Siasati Larangan Berjilbab dengan Wig dan Topi

Universitas Muhammadiyah Malang
www.umm.ac.id

Siasati Larangan Berjilbab dengan Wig dan Topi
Malang Post : Jumat, 2010-09-17 | 14:15 WIB
Selama enam minggu, dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Nasrullah mengikuti program pertukaran
dosen program Bridging the Gap (BTG) pada Erasmus Mundus External Cooperation Window (EMECW) di Turki.
Tepatnya sejak 1 Juli hingga 9 Agustus 2010. UMM adalah satu-satunya universitas di Indonesia peraih grant dari Uni
Eropa yang menghubungkan puluhan universitas Asia dan Eropa ini. Dalam program ini, enam dosen dan 27
mahasiswa UMM dikirim ke Itali, Jerman, Austria, Finlandia, Spanyol, Portugal dan Turki. Nasrullah* termasuk
angkatan pertama untuk program tahun 2009-2013 ini dan mendapat negara tujuan
Turki. Berikut catatan perjalanannya selama berkunjung ke Turki.
Meski durasinya singkat dan sehari-hari saya menghabiskan waktu di kampus Atilim University di Ankara, tenyata saya
masih memiliki banyak waktu untuk mempelajari Turki dari berbagai aspek. Nyatanya saya masih bisa berdiskusi
dengan Duta Besar Indonesia untuk Turki, bergumul dengan komunitas dosen dan mahasiswa, mengaji dari ulama
‘plat merah’, mendengar pemaparan pengurus LSM berpengaruh hingga berdiskusi dengan redaktur senior media
massa ternama di Turki. Tak hanya itu, beberapa obyek sejarah dan wisata juga tidak saya lewatkan untuk lebih
menghayati satu-satunya negeri yang berada di dua benua, Asia dan Eropa itu.

Turki adalah negara yang unik. Seorang wartawan senior yang pernah sebulan meliput di sana, menyebut Turki
sebagai “Santri Eropa”. Ya, ‘santri’ dan ‘Eropa’, dua kata yang nampak paradoks tetapi ternyata bisa menyatu di

negerinya dua sufi, Jalaludin Rumi dan Nasrudin Hoya itu.

Kata ‘santri’ merujuk pada mayoritas penduduknya yang 98 persen muslim dari lebih 71 juta jiwa. Sedangkan kata
‘Eropa’ bisa dilihat dari budaya, sosial, politik dan ekonomi yang lebih western yang identik dengan non -moslem
community.

Hingga kini, proposal Turki untuk masuk ke Uni Eropa masih menunggu di gerbang pintu Eropa. Konon, karena
‘kesantrian’nya itulah Turki dipersulit masuk ke komunitas negara-negara non-muslim itu. Andai Turki berpenduduk
mayoritas non-muslim, mungkin dengan cepat Uni Eropa mengajaknya bergabung.

Pak Roy, nama jurnalis senior itu memberi bekal kepada saya buku karangannya berjudul “Santri Eropa” sebelum
saya berangkat. Buku itu merupakan kumpulan tulisan hasil liputannya sebulan di Turki pada 2008. Dia menyebut Turki
adalah negara unik karena berada di dua benua, Asia sekaligus Eropa, dan merupakan satu-satunya negara di Eropa
yang memiliki memiliki 98 persen dari 71 juta penduduk beragama Islam.

Uniknya lagi, meski mayoritas muslim dan sebagian besar perempuannya berjilbab, pemerintah melarang mereka
mengenakan jilbab di tempat-tempat resmi, baik di kantor, kampus, maupun sekolah. Di masjid-masjid, khutbah Jum’at
diawasi secara ketat agar temanya tidak mengkritik ajaran sekuler. Ya, Turki adalah satu-satunya negara muslim yang
terang-terangan menerapkan paham sekularisme (laiklik).


Saya menyaksikan sendiri bagaimana para mahasiswi Middle East Technical University (METU) di Ankara mencoba
menyiasati aturan keras itu. Menjelang memasuki gerbang kampus, bis yang membawa mereka digeledah oleh
seorang security untuk memastikan ID card mahasiswa dan memeriksa perempuan untuk tidak berjilbab. Para
muslimah taat itu segera melepas jilbab dan menggantinya dengan topi yang menutup seluruh rambut, sebagian lagi
ada juga yang menggunakan wig atau rambut palsu.

Mereka telah menjalani kebiasaan itu selama bertahun-tahun. Pemandangan seperti itu mungkin tidak akan kita temui
lagi pasca Referendum Perubahan UUD pertengahan September 2010 mendatang. Dalam agenda politik Turki,
seluruh warga akan menentukan amandemen konstitusi sebagai pintu masuk reformasi sistem pengadilan. Selama ini,
produk-produk politik yang pro-reformasi, termasuk penegakan HAM agar pemakaian jilbab tidak dilarang, selalu

page 1 / 3

Universitas Muhammadiyah Malang
www.umm.ac.id

memperoleh penolakan dari kalangan militer dan Mahkamah Konstitusi.

Jika nanti suara pendukung amandemen menang, maka konsep nasionalisme yang diimplementasikan dengan
sekularisme itu akan digantikan demokrasi yang menempatkan supremasi sipil sebagai pemegang kekuasaan. Dan,

oleh karena pemegang kekuasaan saat ini adalah para ‘santri’, bisa dipastikan, wajah Turki ke depan akan bergerak
semakin ‘nyantri’.
Tanda-tanda itu sudah mulai nampak, setidaknya dilihat dari naiknya pamor partai nasionalis berhaluan Islam (AK
Parti) dan suksesnya kepemimpinan ‘duo santri’ Presiden Abdullah Gul dan Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan.
Demikian juga, media massa yang dulu didominasi oleh suara nasionalis konservatif dari koran Hurriyet dan Milliyet,
saat ini memperoleh tandingan yang sebanding yakni koran Zaman yang condong ke reformasi.

Meski demikian, tak mudah menangkap tanda-tanda itu jika kita tidak mengamati secara sungguh-sungguh. Bagi orang
asing seperti saya, hambatan terbesarnya adalah bahasa komunikasi.

Orang Turki jarang sekali yang bisa berbahasa Inggris. Di bandara, hotel, mal, terminal, apalagi di angkutan umum,
sulit sekali menemukan ‘guide’ bahasa. Apalagi, bagi sebagian warga Turki agenda politik itu dianggap biasa-biasa
saja, tidak terlalu istimewa. Jadi agak sulit mencari warga Turki yang bisa diajak bicara mengenai nasib negaranya itu.
Oleh karena modal pengetahuan saya tentang Turki sangat minim, ditambah tak mengenal satupun kata dalam bahasa
Turki. Saya betul-betul menemukan kesulitan memperoleh bahan awal untuk kegiatan saya selama di sana.(*)
Tertolong Buku Santri Eropa//
Hari-hari pertama saya terasa sangat lama, waktu berjalan sangat lambat tanpa bisa melakukan apapun yang berarti.

Sampai akhirnya saya teringat, cendikiawan kita, Dr. Moeslim Abdurahman, dalam sebuah acara di UMM sekitar tahun
2008, pernah mengatakan bahwa sudah saatnya kita mencoba belajar di Turki dan beralih dari Amerika Serikat dan

negara barat lainnya.

Turki sekarang, katanya, mengalami kebangkitan termasuk dalam hal ilmu pengetahuan. Dia mencontohkan dua rektor
UIN merupakan jebolan universitas di Turki. Mereka adalah rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Komarudin
Hidayat (lulusan Middle East Technical University, Ankara) dan rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. Amin
Abdullah (lulusan Ankara University).

Dalam benak saya bertanya, bagaimana Pak Komar dan Pak Amin dulu beradaptasi ya. Waktu itu kan masih awal
tahun 1990-an di saat HP dan internet belum populer, sedangkan tahun 2010 saja masih belum banyak orang Turki
berbahasa Inggris. Tentu cultural shock mereka jauh lebih dahsyat daripada saya. Ini membuat saya makin tertantang.
“Ini pengalaman sangat mahal yang tak boleh disia-siakan,” pikir saya.

Beruntunglah kampus Atilim University di mana saya mengikuti program pertukaran dosen ini menyediakan seorang
International Relation Officer (IRO), Hale Sen, yang memandu walau tidak bisa menjelaskan banyak hal tentang kondisi
politikTurki.

Saya juga didampingi seorang supervisor yang siap berdiskusi, Prof. Dr. Emre Toros. Dia guru besar komunikasi
politik di universitas swasta itu. Di luar IRO dan supervisor itu, seperti warga Turki lainnya, mahasiswa dan dosen juga
enggan berbahasa asing, juga enggan berdiskusi soal negaranya.


Alhamdulillah, Allah menolong saya. Dengan buku “Santri Eropa”, saya bisa berkenalan dengan Duta Besar (Dubes)
RI untuk Republik Turki di Ankara. Nama sang Dubes, Awang Bahrin, memang menjadi salah satu tulisan profil dalam
buku itu. Pak Roy berpesan agar menemui Dubes apabila mengalami kesulitan,”Sampaikan salam saya dan berikan
buku ini mudah-mudahan beliau senang,” kata pak Roy sewaktu saya berpamitan.

page 2 / 3

Universitas Muhammadiyah Malang
www.umm.ac.id

Dan betul, Dubes asal Kalimantan Timur itu sangat ramah dan helpful. Sambil meminta stafnya mencarikan saya
teman mahasiswa Indonesia dan tempat tinggal yang cocok, dia mempersilakan saya tinggal sementara di rumah dinas
yang biasa disebut Wisma Duta Indonesia, di kawasan Oran, Ankara.

Saya merasa terhormat karena selama tiga hari saya tinggal di sana dan berdiskusi sangat intens dengan Dubes yang
akan segera mengakhiri masa tugasnya itu. Selain itu, saya ditempatkan di kamar yang biasanya digunakan oleh
tamu-tamu penting, seperti pejabat negara, pebisnis hingga pakar marketing Hermawan Kertajaya. Kebetulan, hari-hari
Pak Awang Bahrin sudah agak longgar karena baru saja tugas terakhirnya menyambut kunjungan Presiden Susilo
Bambang Yudoyono ke Turki selesai.


Dari diskusi dengan Dubes Awang Bahrin, Atase Pertahanan Kol. Chandra W Sukotjo dan beberapa mahasiswa
Indonesia di Turki saya mulai menemukan banyak informasi. Perkenalan saya dengan Ketua Persatuan Mahasiswa
Indonesia (PPI) Turki, M. Azhar Annas dan teman-temannya, baik orang Indonesia maupun Turki, juga membantu saya
memahami akulturasi mahasiswa lokal dengan mahasiswa asing.

Masyarakat muslim, termasuk di Indonesia, lebih sering melihat Turki sebagai sekuler dan liberal daripada negara
muslim moderen yang bergerak maju, baik demokrasi maupun ekonominya. Beberapa orang tua mahasiswa Indonesia
yang menempuh studi di Turki, bahkan sempat khawatir anaknya akan menjadi sekuler dan menjauh dari Islam.

“Padahal di sini justru kami bisa belajar bagaimana seharusnya ajaran Islam itu diterapkan dalam ekonomi, politik,
toleransi bahkan hal-hal kecil seperti kedisiplinan dan etos kerja yang Islami,” kata M Azhar Anas yang menempuh S2
di METU. Ya, kesan sekuler itu akan sirna apabila kita melihat Turki dari dekat.

Memang nilai sekularisme Turki ditanamkan betul di benak warganya. Di antaranya melalui doktrin-doktrin dan
dogma-dogma yang di wujudkan secara fisik dalam bentuk naskah-naskah buku, poster, gambar hingga patung tokoh
Turki modern Mustafa Kemal Atatürk yang mencolok di mana-mana. Di kantor saya yang berukuran 3X4 meter juga
terpampang lukisan Atatürk dengan sorot mata tajam, menatap ke meja saya. Saya sering dibuat merinding jika
sedang seorang diri meliriknya. (bersambung)

*NASRULLAH, dosen Jurusan Komunikasi FISIP UMM.


page 3 / 3