Pandangan Hukum Islam Tentang Operasi Keperawanan Sebagai Alasan Untuk Memperlancar Pernikahan

PANDANGAN HUKUM ISLAM TENTANG OPERASI KEPERAWANAN
SEBAGAI ALASAN UNTUK MEMPERLANCAR PERNIKAHAN
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:
Andre Irawan
1111043100006

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2016 M

Transliterasi dan Singkatan
A. Transliterasi
1. Konsonan:
=b


‫=ز‬z

‫=ف‬f

‫= ت‬t

‫=س‬s

‫=ق‬q

‫= ث‬s

= sy

‫=ك‬k

‫= ج‬j

‫ = ص‬sh


‫= ح‬h

‫=ض‬d

=m

= kh

‫ = ط‬th

‫=ن‬n

‫د‬

=d

‫ = ظ‬zh

‫=و‬w


‫ذ‬

=z

‫‘=ع‬

‫=ه‬h

‫ر‬

=r

‫=ل‬l

‫=ي‬y

= gh

Hamzah ( ‫ ) ء‬yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi
tanda apa pun, sedang jika terletak di tengah atau akhir kata ditulis

dengan tanda: ( ‘ ). Ada pun alif ( ‫ ) ا‬selalu ditulis menurut vokalnya,
kecuali alif dengan maddat (panjang) dan alif maqsûrat ditulis (â).
2. Vokal dan Diftong:
Vokal atau bunyi (a), (i) dan (u) ditulis dengan ketentuan sebagai
berikut:
Pendek

panjang

fathat

a

â

kasrat

i

î


dammat

u

û

Diftong yang sering dijumpai dalam transliterasi ialah (ay) dan (aw),
misalnya, ghayb dan lawh.
3. Kata sandang (al) ditulis dengan huruf kecil, kecuali jika terletak pada
permulaan kalimat , awal nama diri, tempat dan judul buku.
4. Ta”marbûthat ( ) pada umumnya ditulis dengan (t), kecuali akhir nama
diri dan tempat ditulis dengan (h).

ii

5. Kata atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata atau kalimat arab
yang belum sama sekali menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa
Indonesia.
Adapun kata-kata dan kalimat-kalimat yang sudah menjadi bagian dari

bahasa Indonesia, atau sudah terlalu sering ditulis dalam tulisan bahasa
Indonesia, tidak ditulis menurut cara transliterasi di atas, kecuali jika
merupakan bagian dari teks yang harus ditransliterasi secara utuh.
B. Singkatan
AS

= ‘Alayh al-Salam ( ‫) ع يه ال ا‬

H.

= tahun Hijrah

hal.

= halaman

M.

= tahun Masehi


Q.

= al-Quran

S:

= Sûrat ( ‫) سور‬, bagian dari al-Quran

SWT. = Subhânah wa ta’âlâ ( ‫نه و ت لي‬

‫)س‬

SAW. = Shallâ Allah ‘alayh wa sallam
T. pn. = Tanpa penerbit
T. tp. = Tanpa tempat penerbit
t.t

= tanpa tahun penerbit

w.


= tahun wafat

H.R.

= Hadist Riwayat

r.a.

= radiya Allâh ‘anh

C. Daftar istilah Arab disusun menurut urutan abjad latin, tidak menurut urutan
huruf hijâiyat (aksara Arab). Dua istilah atau lebih, yang berasal dari satu
akar kata, tidak mesti ditulis berurutan menurut tashrif-nya, misalnya kata
nâsikh dan mansûkh. Kata nâsikh ditempatkan pada urutan huruf (N) sedang
kata mansûkh ditempatkan pada urutan huruf (M). Daftar istilah Arab ini
ditempatkan pada bagian akhir buku ini.

iii


ABSTRAK
Andre Irawan, NIM: 1111043100006, Pandangan Hukum Islam Tentang
Operasi Keperawanan Sebagai Alasan Untuk Mempermudah Pernikahan.
Konsentrasi Perbandingan Madzhab Fiqih Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Memasuki abad modern dan perkembangan zaman maju pesat, sebagai
indikatornya adalah semakin banyak dan canggihnya teknologi yang ditemukan pada
berbagai bidang. Salah satu bidang yang selalu melakukan penelitian dan menemukan
teknologi baru untuk memecahkan masalah adalah bidang kedokteran. Hal itu dilatar
belakangi oleh munculnya berbagai penyakit baru dan kasus-kasus kesehatan yang
tidak dapat disembuhkan dengan menggunakan metode lama. Sebuah teknologi baru
yang ditemukan adalah operasi pengembalian selaput dara wanita. Penemuan
teknologi dan terobosan baru selain memecahkan berbagai masalah dibidang
kesehatan dan kedokteran juga memunculkan satu masalah dibidang hukum Islam,
yaitu bagaimana pandangan hukum Islam tentang teknologi baru tersebut. Dalam hal
ini penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian tentang teknologi baru dalam
bidang kedokteran, yaitu pengembalian selaput dara wanita. Karena setelah mencari
berbagai hasil penelitian hukum Islam tentang praktek kedokteran, penulis belum
menemukan pembahasan tentang pandangan hukum Islam tentang operasi
keperawanan sebagai alasan mempermudah pernikahan. Karena penelitian ini sangat

membantu bagi masyarakat awam yang belum mengetahui seluk beluk tentang
penyebab rusaknya selaput dara di luar berzina.
Metode penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kualitatif dengan
pendekatan empiris serta wawancara terhadap ulama kontemporer saat ini. Adapun
teknik pengumpulan data dilakukan dengan penelusuran terhadap buku dan dokumendokumen yang berkaitan dengan operasi selaput dara ini.
Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan tentang penyebab rusaknya selaput
dara wanita yang disebabkan diluar berzina. Kerangka konseptual yang penulis
gunakan adalah konsep maslahah untuk mengetahui apakah hal tersebut
diperbolehkan dalam Islam. Setelah meneliti dan menelaah serta menganalisi, penulis
dapat menarik kesimpulan bahwa hukum Islam tidak memperbolehkan melakukan
operasi keperawanan ini, adapun yang membolehkan operasi ini dilakukan dengan
alasan syarat tertentu dengan penyebab rusaknya selaput dara ini diluar berzina.
Kata kunci : Operasi selaput dara, perawan, Pernikahan.
Pembimbing : Dr. H. Fuad Thohari, M.Ag. dan Dra. Hj. Afidah Wahyuni, M.Ag.

i

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang, yang telah memberikan banyak kenikmatan dan senantiasa
memberikan hidayah-Nya sehingga dengan izin-Nya, skripsi dengan judul:
“Pandangan Hukum Islam Tentang Operasi Keperawanan Sebagai Alasan Untuk
Mempermudah Pernikahan” dapat terselesaikan.
Shalawat teriring salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Nabi
Agung, Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman
Jahiliyyah menuju zaman Islamiyyah, kepada keluarga besar-Nya, sahabatsahabat-Nya, tabi’in, tabi’it tabi’in, dan kita sebagai umat-Nya semoga
mendapatkan syafa’at-Nya kelak.
Tanpa adanya dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak tidaklah
mungkin skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membimbing,
membantu dan memotivasi penulis, terutama:
1. Bapak Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si., Ketua Program Studi
Perbandingan Madzhab dan Hukum. Juga kepada Ibu Hj. Siti Hanna,
S.Ag, Lc, MA, Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan
Hukum yang sekaligus merangkap sebagai Dosen Pembimbing Akademik

ii

iii

yang selama ini telah memberikan nasehat serta bimbingannya kepada
penulis selama masih dalam masa kuliah.
3. Bapak Dr. H. Fuad Thohari, M.Ag dan Ibu Dra. Hj. Afidah Wahyuni,
M.Ag. Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak membantu
meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya di sela-sela kesibukan, serta
memberikan bimbingan, pengarahan dan dorongan semangat kepada
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah membekali
dengan

ilmu

yang

berharga,

nasihat-nasihat

penyemangat

yang

memberikan motivasi, serta kesabaran dalam mendidik selama penulis
melakukan studi.
5. Bagian administrasi dan tata usaha yang telah banyak membantu
memberikan kelancaran kepada penulis dalam proses penyelesaian
prosedur kemahasiswaan, serta pemimpin dan segenap karyawan
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan khususnya
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah berkenan
meminjamkan

buku-buku

penunjang,

sehingga

penulis

dapat

menyelesaikan skripsi ini.
6. Orang tua tercinta, Ayahanda Paijan dan Ibunda Suharti yang sangat
berperan dalam mengasuh, mendidik dan membimbing penulis dengan
penuh kesabaran dan pengertian. Serta tiada henti memberikan do’a dan
dukungan baik secara moril maupun materil, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.

iv

7. Adik tercinta Reno Ramadhani, dan Giska Putri Maharani, yang senantiasa
mendoakan dan memberikan dukungan selama proses penulisan skripsi
ini.
8. Ust. H. Ahmad Muzakki Kamali. Lc. dan Teman-teman Sahabat Sholawat,
Yang senantiasa mendoakan dan memberikan dukungan selama proses
penulisan skripsi ini.
9. Teman-teman PMF angkatan 2011 yang selalu membantu, mendukung
dan menemani selama proses penulisan skripsi ini terutama Uje, Resty,
Maftuh, Izzul, Hamdi, Haikal, Ratna, Mila, Dian, Yusuf, Azhar, Qohar,
Rizal, Rusdi dan yang lainnya, semoga Allah memberikan kemudahan
dalam menyusuri kehidupan kita selanjutnya.
10. Terimakasih kepada Nurhayati yang selalu memberikan semangat,
motivasi, dan selalu bersedia mendengarkan keluh kesah selama proses
penulisan skripsi ini.
11. Semua pihak yang telah membantu, serta memberi nasehat, sehingga
terselesaikannya penulisan skripsi ini.
Akhirnya penulis hanya bisa berdoa dan berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan para pembaca, dan semoga mereka yang telah
membantu diberikan ganjaran yang setimpal. Amin.
Jakarta, 20 Agustus 2015

(Penulis)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada
semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan.
Pernikahan adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi
makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.1 Nikah,
menurut bahasa al-jam’u dan al-dhamu yang artinya kumpul.2 Makna nikah
bisa diartikan dengan ‘aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah.
Definisi yang hampir sama dengan yang di atas juga dikemukakan
oleh Rahmat Hakim, kata nikah berasal dari Bahasa Arab nakaha – yankihu –
nikahun yang merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja fil’il madhi
nakaha, sinonimnya tazawwaja kemudian diterjemahkan dalam Bahasa
Indonesia sebagai perkawinan. Kata nikah sering juga dipergunakan sebab
telah masuk dalam bahasa Indonesia.3 Beberapa penulis terkadang
menyebutkan pernikahan dengan kata perkawinan. Dalam Bahasa Indonesia,
perkawinan berasal dari kata kawin, yang menurut bahasa, artinya membentuk
keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.
1
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia,
1999), hal. 9.
2

Sulaiman Al-Mufarraj, Bekal Pernikahan: Hukum, Tradisi, Hikmah, Kisah, Syiar,
Wasiat, Kata Mutiara, Alih Bahasa, Cipta Persada, (Jakarta: Qisthi press, 2003), hal. 5.
3

Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal.

11.

1

2

Istilah “kawin” digunakan secara umum, untuk tumbuhan, hewan, dan
manusia, dan menunjukkan proses generative secara alami. Berbeda dengan
itu, nikah hanya digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan
secara hukum nasional, adat istiadat, dan terutama menurut agama.
Allah SWT dengan segala kekuasaan-Nya telah menciptakan alam dan
segala makhluk yang ada di bumi ini. Setiap makhluk yang diciptakan-Nya
mempunyai beberapa macam. Pertama, makhluk nabati (tumbuh-tumbuhan),
kedua, makhluk hewani (binatang), ketiga, makhluk insani (manusia). Semua
makhluk ini terdiri dari dua jenis yang saling berpasang-pasangan. Bagi
makhluk nabati dan hewani ada jenis jantan dan betina, sedangkan pada
makhluk insani ada jenis laki-laki dan perempuan. Hikmah diciptakannya
segala jenis makhluk ini agar saling membutuhkan dan memerlukan sehingga
dapat hidup berkembang.4
Dalam ajaran Islam, pernikahan merupakan suatu hal yang fitrah dan
memiliki nilai-nilai yang agung yang berbeda dengan ajaran-ajaran lainnya.
Ajaran Islam juga memyempurnakan tata cara pernikahan yang baik
(menghindari sifat-sifat kebinatangan) dan berusaha untuk menempatkannya
pada kedudukan yang mulia guna mengatur hubungan antara laki-laki dengan
perempuan yang berderajat tinggi dan menempatkan keduannya itu sebagai
makhluk yang mulia. Dengan adanya ikatan tali pernikahan, keduanya dapat

4

Amir Taat Nasution, Rahasia Perkawinan Dalam Islam (Jakarta: Pedoman Ilmu
jaya, 1994), hal. 1-2.

3

saling membutuhkan, saling mengisi dan berbagi perasaan suka maupun duka
dalam kehidupan berumah tangga. Semuanya ini Allah SWT jadikan antara
keduanya itu untuk menyempurnakan kehidupan manusia, dari laki-laki dan
perempuan ini selanjutnya menurunkan keturunan-keturunan lainnya.
Dalam kehidupan berumah tangga, suami dapat hidup dengan tenang
bersama istrinya tempatnya mengadu dan mencurahkan segala keluh
kesahnya, berbagi perasaan dengan harapan istrinya dapat meringankan beban
yang dipikulnya. Dengan demikian suami dapat menemukan ketenangan batin
dan jiwa yang sempurna serta dapat membangun keluarga yang penuh
kedamaian, kecintaan dan kasih sayang. Di satu sisi, dalam menjalankan,
membangun dan membina kehidupan berumah tangga terkadang terdapat
gelombang-gelombang yang datang secara perlahan-lahan.5
Kehidupan berumah tangga diibaratkan sebagai suatu perjalanan
dalam mengarungi samudera untuk mencapai tepian dermaga pada suatu
pulau yang menjadikan tujuan. Dalam mengarungi samudera ini tentu banyak
menghadapi berbagai gelombang. Keadaan seperti ini bukan hanya dialami
pada orang tertentu, tetapi setiap insan yang bernafas baik yang telah

5

Dwi Novie, Pengaruh Seks Bebas Terhadap Kesehatan Reproduksi Remaja.
diakses tanggal 12 maret 2015 dari http://ceria.bkkpn.go.id/penelitian/detail/209

4

membina rumah tangga atau sedang membina rumah tangga mengalami
hempasan gelombang tersebut.6
Berkaitan dengan gelombang (problematika) yang ditemukan dalam
kehidupan berumah tangga, yang belakangan ini muncul yakni tentang
keperawanan. Permasalahan ini nampaknya sering terjadi atau bahkan
menjadi permasalahan yang sangat universal terjadi pada orang-orang yang
baru membangun kehidupan berumah tangga (pengantin baru). Hasil survey
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tentang kondisi
siswa (SMP dan SMA) di Indonesia terutama penelitian di kota-kota besar,
ternyata hasilnya cukup mengejutkan. Diperoleh data, 63% siswa dinyatakan
tidak perawan atau sudah pernah melakukan hubungan intim. Dari jumlah
tersebut, 21% pernah melakukan aborsi. Pertumbuhan seks pranikah di
kalangan siswa cukup tinggi. Pada tahun 2005-2006, jumlah siswa tidak
perawan masih berkisar 47,54%. Jadi dalam kurun dua tahun saja telah
meningkat 15,46%. Dari lokasi penelitian menunjukkan, Medan, Binjai, dan
Langkat sebagai salah satu kota besar penyumbang angka tertinggi.7
Di dalam al-Qur’an, Allah SWT telah memperingatkan umatnya untuk
menjaga kemaluannya. Karena tak jarang, keteledoran dan hawa nafsu

6

Dwi Novie. Pengaruh Seks Bebas Terhadap Kesehatan Reproduksi Remaja.
diakses tanggal 12 maret 2015 dari http://ceria.bkkpn.go.id/penelitian/detail/209
7

Dwi Novie. Pengaruh Seks Bebas Terhadap Kesehatan Reproduksi Remaja.
diakses tanggal 12 maret 2015 dari http://ceria.bkkpn.go.id/penelitian/detail/209

5

duniawi sesaat justru berdampak bagi kehilangan kehormatan diri. Untuk itu
Alllah SWT berpesan kepada umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan,
untuk benar-benar menjaga kemaluannya.
Dengan demikian jelas, melalui ayat di atas Allah SWT mengingatkan
umat Islam untuk menjaga kemaluannya. Allah SWT, karenanya, jelas-jelas
mengaitkan sikap menjaga kemaluan ini dengan Azka (lebih suci) bagi
mereka. Siapa yang menjaga kemaluannya, berarti menjaga kesuciannya.
Menurut Jefry al-Bukhari, dalam karyanya Sekuntum Mawar untuk Remaja,
pesan Islam untuk pergaulan Remaja, orang yang tidak sanggup menjaga
kesucian dan kehormatan, maka ia adalah pribadi yang buruk dan hina, mudah
goyah, dan kemungkinan besar tidak akan dapat menjaga rumah tangganya.8
Khususnya bagi kaum wanita beriman, melalui ayat Allah SWT,
memperingatkan secara panjang lebar pada mereka tentang pentingnya
menjaga kehormatan dan beberapa hal yang harus dilakukan secara praktis
agar dapat tetap terjaga kehormatannya. Ini bisa dimengerti mengingat kaum
wanita adalah pihak rawan ternodai kehormatan atau kesuciannya. Dalam
segala posisi, situasi, dan kondisi, presentasi timbul ancaman terhadap
kesucian mereka jauh lebih besar dibandingkan dengan kaum laki-laki.

8

Jefry Al-Bukhari,Sekuntum Mawar Untuk Remaja; Pesan Islam untuk Pergaulan
Remaja, (Jakarta: Pustaka al Mawardi, 2006) cet, ke-8 hal. 151.

6

Apalagi dampak negatif ternodainya kesucian kaum wanita akan membawa
guncangan psikologis yang hebat.9
Di tengah era globalisasi, informasi, dan modernisasi sekarang, makin
banyak perempuan perempuan yang tidak lagi perawan. Dengan tingginya
terlihat mobilisasi penduduk, pengiriman tenaga kerja wanita Indonesia
(TKWI), ke luar negeri yang jauh dari keluarga, merupakan peluang besar
hilangnya keperawanan perempuan-perempuan impian laki-laki. Sikap hidup
hedonis di tengah kota metropolitan, menyebabkan makin mudah kehilangan
keperawanan bagi perempuan. Artinya makin sulit mencari perempuan
perawan dijadikan sebagai isteri, teman hidup.10
Seperti di Benua Afrika, tuntunan mempertahankan keperempuanan
kian marak, akibat makin berkembangnya virus HIV di semua negara di
dunia, maka berbagai cara dilakukan untuk mengobati dan pencegahan sejak
dini. Di Buganda, sebuah kerajaan di Afrika, mengehentikan penyebaran
virus HIV dengan cara menghidupkan kembali tradisi lama, memberikan
hadiah kepada para perempuan yang masih perawan. Larangan itu ditetapkan
oleh Raja Mswati III. Dia memerintahkan para perempuan mengenakan
jambul, sebuah lencana tanda perawan dalam adat masyarakat Swazi lencana

9

Jefry Al-Bukhari,Sekuntum Mawar Untuk Remaja; Pesan Islam untuk Pergaulan
Remaja cet, ke 8 hal. 151.
Analisa, Tuntutan Memprtahankan Kegadisan Kian Marak di Afrika.” Edisi rabu,
22 Mei 2002.
10

7

dipakai di leher. Buganda sendiri kerjaan independen termasuk wilayah
Uganda ketika memperoleh kemerdekaan dari Inggris tahun 1962. Kerajaan
ini memiliki remaja 17 persen dari 24 juta penduduk Uganda. “tetap perawan
berarti menghormati budaya kami,” ujar Rose Orishaba, seorang siswa di
Kampala yang bermaksud membubuhi tanda tangan di kertas perjanjian
keperawanan sebagaimana dikutip Analisa.11
Pergaulan

yang

demikian

tentu

saja

rentan

menghilangkan

keperawanan bagi perempuan. Dan akibatnya, jika keperawanan ini hilang,
tak jarang kaum laki-laki yang tak mau menjamahnya. Apalagi menikahinya,
lantaran keperawanan masih dinilai begitu penting dan berharga. Bagi mereka
ini, keperawanan identik dengan kesucian dan kehormatan. Karena itu,
keperawanan menjadi syarat mutlak dan harga mati bagi perempuan yang
hendak dinikahi. Bagi kaum laki-laki, menikah dengan perempuan perawan
adalah salah satu kebanggaan tersendiri. Laki-laki merasa terhina dan
dibohongi bila perempuan yang dinikahi tidak lagi perawan, padahal isterinya
sebelumnya tidak atau belum mempunyai suami. Mungkin laki-laki (suami)
langsung menceraikan isterinya karena tidak perawan, padahal isteri berstatus
perempuan, kecuali isterinya bersatatus janda.12

Analisa, Tuntutan Memprtahankan Kegadisan Kian Marak di Afrika.” Edisi rabu,
22 Mei 2002.
11

12

Armaidi Tanjung, Free Sex No, Nikah Yes, (Jakarta: Amzah, 2007), hal. 37.

8

Begitu pentingnya keperawanan bagi seorang perempuan, padahal
perempuan-perempuan tersebut tidak perawan lagi bisa saja karena akibat
olah raga keras, atau kecelakaan seperti pemerkosaan, akibat operasi
pembedahan atau yang lainnya. Jika demikian kenyataannya, maka pada
gilirannya, hal ini membuat takut dan khawatir kaum perempuan karena hal
tersebut dapat menimbulkan hilangnya keperawanannya. Maka mereka begitu
pusing ketika keperawanannya membuat tertolak dan bahkan berdampak
begitu saja karena dianggap telah hilang kecusian dan kehormatan dirinya.
Posisi perempuan yang tidak perawan lagi senantiasa berada di pihak yang
salah dan dipersalahkan.13 Untuk menutupi aib itu, sedikit sekali kaum
perempuan

itu

melakukan

berbagai

upaya

untuk

mengembalikan

keperawanan, termasuk dengan melakukan operasi selaput darah yang dalam
istilah medis disebut Hymenoplasty, beruntungnya, dunia medis modern
memungkinkan hal ini dilakukan. Sehingga, kaum perempuan yang terlanjur
kehilangan keperawanannya tidak perlu khawatir dan diambil pusing. Karena
dengan operasi kecil tak lebih dari 20 menit, keperawanan itu akan kembali
lagi seperti sedia kala.14

13

Analisa, Tuntutan Mempertahankan Kegadisan Kian Marak di Afrika, Edisi rabu,
22 Mei 2002.
14

Ilham Radiansyah, Operasi Vagina Gaya Hidup Baru Kaum Hawa Makasar,
Diakses pada tanggal 1 September 2015 dari http://www.lkpk.org/operasi-vagina-gaya-hidupbaru-kaum-hawa-makassar/

9

Dengan mengeluarkan uang senilai 4 juta hingga 6 juta untuk
operasi.15 Mereka akan dilihat kembali sebagai perawan yang menyandang
predikat wanita suci, baik, dan sebagainya. Kian hari, fenomena operasi
keperawanan, yang dalam istilah Hendra Nadesu disebutkan sebagai “reparasi
selaput darah” kian menjamur dan kian diminati kaum perempuan. Dengan
kondisi ini memunculkan kekhawatiran. Jika hal ini dilegalkan secara bebas,
maka kemungkinan terjadinya pergaulan seks bebas kian menjadi-jadi.
Soalnya, bagi wanita yang telah kehilangan keperawanan, mereka mudah saja
mengembalikan keperawanan itu dengan jalan operasi. Persoalanpun
dianggap selesai, tentu, ini tentu menjadi efek negatif dari kebolehan
melakukan operasi selaput darah ini secara bebas. Sedangkan operasi
keperawanan bagi wanita yang melakukan zina tidak ada manfaatnya, bahkan
membawa madharat yang lebih besar dan secara syariatpun tidak
diperbolehkan.16
Timbul pertanyaan, bagaimana pandangan hukum Islam bagi
perempuan yang melakukan operasi keperawanan karena kecelakaan, dengan
tujuan untuk mempermudah pernikahannya? Pertanyaan-pertanyaan ini
penting diajukan, mengingat doktrin agama barangkali sangat bernuansa
klasik yang juga hanya memotret persoalan klasik. Persoalan-persoalan

15

Amalia Fauziah dan Yunianti Chuaifah, Apakah Islam Agama untuk Perempuan,
(Jakarta: PBB UIN Jakarta dan KAS, 2003), hal. 26.
16

M. Nu’aim Yasin, Fikih Kedokteran, (Jakarta: Pustaka al kautsar, 2008), hal. 294.

10

mutakhir, semisal operasi keperawanan ini, akhirnya barangkali disikapi
secara “gagap” oleh agama. Bahkan, seringkali ada kesan agama dan
agamawan “tidak siap” menghadapinya.
Berdasarkan pemaparan di atas penulis tertarik untuk mengangkat
permasalahan ini ke dalam sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi dengan
judul “Pandangan Hukum Islam Tentang Operasi Keperawanan Sebagai
Alasan untuk Memperlancar Pernikahan”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perlu adanya
pembatasan yang menjadi fokus dalam pembahasan skripsi ini. Untuk
mengefektifkan dan memudahkan pembahasan, maka penulis membatasi
permasalahan dalam penulisan skripsi ini pada pembahasan mengenai
operasi keperawanan untuk mempermudah pernikahan yang pecahnya
selaput darah disebabkan oleh kecelakaan.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan

pembahasan

masalah

di

atas

maka

penulis

merumuskan pokok permasalahan skripsi ini adalah operasi keperawanan
untuk mempermudah pernikahan. Pokok permasalahan di atas diurai
dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1.

Bagaimana pandangan hukum Islam tentang hukum operasi
keperawanan dalam pernikahan?

11

2.

Apa dalil ahkam yang digunakan oleh para ulama tentang operasi
keperawanan dalam pernikahan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam mengenai operasi
keperawanan dalam pernikahan.
b. Untuk mengetahui dalil ahkan yang digunakan oleh para ulamaulama mengenai operasi keperawanan dalam pernikahan.
2. Manfaat Penelitian
a. Dalam bidang akademik penelitian ini diharapkan dapat berguna
bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pada hukum
Islam
b. Bagi masyarakat luas penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan dan pemahaman yang mendalam dan meyakinkan
tentang melakukan operasi keperawanan dalam pernikahan.
D. Review Studi Terdahulu
Penulis melakukan tinjauan terhadap kajian-kajian terdahulu, di
antaranya adalah skripsi yang berjudul “Pemakaian Selaput Dara Tiruan
Dalam Pernikahan Tinjauan Hukum Islam” yang ditulis oleh Ahmad Farhan,
Program Studi Perbandingan Mazhab Fiqih 2007. Skripsi ini menyimpulkan
Bahwa selaput dara merupakan selaput atau membran tipis yang terletak pada
wilayah vagina yang menghubungkan antara organ reproduksi perempuan

12

bagian luar dengan organ reproduksi bagian dalam. Bahwa hukum pemakaian
selaput dara tiruan ini tergantung dari penyebab robeknya selaput dara, jika
robeknya selaput dara dikarenakan oleh kecelakaan, terbentur benda keras,
maka hukumnya mubah, jika penyebabnya robeknya selaput dara disebabkan
oleh perbuatan zina berulang-ulang maka hukumnya makruh.
Penelitian

selanjutnya

yaitu

“Operasi

Penyempurnaan

dan

Penggantian Alat kelamin dalam Tinjauan Hukum Islam Serta Pengaruhnya
Terhadap Status Perkawinan dan Kewarisannya” yang ditulis oleh Siti
Maemah, Program Studi Perbandingan Mazhab Fiqih 2005. Skripsi ini
menyimpulkan operasi penyempurnaan alat kelamin adalah dibolehkan
(mubah), karena operasi ini untuk mempertegas dan memperjelas alat kelamin
yang sudah ada dan dalam hal kewarisannya Status hukum perkawinan setelah
melakukan operasi penyempurnaan kelamin bagi khunsa wadih adalah tetap
seperti semula sesuai dengan kejelasan status sebelumnya.
Dari skripsi yang telah diuraikan di atas, penulis berpendapat bahwa
skripsi yang ditulis ini berbeda dengan skripsi di atas. Jika di skripsi pertama
fokus pembahasannya mengenai pemakaian selaput dara tiruan dalam
pernikahan

tinjauan

hukum

Islam,

kemudian

skripsi

kedua

fokus

pembahasannya mengenai Operasi Penyempurnaan dan Penggantian Alat
kelamin. Dalam penelitian ini penulis memfokuskan tentang pandangan tokoh
kontemporer dan melalui jalan qowa’id fiqhiyyah hukum Islam

13

E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan
empiris, yang mana penelitian ini dilakukan dengan meneliti bahan
pustaka atau data sekunder.17 Penelitian ini juga menggunakan metode
wawancara tentang pandangan tokoh kontemporer dan melalui jalan
qawa’id fiqhiyyah hukum Islam Tentang operasi keperawanan dalam
pernikahan. Adapun pada penelitian ini menggunakan pendekatan
konseptual yaitu suatu pendekatan yang beranjak dari pandanganpandangan para ahli hukum. Pemahaman akan pandangan-pandangan ini
menjadi sandaran bagi penelitian dalam membangun suatu argumentasi
hukum dalam memecahkan masalah.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data Primer dalam penelitian ini adalah Sumber data primer
adalah sumber data yang diperoleh langsung dari sumber asli, data primer
dapat berupa opini subjek secara individual atau kelompok, hasil observasi
terhadap sesuatu benda (fisik), kejadian atau kegiatan, dan hasil pengujian.
Metode yang digunakan untuk mendapatkan data primer yaitu metode
survei dan metode observasi.
17

Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2011), hal. 33-35.

14

Sumber data sekunder adalah sumber data penelitian yang
diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara
(diperoleh dan dicatat oleh pihak lain) data sekunder umunya berupa
bukti, catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip yang
dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kajian kepustakaan yaitu upaya pengidentifikasi secara sistematis
dan melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen yang memuat
informasi yang berkaitan dengan tema, objek dan masalah penelitian yang
akan dilakukan. 18
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data adalah proses penyederhanaan data kedalam
bentuk yang lebih mudah dibaca atau mudah dipahami dan diinformasikan
kepada orang lain.19 Pada tahapan analisis data, data diolah dan
dimanfaatkan sedemikian rupa hingga dapat menyimpulkan kebenarankebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan yang diajukan
dalam penelitian. Adapun data-data tersebut dianalisis menggunakan
metode deskriptif analisis, yaitu menganalisis dan menjelaskan suatu
18

Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010), hal. 17-18.
19

Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif,
2004), hal. 244.

(Bandung: Alfabeta,

15

permasalahan dengan memberikan suatu gambaran secara jelas sehingga
menemukan jawaban yang diharapkan.
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulisan mengacu pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012”.
F. Sistimatika Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini penulis membagi dalam lima bab, yang
masing-masing bab terdiri dari sub bab yang disesuaikan dengan isi dan
maksud tulisan ini. Pembagian ke dalam beberapa bab dan sub bab adalah
bertujuan untuk memudahkan pembahasan terhadap isi penulisan ini. Adapun
pembagiannya adalah sebagai berikut:

BAB I

PENDAHULUAN
Meliputi, meliputi latar belakang, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu,
metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II

PERNIKAHAN DALAM HUKUM ISLAM
Meliputi, pengertian nikah, hukum melakukan pernikahan,
rukun dan syarat-syarat sahnya pernikahan, anjuran dalam
melakukan pernikahan.

16

BAB III

TINJAUAN

UMUM

TENTANG

OPERASI

KEPERAWANAN
Meliputi

pengertian

operasi

keperawanan,

sebab-sebab

hilangnya keperawanan, alasan-alasan melakukan operasi
keperawanan dan hukum melakukan operasi keperawanan.

BAB IV

ANALISIS

OPERASI

KEPERAWANAN

DALAM

PERNIKAHAN
Meliputi,

Operasi

Keperawanan

Pernikahan,

Pandangan

Tokoh

keperawanan

Dengan

Alasan

Untuk
Islam
Untuk

Memperlancar

Tentang

Operasi

Mempermudah

Pernikahan, Istimbat Hukum Tentang Operasi Keperawanan,
Analisis Hukum Islam Tentang Operasi Keperawanan Dengan
Alasan Untuk Mempermudah Pernikahan
BAB V

PENUTUP
Penulis mengakhiri penulisan ini dengan memberikan beberapa
kesimpulan dan juga menyampaikan beberapa saran yang
berhubungan dengan kajian penulisan.

BAB II
PERNIKAHAN DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Nikah
Menurut bahasa, nikah berarti penggabungan dan percampuran.
Sedangkan menurut istilah syariat, nikah berarti akad antara pihak laki-laki
dan wali perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi halal. Nikah
berarti akad dalam arti yang sebenarnya dan berarti hubungan badan dalam
arti majazi (metafora). Jadi, hubungan badan itu tidak boleh dilakukan hanya
dengan izin semata. Di pihak yang lain, Abu Hanifah berpendapat, nikah itu
berarti hubungan badan dalam arti yang sebenarnya, dan berarti akad dalam
arti majazi.1 Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah SAW:

ِ{ِ‫ِوِق رأِق تِادة‬،‫َنِق تادةَِنِاحسنَِنَِرةِانِالنبِصِن هىَِِنِالت ب تل‬
:‫ِالرَد‬.ً‫اجاِوِِذرية‬
ً ‫وِلقدِارسلناِرسلًِمنِق بِلكِوِجعلناَِمِازو‬
‫ِالرمذىِوِابنِماجه‬
Artinya:

Dari Qatadah dari Hasan dari Samurah, bahwa sesungguhnya NabiSAW mel
arang membujang, dan Qatadah membaca ayat,
“Dansesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamudan
Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan”.(Ar-Ra’d : 38).
[HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah]

1

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga Panduan Membangun Keluarga Sakinah
Sesuai Syariat, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hal. 29.

17

18

“saling menikahilah kalian, sehingga kalian akan melahirkan banyak
keturunan.”
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang
menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis. Melakukan
hubungan kelamin atau bersetubuh.2 Perkawinan disebut juga “pernikahan”,
berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling
memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi).3 Kata “nikah”
sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan, juga untuk arti akad.4
Pernikahan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk
membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan
menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki, nikah
menurut istilah syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum
kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang
semakna dengannya.5
Firman Allah SWT:
2

Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hal.

456.
3

Muhammad bin Ismail Al-Kahlaniy, Subul al Salam, (Bandung: Dahlan, 1988), hal.

4

Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), hal.

5

Abd Rahman Ghazali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 8.

109.

29.

19

ِ‫ن ِوثلثِ ِوربعِ ِۖ ِفإنِ ِخفت ِم ِألِ ِت عدلوا‬
ِٰ ‫فانكحوا ِما ِطابِ ِلكمِ ِمنِ ِالنساءِ ِمث‬
ِ )ِ٣ :٤:‫نِأ ِلِت عولواِ(سورةِالنساء‬
ِٰ ‫ف واحدًِةِأ ِوِماِملكتِِأْانكمِِ ِۚۖ ٰذلكِِأد‬
“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(nikahilah) seorang saja” (QS. Al-Nisa (4): 3).
Perkawinan atau pernikahan dalam Islam dilakukan atas hubungan
yang halal. Perkawinan, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an, merupakan
bukti dari Maha Bijaksana Allah SWT. Dalam mengatur makhluk-Nya.
Firman Allah SWT:
Dalam firman Allah yang lain ditegaskan:

)٢٤ :٢٣ِ:‫النجم‬:‫وأنهِخلقِالزوجيِالذكرِواْن ث ِٰىِ(سورة‬
“Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan
wanita.” (Al-Najm (53): 45).

ًِ‫اجاِلتسكنواِإِلي هاِوجع ِلِب ي نك ِمِمودًِةِورحِة‬
ً ‫ومنِِآَتهِِأ ِنِخلقِِلك ِمِم ِنِأن فسكمِِأزو‬
)ِِ٥٦ِ:.٣ِ:‫تِلقوٍِمِي ت فكرونِِ(سورةِالروم‬
ٍِ ََِِ‫ِۚۖإنِِفِِ ٰذلك‬
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
seorang istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasakan tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
saying. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tandatanda bagi kaum yang berfikir” (QS. Al-Rûm (30): 21).

ِ

20

Kedua ayat di atas menyatakan kepada kita bahwa Islam merupakan
ajaran yang menghendaki adanya keseimbangan hidup antara jasmani dan
rohani, antara duniawi dan ukhrawi, antara materil dan spiritual. Oleh sebab
itu, selain merupakan sunnatullah yang bersifat kudrat, perkawinan dalam
Islam juga merupakan sunnah Rasul. Nabi Muhammad SAW. Dalam
hadisnya menyatakan6:

ِ ‫َن ِاِنِسِ ِِب ِن ِمِ ِال‬
ِِ‫ك ِِانِ ِالنِبِ ِصلى ِل َِلىه ِوسلم ِحِدِلِ ِِواِثِنِ َِِِليِ ِه ِ ِوقِالِ ِ ِ(لكِن‬
ِ)‫ن‬
ِ ِ‫ِِفِِليِسِِم‬
ِ ِ‫ِفِمِنِِِرغِبِِ َِ ِنِ ِسن‬,ِ‫جِا ِلنسِاء‬
ِ ‫ِواِتِِزِو‬,
ِ ِ‫ِواِِف ِطر‬,
ِ ِ‫ص ِوم‬
ِ ِ‫ِوا‬,
ِ ِ‫ِواِ ِنم‬,
ِ ِ‫اِ ِناِصِلِي‬
“Namun aku sendiri shalat, tidur, puasa, berbuka, dan menikahi wanita.
Siapa yang menetang sunnaku, maka ia bukanlah kelompokku” (HR. Bukhari
dan Muslim).7
Dalam hal ini, Anwar Haryono menyatakan bahwa perkawinan adalah
suatu perjanjian suci antara seorang pria dan wanita untuk membentuk
keluarga bahagia.8 Dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan yang berlaku di Indonesia dinyatakan bahwa perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

6
H. E. Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, (Jakarta: PT
Grafindo Persada, 2008), hal. 296.
7

8

Abu al Husein Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1998), hal. 129.

Anwar Haryono, Hukum Islam, Keluasaan dan Keadilannya, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1968), hal. 219.

21

Yang Maha Esa. Dalam penjelasannya, tujuan perkawinan erat kaitannya
dengan keturunan, pemeliharaan, dan pendidikan anak yang menjadi hak dan
kewajiban orang tua.9
Adapun makna atau arti kata nikah (kawin) menurut arti asli ialah
hubungan seksual tetapi menurut arti majazi (mathaporic) atau arti hukum
ialah aqad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai.
suami istri antara seseorang pria dengan seorang wanita. Di dalam suatu
pernikahan, itu terdapat aqad yang mana ketika sudah di ucapkan aqad maka
calon suami dan istri menjadi suami istri yang sah menurut agama Islam. Pada
aqad inilah bisa dikatakan sebagai tanda halal atau peresmian suami istri
menjadi hubungan yang sah.
B. Hukum Melakukan Pernikahan
Dalam Islam, pernikahan merupakan hal penting sehingga para ulama
memberi perhatian khusus dalam hal ini. Adapun hukum nikah di sekelompok
ulama, yaitu jumhur berpendapat bahwa nikah itu sunah. Ahli zhahir
berpendapat bahwa nikah itu wajib, para ulama muta’akhirin (belakangan)
dari mazhab Maliki berpendapat bahwa nikah itu untuk sebagian orang
hukumnya wajib, untuk sebagian yang lain sunah dan untuk sebagian lain lagi
mubah. Hal itu berdasarkan kekhawatiran terhadap perbuatan zina atas

9

H. E. Hassan Saleh, kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, hal. 298.

22

dirinya.10 Sebab terjadinya perbedaan pendapat, apakah bentuk perintah di
dalam firman Allah Ta’ala. Pernikahan merupakan sesuatu yang disyari’atkan
dalam agama Islam, sesuai dengan firman Allah:

ِِ‫ن ِوثلث‬
ِٰ ‫ف ِالي تام ٰىِ ِفانكحوا ِما ِطابِ ِلكمِ ِمنِ ِالنساءِ ِمث‬
ِ ِ ‫وإنِ ِخفتمِ ِأ ِل ِت قسطوا‬
ِ‫نِألِِت عولوا‬
ِٰ ‫تِأْانك ِمِ ِۚۖ ٰذلكِِأد‬
ِ ‫وربعِِِۖفإنِِخفتمِِأ ِلِت عدلواِف واحدًِةِأ ِوِماِملك‬
)ِ٣ :٤:‫(سورةِالنساء‬
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Qs. Al-Nisa (4) 3.
Dan sabda Rasulullah SAW,

ِ‫ت ناكِحواِف ِاِِمكاثٌِر بكمِاا ٔلمم‬
“Saling menikahlah kalian, sesungguhnya aku bangga dengan jumlah kalian
yang banyak di hadapan umat-umat lain.” (HR. Shahih dan Ibnu Majah).
Allah juga berfirman:

ِّ‫وأنكحواِاَْم ٰىِمنكمِوالصِاحيِمنَِبادكمِوإمائكمِِۚإنِيكونواِف قراءِي غنهمِا‬
ِ )٥٣ِ:٥٤ِ:‫يمِ(ِسورةِالنور‬
ٌِ ‫منِفضلهِِۗواِّواس ٌعَِل‬
10

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid. Penerjemah Imam Ghazali Said dan Achman
Zaidun, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011), hal. 1-2.

23

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orangorang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui.”(QS. Al-Nûr(24): 32)
Imam Ibnu Hazm berkata, “wajib hukumnya bagi orang yang normal
untuk menikah, yaitu apabila ia telah sanggup mencari nafkah untuk
membiayai hidupnya setelah menikah. Apabila ia belum mampu mencari
nafkah maka perbanyaklah puasa.” Adapun ulama yang mengatakan bahwa
nikah itu untuk sebagian orang yang wajib hukumnya, untuk sebagian yang
lain sunah, dan untuk sebagian lainnya mubah, mereka melihat kepada
kemaslahatan. Ini termasuk jenis qiyas yang disebut mursal, yaitu qiyas yang
tidak memiliki asal tertentu yang dijadikan sandaran. Banyak dari ulama yang
mengingkarinya dan pendapat yang kuat dari mazhab Malik mengatakan
demikian.11
Di dalam buku “Fikih Keluarga Panduan Membangun Keluarga
Sakinah Sesuai Syariat” berkenaan dengan pernikahan ini, manusia terbagi
menjadi tiga macam:
Pertama, orang yang takut terjerumus dalam pelanggaran jika dia tidak
menikah. Menurut para fuqaha, secara keseluruhan, keadaan seperti itu
menjadikan seseorang wajib menikah, demi menjaga kesucian dirinya. Dan
jalannya adalah dengan cara menikah. Kedua, orang yang disunnahkan untuk
11

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid. Penerjemah Imam Ghazali Said dan Achman
Zaidun, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011), hal. 1-2.

24

menikah. Yaitu, orang yang syahwatnya bergejolak, yang dengan pernikahan
tersebut dapat menyelamatkan dari berbuat maksiat kepada Allah SWT.
Menurut pendapat Ashabur Ra’yi, menikah dalam keadaan seperti itu adalah
lebih utama dari pada menjalankan ibadah sunnah. Dan itu pula yang menjadi
pendapat para sahabat.
Ketiga, orang yang tidak mempunyai nafsu birahi, baik karena lemah syahwat
atau sebenarnya ia mempunyai nafsu birahi tetapi hilang karena penyakit atau
karena hal lainnya. Dan mengenai hal tersebut terdapat dua pendapat:
pertama, ia tetap disunnahkan menikah, karena universalitas alasan yang telah
dikemukakan di atas. Kedua, tidak menikah adalah lebih baik baginya, karena
ia tidak dapat mewujudkan tujuan nikah dan bahkan menghalangi isterinya
untuk dapat menikah dengan laki-laki yang lebih memenuhi syarat. Dengan
demikian ia telah memenjarakan wanita tersebut. Pada sisi yang lain, ia telah
menghadapkan dirinya pada ketidak mampuan memenuhi hak dan meunaikan
kewajiban12
Dari Anas, ia berkata, Nabi Muhammad SAW telah menyuruh untuk
menikah bagi yang sudah Ba’ah (mampu), dan dengan keras beliau melarang
tindakan membujang seraya bersabda, demikian itulah perintah menikah
secara tegas. Dan larangan meninggalkannya hampir mendekati kepada
haram. Seandainya membujang itu lebih baik dari pada menikah, maka hal itu
12

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga Panduan Membangun Keluarga Sakinah
Sesuai Syariat (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hal. 31.

25

jelas bertentangan dengan perintah tersebut. Selain itu, Rasulullah SAW
sendiri telah menikahi wanita dan bahkan lebih dari satu orang, hal itu juga
dilakukan oleh para sahabat beliau. Sedangkan beliau dan juga para
sahabatnya tentu tidak akan menyibukkan diri kecuali dengan hal-hal yang
lebih baik.13
Pernikahan itu hukumnya bisa menjadi wajib, jika sesorang yang
bersangkutan merasa khawatir akan terjerumus ke dalam hal-hal yang
dilarang, jika sampai tidak menikah. Apabila sesorang sudah merasakan
mampu akan ongkos menikah, seperti, maskawin dan nafkah, tetapi ia
merasakan takut akan terjerumus ke dalam jurang perzinaan jika sampai ia
tidak menikah, maka dalam hal ini ia wajib menikah. Dan ia berdosa kalau
sampai meninggalkannya.14
C. Rukun dan Syarat Pernikahan
1. Rukun Pernikahan
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidak
sahnya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian
pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudhu dan takbirratul ihram
untuk shalat atau adanya calon pengantin laki-laki dan perempuan dalam
pernikahan. Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah
13

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga Panduan Membangun Keluarga Sakinah
Sesuai Syariat, hal. 33.
14

Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi, Kado Pernikahan, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar,
2010), hal. 13.

26

tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam
rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat, atau, calon
pengantin laki-laki atau perempuan itu harus beragama Islam.15
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas:
1. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
2. Adanya wali dari pihak calin pengantin wanita. Akad nikah dianggap
sah apabila seorang wali atau wakilnya yang akan melakukannya.
3. Adanya dua orang saksi, pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua
orang saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut.
4. Sighat akad nikah, yaitu ijab Kabul yang diucapkan oleh wali atau
wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh pengantin laki-laki.
Tentang jumlah rukun nikah ini, para ulama berbeda pendapat:
Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu:
1. Wali dari pihak perempuan
2. Mahal (maskawin)
3. Calon pengantin laki-laki
4. Calon pengantin perempuan
5. Sighat akad nikah.
Imam Syafi’i berkata bahwa rukun itu ada lima macam, yaitu:
1. Calon pengantin laki-laki
2. Calon pengantin perempuan
15

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 46.

27

3. Wali
4. Dua orang saksi
5. Sighat akad nikah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun nikah itu ada empat, yaitu:
1. Sighat (ijab dan qabul)
2. Calon pengantin laki-laki
3. Calon pengantin perempuan
4. Wali dari pihak calon pengantin perempuan
Pendapat mengatakan yang mengatakan bahwa rukun itu ada empat,
karena calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan digabung
menjadi satu rukun.16
Di dalam buku lain membahas mengenai rukun pernikahan ini ada
yang berpendapat rukun pernikahan sebagai beriku:
1. Sighat (akad), yaitu perkataan dari pihak wali perempuan, seperti kata
wali, “saya nikahkan engkau dengan anak saya bernama….”. Jawab
mempelai laki-laki “saya terima menikahi…”, boleh juga didahului oleh
perkataan dari pihak mempelai, seperti “nikahilah saya dengan
anakmu….”. Jawab wali, “saya nikahkan engakau dengan anak saya….”
Karena maksud yang sama. Tidak sah akad nikah kecuali dengan lafaz
nikahi, tazwîj, atau terjemahan dari keduanya.

16

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, hal. 48.

28

Yang dimaksud dengan “kalimat allah” dalam hadis ialah Al-Qur’an
dan dalam Al-Qur’an tidak disebutkan selain dua kalimat itu (nikah dan
tazwij), maka harus dituruti agar tidak salah. Pendapat yang lain
mengatakan bahwa akad sah dengan lafaz yang lain, asal maknanya sama
dengan dua lafaz tersebut, karena asal lafaz akad tersebut ma’qul makna,
tidak semata-mata ta’abbudi.
2. Wali (wali si perempuan). Keterangannya adalah hadis Nabi Muhammad
SAW.

ِ‫ِولِِيِسِمِعِِ ِحجِاجِِ ِمنِِ ِالزِهِري‬.
ِ ِ‫ِقِالِ ِهِالِ ِم ِامِِاحِد‬.‫َِ ِنِدِ ِاودِِب ِنِاحِصِيِِ َِ ِنَِِ ِكِرمِ ِة‬
ِِ‫ِفِقِ ِدِتِِبِ ِع ِهِ َِِليِ ِهِسِِليِمِانِِبِ ِنِمِ ِو ِسيِِوِه ِوِثقِ ِةِ َِ ِنِ ِالِزِهِريَِِن‬.‫َبادبنِالزِهِري‬
ِ
ِ‫قِالِ ِه‬
.‫اِفنِ ِكاحِهِاِبِطِلِ)احديث‬
ِ ‫ش ِةِِبِلفِ ِذِ(ِاِ ِْاِاِ ِمِر ِاةِِنكِحِتِِِبغِ ِياِ ِذنِِ ِولِيِ ِه‬
ِ ‫َِِرِوةَِِِ ِنِ َِ ِائ‬
“barangsiapa di antara perempuan yang menikah tidak dengan izin
walinya, maka pernikahannya batal.” (HR. empat orang ahli hadis,
kecuali Nasai).17
3. Dua orang saksi. Sabda Rasulullah SAW:

ٍ ‫َن َِمران ِبن ِحص‬
ِ.‫ِل ِنكاح ِال ِبو ٍل ِو ِشاهدىَِد ٍل‬:‫ي َِن ِالنب ِصِقال‬
‫احدِِبنِحنبل‬
Dari‘Imran bin Hushain dari Nabi SAW beliau bersabda,
“Tidak adanikah melainkan dengan wali dan dua saksi yang adil”. [HR.
Ahmad bin Hanbal18.
2. Syarat Sah Pernikahan

17

Ahmad bin Yazid Abu Abdullah, Ibnu Hajar, (Beirut, Dâr al Fikr, 1989), hal. 605.

18

Ahmad bin Yazid Abu Abdullah, Ibnu Hajar, hal. 447.

29

Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar sahnya perkawinan.
Apabila terpenuhi maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala
hak dan kewajiban sebagai suami istri. Pada garis besarnya syarat-syarat
sahnya perkawinan itu ada dua, yaitu:
a) Calon mempelai perempuannya halal dikawin oleh laki-laki yang ingin
menjadikan istri. Jadi, perempuannya itu bukan merupakan orang yang
haram dinikahi, baik karena haram dinikahi untuk sementara maupun
untuk selamanya.
b) Akad nikahnya dihadiri para saksi. Secara rinci, masing-masing rukun di
atas akan dijelaskan syarat-syaratnya sebagai berikut:
Syarat-syarat kedua mempelai. Yaitu dari pihak pengantin pria,
pengantin perempuan
a) Syarat-syarat pengantin pria.
a. Calon suami beragama Islam
b. Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki
c. Orangnya diketahui dan tertentu
d. Calon mempelai laki-laki jelas halal kawin dengan calon istri
e. Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu
betul calon istrinya halal baginya
f. Calon suami rela (tidak terpaksa) untuk melakukan perkawinan itu
g. Tidak sedang melakukan ihram
h. Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri

30

i. Tidak sedang mempunyai istri empat
b) Syarat-syarat pengantin perempuan
a. Beragama Islam
b. Terang (jelas) bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci)
c. Wanita itu jelas orangnya
d. Bukan mahram
e. Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam
‘iddah
f. Tidak terpaksa/ikhtiyar
g. Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah19
Selain syarat mengenai calon pengantin laki-laki dan perempuan,
adapun syarat wali dan dua orang saksi di dalam pernikahan sendiri. Wali dan
saksi bertanggung jawab atas sahnya akad pernikahan, oleh karena itu, tidak
semua orang dapat diterima menjadi wali atau saksi, tetapi hendaklah orangorang yang memiliki beberapa sifat berikut ini:
1. Beragama Islam
2. Balig (sudah sedikitnya 15 tahun)
3. Berakal
4. Merdeka
5. Laki-laki, karena tersebut dalam hadis riwayat Ibnu Majah dan
Daruqutni di atas
19

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, hal. 49.

31

6. Adil
Dengan memilih wali dan saksi dalam pernikahan mengikuti
persyaratan atau kriteria pada di atas. Maka sebuah pernikaha