Amplifikasi gen tdh dan trh Tada et al. 1992

listrik yang diberikan untuk memigrasikan molekul DNA. Sebelum dilakukan elektroforesis, suspensi DNA dicampur dengan penyangga muatan berwarna loading dye yang berfungsi untuk menambah densitas sehingga DNA berada di bagian bawah sumur. Pewarna loading dye ditambahkan untuk memudahkan peletakan sampel DNA ke dalam sumur. Loading dye juga berfungsi agar DNA dapat bergerak ke arah anoda dengan laju yang diperkirakan sehingga dapat sebagai tanda migrasi DNA Brown, 1992. Visualisasi DNA dilakukan dengan pewarnaan DNA pada gel agarosa yang ditambahkan pewarna sybr safe gold. Gel hasil elektroforesis direndam dalam larutan sybr safe gold selama 30 menit dan selanjutnya gel diamati di bawah sinar ultraviolet dengan menggunakan UV transillumination. Sybr safe gold dapat berinteraksi diantara pasangan basa pada DNA dan menangkap sinar ultraviolet sehingga pendaran dari ultraviolet dapat terlihat. Pita DNA dapat dilihat karena gel disinari oleh sinar ultraviolet pada UV transiluminator Brown, 1992. DNA genom selanjutnya diukur tingkat kemurniannya dan dikuantifikasi untuk mengetahui konsentrasi mengunakan DNARNAprotein Analyser. Tingkat kemurnian DNA dihitung berdasarkan rasio absorbansi yang diukur pada panjang gelombang 260nm dan 280nm dimana tingkat kemurnian DNA dianggap cukup baik jika memiliki rentang nilai rasio 1.8-2.0. Konsentrasi DNA genom dihitung berdasarkan rumus : [DNA] = OD 260 X 50 X FP; dimana FP adalah faktor pengenceran Ausubel et al. 1987.

2. Amplifikasi gen tdh dan trh Tada et al. 1992

Untuk mengamplifikasi gen tdh dan trh V. parahaemolyticus digunakan primer nukleotida spesifik dengan ukuran amplikon 251bp untuk gen tdh dan 250bp untuk gen trh Tada et al. 1992. Amplifikasi dengan PCR dilakukan menggunakan 25 µl campuran reaktan yang masing-masing mengandung masing- masing 1µl primer forward dan reverse 200nM, 12.5 µl Go Taq Green Master Mix yang terdiri dari yang terdiri dari Go Taq DNA polymerase, bufer PCR, 3 mMMgCl 2 , dan dNTP masing-masing 0.4 mM dATP, dCTP, dGTP, dan dTTP, DNARNA free water , dan cetakan DNA yang merupakan hasil isolasi DNA. Volume cetakan DNA bervariasi tergantung pada konsentrasi DNA yang diperoleh. Protokol PCR yang digunakan adalah pre-PCR 94 °C, 5 menit, denaturasi 94 °C, 1 menit, penempelan primer 55°C, 1 menit, ekstensi atau pemanjangan primer 72 °C, 1 menit dan post-PCR 72°C, 7 menit dengan siklus sebanyak 35 kali. Sebanyak 6-7µl hasil PCR dielektroforesis pada gel agarosa 2 wv, dengan menggunakan bufer TBE1X pada 100V selama 45 menit. Seluruh pengujian ini menggunakan kontrol positif yaitu ATCC43996 untuk gen penyandi tdh dan AQ4037 untuk gen penyandi trh. Selain kontrol positif digunakan juga kontrol negatif yaitu campuran reaktan tanpa penambahan cetakan DNA sampel. Penggunaan kontrol negatif dalam analisis identifikasi V. parahaemolyticus patogenik bertujuan untuk melihat ada tidaknya kontaminasi pada produk PCR. Selain tanpa penambahan cetakan DNA, kontrol negatif juga dapat berupa campuran reaktan ditambah dengan cetakan DNA V. parahaemolyticus yang bukan penhasil gen tdh dan trh. HASIL DAN PEMBAHASAN Survei Lapang Survei lapang merupakan tahap awal penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi terkait dengan potensi tambak udang di sepanjang pantai utara Jawa Barat sehingga dapat dipilih sebagai lokasi yang mewakili pengambilan sampel udang. Lokasi yang dipilih pada survei lapang adalah Kabupaten Karawang, Cirebon, Indramayu karena memiliki usaha budidaya tambak udang yang cukup besar baik sistim tradisional maupun intensif. Jenis udang yang dijadikan sampel pada penelitian ini adalah udang vaname Litopenaeus vannamei karena sedang banyak dibudidayakan. Sampel udang yang diambil pada survei lapang dilakukan analisis presumtif V. parahaemolyticus dan hasil analisis ini selanjutnya dijadikan sebagai dasar penentuan lokasi pengambilan sampel udang pada penelitian utama. Berdasarkan analisis presumtif V. parahaemolyticus pada sampel udang vaname dari ketiga lokasi, menunjukkan hasil sebagai berikut Tabel 8: a. Lokasi Cirebon, ditemukan V. parahaemolyticus positif pada sampel udang di tambak tradisional. Sampel udang di tambak intensif tidak diperoleh karena udang baru ditebar sehingga ukuran udang belum cukup untuk di ambil sebagai sampel. b. Lokasi Indramayu, ditemukan V. parahaemolyticus pada sampel udang di tambak semi intensif. Pengambilan sampel di tambak tradisional tidak dilakukan karena udang baru ditebar. c. Lokasi Karawang, ditemukan V. parahaemolyticus pada sampel udang baik di tambak tradisional polikultur maupun tambak intensif. Jumlah tambak yang beroperasi di lokasi in baik tradisional maupun intensif sangat terbatas. Tabel 8. Hasil analisis presumtif V. parahaemolyticus dari udang vaname yang diambil dari 3 lokasi survei Hasil analisis presumtif Vp No Lokasi Tradisional Intensif 1 Cirebon + tidak diambil sampel 2 Indramayu tidak diambil sampel + 3 Karawang + polikurtur dengan bandeng + Berdasarkan hasil analisis presumtif V. parahaemolyticus dari sampel udang di atas dan hasil wawancara dengan petani tambak maupun penyuluh Dinas Kelautan dan Perikanan setempat seputar produksi, jumlah tambak udang yang masih aktif, dan perkiraan waktu panen, dari ketiga lokasi, dapat disimpulkan bahwa udang di seluruh lokasi mungkin mengandung V. parahaemolyticus. Namun demikian dari ketiga lokasi, Kabupaten Indramayu memiliki usaha budidaya tambak terbesar dan terluas sehingga dianggap mewakili dan dipilih menjadi lokasi pengambilan sampel udang baik untuk sistim tradisional maupun intensif. Kabupaten Indramayu merupakan salah satu daerah yang memiliki usaha budidaya tambak udang cukup besar di daerah Jawa Barat baik tradisional dan intensif. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu, sampai dengan Desember 2010 total produksi budidaya udang vaname adalah18.000 ton atau berkisar Rp 500 milyar. Usaha budidaya udang vaname ini sedang digalakkan oleh Kabupaten Indramayu baik secara tradisional maupun intensif. Pengambilan sampel udang segar dilakukan di tambak tradisional dan intensif. Udang yang diambil sebagai sampel adalah udang siap panen dengan umur pemeliharaan berkisar di atas 2.5 bulan. Berdasarkan ukuran udang, pada tambak tradisional berkisar 90-80 ekorkg dan 80-70 ekorkg pada tambak intensif. Periode pengambilan sampel disesuaikan dengan waktu panen tambak yang diperoleh berdasarkan informasi penyuluh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indramayu yang ditempatkan di kecamatan. Pengambilan sampel udang dilakukan pada bulan Agustus dan Nopember dimana untuk tambak tradisional berlokasi di Kecamatan Cantigi yang berasal dari 4 desa yaitu Cangkring 5 petak tambak, Cantigi Kulon 2 petak tambak, Cantigi Wetan 1 petak tambak dan Lamaran Tarung 8 petak tambak. Sementara itu untuk tambak intensif, seluruh sampel berasal dari satu areal budidaya tambak yang berlokasi di Kecamatan Patrol. Sampel udang berasal dari 16 petak tambak baik di tambak tradisional maupun intensif dan selama pengambilan sampel dilakukan pengumpulan data dan pengamatan terhadap lingkungan tambak Tabel 9. Pengambilan sampel udang sangat dipengaruhi waktu panen sehingga tidak dapat dilakukan serentak pada tambak tradisional maupun intensif. Tambak dengan sistim tradisional pengambilan sampel tidak dapat dilakukan pada satu petani tambak karena umumnya jumlah tambak udang tidak banyak sehingga harus diambil dari beberapa lokasi dalam satu kecamatan. Umumnya luas areal tambak tradisional tidak seragam dan luas. Tambak tradisional tidak dilengkapi kincir air sebagai sistim aerasi dan sumber air tambak diambil langsung dari sungai yang bersifat payau dan selama pemeliharaan udang sampai panen tidak ada pergantian air Gambar 3. Tabel 9. Data pengamatan dan pengukuran parameter lingkungan di tambak tradisional dan intensif di Kabupaten Indramayu Parameter Tambak Tradisional Tambak Intensif Suhu °C 30-31 30-31 Salinitas ppt 10-15 26-30 pH 7-8 7.5-8 Sistim aerasi - 6 kincirpetak Padat tebar ekor m 2 8-10 90-120 Luas petak tambak m 2 5000-10.0000 600 m 2 Salinitas air tambak tradisional berada pada kisaran 10-15ppt dan suhu air berkisar 30-31 °C pada saat pengambilan sampel. Berdasarkan pengukuran salinitas terlihat ada perbedaan salinitas antara tambak tradisional dan intensif. Umumnya petani tambak tradisional tidak melakukan pengukuran terhadap salinitas air tambak. Rendahnya salinitas di tambak tradisional diduga karena pada saat pengambilan sampel udang curah hujan cukup tinggi sehingga terjadi penurunan salinitas di tambak tradisional. Hal ini berbeda kondisinya dengan tambak intensif dimana selalu dilakukan pengontrolan terhadap parameter lingkungan tambak seperti suhu, salinitas, pH, dan unsur hara. Sementara itu, dalam hal padat tebar benih udang umumnya petani tambak tradisional tidak berani menebar benih udang dalam jumlah besar dengan tujuan menghindari resiko kerugian yang besar jika selama pemeliharaan tambak terjadi kematian udang sebelum masa panen. Hal ini juga terkait dengan besarnya modal yang dimiliki oleh petani tambak tradisional. Sedangkan pada tambak intensif, padat tebar umumnya mengacu pada pedoman Good Aquaculture Practises GAP yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan tambak selama pemeliharaan. Gambar 3. Tambak udang sistim tradisional Beberapa petani tambak memberikan pakan alami pada udang sementara sebagian petani tambak mengkombinasikan pakan alami dengan pakan komersil. Pakan alami dibuat dengan cara mengeringkan ikan-ikan rucah dan selanjutnya digiling dan dibentuk seperti pelet. Hasil pengamatan di tambak tradisional ditempatkan ganggang atau ikan seperti bandeng serta kerang-kerangan. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani tambak penempatan ganggang dan ikan bertujuan untuk membersihkan tambak dari pengotor dan sisa-sisa pakan. Ikan dan kerang yang berada di dalam tambak sebagian memang sengaja ditambahkan dan sebagian memang sudah ada sebelum tambak ditanami udang. Keberadaan biota-biota tersebut di tambak diduga masuk pada saat air sungai dialirkan ke dalam petak tambak. Tambak tradisional tidak menerapkan sistim penggantian air selama pemeliharaan udang sehingga kandungan bahan organik maupun anorganik yang merupakan sisa pakan, feses udang, nutrien alami tambak dan biota perairan seperti fitoplankton dan zooplankton serta cemaran lainnya menumpuk pada dasar tambak. Hasil pengamatan di lapangan selama pengambilan sampel di tambak intensif setiap petakan ditempatkan kincir air sebanyak 6 kincir air yang berputar secara kontiniu Gambar 4. Lokasi tambak berada tepat di sebelah pantai dan sumber air berasal dari air tanah yang dicampur dengan air laut. Air laut diambil langsung dari laut dengan cara mengalirkannya melalui pipa yang dipasang sejauh sekitar 2km dari pantai. Sebelum masuk ke tambak, air laut ditampung di bak penampungan dan disaring terlebih dahulu dengan penyaring ukuran besar kain kasa dan ukuran kecil planktonet. Bak penampung ditempatkan ikan nila dan bandeng yang bertujuan untuk membantu membersihkan air dari pengotor. Salinitas dan pH air tambak diukur setiap hari sedangkan unsur hara diukur setiap minggu untuk menjaga kualitas air tambak. Tambak intensif dilengkapi dengan sistim aliran pembuangan air. Gambar 4. Tambak udang sistim intensif Isolasi V. parahaemolyticus dari Udang Tambak Isolasi V parahaemolyticus diawali dengan tahap pengayaan menggunakan media alkaline saline peptone water ASPW yaitu media cair alkaline peptone water APW+2.5NaCl. ASPW merupakan media pengayaan V. parahaemolyticus karena memiliki nutrien, kandungan garam dan pH yang optimum bagi pertumbuhan bakteri tersebut. ASPW adalah media yang terdiri dari pepton yang berfungsi untuk mensuplai nitrogen, asam amino esensial untuk pertumbuhan bakteri. Sementara itu garam NaCl digunakan sebagai suplai elektrolit esensial untuk sistim transportasi dan keseimbangan osmosis serta berguna bagi pertumbuhan V. parahaemolyticus. ASPW merupakan media dengan pH yang bersifat basa yang berfungsi untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain selain Vibrio. Pada tahap pengayaan diperoleh hasil bahwa seluruh sampel masing- masing tambak berjumlah 32 sampel baik tambak tradisional maupun intesif menunjukkan pertumbuhan pada media tersebut yang ditandai dengan tingkat kekeruhan pada media ASPW. Selanjutnya pada tahap isolasi V. parahaemolyticus , digunakan media agar selektif thiosulfate citrate bile salt sucrose TCBS. Media agar TCBS merupakan media selektif dan diferensial untuk isolasi dan kultivasi bakteri Vibrio seperti V. cholerae dan V. parahaemolyticus dimana media ini terdiri dari garam empedu yang berfungsi untuk menghambat pertumbuhan bakteri non target, natrium klorida NaCl merupakan media optimal bagi pertumbuhan bakteri halofilik, sodium tiosulfat yang merupakan sumber sulfur dan ferric citrate digunakan untuk mendeteksi produksi H 2 S. Media agar TCBS merupakan media selektif yang dapat membedakan Vibrio spp. ke dalam 2 kelompok yaitu kelompok Vibrio spp yang memfermentasi sukrosa ditandai dengan koloni berwarna kuning dan kelompok yang tidak memfermentasi sukrosa ditandai dengan koloni berwarna hijau. Isolat–isolat yang dinyatakan sebagai V. parahaemolyticus memiliki ciri-ciri koloni tipikal V. parahaemolyticus pada media agar TCBS yaitu koloni bulat berwarna hijau atau hijau kebiruan pada pusat koloni dengan diameter 2-3mm dan tidak memfermentasi sukrosa Gambar 5. Hasil isolasi V. parahaemolyticus pada sampel udang tambak tradisional menunjukkan adanya pertumbuhan V. parahaemolyticus pada semua sampel. Pertumbuhan koloni tipikal V. parahaemolyticus pada sampel udang tambak intensif di media TCBS diperoleh hasil sebanyak 28 sampel n=32, sedangkan 4 sampel menunjukkan hasil negatif yang ditandai dengan adanya pertumbuhan koloni yang berbeda dengan ciri-ciri V. parahaemolyticus seperti adanya pertumbuhan koloni berwarna kuning dan kemampuan koloni tersebut memfermentasi sukrosa, terlihat dari perubahan warna hijau menjadi kuning pada media TCBS. Sampel-sampel dengan hasil negatif pada TCBS tidak dilakukan pengujian lebih lanjut. Hasil pertumbuhan V. parahaemolyticus presumtif pada media pengayaan ASPW dan media selektif TCBS pada sampel udang tambak tradisional dan intensif dapat dilihat pada Tabel 10 Lampiran 1dan 2. Gambar 5. V. parahaemolyticus pada TCBS Tabel 10. Hasil isolasi V. parahaemolyticus pada sampel udang tambak Jumlah sampel positif pada tahap isolasi Jenis tambak Jumlah sampel ASPW TCBS Tradisional 32 32 32 Intensif 32 32 28 Identifikasi V. parahaemolyticus pada Udang Tambak Identifikasi V. parahaemolyticus pada udang tambak dilakukan dengan melihat karakter sifat fenotipik bakteri tersebut melalui pengamatan hasil reaksi biokimiawi. Pengamatan sifat fenotipik V. parahaemolyticus terbagi atas dua pengujian yaitu pengujian biokimia pendahuluan yang meliputi pewarnaan gram, uji motilitas, oksidase, dan pertumbuhan di media agar TSI. Pengujian biokimia pendahuluan ini merupakan identifikasi presumtif V. parahaemolyticus. Isolat V. parahaemolyticus positif dari media TCBS kemudian ditumbuhkan pada media agar miring TSA+2.5 NaCl pada suhu 37 °C selama 18-24 jam yang selanjutnya digunakan untuk pengujian biokimia pendahuluan. Hasil identifikasi presumtif V. parahaemolyticus sampel udang tambak tradisional dan intensif disajikan pada Tabel 11 dan 12. Pengujian motilitas V. parahaemolyticus ditandai dengan adanya difusi melingkar di sepanjang pertumbuhan bakteri pada media agar MTM dan hasil yang positif menunjukkan adanya V. parahaemolyticus pada sampel. Pengujian V. parahaemolyticus pada media agar TSI ditandai dengan adanya pertumbuhan koloni dan perubahan warna pada media agar yaitu warna merah pada agar miring bersifat alkalin dan warna kuning pada agar tegak bersifat asam dan tidak memproduksi H 2 S atau gas. Sementara itu hasil uji oksidase positif V. parahaemolyticus , ditandai dengan perubahan warna koloni menjadi ungu yang disebabkan oleh adanya presipitasi pereaksi oksidase oleh koloni karena bakteri ini bersifat oksidasi positif. Pengujian biokimia pendahuluan menggunakan 3 parameter uji akan dikatakan positif jika semua parameter uji menunjukkan hasil positif dan dikatakan negatif jika salah satu parameter uji menunjukkan hasil negatif. Identifikasi presumtif V. parahaemolyticus pada sampel udang di tambak tradisional menunjukkan hasil sebanyak 23 isolat n=32 positif, sedangkan 9 isolat memberikan hasil negatif. Identifikasi presumtif V. parahaemolyticus pada sampel udang tambak intensif menunjukkan sebanyak 18 isolat n=28 dan 10 isolat negatif. Berdasarkan hasil identifikasi presumtif V. parahaemolyticus, diketahui frekuensi isolasi sampel udang di tambak tradisional lebih tinggi dibandingkan sampel udang di tambak intensif dengan persentase berturut-turut sebesar 71.9, dan 43.8 n=32. Tabel 11. Identifikasi V. parahaemolyticus presumtif pada sampel udang tambak tradisional di Kecamatan Cantigi Uji biokimia pendahuluan No Tambak Sampel ke- Kode sampel MTM TSI Oksidase Jumlah isolat Vp presumtif Tr A1 + + + 1 Tr A2 + + + Tr B1 + + + 2 Tr B2 + + + Tr C1 + + - 3 Tr C2 + + + Tr D1 + + - 4 Tr D2 + + - Tr E1 + + + 1 Cangkring 5 Tr E2 + + + 7 Tr F1 + + - 2 Cantigi Kulon 6 Tr F2 + + + 1 Tr G1 + + + 7 Tr G2 + + + Tr H1 + + - 3 Cantigi Wetan 8 Tr H2 + + + 3 Tr I1 + + + 9 Tr I2 + + - Tr J1 + + + 10 Tr J2 + + - Tr K1 + + + 11 Tr K2 + + + Tr L1 + + + 12 Tr L2 + + - Tr M1 + + + 13 Tr M2 + + + Tr N1 + + - 14 Tr N2 + + + Tr O1 + + + 15 Tr O2 + + + Tr P1 + + + 4 Lamaran Tarung 16 Tr P2 + + + 12 Total V. parahaemolyticus presumtif 23 71.9 + : hasil uji positif dan - : hasil uji negatif : Vp presumtif negatif jika salah satu hasil uji biokimia pendahuluan negatif Tabel 12. Identifikasi V. parahaemolyticus presumtif pada sampel udang tambak intensif di Kecamatan Patrol Uji biokimia pendahuluan Sampel ke- Kode Sampel MTM TSI Oksidase Int A1 - - - 1 Int A2 + + + Int B1 + + + 2 Int B2 + + + Int C1 + + + 3 Int C2 + + + Int D1 + + + 4 Int D2 - - - Int E1 5 Int E2 Int F1 + + + 6 Int F2 Int G1 - - - 7 Int G2 + + + Int H1 + + + 8 Int H2 - - - Int I1 + + + 9 Int I1 + + + Int J1 + + + 10 Int J2 - - - Int K1 + - + 11 Int K2 - + + Int L1 + + + 12 Int L2 + + - Int M1 13 Int M2 + + + Int N1 + + + 14 Int N2 + + + Int O1 + + + 15 Int O2 + + + Int P1 - + - 16 Int P2 - + + Total V. parahaemolyticus presumtif 18 43.8 + : hasil uji positif; - : hasil uji negatif : tidak dilakukan pengujian lebih lanjut : Vp presumtif negatif jika salah satu hasil uji biokimia pendahuluan negatif Hasil pewarnaan Gram dan pengamatan morfologi menggunakan mikroskop perbesaran 1000X menunjukkan bahwa V. parahaemolyticus memiliki sel-sel berwarna merah muda yang merupakan ciri bakteri Gram negatif, berbentuk batang dan membentuk sel tunggal Gambar 6. Isolat yang diduga sebagai bakteri V. parahaemolyticus pada uji biokimia pendahuluan selanjutnya dilakukan pengujian biokimia lanjutan dengan menggunakan perangkat API 20E biochemical test kit. Gambar 6. Sel bakteri V. parahaemolyticus yang diamati dengan mikroskop perbesaran 1000X API 20E biochemical test merupakan perangkat identifikasi bakteri Gram negatif melalui pengamatan terhadap produksi metabolisme yang ditandai dengan perubahan warna pada media uji. Konfirmasi isolat V. parahaemolyticus menggunakan API 20E20E biochemical test kit dilakukan dengan cara melihat reaksi biokimiawi yang terdiri dari 20 parameter uji. Hasil uji reaksi biokimiawi tersebut selanjutnya dianalisis dengan program apiweb TM untuk mengidentifikasi spesies dan mengetahui tingkat kemiripan Lampiran 3. Untuk melihat persentase kemiripan hasil uji dengan bakteri V. parahaemolyticus, dalam analisis data ditambahkan data hasil uji oksidasi dengan hasil positif karena V. parahaemolyticus bersifat oksidasi positif. Konfirmasi dari isolat-isolat V. parahaemolyticus presumtif berdasarkan sifat-sifat biokimiawi terhadap beberapa parameter uji memberikan hasil reaksi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 13. Tabel 13. Hasil uji reaksi biokimiawi dari isolat-isolat V. parahaemolyticus presumtif sampel udang tambak dengan API 20E Reaksi biokimiawi Uji V p 1 Tr A1 2 Int C1 3 Β-galactosidase ONPG Arginine dihydrolase Lysine decarboxylase Ornithine decarboxylase Penggunaan Citrate Produksi H2S Urease Tryptophane DeAminase Indole production Voges Proskauer produksi acetoin Gelatinase FERMENTASI : - Glucose - Mannitol - Inositol - Sorbitol - Rhamnose - Saccharose - Melibiose - Amygladin - Arabinose Oksidase - - + + - - - - + - + + + - - - - - - + + - - + + - - - + + - + + + - - - - - - + + - - + + - - - + + - + + + - - - - - - + + 1 Reaksi biokimiawi yang positif V. parahaemolyticus dengan API 20E 2 dan 3 Reaksi biokimiawi yang positif V. parahaemolyticus pada sampel udang tambak tradisional dan intensif Konfirmasi berdasarkan hasil uji biokimiawi pada sampel udang tambak tradisional menunjukkan bahwa sebanyak 16 isolat n=32 teridentifikasi sebagai V. parahaemolyticus dengan tingkat kemiripan ID berada pada kisaran 92.8- 99.9 Tabel 14. Jika dibedakan berdasarkan lokasi pengambilan sampel udang di tambak tradisional maka diperoleh hasil V. parahaemolyticus positif berkisar 30-69 Tabel 15. Identifikasi V. parahaemolyticus pada sampel udang tambak intensif diperoleh hasil sebanyak 6 isolat n=32 terkonfirmasi sebagai V. parahaemolyticus dengan persentase tingkat kemiripan berkisar 99.6-99.9 Tabel 16. Berdasarkan konfirmasi V. parahaemolyticus dengan API 20E biochemical test kit menunjukkan bahwa udang tambak tradisional memiliki frekuensi isolasi lebih tinggi dibandingkan tambak intensif. Tabel 14. Hasil identifikasi dan tingkat kemiripan isolat V. parahaemolyticus sampel udang di tambak tradisional dengan API20E No Lokasi tambak Kode sampel Konfirmasi dengan API 20E ID Tr A1 + 99.9 Tr A2 - Tr B1 - Tr B2 + 99.8 Tr C1 Tr C2 + 99.9 Tr D1 Tr D2 Tr E1 - 1 Cangkring Tr E2 - 2 Cantigi Kulon Tr F1 Tr F2 + 92.8 Tr G1 + 99.9 Tr G2 - Tr H1 3 Cantigi Wetan Tr H2 - Tr I1 + 99.6 Tr I2 Tr J1 + 92.8 Tr J2 Tr K1 + 92.8 Tr K2 + 99.9 Tr L1 + 99.9 Tr L2 Tr M1 + 99.9 Tr M2 - Tr N1 Tr N2 + 99.9 Tr O1 + 92.8 Tr O2 + 99.9 Tr P1 + 99.9 4 Lamaran Tarung Tr P2 + 99.9 Total V. parahaemolyticus 16 isolat n=32; 50 + : hasil uji positif dan - : hasil uji negatif : tidak dilakukan pengujian lebih lanjut

V. parahaemolyticus

merupakan bakteri yang secara alami terdapat di perairan laut, pantai, muara sungai maupun budidaya tambak. Keberadaan V. parahaemolyticus pada lingkungan perairan laut yang umumnya diisolasi dari air laut, sedimen, maupun berbagai jenis produk perikanan, telah banyak ditemukan seperti di Indonsia, Jepang, Korea, Thailand, India, bahkan negara- negara Eropa dan Amerika. V. parahaemolyticus merupakan salah satu jenis Vibrio yang mendapat perhatian pada usaha budidaya udang karena bersifat patogen pada komoditas udang tersebut. Penggunaan air laut pada lahan tambak udang memberikan peluang besar bagi bakteri ini ada pada komoditas udang tambak. Selain patogen pada udang, V. parahaemolyticus bersifat patogen pada manusia karena dapat menyebabkan penyakit melalui konsumsi pangan. Kasus keracunan pangan ini telah banyak terjadi di Jepang, Taiwan, Cina, Vietnam, Thailand, India bahkan negara- negara di Amerika dan Eropa. Tabel 15. Hasil identifikasi Vp pada sampel udang berdasarkan lokasi di tambak tradisional Lokasi tambak Jumlah sampel Jumlah isolat positif dengan API 20E Vp terkonfirmasi secara biokimia Cangkring 10 3 30 Cantigi Kulon 2 1 50 Cantigi Wetan 4 1 25 Lamaran Tarung 16 11 69 Keberadaan V. parahaemolyticus pada suatu lingkungan perairan termasuk tambak sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan perairan, dimana pada saat kondisi lingkungan mendukung maka akan meningkatkan pertumbuhan V. parahaemolyticus . Tambak udang merupakan lingkungan perairan payau yang bersifat cukup kompleks sehingga dapat menyebabkan stres pada biota di dalamnya dibandingkan dengan lingkungan estuaria atau lingkungan perairan lainnya Direkbusararam et al. 1998. Hal ini terutama disebabkan oleh kandungan bahan-bahan organik yang tinggi dan fluktuasi oksigen terlarut yang dapat memberikan dampak terhadap komposisi komunitas bakteri alami perairan seperti Vibrio spp. Peningkatan suhu perairan akan memberikan dampak terhadap jumlah dan jenis Vibrio spp Barbieri et al. 1999; Pfeffer et al. 2003. Peningkatan salinitas perairan juga akan memberikan peluang besar terhadap pertumbuhan Vibrio spp termasuk V. parahaemolyticus karena merupakan bakteri halofilik William dan LaRock, 1985. Air merupakan faktor utama dalam usaha budidaya tambak udang. Budidaya tambak udang membutuhkan air payau , dimana sumber air tersebut merupakan kombibasi air asin dan air tawar. Air laut sebagai salah satu sumber air di tambak merupakan habitat alami bakteri V. parahaemolyticus. Faktor-faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, kekeruhan, nutrien perairan, dan konsentrasi oksigen terlarut memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap keberadaan V. parahaemolyticus. Akan tetapi besarnya jumlah V. parahaemolyticus di lingkungan maupun pada produk perikanan cukup bervariasi tergantung pada musim, lokasi, jenis sampel, maupun metode analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi V. parahaemolyticus pada sampel Cook et al. 2002; DePaola et al. 1990; Parveen et al. 2008. Suhu air merupakan faktor utama yang memiliki korelasi positif terhadap keberadaan V. parahaemolyticus di lingkungan perairan. Parveen et al. 2008 menyatakan bahwa perairan di wilayah yang beriklim sedang dan tropis memberikan efek cukup signifikan terhadap kelimpahan V. parahaemolyticus dibandingkan pada wilayah yang memiliki empat musim. Pada musim dingin umumnya jumlah V. parahaemolyticus menurun bahkan tidak ditemukan, hal ini diduga selama musim dingin V. parahaemolyticus bertahan hidup dengan cara menempel dan berproliferasi pada zooplankton yang terdapat di sedimen. Setelah suhu perairan meningkat, V. parahaemolyticus lepas dari zooplankton dan berada di dalam air sehingga jumlahnya meningkat dan mudah dideteksi. Saat pengambilan sampel udang baik di tambak tradisional maupun intensif, suhu air tambak terukur pada kisaran 30-31 °C. Suhu perairan ini merupakan faktor yang dapat membantu pertumbuhan V. parahaemolyticus karena merupakan suhu optimum pertumbuhan bakteri tersebut. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa ada korelasi positif antara suhu dengan peningkatan frekuensi isolasi V. parahaemolyticus pada produk perikanan di perairan pantai dan areal budidaya pada musim panas dibandingkan musim dingin Cook et al. 2002; DePaola et al. 2003; Duan dan Su, 2005. Tabel 16. Hasil identifikasi dan tingkat kemiripan isolat V. parahaemolyticus sampel udang di tambak intensif di Kecamatan Patrol dengan API 20E Lokasi tambak Kode Sampel Konfirmasi dengan API 20E ID Int A2 - Int A2 Int B1 + 99.8 Int B2 + 99.8 Int C1 + 99.9 Int C2 + 99.9 Int D1 - Int D2 Int E1 Int E2 Int F1 - Int F2 Int G1 Int G2 + 99.8 Int H1 - Int H2 Int I1 - Int I2 - Int J1 - Int J2 Int K1 Int K2 Int L1 - Int L2 Int M1 Int M2 - Int N1 - Int N2 - Int O1 + 99.6 Int O2 - Int P1 Patrol Int P2 Total V. parahaemolyticus 6 isolat n=32; 18.8 + : hasil uji positif dan - : hasil uji negatif : tidak dilakukan pengujian lebih lanjut Selain suhu, salinitas juga merupakan faktor yang berperan terhadap keberadaan V. parahaemolyticus. Martinez-Utrazaa et al. 2008 melaporkan bahwa salinitas perairan dengan kisaran tertentu kemungkinan merupakan habitat yang optimum bagi pertumbuhan V. parahaemolyticus. Tambak tradisional pada saat dilakukan pengambilan sampel menunjukkan kisaran salinitas 10-15ppt sementara itu tambak intensif menunjukkan salinitas air tambak berada pada kisaran 26-30ppt. Faktor lain yang diduga memberikan pengaruh terhadap keberadaan V. parahaemolyticus antara lain konsentrasi oksigen terlarut, kekeruhan turbidity, biota yang hidup di perairan tersebut seperti fitoplankton dan zooplankton. Oksigen terlarut dan kekeruhan diduga memiliki korelasi positif terhadap peningkatan jumlah V. parahaemolyticus. Peningkatan kekeruhan berkorelasi positif dengan peningkatan total V. parahaemolyticus, hal ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan nutrien tanah dan cemaran yang terdapat dalam air sehingga dapat menstimulasi pertumbuhan V. parahaemolyticus Parveen et al. 2008; Watkins dan Cabelli, 1985. Penggunaan air di tambak tradisional umumnya langsung berasal dari aliran sungai yang berada di sekitar areal tambak. Air yang digunakan biasanya tidak mengalami perlakuan seperti penampungan, penyaringan maupun pembersihan sehingga belum memenuhi persyaratan kualitas air tambak dan dapat berdampak pada pertumbuhan udang. Selama pemeliharaan sampai waktu panen, air tambak tidak pernah diganti atau bersifat statis dan tambak tidak dilengkapi dengan sistim aerasi. Parameter lingkungan perairan seperti suhu, salinitas, pH, dan unsur hara tidak pernah dilakukan pengukuran secara akurat. Kondisi ini yang juga mendukung potensi tingginya jumlah V. parahaemolyticus pada udang di tambak tradisional dibandingkan tambak intensif. Hal ini bertolak belakang dengan kondisi di tambak intensif, yang umumnya telah menerapkan cara berbudidaya yang baik terutama dalam pengelolaan kualitas air tambak. Air yang digunakan selama pemeliharaan udang di tambak intensif berasal dari air laut yang diambil dengan cara mengalirkan air melalui pipa sepanjang 2km dari daratan. Air laut selanjutnya ditempatkan pada bak penampungan reservoir dimana selama di bak penampungan dilakukan penyaringan air yang terdiri atas 2 tahap penyaringan pertama dengan kain kasa dan penyaringan kedua dengan planktonet. Penyaringan di bak penampungan bertujuan untuk mereduksi pengotor dan cemaran di dalam air. Perlakuan penyaringan terhadap air yang akan digunakan untuk pemeliharaan udang tambak diduga dapat mereduksi kelimpahan mikroorganisme. V. parahaemolyticus pada umumnya menempel pada biota perairan terutama zooplankton dan dikaitkan dengan aktivitas kitinolitik. Bakteri ini umumnya menempel pada bagian permukaan kulit kitin zooplaknton sehingga penyaringan air menggunakan planktonet diduga dapat mereduksi jumlah V. parahaemolyticus. Penelitian tentang keberadaan V. parahaemolyticus baik pada lingkungan maupun produk perikanan di Indonesia telah dilakukan akan tetapi masih sedikit sekali. Zulkifli et al. 2009 melaporkan persentase V. parahaemolyticus pada sampel kerang yang berasal dari perairan di Padang-Sumatera Barat sebesar 50 n=50. Hal ini kemungkinan karena iklim tropis dengan kisaran suhu 25-35 °C merupakan suhu yang mendukung pertumbuhan V. parahaemolyticus. Sebagian besar wilayah dengan iklim tropis khususnya Asia Tenggara diketahui berpotensi terhadap keberadaan V. parahaemolyticus dengan persentase sekitar 20-70 Wong et al. 1999; Ronald dan Santos, 2001. Marlina et al. 2007 menyebutkan bahwa seluruh sampel kerang n=47 yang diambil dari perairan dan pasar lokal di Padang Sumatera Barat diketahui positif V. parahaemolyticus. Sementara itu hasil penelitian Dewanti-Hariyadi et al. 2002 menunjukkan bahwa udang yang diambil dari tambak di Jawa Barat dan Jawa Tengah mengandung V. parahaemolyticus sebesar 21.8 dan 3.1, sedangkan sampel udang beku dari pasar grosir positif V. parahaemolyticus sebesar 11.1, bahkan pada produk udang beku selama proses pembekuan sebesar 70. Penelitian keberadaan V. parahaemolyticus pada produk perikanan juga telah banyak dilakukan oleh negara-negara di luar Indonesia. Wong et al. 1999 menyebutkan bahwa ditemukan 45.9 n=686 V. parahaemolyticus pada produk perikanan kepiting, lobster, udang, siput, dan ikan yang diimpor dari Vietnam, Hong Kong, Thailand, dan Indonesia, dimana sebesar 75.8 n=62 dan 29.3 n=92 pada sampel udang dan ikan yang berasal dari Indonesia positif V. parahaemolyticus . Sementara itu, udang yang berasal dari budidaya tambak di Malaysia menunjukkan bahwa 81.7 n=60 mengandung V. parahaemolyticus Chilek, 2006. Sebanyak 43.6 n=39 dari sampel seafood mentah cumi-cumi, udang, ikan, dan kekerangan, 6.3 n=16 sampel produk olahan bakso udang di Thailand juga diketahui positif V. parahaemolyticus Chitov et al. 2009. Sampel udang, kepiting, moluska, dan ikan yang diambil dari tempat pendaratan ikan, pasar, dan estuari di India diketahui mengandung V. parahaemolyticus sebesar 61.6 n=86, selain itu sampel udang yang berasal dari tambak di India baik dari wilayah barat maupun timur diketahui positif V. parahaemolyticus berturut-turut 12.2 dan 2.8 n=30 Dileep et al. 2003; Gopal et al. 2005. Kontaminasi V. parahaemolyticus pada produk udang beku yang akan diekspor juga ditemukan di Thailand sebesar 64 n=111, selanjutnya pada unit pengolahan di Chaccheongsao selama April-Mei 1999, kontaminasi yang terjadi sebesar 79.6 n=103 Kowcachaporn, 1997; Pungchitton, 1999 di dalam Jaesawang, 2005. Tingginya peluang terjadinya V. parahaemolyticus pada produk perikanan menuntut perhatian khusus karena dapat berdampak terhadap kesehatan jika produk perikanan tersebut terkontaminasi dengan V. parahaemolyticus patogenik. V. parahaemolyticus merupakan salah satu spesies Vibrio yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia melalui konsumsi pangan terutama pangan mentah atau yang tidak dimasak secara sempurna. Namun demikian tidak semua galur V. parahaemolyticus bersifat patogen. Untuk itu perlu dilakukan identifikasi terhadap V. parahaemolyticus patogenik pada produk- produk perikanan. Identifikasi V. parahaemolyticus Patogenik dari Isolat yang Berasal dari Udang Tambak V. parahaemolyticus merupakan salah satu bakteri patogen yang dapat menyebabkan penyakit pada biota perairan seperti krustasea dan kekerangan. Selain itu bakteri ini juga menginfeksi manusia melalui konsumsi pangan. Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik dapat dilakukan dengan metode konvensional yaitu pengamatan berdasarkan sifat biokimiawi melalui pengujian Kanagawa menggunakan media agar Wagatsuma Wagatsuma blood agar, akan tetapi metode ini memiliki banyak kendala antara lain waktu pengujian yang panjang, sensitifitas dan akurasi yang rendah karena tidak semua galur V. parahaemolyticus patogenik dapat dideteksi terutama galur yang berada pada fase viable but nonculturuble VNC serta belum tersedianya metode analisis faktor virulen thermostable direct hemolysin related hemolysin TRH. Oleh karena itu, pengembangan metode analisis telah banyak dilakukan, salah satunya dengan pendekatan molekuler yaitu melalui metode PCR dimana metode ini memberikan hasil yang akurat dan spesifik dengan tingkat sensitifitas tinggi, waktu analisis lebih singkat dan dapat dilakukan pada sampel yang jumlahnya sangat sedikit.

1. Isolasi DNA genom bakteri