Pengetahuan Masyarakat dalam Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Di Kawasan Cagar Alam Gunung Sibela

PENGETAHUAN MASYARAKAT DALAM PEMANFAATAN
HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK) DI KAWASAN
CAGAR ALAM GUNUNG SIBELA

IKRIMA JAFAR

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengetahuan
Masyarakat dalam Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di
Kawasan Cagar Alam Gunung Sibela adalah benar karya saya dengan
arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013
Ikrima Jafar
NIM E14080131

i

ABSTRAK
IKRIMA JAFAR. Pengetahuan Masyarakat dalam Pemanfaatan Hasil Hutan
Bukan Kayu (HHBK) Di Kawasan Cagar Alam Gunung Sibela. Dibimbing Oleh
DIDIK SUHARJITO.
Masyarakat yang tinggal disekitar hutan menggantungkan sebagian besar
kebutuhan hidupnya pada hutan. Pengetahuan masyarakat dalam memanfaatkan
sumberdaya hutan sangat beragam. Salah satunya adalah dalam memanfaatkan
hasil hutan bukan kayu (HHBK). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
pengetahuan masyarakat dalam pemanfaatan HHBK serta menjelaskan faktorfaktor yang mempengaruhi pola-pola pemanfaatannya. Metode penelitian yang
digunakan adalah survei. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik

wawancara, observasi dan pengumpulan data sekunder. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa HHBK yang dikumpulkan terdiri atas kelompok tumbuhan
obat, tumbuhan penghasil anyaman dan kerajinan, tumbuhan penghasil pangan,
tumbuhan hias dan kelompok hewan buru. Masyarakat memanfaatkan HHBK
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (subsisten) dan untuk tambahan
penghasilan. Tingkat umur, pendidikan, dan pekerjaan tidak mempengaruhi pola
pemanfaatan HHBK oleh masyarakat.
Kata kunci: HHBK , pengetahuan, pemanfaatan
ABSTRACT
IKRIMA JAFAR. Local People Knowledge in Utilizing Non Timber Forest
Products (NTFPs) in Gunung Sibela Nature Reserve. Supervised by DIDIK
SUHARJITO.
Community living around Gunung Sibela Nature Reserve depend on its
products mainly to fulfill their needs. They develop knowledge to utilize forest
resources including Non-Timber Forest Products (NTFPs). The objectives of this
research are to describe people’s knowledge of NTFPs and explaining factors that
influence pattern of NTFPs utilization. The method used in this research was
survey. Data were collected with interview, observation, and secondary data
collection. The results show that NTFPs collected by local people comprises of
medicinal plants, yarn and handcraft-produce plants, crops, ornamental plants, and

group of hunted animals. They utilize NTFPs to fulfil their daily needs and earn
more income. Age, education, and work do not influence pattern of NTFPs
utilization by local people.
Key words: NTFPs, Knowledge, Utilization

ii

PENGETAHUAN MASYARAKAT DALAM PEMANFAATAN
HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK) DI KAWASAN
CAGAR ALAM GUNUNG SIBELA

IKRIMA JAFAR

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Manajemen Hutan

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

iii

Judul Skripsi : Pengetahuan Masyarakat dalam Pemanfaatan Hasil Hutan
Bukan Kayu (HHBK) Di Kawasan Cagar Alam Gunung
Sibela
Nama
: Ikrima Jafar
NIM
: E14080131

Disetujui oleh

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS
Pembimbing


Diketahui oleh

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

iv

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan judul
Pengetahuan Masyarakat dalam Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
di Kawasan Cagar Alam Gunung Sibela yang dilaksanakan sejak bulan Juni
sampai juli 2012.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Didik Suharjito, MS
selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Dinas Kehutanan Kabupaten Halmahera Selatan, BKSDA Maluku Utara, Bapak
Hidayat dan Bapak Abner selaku Kepala Desa dan masyarakat Desa Kubung dan

Tawa yang telah memberikan bantuan selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada mama, papa, seluruh
keluarga, dan Kak Dafit atas segala doa dan kasih sayangnya juga sahabat-sahabat
tersayang. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2013
Ikrima Jafar
 

v

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi


DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 
Latar Belakang



Perumusan Masalah



Tujuan Penelitian



Manfaat Penelitian




TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 2
Pengetahuan Lokal



Faktor yang Memengaruhi Pengetahuan Lokal



Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)



Karakteristik dan Jenis-Jenis HHBK



METODE ................................................................................................................ 6 
Lokasi dan Waktu Penelitian




Jenis Data



Teknik Pengumpulan Data

8

Metode Pemilihan Desa dan Responden



Metode Pengolahan dan Analisis Data



HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 8 

Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu



Kelompok Tumbuhan Obat



Kelompok Tumbuhan Penghasil Anyaman dan Kerajinan

13

Kelompok Tumbuhan Penghasil Pangan

16 

Kelompok Tumbuhan Penghasil Kayu Bakar

17


Kelompok Hewan Buru

18 

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pola Pemanfaatan

19 

SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 21 
Simpulan

21 

Saran

21 

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 21 
LAMPIRAN

23

RIWAYAT HIDUP

28

vi

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Kelompok HHBK yang dimanfaatkan
Cara pasca panen tumbuhan obat
Cara pengolahan tumbuhan obat
Cara pemakaian tumbuhan obat
Jenis tumbuhan dan produk kerajinan
Pemanfaatan tumbuhan hias atau peneduh


12
13 
13
14 
15

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Peta lokasi penelitian
Jumlah jenis dan famili tumbuhan berkhasiat obat
Bagian tumbuhan obat yang dimanfaatkan
Anyaman dan Kerajinan Desa Kubung dan Desa Tawa
Jenis hewan yang diburu oleh masyarakat


10 
11 
15 
18 

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Pola pemanfaatan HHBK
Tumbuhan obat yang dimanfaatkan
Contoh tumbuhan obat
Dokumentasi penelitian

23 
24 
26 
27 

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Masyarakat di sekitar hutan pada umumnya memiliki ketergantungan dan
hubungan yang erat dengan sumberdaya hutan. Terdapat 30 juta penduduk yang
secara langsung mengandalkan hidupnya pada sektor kehutanan dan sebagian
besar hidup dengan perladangan berpindah, memancing, berburu, menebang dan
menjual kayu, serta mengumpulkan hasil hutan bukan kayu (FWI dan GFW
2001). Ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan ini tidak terlepas
dari pengetahuan tradisional yang diperoleh secara turun temurun sehingga hutan
dan sumberdaya yang ada di dalamnya masih terus dapat dimanfaatkan.
Sumberdaya hutan yang dimanfaatkan dapat berupa hasil hutan kayu maupun
hasil hutan bukan kayu.
Banyak peneliti yang menjadikan pengetahuan masyarakat dalam
pemanfaatan dan pengelolaan hutan sebagai fokus utama dalam penelitiannya.
Sebagai contoh, Nurhayati (2006) mengkaji pengetahuan tradisional masyarakat
Paser dalam hal pemanfaatan tumbuhan. Sihombing (2011) mengkaji pemanfaatan
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) oleh masyarakat sekitar hutan Samarinda,
Kalimantan Timur. Selanjutnya, Asiah (2009) meneliti tentang pengetahuan lokal
dalam pengelolaan hutan rakyat serta perubahan pengetahuan dan perannya dalam
kelestarian ekosistem. Pada kasus lain, Puspita (2006) mengkaji pengetahuan
masyarakat dan peranannya dalam konservasi Kedaung.
Kajian-kajian tersebut menunjukkan kesimpulan yang berbeda-beda.
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa pengetahuan masyarakat merupakan
aspek yang cukup penting dalam menjaga kelestarian hutan. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan
memperlihatkan bahwa pemanfaatan kawasan hutan dan taman nasional
khususnya oleh masyarakat adat tidak terbukti merusak ekosistem kawasan taman
nasional (Mainawati 2004).
Pemanfaatan sumberdaya hutan khususnya kayu masih mendominasi.
Namun demikian, HHBK juga tidak dapat diabaikan begitu saja karena HHBK
menjadi salah satu peluang yang tepat untuk dikembangkan dan tentu saja dapat
mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hasil hutan kayu. Untuk
itu dianggap perlu melakukan penelitian tentang pengetahuan masyarakat dalam
memanfaatkan HHBK, sehingga ketergantungan masyarakat terhadap kayu dapat
dikurangi dan diharapkan pengembangan HHBK khususnya di Kabupaten
Halmahera Selatan dapat dilakukan sesuai dengan sumberdaya yang ada.

Perumusan Masalah
Masyarakat di sekitar kawasan cagar alam Gunung Sibela telah lama
berinteraksi dengan hutan dan sumberdaya yang ada di dalamnya. Hubungan ini
melahirkan kearifan dan pengetahuan dalam mengelola dan memanfaatkan
sumberdaya termasuk hasil hutan bukan kayu. Penelitian tentang pengetahuan
masyarakat dalam pemanfaatan hasil hutan bukan kayu baik yang dipungut

2

maupun dibudidayakan belum banyak dilakukan, sehingga belum diketahui secara
rinci jenis-jenis hasil hutan bukan kayu yang telah dimanfaatkan dan bagaimana
pola pemanfaatannya. Belum lagi dengan adanya intervensi dari pihak luar yang
dikhawatirkan akan mengakibatkan erosi pengetahuan tradisional dan
sumberdaya.

Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan pengetahuan dan pola pemanfaatan masyarakat terhadap hasil
hutan bukan kayu (HHBK)
2. Menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi pola pemanfaatannya

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi dan data mengenai
pemanfaatan HHBK dan menjadi masukan bagi pemerintah daerah terhadap
pengembangan HHBK ke depan dalam upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat setempat.

TINJAUAN PUSTAKA

Pengetahuan Lokal
Menurut Zakariah (1994), pada dasarnya pengetahuan lokal (local
knowledge) atau kearifan tradisional dapat didefenisikan sebagai pengetahuan
kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup semua
pengetahuan kebudayaan yang berkenaan dengan model-model pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari. Kearifan tersebut berisikan
gambaran tentang anggapan masyarakat yang bersangkutan tentang hal-hal yang
berkaitan dengan struktur lingkungan, fungsi lingkungan, reaksi alam terhadap
tindakan-tindakan manusia dan hubungan-hubungan yang tercipta antar manusia
(masyarakat) dan lingkungan alamnya.
Kekuatan utama sistem pengetahuan lokal dikemukakan Berkes (1995)
dalam tiga hal, yaitu:
1. Self-interest, dalam arti pengetahuan lokal menjadi kunci penting karena
kekuatannya yang datang dari dalam dan bukan dari luar.
2. Sistem pengetahuan yang akumulatif, dalam artian bahwa pengetahuan lokal
merupakan akumulasi atas pola adaptasi ekologi komunitas lokal yang telah
berlangsung berabad-abad.
3. Pengetahuan tradisional sangat potensial untuk membantu mendesain upaya
konservasi sumberdaya alam yang efektif, karena dukungan lokal dan tingkat
adaptasi serta pertimbangan yang tinggi.
Pemilihan pengetahuan lokal masyarakat didasarkan pada kenyataan
bahwa saat ini pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dengan

3

menggunakan berbagai instrumen teknologi, tidak saja dihadapkan pada sulitnya
proses adaptasi bagi petani, akan tetapi terdapat kendala pada aplikasi yang tidak
sesuai dengan budaya maupun kemampuan masyarakat. Sistem pengetahuan
dalam lingkup pengelolaan sumberdaya alam, secara garis besar dapat dibedakan
menjadi dua kategori: pengetahuan ilmiah dan pengetahuan lokal. Pengetahuan
ilmiah adalah suatu pengetahuan yang terbentuk dari hasil penyelidikan ilmiah
yang dirancang secara seksama dan sudah terbakukan. Pengetahuan lokal adalah
pengetahuan yang sebagian besar diturunkan dari pengamatan petani akan proses
ekologi yang terjadi di sekitarnya dan berbagai faktor yang memengaruhinya
berdasarkan interpretasi logis petani. Pembentukan pengetahuan lokal sifatnya
kurang formal dibandingkan pengetahuan ilmiah.
Pengetahuan lokal masyarakat dapat dijelaskan melalui dua cara yaitu:
1. Dengan memperhatikan penerapan pengetahuan yang bersifat pragmatis atau
mendeskripsikan hasil intervensi pengelolaan sumberdaya alam dan
selanjutnya mengamati bagaimana adaptasi ekologinya.
2. Memperhatikan pengelolaan yang bersifat supranatural dari masyarakat dengan
memahami bentuk-bentuk dasar aturan atau norma yang dihasilkan oleh
budaya moral atau kepercayaan masyarakat setempat.
Menurut Mitchell et al.(2000) dalam Arafah (2002) konsep pengetahuan
lokal berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional.
Pengetahuan lokal adalah kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar
dalam kebudayaan suatu kelompok masyarakat yang merupakan hasil pengamatan
selama kurun waktu yang lama.

Faktor yang Memengaruhi Pengetahuan Lokal
Dewasa ini, sedang berkembang konsensus di antara profesional bahwa
petani yang berbeda mempunyai jenis dan kedalaman pengetahuan yang berbeda.
Perbedaan dikarenakan oleh adanya perbedaan minat, tujuan, dan sumberdaya
yang dikuasai di antara mereka (Sunaryo dan Joshi 2003).
Perlu disadari bahwa pengetahuan petani, seperti halnya pengetahuan
ilmiah, masih belum sempurna, dinamis dan terus menerus berubah karena
pengaruh faktor internal maupun eksternal. Pengetahuan petani menjadi
kompleks, kualitatif, logis maupun kadang-kadang saling bertentangan. Berkaitan
dengan pengetahuan lokal ini, peran ilmuan diharapkan adalah bagaimana
memperkuat pengetahuan petani dengan menghasilkan pengetahuan yang tidak
dapat dihasilkan oleh petani itu sendiri (Clarke 1991 dalam Wiharja 2011).
Pengetahuan masyarakat lokal umumnya terbatas pada apa yang dapat
mereka rasakan secara langsung, biasanya melalui pengamatan dan apa yang
dapat dipahami berdasarkan konsep dan logika mereka. Konsep-konsep ini
berkembang dari pengalaman mereka di masa lalu, oleh karena itu sulit bagi
mereka untuk mengaitkan pengetahuan lokal ini dengan proses yang baru ataupun
dengan faktor luar yang memengaruhinya. Faktor-faktor tersebut dapat
berpengaruh secara tidak langsung atau langsung secara bertahap, seperti halnya
pertambahan penduduk, kemunduran kualitas sumberdaya alam, perkembangan
pasar. Ada kemungkinan bahwa pengetahuan yang sekarang tidak relevan akan

4

menjadi relevan lagi di masa akan datang dengan adanya perubahan kondisi
pertanian (Pratomo 2005).

Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
Berdasarkan Undang-Undang No.41/1999 tentang Kehutanan tampak
bahwa lingkup hasil hutan pada umumnya dan hasil hutan bukan kayu pada
khususnya menempati ruang yang semakin luas. Kalau dilihat dari
perkembangannya, hasil hutan bukan kayu mula-mula berupa produk-produk
hayati yang diperoleh melalui pemungutan atau pengolahan saja, misalnya produk
minyak-minyakan (minyak atsiri dan minyak lemak), produk getah-getahan (getah
resin, karet, dan getah perekat), produk ekstraktif lainnya seperti bahan penyamak,
pewarna dan alkaloid serta produk-produk hasil hutan bukan kayu lain yang
belum berkembang.
Selanjutnya lingkup hasil hutan bukan kayu termasuk juga produk-produk
hasil hutan kelompok kayu yang tidak pernah diikutsertakan, karena pertimbangan
potensi dan lainnya yang belum tinggi, yaitu tumbuh-tumbuhan yang mempunyai
kekuatan (pada batangnya) seperti: rotan, bambu, nipah, kelapa, sagu, dan lainlain. Untuk selanjutnya kelompok hasil hutan bukan kayu ini disebut tumbuhan
berkekuatan.
Dengan demikian lingkup HHBK ternyata semakin luas lagi. Selanjutnya
lingkup hasil hutan bukan kayu berkembang lagi karena adanya produk-produk
yang dapat diperoleh tidak dari nabati atau hewani secara tunggal, tetapi melalui
upaya budidaya keduanya, yaitu hewan (khususnya serangga) yang dibudidayakan
pada atau dengan bantuan tanaman (hutan) tertentu, misalnya produk madu, lak,
sutera alam dan lain-lain.
Berdasarkan informasi di atas maka tampak bahwa lingkup HHBK
ternyata sangat luas, masih memerlukan penanganan yang sungguh-sungguh dan
mungkin masih memerlukan waktu lama untuk digarap apabila sarana, prasarana,
sumberdaya manusia dan lain-lain upaya tidak segera dilakukan.
Menurut Peraturan Menteri No. P 35/ Menhut-II/ 2007, hasil hutan bukan
kayu yang selanjutnya disingkat HHBK adalah hasil hutan hayati baik nabati
maupun hewani beserta produk turunannya dan budidaya kecuali kayu sebagai
segala sesuatu yang bersifat material (bukan kayu) yang dimanfaatkan bagi
kegiatan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dalam upaya mengubah haluan pengelolaan hutan dari timber extraction
menuju sustainable forest management, hasil hutan bukan kayu (HHBK) atau
Non Timber Forest Products (NTFP) memiliki nilai yang sangat strategis. Hasil
hutan bukan kayu (HHBK) merupakan salah satu sumberdaya hutan yang
memiliki keunggulan komparatif dan bersinggungan langsung dengan masyarakat
sekitar hutan. Sehingga tidak dipungkiri lagi bahwa masyarakat di dalam maupun
sekitar kawasan hutan berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan hasil
hutan bukan kayu.

5

Karakteristik dan Jenis-Jenis HHBK
HHBK dari ekosistem hutan sangat beragam jenis sumber penghasil
maupun produk serta turunan yang dihasilkannya. Sesuai Peraturan Menteri
Kehutanan No. P 35/ Menhut-II/ 2007 tentang hasil hutan bukan kayu, maka
dalam rangka pengembangan budidaya maupun pemanfaatannya HHBK
dibedakan dalam HHBK nabati dan HHBK hewani.
1. Kelompok hasil hutan dan tanaman
a. Kelompok resin: agathis, dammar, embalau, kapur barus, kemenyan,
kesambi, rotan jernang, tusam
b. Kelompok minyak atsiri: akar wangi, cantigi, cendana, ekaliptus, gaharu,
kamper, kayu manis, kayu putih
c. Kelompok minyak lemak: balam, bintaro, buah merah, kroton,kelor,kemiri,
kenari, ketapang, tengkawang
d. Kelompok karbohidrat: aren, bambu, gadung, iles-iles, jamur, sagu, terubus,
suweng
e. Kelompok buah-buahan: aren, asam jawa, cempedak, duku, durian, gandaria,
jengkol, kesemek, lengkeng, manggis, matoa, melinjo, pala, mengkudu,
nangka, sawo, sarikaya, sirsak, sukun
f. Kelompok tannin: akasia, briguiera, gambir, nyiri, kesambi, ketapang,
pinang, rizhopora, pilang
g. Kelompok pewarna: angsana, alpokat, bulian, jambal, jati, kesumba, mahoni,
jernang, nila, secang, soga, suren
h. Kelompok getah: balam, gemor, getah merah, hangkang, jelutung, karet
hutan, ketiau, kiteja, perca, pulai, sundik
i. Kelompok tumbuhan obat: adhas, ajag, ajerar, burahol, cariyu, akar binasa,
akar gambir, akar kuning, cemapaka putih, dadap ayam, cereme
j. Kelompok tanaman hias: anggrek hutan, beringin, bunga bangkai, cemara
gunung, cemara irian, kantong semar, pakis, palem, pinang merah
k. Kelompok palma dan bambu: rotan (Calamus sp, Daemonorops sp,
Korthalsia sp), bambu (Bambusa sp, Giganthocloa sp, Euleptorhampus
viridis, Dendrocalamus sp), agel, lontar, nibung
l. Kelompok alkohol: kina, dll
2. Kelompok hasil hewan
a. Kelompok hewan buru:
1) Kelas mamalia: babi hutan, bajing kelapa, berut, biawak, kancil, kelinci,
lutung, monyet, musang, rusa
2) Kelas reptil: buaya, bunglon, cicak, kadal, londok, tokek, jenis ular
3) Kelas amfibia: berbagai jenis katak
4) Kelas aves: alap-alap, beo, betet, kakatua, kasuari, kuntul merak, nuri,
perkici, serindit
b. Kelompok hasil penangkaran: arwana irian, buaya, kupu-kupu, rusa
c. Kelompok hasil hewan: burung wallet, kutu lak, lebah, ulat sutera
HHBK dalam pemanfaatannya memiliki keunggulan dibanding hasil kayu,
sehingga HHBK memiliki prospek yang besar dalam pengembangannya. Adapun
keuntungan HHBK dibanding dengan hasil kayu adalah sebagai berikut:
1. Pemanfaatan HHBK tidak menimbulkan kerusakan yang besar terhadap hutan
dibanding dengan pemanfaatan kayu. Karena pemanenannya tidak dilakukan

6

dengan menebang pohon, tetapi dengan penyadapan, pemetikan, pemangkasan,
pemungutan, perabutan dan lain-lain.
2. Beberapa HHBK memiliki nilai ekonomi yang besar persatuan volume
(gaharu).
3. Pemanfaatan HHBK dilakukan oleh masyarakat secara luas dan membutuhkan
modal kecil sampai menengah. Dengan demikian pemanfaatannya dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan usaha pemanfaatannya dapat
dilakukan oleh banyak kalangan masyarakat.
4. Teknologi yang digunakan untuk memanfaatkan dan mengolah HHBK adalah
teknologi sederhana sampai menengah.
5. Bagian yang dimanfaatkan, yaitu daun, kulit, getah, bunga, biji, kayu, batang,
buah, dan akar cabutan. Dengan demikian pemanfaatan HHBK tidak
menimbulkan kerusakan yang berarti pada ekosistem hutan.
Walaupun HHBK memiliki keunggulan dibanding dengan hasil kayu,
tetapi pemanfaatan HHBK belum dilaksanakan secara optimal. Beberapa
permasalahan yang terkait dengan pemanfaatan HHBK adalah sebagai berikut:
1. Belum ada data tentang potensi, sebaran, dan pemanfaatan HHBK baik yang
sudah diketahui maupun yang belum diketahui manfaatnya. Hal tersebut
menyebabkan perencanaan pemanfaatan HHBK tidak dapat dilakukan.
2. Pemanfaatan HHBK hanya berfokus pada HHBK yang memiliki nilai ekonomi
tinggi sehingga mengancam kelimpahan populasi HHBK.
3. Budidaya HHBK belum seluruhnya diketahui secara pasti. Karena selama ini
pemanfaatan HHBK berasal dari hutan alam dan upaya untuk melakukan
budidaya belum dilakukan. Sehingga perlu dilakukan upaya mendapatkan
teknologi budidaya HHBK.
4. Pemanfaatan HHBK hanya dilakukan secara tradisional. Karena sifatnya
tradisional maka kualitas produk masih rendah.
5. Tataniaga HHBK masih banyak yang tersembunyi dan ketiadaan akses
informasi pasar sehingga tidak memberikan margin pemasaran yang besar pada
petani atau pengambil HHBK. Untuk itu perlu dilakukan analisis pemasaran
untuk memberikan margin pemasaran yang besar bagi petani.
6. Pemerintah kurang memberikan kebijakan yang bersifat insentif baik pada
aspek pemanfaatan HHBK maupun pengembangannya.

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di dua desa yaitu Desa Kubung Kecamatan Bacan
Selatan dan Desa Tawa Kecamatan Bacan Timur Tengah, Kabupaten Halmahera
Selatan, Provinsi Maluku Utara. Kedua desa berada di sekitar Kawasan Cagar
Alam Gunung Sibela. Kawasan Cagar Alam Gunung Sibela memiliki ketinggian
2.118 mdpl dengan topografi yang sangat bervariatif mulai dari dataran rendah
sampai pegunungan merupakan wilayah pegunungan dengan punggung-punggung
sempit dan panjang yang membujur dari arah barat ke timur (Gambar 1).

7

Kawasan Cagar Alam Gunung Sibela umumnya berlereng curam dengan
kemiringan 10°-70° lereng-lereng sebelah timur dan barat menurun langsung ke
arah pantai sedangkan di sebelah tenggara dan utara masing-masing dibatasi oleh
dataran rendah alluvial Labuha-Babang dan dataran rendah Wayau-Songa
(BKSDA 2011). Pengumpulan data dilakukan selama dua bulan, yaitu bulan JuniJuli 2012.

Lokasi penelitian

Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

Jenis Data
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer
adalah data yang diperoleh dari masyarakat langsung seperti karakteristik
responden, pengetahuan tentang HHBK dan pemanfaatan HHBK. Sedangkan data
sekunder adalah data yang menyangkut data kondisi fisik wilayah (letak, luas,
topografi, tanah, iklim, curah hujan, flora dan fauna) dan kondisi sosial ekonomi
masyarakat (kependudukan, pendidikan, mata pencaharian, suku bangsa/etnis,
sarana perhubungan/transportasi) (BKSDA 2011).

8

Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Teknik observasi: data dikumpulkan melalui pengamatan secara langsung
terhadap berbagai kegiatan di lapangan, keadaan daerah penelitian yang
berhubungan sebagai data dan pemanfaatan HHBK oleh responden
2. Teknik wawancara: data dikumpulkan melalui tanya jawab yang dilakukan
langsung terhadap responden yang memanfaatkan HHBK: wawancara
dilakukan secara terstruktur (kuisioner)
3. Studi pustaka: data dikumpulkan yakni berupa buku, skripsi, disertasi, tesis,
jurnal, makalah dan yang berhubungan dengan penelitian sebagai penunjang
data.  

Metode Pemilihan Desa dan Responden
Pemilihan desa contoh dilakukan secara sengaja yang didasarkan atas
pertimbangan jarak yang dekat dari desa ke kawasan Cagar Alam Gunung Sibela.
Responden kunci (key person) dipilih berdasarkan hasil rekomendasi kepala Cagar
Alam Gunung Sibela. Penentuan responden selanjutnya, dilakukan dengan metode
snow ball yaitu responden kunci (key person) merekomendasikan responden
selanjutnya dan responden yang telah diwawancarai merekomendasikan responden
selanjutnya sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan. Jumlah responden penelitian ini
sebanyak 30 orang setiap desa.

Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis sesuai dengan jenis
data dan tujuan. Analisis ini menggunakan teknik-teknik statistika deskriptif yang
mencakup pembuatan grafik dan tabulasi data.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu
Hutan memiliki banyak manfaat salah satunya adalah manfaat langsung
(tangible). Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan merasakan manfaat langsung
sebagai mata pencaharian mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh
karena itu masyarakat yang tinggal di sekitar hutan memiliki ketergantungan yang
tinggi terhadap hutan. Dalam pemanfaatan hasil hutan masyarakat belum
mengenal aturan pengelolaannya, sementara itu hanya berupa tradisi yang sudah
dilakukan secara turun temurun dari orang tua mereka. Dari hasil penelitian
kelompok kegunaan HHBK yang banyak dimanfaatkan responden adalah

9

tumbuhan obat, tumbuhan penghasil anyaman dan kerajinan, tumbuhan pangan,
tumbuhan hias, tumbuhan penghasil kayu bakar dan hewan buru. Tabel 1
menunjukan kelompok HHBK yang dimanfaatkan dengan persentase pemanfaat
yang berbeda di kedua desa penelitian.
Tabel 1 Kelompok HHBK yang dimanfaatkan
No
1
2.

3
4
5

6

Kelompok
HHBK
Tumbuhan obat
Tumbuhan
penghasil
anyaman dan
kerajinan
Tumbuhan
pangan
Tumbuhan hias
Tumbuhan
penghasil kayu
bakar
Hewan buru

Jumlah pemanfaat (orang)

Persentase (%)

Desa Kubung
29

Desa Tawa
26

Desa Kubung
96,7

Desa Tawa
86,7

12

7

40,0

23,3

30

30

100,0

100,0

3

6

10,0

20,0

30

30

100,0

100,0

3

8

10,0

26,7

Kelompok Tumbuhan Obat
Tumbuhan obat dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu (1) tumbuhan obat
tradisional adalah spesies tumbuhan obat yang diketahui atau dipercaya
masyarakat mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat
tradisional, (2) tumbuhan obat modern yaitu spesies tumbuhan yang secara ilmiah
telah dibuktikan mengandung bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan
penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis, dan (3) tumbuhan
obat potensial yaitu spesies tumbuhan yang diduga mengandung bahan bioaktif
yang berkhasiat sebagai obat tetapi belum dibuktikan secara ilmiah (Zuhud et al.
1994)
Tumbuhan obat yang dimanfaatkan masyarakat di kedua desa penelitian
ada yang diperoleh dari hutan dan ada yang dibudidayakan di kebun atau
pekarangan masyarakat. Terdapat 24 jenis tumbuhan dari 18 famili yang
dimanfaatkan sebagai obat tradisional oleh masyarakat. Famili yang paling
banyak adalah Myrtaceae sebanyak empat jenis (cengkeh, giawas, jambulang,
salam), disusul Euphorbiaceae, Fabaceae, dan Sapindaceae masing-masing dua
jenis. Data selengkapnya disajikan pada Gambar 2.

10

Jumlah jenis (n)

4
3
2
1

Verbenaceae

Rubiaceae

Sapindaceae

Poaceae

Piperaceae

Myrtaceae

Musaceae

Lauraceae

Fabaceae

Lamiaceae

Euphorbiaceae

Cucurbitaceae

C i
Caricaceae

Asteraceae

Arecaceae

Apocynaceae

Annonaceae

Amaranthaceae

0

Famili

Gambbar 1 Jumlaah jenis dann famili tum
mbuhan berkkhasiat obatt
Berdasarrkan jumllah responnden, sebaagian besaar respondden telah
mem
manfaatkan kelompok HHBK tum
mbuhan obaat. Pemanffaatan tumbbuhan obat
masih dalam skkala kecil (iintensitas pemanfaatan
nnya tidak besar
b
dan tiidak untuk
dipassarkan). Maasyarakat pada
p
umumnnya mengaambil jenis tumbuhan tertentu di
dalam
m kawasan cagar alam
m pada saat diperlukan untuk penggobatan sajaa dan tidak
mem
manfaatkannnya secara rutin.
r
Jenis-jjenis yang dibudidayakkan adalah jenis-jenis
yangg mudah daalam penanaaman dan tidak memeerlukan peraawatan khuusus seperti
jenis balacai hissa (Jatrophha curcas L.),
L turi (Sessbania granndiflora), ddan papaya
(Carrica papaya L.).
d
secara
s
turunn temurun. D
Di samping
Pengetahhuan obat trradisional didapatkan
itu seebagian maasyarakat di kedua desaa mengetahu
ui tumbuhaan berkhasiaat obat dari
dukuun atau yangg disebut deengan orangg tua-tua. Oleh
O
karena itu, sumberrdaya alam
terseebut perlu dipertahaankan agaar tetap lestari. Menurut
M
peengamatan,
keterrgantungan responden pada
p
tumbuuhan obat tidak sebesarr ketergantuungan pada
kayuu bakar, hannya beberappa jenis sajja yang diaambil dalam
m jumlah yyang cukup
besarr seperti ballacai hisa, pule,
p
turi, daan kumis ku
ucing.
Bagian tumbuhan yang digunnakan sebaagai tumbuhhan obat tterdiri atas
delappan macam
m, yaitu: akkar, biji, buuah, daun, bunga, getah, kulit batang, dan
semuua bagian. Bagian tuumbuhan yaang paling banyak digunakan
d
yyaitu daun
sebannyak 14 jennis (48,3%) dan yang paling
p
sedik
kit yaitu baggian getah, bunga dan
selurruh bagian masing-mas
m
sing 1 jeniss (3,4%). Data
D
selengkkapnya disaajikan pada
Gam
mbar 3.

11

14
Jumlah jenis (n)

12
10
8
6
4
2
0
A
Akar

Biji

Buah

Bu
unga Daun

getah

Kullit Seluruh
bataang bagian

Bagiian tumbuhan
n

Gambaar 2 Bagiann tumbuhan obat yang dimanfaatka
d
an
Seperti peneliitian lainnyya tentang tu
umbuhan obat
o
pada suuatu masyarrakat,
umumnyaa daun meruupakan bagiian tumbuhaan yang palling banyakk digunakan
n. Hal
ini sesuai dengan pennelitian Hiddayat (2010)) yang menyyatakan bahhwa bagian daun
yang palinng banyak digunakann oleh masy
yarakat Kampung Addat Dukuh, Jawa
Barat sebesar 50% dari
d
150 jeenis tumbuh
han obat yang digunaakan. Daun
n juga
memiliki regenerasi yang tingggi untuk kem
mbali bertuunas dan tiddak membeerikan
pengaruh yang besaar terhadapp pertumbu
uhan suatu tanaman meskipun daun
Fakhrozi 20
009).
merupakann tempat fotosintesis (F

Pengam
mbilan Tum
mbuhan Ob
bat
Paada umumnyya masyarakkat mencarii tumbuhan obat di huttan berkelom
mpok
beranggottakan 2-4 orrang dan um
mumnya pen
ncarian ini dilakukan ssewaktu keg
giatan
pertanian tidak ada atau
a
sedikit yang dapat dilakukan oleh anggota keluargaa (istri
atau anak)). Pengambilan juga biisa dilakukaan sendiri teergantung jarak dari teempat
tinggal daan jenis tum
mbuhan yangg diambil. Untuk
U
tumbbuhan obat yang berhaabitus
pohon bessar bila yanng diambil bunga/buah
h/daun merreka memannjat dengan
n cara
batang poohon tersebuut dipasak dengan kay
yu atau bam
mbu setiap jjarak 50-6
60 cm
setinggi batang. Hasil pengambilan tumbuh
han obat terssebut dibaggi menurut aturan
a
mereka. Alat
A
yang digunakan untuk meengambil tuumbuhan oobat diantaranya
tambang, karung,
k
passak, golok, pisau,
p
cangk
kul dan diboo-dibo.
Pengambilan tumbuhan obat tidaak dilakukaan setiap hhari, tergan
ntung
kebutuhann. Jika adaa yang sakiit dan mem
mbutuhkan tumbuhan obat tradissional
pengambillan baru akan
a
dilakuukan. Wakttu pengambbilan dilakuukan pada pagi
sampai sore
s
hari. Tumbuhann yang diketahui
d
b
berkhasiat
obat seb
bagian
dibudidayyakan di keebun dan peekarangan masyarakat
m
t antara lainn kumis ku
ucing,
turi, balaccai hisa, giaawas, dan sirih. Persiapan bibit untuk ditannam pada kebun
k
oleh para responden
r
b
biasanya
dipperoleh darii tetangga, keluarga
k
daan anakan allam.

12

Pemanfaatan tumbuhan yang berlebihan di kedua desa penelitian dapat
mengancam kelestarian tumbuhan. Kecenderungan meningkatnya jumlah
penduduk dengan rata-rata pemilikan lahan yang sempit dan tingkat pendidikan
yang rendah akan menyebabkan pemanfaatan sumberdaya hutan meningkat antara
lain tumbuhan obat (Alikodra 1987).

Cara Penggunaan Tumbuhan Obat
Cara Pasca Panen
Tumbuhan yang telah diambil dari hutan, kebun atau pekarangan
kemudian dibersihkan terlebih dahulu sebelum diolah, dibersihkan lalu
dikeringkan, dan dibersihkan, dipotong-potong lalu dikeringkan. Di Desa Kubung
ada 15 jenis tumbuhan yang dibersihkan kemudian diolah, satu jenis yang
dibersihkan kemudian dikeringkan dan sepuluh jenis yang dibersihkan, dipotongpotong lalu dikeringkan. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Cara pasca panen tumbuhan obat
Cara pasca panen
Dibersihkan
Dibersihkan lalu dikeringkan
Dibersihkan, dipotong-potong lalu dikeringkan

Jumlah jenis setiap desa
Desa Kubung

Desa Tawa
15
1
10

12
1
7

Cara Pengolahan
Cara pengolahan dalam penggunaan tumbuhan obat yang dilakukan
masyarakat di kedua desa penelitian terdapat sepuluh cara, yaitu direbus,
ditumbuk, diseduh, dikukus, dipilin, dicacah, dilayukan/dipanggang, diremas,
digiling, dan tanpa pengolahan. Pengolahan jenis tumbuhan obat dengan cara
direbus merupakan cara yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat (Desa
Kubung 14 jenis dan Desa Tawa 11 jenis). Sedangkan cara pengolahan tumbuhan
obat yang paling sedikit digunakan adalah; dikukus, dicacah,
dilayukan/dipanggang, dan digulung (masing-masing 1 jenis), karena jenis
penyakit yang dapat diobati dengan cara-cara tersebut tidak sering dialami
masyarakat (misalnya, pengobatan mimisan dengan menggulung daun sirih dan
selanjutnya disumbatkan pada hidung yang berdarah). Data selengkapnya
mengenai cara pengolahan tumbuhan obat yang dilakukan masyarakat pada kedua
desa penelitian disajikan pada Tabel 3.

13

Tabel 3 Cara pengolahan tumbuhan obat
No

Cara pengolahan

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Direbus
Ditumbuk
Diseduh
Dikukus
Dipilin
Dicacah
Dilayukan/dipanggang
Digulung
Digiling
Tanpa pengolahan

Jumlah jenis tiap desa
Desa Kubung

Desa Tawa
14
7
4
1
2
2
1
1
2
2

11
6
4
1
2
1
1
1
2
2

Cara Pemakaian
Cara pemakaian dalam penggunaan tumbuhan obat yang dilakukan
masyarakat terdapat delapan cara, yaitu; ditempelkan, dioleskan, diminum, untuk
berkumur, dibalurkan, untuk keramas, dimakan dan disumbatkan. Pemakaian jenis
tumbuhan obat dengan diminum merupakan cara yang paling banyak dilakukan
oleh masyarakat (masing-masing desa delapan jenis) sedangkan pemakaian
tumbuhan obat dengan cara dibalurkan, untuk keramas, dimakan, dan
disumbatkan paling sedikit (masing-masing satu jenis). Data selengkapnya
mengenai cara pemakaian tumbuhan obat yang dilakukan masyarakat disajikan
pada Tabel 4.
Tabel 4 Cara pemakaian tumbuhan obat
No
1
2
3
4
5
6
7
8

Cara pemakaian
Ditempelkan
Dioleskan
Diminum
Untuk berkumur
Dibalurkan
Untuk keramas
Dimakan
Disumbatkan

Jumlah jenis tiap desa
Desa Kubung

Desa Tawa
8
6
14
5
1
1
1
1

8
5
11
4
1
1
1
1

Kelompok Tumbuhan Penghasil Anyaman dan Kerajinan
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara diketahui ada enam jenis
anyaman dan kerajinan dengan berbagai bentuk, ukuran, dan fungsi (Gambar 4).
Anyaman dan kerajinan yang dibuat oleh masyarakat di kedua desa ada tujuh jenis
yaitu saloi/bika, sosiru, katu, tikar, sosapu, totodu/sarua, dan tatak. Hasil produk
tersebut digunakan hanya utuk keperluan konsumtif saja tidak untuk di jual,

14

namun bila ada yang ingin membeli masyarakat baru akan menjual. Masyarakat
biasanya menjual produk mereka di desa setempat.
Pengambilan tumbuhan untuk bahan anyaman dan kerajinan dilakukan
secara berkelompok terdiri dari 4-6 orang. Biasanya masyarakat yang satu
mengajak masyarakat lainnya untuk mengambil tumbuhan tersebut. Pembuatan
anyaman dan kerajinan dilakukan sesuai kebutuhan. Responden yang
memanfaatkan HHBK sebagai kerajinan rata-rata bermata pencaharian sebagai
petani dengan tingkat pendidikan dari jenjang SD hingga SMP. Hal ini disebabkan
karena jenis-jenis HHBK tersebut mudah ditemukan di hutan dan kebun
masyarakat dan petani cenderung lebih mengenal jenis HHBK tersebut. Hasil
anyaman dan kerajinan serta jumlah pemanfaat disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Jenis tumbuhan dan produk kerajinan
Jenis tumbuhan
Rotan dan bambu
Sagu dan bambu
Pandan dan bambu
Aren

Produk anyaman & kerajinan

Jumlah pemanfaat (orang)
Desa Kubung

Saloi (bika) dan sosiru
Katu
Totodu/sarua, tatak dan tikar
Sosapu

Jumlah

Desa Tawa

2
3
2
5

2
2
1
2

12

7

Karakteristik Anyaman dan Kerajinan
Saloi atau Bika
Saloi atau bika merupakan anyaman khas di Desa Kubung dan Tawa yang
digunakan sebagai alat untuk membawa kayu bakar, sayuran, buah-buahan atau
pakaian yang telah dicuci di sungai. Saloi atau bika yang berukuran besar
biasanya digunakan untuk membawa kayu bakar, sedangkan yang berukuran kecil
biasanya digunakan untuk membawa hasil-hasil kebun seperti sayuran dan buahbuahan serta pakaian yang telah dicuci di sungai. Saloi atau bika berbentuk seperti
bakul namun berukuran besar dengan permukaan atas bulat besar. Bahan dari
saloi/bika adalah rotan dan bambu. Saloi/bika yang berukuran sedang dibuat
dengan anyaman yang rapat sedangkan saloi/bika yang berukuran besar dibuat
dengan anyaman tidak rapat, bahkan celah batang anyaman cenderung besar. Alat
ini juga dilengkapi dengan kain di sisi yang berlawanan (kanan-kiri) yang
berfungsi sebagai tali, untuk disangkutkan ke bahu (Gambar 4a).
Sosiru
Sosiru merupakan anyaman yang digunakan untuk menampi beras, juga
dapat digunakan untuk alas menjemur kerupuk, tumbuhan obat, nasi sisa, dan
sebagainya. Sosiru berbentuk bulat yang terbuat dari rotan dan bambu (Gambar
4b).

15

Katu
Kaatu merupaakan kerajiinan yang berfungsi sebagai attap rumah atau
paparisa (rumah
(
kebuun). Katu terbuat
t
dari daun saguu dan bambu yang dian
nyam
mengunakkan tali yangg terbuat daari bambu (G
Gambar 4c)).
Totodu attau Sarua
Tootodu atau Sarua yangg terbuat dari
d
daun pandan dan bambu di Desa
Kubung dan
d Tawa berbeda.
b
D desa Taw
Di
wa lebih banyak mem
mbuat topi yang
terbuat daari pandan yang
y
disebutt dengan To
otodu. Totodu dapat diipakai oleh kaum
laki-laki dan
d kaum peerempuan, bila
b merekaa pergi ke kebun
k
atau kke laut (nelayan)
untuk melindungi diiri dari pannas terik matahari.
m
Selanjutnya ddi Desa Ku
ubung
disebut deengan sarua,, yaitu topi yang terbuaat dari bambbu. Selain uuntuk melind
dungi
diri dari teerik mataharri juga untuuk melindun
ngi diri dari hujan (Gam
mbar 4d).
Tikar
Tikkar merupakkan kerajinnan dari dau
un pandan yang
y
digunaakan sebagaai alas
tempat tiddur, tempaat duduk, dan
d
sholat. Pola anyaaman tikar di kedua desa
penelitian sama, nam
mun di Desaa Tawa, dau
un pandan yang
y
digunnakan lebih lebar
dari Desa Kubung.
Sosapu
uat dari tulaang daun arren yang diisebut
Sosapu adalahh kerajinan yang terbu
d ijuk aren yang diseebut dengann sosapu goomutu. Ijuk
k aren
dengan soosapu lidi dan
dikedua desa juga dibbuat tali sebbagai pengik
kat tiang-tiaang rumah kkebun (paparisa)
maupun tiiang untuk tempat
t
jemuuran (Gamb
bar 4e).
Tatak
Taatak adalah wadah yaang terbuatt dari daunn pandan, lengkap deengan
penutupnyya sebagai tempat
t
sirihh dan pinan
ng, selain ittu juga bisaa sebagai teempat
rempah-reenpah sepertti bawang, kencur,
k
kun
nyit dan lainn-lain (Gam
mbar 4f).

a. salloi

c. katu

b. sosiru

e

d. tottodu

e. sosaapu

f. tatak

nan Desa Kuubung dan T
Tawa
Gambar 3 Anyaman dan kerajin

16

Kelompok Tumbuhan Penghasil Pangan
Kelompok tumbuhan penghasil pangan banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat desa Kubung dan Tawa. Sebagian besar masyarakat memanfaatkan
tumbuhan pangan dari bagian buah, daun, batang, biji, dan kulit biji tergantung
jenis yang dimanfaatkan. Penggunaan tumbuhan pangan ini antara lain dengan
cara dimakan langsung buahnya, dibuat sayur dan campuran bumbu masakan.
Pengambilan tumbuhan penghasil pangan biasanya dilakukan sesuai kebutuhan.
Banyak jenis buah-buahan yang dibudidayakan di kebun masyarakat maupun di
pekarangan. Sagu adalah jenis tumbuhan yang banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat di kedua desa.
Sagu merupakan salah satu makanan sekunder di kedua desa penelitian.
Biasanya sagu diperoleh dari hutan maupun kebun masyarakat dan dimanfaatkan
untuk kebutuhan komsumtif, namun tidak jarang juga masyarakat menjualnya di
desa setempat. Olahan tepung sagu biasanya dijadikan makanan yang disebut
dengan popeda, baku dan sinole. Selain itu tepung sagu juga diolah menjadi kue
atau jajanan seperti cucurut dan berengkes.
Salah satu HHBK yang banyak digunakan oleh masyarakat juga adalah
aren atau saguer. Saguer atau aren banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan
konsumtif dan komersial. Hasil produk olahan saguer adalah alkohol atau disebut
cap tikus, kolang-kaling, dan gula merah. Produk olahan cap tikus di desa Tawa
banyak diolah untuk dijual di desa setempat dan di luar desa. Tradisi minum tuak
di masyarakat Desa Tawa sangat kental, berbeda dengan masyarakat Desa
Kubung yang tidak mengolah saguer karena masyarakatnya beragama Islam.
Kolang-kaling dan gula merah dibuat untuk kebutuhan konsumsi dan juga dijual
di desa setempat. Dari hasil wawancara rata-rata semua responden menggunakan
tumbuhan penghasil pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka seharihari baik untuk dikonsumsi maupun dijual. Untuk kebutuhan pangan masyarakat
ada yang mengambil sendiri di kebun dan ada juga yang dilakukan secara
berkelompok seperti pengambilan sagu di hutan.

Kelompok Tumbuhan Hias
Tumbuhan hias bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia terutama
etnis tradisional mungkin masih dianggap sebagai kebutuhan sekunder bahkan
tersier karena kebutuhannya tidak sepenting kebutuhan terhadap sandang, pangan,
dan papan. Tumbuhan hias cukup identik dengan kemapanan tingkat ekonomi
seseorang artinya semakin mapan tingkat ekomoninya biasanya tingkat perhatian
dan pemanfaatan akan tumbuhan hias juga akan semakin besar. Akan tetapi
masyarakat di kedua desa penelitian tidak terlalu banyak mengenal dan
memanfaatkan tumbuhan sebagai tumbuhan hias.
Pemanfaatan tumbuhan sebagai tumbuhan hias paling banyak dilakukan
oleh wanita dibandingkan dengan laki-laki, hal ini mengingat wanita lebih
memperhatikan aspek estetika. Dari hasil penelitian rata-rata responden wanita di
kedua desa penelitian memanfaatkan anggrek, wedelia, dan tapak dara sebagai
tumbuhan hias. Ada juga beberapa tumbuhan yang dijadikan tumbuhan peneduh

17

seperti gora mawar, goriodo, namo-namo, dan tombi-tombi adalah jenis tumbuhan
yang dimanfaatkan sebagai tumbuhan hias atau peneduh (Tabel 6).
Tabel 6 Pemanfaatan tumbuhan hias atau peneduh
No

Nama Ilniah

Famili

Manfaat/kegunaan

Spathoglottis plicata

Orchidaceae

Penghias halaman

2

Nama lokal
Anggrek
hutan
Cinga-cinga

Wedelia trilobata (L.) Hitchc

Asreraceae

Penghias halaman

3

Gora mawar

Eugenia jambos Linn

Myrtaceae

Peneduh

4

Goriodo

Spondias pinnata Kurz

Anacardiaceae

Peneduh

5

Namo-namo

Cynometra cauliflora Linn

Leguminaceae

Peneduh

6

Tapak dara

Apocynaceae

Penghias halaman

7

Tombi-tombi

Catharanthus roseus L.
Flacourtia inermis Roxb. Var.
inermis

Fabaceae

Peneduh

1

Kelompok Tumbuhan Penghasil Kayu Bakar
Kayu bakar merupakan hasil hutan bukan kayu (non timber) yaitu bagian
kayu yang tidak untuk pertukangan, seperti ranting, akar dan lain-lain
(Chamberlain et al 1998). Kayu bakar merupakan sumberdaya yang penting bagi
masyarakat yang tidak memiliki sumber energi lain seperti listrik, minyak tanah
atau gas. Kayu bakar termasuk energi konvensional yang sifatnya dapat
diperbaharui melalui cara permudaan dan teknik budidaya (Nurhayati 2002).
Kayu bakar dapat diperoleh dengan mudah dan tidak memerlukan biaya yang
mahal atau bahkan tidak memerlukan biaya apapun. Masyarakat di lokasi
penelitian memanfaatkan kayu bakar sebagai sumber energi yang murah. Kayu
bakar menjadi sumber bahan bakar yang penting.
Kayu bakar masih banyak digunakan sebagai sumber energi khususnya di
rumah tangga dan industri rumah di pedesaan (Dwiprabowo 2010). Kebutuhan
kayu bakar untuk aktivitas keseharian seperti memasak makanan, memasak air,
dan menyetrika pakaian bagi sebagian besar masyarakat desa Kubung dan Tawa
sangat besar. Besarnya kebutuhan energi tersebut dikarenakan lokasi desa yang
terletak jauh di dalam hutan yang belum terjangkau oleh listrik. Kondisi ini
berbeda dengan Desa Tawa yang memiliki penerangan jalan (listrik pemerintah),
namun kayu bakar tetap menjadi pilihan utama karena sumber energi lain
harganya kurang terjangkau dan sulit didapatkan.
Dalam memperoleh kayu bakar responden menggunakan cara memungut
dan memangkas. Menurut Dewi (1994) cara memperoleh kayu bakar berdasarkan
teknik pengambilannya dibedakan menjadi memungut kayu kering (rantingranting) yang jatuh di bawah tegakan (lantai hutan), memanjat, dan mengambil
dengan galah, memanfaatkan pohon tumbang dengan memotong ranting dan
cabang, serta menebang pohon. Ketersediaan kayu bakar di sekitar lingkungan
tempat tinggal juga menjadi kemudahan lain dalam memperoleh sumberdaya ini.
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa lokasi pengambilan kayu bakar
adalah kebun dan hutan. Masyarakat juga mengambil semua jenis kayu untuk
dijadikan kayu bakar. Tumbuhan yang sering digunakan sebagai kayu bakar
antara lain Matoa (Pometia pinnata), Nyatoh (Palaqium edule), Pala (Myristica

18

fragrans), dan Kanari (Canarium commune). Ada dua cara yang digunakan untuk
mengangkut kayu bakar yaitu dipikul dan digendong. Tempat yang digunakan
untuk menyimpan kayu bakar yang mereka peroleh yaitu di pekarangan dan di
dalam rumah (bawah tungku masak).

Kelompok Hewan Buru
Potensi hewan buruan di sekitar kawasan hutan tempat mereka tinggal
masih terbilang banyak. Pemanfaatan hewan buruan sebagian untuk konsumsi,
jual dan untuk menghindari kerusakan yang di timbulkan oleh satwa liar.
Beberapa jenis satwa liar yang diburu oleh responden di Desa Kubung dan Desa
Tawa, yaitu Babi hutan (Sus barbatus), Rusa (Cervus sp), dan Monyet Bacan
(Macaca nigra), seperti yang disajikan pada Gambar 5.

      a. Babi hutan

b. Rusa

c. Monyet Bacan

Gambar 4 Jenis hewan yang diburu oleh masyarakat.
Semua jenis satwa liar ini masih ditemukan di kawasan hutan, walaupun
sebagian di antaranya sudah langka masyarakat masih sering berburu satwa liar
tersebut sebagai alternatif sumber pemenuhan protein dan untuk menghindari
kerusakan yang ditimbulkan oleh satwa liar. Di desa Kubung, berburu Babi hutan
(Sus barbatus) hanya dilakukan untuk menghindari kerusakan yang ditimbulkan
oleh Babi hutan.
Kegiatan berburu yang dilakukan oleh responden secara berkelompok 2-4
orang menggunakan anjing dan tombak. Biasanya dengan menggunakan cara ini
hasil yang didapat lebih cepat dan tidak memerlukan biaya yang banyak. Anjing
yang dibawa ke dalam hutan bertujuan untuk mencium bau mangsa. Pada saat
anjing telah menyalak itu menandakan bahwa hewan mangsa sudah terlihat
olehnya, dengan begitu pemburu dapat menangkap hewan buruan dengan
menggunakan tombak yang digunakan untuk melemahkan hewan buruan tersebut.
Satwa liar hasil buruan yang diperoleh diantaranya ada yang hanya dikonsumsi
saja dan ada juga yang dijual. Jika hasil buruan hanya sedikit cukup dijual di
masyarakat desa setempat.
Hewan tersebut biasanya diburu pada saat malam hari. Frekuensi berburu
pada setiap responden berbeda-beda. Beberapa responden ada yang berburu
dengan teratur setiap 1 kali seminggu, ada yang sebulan sekali dan ada juga yang
berburu pada saat dibutuhkan (jarang berburu).

19

Jenis satwa liar Monyet Bacan (Macaca nigra) dan Rusa (Cervus sp.)
merupakan jenis satwa liar yang dilindungi oleh negara. Monyet Bacan
merupakan jenis satwa liar yang termasuk dalam daftar IUCN yang tergolong
Vulnerable (rentan) dan termasuk dalam daftar spesies Apendix II dalam CITES.
Rusa juga termasuk dalam daftar spesies Vulnerable dalam IUCN dan jenis satwa
liar yang dilindungi negara berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999 tentang pengawetan
jenis tumbuhan dan satwa.
Pemanfaatan masyarakat yang tinggi dan secara terus-menerus terhadap
satwa liar yang termasuk dalam kategori rentan dan yang dilindungi oleh negara
tersebut dapat berdampak negatif terhadap keberadaan satwa liar yang dapat
mengakibatkan kepunahan. Berburu satwa liar yang dilakukan oleh masyarakat
dilakukan tanpa adanya izin resmi sehingga masyarakat pun dapat secara bebas
melakukan pemburuan satwa liar. Oleh karena itu pengelolaan cagar alam telah
membuat himbauan berupa plang dan poster untuk mencegah perburuan dan
pemanfaatan satwa liar yang dilindungi oleh negara. Namun meski demikian,
masyarakat masih tetap melakukan perburuan terhadap satwa liar meski peraturan
tentang perburuan satwa liar telah dibuat.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pola Pemanfaatan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat yang memanfaatkan
HHBK berumur mulai 26-67 tahun, dengan tingkat pendidikan terakhir SD, SMP,
SMA dan pekerjaan sebagai petani, pedagang, nelayan dan buruh. Pemanfaatan
HHBK dilihat dari kelompok umur di kedua desa tidak terdapat perbedaan yang
berarti. Masing-masing responden termasuk dalam kelompok umur produktif
(Lampiran 1). Pada Desa Kubung dapat dilihat pada tingkat umur 36-45 tahun dan
di Desa Tawa tersebar pada tingkat umur 26-35 dan 46-55 tahun. Hal ini
disebabkan karena di Desa Kubung dengan tingkat umur 36-45 lebih banyak
memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang tumbuhan. Pada umur 46-55 tahun
responden di Desa Tawa menganggap menggunakan obat-obat tradisional
merupakan langkah paling efektif untuk mengobati suatu penyakit tertentu
dibandingkan berobat ke suatu rumah sakit yang memerlukan biaya besar. Mereka
lebih memahami pengobatan suatu penyakit secara tradisional yang diperoleh
secara turun temurun. Responden juga memiliki pengetahuan tumbuhan yang
bermanfaat sebagai pangan untuk kebutuhan sehari-hari. Hal ini terkait dengan
lapangan pekerjaan dan aktivitas responden yang memiliki pengaruh dalam
pemanfaatan HHBK.
Dilihat pada tingkat pendidikan dan pekerjaan tidak ada perbedaan antara
Desa Kubung dan Tawa dalam hal pemanfaatan kelompok HHBK. Responden
dengan tingkat pendidikan terakhir SD dan pekerjaan sebagai petani lebih banyak
memanfaatkan ke enam kelompok HHBK. Hal ini disebabkan karena resp