rukunnya. Selain tidak memenuhi syarat dan rukunnya, juga perbuatan itu dilarang atau diharamkan oleh agama. Jadi secara umum, batalnya suatu
perkawinan dapat diartikan rusak atau tidak sahnya perkawinan karena tidak memenuhi salah satu rukunnya atau sebab lain yang dilarang atau diharamkan
oleh agama Ghazaly, 2003:141. Sedangkan pengertian pembatalan perkawinan adalah suatu tindakan pengadilan yang berupa keputusan yang menyatakan
perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah dan sesuatu yang dinyatakan tidak sah, maka perkawinan itu dianggap tidak pernah ada.
2.3.2 Alasan-Alasan Pembatalan Perkawinan
Ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyatakan bahwa: Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak
tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan? Dalam Penjelasan Pasal 22 disebutkan bahwa pengertian ”dapat” pada pasal ini diartikan
bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Dengan demikian, jenis perkawinan
di atas dapat bermakna batal demi hukum dan bisa dibatalkan Dalam ketentuan Pasal 22
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat
untuk melangsungkan perkawinan. Dalam Pasal 70 Kompilasi Hukum Islam, alasan-alasan untuk dapat mengajukan pembatalan perkawinan antara lain;
Perkawinan batal apabila; a.
suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun
salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raj’i. b.
seorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya. c.
seorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah
dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.
d. perkawinan dilakukan diantara dua orang yang mempunyai
hubungan darah semenda dan susuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974, yaitu:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah
atau ke atas. b.
berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan
antara seorang dengan saudara neneknya.
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan
ibu atau ayah tiri. d.
berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.
i. istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau
kemenakan dari istri atau istri-istrinya. Berdasarkan pada ketentuan dalam Pasal 70 Kompilasi Hukum Islam
perkawinan sebagaimana dimaksud diatas batal demi hukum. Batalnya perkawinan tersebut disebabkan tidak terpenuhinya syarat dan rukun perkawinan
yang bersifat essensial dan dapat juga disebut obyek perkawinan atau dalam hukum Islam dikenal dengan nama larangan yang tidak boleh dilanggar. Lebih
lanjut menurut Peraturan Menteri Agama PMA Nomor 3 Tahun 1975 ditentukan bahwa, apabila pernikahan telah berlangsung kemudian ternyata terdapat larangan
menurut hukum munakahat atau peraturan perundang-undangan tentang perkawinan, maka Pengadilan Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut
atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan Sedangkan Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa
perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dapat dibatalkan apabila:
a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin pengadilan agama;
b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih
menjadi istri pria lain yang mafqud; c.
perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain;
d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974; e.
perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Tidak terpenuhinya syarat dalam Pasal 71 Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam perkawinan dapat dibatalkan, syarat ini sering
disebut syarat subyektif dan akibat hukum darinya adalah dapat dibatalkan, yaitu yang dapat dibatalkan dan bukan batal dengan sendirinya. Permohonan
pembatalan perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukannya kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat
berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal kedua suami-istri, suami atau istri.
2.4 Hubungan Nasab 2.4.1 Pengertian Hubungan Nasab