Uji Efektivitas Beberapa Tungau Parasit (Arachnida: Parasitiformes) Terhadap Imago Penggerek Pucuk Kelapa Sawit (Oryctes rhinoceros L.) (Coleoptera: Scarabaeidae) di Laboratorium

(1)

UJI EFEKTIVITAS BEBERAPA TUNGAU PARASIT

(Arachnida:Parasitiformes) TERHADAP PENGGEREK

PUCUK KELAPA SAWIT (Oryctes rhinoceros L.)

(Coleoptera:Scarabaeidae) DI LABORATORIUM

SKRIPSI

Oleh :

FAZARIA HANUM NASUTION 070302023

HPT

DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN


(2)

UJI EFEKTIVITAS BEBERAPA TUNGAU PARASIT

(Arachnida:Parasitiformes) TERHADAP PENGGEREK

PUCUK KELAPA SAWIT (Oryctes rhinoceros L.)

(Coleoptera: Scarabaeidae) DI LABORATORIUM

SKRIPSI

Oleh :

FAZARIA HANUM NASUTION 070302023

HPT

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Memperoleh Gelar Sarjana Di

Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Disetujui Oleh :

(Ir. Marheni, MP) (Ir. Syahrial Oemry,MS) Ketua Pembimbing Anggota Pembimbing

DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRACT

Fazaria Hanum Nasution, "Test of Effectivity Some Parasitic Mites (Arachnida: Parasitiformes) Shoot Borer Imago Against Palm Oil (O. rhinoceros L.) (Coleoptera: Scarabaeidae) in the Laboratory", under the guidance Marheni and Syahrial Oemry. This study purposed to test the effective some parasitic mites of Oryctes rhinoceros L. in the laboratory. This study used a complete randomized design (CRD), non-factorial with

four replications of 4 treatments A0 (control), A1 (mite species A), A2 (mite species B), A3 (mite species C) 40 individuals of each mite parasite .

The results showed the percentage of mortality of adult O. rhinoceros L. The highest mortality be showed O. rhinoceros in treatment A1 (inoculated mites species B (Proctolaelaps) of 40 individuals mite species B) 100.00% and the lowest in treatment A3 (inoculated mites species C (Pneumolaelaps) of 40 individuals mite species C) at 75.00 %. The results showed that the mite species B (Proctolaelaps) more effective used in controlling adult O. Rhinoceros L. compared by the two other species of rhinoceros species, namely A (Macrocheles) and species C (Pneumolaelaps), but three of them can be used to control adult O. rhinoceros L. in biological and environmental friendly.


(4)

ABSTRAK

Fazaria Hanum Nasution, “ Uji Efektivitas Beberapa Tungau Parasit (Arachnida: Parasitiformes) Terhadap Imago Penggerek Pucuk Kelapa Sawit (Oryctes rhinoceros L.) (Coleoptera: Scarabaeidae) di Laboratorium”, dibawah bimbingan Marheni dan Syahrial Oemry. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas beberapa tungau parasit terhadap Oryctes rhinoceros L. di laboratorium. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) non faktorial dengan 4 perlakuan empat ulangan yaitu A0 (kontrol), A 1 (tungau spesies A), A2 (tungau spesies B), A3 (tungau spesies C) masing-masing 40 ekor tungau parasit.

Hasil penelitian menunjukkan persentase mortalitas imago O. rhinoceros tertinggi terdapat pada perlakuan A2 (diinokulasikan tungau spesies B (Proctolaelaps) sebanyak 40 ekor tungau spesies B) sebesar 100,00% dan terendah pada perlakuan A3 (diinokulasikan tungau spesies C (Pneumolaelaps) sebanyak 40 ekor tungau spesies C) sebesar 75,00%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tungau spesies B (Proctolaelaps) lebih efektif digunakan dalam mengendalikan imago O. rhinoceros dibanding dua spesies lainnya yakni spesies A (Macrocheles) dan spesies C (Pneumolaelaps), tetapi ketiganya dapat digunakan untuk mengendalikan imago O. rhinoceros L. secara hayati dan ramah lingkungan.


(5)

RIWAYAT HIDUP

Fazaria Hanum Nasution lahir pada tanggal 5 Januari 1988 di Medan dari Ayahanda Darwis Nasution dan Ibunda Halimah. Penulis merupakan anak ke tiga dari empat bersaudara. Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis yaitu:

- Tahun 2001 lulus dari Sekolah Dasar (SD) Negeri 106162 di Medan.

- Tahun 2004 lulus dari sekolah Madrasyah Tsanawiyah Negeri 2 Medan (MTSN). - Tahun 2007 lulus dari sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 11 Medan.

- Tahun 2007 lulus dan diterima du Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur SPMB.

Pengalaman Kegiatan Akademis

1. Tahun 2007-2011 menjadi anggota Komunitas Muslim (KOMUS) HPT Universitas Sumatera Utara.

2. Tahun 2007-2011 menjadi anggota Ikatan Mahasiswa Perlindungan Tanaman (IMAPTAN).

3. Tahun 2008-2009 menjadi anggota Badan Kenaziran Musholla (BKM) Al- Mukhlisin. 4. Tahun 2008 mengikuti Seminar Peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional FP USU

“Motivation Training”.

5. Tahun 2008 mengikuti seminar Peranan Pertanian dalam Pembangunan Sumatera Utara.

6. Tahun 2010 mengikuti Training Spritual Sinergi Semesta “Mencapai Keseimbangan Hati dan Pikiran”.


(6)

7. Tahun 2010 mengikuti Seminar IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan Nasional).

8. Tahun 2010 menjadi Bendahara Kemuslimahan pada Badan Kenaziran Musholla (BKM) Al- Mukhlisin.

9. Tahun 2010 mengikuti seminar Syngenta dengan tema “How do we feed a growing population”.

10. Tahun 2011 mengikuti seminar motivasi “Peningkatan Motivasi Diri”. 11. Tahun 2010 mengikuti PKL (Praktek Kerja Lapang) di Sidikalang.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Adapun judul dari usulan penelitian ini adalah “Uji Efektivitas Beberapa Tungau

Parasit Terhadap Penggerek Pucuk Kelapa Sawit (Oryctes rhinoceros L.) (Coleoptera: Scarabaeidae) Di Laboratorium ” untuk menguji efektivitas beberapa tungau

parasit terhadap penggerek pucuk kelapa sawit (Oryctes rhinoceros L.) (Coleoptera: Scarabaeidae) dalam mengendalikan hama tersebut.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Ibu Ir. Marheni sebagai Ketua Pembimbing dan bapak Ir. Syahrial Oemry, MS sebagai Anggota yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan , Juni 2011 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ……….….……...……….... v

DAFTAR ISI ………..……. vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN Latar Belakang ………..……….. 1

Tujuan penelitian ………....……… 3

Hipotesa penelitian ………..………….. 3

Kegunaan Penelitian ………...…… 3

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama ………... 5

Telur ……….. 5

Larva ………... 5

Pupa …...……….…. 6

Imago ………...………... 7

Gejala Serangan……….. 8

Pengendalian ……….………...……. 8

Tungau Parasit .……….……… .…. 9

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian……… 14

Bahan dan Alat ……….. 14

Metode Penelitian ………. 14

Pelaksanaan Penelitian...………... ….. 15

Persiapan Media Perlakuan ... 19

Penyedian Imago Serangga Uji ... 19

Penyediaan Musuh Alami ... 19

Pemeliharaan Musuh Alami ... 20

Pengaplikasian ... 20


(9)

Persentase Kematian Imago ... 20

Waktu Kematian Imago... 21

Gejala Serangan ... 21

Identifikasi Tungau ... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN Persentase Kematian Imago ... 22

Waktu Kematian Imago ... 25

Gejala Serangan ... 29

Identifikasi Tungau ... 31

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 36

Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

NO JUDUL Hal

1. Beda uji rataan pengaruh inokulasi tungau parasit terhadap mortalitas imago O. rhinoceros L. (%) pada pengamatan

5-26 hsi... 22 2. Beda uji rataan pengaruh inokulasi tungau parasit

terhadap waktu kematian imago O. rhinoceros L. (%)


(11)

DAFTAR GAMBAR

NO JUDUL Hal

1. Telur O. rhinoceros L. ... 5

2. Larva O. rhinoceros L. ... 5

3. Pupa O. rhinoceros L. ... 6

4. Imago O. rhinoceros L. ... 7

5. Gejala Serangan O. rhinoceros L. ... 7

6. Tungau Parasit ... 10

7. Grafik garis pengaruh inokulasi tungau parasit terhada mortalitas imago O. rhinoceros L. (%) pada pengamatan 5-26 hsi ... 28

8. Beda uji rataan pengaruh inokulasi tungau parasit terhadap waktu kematian imago O. rhinoceros L. (%) pada pengamatan 1-32 hsi ... 28

9. Gejala Serangan imago O. rhinoceros L. yang terinokulasi Tungau spesies A ... 29

10. Gejala Serangan imago O. rhinoceros L. yang terinokulasi Tungau spesies B ... 30

11. Gejala Serangan imago O. rhinoceros L. yang terinokulasi Tungau spesies C ... 31


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

NO JUDUL Hal

1. Bagan Penelitian ... 41

2. Foto Penelitian ... 43

3. Foto inokulasi Tungau ... 44

4. Data Pengamatan 3 Hsi Mortalitas Imago O. rhinoceros L. (%) ... 45

5. Data Pengamatan 5 Hsi Mortalitas Imago O. rhinoceros L. (%) ... 46

6. Data Pengamatan 6 Hsi Mortalitas Imago O. rhinoceros L. (%) ... 47

7. Data Pengamatan 7 Hsi Mortalitas Imago O. rhinoceros L. (%) ... 48

8. Data Pengamatan 9 Hsi Mortalitas Imago O. rhinoceros L. (%) ... 49

9. Data Pengamatan 10 Hsi Mortalitas Imago O. rhinoceros L. (%) ... 50

10.Data Pengamatan 13 Hsi Mortalitas Imago O. rhinoceros L. (%) ... 51

11. Data Pengamatan 14 Hsi Mortalitas Imago O. rhinoceros L. (%) ... 52

12.Data Pengamatan 15 Hsi Mortalitas Imago O. rhinoceros L. (%) ... 53

13.Data Pengamatan 17 Hsi Mortalitas Imago O. rhinoceros L. (%) ... 54

14.Data Pengamatan 22 Hsi Mortalitas Imago O. rhinoceros L. (%) ... 55

15.Data Pengamatan 23 Hsi Mortalitas Imago O. rhinoceros L. (%) ... 56

16.Data Pengamatan 24 Hsi Mortalitas Imago O. rhinoceros L. (%) ... 57

17.Data Pengamatan 26 Hsi Mortalitas Imago O. rhinoceros L. (%) ... 58

18.Data Pengamatan 1-62 Hsi Waktu Kematian Imago jantan O. rhinoceros L. (%) ... 59

19.Data Pengamatan 1-62 Hsi Waktu Kematian Imago betina O. rhinoceros L. (%). ... 60


(13)

20. Foto Identifikasi Tungau Spesies A, B dan C ... 61 21. Foto Bagan Penelitian ... 42


(14)

ABSTRACT

Fazaria Hanum Nasution, "Test of Effectivity Some Parasitic Mites (Arachnida: Parasitiformes) Shoot Borer Imago Against Palm Oil (O. rhinoceros L.) (Coleoptera: Scarabaeidae) in the Laboratory", under the guidance Marheni and Syahrial Oemry. This study purposed to test the effective some parasitic mites of Oryctes rhinoceros L. in the laboratory. This study used a complete randomized design (CRD), non-factorial with

four replications of 4 treatments A0 (control), A1 (mite species A), A2 (mite species B), A3 (mite species C) 40 individuals of each mite parasite .

The results showed the percentage of mortality of adult O. rhinoceros L. The highest mortality be showed O. rhinoceros in treatment A1 (inoculated mites species B (Proctolaelaps) of 40 individuals mite species B) 100.00% and the lowest in treatment A3 (inoculated mites species C (Pneumolaelaps) of 40 individuals mite species C) at 75.00 %. The results showed that the mite species B (Proctolaelaps) more effective used in controlling adult O. Rhinoceros L. compared by the two other species of rhinoceros species, namely A (Macrocheles) and species C (Pneumolaelaps), but three of them can be used to control adult O. rhinoceros L. in biological and environmental friendly.


(15)

ABSTRAK

Fazaria Hanum Nasution, “ Uji Efektivitas Beberapa Tungau Parasit (Arachnida: Parasitiformes) Terhadap Imago Penggerek Pucuk Kelapa Sawit (Oryctes rhinoceros L.) (Coleoptera: Scarabaeidae) di Laboratorium”, dibawah bimbingan Marheni dan Syahrial Oemry. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas beberapa tungau parasit terhadap Oryctes rhinoceros L. di laboratorium. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) non faktorial dengan 4 perlakuan empat ulangan yaitu A0 (kontrol), A 1 (tungau spesies A), A2 (tungau spesies B), A3 (tungau spesies C) masing-masing 40 ekor tungau parasit.

Hasil penelitian menunjukkan persentase mortalitas imago O. rhinoceros tertinggi terdapat pada perlakuan A2 (diinokulasikan tungau spesies B (Proctolaelaps) sebanyak 40 ekor tungau spesies B) sebesar 100,00% dan terendah pada perlakuan A3 (diinokulasikan tungau spesies C (Pneumolaelaps) sebanyak 40 ekor tungau spesies C) sebesar 75,00%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tungau spesies B (Proctolaelaps) lebih efektif digunakan dalam mengendalikan imago O. rhinoceros dibanding dua spesies lainnya yakni spesies A (Macrocheles) dan spesies C (Pneumolaelaps), tetapi ketiganya dapat digunakan untuk mengendalikan imago O. rhinoceros L. secara hayati dan ramah lingkungan.


(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq.) sangat penting artinya bagi Indonesia. Selama kurun waktu 20 tahun terakhir kelapa sawit menjadi komoditas andalan ekspor dan komoditas yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan harkat petani pekebun serta para transmigran di Indonesia. Total investasi perkebunan kelapa sawit selama April-September 2007 mencapai Rp 7,7 triliun, sehingga berpotensi menyerap sedikitnya 93.000 tenaga kerja dan dapat menggerakkan perekonomian di pedesaan (Perdamean, 2008). Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman yang kuat, walaupun demikian tanaman ini mampu di serang hama. Hama kumbang tanduk (O. rhinoceros L.) merupakan salah satu hama yang menyerang pertanaman kelapa sawit. Umumnya menyerang tanaman kelapa sawit yang muda. Serangan hama ini dapat menurunkan produksi tandan buah segar (TBS) pada tahun pertama hingga 69% dan menimbulkan kematian pada tanaman muda hingga 25%. Masalah kumbang tanduk saat ini semakin bertambah dengan adanya aplikasi tandan

kosong pada kelapa sawit yaitu pada gawangan maupun pada sistem lubang tanam besar (BPKKS, 2004).

Pengendalian berwawasan lingkungan adalah tindakan pengendalian hama yang berdasarkan atau berpedoman kepada Konsepsi Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Penerapan konsepsi PHT tersebut di dorong oleh banyak faktor yang pada dasarnya adalah dalam rangka penerapan program pembangunan nasional berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Pengendalian hayati merupakan salah salah satu pengendalian hama terpadu dengan memanfaatkan musuh alami serangga hama yakni predator, parasitoid dan patogen.


(17)

Teknik atau cara pengendalian hayati yaitu Inokulasi adalah penglepasan musuh alami (predator/parasitoid) dalam jumlah yang sedikit, diharapkan musuh alami mampu berkembangbiak. Inundasi adalah penglepasan musuh alami dalam jumlah besar secara periodik dan konservasi yaitu menciptakan lingkungan yang mendukung dan mengguntungkan untuk perkembangan musuh alami (Hidayat dan Sartiami, 2010).

Salah satu komponen PHT yang menerima perhatian meningkat adalah penggunaan agen kontrol biologis disebut juga agen biokontrol. Sederhananya, agen biokontrol adalah setiap bentuk kehidupan yang digunakan untuk mengendalikan atau membasmi. Agen biokontrol yang digunakan adalah termasuk serangga, tungau, bakteri, jamur dan nematoda ini mungkin agen hayati berupa predator, parasit dan patogen (Linda, 2010).

Tungau dapat ditemukan di tanah yang membusuk dan pada bahan organik, berada dalam tubuh hewan lain yang bersifat ektoparasit dan pada tanaman dari segala jenis. Ekologi keragaman ini telah disertai dengan tingkat keanekaragaman morfologi. Diversifikasi tungau pada gilirannya telah diperkuat dengan ukuran tubuh kecil yang memungkinkan mereka untuk menempati ruang. Tungau memiliki banyak kesamaan dengan serangga terutama sebagai hama tanaman budidaya (Halliday, dkk, 1997).

Secara umum populasi organisme di alam berada dalam keadaan seimbang pada jenjang populasi tertentu. Hal ini disebabkan oleh faktor lingkungan dan juga faktor dalam populasi sendiri yang mengendalikan populasi tersebut. Salah satu kelompok faktor lingkungan itu adalah predator dan parasit. Tungau parasit adalah faktor penting dalam pengendalian alamiah. Tungau parasit di alam beragam jumlahnya dan secara maksimal belum banyak dimanfaatkan (Huffaker dan Messenger, l989). Untuk itulah penelitian ini


(18)

perlu dilakukan untuk dapat mengetahui seberapa besar efektivitas tungau parasit dalam mengendalikan hama sebagai agensia hayati.

Tujuan Penelitian

untuk mengetahui efektivitas beberapa tungau parasit terhadap hama penggerek pucuk kelapa sawit (O. rhinoceros L.).

Hipotesa Penelitian

Beberapa tungau parasit ini memiliki efektivitas yang berbeda dalam mengendalikan hama penggerek pucuk kelapa sawit (O. rhinoceros L. ) di Laboratorium.

Kegunaan Penelitian

• Sebagai salah satu syarat untuk dapat melakukan penelitian di Departemen Hama dan Penyakit tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.


(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Kumbang Badak (O. rhinoceros L.)

Adapun sistematika dari kumbang tanduk menurut Kalshoven, (1981) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Class : Insecta Ordo : Coleoptera Family : Scarabaeidae Genus : Oryctes

Spesies : Oryctes rhinoceros L.

Hama ini merupakan hama utama pada TBM kelapa sawit. Tingkat serangan berat bila tanaman pada areal sebelumnya telah mengalami serangan Ganoderma. Pohon-pohon yang terserang Ganoderma lebih cepat membusuk, sehingga lebih cepat tersedia media perkembangbiakan hama tersebut. Berdasarkan pengalaman pada satu batang kelapa sawit yang mati akibat Ganoderma di jumpai ± 150-200 ekor larva kumbang tanduk (BPKKS, 2004).

Telur kumbang tanduk betina bertelur pada bahan-bahan organik seperti di tempat sampah, daun-daunan yang telah membusuk, pupuk kandang, batang kelapa, kompos, dan lain-lain. Siklus hidup kumbang ini antara 4-9 bulan, namun pada umumnya 4,7 bulan.


(20)

berwarna putih, mula-mula bentuknya jorong, kemudian berubah agak membulat. Telur yang baru diletakkan panjangnya 3 mm dan lebar 2 mm (Vandaveer, 2004).

Gambar 1: Telur O. rhinoceros L. Sumber: Foto langsung

Larva berwarna putih, berbentuk silinder, gemuk dan berkerut-kerut, melengkung membentuk setengah lingkaran. Kepala keras dilengkapi dengan rahang yang kuat. Larva berkembang pada kayu lapuk, kompos, dan hampir semua bahan organik yang membusuk. Batang kelapa sawit dan kelapa adalah tempat yang baik untuk tempat hidup larva ini (Prawirosukarto, dkk, 2003).

Gambar 2: Larva (O. rhinoceros L.) Sumber: Foto langsung


(21)

Larva mempunyai kaki 3 pasang, larva akan segera memakan bagian tanaman yang masih ada serta bahan organik yang ada didekatnya. Tahap larva terdiri dari tiga instar, masa larva instar satu 12-21 hari, instar dua 12-21 hari dan instar tiga 60-165 hari. Larva terakhir mempunyai ukuran 10-12 cm, larva dewasa berbentuk huruf C, kepala dan kakinya berwarna coklat (Mohan, 2006).

Pupa berada dalam tanah, berwarna coklat kekuningan berada dalam kokon yang dibuat dari bahan-bahan organik disekitar tempat hidupnya. Pupa jantan berukuran sekitar 3-5 cm, yang betina agak pendek. Pada prapupa 8-13 hari. Masa kepompong berlangsung antara 18-23 hari. Kumbang yang baru muncul dari pupa akan tetap tinggal ditempatnya antara 5-20 hari, kemudian terbang keluar (Prawirosukarto, dkk, 2003).

Gambar 3: Pupa (O. rhinoceros L.) Sumber: Foto langsung

Imago O. rhinoceros L. mempunyai panjang 30-57 mm dan lebar 14-21 mm, imago jantan lebih kecil dari imago betina. O. rhinoceros L. betina mempunyai bulu yang tebal pada bagian ujung abdomennya, sedangkan yang jantan tidak berbulu. O. rhinoceros L. dapat


(22)

pasangan untuk berkembangbiak. Pada umumnya imagonya berwarna hitam (Prawirosukarto, dkk, 2003).

Gambar 4: Imago (O. rhinoceros L.) Sumber: Foto langsung

Gejala Serangan

Pada tanaman berumur kurang 1 tahun terdapat lubang gerekan pada pangkal batang dekat permukaan tanah. Di depan lubang gerekan terdapat serpihan batang yang digerek. Serangan berat kumbang tanduk pada tanaman kelapa sawit terutama masa tanaman belum menghasilkan menyebabkan kerusakan pelepah dan titik tumbuh, tanaman tidak homogen dan pertumbuhan terhambat serta produksi optimal pada masa tanaman menghasilkan muda tidak tercapai (± 40% lebih rendah dari produksi optimal) (BPKKS, 2004).


(23)

Gambar 5: Gejala Serangan (O. rhinoceros L.) Sumber: Foto Langsung

Pengendalian

1.Pencegahan dengan teknik budidaya yaitu penanaman kelapa sawit pada saat peremajaan (TU) agar dilaksanakan apabila tanaman penutup tanah kacangan telah menutup dengan sempurnah. Batang tumpuan batang-batang tua kelapa sawit oleh kacangan dengan usaha menekan serangan kumbang, karena kumbang akan mengalami kesulitan berkembangbiak. 2.Pencegahan dan pemberantasan manual yaitu membelah batang-batang kelapa sawit.

Tanaman tua yang telah membusuk dan mengumpulkan larvanya untuk selanjutnya dimusnahkan dengan cara membakar dan membunuhnya.

3.Penggunaan pengendalian hayati yaitu menggunakan musuh alami dari hama kumbang tanduk seperti menggunakan tungau, menggunkan jamur antagonis yakni Metharizium anisopliae serta menggunakan feromon.

4. Penggunaan Pestisida yaitu menggunaan jenis-jenis insektisida yang dapat menekan populasi kumbang tanduk seperti Dieldrin dan Basudin 10G.

(BPKKS, 2004).

Biologi Tungau

Adapun sistematika dari tungau menurut Kalshoven, (1981) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda Class : Arachnida Ordo : Parasitiformes


(24)

Gambar 6: Kumbang yang terparasit tungau Sumber: Foto Langsung

Gambar 7: Spesies B Gambar 8: Spesies C Sumber: Foto Langsung Sumber: Foto Langsung


(25)

Gambar 9: Spesies A Sumber: Foto Langsung

Tungau (Acari) untuk kontrol biologis adalah sebuah publikasi yang sangat komprehensif, mencakup di dalamnya 34 keluarga acarine yang berguna untuk mengendalikan hama dan serangga tungau, nematoda dan gulma. Selain memberikan informasi pada setiap keluarga acarine yang relevan. Tungau sekarang digunakan dalam berbagai cara untuk kontrol biologis dengan semakin banyak spesies yang dijual secara komersial di seluruh dunia (Halliday, 1997).

Sub-kelas acari dari kelas arachnida adalah beberapa group dari Arthropoda yang telah diketahui yakni tungau dan caplak. Para Author modern telah membedakan klasifikasi tertinggi dari organisme ini. Klasifikasi yang telah dibagi disini sebelumnya dilakukan oleh Krants (1978) yang dibagi kedalam ke dua ordo yakni parasitiformes dan acariformes. Diantara parasitiformes dibagi kedalam subordo yakni Hothyrida (Tetrastigmata), Gamasida (Mesostigmata) dan Ixodida. Dua dari sub-ordo ini yang paling penting ialah mesostigmata dan Ixodida yang merupakan parasit dari hewan dan serangga lainnya. mesostigmata merupakan parasit tungau yang memiliki spesies yang banyak dari inang invertebrata (Furman dan Catts, 1982).

Ordo parasitiformes terdiri dari sub-ordo tetrastigmata, ixodida dan mesostigmata. Tungau parasitiformes secara ekonomi paling penting yakni dari sub-ordo mesostigmata, terutama famili Dermanyssoidea juga parasit yang dapat memarasit mamalia, burung, dan reptil. Tungau phytoseiid digunakan dalam pengendalian hayati milik mesostigmata. Parasitiformes memiliki coxae membuka pada anal ventral ditutupi oleh sepasang plat, corniculli pada hypostome sebuah cincin yang mengelilingi sclerotised gnathosoma


(26)

(kapitulum), dan banyak holothyrids dan beberapa mesostigmata merupakan tungau parasit (Walter dan Evans, 1996).

Mesostigmata mencakup sekitar 80 famili. Mereka dicirikan oleh serangkaian sclerotised kasar yang mencakup tubuh dan sepasang stigmata lateral yang merupakan bukaan eksternal dari sistem trakea. Ada juga sebagai predator, sementara beberapa juga memakan serbuk sari dan nektar. Mereka ada di berbagai habitat termasuk tanah dan sampah tetapi juga melimpah di kotoran, bangkai, kompos, dan di sarang vertebrata. Banyak yang bermanfaat, berkontribusi terhadap pengendalian hama serangga dan kutu. Terkenal di antaranya adalah keluarga Phytoseiidae yang banyak digunakan dalam mengendalikan tungau laba-laba yang merusak tanaman (Gerson, dkk 2003.). Banyak famili adalah parasit vertebrata termasuk famili Dermanyssidae dan Macronyssidae, yang merupakan parasit hewan peliharaan dan dapat menyerang manusia. Banyak famili tungau juga berasosiasi dengan serangga (Gilyarov dan Bregetova, 1977).

Ukuran mesostigmata sangat kecil 0,12- 4 mm tungau dengan sepasang stigmatal bukaan di atas kaki III-IV biasanya berhubungan dengan alur peritrematal, gnathosoma dengan cincin sclerotized yang kapitulum dasar yang meliputi dasar dari chelicerae. Palps dengan 5 segmen dan biasanya dengan palp subdistal apotele; subcapitulum biasanya dengan alur median dengan baris-banyak transversal dentikel 1 tanduk-seperti membagi dalam dua cabang untuk corniculi membran biasanya ada pada tritosternum kecuali dalam beberapa parasit coxa bebas mengartikulasikan dengan tubuh chelicerae 3-tersegmentasi tanpa trichobothria prodorsal wilayah intercoxal dengan kelamin perisai unsur-unsur dan sternum pengembangan larva hexapod (makan atau non-makan) dan dua tahap nymphal octopod (protonymph, deutonymph) yang dikenakan biasanya ringan sclerotized, intercoxal dan perut pelat punggung; pembukaan kelamin tidak dinyatakan sampai tahap dewasa tetapi sering


(27)

dengan chelicerae dimodifikasi untuk mentransfer sperma (spermatodactyl, spermatotreme); menerima sperma betina (Johnston, 1982).

Gambar 10: Bagian tubuh tungau

Sumber:http://keys.lucidcentral.org/keys/v3/mites/Invasive_Mite_Identification/key/Mesostig mata.

Sub-ordo Mesostigmata memiliki beberapa famili diantaranya Macrochelide, Ascidae, dan Laelapidae. Sedangkan yang paling banyak menjadi agens biokontrol adalah famili Macrochelidae. Macrochelidae sebagian besar spesies memiliki peritreme bengkok dan sikat arthrodial berkembang dengan baik. Betina dewasa biasanya memiliki pelindung sternum di dukung 3 pasang setae. setae (st4) pada perisai metasternal kecil, dan perisai ventrianal berkembang dengan baik.


(28)

Gambar 12: Bagian tubuh famili Macrochelidae

Sumber:http://keys.lucidcentral.Mite_Identification/key/Mesostigmata/Media/Html/Macroche lidae.htm.

Kuning agak gelap kecoklatan dengan pelindung holodorsal. Pelindung Sternal biasanya memanjang sampai kedua sisi pelindung kelamin dan di dukung 3 pasang setae (st1-3) dan pelindung metasternal hadir, di dukung st4 dan stp3; pelindung genital umumnya berbentuk gundukan dan di dukung sepasang setae; pelindung ventrianal sempit dengan beberapa pasang setae ventral (Adis dan Krantz, 1985).

Famili Ascidae didistribusikan di seluruh dunia dan mencakup 34 genera. Ascidae tinggal di tanah, serasah daun, situasi subkortikal dan sering dikaitkan dengan hewan lain (Halliday et al, 1998.). Tungau kebanyakan predator, beberapa bersifat parasit. Beberapa spesies dari genus Proctolaelaps berasosiasi dengan lebah (Haragsim, dkk, 1978).

Ascidae adalah keluarga dari superfamili Ascoidea. Tungau berada di tanah, pada tanaman atau dalam hubungan dengan hewan lain. Para ascidae kecil sampai sedang dalam ukuran (300-500 mm) dan sering berwarna pucat, kuning sampai coklat warna. Chelicerae ini adalah dentate, bergerigi, dan jarang dengan mengalami kemunduran tetap digit. Palps memiliki enam setae pada lutut dan apotele kedua-tined pada tarsus. Idiosoma memiliki salah satu saja pelindung dan kedua pelindung, dengan 25-45 pasang setae (lebih dari kedua pasang posteromedian setae). Pelindung sternum umumnya tingkat kedua dan tiga pasang setae, pasangan keempat setae sternum kadang-kadang pada pasangan perisai metasternal. Pelindung kelamin biasanya trapesium untuk subrectangular. Pembuka kelamin pada jantan adalah presternal di dasar tritosternum. Pelindung ventrianal adalah subcordate untuk luas meliputi Venter. Kaki panjang, dan berakhir di sepasang kukunya, yang mungkin tidak ada di tungkai I (Amidi dan Downes, 1990).


(29)

Gambar 13 : Bagian tubuh famili Ascidae

Sumber:http://keys.lucidcentral.org/keys/v3/mites/invasive_mite_identification/key/mesostig mata.

Famili Laelapidae adalah superfamili Dermanyssoidea di urutan Mesostigmata. Tungau ini termasuk parasit vertebrata, beberapa diantaranya menyerang hewan domestik dan hewan penting. Jenis Hypoaspis adalah yang hidup bebas umumnya di tanah dan telah digunakan dalam kontrol biologis. Laelapidade adalah tungau sclerotized untuk ukuran besar. Mereka biasanya berwarna kecoklatan pada saat masih hidup. Chelicerae mempunyai digit dentate menonjol, dengan dentilis pilus pada digit. Deutosternum memiliki lima sampai tujuh baris melintang dentikel. Pelindung dorsal secara keseluruhan. Daerah presternal sering melapisi dengan gambaran yg mirip kisi-kisi. Pelindung sternum dari betina memiliki tiga pasang setae dan kedua pasang pori-pori. Pelindung genital bulat belakang. Jantan memiliki pelindung holoventral dengan terpisah sternum, kelamin dan pelindung anal (Halliday, 1998).


(30)

Gambar 14: Bagian tubuh famili Laelapidae

Sumber://http://keys.lucidcentral.org/keys/v3/mites/invasive_mite_identification/key/mesosti gmata/media/html/Laelapidae.htm

.

Siklus hidup dari tungau ini terdiri dari telur, larva mengalami pergantian kulit dan berkembang menjadi nimfa dengan 8 kaki. Protonymph akan berkembang dan mengalami pergantian kulit menjadi deutonymph juga mengalami hal yang sama yakni mengalami pergantian kulit menjadi tahap dewasa. Banyak juga spesies tungau mengalami partenogenesis. Mereka dapat menyelesaikan telur sampai dewasa dalam waktu dua minggu dan tergantung pada suhu (Hughes, 1976).


(31)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Dengan ketinggian tempat ±25 m di atas permukaan laut. Dilaksanakan mulai Februari sampai selesai.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk batang kelapa sawit sebanyak 100 gram, air, sepasang imago O. rhinoceros L. (jantan dan betina) yang bersifat homogen, tungau parasit spesies A, B, C dan alkohol.

Alat-alat yang digunakan adalah stoples ukuran 12 cm , kain muslim berwarna putih, tissu, karet gelang, mikroskop, sendok makan, petridis, kuas, loop, thermohigrometer yakni alat mengukur kelembapan dan suhu, ember dan alat tulis.

Metode Penelitian

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial, dengan perlakuan:

A₀ : Tanpa Perlakuan (Kontrol)

A₁ : 40 ekor tungau spesies A / stoples A₂ : 40 ekor tungau spesies B / stoples A₃ : 40 ekor tungau spesies C / stoples


(32)

Masing-masing perlakuan terdiri dari 4 ulangan dengan rumus: t (r-1) ≥ 15

4 (r-1) ≥ 15 4r -4 ≥ 15

4r ≥ 15 + 4

4r ≥ 19

r ≥ 4,75

r = 4

Jumlah Perlakuan : 4

Jumlah ulangan : 4 Ulangan

Jumlah unit Percobaan : 16 Unit Percobaan

Model linier yang digunakan adalah sebagai berikut: Yij = µ + αi + βj + ∑ij

Yij = Respon atau nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j. µ = Nilai rata-rata umum

αi = Nilai pengamatan pengaruh perlakuan ke-i βj = Nilai pengamatan pengaruh kelompok ke-j

τij = Efek eror karena pengaruh perlakuan pada taraf ke-i dan peda ulangan ke-j

Apabila hasil analisa sidik ragam menunjukkan nilai berbeda nyata dilanjutkan dengan Uji Jarak Duncan.

Pelaksanaan Penelitian


(33)

Media yang digunakan berupa stoples ukuran 12 cm yang telah diisi dengan makanan O. rhinoceros L. yaitu berupa serbuk dari batang kelapa sawit yang diambil dari lapangan sebanyak 100 gram. Media disediakan sebanyak 16 stoples. Bersama dengan stoples disediakan juga kain muslim yang berwarna putih dan karet gelang yang digunakan untuk menutup bagian atas stoples.

b. Penyediaan Imago Serangga Uji

Serangga uji disediakan dengan cara membuat pemeliharaan atau riringan pupa kumbang tanduk (O. rhinoceros L.) di laboratorium. Imago O. rhinoceros L. dari riringan harus ada sebanyak 32 imago yang terdiri dari imago jantan dan imago betina. Kemudian imago dimasukkan ke dalam stoples, dimana tiap stoples berisi sepasang imago dan dipastikan imago O. rhinoceros L. dalam keadaan sehat.

c. Penyediaan Tungau Spesies A, B dan C

Musuh alami yang digunakan di ambil dari hasil pemeliharaan atau riringan imago yang telah terinfeksi oleh tungau maupun diambil dari lapangan.

d. Pemeliharaan Tungau spesies A, B dan C

Pemeliharaan tungau dalam tubuh imago dilakukan di Laboratorium. Masing-masing tungau spesies A, B dan C di pelihara ditempat yang terpisah. Di letakkan di sebuah stoples yang telah di beri label yakni yungau spesies A, B dan C dengan kelembapan sebesar ± 85% dan suhu sebesar 240C.


(34)

d. Pengaplikasian

Pengaplikasian tungau spesies A, B dan C pada imago O. rhinoceros L. dilakukan dengan cara menginokulasikan tungau tersebut pada imago O. rhinoceros L. dengan menggunakan kuas dan digunakan loop agar dapat memperjelas tungau tersebut yang hitung sebanyak perlakuan yang dibuat dan di letakkan atau di inokulasikan pada bagian tubuh O. rhinoceros L. kemudian diaplikasikan sesuai dengan perlakuan masing-masing.

Peubah Amatan

1. Persentase Mortalitas Imago

Pengamatan mortalitas imago dilakukan setiap hari setelah aplikasi. Pengamatan tersebut dilakukan dengan menghitung jumlah imago yang mati dan kemudian dihitung mortalitas imago. Persentase mortalitas imago dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

P =

Keterangan:

P = Persentase mortalitas imago a = Jumlah imago yang mati


(35)

2 .Waktu Kematian Imago

Pengamatan waktu kematian imago kumbang O. rhinoceros L. dilakukan setelah aplikasi. Pengamatan dilakukan setiap hari dan dilihat waktu kematian imago O . rhinoceros L. pada hari keberapa setelah aplikasi dilakukan.

3. Gejala Kematian dari Penyerangan Tungau

Pengamatan dilakukan terhadap gejala kematian imago yang disebabkan oleh masing-masing tungau yakni spesies A, B dan C kemudian diambil gambar dari gejala kematian imago tersebut.

4. Identifikasi Tungau

Identifikasi tungau dilaksanakan setelah inokulasi dilakukan. Identifikasi tungau dilakukan sampai tingkat famili.


(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persentase Mortalitas Imago

O. rhinoceros L.

Data pengamatan persentase mortalitas imago O. rhinoceros akibat inokulasi tungau parasit dari hasil analisis sidik ragam, dapat dilihat bahwa perlakuan inokulasi tungau parasit spesies A (Macrocheles), B (Proctolaelaps) dan C (Pneumolaelaps) pada pengamatan 5-26 hari setelah inokulasi berpengaruh nyata terhadap mortalitas imago O. rhinoceros L.. Untuk mengetahui perlakuan yang berbeda nyata dapat dilihat pada tabel 1:

Tabel 1. Beda uji rataan pengaruh inokulasi tungau parasit spesies A((Macrocheles), B (Proctolaelaps) dan C (Pneumolaelaps)) terhadap mortalitas imago O.rhinoceros L. (%) pada pengamatan 17-26 hsi:

Perlakuan

Mortalitas (%) O. rhinoceros L.

17 hsi 22 hsi 23 hsi 24 hsi 26 hsi

A0 0,00c 0,00c 0,00c 0,00c 0,00c

A1 25,00b 37,50b 50,00b 62,50b 87,50a A2 75,00a 75,00a 75,00a 100,00a 100,00a A3 75,00a 75,00a 75,00a 75,00ab 75,00ab

Keterangan: Angka yang diikuti notasi huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan taraf 5 %.

Hsi : hari setelah inokulasi.

Tabel 1 menunjukkan bahwa pada pengamatan 17 hari setelah inokulasi mortalitas imago O. rhinoceros L. tertinggi terdapat pada perlakuan A2 (diinokulasikan 40 ekor tungau spesies B (Proctolaelaps)) dan A3 (diinokulasikan 40 ekor tungau spesies C (Pneumolaelaps)) yaitu sebesar 75,00% dibanding perlakuan A1 (diinokulasikan 40 ekor


(37)

tungau spesies A (Macrocheles)) yaitu sebesar 25,00% sedangkan pada pengamatan 26 hari setelah inokulasi, mortalitas imago O. rhinoceros L. terlihat jelas adanya perbedaan yakni mortalitas tertinggi terdapat pada perlakuan A2 (diinokulasikan 40 ekor tungau spesies B (Proctolaelaps)) sebanyak 100,00% dan terendah pada perlakuan A3 (diinokulasi 40 ekor tungau spesies C (Pneumolaelaps) sebanyak 75,00% hal ini menunjukkan bahwa tungau parasit spesies B (Proctolaelaps) lebih efektif di gunakan untuk mengendalikan imago O. rhinoceros L. dari pada tungau parasit spesies A (Macrocheles) dan spesies C (Pneumolaelaps) di karenakan tungau parasit juga memiliki spesifik inang, jika ia sesuai

dengan inang sasarannya tungau parasit tersebut akan lebih efektif dalam mematikan hama. Treat dan Niederman (1967) menyatakan bahwa sekitar 100 spesies Proctolaelaps (yang

merupakan spesies B) telah digambarkan dari berbagai habitat dan asosiasi yakni beberapa spesies Proctolaelaps biasanya dibawa oleh Coleoptera, Lepidoptera dan Hymenoptera.

Dari tabel 1 diketahui bahwa ketiga tungau parasit spesies A (Macrocheles), B (Proctolaelaps) dan C (Pneumolaelaps) mampu mengendalikan mortalitas imago O. rhinoceros L.. Hal ini dapat dilihat pada pengamatan 26 hari setelah inokulasi pada perlakuan A2 (diinokulasikan 40 ekor tungau spesies B (Proctolaelaps)) sebesar 100,00%, A1 (diinokulasikan 40 ekor tungau spesies A (Macrocheles)) sebesar 87,50% dan A3 (diinokulasikan 40 ekor tungau spesies C (Pneumolaelaps)) sebesar 75,00% dari hasil inilah ketiga tungau parasit ini mampu mengendalikan imago O. rhinoceros L. walaupun tingkat efektivitas mematikan imago O. rhinoceros L. berbeda, namun ketiga tungau parasit ini mampu mematikan imago O. rhinoceros L. Greene (2001) menyatakan bahwa parasit tungau berada dimana-mana, di lingkungan dan mempengaruhi banyak organisme di beberapa tahap kehidupan. Parasit didefinisikan sebagai organisme yang hidup secara ektoparasit dan


(38)

untuk gizi mereka sendiri, umur panjang, dan reproduksi. Selama interaksi mereka dengan inang, parasit dapat menurunkan kebugaran inang. Polak (2010) menyatakan bahwa selama infeksi, parasit menyerap nutrisi inang. Sehingga inang tersebut mengalami gangguan dalam hal makan dan proses asimilasi. Kemudian parasit ini juga mampu mengganggu secara fisiologi, tubuh menjadi kurus serta kematian yang tinggi.

Beda rataan mortalitas imago O. rhinioceros L. akibat inokulasi tungau parasit pada setiap waktu pengamatan dapat dilihat pada diagram garis 1.

Gambar 15: Diagram garis pengaruh inokulasi tungau parasit terhadap mortalitas imago O. rhinoceros L. pada setiap waktu pengamatan.

Waktu Kematian Imago O rhinoceros L.

Hasil pengamatan rata-rata dan analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan dengan ketiga jenis tungau parasit memberi pengaruh nyata terhadap O. rhinoceros L. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Persentase waktu kematian imago betina O. rhinoceros L. pada pengamatan 1-62 hsi.


(39)

Perlakuan Rataan (hari)

A0 54,75a

A1 18,00b

A2 12,25b

A3 7,25b

Tabel 2. Rataan waktu kematian imago betina O. rhinoceros L. terhadap inokulasi tungau parasit spesies A, B dan C pada pengamatan 1-62 hsi (hari setelah inokulasi).

Tabel 3. Persentase waktu kematian imago jantan O. rhinoceros L. pada pengamatan 1-62 hsi.

Perlakuan Rataan (hari)

A0 66,00a

A1 31,00b

A2 21,50b

A3 23,50b

Tabel 3. Rataan waktu kematian imago jantan O. rhinoceros L. terhadap inokulasi tungau parasit spesies A, B dan C pada pengamatan 1-62 hsi (hari setelah inokulasi).

Dari tabel 2 dan 3 diketahui bahwa perlakuan A0 (kontrol) berbeda nyata pada perlakuan lainnya yaitu pada perlakuan A1 (diinokulasikan 40 ekor tungau spesies A (Macrocheles)), A2 (diinokulasi 40 ekor tungau spesies B (Proctolaelaps)) dan A3 (diinokulasi 40 ekor tungau spesies C (Pneumolaelaps)). Sedangkan pada perlakuan A1 (diinokulasi 40 ekor tungau spesies A (Macrocheles)), A2 (diinokulasi 40 ekor tungau spesies B (Proctolaelaps)) dan A3 (40 ekor tungau spesies C (Pneumolaelaps)) berbeda nyata hal ini

menunjukkan bahwa tungau memiliki efektivitas terhadap waktu kematian imago O. rhinoceros L. terhadap perlakuan kontrol yang tidak diberi perlakuan. Hal ini berarti ketiga

tungau parasit ini mengambil nutrisi inangnya sehingga menyebabkan kematian yang cepat dibanding imago yang tidak diberi perlakuan Polak (2010) menyatakan bahwa selama infeksi, parasit menyerap nutrisi inang. Sehingga parasit rsebut mengalami gangguan dalam hal makan dan proses asimilasi. Kemudian parasit ini juga mampu mengganggu secara


(40)

Dari tabel 2 dan 3 diketahui bahwa perlakuan A1 (diinokulasikan 40 ekor tungau spesies A (Macrocheles)), A2 (diinokulasi 40 ekor tungau spesies B (Proctolaelaps)) dan A3 (diinokulasikan 40 ekor tungau spesies C (Pneumolaelaps)) tidak berbeda nyata. Pada perlakuan A1 (diinokulasi 40 ekor tungau spesies A (Macrocheles)) sebesar 18,00% (imago betina) dan 31,00% (imago jantan), A2 (diinokulasi 40 ekor tungau spesies B (Proctolaelaps)) sebesar 12,75% (imago betina) dan 21,50% (imago jantan) dan A3 (diinokulasi 40 ekor tungau spesies C (Pneumolaelaps)) sebesar 7,25% (imago betina) dan 23,50% (imago jantan) hal ini disebabkan ketiga spesies tungau tersebut sama-sama bersifat phoretic yaitu memanfaatkan serangga lain untuk penyebarannya dan selama belum menemukan habitatnya yang baru tungau parasit akan mengambil cairan hemolif kumbang tersebut dan ketiga tungau parasit tersebut memiliki ordo yang sama sehingga waktu kematiannya tidak berbeda nyata. Hal ini sesuai dengan Rodrigueiro dan Angelo Pires (2004) menyatakan bahwa phoresy (phoretic) adalah sebuah fenomena dimana hewan secara aktif mencari dan menempel pada permukaan hewan lain dan memasuki ketenangan dari hewan tersebut. Hal ini dilakukan tungau untuk melakukan penyebaran sampai menemukan habitat yang baru yang memiliki sumber makanan yang banyak.

Dari hasil pengamatan diketahui bahwa waktu kematian imago betina lebih cepat waktu kematianya dibanding imago jantan. Dari tabel 2 dan tabel 3 diketahui bahwa waktu kematian lebih cepat terjadi pada imago betina dibanding imago jantan hal ini dipengaruhi oleh tungau parasit. Tungau parasit mempengaruhi imago betina pada awal seksualnya yakni pada saat kawin sesuai dengan pernyataan Polak (2002) tungau parasit memiliki efek negatif terhadap inangnya yakni dapat mempengaruhi kebugaran inang, kelangsungan hidup inang, reproduksi dan keberhasilan kawin atau pada saat seksual pernyataan ini senada dengan Abbot dan Larry (2001) menyatakan bahwa pada saat tungau parasit memarasit tubuh


(41)

kumbang, kumbang mengalami kesulitan dalam reproduksi. Oleh karena itu dalam upaya peningkatan reproduksinya kumbang akan mengganti hasilnya atau mengkompensasi nutrisinya sehingga kebugaran kumbang berkurang.

Beda rataan waktu kematian imago betina dan jantan O. rhinoceros L. terhadap inokulasi tungau parasit pada pada pengamatan 1-62 hsi dapat dilihat pada gambar:

Gambar 16. Diagram batang beda rataan waktu kematian imago betina O. rhinoceros L. terhadap inokulasi tunagu parasit pada pada pengamatan 1-62 hsi.

gejala Serangan Imago O. rhinoceros L. Yang Terparasit Tungau

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, tungau spesies A (Macrocheles) menyebabkan imago O. rhionoceros L. mati dan terparasit. Gejala serangan berupa tubuh imago O. rhinoceros yang mati ini mengeras, tegang kemudian setelah ≥ 10 hari bagian tubuh imago yang terparasit mulai ada putih-putih seperti jamur yang dimulai dari bagian caput (kepala) kemudian setelah beberapa hari setelah itu putih-putih seperti jamur mengenai seluruh bagian tubuh serangga yang telah mati. Munculnya jamur pada gejala serangan tungau


(42)

sehingga terjadi interaksi antara serangga, jamur dan tungau. Hal ini sesuai dengan pernyataan Klepzig, dkk (2001) menyatakan bahwa interaksi antara kumbang, jamur dan tungau adalah contoh kompleks cara simbiosis perubahan dan secara tidak langsung dipengaruhi oleh organisme lain. Jenis interaksi antara organisme (mutualisme, antagonisme, parasitisme, phoresy, dll) sebagai variabel kisaran organisme yang terlibat (tumbuhan, jamur, serangga, tungau, dll). Karena interaksi bersifat phoresy (phoretic) tungau spesies A (Macrocheles) yang memiliki spirothecae yakni struktur khusus berupa pouch (kantung) untuk membawa jamur yang berasal dari integumennya sehingga terjadi interaksi antara kumbang, jamur dan serbuk kayu sebagai medianya.

Gambar 18: Gejala Serangan Spesies A Sumber: Foto Langsung

Pada penelitian yang telah dilakukan terhadap imago O. rhinoceros L. yang telah terparasit tungau spesies B (Proctolaelaps) memiliki gejala serangan yakni kumbang mati secara lemas, tubuhnya terasa lembek dan mengeluarkan bau yang tidak sedap. Kemudian setelah ≥ 10 hari caput (kepala) putus dari abdomen. Hal ini disebabkan oleh tungau spesies B (Proctolaelaps) memiliki fixed digit chelicera dengan gigi banyak hal ini sesuai dengan


(43)

hasil analisis laboratorium (terlampir) yang merupakan ciri-ciri khusus tungau Proctolaelaps. Chelicera merupakan bagian anterior pelengkap gnathosoma yang digunakan untuk menembus bagian integumen kumbang. Dengan menggunakan chelicera yang memiliki banyak gigi, tungau Proctolaelaps dapat menembus bagian integumen kumbang sehingga menimbulkan luka pada daerah bermembran hemolimf keluar begitu juga air dan senyawa larut pada integumen yang dihasilkan kumbang sehingga tubuh kumbang menjadi lembek dan mengeluarkan bau.

Gambar 19: Gejala Serangan Spesies B Sumber: Foto Langsung

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, tungau spesies C (Pneumolaelaps) yang memarasit imago O. rhinoceros L. mati dan memiliki gejala serangan berupa imago O. rhinoceros L. yang mati akan memutuskan caput (kepala) dari lehernya. Leher serangga merupakan daerah bermembran yang disebut cervix. Pada bagian cervix terdapat sepasang cervical sklerit. Sepasang cervical sklerit ini berfungsi sebagai engsel yang menghubungkan antara caput (kepala) dengan thorax (dada). Gejala ini terlihat pada ≥ 3 hari setelah kematian.


(44)

merupakan bulu-bulu tungau bawaan dari tungkainya (kaki) yang terdiri dari trochanter, femur, genu, tibia, tarsus dan apotele serta memiliki sclerotized yang berukuran besar hal ini sesuai dengan pernyataan Halliday (1998). Sclerotized merupakan bagian dari integumen tungau yang mengeras sebagai perisai (pelindung) dari bagian tubuh tungau Pneumolaelaps. Pada bagian inilah tungau dapat memutus caput dari lehernya kumbang karena bagian ini merupakan bagian yang bermembran yang dapat di putus tungau Pneumolaelaps dengan mengunakan setae dan sclerotizednya.

Gambar 20: Gejala Serangan Spesies C Sumber: Foto Langsung.

4. Identifikasi Tungau

Berdasarkan hasil identifikasi yang telah dilakukan di Laboratorium Taksonomi Hewan PS. Biologi FMIPA USU di dapat hasil (Terlampir):

1. Genus Macrocheles (spesies A)

Adapun sistematika dari tungau spesies A sebagai berikut : Kingdom : Animalia


(45)

Filum : Arthropoda Class : Arachnida Ordo : parasitiformes Family : Macrochelidae Genus : Macrocheles

Gambar 21: Tungau spesies A (Macrocheles) Sumber: Foto Langsung.

Ciri-ciri khusus tungau spesies A (Macrocheles) ialah memiliki perisai punggung oval, posterior lemah, permukaan dengan selang dan punctation, berbulu jl distal: j4, z2, z4, r2-4, j5 dan s5 berbulu distal j2, j3 dan s2 simle: sternum perisai dihiasi dengan garis dan punctations: linea angulatan (lang), media linca transversa (1.Mt), dan linea miring posteriors (memangkas) dengan tanda baca pembedaan: 1.mt lengkap, pusat setengah bagian belakang perisai dengan tanda a kecil: dengan dan bantalan perisai ventrianal 9-13 setae; vertikal setae (j1) sessile pada perisai punggung anterior; ventrianal perisai dengan 3 pasang setae ventral (+3 circumanals); sternal perisai dihiasi beragam, tapi tanpa kuat mengangkat melapisi


(46)

dengan gambaran yang mirip kisi-kisi ornamentasi dan tidak kuat melingkupi perisai kelamin (terlampir).

Genus ini kosmopolitan termasuk spesies yang berada di berbagai habitat: tanah, humus, sampah hutan, lumut, kotoran, jerami, galeri kumbang kulit kayu, sarang tikus, burung, mamalia, dan lebah. Tungau sering phoretic pada serangga dari Diptera Sternal pelindung dihiasi beragam, tapi tidak kuat diangkat melapis seperti gambaran kisi-kisi ornamentasi dan tidak kuat disertai dengan pelindung kelamin (Richards dan Richards, 1977).

2. Genus Proctolaelaps (spesies B)

Adapun sistematika dari tungau spesies B sebagai berikut : Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda Class : Arachnida Ordo : parasitiformes Family : Ascidae Genus : Proctolaelaps

Gambar 21: Tungau spesies B ( Proctolaelps) Sumber: Foto Langsung


(47)

Ciri-ciri khusus tungau spesies B (Proctolaelaps) ialah memiliki fixed digit chelicera dengan gigi banyak. Anus besar tinggi, melebihi dari tibia IV. Posterior tepi anus ditempatkan di setengah bagian belakang perisal anal. Anterior setae hypostomal jeles lebih besar dari setae hypostamal lainnya. Anal perisai dan epigynial benar terpisah corniculi hampir sejajar satu sama lain (terlampir).

Proctolaelaps mencakup hampir 90 spesies. Tungau ini biasanya berhubungan dengan kumbang kulit kayu, lebah, di sarang burung, mamalia, dan dalam berbagai zat organik yang membusuk. Dewasa spesies lainnya phoretic pada serangga. Banyak spesies yang kosmopolitan. Lima spesies yang dicatat dalam hubungannya dengan sarang lebah atau phoretic pada serangga dewasa di Eropa, Siberia, dan Kepulauan Kuril. Proctolaelaps memilii digit chelicera dengan dentilis pilus membran. Peritrematal perisai pada tingkat stigma biasanya kurang dari dua kali selebar diameter stigma. Pada opisthosoma perut, biasanya hanya perisai dubur dengan 3 hadir setae circumanal. Pada betina memiliki pelindung epigynial biasanya bulat posterior. Dewasa dengan 1-4 pasang setae marginal posterior (R) pada kutikula ventro-lateral lembut, pelindung yang lain ada pada punggungnya. Betina dengan 18-22 pasang setae di wilayah opisthonotal pada pelindung punggungnya, betina biasanya dengan metasternal piring (Halliday dkk, 1998.).

3. Genus Pneumolaelaps (spesies C)

Adapun sistematika dari tungau spesies A sebagai berikut : Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda Class : Arachnida


(48)

Family : Laelapidae Genus : Pneumolaelaps

Gambar 22: Tungau spesies C ( Pneumolaelaps) Sumber: Foto Langsung.

Ciri-ciri khusus Sternal dan metasternal bebas atau menyatu dengan perisai; perisai sternum tanpa daerah porose pada tingkat III coxae ; femora III-IV tanpa punggung cuticular memacu; anal perisai dengan setae yang biasanya tidak jelas gemuk dari setae perut lainnya tiga pasang setae hypostomal; lebar setae idiosomal tidak jelas berbeda, spatulate setae tidak ada, jika ada, seragam semua. Anal perisai variabel pada beberapa baris paling alur hypognathal dengan lebih dari satu denticle. Anal perisai perisai ventroanal betina dan jantan tanpa memacu cuticular. Sternal perisai memotong, cembung atau sedikit cekung (kurang dari setengah dari panjang perisai) belakang 2-3 baris belakang alur hypognathal dengan lebih dari satu denticle. Anal perisai biasanya lebih sempit dari pinggiran belakang perisai ventrogenital; sternal perisai antara coxae I-II tidak melebar, jika melebar maka margin menunjuk. Sternal setae st1 lsms dari setengah dari jarak st1-st2. Setae st4 terletak di perisai metasternal atau kutikula lunak. Chelicera tanpa proses. Holodorsal perisai punggung mencakup semua; subcapitulum ditempatkan terlihat bagian punggung. Digit tetap dan bergerak dari chelicera betina dentate, memanjang.Bagian terminal digit bergerak dan tetap chelicera pendek, tidak


(49)

menonjol sebaliknya digit. Genu IV dengan 9-10 setae; sirip punggung setae sederhana atau berbulu, tidak pernah nyata rata; Genu IV dengan 10 setae, 2 ventral setae. Peritremes biasanya luas opisthogaster biasanya hypertrichous (terlampir).

Spesies dari genus Pneumolaelaps merupakan penghuni umum dari sarang lebah. Mereka juga ada dalam sarang, bawah tanah dan mamalia kecil (Bregetova, dkk, 1977). Tungau dapat ditemukan dalam jumlah besar di koloni lebah aktif, bergerak cepat. Tungau betina menjadi phoretik pada ratu lebah di sarang tua dan menahan musim dingin dengan ratu di lokasi terlindung. Genus ini dikenal dari Holarctic, Oriental dan daerah Neotropical (Krantz, 1989).

Pada saat ini tidak ada definisi yang komprehensif dari genus ini. Banyak penulis menganggapnya sebagai subgenus dari genus Hypoaspis (Bregetova, dkk, 1977) sementara yang lain menganggapnya sebagai genus yang berbeda. Takson ini memiliki karakter berikut apomorphic: stimata yang besar dan peritremes luas, opistogaster biasanya hypetrichous, dan ada dua setae ventral pada lutut IV. Karg (1982) mendefinisikan itu berdasarkan karakter berikut: yang filiform setae idiosomal, tanpa perbedaan ekstrim dalam panjang, tidak berpasangan setae sering hadir pada bagian belakang perisai punggung; tectum halus, baris dari alur hypognathal biasanya dengan 2 sampai 6 dentik, sedangkan perisai epigynial dengan sepasang setae, 1-2 pasang setae antara perisai epigynial dan dubur.


(50)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1 . Persentase mortalitas imago tertinggi akibat inokulasi tungau parasit pada pengamatan 26 Hsi adalah pada perlakuan A2 (diinokulasikan 40 ekor tungau parasit spesies B (Proctolaelaps)) sebesar 100,00% dan terendah pada perlakuan A3 (diinokulasikan 40 ekor tungau parasit spesies C (Pneumolaelaps)) sebesar 75,00%.

2 . Persentase tertinggi waktu kematian imago betina O. rhinoceros L. pada pengamatan 62 hsi adalah pada perlakuan A0 (kontrol) sebesar 54,75% dan terendah pada perlakuan A3 (diinokulasikan 40 ekor tungau parasit spesies C (Pneumolaelaps)) sebesar 7,25%.

3 . Persentase tertinggi waktu kematian imago jantan O. rhinoceros L. pada pengamatan 62 hsi adalah pada perlakuan A0 (kontrol) sebesar 66,00% dan terendah pada perlakuan A2 (diinokulasikan 40 ekor tungau parasit spesies B (Proctolaelaps)) sebesar 21,50%.

4 . Gejala serangan imago O. rhinoceros L. yang terinokulasi tungau parasit spesies A (Macrocheles) yaitu imago mengeras dan tegang terdapat jamur pada bagian tubuhnya. Sedangkan pada imago yang terinokulasi tungau spesies B (Proctolaelaps) yaitu tubuhnya lemas dan lembek dan imago yang terinokulasi spesies C (Pneumolaelaps) yaitu caput (kepala) putus dari lehernya (cervix) yang terletak pada bagian thorax (dada).

5 . Hasil identifikasi tungau parasit spesies A, B dan C adalah tungau spesies A genus Macrocheles (Arachnida: Parasitiformes), tungau spesies B genus Proctolaelaps (Arachnida: Parasitiformes), tungau spesies C genus Pneumolaelaps (Arachnida: Parasitiformes).


(51)

Saran

Perlu diadakan penelitian lanjutan mengenai siklus hidup dari ketiga tungau parasit sehingga memudahkan inokulasi dilapangan.


(52)

DAFTAR PUSTAKA

Abbot, P dan Larry M. Dill. 2001. Sexually Transmitted Parasites and Sexual Selection in

the Milkweed Leaf Beetle, Labidomera clivicollis (Jurnal JSTOR). Vol. 92, No.

1 (Jan., 2001), pp. 91-100.

Adis, J. dan G. Krantz. 1985. Notes on the natural history of Macrocheles (Acari:

Gamasida: Macrochelidae) associated with 3-toed sloths Bradypus spp. (Edentata: Bradypodidae) in the central Amazon. (Jurnal Zoologische Anzeiger)

214: 222–224.

Amidi,A.H.K. and Downes, M.J. 1990. Parasitus bituberosus (Acari: Parasitidae),a

possible agent for biological control of Heteropeza pygmaea (Diptera:Cecidomyiidae) in mushroom compost.(Jurnal Experimental & Applied

Acarology) 8: 13-25.

Bhattacharyya, A. K dan Sanyal A. K. 2002. New data on mites of the genera Asca and

Blattisocius (Mesostigmata, Ascidae) in India along with the description of Asca annandalei sp. (Jurnal Acarina). 10(2): 167-173. 10 (2): 167-173).

BPKKS, 2004. Buku pedoman kerja kelapa sawit. PTPN II NUSANTARA. Medan.

Bregetova, N. G. dan Krantz. 1977. [Family Laelaptidae]. (Eds. M. S. Gilarov and N. G. Bregetov) Mesostigmata = Identification key to soil-inhabiting mites

Mesostigmat. Nauka: Leningrad. 483-554.

Furman, D.P., dan Catts F.P. 1982. Manual of Entomology Fourth edition. Cambridge university press. England. pp 158.

Gerson, U., Robert L. S dan O. Ronald 2011. Makanan dan Ilmu Lingkungan. Departemen Pertanian AS, Jasa Penelitian Pertanian, Beltsville, MD. USA.

Gilyarov, M.S dan Bregetova, N.G. 1977. Handbook for the Identifcation of

Soilinhabiting Mites, Mesostigmata. Zoological Institute of the Academy of

Science,SSSR, Leningrad. Rusia. 717 pp.

Greene, A. 2010. Heritable Behavioral Resistance of Natural and Novel Ectoparasites in

Drosophila melanogaster. Departement of Biological Science of get college Arts

and Science. University Cincinnati.

Halliday RB, Walter DE dan EE. Lindquist. 1998. Revisi Ascidae Australia (Acarina:


(53)

Haragsim O., Samsinak K.,dan Vorbazkova E. 1978. Tungau menghuni sarang lebah

dalam CSR. (Jurnal Zeitschrift für Angewandte Entomologie). 87: 52-67.

Halliday, R. B. 1997. Revisi Ameroseiidae Australia (Acarina: Mesostigmata). Avertebrata Taksonomi . 10: 179-201.

Hidayat, A. 2001. Metode Pengendalian Hama. Deptan. Jakarta.

Hidayat,P dan Sartiami. 2010. Pengantar Pelindungan Tanaman. Hughes, A.M. 1976. Mites of Stored Food and Houses. Technical Bulletin of the Ministry

of Agriculture, Fisheries and Food, No. 9. HMSO, London. 400 pp.

Huffaker, C.B. dan Messenger, P.S. l989. Teori dan Praktek Pengendalian Biologis. Penerbit Universitas indonesia. 352 hal.

Johnston, D.E. 1982. Acari. (Ed. Parker, S.P.) Synopsis and Classification of Living

Organisms, Vol. 2. McGraw-Hill. New York. pp. 111-169.

Karg W. 1982. Zur Kenntnis der Raubmilbeng Hypoaspis Canestrini, 1884 (Acarina,

Parasitiformes). Mitteilungen aus dem Zoologischen Museum in Berlin. 58(2):

233-256.

Kalshoven, L. G. E., 1981. Pest Of Crop In Indonesia. P.A. Van Der Laan. P. T. Ichtiar Baru-Van Hoeve. Jakarta.

Klepzing,dkk. 2001. Interaksi Biotik di Pabrik Patagen Asosiasi (eds. MJ Jeger dan NJ Spencer). CAB Internasional. Pp. 237-267.

Krantz G. W. 1998. Observations on five rarely collected genera of Macrochelidae

(Acari: Mesostigmata) associated with insects. Acarologia. 39(2): 95-109.

Krantz G. W. 1989. A review of the genera of the family Macrochelidae Vitzthum

1930.(Acarina: Mesostigmata). Acarologia. 4(2): 143-173.

Linda A.T. 2010. Using Biocontrol Agents in the Commercial Greenhouse. Oklahoma Cooperative Extension Service. New york.

Mohan,. 2006. Orycte rhinoceros. Diunduh dari http://www.isg.org/database/species/ecology. Diakses pada tanggal 18 april 2010. Medan.

Perdamean, M. 2008. Panduan Lengkap Pengelolaan Kebun dan Pabrik Kelapa Sawit. PT. Agromedia Pustaka. Jakarta.


(54)

Polak, A.M., 2002.). Temporal change in mite abundance and its effect on barn swallow

reproduction and sexual selection (Journal of Evolutionary Biology). 15: 495–

504.

Prawirosukarto, S., Y.P. Roerrha., U. Condro., dan Susanto. 2003. Pengenalan Dan

Pengendalian Hama Dan Penyakit Tanaman Kelapa Sawit. PPKS. Medan.

Richards K. W., dan Richards L. A. 1977. A new species of Macrocheles (Acarina:

Macrochelidae) found in bumble bee nests (Hymenoptera: Apidae). Canadian

Entomologist. 109: 711-719.

Rodrigueiro, T.A.S dan Angelo Pires. 2004. Macrocheles muscaedomesticae (Acari,

Macrochelidae) dan jenis Uroseius (Acari, Polyaspididae) phoretic pada Musca domestica (Diptera, Muscidae). Depto de Parasitologia, Instituto de Biologia, Caixa

Estadual de Campinas. Brazil. Iheringia, Ser. Zool. Vol.94 no.2.

Samways, M. J. 1994. Insect Diversity Conservation. Cambridge University Press. Cambridge. England.

Treat, A. E. dan Niederman, L. 1967. Three species of Proctolaelaps (Acarina,

Mesostigmata) from noctuid moths. (Jurnal American Museum Novitates). 2312,

1–12.

Vandaveer, C. 2004. What is Lethal-Male Delivery Sistem. Diunduh dari juni 2010. Medan.

Walter dan Evans, D.E,. 1996. Parasitiformes. Holothyrans, ticks and mesostigmatic

mites. http://tolweb.org/Parasitiformes/2566/1996.12.13 in The Tree of Life Web


(1)

menonjol sebaliknya digit. Genu IV dengan 9-10 setae; sirip punggung setae sederhana atau berbulu, tidak pernah nyata rata; Genu IV dengan 10 setae, 2 ventral setae. Peritremes biasanya luas opisthogaster biasanya hypertrichous (terlampir).

Spesies dari genus Pneumolaelaps merupakan penghuni umum dari sarang lebah. Mereka juga ada dalam sarang, bawah tanah dan mamalia kecil (Bregetova, dkk, 1977). Tungau dapat ditemukan dalam jumlah besar di koloni lebah aktif, bergerak cepat. Tungau betina menjadi phoretik pada ratu lebah di sarang tua dan menahan musim dingin dengan ratu di lokasi terlindung. Genus ini dikenal dari Holarctic, Oriental dan daerah Neotropical (Krantz, 1989).

Pada saat ini tidak ada definisi yang komprehensif dari genus ini. Banyak penulis menganggapnya sebagai subgenus dari genus Hypoaspis (Bregetova, dkk, 1977) sementara yang lain menganggapnya sebagai genus yang berbeda. Takson ini memiliki karakter berikut apomorphic: stimata yang besar dan peritremes luas, opistogaster biasanya hypetrichous, dan ada dua setae ventral pada lutut IV. Karg (1982) mendefinisikan itu berdasarkan karakter berikut: yang filiform setae idiosomal, tanpa perbedaan ekstrim dalam panjang, tidak berpasangan setae sering hadir pada bagian belakang perisai punggung; tectum halus, baris dari alur hypognathal biasanya dengan 2 sampai 6 dentik, sedangkan perisai epigynial dengan sepasang setae, 1-2 pasang setae antara perisai epigynial dan dubur.


(2)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1 . Persentase mortalitas imago tertinggi akibat inokulasi tungau parasit pada pengamatan 26 Hsi adalah pada perlakuan A2 (diinokulasikan 40 ekor tungau parasit spesies B (Proctolaelaps)) sebesar 100,00% dan terendah pada perlakuan A3 (diinokulasikan 40 ekor tungau parasit spesies C (Pneumolaelaps)) sebesar 75,00%.

2 . Persentase tertinggi waktu kematian imago betina O. rhinoceros L. pada pengamatan 62 hsi adalah pada perlakuan A0 (kontrol) sebesar 54,75% dan terendah pada perlakuan A3 (diinokulasikan 40 ekor tungau parasit spesies C (Pneumolaelaps)) sebesar 7,25%.

3 . Persentase tertinggi waktu kematian imago jantan O. rhinoceros L. pada pengamatan 62 hsi adalah pada perlakuan A0 (kontrol) sebesar 66,00% dan terendah pada perlakuan A2 (diinokulasikan 40 ekor tungau parasit spesies B (Proctolaelaps)) sebesar 21,50%.

4 . Gejala serangan imago O. rhinoceros L. yang terinokulasi tungau parasit spesies A (Macrocheles) yaitu imago mengeras dan tegang terdapat jamur pada bagian tubuhnya. Sedangkan pada imago yang terinokulasi tungau spesies B (Proctolaelaps) yaitu tubuhnya lemas dan lembek dan imago yang terinokulasi spesies C (Pneumolaelaps) yaitu caput (kepala) putus dari lehernya (cervix) yang terletak pada bagian thorax (dada).

5 . Hasil identifikasi tungau parasit spesies A, B dan C adalah tungau spesies A genus Macrocheles (Arachnida: Parasitiformes), tungau spesies B genus Proctolaelaps (Arachnida: Parasitiformes), tungau spesies C genus Pneumolaelaps (Arachnida: Parasitiformes).


(3)

Saran

Perlu diadakan penelitian lanjutan mengenai siklus hidup dari ketiga tungau parasit sehingga memudahkan inokulasi dilapangan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abbot, P dan Larry M. Dill. 2001. Sexually Transmitted Parasites and Sexual Selection in the Milkweed Leaf Beetle, Labidomera clivicollis (Jurnal JSTOR). Vol. 92, No. 1 (Jan., 2001), pp. 91-100.

Adis, J. dan G. Krantz. 1985. Notes on the natural history of Macrocheles (Acari: Gamasida: Macrochelidae) associated with 3-toed sloths Bradypus spp. (Edentata: Bradypodidae) in the central Amazon. (Jurnal Zoologische Anzeiger) 214: 222–224.

Amidi,A.H.K. and Downes, M.J. 1990. Parasitus bituberosus (Acari: Parasitidae),a possible agent for biological control of Heteropeza pygmaea (Diptera:Cecidomyiidae) in mushroom compost.(Jurnal Experimental & Applied Acarology) 8: 13-25.

Bhattacharyya, A. K dan Sanyal A. K. 2002. New data on mites of the genera Asca and Blattisocius (Mesostigmata, Ascidae) in India along with the description of Asca annandalei sp. (Jurnal Acarina). 10(2): 167-173. 10 (2): 167-173). BPKKS, 2004. Buku pedoman kerja kelapa sawit. PTPN II NUSANTARA. Medan.

Bregetova, N. G. dan Krantz. 1977. [Family Laelaptidae]. (Eds. M. S. Gilarov and N. G. Bregetov) Mesostigmata = Identification key to soil-inhabiting mites Mesostigmat. Nauka: Leningrad. 483-554.

Furman, D.P., dan Catts F.P. 1982. Manual of Entomology Fourth edition. Cambridge university press. England. pp 158.

Gerson, U., Robert L. S dan O. Ronald 2011. Makanan dan Ilmu Lingkungan. Departemen Pertanian AS, Jasa Penelitian Pertanian, Beltsville, MD. USA.

Gilyarov, M.S dan Bregetova, N.G. 1977. Handbook for the Identifcation of Soilinhabiting Mites, Mesostigmata. Zoological Institute of the Academy of Science,SSSR, Leningrad. Rusia. 717 pp.

Greene, A. 2010. Heritable Behavioral Resistance of Natural and Novel Ectoparasites in Drosophila melanogaster. Departement of Biological Science of get college Arts and Science. University Cincinnati.

Halliday RB, Walter DE dan EE. Lindquist. 1998. Revisi Ascidae Australia (Acarina: Mesostigmata) (Jurnal Taksonomi avertebrata). 12 (1): 1-54.


(5)

Haragsim O., Samsinak K.,dan Vorbazkova E. 1978. Tungau menghuni sarang lebah dalam CSR. (Jurnal Zeitschrift für Angewandte Entomologie). 87: 52-67.

Halliday, R. B. 1997. Revisi Ameroseiidae Australia (Acarina: Mesostigmata). Avertebrata Taksonomi . 10: 179-201.

Hidayat, A. 2001. Metode Pengendalian Hama. Deptan. Jakarta.

Hidayat,P dan Sartiami. 2010. Pengantar Pelindungan Tanaman.

Hughes, A.M. 1976. Mites of Stored Food and Houses. Technical Bulletin of the Ministry

of Agriculture, Fisheries and Food, No. 9. HMSO, London. 400 pp.

Huffaker, C.B. dan Messenger, P.S. l989. Teori dan Praktek Pengendalian Biologis. Penerbit Universitas indonesia. 352 hal.

Johnston, D.E. 1982. Acari. (Ed. Parker, S.P.) Synopsis and Classification of Living Organisms, Vol. 2. McGraw-Hill. New York. pp. 111-169.

Karg W. 1982. Zur Kenntnis der Raubmilbeng Hypoaspis Canestrini, 1884 (Acarina, Parasitiformes). Mitteilungen aus dem Zoologischen Museum in Berlin. 58(2): 233-256.

Kalshoven, L. G. E., 1981. Pest Of Crop In Indonesia. P.A. Van Der Laan. P. T. Ichtiar Baru-Van Hoeve. Jakarta.

Klepzing,dkk. 2001. Interaksi Biotik di Pabrik Patagen Asosiasi (eds. MJ Jeger dan NJ Spencer). CAB Internasional. Pp. 237-267.

Krantz G. W. 1998. Observations on five rarely collected genera of Macrochelidae (Acari: Mesostigmata) associated with insects. Acarologia. 39(2): 95-109.

Krantz G. W. 1989. A review of the genera of the family Macrochelidae Vitzthum 1930.(Acarina: Mesostigmata). Acarologia. 4(2): 143-173.

Linda A.T. 2010. Using Biocontrol Agents in the Commercial Greenhouse. Oklahoma Cooperative Extension Service. New york.

Mohan,. 2006. Orycte rhinoceros. Diunduh dari http://www.isg.org/database/species/ecology. Diakses pada tanggal 18 april 2010. Medan.

Perdamean, M. 2008. Panduan Lengkap Pengelolaan Kebun dan Pabrik Kelapa Sawit. PT. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Polak, M. 2010. Ectoparasitic Effects On Host Survival And Reproduction The Drosophila Machocheles Association. Departement of Zoology Arizona State University. USA.


(6)

Polak, A.M., 2002.). Temporal change in mite abundance and its effect on barn swallow reproduction and sexual selection (Journal of Evolutionary Biology). 15: 495– 504.

Prawirosukarto, S., Y.P. Roerrha., U. Condro., dan Susanto. 2003. Pengenalan Dan Pengendalian Hama Dan Penyakit Tanaman Kelapa Sawit. PPKS. Medan.

Richards K. W., dan Richards L. A. 1977. A new species of Macrocheles (Acarina: Macrochelidae) found in bumble bee nests (Hymenoptera: Apidae). Canadian Entomologist. 109: 711-719.

Rodrigueiro, T.A.S dan Angelo Pires. 2004. Macrocheles muscaedomesticae (Acari, Macrochelidae) dan jenis Uroseius (Acari, Polyaspididae) phoretic pada Musca domestica (Diptera, Muscidae). Depto de Parasitologia, Instituto de Biologia, Caixa Estadual de Campinas. Brazil. Iheringia, Ser. Zool. Vol.94 no.2.

Samways, M. J. 1994. Insect Diversity Conservation. Cambridge University Press. Cambridge. England.

Treat, A. E. dan Niederman, L. 1967. Three species of Proctolaelaps (Acarina, Mesostigmata) from noctuid moths. (Jurnal American Museum Novitates). 2312, 1–12.

Vandaveer, C. 2004. What is Lethal-Male Delivery Sistem. Diunduh dari juni 2010. Medan.

Walter dan Evans, D.E,. 1996. Parasitiformes. Holothyrans, ticks and mesostigmatic mites. http://tolweb.org/Parasitiformes/2566/1996.12.13 in The Tree of Life Web Project. Di unduh pada tanggal 5 April 2011.


Dokumen yang terkait

Efikasi Beberapa Formulasi Metarhizium Anisopliae Terhadap Mortalitas Larva Oryctes Rhinoceros L. (Coleoptera: Scarabaeidae) Di Insektarium

2 76 70

Kajian Kemampuan Menyebar Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros L.) pada Musim Hujan di Kebun Rambutan PTPN III

7 84 51

Kajian Kemampuan Menyebar Kumbang Tanduk (Oryctes Rhinoceros L.) Pada Musim Hujan Di Kebun Rambutan PTPN III

8 63 50

Uji Efektifitas Jamur Cordycep militaris Terhadap Larva Penggerek Pucuk Kelapa Sawit (Oryctes rhinoceros L.) (Coleoptera: Scarabaeidae) di Laboratorium

4 83 57

Uji Patogenitas Jamur Metarhizium anisopliae dan Jamur Cordyceps militaris terhadap Larva Penggerek Pucuk Kelapa Sawit (Oryctes rhinoceros) (Coleoptera; Scarabaeidae) di Laboratorium

1 93 61

Kajian Kemampuan Menyebar Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros L.) Berdasarkan Arah Mata angin (Utara-Selatan) pada Areal Pertanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.)

4 85 66

Kajian Penyebaran Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros L.) Pada Areal Pertanaman Kelapa Sawit(Elais guinensis Jacq.)

8 122 54

Tingkat Serangan Kumbang Badak (Oryctes rhinoceros L.) Pada Areal Pertanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Berdasarkan Umur Tanaman

18 132 50

Uji Efektifitas Jamur Cordycep militaris Terhadap Larva Penggerek Pucuk Kelapa Sawit (Oryctes rhinoceros L.) (Coleoptera: Scarabaeidae) di Laboratorium

0 0 17

Uji Efektifitas Jamur Cordycep militaris Terhadap Larva Penggerek Pucuk Kelapa Sawit (Oryctes rhinoceros L.) (Coleoptera: Scarabaeidae) di Laboratorium

0 1 11