Menegakkan Pilar Ketiga

B I N A

J A M A A H

Menegakkan P
il
ar Keti
ga
Pil
ilar
Ketiga
MUSTOFA W HASYIM

pd

fsp

litm
erg
er.
co

m)

oleh takmir. Jangan sampai mereka disakiti hatinya oleh ulah oknum takmir masjid yang kaku sifat dan sikapnya. Hargai juga
bakat atau potensi keagamaan mereka. Contoh sederhana, kalau
di antara jamaah ini ada anak muda yang suaranya bagus ketika
adzan, maka mereka perlu diberi kesempatan untuk adzan. Memanggil orang untuk shalat lewat suara yang indah yang lembut
akan memperindah udara kota atau desa, dan akan meringankan
langkah jamaah untuk datang ke masjid dan musholla.
Jamaah juga perlu dihormati oleh takmir atau pengelola masjid.
Pengalaman ikut mengelola masjid di masyarakat miskin di pinggir
sungai memunculkan fakta yang mengharukan. Ada ibu-ibu dan
mbak-mbak yang berasal dari desa miskin di luar kota dan ketika
mereka pindah ke dalam kota tetap miskin, mereka tinggal di
sebuah masjid yang baru direnovasi dan diperluas. Suatu sore
mereka mendatangi masjid dan bertanya, ”Mas, boleh kan kami
nanti shalat Maghrib tanpa harus mengenakan mukena? Sebab
kami tidak punya mukena?”
“O, boleh saja. Yang penting menutup aurat. Nanti mbak-mbak
dan Ibu-ibu ini akan shalat Maghrib mengenakan apa?”
“Kami akan mengenakan pakaian berlengan panjang, kerudung, kain jarik, kalau perlu ditambah selendang. Boleh ya, Mas?:”

“Boleh. Kami tunggu.”
Jadilah sore itu ada jamaah perempuan yang datang tidak
mengenakan mukena, tetapi mengenakan pakaian seadanya tetapi
semua menutup aurat. Busananya mirip dengan buku Tuntunan
Shalat Keluarga Muhammadiyah, edisi lama.
Dengan dihargai seperti itu, maka jamaah masjid pun akan
kerasan untuk ikut shalat jamaah. Ada pun untuk jamaah ibu-ibu
dan mbak-mbak itu kemudian mendapat sumbangan mukena
baru dari aghniya yang tidak mau disebut namanya. Kondisi yang
memprihatinkan pada sebagian umat, justru membuka pintu
pahala bagi sebagian umat yang mendapat karunia harta benda.
Jamaah masjid juga perlu dilayani dengan sebaik-baiknya
oleh takmir masjid atau musholla Muhammadiyah/Aisyiyah.
Sebab menjadi takmir pada hakekatnya harus merelakan diri
menjadi pelayan jamaah (khodimul jamaah) dan pelayan (khodimul
ummah). Salah satu unsur pelayanan yang prima adalah
mempermudah jamaah untuk masuk masjid (akses ke masjid
diperluas), mempermudah jamaah untuk berwudlu, buang air,
berdandan sedikit sebelum shalat dan mempermudah jamaah
untuk melakukan shalat dan mengikuti kegiatan keagamaan dan

kegiatan dakwah sosial yang diselenggarakan oleh takmir. Dan
upaya mempermudah jamaah untuk beribadah jelas merupakan
kebaikan yang utama dilakukan oleh takmir masjid. Dengan
demikian jamaah masjid sebagai pilar ketiga hadirnya lembaga
kemasjidan atau ketakmiran masjid menjadi semakin kokoh.l

De
mo
(

Vi
sit

htt
p:/
/w
w

w.


P

ilar ketiga yang menyokong tegaknya masjid dan musholla
secara fungsional adalah jamaah itu sendiri. Dan mengelola
atau membina jamaah ini gampang-gampang sulit. Tidak
serta merta, begitu membangun masjid, musholla atau langgar
kemudian jamaah berdatangan memenuhi shof-shof shalat jamaah
di situ, dan mereka mau begitu saja mengikuti kegiatan pengajian
atau pembinaan ruhani yang dilakukan oleh takmir.
Pada zaman dahulu, paling tidak sampai dengan tahun 1960an, jumlah masjid, musholla atau langgar masih sangat terbatas.
Masjid kuno peninggalan kerajaan Islam, atau satu dua masjid
yang dirintis oleh Muhammadiyah dan Aisyiyah pada awal
kelahiran Persyarikatan ini boleh disebut sebagai tempat ibadah
warisan generasi sebelumnya. Di banyak kampung di Jawa, untuk
mengenalkan Islam kepada anak-anak, maka pengajian anakanak pun diselenggarakan di rumah-rumah penduduk. Di rumah
penduduk ini pula biasanya kalau bulan Ramadlan dijadikan tempat
untuk shalat berjamaah tarawih.
Setelah gejolak politik di pertengahan tahun 1960-an itu usai,
maka terasa sekali kalau kebutuhan akan masjid dan musholla
meningkat. Kemudian pada tahun-tahun setelah itu, seiring dengan

dibangunnya masjid dan musholla di kantor-kantor dan sekolah,
setasiun, terminal dan rumah sakit misalnya di masyarakat tumbuh
perumahan dan pemukiman baru lainnya. Bahkan kalau di kota,
daerah bantaran sungai pun dijadikan tempat hunian. Di tempat
inilah masjid, musholla dan langgar bermunculan karena dibutuhkan masyarakat.
Jadi masyarakat sebagai jamaah potensial yang lebih dahulu
membutuhkan masjid dan musholla dan bukan sebaliknya. Bukan
masjid atau musholla yang membutuhkan jamaah. Begitu awalnya.
Baru pada proses berikutnya, keduanya sama-sama membutuhkan. Dalam bahasa ilmu, faktor migrasi dan demografilah yang
menjadi penyebab munculnya begitu banyak masjid baru akhir di
berbagai pelosok kampung dan desa. Ini yang agaknya perlu
dicermati oleh para aktivis Muhammadiyah yang bergerak di
bidang kemasjidan, ketakmiram, dan kejamaahan. Sebuah bidang baru yang agaknya perlu betul-betul ditekuni.
Jamaah masjid yang semula potensial berubah menjadi jamaah aktual dan faktual. Mereka yang semula berjamaah di masjid
yang jauh atau di rumah sendiri, dengan dibangunnya masjid dan
musholla di dekat rumahnya, mereka pun kemudian aktif menjadi
jamaah masjid di tempat ibadah yang baru itu. Inilah sisi mudahnya
dalam mengelola jamaah. Jamaahnya sudah tersedia dulu,
sehingga masjid tidak kerepotan mencari atau mendatangkan
jamaahnya.

Sebagai pilar ketiga, kehadiran jamaah adalah sangat-sangat
strategis. Mereka harus (1) dihargai, (2) dihormati dan (3) dilayani
42

10 - 25 RABIULAKHIR 1432 H