1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehamilan, kelahiran seorang bayi dan menjadi seorang ibu merupakan peristiwa dan pengalaman penting dalam kehidupan perempuan dan pasangannya.
Bagi banyak pasangan, pengalaman-pengalaman tersebut dimaknai secara positif dan merupakan fase transisi yang menyenangkan ketahap baru dalam siklus
kehidupannya yang ditandai dengan perasaan bahagia. Lebih jauh perasaan bahagia ini tidak hanya dirasakan oleh pasangan itu sendiri, tapi juga segenap
keluarga besar bahkan
masyarakat pada
umumnya yang
cenderung mengembangkan persepsi positif terhadap peristiwa kehamilan dan kelahiran
seorang bayi. Namun demikian, sebagaimana layaknya suatu pengalaman baru atau
tahap transisi dalam siklus kehidupan, peran baru ini juga menuntut adanya proses penyesuaian. Sebagaimana disampaikan dalam penelitian Alexander, et al. 2001,
bahwa transisi dalam memasuki fase menjadi orangtua, atau dalam hal ini menjadi ibu, merupakan perubahan yang penting dalam perkawinan dan sering pula
dihayati sebagai sebuah krisis. Sebagai sebuah fase dalam tahapan perkembangan, transisi menjadi orangtua atau ibu, dicirikan oleh adanya tekanan pada beberapa
aspek, yaitu personal, keluarga, maupun perubahan sosial. Manakala proses penyesuaian atau tahapan krisis ini tidak berhasil
sepenuhnya dilalui, sangat memungkinkan dapat memicu munculnya perasaan-
2
perasaan negatif yang seakan sangat berbeda dari seharusnya perasaan yang muncul ketika menghadapi kehadiran anak. Terhambatnya proses penyesuaian ini
bisa berlangsung pada tingkatan yang ringan hingga parah dan mengganggu aspek kehidupan ibu beserta bayinya. Salah satu kondisi yang mengarah pada
keterhambatan dalam penyesuaian dengan hadirnya seorang bayi dalam kehidupan ibu adalah depresi pasca melahirkan.
Depresi pasca melahirkan dialami oleh para ibu dari berbagai latar belakang sosial maupun negara, dari seorang ibu rumah tangga, ibu bekerja
maupun public figure seperti artis maupun penulis. Brooke Shields dan Angelina Jolie adalah artis yang juga pernah mengalami depresi pasca melahirkan
VIVANews, 2010. Sementara kasus terbaru dialami oleh Aktris, Gwayneth Paltrow pada tahun 2006 Ayahbunda, 2010. Mereka pada umumnya
mengeluhkan mengalami fase emosi yang tidak stabil setelah kelahiran anak mereka. Pada fase tersebut, mereka mengatakan bisa menangis dan tertawa dalam
waktu yang kurang tepat. Brooke Shields menceritakan bahwa besarnya kesedihan yang dia rasakan sesudah kelahiran bayinya sangatlah luar biasa. Bahkan
sepertinya perasaan sedih itu tidak akan pernah meninggalkan dirinya Shields, 2007.
Fase emosi yang tidak stabil tersebut juga umum dikeluhkan oleh para ibu kebanyakan yang mengalami depresi pasca melahirkan. Sebagaimana yang
dialami oleh seorang ibu dari Jakarta, ia merasakan kebahagiaan yang luar biasa ketika anak pertamanya lahir, namun kebahagiaan tersebut tidak berlangsung lama
mengingat proses laktasi yang tidak berlangsung dengan lancar. Selanjutnya ia
3
merasa sangat depresi, sedih, tidak bisa tidur, merasa sendiri, dan merasa telah gagal menjadi seorang ibu yang baik karena tidak bisa menyusui bayinya, merasa
bayinya seperti bukan anak yang dilahirkannya. Kondisi itu diperparah dengan tidak adanya suami yang membantu, karena bekerja diluar kota Infobunda, 2010.
Keluhan sulit bahkan sampai tidak mau menyusui bayi yang dilahirkan, merupakan keluhan yang umum dirasakan ibu dengan depresi pasca melahirkan.
Seperti yang dikeluhkan oleh seorang ibu yang bernama Ruli 35. Ia menolak menyusui dan merawat si kecil. Bahkan terkadang muncul perasaan benci
terhadap bayinya sendiri KOMPAS.com, 2008. Dukungan dan bantuan dari suami sangat berperan dalam fase adaptasi
keibuan ini. Keluhan biasanya muncul dalam bentuk merasa mendapat beban mengurus anaknya. Sebagaimana disampaikan Shanti 30 yang pernah bekerja di
Jakarta dan kini tinggal di Yogyakarta menjadi sangat gelisah dan cemas berada sendirian di Jakarta karena suaminya bekerja di luar kota KOMPAS.com, 2008.
Ibu penderita depresi pasca melahirkan tersebut berusaha mengatasi permasalahannya sendiri yang terkadang memakan waktu berbulan-bulan. Sikap
membuka diri diakui oleh ibu dapat mempermudah proses adaptasi tersebut. Seorang ibu yang mengalami depresi pasca melahirkan menceritakan ia berusaha
menyempatkan diri bertemu teman-teman dan merancang waktu untuk menyegarkan kembali dirinya disamping tugas-tugas pengasuhan Infobunda,
2010. Berusaha membuka diri dan merancang waktu luang merupakan salah satu
upaya yang dapat dilakukan untuk beradaptasi dengan krisis terkait dengan peran
4
baru sebagai seorang ibu. Upaya tersebut dikenal dengan istilah coping, yaitu usaha yang dilakukan untuk mengelola kebutuhan atau tuntutan pribadi dengan
harapan lingkungan, sehingga tidak mengarah pada berkembangnya krisis yang berkelanjutan. Pada akhirnya, kemampuan melakukan coping ini dihayati sebagai
sumberdaya individu dalam mengatasi krisis atau dalam proses penyesuaian dalam mengatasi masalah Lever, 2008.
Hingga saat ini masih sedikit profesional yang menaruh atensi terhadap masalah ini. Hal ini tergambar dalam penelitian yang dilakukan oleh Gjerdingen
Yawn 2007. Survei yang dilakukan terhadap ibu penderita depresi pasca melahirkan tersebut mengindikasikan bahwa mereka tidak ditanya oleh pihak
pelayanan kesehatan, meskipun mereka merasa perlu untuk ditanya tentang kondisi keluarga dan resiko psikososial pada tahun-tahun awal periode pasca
melahirkan. Sedangkan para penyedia pelayanan kesehatan ibu dan anak, mengungkapkan bahwa 57 dari mereka merasa bertanggung jawab untuk
mengenali adanya depresi pasca melahirkan, namun hanya 32 dari mereka yang percaya diri dengan kemampuannya dalam mendiagnosa adanya depresi pasca
melahirkan. Pada sampel yang lain, 49 menyatakan dirinya kurang mendapatkan edukasi dan pelatihan serta tidak terbiasa dengan alat pendeteksi depresi pasca
melahirkan. Gambaran hambatan dalam proses deteksi dan penanganan depresi pasca
melahirkan diatas perlu untuk dicermati, mengingat dampak jangka panjang yang bisa dialami baik oleh ibu maupun bayinya. Gambaran dampak tersebut terekam
dalam dua kasus berikut. Elspeth, seorang penulis pada The Sunday Telegraph
5
meninggal di usia 48 tahun pada 25 Maret 2010. Selanjutnya penyebab Elspeth
bunuh diri diketahui terkait dengan depresi yang dideritanya sejak melahirkan putri pertamanya. Elspeth selalu merasa dia tidak layak hidup lagi dan merasa
tidak mampu menjadi ibu yang baik DetikHealth, 2010. Sementara dampak ekstrim yang dapat dialami anak tergambar dari kasus
Andrea Yates, seorang ibu lulusan SMA, asal Houston Amerika Serikat, ia membunuh kelima anaknya, dengan memasukkan mereka satu-persatu ke dalam
bathtube. Menurut para ahli, peristiwa tragis tersebut dipicu oleh depresi pasca melahirkan yang dialami Andrea setelah melahirkan anak kelimanya O’malley,
2007. Kasus serupa juga pernah terjadi pada seorang ibu di kota Bandung Jawa Barat, bernama Aniek Qori’ah Sriwijaya yang berusia 31 tahun, ia lulusan Institut
Teknologi Bandung ITB jurusan Planologi dengan IPK lebih dari 3. Ibu tersebut membunuh 3 orang anaknya yang berusia 9 bulan sampai 6 tahun dengan cara
dibekap menggunakan bantal dan kasur www.KonsultasiAnak.tk, 2008. Depresi pasca melahirkan merupakan depresi mayor yang periode
bermulanya depresi dalam jangka waktu empat minggu setelah melahirkan. Kondisi ini seringkali banyak dipicu oleh ketidakberhasilan ibu mengatasi situasi
stressfull pada saat menjalani peran baru sebagai orang tua, sehingga akan membawa ibu pada kondisi psikologis yang mengarah pada depresi pasca
melahirkan
APA, 2000
. Antara 8 sampai 15 ibu mengalami suatu gangguan depresi pasca
melahirkan yang dapat didiagnosis mengalami depresi pasca melahirkan pada tingkat sedang dan merupakan permasalahan serius yang dapat mempengaruhi
6
beberapa ibu dan bayinya. Meskipun model penanganan yang efektif telah tersedia, hanya lebih sedikit dari separuh kasus yang kemudian berhasil dikenali.
Kondisi ini perlu diatasi melalui upaya-upaya pengembangan sistem yang terintegrasi secara menyeluruh dalam hal deteksi dini, intervensi dan follow-up
yang berkelanjutan Gjerdingen Yawn, 2007. Kondisi tersebut tergambar dalam wawancara dengan dokter pelaksana
pada RSIA Srikandi IBI Cabang Jember yang menjelaskan bahwa kasus depresi pasca melahirkan jarang ditemui pada persalinan dirumah sakit, karena
kemunculannya biasanya 2-3 hari sesudah persalinan. Selanjutnya ditambahkan pula bahwa kemungkinan keluhan muncul sesudah ibu kembali kerumah. Indikasi
atau perilaku yang mengarah pada kecenderungan munculnya keluhan teramati pada saat persalinan atau dalam masa perawatan di rumah sakit, seperti sikap
manja yang diperlihatkan oleh ibu terhadap dokter maupun bidan yang menanganinya. Pada periode pasca persalinan tersebut biasanya ibu mengeluhkan
tidak mau menyusui, takut saat persalinan, selalu bertanya pada bidan, dan tidak mau ditinggal oleh bidan. Sejalan dengan gambaran diatas adalah penelitian dari
Bilszta, et al. 2006 yang menemukan bahwa ibu penderita depresi pasca melahirkan jarang mengeluhkan simtom yang dialaminya karena seringkali
mereka tidak tahu tentang kondisi mereka serta bentuk-bentuk layanan yang disediakan terkait kondisi mereka tersebut.
Upaya pencegahan yang dilakukan oleh pihak rumah sakit untuk meminimalisir keluhan yang muncul saat ibu kembali kerumah, adalah dengan
memberikan pengarahan cara menyusui, memotivasi untuk mulai belajar
7
mengurus anaknya, serta home care dari bidan setempat setelah kembali kerumah. Hal tersebut penting untuk dilakukan apabila menilik pada penelitian Kitzinger, et
al. dalam Romm tanpa tahun, yang menyatakan bahwa pemeriksaan postpartum harus berfokus pada tantangan yang dihadapi ibu dalam kurun waktu tersebut dan
harus memberikan kesempatan bagi ibu untuk mengekspresikan keprihatinan dan harapan mereka, baik secara fisik maupun emosional. Menutup penjelasannya
dokter tersebut mengatakan bahwa keluhan biasanya muncul pada kelahiran anak pertama, hal ini lebih dikarenakan belum adanya pengalaman dalam berperan
sebagai seorang ibu baru. Depresi merupakan suatu keadaan yang biasa dialami oleh seorang ibu dan
membutuhkan banyak biaya selama masa-masa pengasuhan anak. World Health Organization WHO mencatat bahwa gangguan depresi mayor sebagai gangguan
terbanyak keempat yang diperkirakan akan menganggu masa-masa hidup individu selanjutnya. Tahun 2020, gangguan depresi diperkirakan akan naik ke peringkat
kedua sebagai gangguan yang dapat menghambat kesejahteraan hidup manusia di dunia Gjerdingen Yawn, 2007.
Gangguan depresi pasca melahirkan diperkirakan akan lebih banyak dialami oleh wanita dibandingkan dengan pria. Pada 3 bulan pertama setelah
melahirkan, 14.5 ditemukan wanita akan mengalami episode depresi mayor atau minor. Situasi ini meyakinkan kita bahwa depresi merupakan salah satu hal yang
serius yang banyak terjadi pada masa-masa postpartum Gjerdingen Yawn, 2007.
8
Beberapa ibu yang mengalami depresi pasca melahirkan dapat berkembang ketahapan yang lebih parah. Simtom dari depresi pasca melahirkan
antara lain: pikiran untuk menyakiti diri sendiri, pikiran untuk menyakiti bayi, merasa tidak berdaya, merasa asing terhadap diri sendiri dan bayi, merasa sangat
bingung bahkan kurang mampu bersentuhan dengan realitas. Simtom ini dapat berlangsung selama beberapa minggu bahkan beberapa bulan. Hal ini sangat
bervariasi pada setiap ibu Nevid, dkk, 2005. Ibu penderita depresi pasca melahirkan seringkali merasa kesepian, pikiran
obsesif, cemas, kehilangan kendali, merasa bersalah, tidak aman, penurunan konsentrasi, takut hidup tidak dapat normal kembali, kehilangan emosi positif,
kehilangan minat terhadap hobi, dan ketakutan dapat melukai diri sendiri maupun bayinya Beck dalam Chew-Graham, et.al., 2009.
Meskipun depresi pasca melahirkan melibatkan ketidakseimbangan kimiawi atau hormonal yang terjadi karena melahirkan, terdapat faktor-faktor lain
yang diasosiasikan dengan peningkatan risiko yang mencakup stress, ibu tunggal atau pertama menjadi ibu, masalah keuangan, perkawinan yang bermasalah,
isolasi sosial, kurangnya dukungan pasangan dan anggota keluarga, riwayat depresi, atau memiliki bayi yang tidak diinginkan, sakit, atau memiliki bayi yang
sulit secara temperamen Nevid, dkk, 2005. Terkait dengan pengalaman pertama menjadi seorang ibu, kelahiran
seorang anak merupakan pengalaman dan tantangan baru bagi orang tua. Seorang wanita akan merasa bangga dapat melahirkan seorang anak. Namun demikian,
tidak semua wanita yang melahirkan memiliki perasaan bahagia. Idealnya masa
9
pasca persalinan, terutama bagi ibu merupakan masa-masa yang membahagiakan. Ternyata, terkadang kelahiran anak ini dapat pula mendatangkan kondisi stress
bagi ibu. Terkait kondisi menekan pada masa awal pengasuhan bayi, Abidi dalam Misri dan Reebye, 2006 menyebutnya dengan istilah parenting stress yang
didefinisikan sebagai kesenjangan antara peran pengasuhan dengan sumberdaya yang dimiliki individu itu sendiri. Berdasarkan konsep ini, parenting stress
merupakan interaksi antara karakteristik orang tua dan anak serta variabel eksternal atau lingkungan.
Pada dasarnya terdapat berbagai model atau pola adaptasi yang dilakukan ibu dalam menghadapi situasi stressfull diseputar masalah kelahiran atau proses
menjadi orang tua. Pengalaman dari calon ibu sebelumnya maupun persepsi ibu tentang pengasuhan juga turut menentukan keberhasilan adaptasi terhadap peran
baru tersebut. Dilaporkan bahwa hampir keseluruhan dari perempuan yang baru menjadi ibu akan menyediakan seluruh waktunya untuk merawat bayi mereka,
sementara para suami akan kembali menghabiskan waktunya untuk bekerja, begitu proses persalinan telah berlangsung. Mengatasi kondisi tersebut perempuan
biasanya akan lebih berfokus pada mengembangkan keintiman dan dukungan emosional dengan teman maupun keluarga. Sehingga beralasan, apabila pada
kenyataannya support-seeking merupakan bentuk strategi coping yang paling banyak dilakukakan oleh para perempuan yang baru menjalani peran sebagai ibu
Alexander, et al., 2001. Ketika proses coping ini tidak berhasil secara efektif mereduksi situasi menekan yang dirasakan ibu, maka akan memicu ibu untuk
10
mengembangkan pola adaptasi yang maladaptif, seperti simtom-simtom yang menyertai kemunculan depresi pasca melahirkan yang dialami ibu.
Pada kenyataannya, sisi lain dari periode pasca kelahiran yang dapat pula dirasa menekan oleh ibu ini, seringkali lepas dari perhatian masyarakat maupun
keluarga dari si ibu itu sendiri. Hal ini terjadi kurang lebih karena persepsi masyarakat tentang kelahiran itu sendiri. Masyarakat pada umumnya menilai
kelahiran merupakan peristiwa paling membahagiakan di sepanjang rentang kehidupan manusia dan selayaknya setiap perempuan berusaha untuk menjadi ibu
yang baik. Gambaran ibu yang baik ini berkembang sejalan dengan nilai-nilai moral
yang diinternalisasi perempuan dari masyarakat. Ibu yang baik diharapkan bahagia ketika mendapati anaknya terlahir sehat, sabar dalam menangani anak
mereka, selalu berpikir tentang anak sebelum berpikir tentang diri mereka sendiri, dan mereka harus menyusui anak mereka. Sebagai konsekuensi dari keyakinan
ini, perempuan merasa bersalah dan seolah-olah menjadi ibu yang buruk ketika mereka tidak segera bahagia tentang kelahiran bayinya tetapi justru menginginkan
ruang pribadi dan waktu untuk diri mereka sendiri. Semua ibu berharap mampu menyusui bayinya dan ketika hal itu tidak berhasil mereka merasa gagal sebagai
seorang ibu Edhborg, et al., 2005. Stigma menjadi ibu yang buruk lebih menakutkan dibandingkan dengan perasaan depresi itu sendiri Bilszta, et.al,.
2006. Para ibu menuntut pada diri mereka sendiri dan berjuang dengan keras
untuk mengatur semuanya sendiri dan tidak menunjukkan kelemahan mereka.
11
Pada akhirnya ibu-ibu tersebut menolak untuk membicarakan tentang perasaannya terhadap teman maupun kerabatnya. Para ibu merasa tidak alami sebagai seorang
ibu dan melihat perasaan depresi mereka sebagai kelemahan dibandingkan sebagai suatu kondisi sakit Edhborg, et.al, 2005.
Stigma yang diyakini para ibu tersebut tidak hanya berpengaruh pada pemahaman ibu terhadap depresi pasca melahirkan itu sendiri, tetapi juga pada
proses terapi Bilszta, et al., 2006. Stigma yang diasosiasikan dengan isu kesehatan mental pasca melahirkan berpengaruh pada keengganan perempuan
untuk mencari maupun menerima informasi terkait depresi yang dialami Zee, et al., 2009. Termasuk didalamnya ketakutan untuk membuka diri terhadap
profesional kesehatan, karena akan dinilai sebagai ibu yang buruk Chew-Graham, et al., 2009.
Depresi pasca melahirkan sebagai dampak atau resiko lebih lanjut dari stress yang dialami ibu, disatu sisi akan sangat berpengaruh terhadap interaksi
dyadic ibu dan bayi. Beragam literatur menjelaskan bahwa tingginya tingkat stress pada proses parenting akan menghasilkan konsekuensi negatif pada kedua belah
pihak, yaitu ibu dan anak. Secara lebih luas dijelaskan bahwa tingkat stress ini berpengaruh pada proses attachment maupun menganggu fungsi keluarga dan
secara tidak langsung berpengaruh pula pada keseluruhan proses tumbuh kembang anak Hadadian Merbler dalam Misri Reebye, 2006. Proses tumbuh
kembang yang terganggu mencakup aspek kognitif, afektif, dan sosial Crnic Acevedo dalam Misri Reebye, 2006.
12
Anak-anak dari ibu yang mengalami depresi cenderung akan mengalami keterlambatan perkembangan pada aspek psikologis, kognitif, neurologis, dan
motorik, dan beresiko memunculkan perilaku menghindar maupun rentan terhadap stress. Fakta yang dapat dikemukakan adalah, ibu yang depresi memiliki
tingkat resiko 3 kali lebih tinggi dibandingkan ibu yang tidak depresi dalam hal masalah emosional anak. Serta 10 kali lebih beresiko terkait dengan hambatan
relasi antara ibu dan anak. Mengingat keseriusan kondisi diatas, menjadi penting untuk memperhatikan dan menangani masalah depresi pasca melahirkan ini.
Sejauh ini hambatan terbesar adalah pada masalah pengenalan secara luas dan mendalam tentang depresi pasca melahirkan itu sendiri, yang pada akhirnya akan
berpengaruh pada ketepatan diagnosa dan penanganannya Gjerdingen Yawn, 2007.
Berdasarkan kondisi-kondisi dan fakta-fakta mengenai fenomena gangguan depresi pasca melahirkan, tindakan preventif merupakan cara yang
lebih efektif untuk mengatasi gangguan tersebut dibandingkan rehabilitatif. Untuk tujuan ini, dibutuhkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai fenomena
munculnya kondisi depresi pasca melahirkan pada ibu, bukan hanya dalam konteks penyelesaian kasus tetapi lebih pada pemahaman terhadap hal-hal yang
perlu diantisipasi terkait fenomena tersebut. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Lusskin, et al. dalam Zee, et al. 2009, bahwa depresi pasca
melahirkan saat ini mulai dikenal mengacu pada kesadaran akan dampak negatif kerentanan munculnya depresi pada rentang periode pasca melahirkan.
13
Beberapa penelitian yang dikembangkan telah hampir menuntaskan identifikasi terhadap ibu-ibu yang beresiko, dan beberapa faktor resiko
kemunculan depresi pasca melahirkan digambarkan akan cenderung mengalami perubahan
Cooper, et.al., 2003. Namun penelitian yang mengeksplorasi faktor
kepribadian belum banyak dilakukan, sebagaimana disampaikan dalam penelitian Verkerk, et al., 2005. Dikemukakan bahwa kepribadian merupakan determinan
yang stabil dalam munculnya depresi pasca melahirkan. Hal tersebut diutarakan pula oleh penderita depresi pasca melahirkan, bahwa kondisi yang dialaminya
kemungkinan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: ketidakseimbangan hormonal dan juga karakter dirinya sendiri Chew-Graham, et al., 2009. Sementara
Edhborg, et al., 2005 menguraikan penghayatan para ibu yang menyatakan bahwa mereka berjuang menghadapi hidupnya selama masa depresi pasca
melahirkan dalam tiga hal, yaitu: menghadapi dirinya sendiri, anaknya, dan pasangannya.
Jadi jelaslah bahwa pemahaman tentang karakter dari ibu penderita depresi pasca melahirkan penting dilakukan, mengingat faktor tersebut juga terlibat dalam
proses adaptasi yang dilakukan oleh mereka. Dimana pada individu dengan karakteristik neuroticism akan cenderung mengembangkan coping yang kurang
efektif, dan justru meningkatkan kecemasan mereka Bolger, 1990. Bertolak pada penghayatan bahwa mereka berjuang menghadapi dirinya
sendiri, dapat pula dikatakan sebagai proses untuk memahami harapan-harapan dan keinginan-keinginan mereka. Memahami keinginan berarti mencoba
memahami determinan kepribadian secara utuh, sebagaimana dinyatakan oleh
14
Murray dalam konsepnya tentang kebutuhan need. Murray dalam Hjelle Ziegler, 1987 mendefinisikan need sebagai sebuah konstruk yang dikenali dalam
otak dan baik secara internal maupun eksternal mengorganisasikan proses-proses psikologis lainnya pada individu, seperti persepsi, berfikir, dan berbuat untuk
mengubah kondisi yang ada dan tidak memuaskan. Pengertian tentang need tersebut dapat pula dikatakan sebagai proses psikologis yang mempengaruhi dan
mengarahkan tingkah laku individu. Gambaran tentang kebutuhan untuk mengubah situasi yang tidak
memuaskan muncul pula dalam penelitian yang dilakukan Bilszta, et al,. 2006, dimana ibu penderita depresi pasca melahirkan seringkali mengulang pernyataan
bahwa mereka butuh untuk dilihat sebagai seseorang yang mampu beradaptasi dengan tuntutan dari peran orangtua. Hal ini juga mengindikasikan menguatnya
keinginan untuk tidak dilihat sebagai ibu yang gagal atau berbeda dengan yang lainnya.
Keinginan lain yang dimunculkan ibu penderita depresi pasca melahirkan terkait dengan perlunya dukungan dari pasangan ditemukan pada penelitian-
penelitian sebelumnya, yang sebenarnya inheren didalamnya adaya kebutuhan akan dependensi, baik disampaikan atau tidak. Resiko perempuan untuk
mengalami depresi pada periode pasca melahirkan meningkat manakala mereka tidak menemukan dukungan dalam memenuhi kebutuhan psikodinamik dasar
Montgomery, et al., 2009. Pemahaman terhadap kebutuhan psikologis ini hanya bisa dipahami
dengan tepat melalui eksplorasi pengalaman dan penghayatan ibu-ibu penderita
15
depresi pasca melahirkan tentang perilaku maupun perasaan yang ditampilkannya. Pemahaman yang tepat mengenai dinamika internal yang melandasi proses
berkembangnya kebutuhan psikologis diharapkan akan mengarahkan pada pemahaman yang tepat mengenai fenomena gangguan ini. Pemahaman ini sangat
bermanfaat dalam membentuk kesadaran dan pengetahuan para ibu, orang tua, keluarga, maupun profesional kesehatan mengenai fenomena depresi pasca
melahirkan, sehingga mempermudah dalam pengembangan usaha-usaha preventif. Sebelumnya penelitian tentang faktor resiko dari depresi pasca melahirkan
biasanya menelusuri faktor eksternal; pada penelitian dibawah ini lebih memberikan perhatian pada kontribusi yang secara potensial dimiliki oleh faktor
kepribadian. Penelitian terkait faktor kepribadian ibu penderita depresi pasca melahirkan dilakukan oleh Verkerk, et.al 2005 dengan hasil yang menunjukkan
bahwa skor tinggi pada aspek neuroticism dapat diasosiasikan dengan meningkatnya kecenderungan munculnya simtom depresi selama masa pasca
melahirkan. Sementara Greco 2006 melakukan penelitian yang didesain untuk melihat hubungan antara perfectionism dan depresi pasca melahirkan dan
menjelaskan kuantitas dari peran-peran perempuan dengan kontribusi untuk perkembangan depresi pasca melahirkan.
Aspek neuroticism ini juga bersangkut paut dengan keberhasilan melakukan coping dalam menghadapi situasi yang menekan. Sebagaimana
digambarkan sebelumnya bahwa ibu penderita depresi pasca melahirkan cenderung mengembangkan penilaian negatif tentang kompetensi mereka dan
merasa bersalah terkait kegagalan dalam proses perawatan bayi. Pada situasi
16
tersebut, penilaian dan perasaan bersalah adakalanya berkembang sebagai proses coping mereka, yang pada akhirnya justru akan meningkatkan perasaan tertekan
mereka. Sebagaimana digambarkan dalam penelitian Bolger 1990, bahwa coping merupakan komponen yang berinteraksi secara konsisten dengan teori
traits mengenai kecemasan. Lebih jauh dijelaskan bahwa karakteristik kepribadian neuroticism berhubungan dengan kecenderungan mengembangkan coping berupa
wishful thinking dan self-blame, utamanya ketika dihadapkan pada situasi yang menekan.
Terkait penelitian tentang kebutuhan psikologis ibu penderita depresi pasca melahirkan dilakukan oleh Gauthier, et al., 2010, yaitu kebutuhan akan
competence; relatedness; dan autonomy dalam kerangka self determanation theory. Merujuk pada self determanation theory, ketika kebutuhan psikologis ini
terpuaskan, hal itu akan meningkatkan personal well-being. Sejalan dengan self determanation theory, hasil penelitian menggambarkan pentingnya motivasi untuk
otonomi dan relasi dengan pasangan untuk mengembangkan well-being perempuan selama masa transisi menjadi ibu.
B. Masalah Fokus Penelitian