Perkembangan Hama dan Penyakit Kubis dan Tomat pada Tiga Sistem Budidaya Pertanian di Desa Sukagalih Kecamatan Megamendung Kabupaten Bogor

(1)

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT KUBIS DAN

TOMAT PADA TIGA SISTEM BUDIDAYA PERTANIAN DI

DESA SUKAGALIH KECAMATAN MEGAMENDUNG

KABUPATEN BOGOR

oleh :

SRI WAHYUNI A44102050

PROGRAM STUDI PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

ABSTRAK

SRI WAHYUNI. Perkembangan Hama dan Penyakit Kubis dan Tomat pada Tiga Sistem Budidaya Pertanian di Desa Sukagalih, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh DADANG dan ABDJAD ASIH NAWANGSIH.

Kubis dan tomat merupakan contoh komoditas sayuran yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Namun masih banyak kendala-kendala yang membatasi produksi sayuran tersebut, salah satunya adalah serangan hama dan penyakit. Petani mengatasi serangan hama dan penyakit menggunakan pestisida sintetik secara berjadwal yang lebih dikenal dengan sistem pertanian konvensional.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan intensitas dan luas serangan hama dan penyakit, pengamatan musuh alami serta kuantitas produksi pada pertanaman kubis dan tomat dalam tiga sistem budidaya pertanian konvensional, input rendah dan organik. Penelitian dilaksanakan di Desa Sukagalih Kecamatan Megamendung Kabupaten Bogor, Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Laboratorium Biosistematika Serangga, Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor mulai bulan September sampai bulan Desember 2005.

Metode penelitian meliputi persiapan lahan: konvensional monokultur (KM) dan tumpang sari (KT), input rendah monokultur (LM) dan tumpang sari (LT) serta organik monokultur (OM) dan tumpang sari (OT) dengan dosis pupuk yang berbeda. Penanaman bibit kubis dan tomat. Pengamatan yang dilakukan meliputi luas dan intensitas serangan hama dan penyakit sebanyak sepuluh tanaman contoh untuk setiap lahan perlakuan. Data yang diperoleh merupakan hasil rata-rata setiap minggunya.

Hama utama yang ditemukan pada tanaman kubis adalah Plutella xylostella dengan populasi tertinggi pada lahan OM dan Crocidolomia pavonana populasi tertinggi pada lahan LM, sedangkan penyakitnya adalah busuk hitam Xanthomonas campestris dan bercak daun alternaria Alternaria spp. dengan intensitas tertinggi pada lahan LM. Sedangkan hama pada tomat adalah Bemisia sp teringgi pada lahan LT, dengan penyakit busuk daun Phytophthora infestans dan bercak daun alternaria Alternaria solani dengan intensitas yang bervariasi.

Produksi tanaman kubis maupun tomat tertinggi dihasilkan pada lahan konvensional (tanaman contoh maupun petak). Dengan tingkat serangan hama dan penyakit yang relatif lebih rendah daripada lahan input rendah dan organik sehingga tingkat pertumbuhannya lebih cepat.


(3)

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT KUBIS

DAN TOMAT PADA TIGA SISTEM BUDIDAYA PERTANIAN

DI DESA SUKAGALIH KECAMATAN MEGAMENDUNG

KABUPATEN BOGOR

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

oleh :

SRI WAHYUNI A44102050

PROGRAM STUDI PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(4)

Judul Skripsi : Perkembangan Hama dan Penyakit Kubis dan Tomat pada Tiga Sistem Budidaya Pertanian di Desa Sukagalih Kecamatan Megamendung Kabupaten Bogor

Nama : Sri Wahyuni NRP : A44102050

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Dadang, MSc. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi. NIP. 131879337 NIP.131869954

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr. NIP. 130422698


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, pada tanggal 30 Januari 1984 sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Maman dan Ibu Dedeh.

Tahun 2002 penulis lulus dari SMUN 2 Bogor dan pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Departemen Proteksi Tanaman melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama perkuliahan penulis pernah magang di Laboratorium Biosistematika Serangga selama satu semester pada tahun 2003. Selain itu penulis pernah menjadi asisten dosen mata ajaran Proteksi Tanaman tahun ajaran 2004/2005 dan mata ajaran Pestisida dan Teknik Aplikasi tahun 2005/2006.


(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas bantuan dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “ Perkembangan Hama dan Penyakit Kubis (Brassica oleracea Linn) dan Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) pada Tiga Sistem Budi Daya Pertanian di Desa Sukagalih, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor” yang mulai dilaksanakan pada bulan September sampai Desember 2005.

Skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran tentang tiga sistem budi daya pertanian yaitu konvensional, input rendah dan organik.

Selama melakukan penelitian sampai tersusunnya skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih, terutama kepada kedua orang tua yang selalu memberikan doa dan dukungannya demi terselesaikannya penelitian ini dengan baik, kepada Dr. Ir Dadang, MSc. dan Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini, kepada Dr. Ir. Kikin H Mutaqin, MSi. selaku dosen penguji atas saran dan bantuannya dalam penyusunan skripsi ini, kepada Pak Mubaraq, Ratna yang selalu memberikan saran dan bantuannya di lapangan, Yuni yang selalu siap membantu di laboratorium (bakteri) dan Pak Agus atas bantuannya, teman seperjuangan Warti atas semua bantuan, dan sarannya. Kepada Ramdan atas bantuan dan dukungannya serta rekan-rekan HPT angkatan 39 Dian, Trias, Arbani, Dewi dan pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan, saran dan semangat kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan skripsi ini.

Bogor, Mei 2006


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Budidaya Tanaman Kubis ... 4

Budidaya Tanaman Tomat ... 4

Hama dan Penyakit Utama Kubis ... 5

Hama dan Penyakit Utama Tomat ... 9

Sistem Budidaya Pertanian Konvensional ... 11

Sistem Budidaya Pertanian Input Rendah ... 12

Sistem Budidaya Pertanian Organik ... 13

BAHAN DAN METODE ... 14

Tempat dan Waktu ... 14

Metode Penelitian ... 14

Persiapan lahan ... 14

Persemaian benih kubis dan tomat ... 14

Penanaman bibit kubis dan tomat ... 15

Penggunaan pupuk ... 15

Aplikasi pestisida/penyemprotan ... 15

Pengamatan hama, penyakit dan musuh alami ... 16

Perhitungan intensitas dan luas serangan hama dan penyakit .... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

Lokasi Penelitian ... 19

Hama dan Tingkat Parasitisasi (Musuh Alami) ... 19

Penyakit Tanaman Kubis ... 24

Hama dan Penyakit Tanaman Tomat ... 27


(8)

Arthropoda Tanah ... 34

KESIMPULAN ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38


(9)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman Teks

1 Populasi P. xylostella (ekor/tanaman) pada sistem pertanian

organik, input rendah dan konvensional ... 20

2 Populasi C. pavonana (ekor/tanaman) pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ... 21

3 Intensitas serangan Xanthomonas campestris pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ... 24

4 Gejala penyakit busuk hitam di lapangan, isolasi bakteri X. campestris pada media YDC ... 25

5 Intensitas serangan Alternaria sp. pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ... 26

6 (a) Gejala serangan Alternaria spp., pada daun kubis ... 27

(b)Konidia Alternaria spp.,Gejala penyakit akar gada ... 27

(c) Gejala penyakit akar gada ... ... 27

7 Populasi Bemisia sp. (ekor/tanaman) pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ... 28

8 Intensitas serangan Phytophthora infestans pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ... 29

9 Gejala serangan P. infestans ... 30

10 Intensitas serangan Alternaria solani pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ... 30

11 Tinggi tanaman tomat pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ... 31


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman Teks

1 Tingkat parasitisasi (%) P. xylostella oleh Diadegma sp. ... 23 2 Tingkat parasitisasi (%) P. xylostella oleh Apanteles sp. ... 23 3 Intensitas serangan Plasmodiophora brassicae pada sistem

pertanian organik, input rendah dan konvensional ... 27 4 Produksi kubis pada sistem pertanian organik, input rendah dan

konvensional ... 32 5 Produksi tomat pada sistem pertanian organik, input rendah dan

konvensional (kg)... 33 6 Keragaman arthropoda tanah pada pertanaman kubis dengan

sistem penanaman tumpang sari dan monokultur ... 35 7 Keragaman arthropoda tanah dari pertanaman kubis dan tomat

pada tiga sistem budidaya (konvensional, input rendah,


(11)

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT KUBIS DAN

TOMAT PADA TIGA SISTEM BUDIDAYA PERTANIAN DI

DESA SUKAGALIH KECAMATAN MEGAMENDUNG

KABUPATEN BOGOR

oleh :

SRI WAHYUNI A44102050

PROGRAM STUDI PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(12)

ABSTRAK

SRI WAHYUNI. Perkembangan Hama dan Penyakit Kubis dan Tomat pada Tiga Sistem Budidaya Pertanian di Desa Sukagalih, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh DADANG dan ABDJAD ASIH NAWANGSIH.

Kubis dan tomat merupakan contoh komoditas sayuran yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Namun masih banyak kendala-kendala yang membatasi produksi sayuran tersebut, salah satunya adalah serangan hama dan penyakit. Petani mengatasi serangan hama dan penyakit menggunakan pestisida sintetik secara berjadwal yang lebih dikenal dengan sistem pertanian konvensional.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan intensitas dan luas serangan hama dan penyakit, pengamatan musuh alami serta kuantitas produksi pada pertanaman kubis dan tomat dalam tiga sistem budidaya pertanian konvensional, input rendah dan organik. Penelitian dilaksanakan di Desa Sukagalih Kecamatan Megamendung Kabupaten Bogor, Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Laboratorium Biosistematika Serangga, Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor mulai bulan September sampai bulan Desember 2005.

Metode penelitian meliputi persiapan lahan: konvensional monokultur (KM) dan tumpang sari (KT), input rendah monokultur (LM) dan tumpang sari (LT) serta organik monokultur (OM) dan tumpang sari (OT) dengan dosis pupuk yang berbeda. Penanaman bibit kubis dan tomat. Pengamatan yang dilakukan meliputi luas dan intensitas serangan hama dan penyakit sebanyak sepuluh tanaman contoh untuk setiap lahan perlakuan. Data yang diperoleh merupakan hasil rata-rata setiap minggunya.

Hama utama yang ditemukan pada tanaman kubis adalah Plutella xylostella dengan populasi tertinggi pada lahan OM dan Crocidolomia pavonana populasi tertinggi pada lahan LM, sedangkan penyakitnya adalah busuk hitam Xanthomonas campestris dan bercak daun alternaria Alternaria spp. dengan intensitas tertinggi pada lahan LM. Sedangkan hama pada tomat adalah Bemisia sp teringgi pada lahan LT, dengan penyakit busuk daun Phytophthora infestans dan bercak daun alternaria Alternaria solani dengan intensitas yang bervariasi.

Produksi tanaman kubis maupun tomat tertinggi dihasilkan pada lahan konvensional (tanaman contoh maupun petak). Dengan tingkat serangan hama dan penyakit yang relatif lebih rendah daripada lahan input rendah dan organik sehingga tingkat pertumbuhannya lebih cepat.


(13)

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT KUBIS

DAN TOMAT PADA TIGA SISTEM BUDIDAYA PERTANIAN

DI DESA SUKAGALIH KECAMATAN MEGAMENDUNG

KABUPATEN BOGOR

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

oleh :

SRI WAHYUNI A44102050

PROGRAM STUDI PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(14)

Judul Skripsi : Perkembangan Hama dan Penyakit Kubis dan Tomat pada Tiga Sistem Budidaya Pertanian di Desa Sukagalih Kecamatan Megamendung Kabupaten Bogor

Nama : Sri Wahyuni NRP : A44102050

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Dadang, MSc. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi. NIP. 131879337 NIP.131869954

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr. NIP. 130422698


(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, pada tanggal 30 Januari 1984 sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Maman dan Ibu Dedeh.

Tahun 2002 penulis lulus dari SMUN 2 Bogor dan pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Departemen Proteksi Tanaman melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama perkuliahan penulis pernah magang di Laboratorium Biosistematika Serangga selama satu semester pada tahun 2003. Selain itu penulis pernah menjadi asisten dosen mata ajaran Proteksi Tanaman tahun ajaran 2004/2005 dan mata ajaran Pestisida dan Teknik Aplikasi tahun 2005/2006.


(16)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas bantuan dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “ Perkembangan Hama dan Penyakit Kubis (Brassica oleracea Linn) dan Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) pada Tiga Sistem Budi Daya Pertanian di Desa Sukagalih, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor” yang mulai dilaksanakan pada bulan September sampai Desember 2005.

Skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran tentang tiga sistem budi daya pertanian yaitu konvensional, input rendah dan organik.

Selama melakukan penelitian sampai tersusunnya skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih, terutama kepada kedua orang tua yang selalu memberikan doa dan dukungannya demi terselesaikannya penelitian ini dengan baik, kepada Dr. Ir Dadang, MSc. dan Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini, kepada Dr. Ir. Kikin H Mutaqin, MSi. selaku dosen penguji atas saran dan bantuannya dalam penyusunan skripsi ini, kepada Pak Mubaraq, Ratna yang selalu memberikan saran dan bantuannya di lapangan, Yuni yang selalu siap membantu di laboratorium (bakteri) dan Pak Agus atas bantuannya, teman seperjuangan Warti atas semua bantuan, dan sarannya. Kepada Ramdan atas bantuan dan dukungannya serta rekan-rekan HPT angkatan 39 Dian, Trias, Arbani, Dewi dan pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan, saran dan semangat kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan skripsi ini.

Bogor, Mei 2006


(17)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Budidaya Tanaman Kubis ... 4

Budidaya Tanaman Tomat ... 4

Hama dan Penyakit Utama Kubis ... 5

Hama dan Penyakit Utama Tomat ... 9

Sistem Budidaya Pertanian Konvensional ... 11

Sistem Budidaya Pertanian Input Rendah ... 12

Sistem Budidaya Pertanian Organik ... 13

BAHAN DAN METODE ... 14

Tempat dan Waktu ... 14

Metode Penelitian ... 14

Persiapan lahan ... 14

Persemaian benih kubis dan tomat ... 14

Penanaman bibit kubis dan tomat ... 15

Penggunaan pupuk ... 15

Aplikasi pestisida/penyemprotan ... 15

Pengamatan hama, penyakit dan musuh alami ... 16

Perhitungan intensitas dan luas serangan hama dan penyakit .... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

Lokasi Penelitian ... 19

Hama dan Tingkat Parasitisasi (Musuh Alami) ... 19

Penyakit Tanaman Kubis ... 24

Hama dan Penyakit Tanaman Tomat ... 27


(18)

Arthropoda Tanah ... 34

KESIMPULAN ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38


(19)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman Teks

1 Populasi P. xylostella (ekor/tanaman) pada sistem pertanian

organik, input rendah dan konvensional ... 20

2 Populasi C. pavonana (ekor/tanaman) pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ... 21

3 Intensitas serangan Xanthomonas campestris pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ... 24

4 Gejala penyakit busuk hitam di lapangan, isolasi bakteri X. campestris pada media YDC ... 25

5 Intensitas serangan Alternaria sp. pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ... 26

6 (a) Gejala serangan Alternaria spp., pada daun kubis ... 27

(b)Konidia Alternaria spp.,Gejala penyakit akar gada ... 27

(c) Gejala penyakit akar gada ... ... 27

7 Populasi Bemisia sp. (ekor/tanaman) pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ... 28

8 Intensitas serangan Phytophthora infestans pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ... 29

9 Gejala serangan P. infestans ... 30

10 Intensitas serangan Alternaria solani pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ... 30

11 Tinggi tanaman tomat pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ... 31


(20)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman Teks

1 Tingkat parasitisasi (%) P. xylostella oleh Diadegma sp. ... 23 2 Tingkat parasitisasi (%) P. xylostella oleh Apanteles sp. ... 23 3 Intensitas serangan Plasmodiophora brassicae pada sistem

pertanian organik, input rendah dan konvensional ... 27 4 Produksi kubis pada sistem pertanian organik, input rendah dan

konvensional ... 32 5 Produksi tomat pada sistem pertanian organik, input rendah dan

konvensional (kg)... 33 6 Keragaman arthropoda tanah pada pertanaman kubis dengan

sistem penanaman tumpang sari dan monokultur ... 35 7 Keragaman arthropoda tanah dari pertanaman kubis dan tomat

pada tiga sistem budidaya (konvensional, input rendah,


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman Teks

1

(a) Lahan percobaan ... 41

(b) Lahan persemaian pada tiga sistem budidaya pertanian... 41

2 (a) Pertanaman kubis (monokultur) ... 41

(b) Pertanaman kubis-tomat (tumpang sari) ... 41

3 (a) Isolat X. campestris pada YDC ... 41

(b) Reaksi hipersensitif oleh X. campestris pv. campestris pada tembakau ... 41

4 Gejala serangan virus (gemini) oleh vektor Bemisia sp. pada tomat ... 42

5 Populasi Plutella xylostella pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional... 42

6 Populasi Crocidolomia pavonana pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ... 42

7 Intensitas serangan Xanthomonas campestris pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ... 43

8 Intensitas serangan Alternaria sp. pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ... 43

9 Intensitas serangan Phytopthhora infestans pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ... 43

10 Intensitas serangan Alternaria solani pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ... 43

11 Tinggi tanaman tomat pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ... 44

12 Populasi Bemisia sp. pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ... 44

13 Rata-rata curah hujan/minggu selama 10 kali pengamatan... 44

14 Parasitisasi Plutella xylostella (minggu ke-1)... 45

15 Parasitisasi Plutella xylostella (minggu ke-2) ... 46

16 Parasitisasi Plutella xylostella (minggu ke-3) ... 47

17 Parasitisasi Plutella xylostella (minggu ke-4) ... 48


(22)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman sayuran mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia, sebab sayuran sangat berguna bagi pemenuhan gizi manusia dan juga bagi pembangunan pertanian. Oleh sebab itu peningkatan produksi sayuran merupakan salah satu syarat mutlak untuk mencapai kesejahteraan umat manusia (Satsijati et al. 1987). Contoh komoditas sayuran yang banyak dibudidayakan adalah kubis (Brassica oleracea Linn.) dan tomat (Lycopersicon esculentum Mill.). Jenis sayuran ini banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia karena banyak mengandung zat-zat gizi (Sastrosiswojo et al. 2000) seperti, vitamin A dan C, protein, lemak, karbohidrat dan serat yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia. Sehubungan dengan semakin meningkatnya permintaan masyarakat terhadap dua komoditas sayuran ini dan didukung oleh kondisi iklim yang sesuai, maka banyak petani tertarik untuk membudidayakan kubis dan tomat. Namun demikian dalam budidaya tanaman ini masalah hama dan penyakit merupakan salah satu masalah yang sangat berpengaruh terhadap produksi kubis dan tomat baik segi kualitas maupun kuantitasnya.

Pada umumnya petani sayuran cenderung menggunakan pestisida secara berlebihan (Walangadi 2000), yang bertujuan untuk mengamankan produksi yang saat ini dikenal dengan pertanian konvensional. Menurut konsep pertanian konvensional ini, penggunaan pestisida dilakukan secara berjadwal yang dilakukan sebelum terjadi serangan hama dan penyakit, sebagai langkah awal pencegahan. Menurut Waibel (1994) faktor yang menyebabkan tingginya penggunaan pestisida di negara-negara berkembang adalah keengganan petani terhadap resiko dan tidak sempurnanya informasi tentang pestisida yang mereka peroleh.

Dalam sistem budidaya pertanian konvensional ini orientasi petani hanya pada upaya memaksimalkan produktivitas secara nyata namun kurang diikuti dengan kesadaran akan kemunduran kualitas lingkungan dan pengurangan stabilitas produksi oleh timbulnya biotipe atau strain hama baru,


(23)

2

terbentuknya senyawa beracun bagi tanaman dan serangga berguna lainnya, menurunnya kesuburan tanah, serta terjadinya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh penggunaan pestisida yang berlebihan tersebut. Tingginya penggunaan pestisida sintetik untuk mengendalikan hama maupun penyakit ini sangat tidak bijaksana karena dapat menimbulkan pengaruh negatif, seperti resistensi hama, timbulnya hama sekunder atau hama baru, terbunuhnya parasit dan predator serta serangga berguna lainnya. Selain itu, tingginya residu pestisida yang terkandung dalam produk pertanian dapat menyebabkan keracunan pada manusia dalam jangka panjang. Tjahjadi & Gayatri (1994) melaporkan bahwa kadar residu pestisida yang terkandung dalam tanaman sayuran seperti wortel, kentang, sawi, bawang merah, tomat dan kubis dari berbagai sentra produksi sayuran cukup memprihatinkan karena melampaui batas rendah maksimum. Untuk mengurangi penggunaan pestisida sintetik tersebut sistem pertanian input rendah atau LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) sebagai alternatif yang layak dilakukan dan dipilih oleh petani yang dapat melengkapi bentuk-bentuk lain produksi pertanian.

Dalam konsep sistem budidaya ini dilakukan usaha dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal yang ada dengan mengkombinasikan berbagai macam komponen sistem usaha tani seperti tanaman, hewan, tanah, air, iklim dan manusia sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling besar; berusaha mencari cara pemanfaatan asupan luar hanya bisa diperlukan untuk melengkapi unsur-unsur yang kurang dalam ekosistem dan meningkatkan sumber daya biologi, fisik, dan manusia (Reijntjes et al. 1999). Penggunaan pestisida dilakukan berdasarkan IPM (Integrated Pest Management) yang dilakukan apabila tingkat serangan hama dan penyakit sudah mencapai ambang ekonomi (AE).

Alternatif lain yang saat ini dikembangkan adalah budidaya pertanian organik. Pertanian organik merupakan teknik pertanian yang tidak menggunakan bahan kimia (non sintetik), tetapi menggunakan bahan-bahan organik (Pracaya 2003) berdasarkan prinsip daur ulang yang dilaksanakan sesuai dengan kondisi setempat (Sutanto 2002). Diharapkan dengan adanya informasi tentang sistem


(24)

3

budi daya pertanian input rendah dan pertanian organik, petani maupun masyarakat menyadari pentingnya menjaga keseimbangan alam dalam usaha-usaha produksi pertanian, sehingga dapat diperoleh produk atau hasil tanaman sayuran yang tidak mengandung residu kimiawi yang berbahaya dan tanpa menimbulkan pencemaran lingkungan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan intensitas dan luas serangan hama dan penyakit, perkembangan populasi musuh alami, tingkat parasitisasi, serta produksi pada pertanaman kubis dan tomat dalam tiga sistem budidaya pertanian, konvensional, input rendah dan organik.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar tentang kelayakan sistem budi daya pertanian input rendah dan organik tanaman sayuran.


(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Budi Daya Tanaman Kubis

Tanaman kubis (Brassica oleracea Linn.) merupakan tanaman semusim yang di Indonesia banyak ditanam di daerah pegunungan, dengan ketinggian + 800 m dpl dan curah hujan yang cukup setiap tahunnya. Sebagian kubis tumbuh baik pada ketinggian 100-200 m dpl, tetapi jumlah varietasnya tidak banyak dan tidak dapat menghasilkan biji. Pada daerah yang ketinggiannya di bawah 100 m, tanaman kubis kurang baik (Suwandi et al. 1993 ).

Pada umumnya kubis ditanam dengan pola tanam secara monokultur atau polikultur (tumpang sari), salah satunya dengan tanaman tomat. Waktu tanam kubis yang paling baik adalah pada awal musim hujan (Oktober) atau awal musim kemarau (Maret). Meskipun demikian, kubis dapat ditanam sepanjang musim atau tahun asalkan kebutuhan airnya terpenuhi.

Budi Daya Tanaman Tomat

Tanaman tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) merupakan tanaman semusim, berbentuk perdu atau semak dan termasuk kedalam golongan Angiospermae, kelas Dicotyledone, famili Solanaceae.

Tanaman tomat tergolong warm season crop, dengan suhu optimum 200 C-280C, namun karena menghendaki suhu selalu berubah, siang panas dan malam dingin, untuk pembungaannya yang terbaik adalah 180C sampai 250C. Cahaya sebaiknya cukup, cahaya yang terlalu terik dapat meningkatkan laju transpirasi, hal ini akan mengakibatkan terjadinya gugur buah dan gugur bunga, sehingga produksi rendah. Bila cahaya kurang akan terjadi etiolasi dan lemah.

Tanaman tomat peka terhadap cekaman air (kekeringan). Tekstur tanah lempung berdebu dan lempung berpasir sangat ideal untuk tanaman ini terutama yang strukturnya remah/gembur (Sastrahidayat & Soemarno 1991).


(26)

5

Hama dan Penyakit Utama Kubis

Hama kubis

Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera:Yponomeutidae). P. xylostella adalah serangga hama dari kelas Lepidoptera yang perkembangan hidupnya memiliki tipe perkembangan holometabola (metamorfosis sempurna) dengan empat fase hidup yaitu telur, larva, kepompong dan imago.

Telur P. xylostella berukuran kecil, berwarna putih kekuningan yang pada umumnya diletakkan pada bagian bawah daun secara tunggal atau kelompok kecil yang terdiri dari 3-4 butir (Sastrosiswojo & Setiawati 1993).

Larva terdiri dari empat instar. Instar I berukuran sangat kecil (panjangnya kira-kira 1mm), berwarna putih kekuning-kuningan dengan kulit transparan dan kepala berwarna kehitam-hitaman. Ulat ini tidak banyak makan dan gerakannya masih lambat. Instar II berwarna kuning kehijau-hijauan, hidup menyebar di bawah atau di atas daun tetapi belum banyak makan. Pada instar III warna kulit bertambah hijau, dan gerakannya bertambah lincah. Pada instar IV atau terakhir larva sudah tidak banyak makan kembali hingga tidak makan sama sekali. Umumnya populasi larva P. xylostella tinggi dimusim kemarau (bulan April sampai bulan Oktober) atau apabila keadaan cuaca kering selama beberapa minggu (Sastrosiswojo et al. 2000).

Kerusakan oleh hama ini dapat menurunkan hasil baik kualitas maupun kuantitas. Gejala kerusakannya berupa jendela-jendela putih pada daun yang disebabkan aktivitas makan larva terutama larva instar III. Serangan yang berat dapat mengakibatkan tanaman kubis tidak dapat membentuk krop sehingga menyebabkan gagal panen (Sastrosiswojo & Setiawati 1993).

Pengendalian P. xylostella pada pertanaman kubis dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pertama, secara kimiawi dengan menggunakan insektisida selektif dengan bahan aktif Bacillus thuringiensis seperti Dipel WP, Delfin F, dan Bactospeine WP. Kedua, cara kultur teknis yaitu dengan pergiliran tanaman atau tumpang sari, pengaturan waktu tanam serta tanaman perangkap. Ketiga, cara


(27)

6

hayati dengan menggunakan musuh-musuh alami seperti Diadegma semiclausum dan Apanteles plutellae (Sastrosiswojo & Setiawati 1993).

Crocidolomia pavonana Zell.(Lepidoptera:Pyralidae).Selain kubis, hama ini juga dapat menyerang tanaman cruciferaceae lain seperti lobak, sawi dan selada air (Kalshoven 1981).

Imago C. pavonana umumnya meletakkan telur di bagian bawah daun atau bagian daun yang terlindungi. Telur berbentuk pipih dan diletakkan secara berkelompok menyerupai genteng rumah, melekat pada permukaan bawah daun. (Sastrosiswojo et al. 2000).

Larva terdiri dari lima instar dan biasanya berkelompok pada bagian bawah permukaan daun. Larva instar terakhir memiliki ciri pada bagian dorsal berwarna hijau (Pracaya 1991). Di lapang larva biasanya menyerang tanaman yang sudah membentuk krop dan mengarah menuju titik tumbuh.

Pupa terdapat dalam kokon yang terbuat dari butiran tanah dan berbentuk lonjong dengan stadium + 9 hari. Imago memiliki sayap depan dengan bintik putih dan sekumpulan sisik berwarna kecoklatan. Imago betina dapat hidup selama 16-24 hari (Kalshoven 1981). Pengendalian yang dapat dilakukan secara mekanis dengan mengumpulkan larva dengan tangan, bercocok tanam dengan sanitasi lapangan, rotasi tanaman, tumpang sari dengan tomat, jagung, dan daun bawang. Secara kimiawi dengan menggunakan insektisida selektif dengan bahan aktif Bacillus thuringiensis seperti Dipel WP, Bactospeine WP dan Florbac FC.

Penyakit kubis

Penyakit akar gada. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit penting pada famili Cruciferae di seluruh dunia. Patogen akar gada dapat menyerang pada tanaman pertanian maupun tumbuhan liar (Semangun 2000). Kerugian yang ditimbulkannya sangat besar, bahkan dapat tidak menghasilkan sama sekali (Djatnika 1993).

Gejala yang umum terlihat atau terjadi pada bagian akar. Akar-akar yang terinfeksi cendawan ini akan menunjukkan reaksi dengan pembelahan dan pembesaran sel yang menyebabkan terjadinya bintil atau kelenjar yang tidak


(28)

7

teratur. Selanjutnya bintil-bintil ini bersatu, sehingga menjadi membengkak atau membesar menyerupai batang (gada) (Semangun 2000).

Penyebab penyakit ini adalah Plasmodiophora brassicae Wor. , Cendawan ini mempunyai daur hidup yang cukup sulit, dan telah ditemukan oleh Woronin lebih dari satu abad yang lalu (Semangun 2000). Cendawan ini membentuk spora tahan, bulat, hialin, dan spora ini dapat berkecambah pada medium yang sesuai, membengkak sampai mencapai ukuran beberapa kali dari ukuran normal (Sastrosiswojo et al. 2000).

Penanaman kubis secara terus-menerus akan meningkatkan populasi Plasmodiophora. Sampai sekarang belum tersedia jenis kubis yang tahan terhadap penyakit akar gada. Untuk mengendalikan penyakit akar gada ini, dapat dilakukan dengan pengapuran untuk meningkatkan pH tanah karena cendawan ini tumbuh dengan baik pada tanah yang masam, atau secara kimiawi dengan menggunakan pestisida seperti Brassicol (quintozene), Benlate (benomyl), dan sebagainya.

Bercak daun Alternaria. Penyakit ini merupakan penyakit yang menjadi masalah khususnya pada petsai, dan menyebar luas hampir di seluruh pertanaman kubis di dunia (Djatnika 1993).

Penyakit bercak daun alternaria ini disebabkan oleh cendawan Alternaria brassicae atau Alternaria brassicicola. Kedua patogen ini umumnya menyerang pada daun tua, dengan gejala khas berupa bercak-bercak bulat coklat dan lingkaran konsentris yang merupakan kumpulan spora. Penyebaran kedua patogen ini dapat melalui udara atau benih (Semangun 2000).

Miselium A. brassicae bercabang-cabang, bening, halus. Konodiofor dalam bentuk kelompok 2-10 atau lebih dengan konidianya soliter dan kadang-kadang membentuk rantai. Miselium A. brassicicola bercabang-cabang, bening dan kemudian berubah menjadi coklat. Konidifor tunggal atau dalam kelompok 2-12 atau lebih dan bersepta. Konidia relatif lebih pendek dibandingkan dengan konidia A. brassicae (Djatnika 1993).

Pengendalian dapat dilakukan dengan perlakuan benih yang direndam dengan air hangat (50 0C) selama 15 menit, jarak tanam yang tidak terlalu rapat sehingga sirkulasi udara berjalan dengan baik, pergiliran tanaman dengan tanaman


(29)

8

selain kubis-kubisan dan sebagai alternatif terakhir dengan penyemprotan fungisida yang berbahan aktif benomil.

Busuk hitam. Penyakit ini dikenal dengan nama busuk hitam (black rot), busuk coklat atau bakteri hawar daun (Djatnika 1993) dan merupakan penyakit penting di Malaysia, Thailand, Filipina, dan Indonesia (Semangun 2000).

Gejala diawali dengan serangan pada pori-pori air yang terdapat pada ujung-ujung tepi daun yang menyebabkan tepi daun berubah menjadi kuning pucat atau klorosis yang akan meluas kebagian tengah (Endah & Novizan 2002). Gejala khas penyakit busuk hitam ini adalah adanya bercak kuning yang menyerupai huruf V di sepanjang pinggir daun yang mengarah ke bagian tengah daun (Djatnika 1993).

Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Xanthomonas campestris pv. campestris. Bakteri ini berbentuk batang, membentuk rantai, berkapsula, tidak berspora, dan bergerak dengan satu flagelum polar (Sastrosiswojo et al. 2000). Patogen dapat bertahan pada biji kubis, dalam tanah atau dalam sisa tanaman sakit (Semangun 2000).

Pengendalian dapat dilakukan dengan cara mencabut atau memusnahkan tanaman yang terserang, menjaga kebersihan kebun dari gulma atau sisa-sisa tanaman sakit dan mengatur sistem drainase dengan baik.

Busuk lunak. Penyakit busuk lunak (soft rot) merupakan penyakit yang merugikan pada tanaman sayuran termasuk kubis, baik di lapangan maupun di dalam penyimpanan dan pengangkutan sebagai penyakit pascapanen (Djatnika 1993).

Gejala yang umum terdapat pada tanaman kubis adalah mula-mula pada bagian yang terinfeksi terjadi bercak kebasahan yang kemudian membesar dan mengendap dengan bentuk yang tidak teratur berwarna coklat tua kehitaman. Jaringan yang membusuk pada mulanya tidak berbau tetapi dengan adanya serangan bakteri sekunder jaringan tersebut menjadi berbau khas yang menyolok hidung (Sastrosiswojo et al. 2000).

Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Erwinia carotovora pv carotovora (Jones) Dye. Bakteri berbentuk batang, berukuran 0,7x1,5 µm, tidak membentuk spora atau kapsula. Bakteri menghasilkan enzim pektinase yang dapat


(30)

9

menguraikan pektin (yang berfungsi untuk merekatkan dinding-dinding sel yang berdampingan), sehingga dengan terurainya pektin tersebut sel-sel akan terlepas satu sama lain (Semangun 2000).

Pengendalian dapat dilakukan dengan mengatur jarak tanam yaitu menanam dengan jarak yang tidak terlalu rapat untuk menghindarkan kelembaban yang tinggi atau pengendalian pascapanen yang dilakukan dengan mencuci tanaman dengan air yang mengandung klorin, mengurangi terjadinya luka dalam penyimpanan dan dan pengangkutan serta menyimpannya dalam ruang yang cukup kering/kelembaban rendah.

Hama dan Penyakit Utama Tomat

Hama tomat

Helicoverpa armigera Hubner (Lepidoptera:Noctuidae). Serangga ini memiliki tipe perkembangan holometabola (sempurna) yaitu telur-larva-pupa-imago. Telur berbentuk seperti kubah, berwarna kekuningan yang diletakkan dipermukaan buah. Larva yang sudah dewasa memiliki warna yang beragam mulai dari hitam, coklat, hijau, kuning atau jingga muda. Pupa berwarna coklat terang dan berada di dalam tanah (Pracaya 1991).

Gejala kerusakan yang disebabkan oleh larva yang bersifat polifag. H. armigera merupakan hama penggerek buah tomat yang menyerang buah tomat muda dan buah yang menjelang masak. Ulat ini melubangi kulit buah dan masuk ke dalam buah (Endah & Novizan 2002). Pengendalian dapat dilakukan dengan pengolahan tanah sebelum penanaman sehingga dapat membunuh pupa yang ada dalam tanah, pengaturan jarak tanam, penggunaan musuh alami, dan pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan insektisida dengan dosis dan waktu yang tepat.


(31)

10

Penyakit tomat

Busuk daun. Penyakit busuk daun (late leaf blight) merupakan penyakit yang penting, khususnya pada musim hujan. Biasanya penyakit terjadi pada pertanaman tomat di dataran tinggi. Penyebab penyakit adalah cendawan Phytophthora infestans (Mont.) d By. Cendawan ini memiliki sporangiofor yang secara berturut-turut membentuk sporangium di bagian ujungnya. Sporangium yang disebarkan oleh angin, biasanya tumbuh dengan membentuk spora kembara (zoospora) (Semangun 2000).

Gejala terlihat dengan timbulnya bercak hitam kecoklatan atau keunguan mulai dari bagian anak daun, tangkai atau batang. Perkembangan bercak dapat meluas dengan cepat sehingga dapat menyebabkan kematian pada tanaman dalam keadaan kelembapan nisbi yang tinggi. Pada buah penyakit juga dapat timbul dengan terdapatnya bercak berwarna hijau kelabu kebasah-basahan meluas menjadi bercak dengan bentuk dan besarnya yang tidak teratur. Kadang-kadang bercak mempunyai cincin-cincin (Endah & Novizan 2002).

Busuk daun tomat hanya merupakan masalah berat di dataran tinggi pada musim hujan, karena P. infestans dapat tumbuh dengan baik pada kelembapan nisbi yang tinggi dengan suhu yang rendah. Pengendalian dapat dilakukan secara kimiawi dengan menggunakan pestisida Tomafol 80 WP (kaptafol) atau Dithane M-45 (mankozeb) dengan kadar 0,25% sampai 0,3%. Untuk meningkatkan efektifitasnya pestisida dapat ditambah dengan bahan perekat terutama pada musim hujan.

Bercak cokelat. Penyakit bercak cokelat atau bercak kering (early leaf blight), merupakan penyakit daun yang umum ditemukan di berbagai negara penanam tomat (Semangun 2000). Selain tomat penyakit ini juga terjadi pada tanaman kentang.

Gejala berupa munculnya bercak-bercak kecil, bulat atau bersudut, berwarna cokelat tua sampai hitam. Pada serangan berat, terdapat banyak bercak, daun akan cepat menjadi tua, layu atau gugur sebelum waktunya.

Penyakit ini disebabkan oleh Alternaria solani Sor. Miselium berwarna gelap. Konidiofor keluar dari jaringan tanaman sakit, berwarna gelap dan lebih


(32)

11

pendek, konidium berbentuk seperti buah murbei, gelap, tunggal atau membentuk rantai dua-dua. Konidium mudah lepas dan terutama disebarkan oleh angin. A. solani dapat bertahan pada sisa-sisa tanaman sakit atau biji.

Pengendalian dilakukan dengan cara memberikan pupuk yang seimbang sehingga tanaman dapat tumbuh optimal, memangkas tanaman yang terserang, serta memusnahkan sisa-sisa tanaman di kebun. Pengendalian secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan fungisida Anvil 50 SC atau Score 250 EC (Endah & Novizan 2002).

Sistem Budidaya Pertanian Konvensional

Penggunaan pestisida yang dilakukan secara terus-menerus tanpa memperhitungkan akumulasi residu yang akan diterima manusia dan hewan (lingkungan), merupakan konsep pemberantasan hama yang telah lama dianut oleh para petani. Dimulai dengan sejarah perkembangan agribisnis yang berawal dari revolusi pertanian di Eropa yang terjadi pada tahun 1750-1880 M (Kusnaedi 1999). Dari sinilah sejarah pertanian mulai berkembang menjadi pertanian komersial yang menerapkan teknologi dan menekan berbagai faktor pembatasnya, termasuk pengendalian hama.

Selanjutnya terjadi perkembangan pengendalian hama dengan penggunaan DDT (dikloro difenil tricloroetana), yang hampir digunakan di seluruh dunia. Bersamaan dengan hal tersebut industri pestisida mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pada saat itu pengendalian hama dengan penggunaan pestisida yang berbahan kimia dianggap cara yang paling aman dan baik (Ekha 1988).

Pengendalian hama dan penyakit (patogen) yang dilakukan dengan penggunaan pestisida dan pupuk sintetik, saat ini dikenal sebagai sistem pertanian konvensional. Umumnya titik berat pengendalian hama dan penyakit (patogen) yang dilakukan oleh petani tanaman sayuran (khususnya) masih pada penggunaan pestisida sintetik.

Sistem pertanian di Indonesia hingga saat ini masih bersifat konvensional. Para petani menggunakan pestisida sintetik untuk mengendalikan OPT yang


(33)

12

sering menyerang pertanamannya. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan hasil pertanian dengan kualitas dan kuantitas yang baik, para petani menggunakan pestisida untuk pemeliharaan tanaman dari serangan OPT tanpa memperhatikan aspek-aspek kesehatan lingkungan sekitar.

Penyemprotan pestisida dilakukan sebelum terjadinya serangan OPT dengan jadwal tertentu (secara berjadwal). Penggunaan pestisida secara konvensional yang dilakukan oleh petani selama ini menimbulkan dampak negatif yang sangat merugikan seperti: terjadinya resistensi hama terhadap insektisida, terjadinya resurgensi atau peledakan populasi hama, tingkat residu yang tinggi pada produk-produk pertanian sehingga tidak aman untuk dikonsumsi, selain itu musnahnya serangga bukan sasaran sehingga mengganggu ekosistem.

Sistem Budidaya Pertanian Input Rendah

Pemahaman ilmiah tentang sistem budidaya input rendah atau LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) masih sangat dini. Namun, pengetahuan dan pengalaman yang dicapai sejauh ini dalam studi agroekologi, pertanian asli setempat di daerah tropis dan pertanian ekologis di seluruh dunia menunjukkan beberapa prinsip ekologi mendasar yang membimbing proses pengembangan LEISA.

LEISA memiliki prinsip-prisip dasar yaitu, 1) menjamin kondisi tanah yang mendukung bagi pertumbuhan tanaman. Proses-proses fisik, kimiawi dan biologis dalam tanah sangat dipengaruhi oleh iklim kehidupan tanaman dan hewan serta manusia. Oleh sebab itu petani harus menyadari bagaimana proses-proses ini dipengaruhi dan dapat dimanipulasi guna membudidayakan tanaman yang sehat dan produktif. Dengan menciptakan atau mempertahankan kondisi-kondisi tanah seperti ketersediaan air, udara, dan unsur hara tepat waktu dalam jumlah seimbang dan mencukupi, struktur tanah, suhu tanah, dan tidak adanya unsur-unsur toksik. 2) mengoptimalkan ketersediaan unsur hara dan menyeimbangkan arus unsur hara, 3) meminimalkan kerugian, 4) meminimalkan serangan hama dan penyakit (patogen) pada tanaman, 5) serta saling melengkapi dan sinergi dalam penggunaan


(34)

13

sumber genetik yang mencakup penggabungan dalam sistem pertanian terpadu dengan tingkat keragaman fungsional yang tinggi (Reijntjes et al. 1999).

Dengan prisip-prinsip tersebut pertanian yang dilakukan harus memperhatikan kesehatan lingkungan dan menjaga keseimbangan alam agar dapat berjalan dengan baik. Meskipun dalam LEISA ini masih adanya penggunaan bahan-bahan kimia (pupuk & pestisida), namun dengan frekuensi maupun dosis seminimal mungkin dari pertanian konvensional. Oleh karena itu LEISA merupakan alternatif pertanian berkelanjutan, pertanian yang menghasilkan produk-produk yang relatif lebih baik, aman dan menjaga kesehatan lingkungan menuju pertanian organik yang bebas dari penggunaan bahan-bahan kimia yang berbahaya bagi manusia.

Sistem Budidaya Pertanian Organik

Pertanian organik merupakan teknik pertanian yang tidak menggunakan bahan kimia sintetik, tetapi memakai bahan-bahan organik (Pracaya 2003). Pada saat ini pertanian organik merupakan alternatif untuk penanggulangan persoalan lingkungan yang sangat diperlukan.

Persoalan besar yang terjadi disebabkan karena pencemaran tanah, air, udara, sehingga menyebabkan terjadinya degradasi dan kehilangan sumber daya alam serta penurunan produktivitas tanah. Pertanian berbasis kimia yang mempunyai ketergantungan cukup besar pada pupuk dan pestisida telah mempengaruhi kualitas dan keamanan bahan yang dihasilkan.

Pertanian organik memiliki prinsip ekologi seperti memperbaiki kondisi tanah, mengoptimalkan ketersediaan dan keseimbangan hara, membatasi terjadinya kehilangan hasil akibat serangan OPT dengan melaksanakan usaha preventif, serta penggunaan pestisida botani yang ramah lingkungan.


(35)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukagalih Kecamatan Megamendung Kabupaten Bogor, Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor mulai dari bulan September sampai bulan Desember 2005.

Metode Penelitian Persiapan lahan

Petak-petak berukuran 6 m x 7 m dibuat dalam enam bedengan yang digunakan untuk tanaman kubis dan tomat yang ditanam secara monokultur dan polikultur (tumpang sari) pada setiap lahan atau petak seperti : organik monokultur (OM), organik tumpang sari (OT); low input/input rendah monokultur (LM), low input/input rendah tumpang sari (LT); konvensional monokultur (KM), dan konvensional tumpang sari (KT). Setiap perlakuan diulang sebanyak empat kali. Luas lahan yang digunakan 444 m2 untuk lahan organik, 444 m2 untuk lahan input rendah dan 595 m2 untuk lahan konvensional. Pada setiap lahan diberikan dolomit (kapur) yang bertujuan untuk meningkatkan pH tanah agar tanaman dapat tumbuh dengan baik.

Persemaian benih kubis dan tomat

Benih kubis yang digunakan yaitu varietas “Grand 11” dan benih tomat varietas “Artaloka”. Benih kubis maupun tomat disemai di dekat lahan yang akan digunakan dalam percobaan yang berukuran + 3 m x 1 m, selama + 4-6 minggu. Dua minggu setelah semai, dilakukan pembumbungan terhadap bibit-bibit tersebut yang terbuat dari daun pisang dengan satu bibit per bumbung.


(36)

15

Penanaman bibit kubis dan tomat

Penanaman dilakukan secara polikultur dan monokultur untuk setiap lahan (konvensional, input rendah, dan organik). Polikultur dilakukan dengan menanam dua baris tanaman kubis dibagian pinggir bedengan dan satu baris tanaman tomat dibagian tengah bedengan. Tomat ditanam lebih awal yaitu 2 minggu sebelum penanaman kubis.

Pada 1 minggu setelah tanam (MST) bibit tomat maupun kubis yang kurang baik di lapangan, diganti atau disulam dengan bibit yang baru agar diperoleh tanaman yang baik.

Penggunaan pupuk

Konvensional. Pada lahan konvensional pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang (kotoran kuda) dengan dosis 10 ton/ha, pupuk yang diberikan hanya satu kali yaitu pada saat 1 minggu sebelum tanam. Pupuk kimia yaitu urea 400 kg/ha, dan NPK 1000 kg/ha diberikan sebanyak dua kali, pada 2 MST dan 4 MST.

Input rendah (LEISA). Pada lahan percobaan untuk perlakuan input rendah digunakan pupuk kandang (kotoran kuda) dengan dosis 30 ton/ha diberikan satu kali pada saat 1 minggu sebelum tanam, sedangkan pupuk kimia dengan dosis ½ dari perlakuan konvensional yaitu Urea 200 kg/ha, dan NPK 500 kg/ha. Pemberian pupuk dilakukan sebanyak 2 kali, pada 2 MST dan 4 MST.

Organik. Pada lahan organik pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang (kotoran kuda) dengan dosis 50 ton/ha, diberikan sebanyak 1 kali pada saat 1 minggu sebelum tanam.

Aplikasi pestisida/penyemprotan

Konvensional. Pestisida yang digunakan adalah pestisida sintetik yang diaplikasikan secara berjadwal setiap satu minggu sekali dari mulai tanam sampai satu minggu sebelum panen (+ 11 kali). Pestisida diberikan sesuai hama maupun patogen penyakit (sasaran) yang menyerang kubis atau tomat. Pestisida yang digunakan adalah Curacron 500 EC dengan konsentrasi 1 ml/l; Antracol 80 WP


(37)

16

konsentrasi 1 ml/l; Decis 2,5 EC konsentrasi 0,5 cc/l dan Dithane M-45 konsentrasi 1 ml/l.

Input rendah (LEISA). Pada lahan input rendah pestisida yang digunakan adalah pestisida sintetik dengan frekuensi penyemprotan pestisida dikurangi atau seminimal mungkin yaitu 1 kali penyemprotan pada saat tanaman berumur 1 MST sebagai langkah pencegahan atau penekanan terhadap serangan hama dan penyakit. Pestisida yang digunakan adalah Curacron 500 EC dengan konsentrasi 1 ml/l dan Antracol 80 WP dengan konsentrasi 1 ml/l.

Organik. Pada lahan organik dilakukan aplikasi atau penyemprotan pestisida, berupa pestisida nabati yaitu formulasi FTI-1 yang mengandung ekstrak Aglaia odorata (pacar cina) dan Swietenia mahogani (mahoni) dengan konsentrasi 0,1% yang diberikan pada saat serangan hama sudah mencapai ambang ekonomi yaitu 5 larva/10 tanaman contoh (Plutella xylostella) atau tiga kelompok telur/10 tanaman contoh (Crocidolomia pavonana) (Sastrosiswojo et al. 2000). Teknik pengendalian lain yang digunakan adalah pengendalian secara mekanis, yang dilakukan pada saat serangan hama masih dibawah ambang ekonomi (AE).

Pengamatan hama, penyakit dan musuh alami

Pengamatan hama, penyakit dan musuh alami dilakukan setiap satu minggu sekali mulai dari 2 MST sampai panen. Pada petak contoh dilakukan pemilihan tanaman contoh secara diagonal. Jumlah tanaman contoh yang diamati adalah 10 tanaman/petak secara acak. Bagian tanaman yang diamati adalah keseluruhan bagian tanaman yang dapat diserang hama dan penyakit.

Hama. Pengamatan hama pada tanaman kubis dan tomat dilakukan dengan menghitung populasi hama tersebut pada tanaman contoh yang telah ditentukan sebelumnya dari awal penanaman hingga panen.

Penyakit. Pengamatan penyakit pada kubis dan tomat dilakukan dengan melihat gejala yang telah muncul atau terlihat secara langsung dari awal penanaman hingga panen.

Arthropoda tanah. Pengamatan arthropoda tanah dilakukan dengan menggunakan perangkap pit fall selama 5 minggu berturut-turut sejak tanaman


(38)

17

P = luas serangan penyakit/hama (%) n = jumlah tanaman yang terserang

N = jumlah seluruh tanaman contoh yang diamati berumur 3 MST. Pemasangan perangkap pit fall dilakukan 3 hari sebelum pengamatan dilakukan, dengan lokasi yang telah ditentukan secara acak sebanyak 4 perangkap setiap petak perlakuan.

Perangkap pit fall ini dilakukan dengan menggunakan gelas plastik yang berisi cairan formalin 70 % yang diencerkan dengan perbandingan 1:2 (v/v). Cairan formalin berfungsi sebagai bahan pengawet sementara, agar arthropoda yang terperangkap tidak cepat membusuk. Gelas tersebut dipendam dalam tanah sehingga arthropoda yang merayap di permukaan tanah akan terperangkap jatuh ke dalam gelas. Untuk mencegah masuknya air hujan ke dalam gelas, dipasang naungan terbuat dari seng yang disangga dengan bambu berukuran + 18 cm dan ujungnya ditempelkan dengan paku agar tidak terbawa angin. Arthropoda tanah yang diperoleh diidentifikasi di Laboratorium Biosistematika Serangga IPB.

Parasitisasi serangga (musuh alami). Pengamatan dilakukan pada tanaman kubis dengan mengambil sampel larva serangga hama yang terdapat di lapangan sebanyak + 20 larva/petak ulangan pada setiap lahan (konvensional, input rendah, organik), selama 5 minggu berturut-turut mulai tanaman berumur 3 MST. Larva yang diperoleh dimasukkan ke dalam kotak plastik dan dipelihara di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga selama + 2-3 minggu atau sampai imago baik parasitoid maupun serangga hama tersebut muncul. Kemudian dihitung persen parasitisasinya dengan menggunakan rumus:

Σ Larva inang terparasit

% Parasitisasi = x 100 % Σ Larva inang contoh yang dikoleksi

Perhitungan intensitas dan luas serangan hama dan penyakit Luas serangan hama dan penyakit dihitung dengan rumus :

n P =


(39)

18

Intensitas serangan hama dan penyakit dihitung dengan rumus Townsend & Hauberger (1943 dalam Unterstenhofer 1976) :

Nilai kategori serangan untuk penyakit adalah sebagai berikut (Sastrosiswojo et al. 2000):

0 = tidak ada serangan sama sekali (sehat) 1 = luas kerusakan 0 < x < 10 %

2 = luas kerusakan 10 < x < 20 % 3 = luas kerusakan 20 < x < 40 % 4 = luas kerusakan 40 < x < 60 % 5 = luas kerusakan 60 < x < 100 %

∑(ni.vi) I =

N.Z x 100%

I = Intensitas serangan penyakit/hama (%) ni = jumlah contoh pada kategori ke-i vi = nilai numerik masing-masing kategori Z = nilai skala tertinggi


(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lokasi Penelitian

Desa Sukagalih merupakan salah satu daerah penghasil sayuran di Kecamatan Megamendung, yang berada pada ketinggian + 1000-1500 m dpl. Ketinggian daerah ini sangat sesuai untuk pertanaman sayuran seperti kubis dan tomat. Jenis tanaman yang banyak diusahakan sebagian besar adalah sayuran seperti kubis, tomat, wortel, bawang daun, caisin, kacang panjang, buncis dan lain-lain. Hasil pertanian tersebut umumnya dijual kepada tengkulak dan sebagian dijual langsung ke pasar.

Petani umumnya mengusahakan tanamannya secara monokultur sepanjang musim, namun saat ini para petani sudah melakukan pertanian dengan sistem tumpang sari atau polikultur. Sistem tumpang sari ini merupakan pengendalian hama secara bercocok tanam yang telah lama dikenal dan dipraktekkan di Indonesia dan belakangan ini semakin digalakkan pelaksanaannya. Selain itu dapat dipadukan dengan sistem budidaya yang merupakan alternatif pilihan terbaik yaitu pertanian input rendah dengan pengurangan penggunaan bahan-bahan kimia baik pupuk maupun pestisida yang digunakan, atau pertanian organik yang merupakan pilihan terbaik saat ini, karena tanpa penggunaan bahan-bahan kimia sehingga relatif lebih aman terhadap lingkungan dan aman bagi manusia.

Hama dan Tingkat Parasitisasi (Musuh Alami) pada kubis

Hama yang ditemukan pada tanaman kubis yaitu Plutella xylostella (Lepidoptera:Yponomeutidae) dan Crocidolomia pavonana (Lepidoptera: Pyralidae) sebagai hama utama, hama lainnya adalah Phyllotreta sp. (Coleoptera:Chrysomelidae), Hellula undalis (Lepidoptera:Pyralidae), Spodoptera spp. (Lepidoptera:Noctuidae) dan Agrotis ipsilon (Lepidoptera:Noctuidae).

P. xylostella (Lepidoptera:Yponomeutidae). Serangan hama ini dijumpai pada semua tanaman contoh, dengan rata-rata populasi larva yang ditemukan bervariasi pada setiap petaknya. Rata-rata populasi tertinggi terdapat pada lahan organik monokultur (Gambar 1) pada 5 MST (1,17 ekor/tanaman). Selain itu pada lahan input rendah dan konvensional terlihat bahwa rata-rata populasi hama P.


(41)

20

xylostella lebih tinggi pada lahan monokultur dibandingkan pada lahan tumpang sari. Hal ini menunjukan bahwa penanaman secara monokultur atau kubis saja dapat membuat populasi hama semakin stabil artinya fluktuasi populasi melonjak tinggi dalam periode pendek (Sastrosiswojo et al. 2000). Hal tersebut karena makanan tersedia secara berkesinambungan. Pada lahan organik tumpang sari rata-rata populasi hama P. xylostella pada 5 MST jauh lebih rendah (0,45 ekor/tanaman) dibandingkan organik monokultur, hal ini menunjukan adanya pengaruh tanaman tomat yang berperan sebagai repellent (penolak) dengan menghasilkan bahan kimia yang dapat menghambat imago P. xylostella betina meletakkan telur pada tanaman kubis (Sastrosiswojo et al. 2000).

Gambar 1 Populasi Plutella xylostella (ekor/tanaman) pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional.

Pada lahan konvensional penyebaran populasi yang terjadi tidak terlalu tinggi karena adanya penyemprotan insektisida secara berjadwal sehingga populasi P. xylostella dapat dikendalikan. Sementara itu pada lahan input rendah rata-rata populasi P. xylostella setiap minggu meningkat namun masih lebih rendah dari lahan organik maupun konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun penggunaan bahan-bahan kimia sintetik (pupuk&pestisida) dikurangi

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4

I 2 3 4 5 6 7 8 9

Minggu Setelah Tanam (MST)

P o pul a s i (e k o r/ ta na m a n) OM OT LM LT KM KT


(42)

21

populasi hama dan dampak negatif yang dapat mengganggu keseimbangan alam dapat ditekan.

C. pavonana (Lepidoptera: Pyralidae). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa serangan C. pavonana hampir selalu ditemukan pada setiap petak yang diamati. Populasi tertinggi terjadi pada lahan input rendah monokultur (6,42 ekor/tanaman) pada saat tanaman berumur 8 MST, karena C. pavonana ini lebih suka menyerang tanaman yang telah membentuk krop. Sementara itu pada lahan input rendah tumpang sari populasi C. pavonana yang ditemukan selalu lebih rendah dari lahan input rendah monokultur.

Gambar 2 Populasi Crocidolomia pavonana (ekor/tanaman) pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional.

Pada lahan organik rata-rata populasi C. pavonana yang ditemukan pada pertanaman kubis tumpang sari berbeda nyata pada 5 MST (2,15 ekor/tanaman) dibandingkan dengan pertanaman monokultur (0,05 ekor/tanaman). Hal ini kemungkinan dikarenakan pada pertanaman tumpang sari, tanaman tomat yang ditanam sebagai tanaman repellent (penolak) terserang oleh penyakit sehingga fungsinya sangat berkurang, akibatnya tanaman kubis rentan terhadap serangan hama tersebut. Pada lahan konvensional tumpang sari rata-rata populasi C.

0 1 2 3 4 5 6 7

I 2 3 4 5 6 7 8 9

Minggu Setelah Tanam (MST)

P opula s i ( e k o r/ ta na m a n) OM OT LM LT KM KT


(43)

22

pavonana setiap minggunya mengalami kenaikan, sedangkan pada pertanaman monokultur mengalami penurunan pada saat tanaman menjelang panen.

Tingkat Parasitisasi (Musuh Alami). Salah satu pengendalian hama yang penting adalah pengendalian hayati dengan pemanfaatan musuh alami hama tersebut. Musuh alami yang dimaksud adalah parasitoid, predator dan patogen penyakit. Dalam penelitian ini, musuh alami yang ditemukan adalah parasitoid. Parasitoid yang ditemukan pada larva P. xylostella, sedangkan pada larva C. pavonana tidak ditemukan.

Parasitoid yang ditemukan adalah Diadegma sp. yang merupakan musuh alami/parasitoid larva paling penting bagi hama P. xylostella di Indonesia (Sastrosiswojo et al. 2000). Tingkat parasitisasi Diadegma sp. relatif sangat tinggi hingga mencapai lebih dari 80%. Pada lahan organik tumpang sari (OT) tingkat parasitisasi mencapai 100% pada sampel minggu ke-2 dan ke-4 (Tabel 1), hal ini menunjukkan Diadegma sp. dapat berkembang dengan baik karena tidak adanya penggunaan bahan-bahan kimia (pestisida sintetik) yang dapat membunuh parasitoid tersebut. Dengan demikian keseimbangan alam dapat terjaga dan relatif lebih aman terhadap lingkungan. Sedangkan pada sampel lahan organik monokultur (OM) tingkat parasitisasi tidak mencapai 100%, hal ini menunjukkan adanya pengaruh dari sistem penanaman.

Pada sampel lahan input rendah maupun lahan konvensional tingkat parasitisasi bervariasi. Tingkat parasitisasi pada lahan input rendah monokultur (LM) dan konvensional tumpang sari (KT) semakin meningkat setiap minggunya, sedangkan pada lahan input rendah tumpang sari (LT) dan konvensional monokultur (KM) semakin menurun.


(44)

23

Tabel 1 Tingkat parasitisasi (%) P. xylostella oleh Diadegma sp. Minggu ke-

Perlakuan

I II III IV V

OM*) 24,4 77,8 84,6 91,7 83,3

OT*) 50 100 84,8 100 0

LM*) 33,3 59,7 68,5 61,9 100

LT*) 55,5 75,5 69,9 44,2 0

KM*) 100 58,33 75,96 56,25 52,38

KT*) 0 56,11 81,04 63,24 100

*)

OM = organik monokultur; OT = organik tumpang sari; LM = low monokultur;

LT = low tumpang sari; KM = konvensional monokultur; KT = konvensional tumpang sari

Pada lahan konvensional monokultur (KM) tingkat parasitisasi semakin menurun setiap minggunya dikarenakan adanya penggunaan bahan-bahan kimia atau penyemprotan pestisida secara berjadwal yang kemungkinan dapat membunuh parasitoid Diadegma sp.

Tabel 2 Tingkat parasitisasi P. xylostella (%) oleh Apanteles sp. Minggu ke-

Perlakuan

I II III IV V

OM*) 39.9 0 3.7 0 0

OT*) 25 0 7.5 0 0

LM*) 44.4 0 3.7 0 0

LT*) 0 6.7 13.3 0 0

KM*) 0 0 9.8 0 0

KT*) 100 8.3 5.6 0 0

*) OM = organik monokultur; OT = organik tumpang sari; LM = low monokultur;

LT = low tumpang sari; KM = konvensional monokultur; KT = konvensional tumpang sari

Parasitoid lainnya yang ditemukan adalah Apanteles sp. dengan tingkat parasitisasi yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan Diadegma sp. (Tabel 2). Kemampuan mencari larva P. xylostella lebih rendah jika dibandingkan dengan Diadegma sp. Di Indonesia keberadaan parasitoid Apanteles sp. kalah bersaing dengan Diadegma sp. (Sastrosiswojo et al. 2000).

Meskipun demikian, Apanteles sp. merupakan musuh alami yang berperan penting dalam pengendalian hama P. xylostella. Tingkat parasitisasi tertinggi terjadi pada sampel dari lahan konvensional tumpang sari (KT). Pada pengamatan minggu ke-1 tingkat parasitisasi pada lahan konvensional tumpang sari mencapai 100%, pada lahan input rendah monokultur (LM) 44,4% dan organik monokultur


(45)

24

(OM) 39,9%. Namun dari 5 kali pengambilan sampel dilapang, tingkat parasitisasi oleh Apanteles sp. hanya terjadi sampai minggu ke-3, hal ini diduga oleh karena kemampuannya menemukan larva P. xylostella lebih rendah dibandingkan dengan Diadegma sp.

Penyakit Tanaman Kubis

Penyakit yang ditemukan pada kubis adalah penyakit busuk hitam yang disebabkan oleh X. Campestris pv. campestris, bercak daun oleh Alternaria sp. dan akar gada oleh Plasmodiophora brassicae.

Penyakit busuk hitam. Penyakit ini disebabkan oleh X. campestris pv. campestris (Pamm.) Dows. Intensitas serangan X. campestris pv. campestris sangat bervariasi dari waktu ke waktu (Gambar 3). Intensitas serangan tertinggi terjadi pada lahan input rendah monokultur (19,6 %) pada saat tanaman berumur 8 MST (2 bulan).

Gambar 3 Intensitas serangan Xanthomonas campestris pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional.

Kubis yang ditanam secara tumpang sari, intensitas serangan penyakit busuk hitam lebih rendah dibandingkan dengan kubis yang ditanam secara monokultur.

0 5 10 15 20 25

I 2 3 4 5 6 7 8 9

Minggu Setelah Tanam (MST)

In te ns ita s s e ra nga n (% ) OM OT LM LT KM KT


(46)

25

Hal ini diduga karena sistem penanaman dengan tomat (tanaman bukan anggota cruciferae) memberikan jarak yang lebih besar antar tanaman sehingga tidak terjadi kontak antar daun dan iklim mikro mejadi kurang lengkap.

Gambar 4 Gejala penyakit busuk hitam di lapangan (kiri), koloni bakteri X. campestris pada media YDC (kanan).

Bercak Daun Alternaria. Serangan Alternaria sp. ditemukan pada setiap petak yang diamati dengan intensitas serangan yang bervariasi setiap minggunya. Namun pada umumnya luas dan intensitas serangan Alternaria sp. lebih rendah pada kubis yang berumur lebih tua (Gambar 5). Luas dan intensitas serangan tertinggi terjadi pada lahan input rendah monokultur (16%) pada tanaman kubis yang berumur 5 MST. Pada umur tersebut tanaman rentan terhadap serangan Alternaria sp., sehingga terjadi peningkatan infeksi yang diikuti oleh akumulasi inokulum di lapangan.

Pada tanaman kubis yang ditanam secara tumpang sari (organik, input rendah dan konvensional) dengan tanaman tomat, luas dan intensitas serangan Alternaria sp. lebih rendah dibanding pada sistem monokulutur. Dari hasil tersebut terlihat bahwa tanaman tomat mampu menekan penyebaran dari Alternaria sp. Hal ini diduga karena pada sistem polikultur dengan adanya tanaman tomat di barisan tengah bedengan maka penyebaran dan infeksi patogen menjadi terhambat atau terhalang.


(47)

26

Gambar 5 Intensitas serangan Alternaria sp. pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional.

Akar gada. Penyakit akar gada ditemukan pada setiap petak dengan intensitas serangan bervariasi disetiap petaknya. Intensitas serangan tertinggi terjadi pada lahan organik (OT) yaitu sebesar 19,4% (Tabel 3). Tingginya intensitas serangan diduga karena penggunaan pupuk kandang (kotoran kuda) pada lahan organik paling banyak, dan tingkat kematangan pupuk tersebut belum cukup sehingga tingkat kemasamannya tinggi. Hal ini tampak dengan semakin tinggi dosis pupuk (pupuk kandang) yang digunakan, intensitas serangan semakin tinggi (Tabel 3). Alat-alat pertanian dan faktor lingkungan seperti angin atau air juga dapat memperluas penyebaran Plasmodiophora brassicae (Permadi & Sastrosiswojo 1993). Selama penelitian ini curah hujan cukup tinggi (Tabel Lampiran 9) 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

I 2 3 4 5 6 7 8 9

Minggu Setelah Tanam (MST)

In ten s it as se ra n g a n (% ) OM OT LM LT KM KT


(48)

27

Tabel 3 Intensitas serangan Plasmodiophora brassicae pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional

Perlakuan Intensitas serangan (%)

OM*) 18,24

OT*) 19,4

LM*) 7,60

LT*) 6,25

KM*) 3,07

KT*) 3,22

*)

OM = organik monokultur; OT = organik tumpang sari; LM = low monokultur;

LT = low tumpang sari; KM = konvensional monokultur; KT = konvensional tumpang sari

Pada tabel 3 terlihat bahwa intensitas serangan pada lahan input rendah monokultur (LM) sebesar 7,6 %, sedangkan pada lahan input rendah tumpang sari (LT) sebesar 6,2 % (LT). Intensitas serangan paling rendah terjadi pada lahan konvensional monokultur (KM) dan konvensional tumpangsari (KT) yaitu berturut-turut 3,1 % dan 3,2 %. Penyemprotan fungisida yang dilakukan pada kedua lahan tersebut kemungkinan berpengaruh dalam menekan populasi patogen.

(a) (b) (c)

Gambar 6 (a) Gejala serangan Alternaria spp. pada daun kubis, (b) Konidia Alternaria spp. (c) Gejala penyakit akar gada.

Hama dan Penyakit Tanaman Tomat

Hama pada tanaman tomat yang ditemukan yaitu Bemisia sp., sedangkan penyakit yang ditemukan adalah penyakit busuk daun yang disebabkan oleh Phytophthora infestans, penyakit bercak coklat oleh Alternaria solani.

Bemisia sp. Hama yang ditemukan pada tanaman tomat yaitu Bemisia sp. yang telah diketahui sebelumnya sebagai vektor virus (gemini) pada tanaman tomat. Rata-rata populasi Bemisia sp. yang ditemukan cukup tinggi dari awal hingga akhir pengamatan (Gambar 7). Populasi hama ini mengalami peningkatan


(49)

28

yang cukup tinggi hingga akhir pengamatan (10 MST) pada setiap lahannya (organik, input rendah dan konvensional), dan pada 7 MST tomat menunjukan adanya gejala daun yang mulai mengkerut dan mengeriting yang diduga disebabkan oleh virus yang dibawa oleh Bemisia sp. tersebut. Rata-rata populasi tertinggi pada lahan input rendah (21,92 ekor/tanaman) dan pada lahan konvensional (17,27 ekor/tanaman), sedangkan pada lahan organik (5 ekor/tanaman) umumnya mengalami penurunan rata-rata populasi Bemisia sp. dan selalu lebih rendah dari dua lahan budidaya lainnya (konvensional dan input rendah). Penggunaan bahan-bahan kimia khususnya pestisida (sintetik) yang digunakan diduga menyebabkan terjadinya resurjensi dan resistensi terhadap hama tersebut

Gambar 7 Populasi Bemisia sp. (ekor/tanaman) pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional.

Penyakit busuk daun. Penyakit busuk daun ini disebabkan oleh Phytophthora infestans yang dapat timbul pada semua tingkat perkembangan tanaman (daun maupun buah). P. infestans mulai menyerang pada saat tanaman berumur 1,5 bulan (6 MST) pada semua petak lahan (organik, input rendah dan konvensional) yang diamati.

0 5 10 15 20 25

3 4 5 6 7 8 9 10

Minggu Setelah Tanam (MST)

P opula s i ( e k o r/ ta na m a n) OT LT KT


(50)

29

Luas dan intensitas serangan P. infestans setiap minggunya meningkat hingga akhir pengamatan (panen). Luas dan intensitas serangan tertinggi terjadi pada lahan organik sebesar 97,9%, sedangkan pada lahan konvensional sebesar 80,1% dan lahan input rendah sebesar 72,3% (Gambar 8). Adanya aplikasi fungisida Dithane M-45 yang dilakukan pada lahan konvensional dan input rendah dapat menekan infeksi akibat P. infestans ini. Secara umum serangan P. infestans pada ketiga lahan sangat tinggi, hal ini dikarenakan oleh faktor lingkungan yaitu kelembaban yang tinggi dengan curah hujan yang cukup tinggi sehingga mendukung perkembangan patogen.

Gambar 8 Intensitas serangan Phytophthora infestans pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional.

Pada lahan organik, intensitas serangannya paling tinggi dibandingkan pada lahan konvensional dan input rendah karena di sekitarnya banyak terdapat pohon-pohon besar (seperti: pohon-pohon bambu) sehingga sinar matahari yang masuk atau diterima oleh tanaman lebih sedikit daripada pada lahan input rendah maupun organik.

0 20 40 60 80 100 120

3 4 5 6 7 8 9 10

Minggu Setelah Tanam (MST)

In

te

ns

ita

s

s

e

ra

nga

n

(%

)

OT LT KT


(51)

30

Gambar 9 Gejala serangan P. infestans

Bercak Daun. Serangan Alternaria solani ditemukan pada setiap petak lahan yang diamati. Pada lahan organik serangan A. solani pada 10 MST jauh lebih rendah ( 6,7%) dibandingkan pada lahan input rendah (38,4 %) dan lahan konvensional (45,6%) (Gambar 10).

Gambar 10 Intensitas serangan Alternaria solani pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional.

Serangan A. solani mengalami peningkatan yang cukup tinggi disetiap lahan (organik, input rendah dan konvensional) pada saat tanaman berumur 3 MST sampai 7 MST yang kemudian sempat mengalami penurunan pada pengamatan

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

3 4 5 6 7 8 9 10

Minggu Setelah Tanam (MST)

In

te

ns

ita

s

s

e

ra

nga

n

(%

)

OT LT KT


(52)

31

berikutnya. Namun di akhir pengamatan, pada lahan input rendah dan konvensional serangan A. solani mengalami peningkatan yang cukup besar sedangkan pada lahan organik terus mengalami penurunan.

Penyakit yang disebabkan oleh P. infestans dan A. solani di lapangan selalu ditemukan secara bersamaan. Umumnya serangan A. solani yang semakin tinggi akan memudahkan tanaman tersebut terinfeksi oleh P. infestans.

Tinggi tanaman dari ketiga lahan (organik, input rendah dan konvensional) mengalami peningkatan setiap minggunya. Tinggi tanaman pada lahan organik lebih rendah dibandingkan dengan tanaman pada lahan input rendah dan konvensional. Hal ini dapat disebabkan oleh tingkat serangan hama dan penyakit yang pada umumnya lebih tinggi pada lahan organik dan pupuk kompos yang lama terurai di dalam tanah sehingga tingkat kebutuhan unsur hara/nutrisinya kurang tersedia yang menyebabkan tingkat pertumbuhan tanaman terhambat. Pemupukan yang diberikan secara berimbang (Urea, TSP dan KCl) pada lahan konvensional dan input rendah dapat memacu pertumbuhan tanaman dengan baik dan optimal.

Gambar 11 Tinggi tanaman tomat pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional.

0 20 40 60 80 100 120

3 4 5 6 7 8 9 10

Minggu Setelah Tanam (MST)

Tinggi t

a

na

m

a

n

(c

m

)

OT LT KT


(53)

32

Produksi Kubis dan Tomat

Tanaman Kubis (Brassica oleracea Linn.) dan tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) merupakan komoditas sayuran yang mudah rusak, sehingga perlu penanganan hasil produksi yang baik sehingga tidak menurunkan kualitas maupun kuantitas yang dapat menurunkan nilai ekonomisnya.

Pemanenan adalah kegiatan akhir dari pertanaman dan merupakan faktor penentu untuk proses selanjutnya. Untuk memperoleh krop kubis yang baik, maka kubis dipanen tepat pada waktunya. Pemanenan dan penanganan pasca panen perlu dilakukan dengan hati-hati untuk dapat mempertahankan mutu kubis. Pemanenan yang keliru dan penanganan yang kasar di kebun dapat mempengaruhi mutu pemasaran secara langsung.

Produksi atau hasil panen tanaman kubis yang diperoleh pada tanaman contoh maupun bukan tanaman contoh sangat berbeda (Tabel 4). Produksi tertinggi pada tanaman contoh diperoleh dari lahan KM sebesar 26,6 kg dengan rata-rata bobot per krop paling besar yaitu 0,9 kg. Produksi pada lahan LM sebesar 21,4 kg dengan rata-rata bobot per krop 0,7 kg dan lahan OM sebesar 5,7 kg dengan rata-rata bobot per krop 0,5 kg.

Tabel 4 Hasil panen kubis pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional

Tanaman contoh Petak

Perlakuan

kg Σ

Krop

bobot/krop

(kg) kg

Σ Krop

bobot/krop (kg)

Jumlah (kg/Σ krop)

OM 5,7 11 0,5 53,8 83 0,6 59,5/94

OT 0,0 0,0 0,0 8,7 21 0,4 8,7/21

LM 21,4 29 0,7 200,7 235 0,9 222,2/264

LT 12,4 18 0,7 126,8 179 0,7 139,2/197

KM 26,6 31 0,9 245,9 283 0,9 272,5/314

KT 4,9 12 0,4 86,4 160 0,5 91,3/172

Hasil panen yang diperoleh dari tanaman yang bukan tanaman contoh pada lahan KM sebesar 245,9 kg (0,9 kg), lahan LM sebesar 200,7 (0,9 kg) dan lahan OM 53,8 kg (0,6 kg). Perbandingan poduksi antara tanaman contoh dan bukan tanaman contoh pada lahan KM : LM : OM yaitu 4,6 : 3,7 : 1. Umumnya produksi


(54)

33

dari ketiga lahan tersebut (organik, input rendah dan konvensional) lebih tinggi pada lahan dengan sistem monokultur daripada lahan tumpang sari (Tabel 4).

Pada lahan tumpang sari hasil produksi cukup bervariasi pada tanaman contoh maupun bukan tanaman contoh. Hasil produksi tertinggi diperoleh dari tanaman contoh pada lahan input rendah (LT) sebesar 12,4 kg, dan lahan konvensional (KT) sebesar 4,9 kg. Sedangkan pada lahan organik (OT) produksinya 0 kg. Hal ini mungkin disebabkan oleh serangan penyakit akar gada (Plasmodiophora brassicae) yang sangat tinggi terjadi pada lahan organik, sehingga pertumbuhan tanaman menjadi terhambat.

Tabel 5 Produksi tomat pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional

Rata-rata produksi tomat pada panen ke- (kg)

I II III IV V Perlakuan

C* P** C* P** C* P** C* P** C* P**

Jumlah

OT 1,2 5,3 0 0 0 0 0 0 0 0 6,5

LT 2,3 5,3 1,2 5,7 6,2 67,9 3,6 25,7 16 33,5 194,4

KT 4,6 42 3,9 25 3,7 24,3 5,8 64,1 14,7 39 227,1

C* : tanaman contoh, P** : tanaman bukan contoh.

Produksi buah tomat yang diperoleh dari lahan organik sangat rendah, karena panen dapat dilakukan hanya pada minggu pertama sebesar 1,2 kg pada tanaman contoh dan 5,3 kg pada tanaman bukan contoh. Hal tersebut dikarenakan serangan penyakit busuk daun P. infestan mencapai 100%, dan menyebabkan kematian pada tanaman sehingga tanaman tidak dapat menghasilkan sama sekali.

Produksi tomat tertinggi diperoleh dari lahan konvensional setiap minggunya dan jelas terlihat perbedaan produksi antara ketiga lahan (organik, input rendah dan konvensional) tersebut (Tabel 5). Produksi tertinggi terjadi pada lahan konvensional karena adanya penyemprotan pestisida (sintetik) secara berjadwal yang dapat menekan serangan penyakit busuk daun, sedangkan pada lahan input rendah dan organik tidak dilakukan penyemprotan sama sekali. Curah hujan pada musim tanam cukup tinggi yang mempermudah penyebaran penyakit ini, dan tanaman menjadi sangat rentan terhadap penyakit busuk daun ini.


(55)

34

Arthropoda Tanah

Arthropoda yang diperoleh pada pertanaman kubis dapat dilihat pada Tabel 6. Dari 5 kali pengambilan sampel diperoleh 19 ordo, 45 famili dengan populasi 138902 ekor serangga. Setiap jenis arthropoda yang ditemukan memiliki peranan yang berbeda dalam suatu ekosistem seperti peranannya sebagai saprofag, fitopag, musuh alami atau arthropoda yang tidak teridentifikasi dan arthropoda yang belum diketahui peranannya.

Komposisi arthropoda yang berperan sebagai saprofag yang mendominasi pada pertanaman kubis berasal dari ordo Colembola, Blattaria, Isopoda, Isoptera, sebagian Coleoptera dan Diptera. Perangkap pit fall digunakan untuk memerangkap arthropoda yang merayap di atas permukaan tanah. Terperangkapnya arthropoda yang terbang seperti ordo lepidoptera diduga terjadi secara tidak sengaja.

Mayoritas serangga dari ordo Colembola merupakan penghuni tanah yang berukuran sangat kecil dengan bentuk yang beragam. Peranannya sebagai saprofag atau makan bahan tumbuhan yang membusuk, jamur, bakteri, tinja arthropoda dan bahan lainnya. Populasi colembola sangat besar, bisa mencapai 100.000 tiap m3 tanah permukaan (Borror et al. 1992).

Secara umum pada lahan konvensional arthropoda yang ditemukan jumlahnya lebih banyak dari lahan input rendah maupun organik (Tabel 7). Persentase jumlah serangga dari ordo Colembola yang mendominasi pun paling tinggi pada lahan konvensional tumpang sari (23,62%). Namun tidak berbeda jauh dengan lahan input rendah khususnya tumpang sari (23,47%). Sedangkan pada lahan organik tumpang sari, persentase jumlahnya lebih kecil atau paling sedikit (14%). Hal ini dikarenakan oleh faktor lingkungan sekitar. Lahan konvensional berdekatan dengan lahan tanaman wortel, buncis, rumput-rumput atau ilalang yang sangat lebat dan pohon-pohon lain (bambu, pepaya dll). Sedangkan, lahan input rendah berada ditengah-tengah lahan lainnya dan lahan organik berbatasan dengan pohon bambu.

Pada dasarnya terlihat jelas dari semua ordo arthropoda yang ditemukan memiliki peranan tersendiri sebagai suatu kesatuan dalam agroekosistem di daerah


(56)

35

tersebut. Pada umumnya arthropoda yang ditemukan di lahan pertanaman tumpang sari lebih banyak dan beragam dibandingkan di lahan pertanaman monokultur dari ketiga sistem pertanian tersebut (organik, input rendah dan konvensional). Hal ini menunjukan dengan menanam lebih dari satu jenis tanaman (polikultur) dapat meningkatkan keberadaan dan keragaman arthropoda di lingkungan pertanaman tersebut yang dapat membantu menjaga kesuburan tanah.

Tabel 6 Keragaman arthropoda tanah pada pertanaman kubis dengan sistem penanaman tumpang sari dan monokultur

Total No. Ordo

Σ famili Σ Populasi

Keterangan

1 Colembola 6 131977 -

2 Hymenoptera 4 4874 1 famili tidak teridentifikasi

3 Coleoptera 13 577 1 famili tidak teridentifikasi

4 Orthoptera 4 520 -

5 Hemiptera 5 97 1 famili tidak teridentifikasi

6 Diptera 3 43 1 famili tidak teridentifikasi

7 Arachnida - 565 famili tidak teridentifikasi

8 Acarina - 191 famili tidak teridentifikasi

9 Lepidoptera - 22 famili tidak teridentifikasi

10 Isopoda 1 12 -

11 Blattaria 1 1 -

12 Isoptera 2 2 -

13 Dermaptera 1 2 -

14 Chilopoda 0 3 -

15 Geophilomorpha 0 1 -

16 Lithobiomorpha 1 1 -

17 Scolopendromorpha 1 1 -

18 Psocoptera 1 2 -

19 Homoptera 1 11 -

jumlah 44 138902

Serangga lain yang banyak ditemukan yaitu dari ordo Hymenoptera sebesar 3,5 persen (4874 serangga). Sebagian besar serangga ordo Hymenoptera yang teridentifikasi adalah famili Formicidae. Formicidae yang lebih dikenal dengan semut dan merupakan satu kelompok yang umum, menyebar luas dan banyak dikenal orang karena semut hidup pada habitat yang tidak tergenang air (darat) (Borror, et al. 1992). Semut banyak ditemukan pada pertanaman kubis, karena lahan kubis tidak tergenangi air.


(57)

36

Tabel 7 Keragaman Arthropoda tanah dari pertanaman kubis dan tomat pada tiga sistem budidaya ( konvensional, input rendah dan organik)

KM KT LM LT OM OT

No. Ordo Σ

famili Σ populasi Σ famili Σ populasi Σ famili Σ populasi Σ famili Σ populasi Σ famili Σ populasi Σ famili Σ populasi

1 Colembola 4 20.279 4 31.179 4 14.517 5 30.973 5 15.726 4 19.303

2 Hymenoptera 2 860 3 1.054 3 958 2 652 4 566 3 784

3 Coleoptera 7 111 9 115 7 60 11 76 9 101 10 113

4 Orthoptera 4 86 3 90 4 78 4 71 4 85 4 112

5 Hemiptera 5 10 4 35 5 12 3 18 2 15 3 7

6 Diptera 3 15 2 11 1 2 2 10 1 1 1 4

7 Arachnida - 55 - 48 - 83 - 45 - 45 - 219

8 Acarina - 25 - 64 - 39 - 28 - 20 - 15

9 Lepidoptera - 0 - 3 - 3 - 5 - 8 - 3

10 Isopoda 0 1 0 0 0 1 0 2 0 3 0 5

11 Blattaria 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0

12 Isoptera 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1

13 Dermaptera 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0

14 Chilopoda 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1

15 Geophilomorpha 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0

16 Lithobiomorpha 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0

17 Scolopendromorpha 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1

18 Psocoptera 0 0 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0

19 Homoptera 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0

jumlah 25 21.442 26 32.601 25 15.756 28 31.883 27 16.572 27 20.563

Keterangan : - » famili tidak teridentifikasi 0 » famili teridentifikasi


(1)

OM1 3 0 1 33,33 2 66,67 100 OM2 2 1 1 50 0 0 50 OM3 7 3 1 42,29 3 42,86 57,14 OM4 2 1 0 0 1 50 50

OT1 2 1 0 0 1 50 50

OT2 0 0 0 0 0 0 0

OT3 2 1 1 50 0 0 50

OT4 0 0 0 0 0 0 0

LM1 0 0 0 0 0 0 0

LM2 3 1 0 66,67 0 0 66,67 LM3 3 1 1 33,33 1 33,33 66,67 LM4 1 0 1 0 1 100 100

LT1 2 1 0 50 0 0 50

LT2 0 0 0 0 0 0 0

LT3 3 1 0 66,67 0 0 66,67 LT4 4 2 0 50 0 0 50

KM1 0 0 0 0 0 0 0

KM2 0 0 0 0 0 0 0

KM3 2 0 0 100 0 0 100 KM4 1 0 0 100 0 0 100

KT1 0 0 0 0 0 0 0

KT2 0 0 0 0 0 0 0

KT3 1 0 0 100 0 0 100

KT4 0 0 0 0 0 0 0


(2)

Perlakuan

serangga P.xylostella Diadegma % parasitisasi Apanteles % parasitisasi parasitisasi (%) OM1 1 0 1 100 0 0 100 OM2 2 0 2 100 0 0 100 OM3 3 2 1 33,33 0 0 33,33

OM4 0 0 0 0 0 0 0

OT1 0 0 0 0 0 0 0

OT2 1 0 1 100 0 0 100

OT3 0 0 0 0 0 0 0

OT4 1 0 1 100 0 0 100 LM1 6 1 5 83,33 0 0 83,33 LM2 6 3 3 50 0 0 50 LM3 11 6 5 45,45 0 0 45,45 LM4 10 4 6 60 0 0 60

LT1 3 0 3 100 0 0 100

LT2 0 0 0 0 0 0 0

LT3 3 1 2 66,67 0 0 66,67 LT4 5 1 3 60 1 20 80 KM1 6 3 3 50 0 0 50 KM2 4 2 2 50 0 0 50 KM3 2 0 2 100 0 0 100 KM4 3 2 1 33,33 0 33,33 33,33

KT1 3 1 1 33,33 1 0 66,67 KT2 18 10 8 44,44 0 0 44,44 KT3 6 2 4 66,67 0 0 66,67 KT4 5 1 4 80 0 0 80


(3)

OM1 20 0 20 100 0 0 100 OM2 20 4 13 65 3 15 80 OM3 12 0 12 100 0 0 100 OM4 15 4 11 73 0 0 33,33

OT1 6 0 5 33,33 1 16,67 100 OT2 13 4 8 83,33 1 7,69 69,23 OT3 5 0 5 61,51 0 0 100 OT4 18 0 17 100 1 5,56 100 LM1 8 0 8 94,44 0 0 100 LM2 0 0 0 100 0 0 0 LM3 9 3 5 0,55,56 1 11,11 66,67 LM4 6 3 3 50 0 0 50

LT1 5 1 3 60 1 20 80 LT2 4 0 4 100 0 0 100 LT3 9 2 4 44,44 3 33,33 77,78 LT4 4 1 3 75 0 0 75 KM1 3 1 2 66,67 0 0 66,67 KM2 4 0 3 75 1 25 100 KM3 17 4 13 76,47 0 0 76,47 KM4 7 0 6 85,71 1 14,29 100 KT1 7 0 7 87,50 1 12,50 100 KT2 20 4 14 70 2 10 80 KT3 9 2 7 77,78 0 0 77,78 KT4 9 1 8 88,89 0 0 88,89


(4)

Perlakuan

serangga P.xylostella Diadegma % parasitisasi Apanteles % parasitisasi parasitisasi (%) OM1 2 0 2 100 0 0 100 OM2 6 2 4 66,67 0 0 66,67 OM3 3 0 3 100 0 0 100 OM4 2 0 2 100 0 0 100 OT1 2 0 2 100 0 0 100 OT2 6 0 6 100 0 0 100 OT3 1 0 1 100 0 0 100 OT4 5 0 5 100 0 0 100 LM1 7 4 3 42,86 0 0 42,86 LM2 3 1 2 66,67 0 0 66,67 LM3 7 2 5 71,43 0 0 71,43 LM4 3 1 2 66,67 0 0 66,67 LT1 5 4 1 20 0 0 20 LT2 3 1 2 66,67 0 0 66,67 LT3 5 3 2 40 0 0 40 LT4 4 2 2 50 0 0 50 KM1 3 2 1 33,33 0 0 33,33 KM2 4 1 3 75 0 0 75 KM3 3 1 2 66,67 0 0 66,67 KM4 4 2 2 50 0 0 50

KT1 4 2 2 50 0 0 50 KT2 6 1 5 83,33 0 0 83,33 KT3 8 3 5 62,50 0 0 62,50 KT4 14 6 8 57,14 0 0 57,14


(5)

OM1 2 1 1 50 0 0 50 OM2 1 0 1 100 0 0 100 OM3 4 0 4 100 0 0 100

OM4 0 0 0 0 0 0 0

OT1 0 0 0 0 0 0 0

OT2 0 0 0 0 0 0 0

OT3 0 0 0 0 0 0 0

OT4 0 0 0 0 0 0 0

LM1 1 0 1 100 0 0 100

LM2 0 0 0 0 0 0 0

LM3 0 0 0 0 0 0 0

LM4 0 0 0 0 0 0 0

LT1 0 0 0 0 0 0 0

LT2 0 0 0 0 0 0 0

LT3 0 0 0 0 0 0 0

LT4 0 0 0 0 0 0 0

KM1 7 3 4 57,14 0 0 57,14 KM2 1 0 1 100 0 0 100

KM3 0 0 0 0 0 0 0

KM4 1 1 0 0 0 0 0

KT1 0 0 0 0 0 0 0

KT2 5 0 5 100 0 0 100

KT3 0 0 0 0 0 0 0

KT4 0 0 0 0 0 0 0


(6)