Pola Konsumsi Pangan Rumahtangga Petani Hutan Kemasyarakatan Di Kabupaten Lampung Barat

 

PO
OLA KONS
SUMSI PA
ANGAN RU
UMAHTAN
NGGA
PETANII HUTAN K
KEMASYA
ARAKATA
AN
DI KAB
BUPATEN
N LAMPUN
NG BARAT
T

ASIH SULISTYO
S
ORINI ULY

Y DAMORA
A

SEK
KOLAH PA
ASCA SARJANA
INST
TITUT PER
RTANIAN BOGOR
BO
OGOR
2
2009

 
 

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR
DAN SUMBER INFORMASI


Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pola Konsumsi Pangan
Rumahtangga Petani Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Lampung Barat
adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor,

Maret 2009

Asih Sulistyorini Uly Damora
NIM. I157070075

ABSTRACK
ASIH SULISTYORINI ULY DAMORA. Food Consumption Pattern Of Social
Forestry’s Farmer Household In West Lampung District. Under direction of
FAISAL ANWAR and YAYAT HERYATNO.
The objectives of this research were to: 1) identify socio economic

characteristics of Social Forestry’s farmer household, 2) analyze food
consumption pattern of Social Forestry’s farmer household, 3) analyze ideal food
necessity of Social Forestry’s farmer household, 4) analyze factors that influence
energy and protein adequacy level of Social Forestry’s farmer household. The
research was conducted in October – November 2008 by using cross sectional
study design. The sample was 90 Social Forestry’s farmer households chosen by
using proportional sampling method based on group size. The data in this
research consisted of primary data (household characteristic, food consumption
pattern, food consumption) and secondary data (description of research’s
location). The data was analyzed descriptively and statistically. The result of the
research indicates that more than half (77.8%) of the sample are small household
with productive age 30-49 years old and the average education 6-7 years. The
ethnic of bread winner and housewife are dominated by Sundanese and
Javanese. The average household income is Rp. 509.626 per capita per month,
while the average food expenditure is Rp. 213.136 per capita per month. The
foods consumed by the sample are rice, cassava, salty fish, fresh fish, tempeh,
tofu, palm oil, cane sugar, spinach, Chinese cabbage, banana, and papaya. The
average energy consumption is 2020 kilocalories per capita per day, while the
average protein consumption is 47.9 gram per capita per day. The sample has
good (84.4%) and moderate (15.6%) energy adequacy level. Moreover, the

sample has good (46.6%), moderate (32.2%), less (15.6%), and bad (5.6%)
protein adequacy level. The average score of Desirable Dietary Pattern is 81.7.
Based on linear regression analysis, the factors that influence energi adequacy
level are number of household member and food expenditure, while the factors
that influence protein adequacy level is food expenditure.
Key words:
Food
Kemasyarakatan/HKm).
 

Consumption

Pattern;

Social

Forestry

(Hutan


RINGKASAN
ASIH SULISTYORINI ULY DAMORA. Pola Konsumsi Pangan
Rumahtangga Petani Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Lampung Barat.
Dibimbing oleh FAISAL ANWAR dan YAYAT HERYATNO.
Pangan dan Gizi merupakan unsur yang sangat penting dalam
membentuk kualitas sumberdaya manusia karena itu pemerintah berusaha untuk
mewujudkan ketahanan dan perbaikan gizi masyarakat. Salah satu subsistem
ketahanan pangan adalah subsistem konsumsi. Melaksanakan pemantauan
konsumsi dan status gizi penduduk di berbagai daerah harus dilakukan untuk
mengetahui permasalahan yang ada sehingga dapat diambil langkah-langkah
yang dianggap perlu untuk mengatasi atau bahkan mengantisipasi terjadinya
masalah pangan dan gizi yang sering terjadi di daerah pedesaan termasuk
penduduk yang tinggal di sekitar kawasan hutan dan menggantungkan hidupnya
pada hutan. Kabupaten Lampung Barat yang memiliki 48.873,37 ha Hutan
Lindung memiliki program pemberdayaan masyarakat yang memberikan akses
bagi penduduk untuk mengelola hutan dengan pola Hutan Kemasyarakatan
(HKm).
Luas areal HKm seluruhnya adalah 14.174,56 hektar dengan jumlah
pengelola 8.863 orang. Selama ini belum diketahui bagaimana kondisi konsumsi
pangan rumahtangga HKm. Kondisi ini sangat penting bagi pembangunan

kedepan karena akan memberikan data dan informasi serta akan menentukan
langkah-langkah yang akan dilakukan untuk pembangunan kedepan dan juga
antisipasi dan penyelesaian jika terjadi masalah ketahanan pangan. Penelitian ini
bertujuan untuk 1) Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi keluarga
rumahtangga petani Hkm; 2) Menganalisis pola konsumsi pangan rumahtangga
petani HKm; 3) Menganalisis kebutuhan pangan ideal rumahtangga petani Hkm;
4) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecukupan konsumsi
energi dan protein rumahtangga petani HKm.
Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional study yaitu
pengumpulan data hanya dengan satu kali survei yang dilakukan pada bulan
oktober sampai november 2008. Populasi penelitian adalah rumahtangga petani
HKm sedangkan contoh dipilih sebanyak 90 rumahtangga yang dipilih secara
acak proporsional berdasarkan ukuran kelompok tani HKm. Data yang diambil
adalah data primer dan sekunder. Data primer meliputi karakteristik rumahtangga
dan pola konsumsi pangan. Data sekunder meliputi profil gambaran dan kondisi
Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Lampung. Data diolah secara deskriptif
dan statistik. Pola konsumsi ditetapkan berdasarkan frekuensi makan, jenis
bahan pangan yang dikonsumsi, jumlah konsumsi energi dan protein serta mutu
konsumsi pangan (PPH). Kemudian untuk mengetahui faktor yang berpengaruh
terhadap konsumsi zat gizi rumahtangga dilakukan dengan menggunakan regresi

linier berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar rumahtangga
adalah rumahtangga kecil dengan umur kepala dan ibu rumahtangga antara 3039 tahun, berpendidikan setingkat SD, bersuku sunda dan jawa serta telah
menetap antara 19-36 tahun. Pendapatan rata-rata rumahtangga adalah Rp.
509.626 per kapita/bulan dengan rata-rata pengeluaran pangan adalah Rp.
213.136 per kapita/bulan.
Jenis makanan pokok yang dikonsumsi adalah beras (100%) dengan
konsumsi rata-rata 268,9 gram perkapita/hari. Jenis umbi yang paling sering

dikonsumsi adalah singkong. Singkong dikonsumsi kurang dari 1 kali sebulan
oleh 46,7% rumahtangga dengan berat rata-rata 32,8 gram per kapita/hari. Ikan
asin sebagai pangan hewani dikonsumsi 1-3 kali seminggu oleh 70%
rumahtangga dengan berat rata-rata 13,8 gram perkapita/hari. Tempe sebagai
sumber protein nabati dikonsumsi rata-rata 29,6 gram perkapita/hari dengan
frekuensi 1-3 kali seminggu. Bayam dan pisang adalah sayur dan buah yang
paling sering dikonsumsi. Bayam dikonsumsi 1-3 kali seminggu oleh 80%
rumahtangga contoh sedangkan pisang dikonsumsi oleh 75 % rumahtangga
contoh.
Konsumsi energi rata-rata rumahtangga contoh adalah 2020 Kkal per
kapita/hari sehingga telah memenuhi standar ideal, namun dan konsumsi protein

sebesar 47,9 gram perkapita/hari masih harus ditingkatkan lagi untuk memenuhi
standar ideal. Tingkat kecukupan konsumsi energi rumahtangga contoh 84,4%
baik dan 15,6% cukup sedangkan tingkat kecukupan protein 46,6% baik, 32,2%
cukup 15,6% kurang dan 5,6% buruk.
Kualitas konsumsi pangan rumahtangga contoh secara rata- rata masih
kurang beragam. Hal ini ditunjukkan dengan skor PPH sebesar 81,7. Konsumsi
umbi-umbian, pangan hewani, kacang-kacangan dan buah biji berminyak masih
harus ditingkatkan dan mengurangi konsumsi minyak dan lemak, gula serta buah
dan sayur untuk menambah keragaman sehingga kebutuhan pangan ideal
rumahtangga terpenuhi.
Kebutuhan pangan ideal perkapita adalah beras sebesar 263,9
gram/hari, singkong 63 gram/hari, ikan asin 26,8 gram/hari, minyak sawit 21
gram/hari, kelapa 36,9 gram/hari, tempe 32,2 gram/hari, gula pasir 18,2
gram/hari, bayam 8,1 gram/hari dan pisang sebesar 62,6 gram/har. Berdasarkan
analisis regresi linear, faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecukupan
konsumsi energi adalah jumlah anggota rumahtangga dan pengeluaran pangan
rumahtangga sedangkan tingkat kecukupan konsumsi protein dipengaruhi oleh
pengeluaran pangan rumahtangga.
Peningkatan konsumsi pangan hewani, umbi-umbian, kacang-kacangan
dan buah biji berminyak dapat dilakukan melalui penggunaan bahan pangan

yang mudah didapatkan di lokasi sekitar tempat tinggal dan usaha penambahan
penyediaannya untuk dikonsumsi rumahtangga dengan memanfaatkan lahan
garapan dengan beternak, membuat kolam, menanam umbi-umbian dan kacangkacangan, serta peningkatan daya beli pangan dan kesadaran pentingnya gizi
seimbang. Selain itu pemerintah perlu berperan aktif dalam memberikan
sosialisasi, pelatihan, penyuluhan, memberikan bantuan ternak dan ikan serta
membangun sarana dan prasarana di sekitar lokasi rumahtangga untuk
meningkatkan akses pangan.
Kata kunci: pola konsumsi pangan; hutan kemasyarakatan (HKm).

 

POLA KONSUMSI PANGAN RUMAHTANGGA
PETANI HUTAN KEMASYARAKATAN
DI KABUPATEN LAMPUNG BARAT

ASIH SULISTYORINI ULY DAMORA

Tugas Akhir
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesional

pada
Program Studi Manajemen Ketahanan Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
 
 

 

 
 
 
 
 

Penguji Luar Komisi pada Ujian Akhir: Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.S.


 
 

Judul

: Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga
Petani HKm di Kabupaten Lampung Barat

Nama Mahasiswa

: Asih Sulistyorini Uly Damora

NRP

: I153070075

Menyetujui,
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Faisal Anwar, M.S.
Ketua

Ir. Yayat Heryatno, M.Si.
Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi
Manajemen Ketahanan Pangan

a.n. Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Wakil Dekan

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS.
NIP. 131 677 778

Dr. Ir. Dedi Jusadi, MSc.
NIP. 131 788 590

Tanggal Disetujui :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Oktober hingga Desember 2008 ini berjudul “Pola
Konsumsi Pangan Rumahtangga Petani Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten
Lampung Barat”. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
yang bermanfaat untuk perencanaan kebijakan Hutan Kemasyarakatan guna
mendukung terwujudnya ketahanan pangan rumahtangga petani Hutan
Kemasyarakatan Kabupaten Lampung Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS. dan
Yayat Heryatno, SP, MPS. selaku pembimbing yang telah memberikan arahan
dan saran bagi terwujudnya karya ilmiah ini. Disamping itu ucapan terima kasih
penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat yang
telah memberikan beasiswa tugas belajar dan Ir. Warsito selaku Kepala Dinas
Kehutanan dan SDA Kabupaten Lampung Barat atas dukungan dan dorongan
semangat yang diberikan. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Ibu,
Bapak dan Adik-adikku(Ani, Ali, Lila dan Awal) yang tercinta, atas segala do’a
dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor,

Maret 2009

Asih Sulistyorini Uly Damora

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kodya Metro, Provinsi Lampung pada tanggal 24
Maret 1978 dari Bapak T. Saragi dan ibu Sri Sumaryati. Penulis merupakan
anak pertama dari lima bersaudara. Pada tahun 1990, penulis lulus dari SD
Negeri 1 Yosodadi, Kodya Metro dan lulus SMP Negeri 1 Metro pada tahun
1993. Pada tahun 1996 penulis lulus SMU Negeri 1 Metro dan pendidikan
sarjana penulis ditempuh di Program Studi Manajemen Hutan Fakultas Pertanian
Universitas Lampung, lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2007, penulis diterima
di Program Studi Manajemen Ketahanan Pangan pada Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan diperoleh dari Pemerintah Daerah
Kabupaten Lampung Barat.
Penulis berkerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan
Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat sejak tahun 2002 dan ditugaskan
di Dinas Kehutanan dan SDA. Bidang tugas yang menjadi tanggung jawab
penulis adalah perencanaan, monitoring, evaluasi dan pelaporan.

 

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..........................................................................................

xi

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................

xiii

DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................

xiv

PENDAHULUAN ..........................................................................................
Latar Belakang
................................................................................
Rumusan Masalah ..............................................................................
Tujuan Penelitian ..................................................................................
Manfaat Penelitian ...............................................................................

1
1
2
3
3

TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................
Hutan Kemasyarakatan .......................................................................
Karakteristik Rumahangga Petani HKm ...............................................
Pola Konsumsi Pangan .........................................................................
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Konsumsi Pangan .......................

4
4
6
7
11

KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................................

17

METODE PENELITIAN ................................................................................
Desain, Waktu dan Tempat .................................................................
Metode Pengambilan Contoh ..............................................................
Jenis dan Cara Pengambilan Data ......................................................
Pengolahan dan Analisis Data ............................................................
Batasan Operasional ............................................................................

19
19
19
20
21
23

HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................
Gambaran Umum Daerah Penelitian ..................................................
Karakteristik Rumahtangga Petani HKm ..............................................
Kebiasaan Konsumsi Pangan ..............................................................
Konsumsi Pangan .................................................................................
Kebutuhan Pangan Ideal .......................................................................
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi Energi dan
Protein ..................................................................................................

25
25
28
38
46
53

SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................
Simpulan .............................................................................................
Saran ...................................................................................................

60
60
61

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

62

LAMPIRAN ....................................................................................................

65

56


 

 

DAFTAR TABEL
Halaman
Jumlah dan sebaran contoh penelitian ................................................

22

Jenis data yang dikumpulkan ..............................................................

22

xi 
 

 

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Data awal kelompok Hkm yang telah memperoleh ijin ........................

27

Jadwal rencana kegiatan penelitian…………………………………… ....

29

Kuesioner pengumpulan data primer…..………………………………... .

30

xii 
 

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kabupaten Lampung Barat dibentuk berdasarkan UU No. 6 Tahun 1991
dengan total luas 495.040 hektar dan sebesar 76,78% dari luasnya merupakan
kawasan hutan yang terdiri dari hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
seluas 280.580 hektar, Hutan Produksi terbatas (HPT) seluas 33.580 hektar dan
Hutan Lindung(HL) seluas 48.873,37 hektar. Sekitar 23,22 % dari luas wilayah
kabupaten yang dapat diusahakan menjadi kawasan budidaya pertanian,
perkebunan, perikanan darat, pemukiman penduduk, sarana umum dan
sebagainya. Hal ini menyebabkan terjadi berbagai upaya untuk melakukan
perusakan hutan dengan merubah fungsi hutan

menjadi berbagai

fungsi.

Tingkat pertambahan penduduk, baik dari kelahiran maupun migrasi dan
kemiskinan

serta tuntutan pemenuhan berbagai kebutuhan terutama pangan

diyakini menjadi salah satu sumber terjadinya perubahan fungsi hutan tersebut.
Kondisi alam Lampung Barat yang sebagian besar merupakan hutan
dengan fungsi utama untuk konservasi kelestarian keanekaragaman hayati dan
ekosistemnya, serta perlindungan tanah dan air menyebabkan sebagian kecil
saja wilayahnya yang dapat digunakan/dikelola sebagai areal penghasil pangan,
untuk itu dibutuhkan strategi kebijakan khusus dalam pembangunan dan
pengelolaan lingkungannya untuk menjamin ketahanan pangan masyarakat.
Pembangunan ketahanan pangan bertujuan pada peningkatan kualitas
sumberdaya manusia untuk dapat hidup sehat dan produktif. Pangan dan gizi
merupakan unsur yang sangat penting dalam membentuk kualitas sumberdaya
manusia karena itu pemerintah berusaha untuk mewujudkan ketahanan pangan
dan perbaikan gizi masyarakat. Salah satu subsistem ketahanan pangan adalah
subsistem konsumsi. Kualitas intik makanan yang dikonsumsi penduduk akan
mempengaruhi status gizi. Meningkatkan status gizi penduduk merupakan dasar
pembentukan

sumberdaya

manusia

yang

berkualitas.

pemantauan konsumsi dan status gizi penduduk di berbagai

Melaksanakan
daerah harus

dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang ada sehingga dapat diambil
langkah-langkah

yang

dianggap

perlu

untuk

mengatasi

atau

bahkan

mengantisipasi terjadinya masalah pangan dan gizi yang sering terjadi di daerah
pedesaan termasuk pada penduduk yang tinggal di sekitar kawasan hutan dan
menggantungkan hidupnya pada hutan.


 
Kabupaten Lampung Barat yang memiliki 48.873,37 ha Hutan Lindung
memiliki program pemberdayaan masyarakat yang memberikan akses bagi
penduduk untuk mengelola hutan. Hutan Kemasyarakatan/HKm (Community
Based Forest Management/CBFM) merupakan salah satu program/kebijakan
pemerintah pusat yang diadopsi oleh pemerintah lokal untuk diterapkan pada
pengelolaan Hutan Lindung di Kabupaten Lampung Barat. Program Hutan
Kemasyarakatan

ini

diyakini

merupakan

salah

satu

strategi

pembangunan/pengelolaan lahan yang dapat mendukung ketersedian pangan
rumahtangga karena program ini memberikan peluang bagi masyarakat lokal
untuk memanfaatkan lahan Hutan Lindung dengan menanaminya dengan
berbagai jenis tanaman baik kayu-kayuan maupun tanaman Multi Purpose Tree
Species/buah-buahan dan tanaman tajuk rendah/empon-emponan yang dapat
menjadi sumber produksi pangan serta hasilnya dapat dijual sehingga dapat
menjadi sumber pendapatan untuk meningkatkan daya beli pangan untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi pangan rumahtangga sehingga tujuan langsung
dari program Hutan Kemasyarakatan adalah untuk mewujudkan ketahanan
pangan masyarakat.
Luas areal HKm seluruhnya adalah 14.174,56 hektar dengan jumlah
pengelola 8.863 orang. Selama ini belum diketahui bagaimana kondisi ketahanan
pangan masyarakat pengelola Hutan Kemasyarakatan dari sisi konsumi pangan.
Kondisi ini sangat penting bagi pembangunan di masa yang akan datang karena
akan memberikan data dan informasi serta akan menentukan langkah-langkah
yang akan dilakukan untuk pembangunan ke depan dan juga antisipasi dan
penyelesaian jika terjadi masalah ketahanan pangan. Berdasarkan hal tersebut
di atas penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian tingkat konsumsi
rumahtangga petani Hutan Kemasyarakatan.
Rumusan Masalah
Dari uraian di atas terdapat beberapa permasalahan yang ingin diketahui
menyangkut tingkat konsumsi rumatangga petani Hkm beserta faktor sosial,
ekonomi dan budaya yang mempengaruhinya. Permasalahan tersebut adalah:
1. Bagaimana kondisi sosial ekonomi rumahtangga petani Hkm?
2. Bagaimana pola konsumsi dan kebutuhan pangan rumahtangga petani
HKm?

 
 


 
3. Faktor-faktor sosial ekonomi apa yang mempengaruhi konsumsi energi dan
protein rumahtangga petani HKm?
Tujuan
Tujuan umum
Penelitian secara umum bertujuan untuk menganalisis

pola konsumsi

pangan rumahtangga petani Hkm di Kabupaten Lampung Barat.
Tujuan khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi rumahtangga petani Hkm.
2. Menganalisis pola konsumsi pangan rumahtangga petani HKm.
3. Menganalisis kebutuhan pangan ideal rumahtangga petani Hkm.
4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecukupan konsumsi
energi dan protein rumahtangga petani HKm.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang komprehensif
tentang pola konsumsi pangan rumahtangga petani HKm. Informasi ini
diharapkan dapat memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten
Lampung Barat dalam perencanaan kebijakan baik di bidang kehutanan maupun
di bidang lainnya untuk mendukung program ketahanan pangan di Kabupaten
Lampung Barat serta bagi peningkatan ketahanan pangan rumahtangga petani
HKm.

 
 


 

TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Kemasyarakatan
Batasan hutan kemasyarakatan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2007
yang dimaksud Hutan Kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan
utamanya

ditujukan

untuk

memberdayakan

masyarakat

setempat.

Penyelenggaraan HKm dimaksudkan untuk pengembangan kapasitas dan
pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara
lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat
untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat
dengan azas manfaat dan lestari secara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya,
azas

musyawarah

Kemasyarakatan

mufakat,

dan

azas

keadilan.

Pengertian

Hutan

menurut Cahyaningsih, Pasya dan Warsito (2004) adalah

Hutan Negara dengan sistem pengelolaan

hutan yang bertujuan untuk

memberdayakan masyarakat (meningkatkan nilai ekonomi, nilai budaya,
memberikan manfaat /benefit kepada masyarakat pengelola, dan masyarakat
setempat), tanpa mengganggu fungsi pokoknya (meningkatkan fungsi hutan dan
fungsi

kawasan,

pemanfaatan

kawasan,

pemanfaatan

jasa

lingkungan,

pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dengan
tetap menjaga fungsi kawasan hutan).
HKm ditujukan atau bisa dimanfaatkan oleh masyarakat petani di sekitar
kawasan hutan yang memiliki ketergantungan pada kawasan hutan tersebut
dengan sistem pendekatan areal kelola/hamparan kelola. HKm memberikan
kepastian hukum atas status kelola bagi masyarakat yang membutuhkan dengan
tujuan “Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera”. Maksud hutan lestari adalah
melalui pola-pola pengelolaan di lahan HKm diharapkan dapat menjaga
kelestarian

hutan

dan

meningkatkan

perbaikan

fungsi

hutan.

HKm

mengharuskan petani pengelola menanam tanaman MPTs dengan harapan
bahwa manfaat penerapan sistem tanaman yang multiguna seperti ini
diharapkan

dapat

dinikmati

oleh

masyarakat

sehingga

meningkatkan

 
 


 
kesejahteraan hidup mereka melalui keanekaragaman hasil dari tanaman yang
ditanam di areal HKm (Renstra Dishut PSDA tahun 2002-2007).
Beberapa kegiatan yang dapat dikembangkan dalam pengelolaan dan
pengembangan hutan kemasyarakatan adalah: 1) Hutan Lindung untuk a)
pemanfaatan kawasan, meliputi: budidaya

tanaman obat, budidaya tanaman

hias, budidaya lebah madu, budidaya pohon serbaguna, budidaya burung walet
penangkaran rusa, penangkaran satwa liar, rehabilitasi hijauan makanan ternak;
b) Pemanfaatan jasa lingkungan meliputi pemanfaatan jasa aliran air, wisata
alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan
lingkungan, penerapan dan/atau penyimpanan karbon; c) Pemungutan hasil
hutan bukan kayu pada Hutan Lindung meliputi rotan, bambu, madu, getah,
buah, jamur; 2) Hutan Produksi untuk pemanfaatan kawasan meliputi budidaya
tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah,
penangkaran satwa, budidaya sarang burung walet.
Manfaat hutan kemasyarakatan
Menurut Cahyaningsih, Pasya dan Warsito HKm memiliki beberapa
manfaat. Manfaat HKm untuk masyarakat adalah: 1) Pemberian izin kelola HKm
memberikan kepastian hak akses untuk turut mengelola kawasan hutan.
Masyarakat kelompok tani pengelola HKm menjadi pasti untuk berinvestasi
dalam kawasan hutan melalui reboisasi swadaya mereka; 2) Menjadi sumber
mata

pencaharian

dengan

memanfaatkan

hasil

dari

kawasan

hutan.

Keanekaragaman tanaman yang diwajibkan dalam kegiatan HKm menjadikan
kalender musim panen petani menjadi padat dan dapat menutup kebutuhan
sehari-hari rumahtangga petani; 3) Kegiatan pengelolaan HKm yang juga
menjaga sumber mata air dengan prinsip lindung, berdampak pada terjaganya
ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan rumahtangga dan
kebutuhan pertanian lainnya; 4) Terjalinnya hubungan dialogis dan harmonis
dengan pemerintah dan pihak terkait lainnya; 5) Adanya peningkatan
pendapatan non tunai dalam bentuk pangan dan papan.
Manfaat HKm untuk pemerintah adalah: 1) Kegiatan HKm memberikan
sumbangan tidak langsung dari masyarakat kepada pemerintah melalui
rehabilitasi yang dilakukan secara swadaya dan swadana; 2) Adanya
peningkatan pendapatan pemerintah daerah untuk pembangunan hutan lestari
masyarakat sejahtera; 3) Kegiatan teknis di lahan HKm yang mewajibkan

 
 


 
kelompok melakukan penerapan pengeolahan lahan berwawasan konservasi
(menerapkan terasering, guludan, rorak, dll) dan melakukan penanaman tajuk
tinggi melalui sistem MPTs membawa perbaikan pada fungsi hutan; 4) Kegiatan
HKm berdampak pada pengamanan hutan (menurunkan tingkat penebangan liar,
kebakaran hutan dan perambahan hutan). Kegiatan pengamanan hutan tersebut
merupakan

bagian

dari

program

kerja

masing-masing

kelompok

5)Terlaksananya tertib hukum di lahan HKm (berdasarkan

tani;

aturan dan

mekanisme kerja kelompok).
Manfaat HKm terhadap fungsi hutan dan restorasi habitat alami adalah:
1) Terbentuknya kenanekaragaman tanaman (tajuk rendah, sedang dan tinggi);
2) Terjaganya fungsi ekologis dan hidro-orologis melalui pola tanaman campuran
dan teknis konservasi lahan yang diterapkan; 3) Terjaganya blok perlindungan
yang dikelola oleh kelompok pemegang ijin Hkm yang diatur melalui aturan main
kelompok; 4) Kegiatan Hkm juga menjaga kekayaan alam flora dan fauna yang
telah ada sebelumnya beserta habitatnya.
Karakteristik Rumahtangga Petani Hutan Kemasyarakatan
Berdasarkan data terakhir yang dikumpulkan oleh Dishut dan PSDA
Kabupaten Lampung Barat (2007), jumlah kelompok tani yang telah memiliki ijin
pengelolaan Hutan Kemasyarakatan adalah 31 kelompok dengan jumlah total
anggota 8.863 rumahtangga. Dari jumlah 31 kelompok tersebut sudah ada 5
kelompok yang telah memperoleh ijin pengelolan definitif selama 35 tahun dan
26 kelompok telah memperoleh ijin sementara 5 (Lampiran 1).
Konsumsi pangan berhubungan dengan tingkat sosial

budaya dan

ekonomi. Saat ini jumlah petani pengelola HKm yang telah mendapat ijin
pengelolaan 35 tahun adalah 1082 kepala rumahtangga dengan rata-rata jumlah
anggota rumahtangga adalah 4 orang dan pendidikan kepala rumahtangga
adalah SMP.

Para petani pengelola HKm ini umumnya bukan merupakan

penduduk asli Lampung Barat. Mereka merupakan penduduk pendatang yang
berasal dari Pulau Jawa dan Provinsi Sumatera Selatan dengan suku Sunda,
Jawa dan Sumendo. Luas lahan yang digarap berkisar antara 1 sampai 4 hektar
dengan jenis tanaman didominasi oleh kopi. Menurut data dari BPS (2007) ratarata pendapatan penduduk Provinsi Lampung secara umum adalah Rp. 145.637
per kapita/bulan.

 
 


 

Pola Konsumsi Pangan
Pangan merupakan kebutuhan dasar utama mahluk hidup. Pentingnya
pemenuhan

kebutuhan

pangan

bagi

penduduk

mendorong

pemerintah

menetapkan kebijakan bahwa program pangan di Indonesia diarahkan untuk
memberikan jaminan ketersediaan pangan bagi seluruh penduduk. Pengertian
konsumsi pangan dapat ditinjau dari dua dimensi, yaitu dimensi kuantitas
(jumlah) dan kualitas (mutu). Dimensi kuantitas dari konsumsi pangan meliputi
jumah pangan dan zat gizi yang dikonsumsi. Dimensi kualitas dari konsumsi
pangan meliputi pola (keragaman jenis) konsumsi pangan dan nilai mutu gizi
yang pada umumnya dinyatakan sebagai nilai “Net Protein Utilization” (Suhardjo,
1989).
Konsumsi pangan memiliki ukuran kualitatif dan kuantitatif. Salah satu
ukuran kuantitatif konsumsi adalah asupan energi dan protein. Pada umumnya
jika kecukupan energi dan protein telah terpenuhi dan dikonsumsi dari berbagai
jenis pangan, maka kecukupan zat-zat gizi lainnya dapat terpenuhi atau
sekurang-kurangnya tidak terlalu sukar untuk memenuhinya. Standar kecukupan
konsumsi yang dapat digunakan sebagai acuan adalah jumlah konsumsi
energi/zat gizi yaitu AKE dan AKP mapun komposisi pangan yaitu persen
kontribusi terhadap AKE dan AKP. Angka Kecukupan Gizi merupakan standar
normatif kebutuhan pangan yang harus terpenuhi oleh setiap individu agar sehat
dan produktif. Angka Kecukupan Gizi rata-rata yang dianjurkan (AKG) adalah
suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi hampir semua orang menurut
golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh dan ativitas untuk mencapai derajat
kesehatan yang optimal (Muhilal, dkk 1989).

Standar kecukupan gizi ini

disepakati melalui Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG)
dilakukan setiap lima tahun sekali.

yang

Pada WKNPG ke VII tahun 2004 AKG

konsumsi energi adalah 2000 kkal per kapita/hari dan konsumsi protein 52 gram
per kapita/hari. Ukuran terpenuhinya jumlah konsumsi pangan yang cukup dilihat
dari persentase AKG yang mencapai 100 persen.
Konsumsi pangan selain dapat dianalisis secara kuantitatif, juga dapat
dianalisis secara kualitatif dengan indikator Pola Pangan Harapan (PPH). Pola
Pangan Harapan (PPH) atau Desirable Dietary Pattern adalah susunan beragam
pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama

 
 


 
(baik secara absolut maupun relatif) dari suatu pola ketersediaan dan atau
konsumsi pangan. FAO-RAPA (1989) mendefinisikan PPH sebagai “komposisi
kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi

dapat memenuhi kebutuhan

energi dan zat gizi lainnya”. Dengan pendekatan PPH ini mutu konsumsi pangan
penduduk dapat dilihat dari skor pangan (dietary score) dan dikenal sebagai skor
PPH. Semakin tinggi skor PPH, konsumsi pangan semakin beragam dan
seimbang.
Definisi lainnya menjelaskan bahwa PPH merupakan susunan beragam
pangan yang didasarkan atas proporsi keseimbangan energi dari 9 kelompok
pangan dengan mempertimbangkan segi daya terima, ketersediaan pangan,
ekonomi,

budaya dan agama.

Pada umumnya telah diketahui bahwa lima

kelompok zat gizi selain air, yang esensial diperlukan tubuh manusia adalah
protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral. Dari tiga macam zat gizi yang
pertama tersebut (protein, karbohidrat, dan lemak), tubuh akan memperoleh
energi sehingga manusia mampu mempertahankan kerja alat-alat tubuh dan
melakukan kegiatan fisik sehari-hari. Berbagai zat gizi ini dapat disediakan oleh
beragam pangan yang terdapat dalam makanan yang dikonsumsi.

Sejumlah

golongan bahan makanan yang tersusun secara seimbang akan mampu
memenuhi kebutuhan zat gizi. Golongan pangan tersebut mencakup: (1) padipadian, (2) umbi-umbian, (3) pangan hewani, (4) minyak dan lemak, (5) buah dan
biji berminyak, (6) kacang-kacangan, (7) gula, (8) sayuran dan buah-buahan, (9)
lain-lain (Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, 1994).
Dalam melakukan analisis kualitatif berdasarkan indikator PPH maka
terdapat beberapa standar normatif yaitu menurut FAO-RAPA, Menteri Negara
Urusan Pangan tahun 1996 dan Departemen Pertanian tahun 2001.

Secara

total, skor PPH yang ditetapkan oleh Meneg Pangan tahun 1996 yaitu sebesar
93, kemudian skor ini dilakukan penyempurnaan dan pengkajian kembali oleh
Deptan pada tahun 2001 sehingga skor PPH ideal sebesar 100.

Skor PPH

menunjukkan mutu pangan, artinya pangan yang dikonsumsi tidak hanya
semacam tetapi beranekaragam dengan gizi seimbang, atau dikenal dengan
semboyan beragam, bergizi dan berimbang (3B) ditunjukkan dengan skor PPH
(Pola Pangan Harapan) mencapai 100, dan sebaliknya skor PPH kurang atau
lebih dari 100 menunjukkan konsumsi pangan kurang bermutu.
Pola konsumsi pangan didefinisikan sebagai susunan beragam pangan
yang biasa dikonsumsi oleh keluarga atau masyarakat dalam hidangannya

 
 


 
sehari-hari (Pranadji, 1988). Pola konsumsi pangan ini disusun berdasarkan data
jenis makanan dan berat yang dimakan. Semakin sering suatu pangan
dikonsumsi dan semakin banyak jumlah yang dimakan, maka semakin besar
peluang pangan tersebut tergolong ke dalam pola konsumsi.
Den Hartog et al. (1995) mendefinisikan pola konsumsi pangan sebagai
komposisi jenis pangan sebagai makanan pokok, sayur-sayuran, buah-buahan,
daging dan sebagainya yang dikonsumsi oleh individu atau keluarga setiap hari.
Sumber berbagai jenis pangan tersebut merupkan komponen penting dalam pola
konsumsi pangan seperti berasal dari pembelian, hasil produksi rumahtangga,
penukaran (barter) dan hadiah atau pemberian. Catatan sumber pangan ini
penting untuk melihat kontinuitas ketersediaan pangan tersebut bagi kebutuhan
konsumsi pangan rumahtangga sebelum dapat dikatakan sebagai pola dari
konsumsi pangan.
Menurut Tan et al. (1970) pola konsumsi pangan sangat dipengaruhi oleh
adat-istiadat. Pola konsumsi pangan ini merupakan salah satu kebiasaan yang
paling tua dan bersifat sangat mendalam. Meskipun demikian kebiasaan makan
dapat dirubah dan akan berubah walaupun perubahan tidak berlangsung dengan
mudah. Perubahan akan terjadi apabila individu menyadari dan memiliki
keinginan serta kebutuhan untuk berubah.
Menurut Suharjo (1989) kebiasaan makan didefinisikan sebagai suatu
perilaku yang berhubungan dengan makan seseorang, pola makanan yang
dimakan, pantangan, distribusi makanan dalam anggota keluarga, preferensi
terhadap makanan dan cara memilih bahan pangan. Kebiasaan makan tercermin
dalam cara-cara seseorang memilih makanan beragam sesuai dengan golongan
etnis dari mana seseorang tersebut berada.
Pantangan merupakan salah satu fungsi dari kebiasaan makan (Suhardjo,
1989). Pantangan berkaitan erat dengan nilai-nilai budaya dan bahkan agama
yang dalam hal-hal tertentu tidak dapat dihindari dan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari system kehidupan suatu masyarakat. Berbagai budaya
memberikan peranan dan nilai yang berbeda-beda terhadap pangan atau
makanan. Suatu budaya dapat menganggap suatu bahan makanan tertentu
sebagai tabu untuk dikonsumsi karena alasan-alasan tertentu. Sanjur (1982)
menempatkan pantangan ke dalam sistem kepercayaan dan praktek atas
pangan (food beliefs and practices system). Lebih Lanjut Den Hartog et al.
menyatakan bahwa pantangan atau tabu atas bahan pangan tertentu merupakan

 
 

10 
 
bagian dari konsep sosial yang berlaku dalam suatu masyarakat yang
mempengaruhi pendistribusian makanan di dalam keluarga.
Berkenaan dengan pantangan ini, pantangan dibagi menjadi pantangan
permanen dan pantangan sementara. Pantangan permanen berkaitan dengan
jenis-jenis makanan yang tidak pernah dan tidak akan pernah dikonsumsi oleh
suatu masyarakat seperti larangan memakan babi untuk umat muslim.
Pantangan ini tidak berubah atau permanen. Sedangkan pantangan yang
bersifat sementara belaku atas individu-indiidu tertentu dalam suatu periode
tertentu seperti dalam masa kehamilan, anak-anak atau akibat mengidap
penyakit tertentu. Hal ini berarti bila periode waktu tersebut telah dilewati, maka
pantangan tersebut menjadi tidak berlaku lagi. Selain hal tersebut di atas pola
konsumsi pangan juga ditentukan oleh

3 faktor dominan yaitu 1) Kondisi

ekosistem yang mencakup penyediaan bahan makanan alami;

2) kondisi

ekonomi yang menentuka daya beli; 3) pemahaman konsep kesehatan dan gizi
(Suhardjo, 1989). Antang (2002) menyatakan bahwa konsumsi bahan pangan
berbeda pada masing-masing kelompok masyarakat dimana faktor ekologi
memberikan pengaruh yang besar pada pola konsumsi.
Konsumsi pangan dapat digunakan untuk memperkirakan kecenderungan
masalah gizi yang dihadapi masyarakat. Dengan demikian perubahan konsumsi
pangan dari waktu ke waktu dapat digunakan untuk memperkirakan perubahan
keadaan ekonomi penduduk dan untuk melakukan prediksi masalah gizi yang
timbul dimasa mendatang. Cara yang baik untuk mengukur keberhasilan
program pangan dan gizi adalah dengan mengevaluasi tingkat konsumsi pangan
penduduk (Suharjo, 1995).

Informasi konsumsi pangan dapat digunakan

sebagai bahan untuk menetapkan kebijakan pangan dan untuk merencanakan
program perbaikan kesehatan dan gizi dimasa mendatang dan juga dapat
digunakan untuk merencanakan program dalam sektor pertanian dan industri
makanan olahan untuk mencukupi kebutuhan pangan dan juga untuk
mempengaruhi perilaku pangan yang lebih sehat.
Dalam hal konsumsi pangan

permasalahan yang dihadapi antara lain

adalah tingkat konsumsi yang masih rendah, mutu pangan yang dikonsumsi
masih rendah, serta pola konsumsinya yang masih kurang beragam. Persoalan
dibidang konsumsi ini tidak sepenuhnya disebabkan oleh ketersediaan pangan,
tetapi juga menyangkut masalah kesadaran konsumen dan produsen akan
perlunya mutu pangan yang baik dan beragam. Disamping itu faktor tingkat

 
 

11 
 
pendapatan yang masih rendah juga sangat berpengaruh terhadap pilihan
pangan yang bermutu. Di masa mendatang tantangan di bidang konsumsi
adalah terdapatnya kecenderungan konsumsi yang mengarah kepada pola
konsumsi

yang semakin kurang beragam, antara lain disebabkan oleh

kebiasaan

makan

diluar

rumah,

keberhasilan

dalam

peningkatan

dan

pemerataan pendapatan akan mempengaruhi pencapaian tingkat konsumsi yang
sehat (Suharjo, 1995).
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan
Jumlah anggota rumahtangga
Banyaknya anggota rumahtangga akan mempengaruhi konsumsi pangan.
Suharjo (1989) mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara besarnya
rumahtangga dan kurang gizi pada masing-masing rumahtangga. Jumlah
anggota

rumahtangga

yang

semakin

besar

tanpa

diimbangi

dengan

meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan
semakin tidak merata. Dalam hubungannya dengan pengeluaran rumahtangga,
Sanjur (1882) menyatakan bahwa besar keluarga yaitu banyaknya anggota suatu
keluarga akan mempengaruhi pengeluaran rumahtangga.
Harper (1988), menggambarkan hubungan antara besar rumahtangga
dengan konsumsi pangan, dimana diketahui bahwa rumahtangga miskin dengan
jumlah anak lebih banyak akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya
jika dibandingkan dengan keluarga dengan jumlah anggota lebih sedikit.
Semakin besar ukuran keluarga, maka semakin sedikit pangan tersedia yang
dapat didistribusikan pada anggota-anggota keluarga sehingga semakin sedikit
pangan yang dikonsumsi. Jumlah anggota rumahtangga mempunyai hubungan
negatif dengan konsumsi pangan. Jumlah anggota rumahtangga berkaitan
dengan banyaknya individu yang harus dipenuhi kebutuhan gizinya. Semakin
banyak anggota rumahtangga, maka jumlah dan kualitas pangan dan gizi yang
harus disediakan rumahtangga semakin meningkat dan bervariasi sesuai
komposisi anggota rumahtangga. Apabila pembagian untuk masing-masing
anggota rumahtangga tidak baik, maka akan terjadi persaingan. Anak-anak akan
mudah tersisih dan memperoleh bagian kecil yang tidak memenuhi kebutuhan
tubuhnya untuk bertumbuh dan berkembang (Sayogyo dkk., 1986).

 
 

12 
 

Pendapatan
Menurut Sanjur (1982), konsumsi pangan mengacu pada pengertian
jumlah pangan yang tersedia yang dan dapat tersedia dan dikonsumsi oleh
individu atau keluarga. Sejumlah faktor mempengaruhi ketersediaan pangan
tersebut. Harper et al. (1989) menyatakan bahwa ketersediaan pangan dalam
rumahtangga dipengaruhi oleh pengeluaran uang untuk pangan dan produksi
pangan untuk keperluan rumahtangga itu sendiri. Berkaitan dengan pengeluaran
untuk pangan, Suhardjo (1993) melihat bahwa daya beli merupakan fungsi dari
pendapatan. Dengan meningkatnya pendapatan, maka keterjaminan pangan dan
konsumsi atau ketersediaan menu makanan akan lebih baik bagi rumahtangga
tersebut. Secara umum, fenomena ini menunjukkan bahwa tingkat pendapatan
sebagai faktor ekonomi dapat mempengaruhi konsumsi pangan.
Pendapatan rumahtangga adalah jumlah semua hasil perolehan yang
didapat oleh anggota rumahtangga dalam bentuk uang sebagai

hasil dari

pekerjaannya. Sayogyo (1994) menyatakan bahwa pendapatan keluarga meliputi
penghasilan ditambah dengan hasil-hasil lain. Telah dikemukakan bahwa
pendapatan merupakan salah satu fungsi dari pola konsumsi pangan. Tingkat
pendapatan yang tinggi akan menentukan bukan hanya kuantitas pengeluaran,
melainkan juga kualitas dari apa yang dibeli untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi. Lebih lanjut, Den Hartog et al. (1995) secara spesifik menjelaskan
bahwa pendapatan merupakan faktor penting dalam pola konsumsi pangan.
Dengan suatu pola peningkatan pendapatan yang signifikan, lebih banyak
pangan yang mahal yang dapat dibeli dan dikonsumsi. Keluarga mulai
mengubah pola pengeluaran untuk pangan pokok ke lebih banyak sayursayuran, buah-buahan dan bahkan daging serta susu. Hal ini berarti bahwa
keluarga bukan hanya lebih terjamin dalam hal ketersediaan pangan, melainkan
juga memiliki

lebih banyak ragam menu makanan, yang pada gilirannya

menentukan status gizi keluarga yang lebih baik. Berkaitan dengan status gizi
keluarga tersebut, Berg (1986) sebelumnya juga telah menyatakan bahwa
terdapat hubungan yang erat antara pendapatan dengan status gizi. Di dalam hal
ini, tingkat pendapatan merupakan faktor penentu terhadap kuantitas dan
kualitas makanan. Kondisi pendapatan keluarga yang rendah menyebabkan
daya beli yang juga rendah, sehingga keluarga tidak mampu membeli makanan

 
 

13 
 
dalam jumlah yang diperlukan, yang pada gilirannya berakibat buruk terhadap
status gizi anggota keluarga.
Pada kelompok miskin hampir semua pendapatan dibelanjakan untuk
konsumsi pangan, dan semakin tinggi pendapatan semakin besar proporsi
belanja untuk pangan. Sayogyo (1994) menyatakan bahwa pendapatan keluarga
mepunyai peranan penting dalam memberikan efek terhadap taraf hidup mereka.
Efek disini lebih berorientasi pada kesejahteraan dan kesehatan, dimana
perbaikan pendapatan akan meningkatkan tingkat gizi masyarakat. Pendapatan
akan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain.
Sanjur (1982) menyatakan bahwa pendapatan merupakan penentu utama
yang berhubungan dengan kualitas makanan. Berg (1986) menyatakan bahwa
terdapat hubungan antara pendapatan dan status gizi. Hal itu karena tingkat
pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan
yang dikonsumsi. Pendapatan merupakan faktor penting bagi kuantitas dan
kualitas makanan. Antara pendapatan dan gizi, jelas ada hubungan yang
mengutungkan. Secara umum, peningkatan pendapatan akan berpengaruh
terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi rumahtangga dan selanjutnya
berhubungan dengan status gizi. Namun peningkatan pendapatan atau daya beli
seringkali tidak dapat mengalahkan pengaruh kebiasaan makan terhadap
perbaikan gizi yang efektif.
Pengeluaran pangan
Pendapatan berpengaruh terhadap daya beli dan perilaku manusia dalam
mengkonsumsi pangan. Umumnya pendapatan mempunyai hubungan yang erat
dengan perubahan dan perbaikan konsumsi pangan. Terdapat hubungan antara
pendapatan dan keadaan gizi. Hal ini karena tingkat pendapatan merupakan
faktor yang paling menentukan terhadap jumlah dan kualitas makanan yang
dikonsumsi. Pendapatan rumahtangga yang rendah menyebabkan daya beli
rendah pula, sehingga tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang
diperlukan dan akhirnya berakibat pada keadaan gizi. Meskipun demikian,
pertambahan pendapatan tidak selalu membawa perbaikan pada konsumsi
pangan, karena belum tentu kualitas makanan yang dikonsumsi lebih baik
(Sayogyo dkk., 1986).
Dalam berbagai penelitian variabel pendapatan didekati dari tingkat
pengeluaran. Hal ini dilakukan karena biasanya untuk mendapatkan informasi

 
 

14 
 
mengenai pendapatan sangat sulit. Dengan mengetahui tingkat pengeluaran
paling tidak sudah dapat mencerminkan tingkat pendapatan, karena pengeluaran
sebenarnya juga berasal dari pendapatan. Kaitan antara pengeluaran pangan
dengan pendapatan, Engel dalam Martianto (2004) menyimpulkan bahwa
persentase bahan pokok berpati dalam konsumsi pangan rumahtangga semakin
berkurang dengan meningkatnya pendapatan dan cenderung beralih pada
pangan yang berenergi lebih mahal.

Martianto (2004) menyatakan bahwa

pangan hewani yang harganya relatif lebih mahal dari pangan nabati bersifat
sangat elastis terhadap pendapatan.
Suharjo (1989) menyatakan bahwa pengeluaran pangan dipengaruhi oleh
pendapatan untuk membeli pangan, harga bahan pangan di pasaran, jumlah
pangan yang dibeli, jenis pangan yang dibeli dan subsidi dari pemerintah.
Tingkat pendidikan ibu rumahtangga
Selain faktor kolektif, tingkat pendidikan dan suku merupakan faktor
pribadi yang mempengaruhi konsumsi pangan. Masalah penting

yang

menyebabkan kekurangan gizi adalah karena tidak adanya infomasi yang
memadai. Meskipun daya beli yang rendah merupakan kendala utama, namun
sebagian kekurangan gizi akan bisa diatasi bila orang tahu bagaimana
seharusnya memanfaatkan segala sumber yang dimiliki. Tingkat pendidikan akan
mempengaruhi konsumsi pangan melalui cara pemilihan bahan pangan. Orang
yang berpendidikan tinggi lebih cenderung memilih makanan yang lebih baik
dalam jumlah dan kualitasnya dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan
lebih rendah. Meskipun tingkat pendidikan umum/formal cukup tinggi tanpa
disertai dengan pengetahuan gizi terutama para ibu, ternyata tidak berpengaruh
terhadap

pemilihan

makanan

untuk

keluarga.

Tingkat

pendidikan

dan

pengetahuan gizi ibu akan mempengaruhi kualitas gizi makanan yang
disediakan, sehingga terdapat hubungan antara pengetahuan gizi ibu dan
persiapan makanan (Berg, 1986). Pendidikan ibu merupakan faktor penting
dalam pemenuhan kebutuhan gizi rumahtangga karena ibu merupakan pendidik
pertama dalam keluarga. Pendidikan ibu disamping merupakan modal utama
dalam

menunjang

perekonomian

rumahtangga

juga

berperan

dalam

menyusunan pola makanan. Menurut Sanjur (1982) ada tingkat pendidikan ibu
rumahtangga berhubungan positif dengan perbaikan dalam pola konsumsi
pangan keluarga dan pola pemberian makan pada bayi dan anak.

 
 

15 
 
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi melalui pemilihan bahan
pangan. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan
yang lebih baik dalam jumlah dan mutunya dibanding mereka yang mempunyai
pendidikan lebih rendah (Sayogyo, 1986). Pengetahuan gizi ibu misalnya, juga
turut mempengaruhi pola konsumsi pangan keluarga. Ibu, sebagai pengambil
keputusan dalam menentukan pola makanan keluarga, memliki preferensi dan
cara tersendiri dalam menentukan menu makanan keluarga (Suhardjo, 1995).
Berkaitan erat dengan pengetahuan gizi ibu adalah tingkat pendidikan kepala
keluarga. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga, maka semakin luas
pengetahuan yang dimilikinya, termasuk mengenai sumber-sumber makanan
atau pangan bergizi yang baik untuk dikonsumsi bagi keluarganya. Wawasan
kepala keluarga yang luas bukan hanya akan terbagi (sharing) dengan ibu,
melainkan juga dapat menjadi faktor pendorong bagi ibu untuk secara lebih
bebas mencari tambahan pengetahuan gizi diluar rumahtangga seperti melalui
kunjungan ke posyandu dan melakukan diskusi/sosialisasi dengan petugas
kesehatan lainnya.
Menurut Junaidi (1997) rendahnya tingkat pendidikan kepala rumahtangga
dan ibu rumahtangga merupakan salah satu indikator rendahnya mutu
sumberdaya manusia. Rendahnya tingkat pendidikan tentu berdampak terhadap
seluruh kehidupan seperti akses penerimaan informasi, pengetahuan kesehatan,
pengetahuan gizi, dan lain-lain. Namun Sangian (2001) menyebutkan bahwa
sebagian besar pengetahuan gizi ibu diperoleh melalui kunjungan dan partisipasi
di posyandu dan pertemuan informal lainnnya. Den Hartog et al. (1995)
menyatakan bahwa ibu sebagai pengembil keputusan dalam menentukan menu
makanan keluarga memegang peranan penting dalam penyedian bahan
makanan serta penyiapan dan pendistribusian makanan diantara anggota
keluarga dimana apa yang ibu lakukan ini sangat dipengaruhi oleh tingkat
pengetahuan gizi yang dimilikinya.
Suku
Sanjur (1982) menyatakan bahwa sikap terhadap pangan, terutama
preferensi

mempengaruhi

konsumsi

pangan.

Telah

juga

dikemukakan

sebelumnya bahwa preferensi dan cara memilih bahan pangan sebagai bagian
dari kebiasaan makan dapat mempengaruhi konsumsi pangan (Suharjo, 1989).

 
 

16 
 
Di dalam hal ini orang tidak akan memilih dan mengkonsumsi apa yang tidak
disukainya. Di dalam hal ini, faktor budaya memainkan peranan penting.
Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, adatistiadat dan kemampuan-kemampuan lainnya serta kebiasaan-kebiasaan yang
didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Tidaklah mengherankan
bila kemudian muncul pola konsumsi, kebiasaan makan dan beragam pantangan
atas pangan tertentu yang berlaku didalam suatu masyarakat tertentu pula.
Tan et al. (1970) menyatakan bahwa konsumsi pangan sangat dipengaruhi
adat-istiadat setempat, termasuk didalamnya pengetahuan mengenai pangan
(pola konsumsi pangan), sikap terhadap pangan (ada dan tidaknya pantangan )
dan kebiasaan makan sehari-hari (preferensi dan cara memilih bahan pangan).
Fenomena ini menunjukkan bahwa kebiasaan makan sebagai faktor budaya
dapat mempengaruhi pola konsumsi pangan. Suhardjo (1993) menyatakan
bahwa ibu sebagai pengambil keputusan dalam menentukan makanan keluarga
memiliki preferensi dan cara tersendiri dalam m