sebagai penilai (judgement) instrumen yang akan digunakan, satu orang sebagai pakar konsep dan satu lagi sebagai praktisi pembelajaran di kelas.

Kelima, memberikan pretest pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Keenam, memperkenalkan model pembelajaran debat, yakni model tongkat berbicara berorientasi karakter dengan memberikan pelatihan atau penjelasan tentang penggunaannya, langkah-langkah dan cara penggunaannya kepada guru yang akan digunakan pada kelas eksperimen.

Ketujuh, pemberian perlakuan (treatment) kepada kelas eksperimen dengan menggunakan model tongkat berbicara berorientasi karakter dalam pembelajaran debat.Kedelapan, memberikan postest kepada kelas eksperimen untuk mengetahui kemampuan berbicara setelah diberi perlakuan.

Kesembilan, menggunakan uji beda setelah sebelumnya dilakukan uji normalitas dan homogenitas variabel data yang ada untuk menguji apakah perbedaan kemampuan berbicara antara hasil pretestdan postest signifikan atau hanya terjadi secara kebetulan saja.

Kesepuluh, melakukan analisis data dari hasil observasi. Kesebelas,menarik simpulan dari hasil penelitian.

Untuk memperoleh data yang relevan dan sesuai dengan kebutuhan yang berkaitan dengan penelitian, maka diperlukan teknik pengumpulan data yang sesuai dengan tujuan penelitian. Teknik pengumpulan data penelitian dilaksanakan dalam tiga tahap, yakni (1) pemberian tes awal; (2) pelaksanaan pembelajaran debat dengan model tongkat berbicara berorientasi karakter; dan (3) pemberian tes akhir.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Deskripsi Profil Pembelajaran Berdebat

Pembelajaran berbicara adalah pembelajaran yang bertujuan melatih kepekaan, membangun kemampuan menghasilkan ide, melatih kemampuan berbicara, dan membina kreativitas berbicara peserta didik. Namun sayangnya, kondisi pembelajaran berbicara di sekolah jauh dari kondisi yang diharapkan. Hal ini tercermin dari hasil observasi dan angket yang dilakukan oleh penulis di SMAN 1 Palimanan pada saat pembelajaran berbicara khususnya kompetensi berdebat berlangsung.

Hasil observasi menunjukkan pembelajaran berbicara kurang mampu membentuk kemampuan komunikatif siswa karena pembelajaran berbicara dilakukan dengan menggunakan teks yang sudah ada dan teks tersebut dibaca oleh siswa. Kondisi ini kurang baik karena siswa belum mampu menyampaikan ide atau gagasan dalam berbagai konteks dan tujuan pembicaraan. Selain itu, ekspresi dan performa siswa ketika berbicara sangat minim.

Pembelajaran berdebat di SMAN 1 Palimanan menggunakan model terlangsung. Model ini menitikberatkan pada debat kelas yang berlangsung monoton


(18)

beberapa kelompok kecil. Selanjutnya, kelompok kecil berdiskusi untuk kemudian secara bergiliran mereka mempresentasikan hasil diskusi kelompok kecilnya di muka kelas. Di sinilah inti pembelajaran debat berlangsung, siswa secara bergantian menyampaikan argumentasinya baik persetujuan maupun penolakan terhadap permasalahan yang sedang diperdebatkan .

Dalam praktik berdebat menggunakan model terlangsung, perdebatan hanya didominasi siswa tertentu saja bahkan tidak ada pembagian giliran berbicara dengan jelas. Selain itu, berdasarkan hasil angket mayoritas siswa menyatakan bahwa pembelajaran debat dengan menggunakan model terlangsung seringkali menimbulkan perdebatan yang berujung pada konflik kelas. Konflik ini berlangsung karena susana pembelajaran berdebat tidak terkendali. Nada bicara siswa yang tinggi pada saat menyampaikan argumentasi membuat siswa lain terpancing untuk melakukan hal yang sama. Adu argumentasi di antara siswa menjadi keluar tema dan menyerempet pada masalah pribadi. Hal ini jika dibiarkan akan berbahaya karena bukan karakter positif yang tumbuh dalam diri siswa, melainkan karakter negatiflah yang kemudian tumbuh pada diri siswa.

2. Proses Pembelajaran Berdebat Menggunakan Model Tongkat Berbicara Berorientasi Karakter

Berikut ini uraian pelaksanaan pembelajaran berdebat dengan menggunakan model tongkat berbicara berorientasi karakter pada standar kompetensi mengungkapkan komentar terhadap informasi dari berbagai sumber. Standar kompetensi tersebut terdapat di kelas X semester kedua dengan alokasi waktu 4 x 45 menit atau sebanyak dua kali pertemuan. Penelitian ini dilaksanakan di akhir semester dua, sehingga siswa sudah memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap standar kompetensi tersebut. Pelaksanaan pembelajaran pada penelitian ini dilakukan dengan alokasi waktu 2 x 45 menit untuk setiap satu kali pertemuan.

Secara keseluruhan penelitian meliputi pretest, pelaksanaan pembelajaran, danpostest. Pertemuan pertama dilakukanpretestatau tes awal sebagai upaya untuk mendapatkan data kemampuan awal siswa dalam berbicara. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian perlakuan. Di kelas ekperimen diberi perlakuan berupa model tongkat berbicara berorientasi karakter, sedangkan di kelas kontrol menggunakan model terlangsung (Model konvensional). Kemudian pertemuan terakhir dilakukan postestsebagai upaya untuk mendapatkan kemampuan akhir siswa dalam berbicara khususnya kemampuan berdebat.

Pertemuan pertama Kegiatan pendahuluan diawali guru dengan ucapan salam, kemudian mempresensi siswa, dan memotivasi siswa agar siap belajar. Sebelum menyampaikan materi pokok, guru mengaitkan kembali pembelajaran yang telah dilaksanakan sebelumnya. Kemudian guru bertanya jawab tentang pengetahuan dan pengalaman siswa dalam pembelajaran berdebat. Beberapa siswa menjawab tentang pengertian debat, unsur-unsur debat, dan tata cara pelaksanaan debat. Pada saat guru bertanya apakah masih ada kesulitan dalam menyampaikan pendapat ketika berdebat, sebagian siswa mengakui masih ada kesulitan. Menariknya, seorang siswa menyampaikan keluhan tentang pengalamannya mengikuti pembelajaran berdebat di


(19)

kelas, dia mengatakan bahwa pembelajaran berdebat hanya membuat siswa bertengkar. Guru lalu membimbing siswa untuk mengidentifikasi makna dan kegunaan debat dalam kehidupan sehari-hari. Setelah itu, guru menyampaikan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan tujuan pembelajaran.

Langkah selanjutnya yaitu kegiatan inti, guru mengeluarkan tongkat berbicara sambil mengatakan dengan suara lantang, “Siapapun berhak berbicara dengan tongkat ini dan siapapun yang mendapatkan tongkat ini harus berbicara saat itu juga!” Guru lalu menjelaskan sejarah singkat tongkat berbicara dan memperkenalkan kegunaan tongkat dalam pembelajaran debat. Guru membagikan siswa teks berjudul,Pro Kontra Ospek dan Manfaatnya. Siswa diberikan waktu untuk membaca teks tersebut. Setelah siswa selesai membaca, guru kembali mengeluarkan tongkat sambil mengatakan, “Siapapun yang mendapatkan tongkat berbicara ini harus berbicara atau menjawab pertanyaan guru berkaitan dengan teks yang telah dibagikan!” Setelah sudah dianggap cukup, guru mengakhiri kegiatan bertanya jawab dengan memberikan penguatan bagaimana menyampaikan kalimat argumentasi yang baik. Guru memberikan beberapa contoh kalimat argumentasi yang berisi pernyataan pembuka, isi berupa kalimat contoh, dan pernyataan penutup. Hal ini dilakukan agar siswa bisa mengemukakan pendapatnya pada saat berdebat. Siswa juga diberikan contoh bagimana membuat kalimat sanggahan yang baik. Guru selanjutnya memberikan perintah siswa membuat kalimat argumentasi yang menyatakan dukungan dan kalimat argumentasi yang menyatakan penolakan.

Kegiatan selanjutnya adalah kegiatan penutup. Pada kegiatan ini guru bersama-sama dengan siswa membuat simpulan pembelajaran, melakukan penilaian, dan refleksi karakter apa yang terbangun dari kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan. Guru menutup pembelajaran dan menyampaikan rencana pembelajaran berikutnya.

Pertemuan kedua. Kegiatan pendahuluan diawali guru dengan mengucapkan salam, kemudian mempresensi siswa, lalu memotivasi siswa. Sebelum menyampaikan materi pokok guru melakukan apersepsi. Kemudian guru menyampaikan kepada para siswa bahwa hari ini mereka akan melaksanakan simulasi pembelajaran debat dengan menggunakan model tongkat berbicara berorientasi karakter.

Tahap pertama guru membentuk kelompok kecil yang beranggotakan empat orang siswa. Kemudian kelompok kecil tersebut dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok pro dan kelompok kontra. Selanjutnya, guru membagikan teks yang berjudul, “Kontroversi Kehadiran Artis di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)” dan memberikan waktu kepada siswa untuk membaca dan mendiskusikannya dengan kelompoknya.

Tahap kedua, guru mengeluarkan tiga tongkat berbicara dan memberikan pengarahan aturan debat menggunakan tongkat berbicara berorientasi karakter. Siswa menentukan urutan pembicara pertama s.d. terakhir dari masing-masing kelompok pro dan kontra.


(20)

3. Analisis Kemampuan Berdebat Siswa dengan Menggunakan Model Tongkat Berbicara Berorientasi Karakter

Berikut ini akan dipaparkan contoh hasil analisis tes awal dan tes akhir kemampuan bedebat siswa yang telah ditranskrip ulang.

Tabel 1

Kutipan TranskripPretestKelas Ekperimen Rsp Kalimat yang Diucapkan

Pendebat (P)

Rsp Kalimat yang Diucapkan Penyanggah (K) P9 M enyanggah Desi, memang

salah kalau mencari teman baru. Kalau memiliki teman

baru kan bisa menambah wawasan, misalnya teman tersebut memiliki informasi yang sangat kita butuhkan. Selain itu, kita juga harus

pint er-pint er mencari manpaat nya, terima kasih.

K4 Saya mau mengomentari kelompok pro. Pertama,

tentang bermunculannya bahasa baru di sosial media,

kenapa tidak menggunakan

bahasa Indonesia sendiri?

Kedua Indonesia terbukti

peringkat ketiga besar pengguna sosial media, it u bukt i t u, memang secara sekilas

bagus, tetapi itu nunjukkin

orang Indonesia kebanyakan tidak manfaat waktunya untuk bekerja. Ket iga Dalam dunia

bisnis di sosial media itu kebanyakannya t ipuan

contonya Tante saya habis

uang banyak tertipu bisnis di sosial media.Keempatdari segi

kesehatan mata minus. Kemudian Cicik bilang harus tahu waktu kapan untuk sekolah dsb. Sedangkan orang Indonesia kebanyakan ket agihan dan tidak mengenal

waktu. Dari dunia pendidikan banyak sekolah RSBI menerapkan E-Learning

melalui sosial media tetapi pada dunia nyat a kebanyakan

pelajar kita menggunakan sosial media untuk sesuatu hal yang kurang manfaat. Lebih


(21)

berbahaya lagi sosial media

buanyak sekali situs-situs yang

menyediakan kencan dengan

orang luar itu berbahaya karena bisa merusak mental orang Indonesia.Terima kasih. P16 Saya mau menyanggah

pendapat bahwa sosial media menyita waktu, sedikit-dikit update status

alay, dsb. Kata siapa sosial

media tidak berguna? Saya sendiri di sini SM A 6 kelas

akselarasi, tahu kan SM A 6? Saya punya banyak teman di kelas akselarasi jadi yang

memiliki sosial media itu bukan hanya untuk kaum

alay. Di Facebook contohnya

banyak orang yang

menget ag ilmu-ilmu yang

berguna. M emang banyak menyita informasi untuk

gedget dsb., tetapi untuk

mencari informasi yang berguna. Askar mengatakan situs porno dll. itu dari luar negeri boy , itu kan budaya

asing. Situs porno sudah diblokir sama menteri

komunikasi.

K4 Interupsi! Sosial media merupakan salah satu bentuk globalisasi yang membunuh kebudayaan kita sendiri cuy.

Kemana permainan tradisional seperti eng-engan, gobak sodor, dll. budaya kita banyak

yang dibunuh. Karena

globalisasi yang di bawa dari luar negeri sono t uh! ,

masyarakat Indonesia banyak yang lebih condong pada kebudayaan luar! Terima kasih.

Keterangan: Rsp = Responden P = Pendebat K = Kontra

Analisis yang dilakukan berdasarkan sepuluh aspek, yakni memberikan pendapat, menerima pendapat orang lain, menanggapi pendapat orang lain, kemampuan mempertahankan pendapat, kelancaran berbicara, kenyaringan berbicara, keberanian berbicara, ketepatan struktur dan kosakata, ekpresi dan gestur, dan penguasaan topik.


(22)

Aspek pertama, subjek yang masuk tim kontra mendapatkan nilai tertinggi karena aktif memberikan pendapat dan memberikan sanggahan. Hal ini dapat dilihat pada tabel di atas, subjek dengan kode Kontra 4 (K4) mampu mempertahankan pendapatnya pada saat berdebat. Selain itu, argumentasi yang dikemukakan subjek juga sangat sesuai dengan topik perdebatan yaitu tentangKontroversi Sosial Media di Kalangan Remaja.

Apek kedua, subjek mendapatkan nilai rendah untuk aspek ini karena subjek belum bisa menerima pendapat orang lain.“Kemudian Cicik bilang harus tahu waktu kapan untuk sekolah dsb. Sedangkan orang Indonesia kebanyakan ketagihan dan tidak mengenal waktu.” Pendapat di atas menunjukkan subjek belum bisa mengapresiasi pendapat lawan debatnya. Selain itu. pada saat pendapatnya disanggah subjek terlihat seperti tidak terima dan langsung mengatakan dengan nada tinggi, “Interupsi! Sosial media merupakan salah satu bentuk globalisasi…” Subjek juga belum bisa mengontrol emosi pada saat menyampaikan pendapatnya, nada bicara subjek yang tinggi dinilai teman-temanya sebagai pemantik emosi lawan debatnya seperti pada saat subjek mengatakan, “Kemana permainan tradisional seperti eng-engan, gobak sodor, dll. budaya kita banyak yang dibunuh. Karena globalisasi yang di bawa dari luar negeri sono tuh! Masyarakat Indonesia banyak yang lebih condong pada kebudayaan luar! Terima kasih.”Kelompok lawan berkali-kali mengingatkan subjek agar menurunkan nada bicaranya yang mengeras layaknya seperti orang marah.

Aspek ketiga, sebetulnya subjek cukup aktif menanggapi pendapat tim pro hanya saja sikap sopan dan bahasa yang santun belum tampak pada saat dia menyampaikan sanggahan. Berikut kutipan kalimat yang diucapkan subjek, “… globalisasi yang di bawa dari luar negeri sono tuh! Masyarakat Indonesia banyak yang lebih condong pada kebudayaan luar!” Meskipun argumentasi yang dikemukakan subjek sangat rasional dan masuk akal tetapi cara subjek dalam menyampaikan argumentasinya belum menunjukkan bahasa yang santun. Kesantunan berbicara sangat penting untuk memanajemen keterampilan berbicara agar tidak menyakiti perasaan orang lain.

Aspek keempat, ditinjau dari segi kemampuan mempertahankan pendapat, argumentasi subjek dinilai cukup baik dalam mempertahankan pendapat. Subjek cukup maksimal mempertahankan pendapatnya dan contoh-contoh yang dikemukakan sangat relevan dengan topik perdebatan. Berikut kutipannya, “…sosial media terdapat situs-situs yang menyediakan kencan dengan orang luar itu berbahaya karena bisa merusak mental orang Indonesia. Terima kasih.”

Aspek kelima, subjek cukup lancar berbicara meskipun beberapa kali subjek terlihat terhenti berbicara untuk berpikir. Namun, apa yang dilakukan subjek dinilai lebih baik jika dibandingkan dengan teman-temannya yang seringkali melihat teks ketika berbicara. Praktik berbicara diorientasikan agar siswa mampu memproduksi ide atau gagasan tanpa melihat teks.

Aspek keenam, nada bicara subjek yang tinggi dan keras membuat suara subjek mampu terdengar sampai bangku baris belakang. Subjek juga tidak terganggu


(23)

konsentrasinya pada saat teman-teman di kelasnya banyak yang ribut. Kenyaringan suara subjek cukup terdengar meskipun dalam suasana kelas ribut sekalipun.

Aspek ketujuh keberanian berbicara, subjek mendapatkan nilai cukup dari aspek ini karena pembawaan subjek yang tenang dalam berbicara membuat keberaniannya pun muncul. Subjek tampak tenang meskipun kadang masih terlihat sedikit gugup.

Aspek kedelapan, ketepatan struktur dan kosakata subjek masih ada beberapa kata yang tidak mendapatkan imbuhan secara tepat, misalnya kata “manfaat, tipuan, habis, kebanyakan, manfaat, dibunuh, dan banyak.” Perbaikannya seharusnya kata-kata tersebut ditambahkan imbuhan baik berupa prefiks, infiks, sufiks, maupun konfiks sehingga menjadi “Memanfaatkan, penipuan, kehabisan, banyak, bermanfaat, terbunuh, dan kebanyakan.

Aspek kesembilan, ekspresi dan gestur subjek masih terdapat kekurangan karena subjek belum bisa menggunakan tangan sebagai isyarat pendukung ketika berbicara. Ekspresi subjek juga teramati masih monoton karena kurangnya kontak mata dengan lawan debatnya.

Aspek penguasaan topik, subjek sudah menguasai topik karena beberapa contoh yang dikemukakan subjek sangat sesuai dengan situasi saat ini. Seperti pada kutipan berikut,“ ...Kemana permainan tradisional seperti eng-engan, gobak sodor, dll. budaya kita banyak yang dibunuh. Karena globalisasi yang di bawa dari luar negeri sono tuh! Masyarakat Indonesia banyak yang lebih condong pada kebudayaan luar! Terima kasih.

Tabel 2

Kutipan TranskripPostestKelas Ekperimen Rsp Kalimat yang Diucapkan

Pendebat (P)

Rsp Kalimat yang Diucapkan Penyanggah (K) K4 Saya mencoba menyimpulkan

perdebatan, menurut tim Pro guru spiritual itu ada yang baik. Dari tim Kontra jangan menyekutukan kita punya Allah. Tetapi pada dasarnya seseorang di saat galau butuh sosok figur untuk M emberikan pencerahan. Betul yang dikatakan tim Pro masih ada teman sebagai tempat untuk mencurahkan masalah dan mendapatkan motivasi. Kalau begitu, sudah ada teman


(24)

mengapa harus lari ke guru spiritual?

Kemudian, kita harus merenungkan dalam-dalam di hati kita, kan masih banyak orang baik mengapa harus ke guru spiritual? Saya juga mendengar dari tim Pro guru spiritual memberikan motivasi, misalkan seperti itu M ario Teguh juga dibilang sebagai guru spriritual? Kemudian M amah Dede guru spiritual ya? Teman kita juga bisa disebut guru spiritual?

M asalah Adi Bing Slamet, seseorang tidak akan tahu watak hanya dari rupa butuh waktu yang sangat lama untuk mengetahui detail orang tsb. Bagaimana mungkin ada keyakinan kita tidak akan terbawa guru spiritual, t et api

lambat laun makin lama mengobrol merasa nyaman orang tersebut akan terkena sirep.

P Berarti Askar membenarkan juga, tadi rizqi mengatakan sudah dewasa mengapa harus terpengaruh. Askar

telah membenarkan

kelompok Pro.

K4 AB: M aksud saya guru spiritual itu tidak perlu karena bisa memengaruhi kita ke jalan yang salah. M ungkin pada awalnya seperti Adi Bing Slamet senang mempunyai guru spiritual, akhirnya

kecomot -kecomot habis

semua. P5 Interupsi! Seperti yang

Faradita katakan guru spiritual itu jangan hanya

K4 AB:Intiny siklus hidup tidak selamanya di atas kadang di


(25)

satu, dua juga bisa biar kita

tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Kita membutuhkan sosok guru spiritual karena tidak semua orang dari kecil dibekali orang tuanya dengan bimbingan agama yang memadai. M asih banyak seseorang termasuk artis mungkin yang dari kecil

tidak mendapatkan

pendidikan agama.

bawah. Kita sudah belajar agama dan memiliki Allah.

P5 M engenai seseorang yang dari kecil tidak mendapatkan

pendidikan agama

bagaimana?

Kalau kasusnya seperti ini, seseorang tsb. mendapatkan pendidikan agama hanya dari sekolah, t et api dalam

lingkungan sehari-hari dia

tidak mendapatkan

pendidikan agama.Yangsaya

rasakan pendidikan agama di sekolah hanya materi, kemudian di lingkungan kita juga sama saja hanya cara sholat. Jadi, bagaimana aplikasi dalam kehidupan nyata dalam menghadapi persoalan kalau bekalnya hanya materi saja?

K4 Sebagai calon orang tua kita berpikir tidak bekal apa yang telah kita berikan untuk kehidupan anak kita kelak. Di dunia ada yang namanya sosialisasi, pendidikan agama tidak hanya di dapatkan di sekolah. Di masjid-masjid sekitar tempat tinggal kita buat apa banyak tempat ibadah kalau bukan sebagai tempat pendidikan agama.

Keterangan: Rsp = Responden P = Pendebat K = Kontra

Berdasarkan analisis terhadap kemampuan berbicara subjek 4 dalam pembelajar debat dengan tema Kontroversi Guru Spiritual di Kalangan Artis, dia memperoleh nilai 39 dengan kategori A, yaitu sangat baik dan merupakan nilai tertinggi pada hasil Postest di kelas ekperimen. Analisis yang dilakukan berdasarkan sepuluh aspek, yakni memberikan pendapat, menerima pendapat orang lain,


(26)

menanggapi pendapat orang lain, kemampuan mempertahankan pendapat, kelancaran berbicara, kenyaringan berbicara, keberanian berbicara, ketepatan struktur dan kosakata, ekpresi dan gestur, dan penguasaan topik.

Aspek pertama, subjek yang masuk tim kontra mendapatkan nilai tertinggi karena aktif memberikan pendapat dan memberikan sanggahan. Hal ini dapat dilihat pada tabel di atas subjek memberikan pendapat dan sanggahan sebanyak empat kali. (1) “Saya mencoba menyimpulkan perdebatan, menurut tim Pro guru spiritual itu ada yang baik. (2) Maksud saya guru spiritual itu tidak perlu karena bisa memengaruhi kita ke jalan yang salah. (3) Intinya siklus hidup tidak selamanya di atas kadang di bawah. (4) Kita sudah belajar agama dan memiliki Allah. Sebagai calon orang tua kita berpikir tidak bekal apa yang telah kita berikan untuk kehidupan anak kita kelak.”Selain itu, contoh-contoh yang diberikan subjek sangat relevan dengan situasi dan kondisi saat ini.

Apek kedua, subjek yang pada saat pretest belum bisa menerima pendapat orang lain. Hasilpostestmenunjukkan subjek sudah bisa menerima pendapat orang lain. Hal ini dibuktikan pada saat subjek mengatakan, “Betul yang dikatakan tim pro masih ada teman sebagai tempat untuk mencurahkan masalah dan mendapatkan motivasi.” Selain itu, subjek juga sudah bisa mengontrol emosi pada saat menyampaikan pendapatnya, nada bicara subjek yang tinggi pada saatpretesttidak terjadi pada saatpostest. Subjek sudah bisa mengontrol nada suaranya menjadi lebih halus tanpa menghilangkan sikap kritis yang dimiliki subjek.

Aspek ketiga, subjek sangat aktif menanggapi pendapat tim pro disertai alasan dan bukti pendukung. Subjek juga sudah menunjukkan sikap sopan-santun saat menyanggah pendapat lawan debatnya. “Sebagai calon orang tua kita berpikir tidak bekal apa yang telah kita berikan untuk kehidupan anak kita kelak? Di dunia ada yang namanya sosialisasi, pendidikan agama tidak hanya di dapatkan di sekolah. Di masjid-masjid sekitar tempat tinggal kita buat apa banyak tempat ibadah kalau bukan sebagai tempat pendidikan agama.” Aspek positif lainnya, subjek dengan inisial AB mampu memberikan motivasi agar kawan-kawan yang lainnya berbicara. Subjek terlihat beberapa kali memberikan kesempatan berbicara kepada teman kelompoknya sehingga pembelajaran berdebat tidak didominasi oleh beberapa siswa saja.

Aspek keempat, ditinjau dari segi kemampuan argumentasi subjek dinilai sangat piawai dalam mempertahankan pendapat. Subjek sangat baik dan maksimal dalam mempertahankan pendapatnya. Selain itu, contoh-contoh yang dikemukakan sangat relevan dengan topik perdebatan. “Masalah Adi Bing Slamet, seseorang tidak akan tahu watak hanya dari rupa butuh waktu yang sangat lama untuk mengetahui detail orang tsb. Bagaimana mungkin ada keyakinan kita tidak akan terbawa guru spiritual? tetapi lambat laun makin lama mengobrol merasa nyaman orang tersebut akan terkena sirep.”

Aspek kelima, subjek sangat lancar berbicara tanpa melihat teks. Kelancaran ini juga ditunjukkan dengan lafal, intonasi, dan jeda yang tepat pada setiap kalimat yang diucapkan subjek. “Kemudian, kita harus merenungkan dalam-dalam di hati kita, kan masih banyak orang baik mengapa harus ke guru spiritual?”


(27)

Aspek keenam, kenyaringan suara. Nada bicara subjek yang tinggi dan keras membuat suara subjek mampu terdengar sampai bangku baris belakang. Subjek juga tidak terganggu konsentrasinya pada saat teman-teman di kelasnya banyak yang ribut. Dapat disimpulkan bahwa suara subjek cukup terdengar meskipun dalam suasana kelas ribut sekalipun.

Aspek ketujuh, keberanian berbicara. Subjek mendapatkan nilai baik dari aspek ini karena pembawaan subjek yang tenang dalam berbicara membuat apa yang ia kemukakan mudah dipahami. Subjek tampak tenang dan tanpa gugup menghadapai banyaknya sanggahan dari kelompok pro. “Maksud saya guru spiritual itu tidak perlu karena bisa memengaruhi kita ke jalan yang salah.”

Aspek kedelapan, aspek ketepatan struktur dan kosakata masih ada kesalahan pada penggunaan diksi atau pemilihan kosakata daerah pada kata kecomot-kecomotyang seharusnya diganti dengan kataterpengaruh, namun kesalahan tersebut jauh berkurang dibandingkan pada saatpretest.

Aspek kesembilan ekpresi dan gestur, pandangan mata subjek sudah terfokus dan disertai ekpresi dan isyarat tangan sebagai faktor pendukung subjek juga terlihat serius dalam menyampaikan setiap argumentasi.

Aspek terakhir, subjek sudah menguasai topik debat yaitu tentang Kontroversi Guru Spiritual di Kalangan Artis. Hal ini dibuktikan subjek sudah bisa membuat kalimat argumentatif yang disertai contoh teoritis dan contoh praktis. “Tetapi pada dasarnya seseorang di saat galau butuh sosok figur untuk Memberikan pencerahan.”

4. Pengujian Persyaratan Analisis Data

Di dalam analisis data ini, penulis menyajikan data hasil penelitian berupa hasil pembelajaran siswa kelompok ekperimen dan siswa kelompok kontrol, uji normalitas, uji homogenitas, uji beda rata-rata, dan uji hipotesis.

Tabel 3

Hasil Nilai Kemampuan Berdebat Siswa Parameter Kelompok

Ekperimen

Kelompok Kontrol

Gain

Pret es t

Post est Pret es

t

Post est Ekperimen Kontrol

Jumlah Siswa 25 25 25 25 25 25

Rata-rata 20,44 33,96 19,52 29,12 13,92 9,6

Standar Deviasi 2,72 3,07 3,28 2,47 2,83 3,34

Nilai M aksimal 25 39 25 33 -

-Nilai M inimal 13 28 11 22 -

-Penulis melakukan pengujian dengan uji normalitas kosmogorof-Smirnov untuk membuktikan kenormalan data yang terdapat di dalam fasilitas SPSS 17.0


(28)

dengan kriteria pengujian, yakni jikasig.hitung > alpha(a), data berdistribusi normal. Pada keadaan lain, data tersebut tidak berdistribusi normal.

Hasil pengujian normalitas data dilakukan dengan menggunakan program SPSS 17.0 melalui uji Kolmogorof-Smirnov. Uji ini menggunakan kriteria pengambilan keputusan, yakni apabila nilai sig.hitung > 0,05, dapat dikatakan bahwa data tersebut berdistribusi normal, sebaliknya apabila nilai sig.hitung < 0.50, dapat dikatakan bahwa data tersebut tidak berdistribusi normal. Berikut ini tabel hasil rekapitulasi pengujian normalitas datapretestdan postest dari kelas ekperimen dan kelas kontrol.

Tabel 4

Nilai Sig.hitung Uji Normalitas NilaiPretestKelas Ekperimen dan Kelas Kontrol

Kelompok Sig.hitung Df a+ Keterangan

Ekperimen Pret est 0,707 25 0,05 Berdistribusi normal Post est 0,674 25 0,05 Berdistribusi normal

Kontrol Pret est 0,785 25 0,05 Berdistribusi normal Post est 0,795 25 0,05 Berdistribusi normal

Tabel 5

Uji Homogenitas dengan Sig > 0,05

Parameter Fhitung >0,05 Keterangan

Pretes Kelas Ekperimen dan Kontrol 0,659 Ya Homogen Postest Kelas Ekperimen dan Kontrol 0,478 Ya Homogen

Gain 0,404 Ya Homogen

Berdasarkan tabel di atas diperoleh Sig adalah sebesar 0,659, dan 0,478. Hasil perhitungan di atas memenuhi kriteria sig > 0,05. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa data nilaipretes, postest, dan gain pada kelas ekperimen dan kelas kontrol memiliki variasi yang homogen.

Berdasarkan uji normalitas dan uji homogenitas yang telah dilakukan diketahui bahwa data nilaipretest, postest, dan gain pada kelas ekperimen dan kontrol berdistribusi normal dan homogen. Langkah selanjutnya adalah dilakukan uji beda rata-rata pada masing-masing kelas dengan menggunakan uji-t.

a. Uji Perbedaan Rata-RataPretestdanPostestdi Kelas Ekperimen

Berdasarkan uji perbedaan rata-rata yang dilakukan dengan program SPSS 17 diperoleh nilai t hitung 16,454 sementara nilai t tabel dengan taraf signifikasi 0,05 untuk df = 48 yaitu 2,021. Dapat dilihat bahwa t hitung yaitu 16,454 dan t tabel sebesar 2,021 atau 16,454 > 2,021. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa data signifikan. b. Uji Perbedaan Rata-RataPretestdanPostestdi Kelas Kontrol

Berdasarkan uji perbedaan rata-rata yang dilakukan dengan program SPSS 17 diperoleh nilai t hitung 11,686 sementara nilai t tabel dengan taraf signifikasi 0,05


(29)

untuk df = 48 yaitu 2,021. Dapat dilihat bahwa t hitung yaitu 11,686 dan t tabel sebesar 2,021. Jadi, dapat dikatakan bahwa data signifikan.

c. Uji Perbedaan Tes Akhir pada Kelas Eksperimen dengan Kelas Kontrol

Berdasarkan uji perbedaan rata-rata yang dilakukan dengan program SPSS 17 diperoleh nilai t hitung 4,476 sementara nilai t tabel dengan taraf signifikasi 0,05 untuk df = 48 yaitu 2,021. Dapat dilihat bahwa t hitung yaitu 4,476 dan t tabel sebesar 2,021.

Dengan membandingkan t hitung dengan nilai t tabel untuk taraf signifikasi a.=0,05, maka dicari pada t tebel yaitu 2,021 dengan kriteria pengujian jika t hitung > t tabel, artinya signifikan atau hipotesis tersebut benar atau diterima.

Ternyata t hitung lebih besar dari t tabel, atau 4,476 > 2,021, maka data hasil pembelajaran berdebat dengan menggunakan model tongkat berbicara berorientasi karakter sebagai bukti hipotesis bahwa terdapat perbedaan signifikan antara kemampuan berdebat siswa memperoleh model tongkat berbicara berorientasi karakter dengan kemampuan berdebat siswa yang menggunakan model terlangsung. D. SIMPULAN

Temuan hasil penelitian, pertama, pembelajaran berbicara khususnya kemampuan berdebat siswa masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini dikarenakan guru memperlakukan sama antara pembelajaran berbicara dengan pembelajaran membaca nyaring. Siswa sendiri cenderung menghafal teks yang disajikan guru bukan menyampaikan isi teks dengan bahasa sendiri. Selain itu, pembelajaran berdebat kurang memberikan pembagian giliran berbicara secara adil sehingga hanya siswa tertentu saja yang aktif berbicara. Dari segi model pembelajaran, penggunaan model terlangsung belum mampu mengukur, mengkoreksi, dan menumbuhkan karakter pada siswa.

Kedua, perlakuan model tongkat berbicara berorientasi karakter pada pembelajaran debat bertujuan membuat siswa memiliki kemampuan berbicara sekaligus akan beroleh pengembangan karakter sehingga pada akhirnya karakter positif akan membudaya pada diri siswa. Karakter-karakter positif sudah ditunjukkan siswa baik pada saat latihan berdebat maupun praktik berdebat menggunakan model tongkat berbicara berorientasi karakter. Hal ini telihat dari sikap sopan serta kesantunan bahasa yang ditunjukkan siswa.

Ketiga, hasil pembelajaran debat dengan menggunakan model tongkat berbicara berorientasi karakter lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran debat dengan menggunakan model terlangsung. Hal ini dapat dilihat pada hasil tes awal dan akhir di kelas ekperimen dengan kelas kontrol yang menunjukkan perbedaan. Artinya sebelum penerapan model dan sesudah penerapan model baik kelas ekperimen maupun kelas kontrol menunjukkan peningkatan.

Hasil analisisis uji beda berdasarkan tes akhir di kelas ekperimen dan kelas kontrol dengan membandingkan t hitung dengan nilai t tabel untuk taraf signifikasi a = 0,05, maka dicari pada t tabel = 2,021 dengan kriteria pengujian jika t hitung > t tabel, artinya signifikasi atau hipotesis tersebut benar dan diterima.


(30)

Ternyata t hitung > t tabel, atau 4,476 > 2,021, maka data hasil pembelajaran debat di kelas X SMAN 1 Palimanan Kabupaten Cirebon sebagai bukti hipotesis bahwa ada perbedaan yang signifikan antara hasil belajar siswa yang menggunakan model tongkat berbicara berorientasi karakter dengan hasil belajar siswa yang diberi pembelajaran model terlangsung.

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka peneliti menyampaikan beberapa saran sebagai upaya meningkatkan kemampuan berbicara khususnya kemampuan berdebat sebagai berikut.

Pertama, guru hendaknya melakukan berbagai kegiatan berbicara yang dapat dilakukan siswa. Kegiatan berbicara spontan sangat baik dijadikan sebagai latihan sebelum kegiatan berdebat dilakukan karena berbicara spontan bisa menggali kemampuan (skema) siswa berbicara dalam berbagai kondisi.

Kedua, pembelajaran berbicara dengan menggunakan teks boleh saja dilakukan dengan syarat teks tersebut adalah teks yang disusun oleh siswa sehingga siswa terbiasa mengolah, mengemas, dan menyampaikan gagasannya secara lisan. Selain itu, teks yang digunakan sebaiknya disesuaikan dengan tingkat pemahaman siswa.

Ketiga, walaupun keteterampilan berbicara bukanlah bagian dari Ujian Nasioanal, kemampuan berbicara merupakan atribut siswa yang akan digunakannya secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penting sekali pembinaan terhadap keterampilan ini terutama kaitannya dengan pembentukkan karakter positif .

Daftar Pustaka

Abidin, Yunus. (2012). Pembelajaran Bahasa Berbasis Pendidikan Karakter. Bandung: Refika Aditama.

Arsjad, Maidar G dan Mukti U.S. (1988).Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Depdiknas. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta: Balai Pustaka.

Nurjamal, Daeng dkk. (2011).Terampil Berbahasa. Bandung: Alfabeta.

Syamsuddin dan Vismaia S. Damaianti. (2006). Metode Penelitian Pendidikan Bahasa.Bandung: Rosdakarya.

Tarigan, H.G. (2008).Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.Bandung: Angkasa.

PEMBELAJARAN MENULIS KARANGAN EKSPOSISI ANALISIS PROSES


(31)

BERBASIS KECAKAPAN VOKASIONAL DENGAN METODE KOLABORASI

oleh

Elis Nurfatia Agung SMK Farmasi Bekasi 1 Abstrak:

Penelitian ini berjudul “Pembelajaran Menulis Karangan Eksposisi Analisis Proses Berbasis Kecakapan Vokasional dengan Metode Kolaborasi” (Eksperimen terhadap Siswa Kelas XI SMK Mutiara Baru Kota Bekasi Tahun Ajaran 2013/2014). Penelitian ini berlatar belakang pada adanya kebutuhan siswa terhadap pembelajaran menulis yang dapat mendukung kompetensi dasar siswa. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) mendeskripsikan profil kemampuan menulis siswa kelas XI SMK Mutiara Kota Bekasi, (2) mendeskripsikan langkah-langkah pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional dengan metode kolaborasi, (3) mendeskripsikan keefektifan metode kolaborasi dalam pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Hipotesis penelitian, yaitu metode kolaborasi efektif digunakan dalam pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional. Berdasarkan hasil perhitungan statistik diperoleh data bahwa t0= 5,24 ? t(0,05)(58)= 2,00, sehingga hipotesis yang diajukan penulis dapat diterima. Jadi, dapat disimpulkan bahwa metode kolaborasi efektif digunakan dalam pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional.

Kata kunci: Karangan eksposisi analisis proses, kecakapan vokasional, keefektifan, metode kolaborasi

A. PENDAHULUAN

Globalisasi menuntut segala aspek kehidupan untuk dapat meningkatkan sumber daya manusia agar dapat bersaing baik nasional maupun internasional. Mengingat hal tersebut, maka diperlukanlah penciptaan kompetensi sumber daya manusia yang mampu berkomunikasi dan berinteraksi sesuai dengan kebutuhan di lapangan.

Salah satu aspek yang dapat meningkatkan kompetensi sumber daya manusia adalah pendidikan, khususnya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). SMK sebagai lembaga pendidikan memiliki struktur kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kompetensi dunia kerja. Begitu pula dengan bahasa Indonesia. Sebagai mata pelajaran normatif, bahasa Indonesia dikhususkan agar siswa terampil berbahasa dalam berkomunikasi di dunia kerja. Melalui penguasaan kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia, peserta didik diarahkan, dibimbing, dan dibantu agar mampu berkomunikasi bahasa Indonesia secara baik dan benar. Pada era global, penggunaan


(32)

bahasa secara baik dan benar merupakan syarat mutlak di dunia kerja (BNSP, 2006:105).

Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dijelaskan bahwa salah satu kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia yaitu siswa terampil menulis wacana yang bercorak naratif, deskriptif, ekspositoris, dan argumentatif. Semua karangan tersebut disesuaikan dengan kompetensi keahlian peserta didik dalam konteks bekerja. Dalam pengertian, jenis karangan yang dihasilkan berkaitan dengan kecakapan vokasional atau keterampilan kerja yang mereka geluti.

Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan dengan beberapa guru bahasa Indonesia SMK, maka diperoleh kesimpulan bahwa jenis tulisan yang diperlukan oleh siswa SMK adalah jenis tulisan yang berisi paparan mengenai suatu prosedur kerja, terutama yang berkaitan dengan kecakapan vokasional yang digeluti oleh siswa. Secara substansi, kecakapan vokasional (vocational skill) sering kali disebut dengan keterampilan kerja. Dalam hal ini, kecakapan vokasional dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat dan dunia kerja. Sebab, dalam menghadapi kehidupan pada masa depan, mereka akan dihadapkan pada tuntutan untuk menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan, terutama masalah-masalah keterampilan yang berkaitan dengan dunia kerja (Illahi, 2012: 134). Oleh karena itu, penentuan jenis karangan yang tepat sangat dibutuhkan siswa dalam menuangkan ide kecakapan vokasional. Dalam hal ini, karangan eksposisi analisis proses dinilai tepat dan sesuai dengan kebutuhan siswa.

Dalam karangan eksposisi analisis proses, siswa dapat menjelaskan prosedur keterampilan kerja mulai dari tahap awal sampai tahap akhir secara detail. Analisis proses biasanya disusun secara kronologis: yang pertama dilaksanakan ini, kemudian itu, dan seterusnya. Kepintaran mengatur tahap-tahap yang berurutan logis serta kecakapan menjalankan langkah-langkah dengan baik dan konsekuen merupakan kunci keberhasilan seseorang untuk menulis sebuah karangan eksposisi analisis proses (Tarigan, 1982:79).

Kegiatan menulis merupakan suatu aktivitas yang kompleks. Hal ini disebabkan kemampuan menulis menghendaki penguasaan berbagai unsur kebahasaan dan unsur di luar bahasa itu sendiri yang akan menjadi isi tulisan. Baik unsur bahasa maupun unsur isi harus terjalin sedemikian rupa sehingga menghasilkan tulisan yang runtut dan padu (Iskandarwassid dan Sunendar, 2008: 248). Kegiatan menulis tidak dapat dipisahkan begitu saja dalam aktivitas siswa dalam pembelajaran. Selama siswa berada dalam ruang lingkup pendidikan, maka selama itu pula siswa harus mampu menulis sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah ditetapkan. Dengan demikian, siswa diharapkan akan memiliki wawasan yang luas dan mendalam mengenai topik yang ditulisnya (Akhadiah, 1988: 1).

Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan sebuah metode pembelajaran menulis yang dapat memfasilitasi siswa. Dengan kata lain, metode pembelajaran menulis yang digunakan harus terpusat pada siswa (student centered). Siswa harus dilibatkan dalam proses pembelajaran menulis agar pembelajaran yang dilakukan


(33)

dapat bermakna bagi siswa. Salah satu metode pembelajaran menulis yang tepat diterapkan pada siswa yaitu metode kolaborasi.

Dalam metode ini, siswa dapat bekerja sama untuk merancang, menyusun ide, bertukar pikiran, dan saling mengoreksi antarteman sejawat mengenai tulisan eksposisi analisis proses yang telah dibuat (Alwasilah dan Susanna, 2005: 21). Melalui metode ini pula, siswa akan terbantu untuk mengemukakan ide-ide sehingga tak lagi merasa kesulitan dalam menulis. Dengan demikian, pembelajaran yang dilakukan pun akan bermakna bagi siswa sehingga mampu menghasilkan spektrum manusia berkualitas, handal, dan berdaya saing tinggi.

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut. (a) Bagaimanakah profil kemampuan menulis siswa kelas XI Akuntansi SMK Mutiara Baru Kota Bekasi?; (b) Bagaimanakah proses pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional dengan menggunakan metode kolaborasi?; dan (c) Apakah metode kolaborasi efektif dalam pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional?

Adapun tujuan yang telah dicapai dalam penelitian ini, yaitu profil kemampuan menulis siswa sudah tergambarkan dengan jelas. Dalam profil kemampuan menulis siswa, diketahui bahwa kemampuan menulis siswa masih sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh motivasi yang kurang. Selain itu pula, siswa masih belum dapat menulis dengan ejaan yang baik. Masih banyak siswa yang menulis dengan kesalahan penulisan huruf kapital dan tanda baca. Selain itu, banyak pula siswa yang menulis dengan bentuk kata yang disingkat dan terkadang masih ada pula siswa yang mencampuradukkan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, ke dalam tulisannya.

Tujuan kedua dari penelitian ini yaitu pada gambaran proses pembelajaran, sudah dapat diidentifikasi bahwa pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional dilaksanakan dalam dua kali pertemuan. Hal ini disebabkan bahwa dalam metode kolaborasi membutuhkan proses yang sangat panjang. Selain itu, dalam pembelajaran menulis ini pula, diperlukan sebuah penyadaran terhadap kecakapan vokasional siswa agar dapat memberikan kontribusi pada saat menuliskannya ke dalam karangan eksposisi analisis proses.

Tujuan ketiga dari penelitian ini, yaitu adanya efektivitas penggunaan metode kolaborasi dalam pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional. Dari hasil perhitungan, diketahui bahwa t0=5,24 > t(0,05)(58)= 2,00. Hal ini membuktikan bahwa metode kolaborasi terbukti efektif dalam pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokaisonal.

B. METODE PENELITIAN

Fokus utama penelitian ini adalah efektivitas penerapan metode kolaborasi terhadap peningkatan kemampuan menulis dalam bentuk karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional. Untuk itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen dengan rancangan penelitianpretest-posttest control group design (Darmadi, 2011: 56). Dalam rancangan penelitian ini, perlakuan


(34)

diberikan kepada subjek penelitian dan dibandingkan dengan kelas kontrol yang digambarkan sebagai berikut.

Langkah-langkah penerapan desain pretest- posttest control group di atas adalah sebagai berikut, (a) tes awal (pretest)merupakan tes keterampilan menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional yang diberikan kepada kelas eksperimen, untuk mengetahui kemampuan awal siswa (O1) sebelum diberi perlakuan; (b) perlakuan (T) terhadap subjek penelitian dengan menggunakan metode kolaborasi; dan (c) tes akhir (posttest) untuk mengetahui hasil belajar siswa sebagai efek penggunaan metode kolaborasi.

Adapun populasi yang diambil dalam penelitian ini, yaitu keseluruhan siswa kelas XI Akuntansi SMK Mutiara Baru Kota Bekasi sedangkan sampel dalam penelitian ini, yaitu XI Akuntansi 1 sebagai kelas eksperimen dan XI Akuntansi 2 sebagai kelas kontrol yang diambil secara random kelas.

Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: (a) instrumen tes; (b) instrumen angket: (c) instrumen observasi: dan (d) instrumen wawancara. Sementara itu, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: (a) tes keterampilan menulis karangan eksposisi. Teknik tes tersebut dilakukan sebanyak dua tahap. Pretest, yaitu tes keterampilan menulis karangan eksposisi analisis proses yang dilakukan sebelum diberi perlakuan untuk mengukur kemampuan awal menulis siswa. Posttest, yaitu tes keterampilan menulis karangan eksposisi analisis proses yang dilakukan setelah diberi perlakuan untuk mengukur kemampuan akhir menulis siswa; (b) angket, digunakan untuk mengetahui pendapat siswa tentang pelajaran bahasa Indonesia terutama selama pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis proses diberlakukan. Tipe atau bentuk pertanyaan yang digunakan adalah pertanyaan tertutup yang mengharapkan jawaban singkat atau mengharapkan responden untuk memilih salah satu alternatif jawaban dari setiap pertanyaan yang tersedia; (c) observasi, dilakukan untuk mengetahui bagaimana sikap dan perilaku siswa dan guru, kegiatan yang dilakukan, tingkat partisipasi dalam suatu kegiatan, dan hasil yang diperoleh dari kegiatan yang telah dilakukan. Dalam penelitian ini, digunakan observasi langsung yaitu pengamatan yang dilakukan terhadap gejala atau proses yang terjadi dalam situasi yang sebenarnya dan langsung diamati oleh pengamat; (d) wawancara, dilakukan untuk mengetahui bagaimana profil kemampuan menulis siswa. Selain itu wawancara juga dilakukan untuk mengetahui respon guru dan siswa mengenai pelaksanaan pembelajaran menulis dengan menggunakan metode kolaborasi.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Profil Kemampuan Menulis Siswa

Ada beberapa hal yang menyebabkan siswa kurang menyukai pembelajaran menulis. Salah satunya adalah kesulitan siswa dalam menentukan ide karangan. Hampir sebagian besar siswa mengatakan bahwa mereka kurang atau susah sekali berimajinasi dan memikirkan ide yang tepat untuk menulis. Hal inilah yang menjadi faktor utama dalam masalah menulis.


(1)

berbuat sesuai dengan keyakinan itu. Karangan argumentasi adalah suatu bentuk tulisan yang mengandung inferensi, implikasi, dan evidensi yang bertujuan mempengaruhi sikap, keyakinan, dan pendapat pembaca agar bertindak sesuai keyakinan penulis.

Ciri-ciri karangan argumentasi

Sesuai dengan pengertiannya maka untuk membedakan karangan argumentasi dengan karangan lainnya dapat dilihat dari ciri-ciri karangan argumentasi berikut ini.

a. Berisi argumen-argumen sebagai upaya pembuktian dalam mempertahankan atau menyanggah suatu pendapat atau sikap

b. Bertujuan meyakinkan pembaca agar mengikuti apa yang dikemukakan penulis

c. Menggunakan logika atau penalaran sebagai landasan berfikir d. Bertolak dari fakta-fakta atau evidensi-evidensi

e. Bersifat mendesakkan pendapat atau sikap kepada pembaca

f. Merupakan bentuk retorika yang sering digunakan dalam tulisan-tulisan ilmiah

3. Syarat-syarat karangan argumentasi

Untuk menghasilkan karangan argumentasi yang baik, penulis perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu :

Harus mengetahui benar pokok persoalan yang akan diargumentasikan berikut argumen-argumennya

Harus berusaha mengemukakan permasalahan dengan sejelas-jelasnya sehingga mudah dipahami pembaca

Menggunakan kata-kata denotatif dan susun dalam kalimat efektif sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman

Argumentasi harus mengandung kebenaran untuk mencapai logis dan benar Evidensi, baik bukti, contoh atau alasan-alasan harus dikemukakan

berdasarkan logika atau penalaran budi akal sehingga tersusunlah sebuah karangan argumentasi yang logis dan sistematis

3. Langkah-langkah karangan argumentasi

Menurut Rusyana dalam materi pokok keterampilan menulis, langkah-langkah menulis karangan argumentasi adalah :

1) Memilih menentukan pokok pembicaraan

2) Merumuskan pokok kalimat yang jelas dan membuat garis besar 3) Menetapkan tujuan

4) Mengumpulkan bahan yang berupa fakta, keterangan, kesaksian orang lain / ahli, dan lain-lain

5) Mempelajari pustaka, membuat catatan, kutipan, dan lain-lain

6) Menganalisis, menguji, membandingkan, menghubung-hubungkan fakta keterangan, kesaksian, catatan, kutipan, menguraikan, dan menyusun karangan dengan menarik dan logis, serta membuat kesimpulan atau ringkasan.


(2)

7) Membuat ulangan naskah karangan argumentasi guna perbaikan dan penyempurnaan (Rusyana, 1986:423)

Berdasarkan langkah-langkah menulis karangan argumentasi maka dapat dirumuskan sebagai berikut

1) memilih dan menentukan topik atau pokok pembicaraan 2) menentukan tujuan

3) mengumpulkan bahan

4) menyusun kerangka karangan

5) menyusun karangan (mengembangkan kerangka karangan menjadi sebuah karangan)

III. Metode Penelitian

Metode Penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen kuasi yaitu metode penelitian yang menekankan pada aspek ujicoba pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dalam pembelajaran menulis karangan argumentasi. Rancangan atau desain penelitian Preetest-Posttest With Control Group

Design yaitu memberikan suatu perlakuan kepada subjek penelitian dan

dibandingkan dengan kelas kontrol yang digambarkan sebagai berikut

Kelompok Pretest Perlakuan Post test

A 01 T 02

B 01 - 02

(Fraenkel & Wallen, 1990; 122) Keterangan :

X1 = kelompok eksperimen X2 = kelompok kontrol

01 = pretest dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan awal dan siswa tentang kemampuan menulis karangan argumentasi

T = Setelah ada gambaran kemampuan menulis siswa kepada subjek penelitian diberi perlakuan berupa pembelajaran kooperatif. Langkah-langkah penerapan desain pretest dan postest group di atas adalah sebagai berikut:

1. Tes awal (pretest) merupakan test keterampilan menulis karangan argumentasi yang diberikan kepada kelas eksperimen, untuk mengetahui kemampuan awal siswa (01) sebelum diberi perlakuan.

2. Memberi perlakuan (T) terhadap subjek penelitian dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, dengan prosedur pembelajarannya sebagai berikut:

a. Kelas dibagi-bagi atas kelompok-kelompok kecil, terdiri dan 4 atau 6 orang siswa gabungan dari siswa yang pandai, sedang, dan kurang pandai. Kelompok yang terbentuk ini disebut home group (kelompok asal)


(3)

melakukan suatu kegiatan; menjawab soal pilihan ganda dan uraian pada lembar kerja siswa. Dengan adanya tugas ini, maka anggota kelompok yang bernomor sama akan membentuk kelompok baru yang disebut expert group (kelompok ahli). Waktu yang diberikan kepada expert group untuk menyelesaikan tugas ini hanya 15 menit. c. Setelah bekerja di expert group kemudian kembali ke home group

untuk menyampaikan kepada rekan sekelompoknya. Mereka diskusi / tukar pengalaman selama 45 menit. Selama siswa diskusi, guru berperan sebagai observer dan fasilitator, mengawasi anggota-anggota kelompok agar semuanya aktif, serta mengarahkan mereka di dalam belajar. Pembelajaran kooperatif dilaksanakan selama tiga pertemuan (satu pertemuan = dua jam pelajaran = 90 menit)

d. Di setiap akhir pertemuan, siswa diberi soal keterampilan menulis karangan argumentasi untuk mengetahui tingkat penguasaan keterampilan menulis karangan argumentasi.

3. Setelah pembelajaran keterampilan menulis karangan argumentasi dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw

kemudian dilaksanakan tes akhir (post test) untuk mengetahui hasil belajar siswa sebagai efek penggunaan model pembelajaran kooperatif Teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Teknik Tes

Jenis tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes tertulis dengan bentuk soal uraian dan soal objektif pilihan berganda dengan empat alternatif jawaban. Teknik tes digunakan untuk mengukur kemampuan siswa atau hasil belajar siswa dalam menulis paragraf dengan menggunakan modeljigsawdi kelas eksperimen.

b. Observasi

Observasi digunakan untuk mendapatkan informasi tentang kualitas pembelajaran menulis paragraf dengan menggunakan modeljigsaw. c. Angket

Angket yang digunakan dalam penelitian ini yaitu angket respon siswa Populasi dalam penelitian ini adalah data seluruh karangan siswa kelas X SMK PGII 2 Bandung yang terdiri dari 4 kelas dengan jumlah siswa 163 orang.

Sampel penelitian ini diambil secara acak dua dari 4 kelas paralel yang ada di SMK PGII 2 Bandung. Kemudian dari dua kelas yang dipilih diadakan undian secara acak, selanjutnya ditentukan kelas eksperimen dan kelas kontrol. Diperoleh kelas 2-1 sebagai kelas eksperimen dan 2-3 sebagai kelas kontrol. Kelas eksperimen (2-1) sebanyak 40 orang sedangkan kelas kontrol (2-3) sebanyak 42 orang. Dari 4 kelas paralel, satu kelas termasuk


(4)

kurang yaitu kelas 2.3. undian secara acak hanya dilakukan pada 4 kelas yaitu kelas 2.1, 2.2, 2.3, dan 2.4.

IV. Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan hasil data pretes menulis karangan argumentasi dengan menggunakan teknik jigsaw kelompok eksperimen berdistribusi normal, karena X2hitung(20.80) < X2tabel(55.8) pada p < 0.01. Artinya data hasil pretes menulis karangan argumentasi dengan menggunakan teknik jigsaw siswa SMK PGII 2 Bandung berdistribusi normal.

Data postes hasil belajar menulis karangan argumentasin kelompok eksperimen dengan menggunakan teknik jigsaw berdistribusi normal karena X2 hitung (0.33)< X2 tabel (5.58) pada p<0.01, artinya data postes hasil belajar menulis karangan argumentasi kelompok eksperimen dengan menggunakan teknik jigsaw di SMK PGII 2 Bandung berdistribusi normal. Data pretes hasil belajar menulis karangan argumentasi kelompok kontrol dengan menggunakan ekspositori berdistribusi normal, karena X2 hitung (6.90)< X2 tabel (55.8) pada p < 0.01, artinnya data pretes hasil belajar menulis karangan argumentasi dengan menggunakan ekspositori siswa SMK PGII 2 Bandung berdistribusi normal

Data postes hasil belajar menulis karangan argumentasi kelompok kontrol dengan menggunakan ekspositori berdistribusi normal, karena X2 hitung (1.585)< X2 tabel (55.8) pada p < 0.01, artinnya data postes hasil belajar menulis karangan argumentasi dengan menggunakan ekspositori siswa SMK PGII 2 Bandung berdistribusi normal

Pengujian hipotesis

Hipotesis yang diuji dengan menggunakan uji perbedaan dua rata-rata antara hasil pretes dan postes kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sebagai berikut.

Pasangan Variabel df thitung ttabel Tafsiran

Pretes kel. eksperimen – kel kontrol menulis karangan argumentasi

82 0.37 1.64 Signifikan

Postes kel. eksperimen – kel kontrol menulis karangan argumentasi

82 1.63 1.67 Signifikan

V. Kesimpulan dan Saran

Pembelajaran menulis karangan argumentasi dengan menggunakan model kooperatif tipe jigsaw lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran menulis karangan argumentasi dengan menggunakan model ekspositori.


(5)

Hasil belajar menulis karangan argumentasi dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran menulis karangan argumentasi dengan menggunakan model ekspositori

Kualitas pembelajaran menulis karangan argumentasi dengan menggunakan model jigsaw lebih tinggi dibandingkan dengan pembelajaran menulis karangan argumentasi dengan menggunakan model ekspositori

Saran penulis mengenai model pembelajaran menulis karangan argumentasi dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw layak dipertimbangkan sebagai model pembelajaran alternatif karena model ini dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis karangan argumentasi.

VI. Daftar Pustaka

Achyar,dkk.1998. Cooperative Learning Strategies in The Teaching of

General Science at Lower Secondary Level.Bandung. PPPGT

Arend, R.I. 1997. Classroom Instructional and Management. New York: Mc. Graw Hill

Berg, Euwe Van Den (Ed).1991. Salah konsep Fisika dan Remidiasi.

UKSW: Salatiga

Fraenkel, J. R. dan Wallen, N. E. 1990. How to Design and Evaluate

Research in Education. New York: Mc Graw-Hill Publishing

Company.

Keraf, G. 2001.Komposisi. Ende Flores : Nusa Indah

Paul, S. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta : Kanisius

Lasmawan, Wayan. 1997. Pengembangan Model Belajar Cooperatif Learning

Dalam Pembelajaran IPS di Sekolah dasar (SD) Studi Pembelajaran Pada Siswa Kelas V SD Di Kota Bangli Provinsi Bali. Tesis. PPS IKIP Bandung Laundgren, L. 1995. Cooperative Learning in The

Science ClassroomGlencoe New York: Mc. Graw Hill

Lie, Anita. 1999. Metode Pembelajaran Gotong Royong. Universitas Kristen Petra Surabaya. Surabaya.

Ratna, W.D. 1988.Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga

Rusyana, Yus. 1986. Materi Pokok Keterampilan Menulis. Jakarta : Karunika UT

Slavin, Robert. 1995.Cooperative Learning Theory, Research and Practice. Massachusetts, USA : Allyn & Bacon

Stahl, R.J. 1994. Cooperative Learning and Social Studies. Hanbook for Teacher. USA : Kane Publishing Service. Inc


(6)

Suparno. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta : Penerbit Kanisius

Widada, P. 1999. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika SMUyang Berorientasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw. Tesis. IKIP Surabaya