Studi Kasus Patologi Hernia Diafragmatika pada Kucing

ABSTRAK
M JAMI RAMADHAN. Studi Kasus Patologi Hernia Diafragmatika pada
Kucing. Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH.
Seekor kucing ditemukan dalam keadaan yang kritis. Gejala klinis yang
terlihat antara lain adanya perlukaan pada kulit, exophtalmus, anoreksia, kaheksia,
dispnoe, anemia, konstipasi dan dehidrasi berat. Pengobatan telah dilakukan
namun kucing gagal mengalami persembuhan. Radiografi menunjukkan garis
diafragma tidak terlihat disertai adanya perpindahan organ abdomen ke dalam
rongga thoraks. Pada pengamatan patologi anatomi terlihat bahwa diafragma
mengalami kelainan. Secara umum lesio kongesti dan yang menyertainya
ditemukan pada pengamatan histopatologi pada jantung, paru-paru, hati, ginjal,
limpa, linfonodus, dan otak. Lesio pada beberapa organ tersebut muncul akibat
perpindahan saluran pencernaan dan sebagian hati ke dalam rongga thoraks
karena adanya tekanan negatif. Oleh sebab itu jantung dan paru-paru tidak dapat
bekerja normal yang memicu kematian akibat gagal jantung kongestif.
Kata kunci: hernia diafragmatika pada kucing, penyakit kucing, patologi kucing,
anomali diafragma

ABSTRACT
M JAMI RAMADHAN. Case Report of Diaphragmatic Hernia in Cat. Supervised
by SRI ESTUNINGSIH.

A cat was found with several critical conditions such as skin ulceration,
exophthalmus, anorexia, cachexia, dyspnoe, anemia, constipation, and severe
dehydration. The cat was well-treated with some medications but it failed.
Radiographs show that diaphragm line was not seen with some abdominal
contents displacement into the thoracic cavity. Necropsy study revealed many
lesions in characteristic of congenital diaphragmatic hernia due to diaphragm
anomalies. Histopathologically, congestion and other lesions were found in heart,
lungs, liver, kidneys, spleen, lymph node, and brain. Those lesions were found
due to negative pressure effect which moved the intestine and a part of liver into
the thoracic cavity. Therefore, the heart and lungs could not work normal then
consequence of the death was caused by congestive heart failure.
Keywords: diaphragmatic hernia in cat, cat disease, cat pathology, diaphragm
anomalies

STUDI KASUS PATOLOGI
HERNIA DIAFRAGMATIKA PADA KUCING

M. JAMI RAMADHAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Kasus Hernia
Diafragmatika pada Kucing adalah benar karya saya dengan arahan dari
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2013

M. Jami Ramadhan
NIM B04080178

ABSTRAK

M JAMI RAMADHAN. Studi Kasus Patologi Hernia Diafragmatika pada
Kucing. Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH.
Seekor kucing ditemukan dalam keadaan yang kritis. Gejala klinis yang
terlihat antara lain adanya perlukaan pada kulit, exophtalmus, anoreksia, kaheksia,
dispnoe, anemia, konstipasi dan dehidrasi berat. Pengobatan telah dilakukan
namun kucing gagal mengalami persembuhan. Radiografi menunjukkan garis
diafragma tidak terlihat disertai adanya perpindahan organ abdomen ke dalam
rongga thoraks. Pada pengamatan patologi anatomi terlihat bahwa diafragma
mengalami kelainan. Secara umum lesio kongesti dan yang menyertainya
ditemukan pada pengamatan histopatologi pada jantung, paru-paru, hati, ginjal,
limpa, linfonodus, dan otak. Lesio pada beberapa organ tersebut muncul akibat
perpindahan saluran pencernaan dan sebagian hati ke dalam rongga thoraks
karena adanya tekanan negatif. Oleh sebab itu jantung dan paru-paru tidak dapat
bekerja normal yang memicu kematian akibat gagal jantung kongestif.
Kata kunci: hernia diafragmatika pada kucing, penyakit kucing, patologi kucing,
anomali diafragma

ABSTRACT
M JAMI RAMADHAN. Case Report of Diaphragmatic Hernia in Cat. Supervised
by SRI ESTUNINGSIH.

A cat was found with several critical conditions such as skin ulceration,
exophthalmus, anorexia, cachexia, dyspnoe, anemia, constipation, and severe
dehydration. The cat was well-treated with some medications but it failed.
Radiographs show that diaphragm line was not seen with some abdominal
contents displacement into the thoracic cavity. Necropsy study revealed many
lesions in characteristic of congenital diaphragmatic hernia due to diaphragm
anomalies. Histopathologically, congestion and other lesions were found in heart,
lungs, liver, kidneys, spleen, lymph node, and brain. Those lesions were found
due to negative pressure effect which moved the intestine and a part of liver into
the thoracic cavity. Therefore, the heart and lungs could not work normal then
consequence of the death was caused by congestive heart failure.
Keywords: diaphragmatic hernia in cat, cat disease, cat pathology, diaphragm
anomalies

STUDI KASUS PATOLOGI
HERNIA DIAFRAGMATIKA PADA KUCING

M. JAMI RAMADHAN

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Studi Kasus Patologi Hernia Diafragmatika pada Kucing
Nama
: M. Jami Ramadhan
NIM
: B04080178

Disetujui oleh

Dr drh Sri Estuningsih, MSi APVet
Pembimbing


Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS PhD APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2012 ini ialah studi
kasus patologi penyakit pada hewan, dengan judul Studi Kasus Patologi Hernia
Diafragmatika pada Kucing.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr drh Sri Estuningsih, MSi APVet
selaku pembimbing skripsi atas ilmu, waktu, dukungan, motivasi, dan kesabaran
yang telah diberikan selama ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
ibu, ayah, kedua kakak, dan keluarga besar atas segala doa dan kasih sayangnya.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang-orang yang
mendukung dan membantu penulis dalam menyusun skripsi: Mbak Kiki, Bibi,

Pak Sholeh, dan seluruh staf Bagian Patologi FKH IPB. Sahabat-sahabat
tersayang di Jakarta (Astriany, Niken, Dina D., Nopi, Danya, Ken, Ikhsan, Lia,
Arief, Phinanthie, Titis, Teresa, Shadu, Tika), Paguyuban tersayang (Intan, Mutia,
Susi, Ridwan, Tegar, Abdillah, Hafiz, Aji, Friska, Fatma, Farah, Cupu, Widia,
Awan, Chandra, Rizal, Dian), Tim Kesekretariatan Kurban & NZC 2012 (Afdi,
Zhaviera, Rahmah, Made, Khansaa, Marlina), Desrayni, Bolas, dan GPC atas
semangat, bantuan, nasihat, dan dukungannya, asisten praktikum Patsis II (2012),
serta seluruh sahabat Avenzoar dan nama-nama yang tidak bisa penulis
cantumkan satu persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2013
M. Jami Ramadhan

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR

i
iii


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan

1

Manfaat

1

METODE

2


Waktu dan Tempat

2

Bahan

2

Alat

2

Nekropsi

2

Pemeriksaan Patologi Anatomi

2


Fiksasi

2

Pembuatan Preparat Histopatologi

3

HASIL

3

Riwayat Kasus

3

Gejala Klinis

4


Pengamatan Patologi Anatomi

5

Pengamatan Histopatologi

10

Jantung

10

Paru-paru

11

Hati

16

Limpa

17

Limfonodus

20

Ginjal

21

Otak

25

PEMBAHASAN

28

Gejala Klinis

28

Keadaan Luar Tubuh

29

Keadaan Dalam Tubuh

29

Lesio pada Organ

31

Jantung

31

Paru-paru

31

Hati

33

Ginjal

33

Usus

35

Limpa

35

Limfonodus

35

Otak

36

Patogenesis

37

SIMPULAN

38

DAFTAR PUSTAKA

38

LAMPIRAN

41

RIWAYAT HIDUP

44

DAFTAR GAMBAR
1

Radiogram daerah thoraks

4

2

Patologi anatomi tubuh kucing sebelum nekropsi

5

3

Patologi anatomi keadaan wajah kucing

5

4

Patologi anatomi organ abdomen dalam rongga thoraks

5

5

Patologi anatomi organ rongga thoraks

6

6

Patologi anatomi hati

7

7

Patologi anatomi keadaan rongga thoraks

7

8

Patologi anatomi diafragma

8

9

Patologi anatomi ginjal

8

10 Patologi anatomi usus halus

8

11 Patologi anatomi limpa

9

12 Patologi anatomi jantung sebelum diinsisi

9

13 Patologi anatomi jantung setelah diinsisi

9

14 Patologi anatomi otak

10

15 Histopatologi pembuluh darah jantung

11

16 Histopatologi otot jantung

11

17 Histopatologi atelektasis pada jaringan paru-paru

12

18 Histopatologi emfisema pada jaringan paru-paru

12

19 Histopatologi edema pada jaringan paru-paru

13

20 Histopatologi bronkhiolitis

13

21 Histopatologi hiperplasia BALT

14

22 Histopatologi infiltrasi sel-sel radang disertai sel plasma pada

14

jaringan paru-paru
23 Histopatologi penebalan septum interalveolaris

15

24 Histopatologi hemoragi disertai hemosiderin dan heart failure

15

cells
25 Histopatologi kongesti pada jaringan hati

16

26 Histopatologi sel-sel hepatosit

17

27 Histopatologi deplesi folikel pada jaringan limpa

18

28 Histopatologi hemoragi pada pulpa putih limpa

18

29 Histopatologi trabekula dan ellipsoid pada jaringan limpa

19

30 Histopatologi kongesti pada jaringan pulpa merah limpa

19

31 Histopatologi deplesi folikel limfoid pada jaringan limfonodus

20

32 Histopatologi kongesti pembuluh darah pada jaringan

21

limfonodus
33 Histopatologi mikrokista pada bagian korteks jaringan ginjal

22

34 Histopatologi korteks ginjal

22

35 Histopatologi degenerasi hidropis dan degenerasi lemak pada

23

tubulus
36 Histopatologi infiltrasi sel radang dan endapan hyalin pada

23

tubulus
37 Histopatologi nekrosa tubuli dan pembuluh darah yang sangat

24

berdilatasi pada jaringan ginjal
38 Histopatologi medula ginjal

24

39 Histopatologi perubahan bentuk dan apoptosis pada neuron

25

40 Histopatologi gliosis pada jaringan cerebrum

26

41 Histopatologi kongesti dan edema pada jaringan cerebrum dan

26

cerebellum
42 Histopatologi edema perivaskular pada jaringan cerebrum

27

43 Histopatologi infiltrasi sel-sel mikroglia pada jaringan cerebrum

27

44 Histopatologi malacia pada jaringan cerebellum

28

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kucing merupakan salah satu hewan kesayangan yang umum dipelihara
oleh manusia. Kematian pada hewan ini dapat terjadi akibat beberapa hal antara
lain malformasi kongenital, trauma dan penyakit baik infeksius maupun
noninfeksius termasuk tumor. Trauma dapat terjadi secara disengaja ataupun tidak
disengaja pada hewan dan bisa menimbulkan adanya malformasi setelahnya.
Sedangkan menurut PawPeds (2012), malformasi merupakan salah satu kelainan
yang dapat diturunkan secara genetik dan juga dapat disebabkan oleh beberapa
faktor eksternal. Jika induk sakit atau terkena zat beracun selama kebuntingan
maka dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan embrio.
Malformasi kongenital yang terjadi pada kucing sebenarnya jarang terjadi.
Salah satu contoh kasus malformasi kongenital yang terjadi pada kucing adalah
hernia diafragmatika. Diafragma adalah otot yang memisahkan organ abdomen
dari jantung dan paru-paru. Udara dapat memasuki paru-paru karena adanya
tekanan negatif pada rongga thoraks. Kelainan berupa hernia diafragmatika
memungkinkan organ-organ abdomen seperti lambung, hati, dan usus masuk ke
dalam rongga thoraks akibat adanya tekanan negatif. Organ-organ ini kemudian
terpindah menempati rongga thoraks sehingga menekan paru-paru dan jantung
sehingga sulit untuk memperluas lapangan paru-paru saat mengambil napas dan
menghambat sirkulasi darah pada jantung.
Hernia diafragmatika umumnya dikenal dalam praktek hewan kecil dan
dapat terjadi akibat trauma atau kelainan yang bersifat kongenital. Penyakit yang
biasanya menyerang anjing dan kucing ini kebanyakan merupakan hasil dari
trauma, terutama akibat kecelakan kendaraan bermotor. Lokasi dan ukuran
kerobekan tergantung pada posisi asal hewan sesaat sebelum kecelakaan dan
lokasi organ yang terkena (Fossum et al. 2005). Mengingat kasus hernia
diafragmatika jarang terjadi maka studi kasus ini penting untuk dilakukan.
Tujuan Penelitian
Studi kasus ini bertujuan untuk mengetahui lesio patologi pada beberapa
organ interna baik abdomen maupun thoraks akibat penyakit hernia diafragmatika
pada kucing.
Manfaat Penelitian
Hasil studi kasus penyakit hernia diafragmatika pada kucing ini diharapkan
dapat menjadi referensi untuk kepentingan penelitian maupun tambahan
pengetahuan dokter hewan praktisi untuk hewan lain yang memiliki kasus yang
sama khususnya dalam bidang patologi veteriner.

2

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dimulai dari bulan Juli sampai September 2012. Penelitian
diawali dengan pemeriksaan patologi anatomi kucing yang diduga menderita
hernia diafragmatika kemudian organ yang mengalami lesio dijadikan sediaan
histopatologi untuk diperiksa lebih lanjut. Pembuatan histopatologi, pemeriksaan,
dan interpretasi dilakukan di Laboratorium Diagnostik Patologi dan Histopatologi,
Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan Buffer Neutral
Formalin (BNF) 10%, alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70%, 80%, 90%,
95% dan alkohol absolut), xylol, Lithium karbonat, pewarna Hematoxillin Mayer,
pewarna Eosin, parafin Histoplast®, dan Canada Balsam.
Alat
Alat yang digunakan adalah peralatan nekropsi, gelas objek, rak gelas
objek, gelas penutup, cetakan blok parafin, pinset, tissue processor, tissue
embedding console Sakura®, mikrotom Spencer®, inkubator, mikroskop cahaya
Olympus CH-1®, kamera digital, dan eye piece digital camera.
Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian yang dilakukan terdiri dari nekropsi, pemeriksaan
patologi anatomi, fiksasi, pembuatan preparat histopatologi, dan analisa
histopatologi. Lesio patologi anatomi dan histopatologi dianalisa secara deskriptif.
Penyusunan patogenesa dilakukan melalui studi literatur.
Nekropsi
Kucing yang telah mati diamati mulai dari keadaan umum luar tubuhnya
dengan memeriksa keadaan kulit dan rambut lalu keadaan mukosa lubang kumlah
mata, telinga, dan anus. Hewan diletakkan dengan bagian dorsal menempel di atas
meja untuk pelaksanaan teknik nekropsi (Lampiran 1).
Pemeriksaan Patologi Anatomi
Kucing yang sudah dinekropsi diamati lesio dan abnormalitas lain dari
jaringan eksterna serta organ interna. Semua lesio dan abnormalitas
didokumentasi dengan kamera digital.
Fiksasi
Kucing yang sudah dinekropsi dan didokumentasi kemudian beberapa
organ yang mengalami lesio yaitu jantung, paru-paru, hati, limpa, limfonodus,
ginjal, dan otak difiksasi dengan menggunakan larutan BNF 10%.

3
Pembuatan Preparat Histopatologi
Organ yang sudah difiksasi kemudian dipotong dengan ketebalan kurang
lebih 5 mm dan potongan tersebut dimasukkan ke dalam kaset jaringan dan
diberi label kode sampel. Potongan organ dibuat preparat histopatologi kemudian
diberi pewarnaan HE (Hematoksilin-Eosin) (Lampiran 1).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Riwayat Kasus
Signalemen
• Nama hewan
• Jenis
• Ras
• Jenis kelamin
• Umur
• Nama penemu

: Didi
: Kucing
: Siamese (campuran)
: Jantan
: 6 bulan
: Ageng Syarif Dwidzuriputra

Anamnesa
Seekor kucing ditemukan dengan keadaan sebagian tubuhnya memiliki
luka yang bernanah dan bau, bagian bantalan jari (pad) yang sudah hampir
terlepas dari bagian telapak kaki dan terdapat robekan yang dalam pada bagian
ekornya yang hampir putus karena terjadi perlukaaan yang melingkar, dan
kondisinya pun diperparah dengan keadaan dehidrasi berat. Kucing tersebut sudah
diberikan bantuan dengan penambahan cairan infus melalui daerah subkutan dan
bagian-bagian tubuhnya yang mengalami perlukaan diolesi dengan antiseptik.
Gejala klinis yang terlihat selain perlukaan yaitu anoreksia, kaheksia,
exophthalmus, anemia, konstipasi, dan dipsnoe. Bantuan untuk defekasi diberikan
setelah dibawa ke Rumah Sakit Hewan IPB yaitu dengan menggunakan bahan
pelicin berupa minyak yang dimasukan ke dalam anusnya untuk dilakukan pijatan
selanjutnya agar fesesnya dapat keluar dengan cara dipaksa. Keadaan feses keras
kadang berdarah dan berlendir. Kemudian diberikan infus menggunakan larutan
NaCl fisiologis melalui intarvena selama 4 hari.
Penemu melakukan roentgen pada Didi untuk melihat daerah thoraks dan
menghasilkan interpretasi bahwa susunan organ abdomennya sudah tidak
beraturan dengan kondisi diafragma yang hancur dan paru-paru yang sudah tidak
terlihat. Didi menderita hernia diafragmatika, namun tidak dilakukan pengujian
laboratorium untuk kasus ini dan juga tidak dilakukan operasi karena prognosanya
infausta terkait penyembuhan post-operasi.
Pemberian pakan tidak boleh banyak karena lambung yang penuh dapat
menekan paru-paru sehingga sulit bernafas, Didi diberikan pakan yang berserat
tinggi sehingga makanannya selalu dicampurkan agar-agar supaya defekasinya
mudah dan juga setiap hari diberikan Dulcolax® sehari 1 tablet. Selama 2
minggu kucing tersebut diberikan makanan recovery untuk pencernaannya
sehingga kondisinya mulai membaik. Kondisi Didi yang tidak memungkinkan

4
untuk mengalami persembuhan menyebabkan hewan tersebut akhirnya mati
dalam keadaan kolaps.
Gejala Klinis
Kucing yang diduga menderita hernia diafragmatika menunjukkan gejala
klinis yang telah disebutkan sebelumnya yaitu anoreksia, kaheksia, exophthalmus,
anemia, konstipasi, dan dispnoe. Diagnosa untuk kasus penyakit ini diperkuat
dengan bantuan radiografi (Gambar 1). Hasil roentgen menunjukkan bahwa batas
diafragma sudah tidak terlihat dan posisi organ-organ bagian abdomen tampak
berubah yaitu masuk ke dalam rongga thoraks sehingga menyebabkan marginasi
menjadi tidak jelas.

Gambar 1

Radiogram daerah thoraks. (A) Pada kesan ventrodorsal jantung
(panah) masih dapat dilihat meskipun marginasi antara batas thoraks
dan abdomen sudah tidak jelas. (B) Pada kesan lateral organ rongga
thoraks sudah tidak bisa dibedakan dengan organ dalam abdomen

5
Pengamatan Patologi Anatomi (PA)
Sebelum dilakukan tahap nekropsi, pengamatan setelah kematian
memperlihatkan bahwa kucing mengalami kiposis dan bagian flank tampak
kosong (Gambar 2). Selain itu terdapat kelainan yang menunjukkan bahwa
palpebrae yang terlihat pucat disertai kemunculan membrana nictitans disertai
exophthalmos dan pada hidung terlihat mengalami kebiruan atau sianosis
(Gambar 3).

Gambar 2

Tubuh kucing sebelum dilakukan nekropsi terlihat bahwa bentuk
punggung cekung ke atas atau kiposis (panah a) dan bagian flank
terlihat kosong (panah b)

Gambar 3

Kondisi kepala kucing pasca kematian menunjukkan wajah kucing
tampak kurus (tirus) disertai keadaan mata yang mengalami
exophthalmus (panah a) disertai dengan kemunculan membrana
nictitans dan permukaan palpebrae yang pucat (panah b), selain itu
mukosa hidung mengalami sianosis (panah c)

6
Setelah rongga thoraks dibuka, terlihat adanya perubahan situs viserum
yaitu adanya perpindahan usus halus dan sebagian hati yang masuk ke dalam
rongga thoraks dari rongga abdomen yang menyebabkan sebagian usus tersebut
mengalami sianosis (Gambar 4). Rongga thoraks terlihat berisi cairan transudat
berwarna bening kekuningan yang menandakan bahwa kucing ini mengalami
hidrothoraks. Paru-paru nampak mengalami perubahan akibat penekanan yang
dapat diduga mengalami atelectasis dan terdapat lesio pneumonia. Sedangkan
jantung mengalami kongesti hingga bagian aorta (Gambar 5). Sebagian hati yang
masuk ke dalam rongga thoraks mengalami perubahan seperti kongesti yang
disertai dengan adanya kompresi tulang rusuk pada permukaan organ yang biasa
disebut dengan rib impressions (Gambar 6). Selain mengalami hidrothoraks, dapat
dilihat juga bahwa kucing ini mengalami hemothoraks (Gambar 7).

Gambar 4 Perpindahan sebagian besar usus dan sebagian hati ke dalam rongga
thoraks juga terdapat lesio sianosis pada sebagian usus (tanda panah)

Gambar 5 Akumulasi cairan terdapat di rongga thoraks (panah a) yang disertai
dengan sebagian paru-paru yang mengalami atelektasis disertai lesio
pneumonia pada lobus cranial (panah b) dan jantung mengalami
kongesti dan dilatasi pada pembuluh darahnya (panah c)

7

Gambar 6 Hati mengalami kongesti yang disertai dengan rib impression (panah)

Gambar 7 Gumpalan darah terlihat dalam rongga thoraks (hemothoraks)
Pada daerah abdomen yang seharusnya dibatasi oleh diafragma yang utuh,
namun diafragma tidak tumbuh sempurna disertai tidak ditemukannya jaringan
ikat yang menandakan bahwa diafragma tersebut telah mengalami perlukaan
akibat trauma. Selain itu, dapat diduga kelainan ini ada sejak lahir (anomali
kongenital) yaitu diafragma kira-kira hanya tumbuh seperempat bagian menutupi
daerah abdomen (Gambar 8). Ginjal mengalami kongesti yang jelas (Gambar 9)
dan untuk usus terlihat bahwa pembuluh darahnya juga mengalami dilatasi dan
kongesti (Gambar 10).

8

Gambar 8 Diafragma yang tidak utuh (tanda panah), tidak sempuna

Gambar 9 Kongesti pada ginjal dengan pembuluh darah terlihat jelas (tanda
panah)

Gambar 10

Kongesti disertai dengan dilatasi pembuluh darah daerah
mesenterium usus terlihat jelas (tanda panah)

9
Bagian limpa yang telah disisihkan dari lambung diduga mengalami atrofi
(Gambar 11). Selain limpa, penyisihan organ juga dilakukan pada jantung dan
otak. Badan jantung normal hanya memiliki satu buah apeks, lain halnya dengan
temuan organ jantung pada kucing ini yang terlihat memiliki dua apeks setelah
diinsisi pada sulcus longitudinalis terlihat penebalan disertai dilatasi pada dinding
otot jantung (Gambar 12 dan 13). Otak yang telah diambil dari kepala mengalami
kongesti dan dilatasi pada pembuluh darahnya (Gambar 14).

Gambar 11 Limpa yang mengalami atrofi

Gambar 12 Jantung memiliki dua buah apeks (tanda panah)

Gambar 13 Penebalan disertai dilatasi dinding otot jantung

10

Gambar 14 Kongesti pada otak terlihat jelas (tanda panah)
Pengamatan Histopatologi (HP)
Pengamatan HP dilakukan untuk melihat lesio lebih detail pada jaringan
organ yang setelah sebelumnya dilakukan pengamatan PA.
Jantung
Pembuluh darah mengalami dilatasi berisi sel darah merah akibat kongesti
sehingga terjadi edema (Gambar 15). Pada jaringan jantung yang ditandai dengan
bertambahnya jarak atau lebar antar serabut otot akibat edema (Gambar 15 dan
16) selain itu terjadi degenerasi hidropis pada otot jantung (Gambar 15 dan 16).

Gambar 15 Pembuluh darah mengalami dilatasi berisi sel darah merah akibat
kongesti (tanda panah) yang disertai edema dengan adanya
degenerasi sel otot jantung, Do= degenerasi otot jantung, Edm=
edema, pewarnaan HE

11

Gambar 16 Jaringan pada otot jantung mengalami degenerasi hidropis; akumulasi
cairan di antara sel menyebabkan susunan sel menjadi tidak beraturan,
pewarnaan HE
Paru-paru
Lain halnya dengan organ paru-paru yang tidak hanya mengalami
atelektasis saja namun juga terdapat berbagai macam lesio lainnya bila diamati HP
organ tersebut. Atelektasis disertai kongesti dapat terlihat jelas keadaannya
(Gambar 17) diikuti dengan keadaan emfisema (Gambar 18), edema (Gambar 19),
bronkhiolitis (Gambar 20), kongesti disertai dengan adanya hiperplasia jaringan
limfoid (BALT) pada bronkhus (Gambar 21), infiltrasi sel-sel plasma (Gambar
22), penebalan septum interalveolar (Gambar 23), dan hemoragi yang disertai
infiltrasi hemosiderofag (Gambar 24).

12

Gambar 17

Jaringan paru-paru yang mengalami atelektasis ditandai dengan
pengkerutan pada daerah alveoli dan disertai kongesti pada
pembuluh darah di daerah sekitarnya, Atl= atelektasis, Kgs=
kongesti, pewarnaan HE

Gambar 18

Jaringan paru-paru yang mengalami emfisema ditandai dengan
adanya perluasan lumen alveoli dan disertai kongesti pada
pembuluh darah di daerah sekitarnya, Emf= emfisema, Kgs=
kongesti, pewarnaan HE

13

Gambar 19 Jaringan paru-paru yang mengalami edema ditandai dengan adanya
akumulasi cairan pada lumen alveoli dan terjadi infiltrasi sel radang
pada jaringan paru-paru, Edm= edema, pewarnaan HE

Gambar 20 Eksudat (tanda panah) dalam lumen bronkhiolus dan infiltrasi sel
radang yang didominasi oleh limfosit dan makrofag pada epitel
bronkhiolus jaringan sekitarnya merupakan penanda terjadinya
peradangan (bronkhiolitis), pewarnaan HE

14

Gambar 21 Hiperplasia jaringan limfoid (BALT) pada jaringan paru-paru (panah
a) yang disertai kongesti pada pembuluh darah (panah b), pewarnaan
HE

Gambar 22 Ditemukan sel plasma (panah hitam) pada jaringan paru-paru yang
mengalami lesio dan sel radang lain yang didominasi oleh limfosit
(panah biru) dan makrofag (panah kuning), Kgs= kongesti,
pewarnaan HE

15

Gambar 23 Penebalan septum interalveolaris pada jaringan paru-paru, Psi=
penebalan septum interalveolaris yang diisi oleh sejumlah besar sel
radang yaitu makrofag dan limfosit menandakan pneumonia,
pewarnaan HE

Gambar 24 Hemosiderin dan hemosiderofag/ heart failure cells (dalam lingkaran)
pada jaringan paru-paru yang mengalami hemoragi, pewarnaan HE

16
Hati
Perubahan HP pada organ hati yang tampak mencolok adalah kongesti.
Akibat kongesti tersebut hati membengkak dan terjadi penekanan tulang rusuk
pada organ yang meninggalkan cetakan tulang rusuk (rib impression). Rib
impression dapat memicu adanya kejadian degenerasi pada sel-sel hati (hepatosit).
Kongesti terjadi pada regio porta, vena sentralis (Gambar 25), dan sinusoid yang
disertai adanya degenerasi hepatosit (Gambar 26).

Gambar 25 Kongesti pada pembuluh darah hati, pewarnaan HE. (A) Kongesti
pada regio porta hati (panah a). (B) Sinusoid hati meluas berisi sel
darah merah (panah b)

17

Gambar 26 Degenerasi lemak disertai nekrosa (tanda panah) pada hepatosit,
pewarnaan HE
Limpa
Limpa yang mengalami atrofi dapat dilihat lebih jelas keadaan jaringannya
pada pengamatan HP. Lesio yang terjadi adalah deplesi folikel yaitu berkurangnya
populasi limfosit pada pulpa putih limpa (Gambar 27), hemoragi (Gambar 28),
jarak trabekula tampak semakin berdekatan pada bagian medula limpa (Gambar
29), dan kongesti yang disertai hipertrofi dinding pembuluh darah (Gambar 30).

18

Gambar 27

Folikel pada limpa mengalami deplesi yang ditandai dengan
berkurangnya jumlah sel dalam di dalamnya (dalam lingkaran),
pewarnaan HE

Gambar 28 Hemoragi (dalam lingkaran) pada pulpa putih ditandai dengan sel-sel
darah yang keluar dari pembuluh darah beredar ke dalam jaringan
pulpa putih limpa, pewarnaan HE

19

Gambar 29

Trabekula beserta ellipsoid (tanda panah) tampak aktif ditandai
dengan jumlahnya yang bertambah dalam jaringan medula limpa,
pewarnaan HE

Gambar 30

Kongesti pada pulpa merah limpa disertai hipertrofi dinding
pembuluh darah, pewarnaan HE. (A) Kongesti pada sinusoid
(panah a) dan pembuluh darah limpa menebal (panah b).

20
Limfonodus
Apabila dilihat secara utuh limfonodus tidak dapat menunjukkan lesio
yang mudah dikenal oleh karena itu dilakukan pengamatan HP. Lesio yang dapat
terlihat antara lain deplesi folikel limfoid (Gambar 31), dan kongesti (Gambar 32).

Gambar 31 Deplesi folikel limfoid pada limfonodus (panah a) dan keberadaan
folikel limfoid yang sudah hilang akibat deplesi (panah b) disertai
adanya kongesti pada bagian korteks, pewarnaan HE

21

Gambar 32

Kongesti pembuluh darah (tanda panah) pada bagian medula
limfonodus, pewarnaan HE

Ginjal
Pengamatan PA pada ginjal menunjukkan adanya kongesti yang jelas pada
pembuluh darahnya namun tidak hanya itu pada pengamatan HP. Lesio yang
ditemukan yaitu mikrokista pada korteks yang disertai dilatasi tubulus dan
glomerulus pada jaringan tersebut (Gambar 33), lebih dalam lagi terdapat endapan
hyalin, kongesti, degenerasi tubulus distal dan proksimal, penebalan dinding
pembuluh darah (Gambar 34), degenerasi hidropis dan degenerasi lemak jelas
terlihat pada tubulus (Gambar 35), adanya infiltrasi sel radang pada glomerulus
dan tubulus yang disertai temuan hyalin dalam tubulus yang sudah nekrosa
(Gambar 36), nekrosa tubulus disertai dengan temuan pembuluh darah yang
sangat berdilatasi (Gambar 37), dan temuan kongesti pada medula disertai
jaringan tubulus di sekitarnya yang mengalami edema (Gambar 38).

22

Gambar 33 Mikrokista terlihat pada bagian korteks disertai adanya perubahan
pada jaringan yaitu dilatasi tubulus (panah a) dan glomerulus (panah
b), Mkst= mikrokista, pewarnaan HE

Gambar 34 Keadaan korteks ginjal lebih dalam lagi terdapat endapan hyalin pada
interstisium (panah a), degenerasi tubulus distal (panah b), kongesti
(panah c), (degenerasi tubulus proksimal (panah d), dan dinding pada
pembuluh darah mengalami penebalan (panah e), pewarnaan HE

23

Gambar 35 Degenerasi hidropis (panah a) dan degenerasi lemak (panah b) pada
tubulus terjadi, pewarnaan HE

Gambar 36 Infiltrasi sel radang yang didominasi limfosit pada glomerulus dan
tubulus (panah a) disertai endapan hyalin dalam tubulus yang sudah
mengalami nekrosa (panah b), pewarnaan HE

24

Gambar 37 Nekrosa pada sebagian jaringan tubulus (panah a) dan salah satu
pembuluh darah pada jaringan sangat berdilatasi (panah b),
pewarnaan HE

Gambar 38 Kongesti pada medula ginjal (dalam lingkaran) yang dikelilingi oleh
tubulus yang sudah berdegenerasi akibat edema pada sekitar daerah
tersebut, pewarnaan HE

25
Otak
Lesio yang sampai ke otak menandakan bahwa kucing ini telah menderita
hernia diafragmatika yang kronis. Lesio yang dapat ditemukan pada jaringan otak
dalam pengamatan HP antara lain degenerasi disertai apoptosis pada sel-sel
neuron (Gambar 39), gliosis (Gambar 40), kongesti (Gambar 41), edema
perivaskular (Gambar 42), infiltrasi sel-sel mikroglia (Gambar 43), dan malacia
pada jaringan otak (Gambar 44).

Gambar 39 Perubahan bentuk neuron menjadi segitiga (panah a) dan neuron yang
mengalami nekrosa tanpa disertai respon sel glia di sekitarnya
(apoptosis) (panah b), pewarnaan HE

26

Gambar 40 Reaksi sel-sel glia/ astrosit (gliosis) terhadap tiap sel neuron yang
mengalami nekrosa terjadi dalam jaringan cerebrum (dalam
lingkaran), pewarnaan HE

Gambar 41

Pada cerebellum (A) terdapat kongesti meningen (panah a) dan
kongesti yang disertai edema perivaskular (panah b). Pada
cerebrum (B) kongesti yang disertai edema submeningen (panah c)
dan kongesti yang disertai edema perivaskular, pewarnaan HE

27

Gambar 42 Edema perivaskular yang disertai kongesti pembuluh darah (tanda
panah) pada jaringan cerebrum, pewarnaan HE

Gambar 43 Infiltrasi sel-sel mikroglia hampir menyebar pada jaringan cerebrum
(tanda panah), pewarnaan HE

28

Gambar 44

Malacia pada jaringan medulla cerebellum, pewarnaan HE. (A)
Jaringan cerebellum yang mengalami malacia (dalam lingkaran).
(B) Pembesaran jaringan cerebellum yang mengalami malacia
(tanda panah)

Pembahasan
Gejala Klinis
Anamnesa yang telah didapat menyatakan kucing mengalami gejala klinis
seperti anoreksia, kaheksia, exophthalmus, anemia, konstipasi, dan dispnoe.
Gejala klinis yang ditimbulkan sesuai dengan Catcoot dan Smithcors (1996) yang
mengatakan bahwa penyakit ini menimbulkan gejala klinis termasuk dispnoe dan
terhambatnya kerja jantung. Sedangkan menurut Ettinger (1975) kejadian hernia
diafragmatika dapat menimbulkan gejala disphagia. Anoreksia dapat disebabkan
salah satunya oleh disphagia yang dapat mungkin terjadi. Konstipasi terjadi akibat
adanya perpindahan letak organ saluran pencernaan. Hal tersebut dapat sampai
mempengaruhi penyaluran makanan yang seharusnya normal menjadi lebih
lambat dan lama-kelamaan makanan yang sudah tercerna dalam usus besar seakan
tertahan dan memerlukan waktu yang sangat lama untuk pengeluarannya.
Selain itu radiografi dilakukan untuk memperkuat diagnose. Hasil
menunjukkan bahwa terdapat ketidakjelasan marginasi antara peletakan organ
pada rongga thoraks dan abdomen dalam tubuh kucing (Gambar 1). Menurut
Kealy et al. (2011), ciri-ciri utama hewan yang mengalami hernia diafragmatika
bila diamati secara radiologi antara lain: (1) bagian dari saluran pencernaan seperti
lambung, usus halus, usus besar dapat terpindah letaknya lebih cranial masuk ke
dalam rongga thoraks, (2) terdapat peningkatan opasitas pada rongga thoraks, (3)
batas garis diafragma terlihat samar-samar tergantung lokasi celah/ robekan pada

29
diafragma, (4) apabila hati mengalami hernia akan menimbulkan perubahan yang
signifikan terhadap perpindahan letak paru-paru dalam rongga thoraks. Secara
umum hal tersebut sesuai dengan radiogram namun untuk poin ke-4 dapat
dibuktikan kesesuaiannya pada saat pengamatan patologi anatomi.
Keadaan Luar Tubuh
Pengamatan setelah kematian memperlihatkan bahwa kucing mengalami
kiposis disertai bagian flank yang tampak kosong (Gambar 2). Menurut Jubb et al.
(2006), kiposis merupakan pertumbuhan abnormal/ displasia pada tulang belakang
yang menyebabkan bagian dorsal tubuh mengalami kelengkungan. Selain itu
dapat diduga juga bahwa kiposis merupakan kelainan yang merupakan bawaan
sejak hewan dalam masa fetus yang terbentuk akibat massa organ abdomen yang
tertahan dalam rongga thoraks. Sedangkan usus halus yang biasa menempati
daerah flank telah terpindah masuk ke dalam rongga thoraks akibat hernia
sehingga menyebabkan flank tampak kosong.
Kelainan lain menunjukkan wajah kucing terlihat kurus (tirus) akibat
anoreksia yang disertai kemunculan membrana nictitans disertai keadaan
palpebrae yang terlihat pucat dan exophthalmos. Pada hidung terlihat mengalami
kebiruan atau sianosis (Gambar 3). Wajah kucing yang terlihat tirus sebagai
penanda bahwa kucing ini mengalami kaheksia yang merupakan dampak
anoreksia yang telah diderita oleh kucing sebelum kematian. Palpebrae yang
tampak pucat merupakan akibat dari anemia yang dapat disebabkan oleh
terhambatnya kerja jantung, hal ini sesuai dengan pernyataan Catcoot dan
Smithcors (1996) bahwa gejala klinis yang ditimbulkan dari hernia diafragmatika
antara lain dispnoe dan terhambatnya kerja jantung.
Membrana nictitans yang muncul dapat diduga sebagai respon tubuh
terhadap keadaan kucing yang mengalami dehidrasi berat. Sedangkan pada bola
mata yang mengalami exophthalmus diduga disebabkan oleh kegagalan sistem
kardiovaskular sebagai akibat terhambatnya kerja jantung karena menurut Sorden
dan Watts (1996), apabila terdapat kejadian exophthalmus unilateral yang tidak
jelas terdapat trombus, benda asing atau tumor, bukti trauma, maupun edema pada
daerah orbital maka hal ini mungkin disebabkan oleh kegagalan jantung bagian
kanan yang dapat dihubungkan dengan kejadian myopathi pada otot jantung.
Mukosa hidung yang mengalami sianosis merupakan pertanda bahwa
darah yang beredar kurang oksigen. Hemoglobin yang mengikat oksigen seperti
darah dalam arteri akan berwarna merah yang secara langsung akan mewarnai
kulit berpigmen dan jaringan menjadi merah muda, sebaliknya apabila
hemoglobin tidak mengikat oksigen seperti darah dalam vena lebih banyak
berwarna kebiruan, namun apabila darah yang dialirkan tidak mengandung cukup
oksigen maka jaringan akan terlihat berwarna kebiruan (McGavin dan Zachary
2007). Sianosis yang terjadi dapat dikaitkan dengan gejala klinis yang terjadi
pada kucing ini yaitu dispnoe.
Keadaan Dalam Tubuh
Bagian thoraks hingga abdomen memperlihatkan adanya perpindahan usus
halus dan sebagian usus besar serta sebagian hati yang masuk ke dalam rongga
thoraks dari rongga abdomen (Gambar 4). Lambung terlihat dalam posisi dan
bentuk yang normal, namun sebagian dari usus halus dan hati jika dilihat dari

30
posisinya memicu adanya penekanan terhadap vena cava caudal. Kondisi ini
mempengaruhi usus halus yang mengalami sianosis. Menurut King (2004), aliran
darah pada vena cava caudal yang tertekan akan mengalami penurunan sehingga
dapat menyebabkan nekrosa pada lambung dan usus.
Rongga thoraks terlihat berisi cairan berwarna bening kekuningan yang
menandakan bahwa kucing ini mengalami hidrothoraks disertai dengan adanya
kongesti yang jelas pada bagian jantung dan paru-paru yang terlihat mengalami
atelektasis (Gambar 5). Hidrothoraks dapat terjadi akibat hipoproteinemia dan
gangguan sirkulasi di dalam tubuh. Menurut Bellah (2005), hidrothoraks dapat
terjadi apabila hernia diafragmatika bersifat kronis atau bisa juga akibat dari
penyakit yang lain. Dalam kasus ini tidak ditemukannya lesio edema umum
seperti anasarca dan ascites sehingga kemungkinan kejadian hidrothoraks pada
kucing ini disebabkan keadaan gangguan sirkulasi pada tubuh.
Gumpalan darah terlihat dalam rongga thoraks, dapat diduga selain
mengalami hidrothoraks kucing ini juga mengalami hemothoraks (Gambar 7).
Hemoragi dapat terjadi per rhexis atau diapedesis pada pembuluh darah organ dan
menurut lokasi hemoraginya terbagi beberapa jenis hemoragi yang salah satunya
adalah pada rongga thoraks yang disebut dengan hemothoraks (Chauhan 2007).
Selain itu menurut Jubb et al. (2006), kejadian hemothoraks dapat disebabkan
oleh keadaan hidrothoraks yang kronis karena dapat memicu pembuluh darah
papila pada pleura terisi cairan hingga pecah bersama darah di dalam rongga
thoraks.
Diafragma terlihat tidak utuh dan tidak menutup sempurna (Gambar 8).
Bagian diafragma yang ditemukan adalah yang terletak melekat pada bagian
dorsal batas antara rongga thoraks dan rongga abdomen. Sedangkan pada bagian
ventralnya menunjukkan pengeriputan akibat tidak adanya perlekatan otot.
Ketebalan otot diafragma bervariasi yaitu bagian tengah tampak lebih tipis, namun
tidak ditemukan bekas sobek ataupun luka trauma dan kondisi costae dan otot
intercostalis terlihat normal. Pada diafragma juga tidak ditemukan jejak
persembuhan dari luka trauma seperti cicatrix (pembentukan jaringan ikat sesudah
penyembuhan luka). Hal ini menandakan kemungkinan besar diafragma tidak
terbantuk sempurna sehingga dapat diduga diafragma mengalami anomali
kongenital. Menurut Voges et al. (1997), sebagian besar kejadian hernia dapat
terjadi akibat kelainan pada diafragma dan diperkirakan terjadi sebagai kelainan
kongenital. Jaringan otot atau kolagennya tidak tumbuh antara pleura dan
peritoneum secara sempurna sehingga diafragma tidak dapat memisahkan organ
abdomen dari jantung dan paru-paru.
Diafragma terbentuk dari penggabungan septum transversum, membran
pleuroperitoneal, lapisan mesenkhim yang mendekati bagian esofagus dan
pertumbuhan otot dari tubuh. Ketidaksempurnaan dalam penggabungan beberapa
komponen ini yang diyakini dapat mengumpulkan berbagai macam kelainan pada
diafragma (Ways 2006). Apabila diamati dapat diduga komponen septum
transversum dan sebagian lapisan mesenkhim tidak tumbuh sehingga celah pada
diafragma yang telah terbentuk cukup luas. Hal ini memicu perpindahan organ
dalam rongga abdomen ke dalam rongga thoraks terjadi dan menyebabkan
berbagai macam lesio pada organ yang mempengaruhi kelangsungan hidup kucing
sebelum kematian.

31
Lesio pada Organ
1. Jantung
Keadaan jantung secara makroskopis terlihat mengalami kongesti (Gambar
5) dan memiliki dua buah apeks (double apex) (Gambar 12). Kongesti yang terjadi
pada jantung akibat adanya penyumbatan pada pembuluh darah yang tertekan oleh
organ abdomen yang berpindah ke dalam rongga thoraks. Menurut Chauhan
(2007), salah satu penyebab kongesti adalah penyumbatan pada pembuluh darah
vena. Hal ini dapat memicu kejadian gagal jantung kongestif. Menurut McGavin
dan Zachary (2007), gagal jantung kongestif biasanya diakibatkan berkurangnya
efisiensi pemompaan darah secara bertahap terkait dengan peningkatan tekanan
dan volume darah pada jantung. Akibatnya aliran darah ke jaringan perifer
menurun dan terdapat akumulasi darah yang tertahan pada ruang jantung.
Selain itu penekanan pada jantung membuat badan jantung memiliki
double apex. Kejadian hipertrofi ventrikel kiri jantung selalu disertai dilatasi pada
lumen jantung kanan dan apabila terjadi pada bagian jantung sebelah kanan
biasanya ditandai oleh pelebaran ukuran organ. Hal ini merupakan akibat dari
lumen jantung kiri yang mengalami penyempitan (Rao 2010). Keadaan double
apex terbentuk akibat kedua lumen baik kiri dan kanan bersamaan mengalami
dilatasi sebelum mengalami kolaps. Menurut McGavin dan Zachary (2007),
hipertrofi pada miokard dipicu oleh peningkatan tekanan pada jantung sedangkan
dilatasi terjadi sebagai respon kompensasi jantung untuk meningkatkan cardiac
output namun peregangan yang melampaui batas dapat menurunkan tekanan
kontraktil sehingga kegagalan jantung terjadi. Insisi pada sulkus longitudinalis
menunjukkan hipertrofi yang disertai dilatasi pada dinding otot ventrikel kiri
jantung dan dilatasi pada lumen jantung kanan (Gambar 13). Apabila dilihat dari
lebar lumennya maka jantung kanan yang lebih berdilatasi sehingga dapat diduga
terjadi kegagalan jantung bagian kanan.
Pada histopatologi jantung ditemukan lesio kongesti dan edema disertai
dengan degenerasi otot jantung (Gambar 15 dan 16). Edema yang terjadi
merupakan akibat peningkatan tekanan hidrostatik pada vena yang mengalami
kongesti sehingga cairan masuk ke ruang insterstisium jaringan otot jantung.
Degenerasi otot jantung tersebut menurut Rao (2010) disebabkan hipertrofi yang
membuat otot jantung berdegenerasi karena ukuran yang meningkat dari otot
jantung membutuhkan pasokan nutrisi yang lebih namun tidak cukup disediakan
oleh serat otot yang disalurkan melalui pembuluh darah koroner jantung.
Penyaluran darah yang terhambat membuat metabolit yang terbentuk dalam serat
otot tidak terbuang melalui aliran darah sehingga menumpuk dan mengakibatkan
serat otot mengalami degenerasi. Otot terus bekerja sehingga menjadi hipertofi
dan serat pada otot mengalami degenerasi. Pada akhirnya kegagalan kompensasi
jantung terjadi yang membuat jantung tidak bekerja sehingga kucing ini
mengalami kematian.
2. Paru-paru
Keadaan paru-paru secara makroskopis terlihat mengalami atelektasis
disertai adanya lesio pneumonia pada lobus cranial (Gambar 5). Menurut Ettinger
(1975), lobus paru-paru tidak dapat meluas sepenuhnya saat waktu pengambilan
nafas sehingga menjadi atelektasis. Kejelasan keadaan peradangan pada sebagian
jaringan tersebut dilihat lebih lanjut keadaannya pada histopatologi organ.

32
Pada histopatologi paru-paru ditemukan lesio atelektasis (Gambar 17),
emfisema (Gambar 18), edema (Gambar 19), bronkhiolitis (Gambar 20), kongesti
dan terdapat hiperplasia BALT (Gambar 21), infiltrasi sel-sel radang disertai sel
plasma (Gambar 22), penebalan septum interalveolaris (Gambar 23), dan
ditemukan adanya hemosiderin pada jaringan (Gambar 24). Emfisema terlihat
pada sebagian jaringan paru-paru. Menurut McGavin dan Zachary (2007),
kejadian emfisema pada hewan merupakan lesio sekunder yang dihasilkan oleh
berbagai lesio pada paru-paru. Umumnya emfisema disebabkan oleh terhalangnya
aliran udara yang dipicu oleh kehadiran eksudat pada bronkhus dan bronkhiolus
sehingga udara yang sudah masuk ke dalam alveolus tidak sebanding dengan
jumlah udara yang dikeluarkan. Dalam kasus ini kejadian penghalangan aliran
udara bisa saja akibat penekanan yang terjadi pada paru-paru oleh organ abdomen
yang masuk ke dalam rongga thoraks dalam jangka waktu yang lama.
Edema terlihat pada sebagian jaringan paru-paru. Kejadian edema pada
paru-paru ini dipicu oleh kegagalan jantung kongestif. Menurut Ettinger (1975),
edema pada jaringan interstisial paru-paru umumnya juga terdapat pada kasus
hernia diafragmatika yang dapat mengakibatkan pelebaran ruang kapiler alveolar
sehingga aktifitas pertukaran oksigen dengan karbondioksida berkurang.
Bronkhiolitis ditandai dengan adanya eksudat dalam lumen bronkhiolus
dan pada dinding bronkhiolus. Menurut Rao (2010), bronkhitis kronis yang
disebabkan oleh iritasi ringan namun berulang-ulang dalam jangka waktu yang
lama dapat menyebabkan lesio pada bronkhiolus yaitu bronkhiolitis obliteran.
Bronkhiolitis obliteran ditandai dengan adanya fibrosis pada dinding epitel
bronkhiolus yang akan berkembang menjadi polip lalu menghasilkan eksudat
yang akan berbentuk polipoid ke dalam lumen. Bila dilihat dalam histopatologi
bronkhiolusnya kondisi tersebut dalam tahap akut karena eksudat yang dihasilkan
belum berbentuk polipoid namun masih mengandung neutrofil dan sel-sel debris.
Kongesti pada pembuluh darah dapat terlihat disertai dengan adanya
hiperplasia bronchial assosiated lymphoid tissue (BALT) di sekitar jaringan
tersebut dan selain itu terdapat infiltrasi dan sel-sel radang lain yang didominasi
oleh limfosit dan makrofag pada jaringan paru-paru. Kejadian kongesti pada paruparu paling sering disebabkan oleh gagal jantung yang menyebabkan stagnasi
darah di pembuluh darah paru-paru yang dapat memicu edema serta infiltrasi
eritrosit ke dalam ruang alveolar. Proliferasi sel-sel limfosit pada daerah
peribronkhiolar (hiperplasia BALT) merupakan penanda bahwa kejadian
bronkhiolitis dalam tahap kronis. Adanya infiltrasi sel-sel plasma menandakan
kondisi peradangan pada jaringan sudah dalam tahap kronis. (McGavin dan
Zachary 2007). Pada kasus ini terlihat infiltrasi limfosit yang diikuti oleh sel
plasma menandakan bahwa peradangan yang terjadi pada bronkhiolus merupakan
peradangan kronik aktif.
Penebalan septum interalveolaris pada sebagian jaringan paru-paru yang
berisi sel-sel radang berupa makrofag merupakan reaksi jaringan terhadap
kerusakan yang diderita oleh paru-paru. Menurut Jubb et al. (2006), kejadian
penebalan septum interalveolaris bersifat menyebar pada jaringan paru-paru yang
dapat bersifat kronis dan salah satu penyebabnya adalah trauma hebat dan gagal
jantung kronis.
Infiltrasi makrofag yang memfagositosis pigmen hemosiderin terlihat pada
hemoragi yang terdapat di jaringan paru-paru. Hemosiderosis pada paru-paru

33
merupakan kondisi yang sangat jarang terjadi dan ditandai dengan pendarahan
paru-paru yang spontan namun sering dikaitkan dengan anemia defesiensi zat
besi. Penyebabnya sebenarnya belum diketahui namun pernah dilaporkan
penderita memiliki kelainan malformasi jantung atau pembuluh darah, dalam
proses infeksi, vaskulitis, trauma, dan alergi protein (Etzel et al. 1998).
Kemunculan hemosiderin yang menyebar di jaringan paru-paru dapat diakibatkan
oleh trauma penekanan pada paru-paru selama kucing masih hidup dan pigmen ini
juga menandakan adanya kegagalan pada jantung (heart failure cell). Adanya
hemosiderin pada jaringan memicu kedatangan makrofag sebagai salah satu dari
respon imun tubuh.
3. Hati
Keadaan hati secara makroskopis terlihat mengalami kongesti yang
disertai adanya kompresi tulang rusuk pada permukaan organ tersebut (rib
impression) (Gambar 6). Kongesti terjadi akibat sebagian dari hati terjepit oleh
organ abdomen lainnya yang mengalami perpindahan ke dalam rongga thoraks
dalam jangka waktu yang lama selain itu hal ini menyebabkan penekanan ke
bagian tulang rusuk yang berada di sekitarnya sehingga terbentuk cetakan pada
permukaan hati. Menurut Jubb et al. (2006), kejadian perpindahan posisi organ
hati pada hernia diafragmatika biasanya hanya sebagian lobusnya saja yang ikut
masuk ke dalam rongga thoraks sehingga suplai darah tidak dapat sampai ke lobus
tersebut. Kejadian ini memicu timbulnya kongesti hebat pada hati. Selain itu letak
paru-paru tidak berpindah sehingga hal ini berbeda dengan pernyataan Kealy et al.
(2011) yaitu apabila hati mengalami hernia akan menimbulkan perubahan yang
signifikan terhadap perpindahan letak paru-paru dalam rongga thoraks.
Pada histopatologi hati ditemukan lesio kongesti (Gambar 25), dan
degenerasi hepatosit (Gambar 26). Kejadian kongesti selain disebabkan oleh
terjepitnya sebagian lobus hati dapat juga disebabkan oleh gagal jantung. Menurut
McGavin dan Zachary (2007), kongesti pada hati pada setiap spesies hampir
selalu disebabkan oleh gagal jantung. Kegagalan jantung bagian kanan
menghasilkan peningkatan tekanan di dalam vena cava caudal yang kemudian
melibatkan vena hepatik beserta cabang-cabangnya. Kongesti ini awalnya akan
menyebabkan distensi pada vena sentralis dan sinusoid. Hipoksia pada bagian
sentrilobular hati yang terus-menerus akan menyebabkan degenerasi hingga
nekrosa pada hepatosit.
4. Ginjal
Keadaan ginjal secara makroskopis terlihat mengalami kongesti pada
pembuluh darah dan organ (Gambar 9). Kejadian kongesti pada ginjal ini
merupakan akibat dari aliran darah yang terhambat pada jantung. Menurut Vegad
(2008), kongesti merupakan peningkatan jumlah darah dalam pembuluh darah
vena sebagai hasil dari obstruksi pada pembuluh darah yang disebabkan
perpindahan posisi organ sehingga dapat menekan lalu menghambat aliran darah
pada organ lainnya.
Pada histopatologi ginjal ditemukan lesio mikrokista pada korteks yang
disertai dilatasi tubulus dan glomerulus pada jaringan tersebut (Gambar 33), lebih
dalam lagi terdapat endapan hyalin, kongesti, degenerasi tubulus distal dan
proksimal, penebalan dinding pembuluh darah (Gambar 34), degenerasi hidropis

34
dan degenerasi lemak jelas terlihat pada tubulus (Gambar 35), adanya infiltrasi sel
radang pada glomerulus dan tubulus yang disertai temuan hyalin dalam tubulus
yang sudah nekrosa (Gambar 36), nekrosa tubulus disertai dengan temuan
pembuluh darah yang sangat berdilatasi (Gambar 37), dan temuan kongesti pada
medula disertai jaringan tubulus di sekitarnya yang mengalami edema (Gambar
38). Ginjal yang memiliki kerusakan di salah satu bagian pada jaringan akan
melibatkan kerusakan pada bagian yang lain.
Menurut Rao (2010), salah satu faktor yang mengganggu fungsi ginjal
adalah adanya perubahan dalam sirkulasi ginjal. Lesio degenerasi yang disebut
nefrosis mempengaruhi keadaan tubulus sehingga menjadi bengkak keruh,
terdapat degenerasi lemak, hingga menjadi nekrosis. Sedangkan menurut Jubb et
al. (2006), walaupun keadaan degenerasi lemak pada kucing jarang ditemukan,
kasus ini pernah ditemukan dalam tubulus pada hewan yang mati akibat
kelaparan. Selanjutnya keadaan dilatasi pada tubulus dan glomerulus
kemungkinan dipengaruhi iskhemia yang disebabkan kongesti yang terjadi pada
pembuluh darah ginjal. Menurut (Hard et al. 1999), dilatasi pada tubulus dapat
disebabkan salah satunya oleh iskhemia yang sifatnya sementara atau dengan
adanya degenerasi/ regenerasi pada tubulus.
Kista yang ditemukan pada bagian korteks merupakan akibat dari
kerusakan hebat pada jaringan ginjal. Menurut Chang et al. (2007), hilangnya
nefron akibat nekrosa memicu peningkatan kinerja tubulus yang tersisa hingga
mengalami hipertrofi. Hipertrofi p