PREVALENSI PATOLOGI TERKAIT ALKOHOL PADA OTOPSI
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hampir setiap tahun kejadian kasus keracunan alkohol terus terjadi.
Menurut laporan tahunan Center for Disease Control and Prevention (CDC) yang
didapat dari National Vital Statistic System sepanjang tahun 2010 sampai 2012,
tiap hari ada enam orang mati karena keracunan alkohol di Amerika Serikat.
Artinya, setiap tahun ada lebih dari 2.000 orang di Amerika mati karena alkohol.
CDC mencatat korban umumnya pria kulit putih berusia 35-64 tahun, namun
tingkat keracunan alkohol pada Indian Amerika dan suku asli Alaska juga tinggi
(Tempo, 2015).
Menurut Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) pada Berita Keracunan Bulan Juli – September 2014 mencatat
37 (tiga puluh tujuh) berita insiden keracunan yang terjadi di berbagai wilayah
Indonesia yang diperoleh dari 138 media massa online, dimana terdapat 4 insiden
keracunan akibat bahan campuran. Pada kejadian keracunan akibat bahan
campuran tersebut terdapat 2 insiden keracunan yang diakibatkan oleh campuran
alkohol dan suplemen kesehatan. Peristiwa pertama terjadi di wilayah Cimahi,
Jawa Barat, dengan bahan yang diduga menyebabkan keracunan berupa alkohol
70% yang dicampur dengan suplemen kesehatan berbahan utama ginseng, serta
mengakibatkan 4 orang yang mengkonsumsinya meninggal dunia. Insiden
keracunan lainnya terjadi di Kabupaten Garut, Jawa Barat yang diakibatkan oleh
campuran alkohol 70%, arak, dan suplemen kesehatan yang menyebabkan 3 orang
1
meninggal dunia dari jumlah total korban 5 orang. Selain itu, terdapat 1 kejadian
keracunan akibat mengkonsumsi campuran alkohol dengan pestisida rumah
tangga (lotion anti nyamuk), minuman bersoda, dan thinner yang terjadi di
wilayah Jakarta Timur dengan jumlah korban 2 orang meninggal dunia (BPOM,
2014).
WHO menyebutkan, penyalahgunaan alkohol merupakan salah satu
pembunuh utama kaum muda India. Penelitian yang dilakukan oleh pemerintah
India pada tahun 2004 didapatkan bahwa 62,5 juta orang bergantung pada
minuman keras. Pada Juli 2009, 43 orang meninggal akibat miras lokal Gujarat
India Barat. Pada Mei 2008 lebih dari 168 orang meninggal di dua bagian India
Selatan, Karnataka dan Tamil Nadu, karena kasus serupa. Kejadian keracunan
alkohol oplosan ini pun telah terjadi di kalangan masyarakat Indonesia,
diantaranya terdapat kejadian luar biasa miras oplosan hingga Desember 2014 di
Sumedang Jawa Barat mencapai 127 orang. Sementara di Garut terdapat korban
meninggal mencapai 16 orang. Pada Agustus 2013 di Cicalengka, Bandung
terdapat 33 kasus keracunan miras yang 12 diantaranya meninggal. Di Yogyakarta
antara Januari 2013-2014 terdapat sedikitnya 19 korban jiwa akibat minuman
keras oplosan, di Mojokerto pada Desember 2013 terdapat 17 orang meninggal.
Dari hasil uji laboraturium terungkap semua miras yang diminum mengandung
methanol dengan kadar 38-84% (Suaramerdeka, 2014). Sedangkan di Bali dan
Lombok kejadian luar biasa (KLB) keracunan methanol dan arak oplosan, sampai
dengan tahun 2014 jumlah kematian mencapai 45 orang rata-rata. Sementara 13
orang mengalami kebutaan secara permanen dan atau kecacatan seumur hidup
(Weeklyline.Net, 2014).
2
Alkohol (etanol, CH3CH2OH) menduduki peringkat tertinggi sebagai
substrat penyebab dalam toksikologi forensik, dengan alasan sederhana bahwa
meminum dalam jumlah banyak dan pemabuk dicurigai menjadi penyebab dalam
kasus-kasus kecelakaan fatal, kematian akibat trauma, bunuh diri, kekerasan dan
perilaku antisosial pada umumnya . Laporan dari departemen kecelakaan dan
layanan darurat (Accident and Emergency Service Departments) di seluruh dunia
memberikan bukti yang cukup untuk mendukung dampak negatif dari
penyalahgunaan alkohol dan alkoholisme di masyarakat. Kerugian yang
disebabkan oleh konsumsi minuman beralkohol yang berlebihan menjelaskan
banyak kecelakaan di rumah, di tempat kerja, dan di jalan-jalan (Charalambous,
2002).
Sedangkan methanol merupakan bentuk alkohol yang paling sederhana
dan merupakan senyawa kimia dengan rumus kimia CH3OH. Methanol biasanya
paling banyak digunakan dalam pembuat bahan kimia lainnya. Sekitar 40%
diubah menjadi formaldehyde yang kemudian dijadikan berbagai macam produk
seperti plastik, cat, bahan peledak dan tekstil. Pada beberapa kasus keracunan
alkohol disebabkan oleh konsumsi dari methanol yang dicampur dengan bahanbahan lain seperti jamu-jamuan dan obat-obatan (Korabathina, 2016).
Patofisiologi pada kasus keracunan alkohol pertama kali dijelaskan pada
tahun 1926 bahwa terdapat hubungan antara perubahan lemak dalam organ hepar
karena alkohol dengan kematian mendadak akibat aritmia. Kematian ini biasanya
terjadi pada laki-laki kulit putih yang berusia lebih dari 50 tahun dengan kadar
alkohol dalam darah negatif atau rendah dan pada organ hepar biasanya
menggambarkan perubahan lemak (sirosis). Mekanisme penyebab kematian tidak
3
sepenuhnya dipahami, tetapi diduga disebabkan oleh berbagai gangguan
metabolisme yang dipicu oleh intake etanol dalam jumlah besar dan karena
kelaparan yang mengakibatkan aritmia jantung. Pada hasil otopsi pada kasus ini
pada dasarnya negatif, hanya menunjukkan steatosis hepar. Alkohol menyebabkan
aritmia selama hidup, termasuk perpanjangan interval QT, yang berhubungan
dengan kematian jantung mendadak (Schuckit, 2009).
1.2 Tujuan
1.2.2 Tujuan Umum
Menjelaskan gambaran kelainan berbagai organ pada hasil otopsi kasus
keracunan alkohol
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Membandingkan patologi organ yang paling sering pada kasus keracunan
alkohol.
2. Menjelaskan prevalensi patologi organ terkait keracunan alkohol.
3. Menjelaskan asosiasi antara rerata konsentrasi etanol dalam darah, urin,
atau vitreous humour, dengan jumlah kelas patologi
1.3 Manfaat
Bagi pendidikan: Untuk menambah pengetahuan tentang gambaran
kelainan berbagai organ pada hasil otopsi kasus keracunan alkohol
Bagi masyarakat: Untuk memberi wacana kepada masyrakat
tentang kelainan berbagai organ pada kasus keracunan alkohol
4
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Alkohol
2.1.1 Etil Alkohol
Alkohol adalah nama yang umum untuk Etil Alkohol yang pda umumnya
disebut dengan etanol. Etil alkohol kemudian menjadi dikenal sebagai
bahan/substrat penyebab keracunan di Amerika Serikat. Etil alkohol ditemukan
pada produk minuman seperti bir, wine, whisky, gin¸ dan minuman penyemangat
lainnya. Etil alkohol dalam konsentrasi tinggi juga ditemukan pada hair spray,
parfum dan minyak wangi, cairan pencuci mulut, perasa makanan seperti ekstrak
vanila, dan cairan pencuci tangan (Bartlet, 2015).
Etil alkohol adalah obat yang paling banyak disalahgunakan dalam
masyarakat Amerika dan mungkin masyarakat dunia. Setiap minuman
yang mengandung 0,5-95% alkohol dianggap sebagai minumn beralkohol.
Istilah "proof" digunakan untuk menggambarkan kekuatan minuman
beralkohol. Proof didefinisikan sebagai dua kali persentase alkohol dalam
minuman. Dengan demikian, minuman 80-proof adalah 40% alkohol.
Konsentrasi kandungan alkohol pada minuman bir antara 3,2 dan 4%,
anggur (wines) 7,1-14%, wiski 40-75%, vodka 40-50%, gin 40-85%, dan
rum 40-95%. Alkohol dengan cepat diserap pada semua permukaan
mukosa dari saluran sistem pencernaan. Pada keadaan puasa, 20-25% dari
dosis alkohol diserap di perut dan 75-80% di usus kecil. Makanan
menghambat penyerapan alkohol. Mengikuti proses pencernaan alkohol
pada perut kosong, puncak konsentrasi alkohol darah (blood alcohol
concentration/BAC) terjadi dalam waktu 1,5 – 2 jam (rata-rata 0,75-1,35
jam), sedangkan dengan adanya makanan di perut, tingkat puncak dicapai
5
dalam waktu 1-6 jam (rata-rata 1,06-2,12 jam). Terlambatnya pencapaian
puncak konsentrasi alkohol dalam darah berbanding lurus dengan jumlah
makanan dan berbanding terbalik dengan jumlah beda waktu antara makan
dan konsumsi alkohol. Susunan makanan menunjukkan pengaruh yang
kecil terhadap kecepatan penyerapan (Di Maio, 2001).
Alkohol, sebagai obat, memiliki efek yang dapat diukur pada
aktivitas tubuh secara normal. Alkohol mengganggu ketajaman visual,
adaptasi terhadap cahaya (terang) dan gelap, perbedaan warna, respon
ketetapan atau kecepatan terhadap stimulasi visual, penglihatan yang jelas,
dan lain sebagainya. Penurunan ketrampilan mengemudi pada pengukuran
konsentrasi alkohol dalam darah serendah 30 mg/dL, meskipun risiko
keterlibatan dalam kecelakaan tidak meningkat. Kadar dimana resiko
kecelakaan mulai meningkat sekitar 0,08 mg/dL. Pada kadar 0,10 mg/dL,
risiko kecelakaan yang fatal meningkat 12 kali lipat dibandingkan dengan
yang bukan peminum. Alkohol mengganggu waktu reaksi pada
konsentrasi darah lebih dari 50 mg/dL. Telah dikenal sejak tahun 1919
bahwa efek dari keracunan alkohol akut lebih ditegaskan ketika kadar
dalam darah meningkat daripada menurun (efek Mellanby). Reaksi
psikologis tiap individu pada keracunan alkohol akut bervariasi. Pada
semua individu, bagimanapun, terdapat perbedaan kelainan reaksi sebesar
0,10 mg/dL. Dalam kaitan dengan efek alkohol pada kepribadian,
beberapa orang menjadi mudah mengantuk, tenang, dan ramah, sedangkan
yang lain menjadi antagonis, sikap bermusuhan, dan keras. Tidak ada cara
untuk menjelaskan bagaimana tiap individu akan bereaksi terhadap jumlah
kadar alkohol dalam darahnya. Dari semua sistem organ dalam tubuh,
6
yang paling terpengaruh oleh alkohol adalah sistem syaraf pusat (Di Maio,
2001).
2.1.2 Metil Alkohol
Metil alkohol yang sering disebut dengan metanol, biasanya digunakan
sebagai pelarut organik. Karena toksisitasnya, jika tertelan metanol dapat
menyebabkan asidosis metabolik, kecacatan neurologis, dan bahkan kematian.
Keracunan metanol menjadi penyebab kasus yang banyak terjadi pada negara
berkembang,
terutama
pada
masyarakat
sosial
ekonomi
yang
rendah
(Korabathina, 2016).
2.2 Patofisiologi Keracunan Alkohol Akut
2.2.1 Etil Alkohol
Etil alkohol dengan cepat diserap dalam waktu 60 menit. Jika terdapat
makanan dalam lambung, alkohol dikonsumsi dengan lambat, atau jika terdapat
konsentrasi alkohol yang tinggi dalam minuman, penyerapan dapat lebih lama.
Kurang lebih 20% alkohol diserap di lambung dan pada pemeriksaan 80% diserap
di usus halus. Pertama kali alkohol diserap, dimetabolisme di hepar oleh enzim
alcohol dehydrogenase (ADH) menjadi acetaldehid. Acetaldehid dimetabolisme
oleh acetaldehyde dehydrogenase menjadi acetat dan air (Bartlet, 2015).
Gambar 1. Jalur alkohol dehidrogenase (Hunsaker, 2004)
Sebagian besar kematian yang disebabkan oleh keracunan alkohol akut
terjadi pada kadar alkohol dalam darah sebesar 400 mg% atau lebih besar.
7
Peminum yang belum berpengalaman lebih rentan daripada pecandu alkohol
kronis. Pecandu alkohol kronis pernah diketahui mengemudikan kendaraan
bermotor dengan kadar alkohol dalam darahnya sebesar 450-500 mg% dan
mampu bertahan dengan kadar alkohol darah 600-700 mg%. Konsentrasi alkohol
dalam darah yang sebenarnya pada saat otopsi mungkin lebih rendah dari kadar
yang mematikan, jika seseorang cedera otak akibat hipoksia yang ireversibel
disebabkan oleh depresan SSP akibat keracunan alkohol, namun dapat bertahan
sementara dan memetabolisme alkohol. Dalam kasus seperti itu, kemungkinan
kadar alkohol dalam darah sebesar 300 mg% atau berkisar lebih tinggi dari 200mg
%. Sedangkan pada vitreous secara signifikan akan menunjukkan kadar alkohol
yang lebih tinggi, hal ini menunjukkan bahwa individu tersebut sedang dalam fase
metabolisme (Di Maio, 2001) .
8
Gambar 2 Tahapan keracunan alkohol akut (Di Maio, 2001)
Efek klinis paling umum dari alkohol akut adalah depresi susunan
saraf pusat (SSP). Depresi SSP yang terjadi dapat berupa perasaan
mengantuk
hingga
koma
(penurunan
kesadaran).
Kehilangan
keseimbangan, pusing, penurunan koordinasi, dan kebingungan adalah
gejala yang paling umum terlihat. Mual dan muntah sangat sering terjadi,
depresi pernapasan mungkin terjadi, dan pada beberapa pasien dapat juga
mengalami takikardi dan hipotensi. Reflek protektif ( seperti reflek gag)
bisa muncul, serta hipoglikemia, hipotermia, dan rabdomiolisis dapat
terjadi jika seseorang yang keracunan tidak sadarkan diri dalam waktu
yang lama. Kematian pada keracunan etanol disebabkan oleh depresi
pernapasan dan aspirasi dari isi lambung (Bartlet, 2015).
9
Efek racun dari alkohol kemungkinan disebabkan oleh interaksi
antara alkohol dengan neurotransmitter tertentu dan/atau reseptornya
(Bartlet, 2015):
a. Interaksi antara etil alkohol dengan neurotransmitter gammaaminobutiric acid (GABA)
GABA adalah salah satu dari dua neurotransmitter penghambat utama.
Pada saat GABA berikatan dengan reseptor GABA pada membran sel, sel
menjadi hiperpolarisasi dan tidak dapat merespon stimulasi (dihambat).
Etil alkohol mengikat tempat yang spesifik yang berhubungan dengan
reseptor GABA dan hal ini meningkatkan aktivitas GABA. Jika hal ini
terjadi maka sel-sel menjadi tidak dapat merespon stimulus kemudian
menjadi tidak aktif- yang menghasilkan depresi SSP, depresi pernapasan,
reflek-reflek menurun, dan sebagainya.
b. Interaksi antara etil alkohol dan tempat reseptor spesifik untuk
neurotransmitter glutamat dan glisin.
Glutamat adalah neurotransmitter pemicu. Jika glutamat berikatan dengan
reseptor
membran
beraksi/berespon.
sel,
Glisin
sel
akan
adalah
mengalami
depolarisasi
dan
neurotransmitter
penghambat
dan
mekanisme kerjanya sama dengan GABA. Glutamat dan glisin mengikat
tempat reseptor yang spesifik, yaitu reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA).
Etil alkohol merusak ikatan antara glutamat dan glisin dengan reseptor
NMDA, sehingga sel tidak dapat merespon stimulus.
2.2.2 Metil Alkohol
10
Keracunan yang disebabkan oleh metil alkohol (metanol) relatif jarang
terjadi. Metanol dioksidasi oleh hepar menjadi formaldehida, yang teroksidasi
menjadi asam format. Asam format enam kali lebih beracun dari metanol. Gejala
akut dari keracunan metanol adalah kelemahan, mual, muntah, sakit kepala, nyeri
ulu hati, dispnea, dan sianosis. Mabuk bukan merupakan gejala yang menonjol.
Gejala-gejala tersebut dapat terjadi dalam waktu setengah jam setelah konsumsi
atau tidak muncul gejala selama 24 jam. Metanol yang tertelan pada jumlah yang
fatal, gejala yang disebutkan di atas akan diikuti oleh stupor, koma, kejangkejang, hipotermia, dan kematian. Kematian hampir selalu didahului dengan
kebutaan. Jika mampu bertahan hidup, akan mengalami kebutaan permanen, yang
disebabkan oleh toksisitas spesifik pada sel-sel retina. Kematian pada keracunan
metanol disebabkan oleh asidosis dari produksi asam organik dan depresan SSP.
Asidosis adalah faktor utama pada keracunan metanol, dengan depresi SSP
sebagai faktor minor. Asam formiat adalah agen utama yang bertanggung jawab
untuk asidosis metabolik berat dan toksisitas okular dari metnol (Di Maio, 2001).
Metanol
dirubah
menjadi
formaldehid
melalui
enzim
alkohol
dehidrogense (ADH), kemudian formaldehid diubah oleh enzim aldehid
dehidrogenase menjadi asam format. Perubahan formaldehid menjadi asam format
membutuhkan waktu yang lebih lama, hal ini menjelaskan alasan gejala-gejala
yang lambat pada kasus keracunan metanol oral. Asam format selanjutnya
teroksidasi menjadi kanbondioksida dan air. Metabolisme asam format sangat
lambat, sehingga dapat terakumulasi dalam tubuh sehingga menyebabkan asidosis
metabolik (Korabathina, 2016).
11
Kerusakan penglihatan yang disebabkan oleh metanol telah dijelaskan,
namun mekanismenya tidak dapat dimengerti dengan baik. Kebutaan diduga
karena fungsi mitokondria pada saraf optikus diinterupsi, yang menghasilkan
hiperemia, edema, dan atrofi saraf optikus. Demielinasi saraf optikus dilaporkan
karena destruksi mielin oleh asam format. Kerusakan utama terjadi pada saraf
optikus retrolaminer dengan pembengkakan intra-axonal dan kerusakan organela.
Metanol juga berefek pada basal ganglia, berupa kerusakan perdarahan dan non
perdarahan
pada
putamen,
yang
menyebabkan
parkisonism
atau
distonik/hipokinetik (Korabathina, 2016).
2.3 Patofisiologi Keracunan Alkohol Kronik
Pecandu alkohol kronis seringkali mampu menutupi banyak gejalagejala keracunan alkohol akut, meskipun masih ada gangguan fisiologis. Dengan
demikian, pecandu alkohol kronis dengan konsentrasi dalam darah sebesar 150
mg% gejala yang dapat muncul minimal, meskipun sudah terjadi penurunan
refleks, ketajaman visual, memori, konsentrasi, dan pengambilan keputusan. Pada
individu muda yang tidak terbiasa minum alkohol akan lebih rentan terhadap
gejala keracunan akut dan terjadinya depresi SSP yang mematikan (Di Maio,
2001).
Tidak ada keraguan mengenai komplikasi medis yang serius akibat
alkoholisme. Alkoholisme saat ini terdaftar sebagai penyebab utama ketiga
kematian di masyarakat. Banyak kematian terkait alkohol tidak dilaporkan,
akantetapi banyak profesional percaya bahwa alkoholisme bisa menjadi
pembunuh nomor satu. Misalnya, sirosis hati (kelainan yang paling sering
12
terjadi terkait alkoholisme) adalah salah satu dari sepuluh penyebab utama
kematian. Seringkali, jika penyebab kematian adalah kegagalan organ
tubuh atau sistem, peran alkohol tidak dianggap. Jika seseorang meninggal
karena serangan jantung, namun juga menjadi peminum alkohol selama 35
tahun hidupnya, maka sebab kematian dikaitkan dengan serangan jantung,
bukan karena pecandu alkoholnya. Sebagai penyebab iritasi, alkohol
memiliki potensi menyebabkan kerusakan fisik yang serius pada semua
dari sistem tubuh. Seringnya kalangan medis menunggu untuk munculnya
gejala fisik umtuk mendiagnosa keracunan alkohol kronis. Sayangnya,
alkoholisme adalah penyakit kronis dan progresif, diman gejala-gejala
awal yang muncul umumnya perilaku dan bukan fisik. Mayoritas masalah
medis biasanya muncul di akhir, tahap kronis dari penyakit. Menunggu
tanda-tanda fisik muncul akan menyumbang angka kematian tinggi yang
terkait dengan masalah ini (dlcas, 2014).
Konsumsi alkohol secara kronik akan meningkatkan kadar etil
alkohol, maka terjadi
efek racun biologis yang lambat dan termasuk
keracunan pada level seluler dengan hasil gangguan fungsi klinis dari
berbagai sistem organ. Kelainan yang signifikan dengan kecacatan
patofisiologis dapat terjadi pada hepar (fatty liver, hepatitis akut, sirosis
dengan kegagalan hepar, karsinoma hepatoseluler), jantung (kardiomiopati
alkoholik,
hipertensi
encephalopathy
sekunder),
[defisiensi
otak
vitamin
(Wernicke–Korsakof
B1{thiamin}],
superior
cerebellar vermal atrophy, peningkatan resiko stroke, dan gejalagejala kejang), esofagus (varises submukosa, sindroma MalloryWeiss, ruptur, karsinoma), gaster dan duodenum (gastritis
13
alkoholik, atropi gaster, penyakit ulkus peptikum, karsinoma),
pankreas (pankreatitis akut dan kronis dengan pseudocysta),
dan urogenitalis (pengurangan produksi testosteron, disfungsi
ereksi, infertilitas pada pria dan wanita). Keracunan alkohol pada
kehamilan dapat terjadi sindroma fetal alkohol, aborsi spontan,
fetal alcohol withdrawal, dan teratogenesis. Pada keadaan
kurang
asupan
makanan
konsumsi
alkohol
menyebabkan
malnutrisi (Hunsaker, 2004).
Gambar 3 Penyakit Liver Alkoholik (Theise, 2015)
2.4 Pemeriksaan Jenazah pada Keracunan Alkohol
2.4.1 Pengambilan Spesimen Toksikologi
Tujuan yang terpenting dari dilakukannya pemeriksaan toksikologi
pada kasus keracunan adalah untuk menegakkan diagnosa dari keracunan,
sehingga dapat segera dilakukan terapi yang tepat (pada korban hidup) dan
dapat memberikan kesimpulan yang pasti dari sebab kematian korban
akibat keracunan.
Pada dasarnya pemeriksaan toksikologi disini dapat dibagi menjadi 4 langkah
utama yaitu (Sudjana, 2010):
14
1. Pengambilan bahan-bahan untuk tujuan analisa (yang berasal dari korban).
2. Pelaksanaan analisa toksikologi.
3. Interpretasi hasil analisa.
4. Apa yang harus dilakukan terhadap bahan tersebut selanjutnya.
Tabel 1 Pengambilan bahan dari korban keracunan fatal, jumlah dan jenis
racun yang terakumulasi pada bahan tersebut.
Bahan pemeriksaan
Jari
ngan
lemak
dibawah kulit
Em
pedu
Dar
ah
Ota
k
Gin
jal
Hati
Paru-paru
Lambung, usus
beserta isinya
Urine
Cairan bola
mata
Jumlah
Racun yang terakumulasi
Insektisida, thiopental
Seluruhnya
15 ml. Dengan pengawet
100 ml. Tanpa
pengawet
Narkotika
Etil alkohol, CO
Sebagian besar racun umumnya.
500 g.
Seluruhnya/kiri-kanan
Setengah bagian
Racun mudah menguap
Amphetamin, logam berat, narkotika
250-500 g.
Seluruhnya
Sebagian besar racun
Methadone, propoxypene, racun-racun
mudah menguap
Semua racun yang masuk per oral
200 g
Seluruhnya
Seluruhnya jika
mungkin
Seluruhnya jika
mungkin
Sebagian besar racun umumnya
Digoxin, elektrolit, glukosa.
Setelah bahan diambil dan dikumpulkan, kemudian dimasukkan
dalam wadah
yang telah disediakan dengan pengawetan atau tanpa
pengawetan tergantung pada segera atau tidaknya dilakukan analisa
toksikologi.
Wadah beserta bahan kemudian diberikan label yang memuat (Sudjana, 2010):
-
Nomor identitas korban
-
Tanggal pengambilan bahan
-
Keterangan mengenai bahan yang telah diambil (jenisnya)
15
-
Dokter yang mengambil bahan pemeriksaan (nama)
-
Nama penyegel, tanda tangan, cap segel dinas (diatas lak)
Spesimen untuk pemeriksaan histopatologi (Sudjana, 2010).
1. Jaringan yang diambil berukuran 2 X 3 X ½ cm, jangan lebih tebal karena
penetrasi cairan fiksasi membutuhan waktu lebih lama, sehingga kemungkinan
besar jaringan menjadi busuk.
2. Potongan jaringan yang diambil rutin, bila anggaran untuk pemeriksaan
histopatologi cukup adalah sebagai berikut:
a.
Jantung :
o
Ventrikel kanan dan kiri
o
Atrium kanan dan kiri
o
Valvula
o
Arteria coronaria
o
Septum interventricularis
b.
Paru-paru : tiap lobus
c.
Hepar
: bagian sentral dan perifer
d.
Ginjal
: kanan, kiri meliputi pyramida (cortex, madulla,pelvis)
e.
Usus
: usus halus,usus besar,appendix
f.
Lambung : curvatura minor
g.
Pancreas : cauda,corpus,caput
h.
Anak ginjal
i.
Glandula thyroidea
j.
Otak
k.
Hypophysis
: cortex cerebri,basal ganglia, pons, hippocampus
16
3. Semua jaringan tidak boleh tertekuk (twisted), misalnya usus diletakkan
diatas kertas saring.
Jaringan yang diambil untuk spesimen sebelumnya tidak boleh dicuci.
4. Bahan fiksasi
Sebagai bahan fiksasi digunakan larutan 10% formaline, yang membuatnya
ialah dengan mencampur 1.vol, (handels) formalin dengan 3 vol. Air yang
dimaksud dengan handels formaline ialah larutan formaline yang mengandung
40% formaldehyd.
5. Kalau dapat jaringan yang sudah difiksir sebelum dikirim ke pusat diiris
yang lebih rapi lagi, sehingga volume bahan yang dikirim menjadi lebih kecil
untuk menghemat biaya pengiriman.
6. Karena anggaran untuk pemeriksaan histopatologi sangat terbatas, maka
untuk sementara hanya dikirim jaringan yang makroskopik menunjukkan
adanya kelainan patologi.
2.4.2 Hasil Pemeriksaan Jenazah
Pada kasus kematian dari keracunan alkohol akut, kelainan yang
ditemukan selama pemeriksaan forensik pada jenazah tidak spesifik. Pada
pemeriksaan luar jenazah ditemukan sianosis dan wajah bengkak, perdarahan
kelopak mata (bleeding of the connecting theca of eyelids), bercak (spots) biruungu yang tersebar pada seluruh tubuh jenazah, BAK dan BAB yang tidak
terkontrol. Pada pemeriksaan dalam kelainan yang ditemukan adalah hiperemi dan
edema otak dan pleksus choroid otak, perfusi otot jantung yang tidak merata,
perdarahan berupa ptekie dibawah outer theca dari organ internal, edema dari
17
seluruh gallblader, dan aliran yang berlebihan dari vesika urinaria, serta bau
alkohol dari rongga (cavities) dan organ-organ pada jenazah (Necki, 2015).
Keracunan dari konsumsi kronik menyebabkan kelainan multiorgan yang
menyebabkan
morbiditas
dan
mortalitas.
Proses
pembusukan
jenazah
(dekomposisi) dapat meningkatkan kadar alkohol dalam darah yang akan
memberikan efek palsu, dikarenakan produksi endogenus oleh pertumbuhan yang
normal dan fermentasi flora pada usus. Cairan vitreus humor, yang biasanya steril,
merupakan pembanding akurat untuk membedakan produksi antemortem atau
postmortem. Cairan dari pengawetan jenazah (embalming) dapat digunakan secara
selektif untuk memperkirakan kadar alkohol dalam darah (BAC) antemortem
melalui membandingkan dengan cairan embalming yang mudah menguap.
Karakteristik gross (makros) dan histopatologi pada beberapa sistem organ dapat
diperiksa pada alkoholism kronik walaupun tanpa riwayat. Efek racun secara
progresif pada umumnya terjadi pada hepar, jantung, pankreas, dan sistem saraf
pusat. Paling sering ditemukan adalah sirosis mikronudular tanpa infeksi hepatitis
atau penyakit intrinsik hepar sangat spesifik pada konsumsi alkohol kronik.
Berbagai stadium akhir atau kondisi penyakit yang parah terjadi primer di hepar,
seperti sirosis mikronudular atau hepatitis alkoholik (Hunsaker, 2004).
1.
Hepar
Terdapat tiga penjelasan, walaupun tumpangtindih, mengenai kelainan hepar
akibat alkohol: (1) hepatocellular steatosis atau perubahan perlemakan, (2)
hepatitis alkoholik (atau steatohepatitis), dan (3) steatofibrosis dan termasuk
sirosis pada fase lanjut. Setelah alkohol masuk dalam tubuh dalam jumlah yang
cukup banyak, butiran-butiran lemak terakumulasi dalam hepatosit meningkat
dengan banyak dan terjadi secara terus-menerus pada alkoholik kronik.
18
Perlemakan dimulai dengan butiran kecil kemudian bersatu menjadi butiran besar
yang menjadikan hepatosit membesar dan menekan nukleus ke pinggir sel
(gambar 4). Secara makroskopis, fatty liver pada orang dengan alkoholism kronis
didapatkan hepar yang besar (dengan berat 4 – 6 kg), organ lunak berwarna
kuning dan berminyak (Theise, 2015).
Gambar 4 Steatosis Alkoholik dan Steatofibrosis (Theise, 2015)
Gambar 5 Hepatitis Alkoholik
19
Gambar 6 Sirosis Alkoholik
Hepatitis alkoholik (steatohepatitis) secara histopatologi antara lain
sebagai berikut (Theise, 2015):
1)
Hepatosit yang bengkak dan nekrosis: singel atau fokus-fokus sel
yang tersebar yang mengalami pembengkakan dan nekrosis (gambar 5).
2)
Mallory-Denk
bodies:
selalu
tampak
mengkerut
(clumped),amorfik, bentukan yang eosinofilik pada hepatosit yang
membesar
3)
Reaksi neutrofilik: neutrofil memasuki lobus hepar dan menumpuk
mengelilingi hepatosit yang terdegeneralisasi, terutama pada MalloryDenk bodies (gambar 5B).
Hepatitis alkoholik seringkali disertai dengan aktivasi yang menonjol dari
sel stellate sinusoid dan fibroblas pada portal yang akan menjadi fibrosis.
Fibrosis dimulai dengan skerosis dari vena sentral. Scar perisunisoid
kemudian mengumpul dalam ruang dari disse pada regio centrilobular,
tersebar keluar, melingkari sendiri-sendiri atau kluster kecil dari hepatosit
pada pola chicken wire fence (gambar 4).
2. Pankreas (Hruban dan Iacobuzio-Donahue, 2015)
Efek alkoholisme pada organ pankreas
adalah terjadinya
pankreatitis. Pankreatitis dibagi menjadi dua bentuk yaitu akut dan kronik,
20
masing-masing mempunyai karakteristik patologis dan gejala klinis
tersendiri.
Pankreatitis Akut
Pankreatitis akut ditandai dengan cedera parenkim pankreas yang
reversibel berhubungan dengan peradangan dan memiliki beragam
etiologi, termasuk pajanan racun (Misalnya, alkohol), obstruksi duktus
pankreatikus (misalnya, batu empedu), cacat genetik, cedera vaskular, dan
infeksi. Pankreatitis akut relatif umum; angka kejadian tahunan di negaranegara Barat adalah 10 sampai 20 kasus per 100.000 orang. Penyakit
saluran empedu dan alkoholisme sekitar 80% dari kasus pankreatitis akut
di negara-negara barat. Proporsi kasus dari pankreatitis akut akibat asupan
alkohol yang berlebihan bervariasi dari 65% di Amerika Serikat, 20% di
Swedia, dan 5% atau kurang di Perancis selatan dan Inggris. Rasio lakilaki dibandingkan perempuan 1: 3 pada kelompok dengan penyakit saluran
empedu dan 6: 1 pada mereka dengan alkoholisme.
Pankreatitis akut merupakan hasil dari pelepasan dan aktivasi yang
tidak tepat dari enzim pankreas, dimana dapat merusak jaringan pankreas dan
menimbulkan reaksi inflamasi akut. konsumsi alkohol secara sementara
meningkatkan kontraksi sfingter Oddi (otot pada papilla vateri), dan konsumsi
alkohol kronis menghasilkan sekresi cairan pankreas kaya protein yang
menyebabkan pengendapan protein inspissated sehingga menyumbat saluran
pankreas kecil. Alkohol juga memiliki efek toksik langsung pada sel-sel asinar.
Stres oksidatif akibat alkohol dapat menghasilkan radikal bebas dalam sel-sel
asinar, menuju oksidasi membran lipid dan produksi radikal bebas, yang seperti
yang sudah disebutkan, dikaitkan dengan aktivasi dari faktor transkripsi proinflamasi AP1 dan NF-kB.
21
Morfologi pankreatitis akut dimulai dari radang sepele dan edema
hingga nekrosis luas yang parah serta perdarahan. Perubahan dasar antara
lain (1) kebocoran mikrovaskuler dan edema, (2) nekrosis lemak, (3)
inflamasi akut, (4) kerusakan parenkim pankreas, dan (5) kerusakan
pembuluh darah dan perdarahan interstitial.
Dalam bentuk yang lebih ringan, pankreatitis interstitial akut,
perubahan histologis terbatas pada peradangan ringan, edema interstitial,
dan daerah fokal dari nekrosis lemak dalam pankreas dan lemak
peripancreatic (Gambar. 19-3). Nekrosis lemak, seperti telah kita lihat,
hasil dari aktivitas enzim lipase. Pelepasan asam lemak bergabung dengan
kalsium membentuk garam larut yang memberi penampakan mikroskopik
biru granular pada sel-sel lemak. Dalam bentuk yang lebih parah,
pankreatitis nekrotik akut, terdapat nekrosis asinar dan duktus jaringan
serta pulau Langerhans. Cedera vaskular dapat menyebabkan perdarahan
ke dalam parenkim pankreas.
Secara makroskopik, substansi pankreas berwarna merah-hitam
dari perdarahan dan terdiri dari fokus berseling-seling kuning-putih,
nekrosis lemak berkapur (Gbr. 19-4). Nekrosis lemak fokal juga dapat
terjadi berdekatan dengan pankreas dalam omentum dan mesenterium
usus, dan bahkan di luar rongga abdomen, seperti dalam lemak subkutan.
Dalam kebanyakan kasus rongga peritoneal yang berisi serosa, sedikit
keruh, cairan coklat-biruan yang mengandung tetesan lemak (berasal dari
aksi enzim pada jaringan adiposa). Dalam bentuk yang paling parah,
pankreatitis hemoragik, nekrosis parenkim yang luas disertai dengan
perdarahan hebat dalam substansi kelenjar.
22
Gambar 7 Pankreatitis Akut
Pankreatitis kronis
Pankreatitis
kronis
didefinisikan
sebagai
peradangan
berkepanjangan dari pankreas yang terkait dengan kerusakan ireversibel
parenkim eksokrin, fibrosis, dan, pada tahap akhir, penghancuran
parenkim endokrin. Penyebab paling umum dari pankreatitis kronis sejauh
ini adalah konsumsi alkohol dalam waktu yang lama.
Pankreatitis kronis ditandai dengan fibrosis, atrofi dan keluarnya
asinus, dan pelebaran saluran pankreas yang bervariasi (Gambar. 19-6A).
Secara makros, kelenjar sulit, kadang-kadang tampak pelebaran saluran
yang terkalsifikasi. Perubahan ini biasanya disertai dengan peradangan
kronis yang menginfiltrasi sekitar lobulus dan saluran. Epitel duktus
mungkin dapat atropi atau hiperplastik atau mungkin menunjukkan
metaplasia skuamosa. Pankreatitis kronis akibat penyalahgunaan alkohol
23
ditandai dengan dilatasi duktus dan sumbatan protein intraluminal serta
kalsifikasi (Gambar. 19-6B).
Gambar 8 Pankreatitis Kronik
3. Paru-paru (Husain, 2015)
Pneumonia Aspirasi
Pneumonia aspirasi terjadi pada pasien yang lemah atau yang mengalami
aspirasi isi lambung baik saat tidak sadar (misalnya, stroke) atau selama muntah
berulang. Menghasilkan pneumonia karena efek iritasi dari asam lambung, dan
sebagian bakteri (dari flora mulut). Biasanya, lebih dari satu organisme ditemukan
pada kultur, aerob lebih sering daripada anaerob. Pneumonia jenis ini sering
didapatkan nekrosis, mengikuti bentuk klinis fulminan, dan sering menjadi
penyebab kematian. Pada mereka yang bertahan hidup, abses paru adalah
komplikasi paling sering. Microaspiration, sebaliknya, sering terjadi di hampir
semua orang, terutama mereka dengan gastroesophageal reflux penyakit.
24
Gambar 9 Pneumonia
Gambar 10 Pneumonia Akut
4. Gaster (Turner, 2015)
Gastritis
Gastritis adalah proses inflamasi mukosa. Ketika neutrofil muncul, lesi
disebut sebagai gastritis akut. Ketika sel-sel inflamasi jarang atau tidak ada, maka
disebut gastropati. Agen yang menyebabkan gastropati termasuk NSAID, alkohol,
empedu, dan cedera akibat stres. Erosi mukosa akut atau perdarahan, seperti
Curling ulcers atau lesi yang mengikuti terganggunya aliran darah lambung,
misalnya, pada hipertensi portal, juga dapat menyebabkan gastropati yang dapat
berlanjut menjadi gastritis.
Secara histologi, gastropati dan gastritis akut ringan mungkin
dikenali, karena lamina propria hanya menunjukkan edema ringan dan
25
sedikit kongesti vaskular. Permukaan epitel utuh, tapi hiperplasia sel
foveolar, dengan karakteristik bentukan corkscrew (pembuka botol) dan
proliferasi epitel. Neutrofil tidak banyak, tetapi beberapa dapat ditemukan
di antara sel-sel epitel atau dalam kelenjar mukosa pada gastritis. Ada
sedikit limfosit dan sel plasma. Munculnya neutrofil diatas membran basal
yang bersentuhan langsung dengan sel epitel abnormal di semua bagian
saluran pencernaan menandakan adanya peradangan aktif, atau, dalam hal
ini, gastritis (bukan gastropati). Peradangan aktif jangka lama ditemukan
kerusakan mukosa parah, erosi dan perdarahan. Erosi menunjukkan
hilangnya epitel, menghasilkan defek mukosa superfisial. Hal ini disertai
dengan infiltrasi neutrophilic pada mukosa dan eksudat purulen yang
berisi fibrin dalam lumen. Perdarahan dapat terjadi dan menyebabkan
punctae gelap pada mukosa yang hiperemi. Erosi yang bersamaan dan
perdarahan disebut gastritis hemoragik erosif akut.
Gastritis akut
gastritis
hemoargik
Gambar 11 Gastritis (slideshare.net, 2013)
5. Esofagus (Turner, 2015)
Varises Esofagus
Varises esofagus terjadi karena darah vena dari saluran pencernaan
melewati hepar, melalui vena portal, sebelum kembali ke jantung. Pola
26
sirkulasi ini bertanggung jawab untuk first-pass effect dimana obat-obatan
dan bahan lainnya diserap di usus diproses oleh hepar sebelum masuk
sirkulasi sistemik. Penyakit yang menghambat penyebab aliran ini
hipertensi portal dan dapat menjadi varises esofagus, merupakan penyebab
penting dari esofagus berdarah.
Varises adalah pembuluh darah vena melebar berliku-liku terutama
dalam submukosa distal esofagus dan proksimal lambung (Gambar.176A). Saluran vena secara langsung di bawah epitel esofagus mungkin
dapat menjadi dilatasi masif. Secara makros varises mungkin tidak terlalu
jelas pada postmortem, karena terjadi kolaps akibat tidak adanya aliran
darah (Gambar. 17-6B) dan dikaburkan oleh mukosa diatasnya (Gbr. 176C). Varises yang pecah menyebabkan perdarahan dalam lumen atau
dinding esofagus, juga pada mukosa diatasnya muncul ulcerasi dan
nekrosis.
Gambar 12 Varises Esofagus
6. Jantung (Schoen dan Mitchell, 2015)
Dilatasi Cardiomiopati
27
Kardiomiopati bermanifestasi sebagai kegagalan kinerja miokard;
bisa secara mekanik (misalnya, diastolik atau disfungsi sistolik) yang
mengarah ke CHF, atau bisa berujung pada aritmia yang mengancam
kehidupan. Kardiomiopati dapat diklasifikasikan menurut berbagai
kriteria, termasuk dasar genetik yang mendasari disfungsi. Berdasarkan
kelainan anatomi di dalam jantung, dibagi menjadi tiga pola patologis
(Gambar 12-29 dan Tabel 12-11.):
• kardiomiopati dilatasi (termasuk kardiomiopati ventrikel kanan aritmogenik)
• kardiomiopati hipertrofi
• kardiomiopati restrikti
Gambar 13 Jenis Kardiomiopati
Kardiomiopati dilatasi (DCM) ditandai secara morfologis dan
fungsional dengan dilatasi jantung yang progresif dan disfungsi kontraktil
(sistolik), biasanya bersamaan dengan hipertrofi. Penyalahgunaan alkohol
sangat terkait dengan perkembangan DCM, meningkatkan kemungkinan
bahwa toksisitas etanol atau gangguan gizi sekunder dapat mendasari
cedera miokard. Alkohol atau metabolitnya (terutama asetaldehida)
memiliki efek toksik langsung pada miokardium. Selain itu, alkoholisme
28
kronis dapat berhubungan dengan defisiensi tiamin, yang dapat
menyebabkan penyakit jantung beri-beri.
Gambar 14 Patomekanisme Kardiomiopati yang Menyebabkan Kematian
Dalam DCM jantung biasanya membesar, lebih berat (sering berat
dua sampai tiga kali normal), dan lembek, karena pelebaran semua ruang
(Gambar. 15). Thrombi mural yang umum dan mungkin menjadi sumber
thromboemboli. Tidak ada perubahan katup utama; jika terdapat mitral
(atau trikuspid) regurgitasi, menghasilkan dilatasi ruang ventrikel kiri (atau
kanan) (regurgitasi fungsional). Kelainan histologis di DCM tidak spesifik
dan biasanya tidak menunjukkan etiologi tertentu. Paling banyak sel-sel
otot yang hipertrofi dengan inti membesar, tetapi beberapa tipis, teregang,
dan tidak teratur. Interstitial dan fibrosis endocardial dengan berbagai
derajat didapatkan, dan subendocardial scar dapat menggantikan sel-sel
individual atau kelompok sel, mungkin mencerminkan penyembuhan
29
nekrosis iskemik myosit sebelumnya disebabkan oleh ketidakseimbangan
antara perfusi dan permintaan
Gambar 15 Kardiomiopati Dilatasi
30
BAB 3
PEMBAHASAN JURNAL
Pada review jurnal ini dibahas dua jurnal dengan judul Prevalensi patologi
terkait-alkohol pada otopsi: Studi Alkohol dan Kematian Prematur Forensik
Estonia dan Pankreatitis Hemorargik Akut Menyebabkan Kematian Mendadak
Tak Terduga – Laporan Kasus Dan Tinjauan Pustaka.
Pada jurnal dengan judul Prevalensi patologi terkait-alkohol pada otopsi:
Studi Alkohol dan Kematian Prematur Forensik Estonia ini merupakan penelitian
dengan studi cross-sectional yang melibatkan 554 pria berusia 25-54 tahun di
Estonia yang menjalani otopsi forensik pada tahun 2008 – 2009. Patologi
potensial
terkait-alkohol
diidentifikasi
setelah
dilakukan
pemeriksaan
makroskopik dan histologis. Kadar biomarker alkohol diukur. Untuk sebagian
kelompok (26%), keterangan mengenai perilaku minum alkohol diberikan oleh
keluarga dekatnya. Badan Pusat Statistik Estonia memberikan data penyebab
kematian. Dari hasil penelitian didapatkan sebagian besar kematian (75%)
menunjukkan bukti patologi potensial terkait-alkohol, dan 32 % memiliki patologi
di dua organ atau lebih. Hepar merupakan organ yang paling sering terpengaruh
[60,5%, 95% confidence interval (CI) = 56,3-65,6] diikuti oleh paru (18,6%, 95%
CI = 15,4-22,1), lambung (17,5%, 95% CI = 14,4-20,9), pankreas (14,1%, 95% CI
= 11,3-17,3), jantung (4,9%, 95% CI =3,2-7,0) dan esofagus (1,4%, 95% CI = 0,62,8). Hanya sedikit yang memiliki patologi hepar memiliki patologi kedua di
tempat lain. Jumlah patologi kemudian dikorelasikan dengan biomarker alkohol
31
(fosfatidiletanol, gama-glitamil transpeptidase dalam darah, etilglukuronida,
etilsulfat dalam urin). Meskipun prevalensi patologi hepar tinggi, beberapa
memiliki penyakit liver alkoholik secara spesifik sebagai penyebab kematian.
Pada jurnal berjudul Pankreatitis Hemorargik Akut Menyebabkan
Kematian Mendadak Tak Terduga – Laporan Kasus Dan Tinjauan Pustaka
merupakan sebuah laporan kasus. Dilaporkan pada jurnal ini, seorang pria 45
tahun, pecandu alkohol, tewas di dalam kamarnya yang terkunci dari dalam.
Sebuah botol minuman keras kosong ditemukan di dekat jasadnya. Ia dibawa ke
RS pendidikan Kasturba, Manipal, dalam keadaan sudah meninggal sehingga
diperlukan otopsi medikolegal. Pada pemeriksaan luar posmortem didapatkan
tubuh korban cukup kekar dan bergizi baik, konjungtiva pucat, lebam mayat ada
tetapi tidak menetap. Pada pemeriksaan dalam didapatkan rongga mulut dan
esofagus mengandung cairan cokelat kemerahan. Mukosa esofagus edema dengan
erosi-erosi kecil di sepanjang sepertiga bawah esofagus. Berat lambung 180 gram
dan berisi cairan cokelat kemerahan tanpa bau tidak wajar; ulkus hemorargis
(segar) didapatkan di beberapa titik di mukosa lambung. Di sepanjang mukosa
aorta didapatkan banyak plak dan gurat ateromatosa. Berat jantung 290 gram.
Katup-katup jantung intak. Ketebalan ventrikel kiri 2,0 cm. Arteri koronaria
dekstra menunjukkan sumbatan 50%, 2 cm dari asalnya. Arteri desendans anterior
kiri cabang arteri koronaria sinistra menunjukkan oklusi hampir total, 1,5 cm dari
asalnya. Patch putih berukuran 2 x 1,7 ditemukan di permukaan antrio-lateral
jantung, 4 cm di atas apeks. Berat pankreas 95 gram dan hemorargis di tempat
pemotongan. Hepar membesar dan tampak warna kekuningan di tempat
pemotongan.
32
Pada pemeriksaan histopatologi jantung didapatkan gambaran infark
miokard akut, jaringan pankreas didapatkan nekrosis patchy dengan perdarahan
dan sel-sel inflamasi, hepar menunjukkan tanda-tanda sirosis. Pemeriksaan kimia
cairan tubuh dan viscera rutin positif untuk alkohol. Darah diambil untuk
dilakukan pemeriksaan biokimia penanda jantung dan kadar amilase serum.
Keduanya menunjukkan peningkatan. Penyebab kematian diperkirakan infark
miokard sekunder akibat perdarahan pankreas karena intoksikasi alkohol.
33
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Hampir setiap tahun kejadian kasus keracunan alkohol terus terjadi.
Menurut data Center for Disease Control and Prevention (CDC), sepanjang tahun
2010 sampai 2012, tiap hari ada enam orang mati karena keracunan alkohol di
Amerika Serikat. WHO juga menyebutkan, penyalahgunaan alkohol merupakan
salah satu pembunuh utama kaum muda India. Kejadian keracunan alkohol
oplosan ini pun telah terjadi di kalangan masyarakat Indonesia, diantaranya
terdapat kejadian luar biasa miras oplosan hingga Desember 2014 di Sumedang
Jawa Barat mencapai 127 orang. Alkohol (etanol, CH3CH2OH) menduduki
peringkat tertinggi sebagai substrat penyebab dalam toksikologi forensik.
Mekanisme penyebab kematian tidak sepenuhnya dipahami, tetapi diduga
disebabkan oleh berbagai gangguan metabolisme yang dipicu oleh intake etanol
dalam jumlah besar dan karena kelaparan yang mengakibatkan aritmia jantung.
Pada hasil otopsi pada kasus ini pada dasarnya negatif, hanya menunjukkan
steatosis hepar. Oleh karena itu, pada jurnal ini patologi terkait alkohol
diidentifikasi secara makroskopis dan secara histologis, serta biomarker kadar
alkohol dideterminasi.
Dari hasil penelitian pada jurnal ini didapatkan:
1. Patologi yang paling sering adalah kelainan pada hepar, dengan 60%
kematian menunjukkan bukti steatosis, fibrosis, atau sirosis. Patologi
pankreas, paru atau lambung terdeteksi antara 14 dan 19% dari semua
34
kasus. Bukti kerusakan pada jantung dalam bentuk kardiomiopati lebih
jarang ditemukan (15%) dan varises esofagus sangat jarang.
2. Secara keseluruhan, 75% subjek menunjukkan bukti satu atau lebih kelas
patologi, dan 32% memiliki bukti dua atau lebih kelas patologi. Prevalensi
dua atau lebih patologi lebih tinggi bermakna pada kelompok pria usia tua
(45-54 tahun (P = 0,002, Fisher’s exact test).
3. Tidak ditemukan asosiasi antara rerata konsentrasi etanol dalam darah,
urin, atau vitreous humour, sementara untuk Peth dan GGT dalam darah,
didapatkan tren yang sangat bermakna antara kadar biomarker dan jumlah
kelas patologi. Meskipun terdapat trend bermakna untuk EtG dan EtS
dalam urin, perbedaan utamanya adalah antara subjek tanpa versus subjek
dengan bukti patologi apapun terkait-alkohol. Penting untuk dicatat bahwa
konsentrasi etanol dalam darah dan urin didapatkan oleh ahli forensik
tidak lama setelah otopsi, tetapi hasil pemeriksaan biomarker alkohol tidak
tersedia sebelum penentuan penyebab kematian.
4. Setelah menyingkirkan non-peminum, tampak jelas adanya peningkatan
tren dalam presentase kasus dengan dua atau lebih kelas patologi seiring
dengan meningkatnya frekuensi konsumsi alkohol (P = 0,010).
5. Dalam masing-masing kelas patologi non-hepar, terdapat frekuensi
patologi hepar yang tinggi, sementara hanya sedikit dari subjek dengan
patologi hepar menunjukkan jenis patologi kedua. Tampak menonjol di
sini, yaitu 70% subjek dengan patologi jantung juga memiliki patologi
hepar.
35
6. Seperti yang diperkirakan, patologi hepar ditemukan di semua diagnosis
kerusakan organ-akhir yang jelas terkait-alkohol dan ketergantungan
alkohol, dan di sebagian besar diagnosis keracunan alkohol akut dan
penyakit-penyakit sistem pencernaan. Untuk penyebab kerusakan organakhir terkait-alkohol dan ketergantungan alkohol, frekuensi patologi
pankreas juga tinggi (masing-masing 71 dan 35%). Terdapat persentase
patologi paru yang cukup tinggi (18%) pada kematian akibat keracunan
alkohol akut. Berkenaan dengan kematian akibat penyakit sistem sirkulasi,
terdapat temuan menarik, yaitu lebih dari dua pertiga kasus memiliki bukti
patologi hepar yang mungkin terkait-alkohol. Pada kematian dengan
penyebab mendasar penyakit saluran cerna, 92% kasus memiliki patologi
hepar dan 58% memiliki patologi pankreas. Untuk kematian karena
penyebab respirasi, 77% memiliki patologi hepar. Pada penyebab kematian
eksternal, patologi hepar dan paru merupakan yang paling sering
ditemukan, yaitu pada ~50% dan ~20% kasus.
Odd ratio disesuaikan-usia untuk kematian akibat penyebab terkait-alkohol
dibandingkan dengan akibat penyebab lain adalah sebesar 4,8 [95% confidence
interval (CI) = 1,8 – 12,5] untuk subjek dengan satu kelas patologi positif, dan 6,7
(95% CI = 2,6 – 17,7) untuk subjek dengan dua atau lebih kelas, relatif terhadap
subjek tanpa kelas patologi positif.
36
DAFTAR PUSTAKA
Bartlet,
Dana.
2015.
Acute
Alcohol
Intoxication.
Tersedia
http://www.rn.org/courses/coursematerial-219.pdf. Diakses pada tanggal 26
Agustus 2016
BPOM. 2014. Berita Keracunan Bulan Juli – September 2014. Tersedia
http://ik.pom.go.id/v2015/berita-keracunan/berita-keracunan-bulan-juliseptember-2014. Diakses pada tanggal 26 Agustus 2016
Charalambous MP, Jul-Aug 2002, Alcohol and the accident and emergency
department:
a
current
review,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12107029, 30 Agustus 2016
Di Maio, Dominick J., Di Maio, Vincent J. M., 2001, Forensic pathology 2nd ed.,
Florida: CRC Press LLC, chapter 23 hlm 10-15
Dlcas,
2014,
Chronic_Alcoholism,
Tersedia
http://www.dlcas.com/MAAP/Chronic_Alcoholism.pdf. Diakses 30 Agustus
2016
Hunsaker, Donna M., Hunsaker III, John C., 2004, Forensic Pathology Reviews
Volume I, New Jersey: Humana Press, chapter 14 hlm 307-338
Korabathina,
Kalyani.
2016.
Methanol
Toxicity.
http://emedicine.medscape.com/article/1174890-overview.
Tersedia
Diakses
pada
tanggal 26 Agustus 2016
Necki, Krystyna, 2015, Forensic Examination of Alcohol Intoxication, School of
Security
and
Global
Studies.
Paper
1.,
http://digitalcommons.apus.edu/studentssgs, 30 Agustus 2016
37
Schoen, Frederick J., Mitchell, Richard N., 2015, Robbins and Cotran Pathologic
Basis of Disease, Ed 9. Philadelphia : Elsevier Inc. , hlm 564-571
Schuckit
MA,
Feb
2009,
Alcohol-use
disorders,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19168210, 30 Agustus 2016
Sudjana, Putu, 2010, Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal edisi
keenam, hlm 127-129
Tempo. 2015. 6 Orang Mati Keracunan Alkohol Setiap Hari. Tersedia
https://m.tempo.co/read/news/2015/01/08/095633597/6-orang-matikeracunan-alkohol-setiap-hari. Diakses pada tanggal 26 Agustus 2016
Theise, Neil D. 2015. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease, Ed 9.
Philadelphia : Elsevier Inc. , hlm 842-848
Turner, Jerrold R., 2015, Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease, Ed 9.
Philadelphia : Elsevier Inc. , hlm 753-760
Weeklyline.Net. 2014. Bali dan Lombok Rawan Keracunan Methanol. Tersedia
http://www.weeklyline.net/kesehatan/20140506/bali-dan-lombok-rawankeracunan-methanol.html. Diakses pada tanggal 26 Agustus 2016
Yulianto, Apit. 2014. Buat dan Edarkan Miras Oplosan, Marwoto Diringkus
Polisi. Suaramerdeka, 24 Okt 2014
38
39
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hampir setiap tahun kejadian kasus keracunan alkohol terus terjadi.
Menurut laporan tahunan Center for Disease Control and Prevention (CDC) yang
didapat dari National Vital Statistic System sepanjang tahun 2010 sampai 2012,
tiap hari ada enam orang mati karena keracunan alkohol di Amerika Serikat.
Artinya, setiap tahun ada lebih dari 2.000 orang di Amerika mati karena alkohol.
CDC mencatat korban umumnya pria kulit putih berusia 35-64 tahun, namun
tingkat keracunan alkohol pada Indian Amerika dan suku asli Alaska juga tinggi
(Tempo, 2015).
Menurut Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) pada Berita Keracunan Bulan Juli – September 2014 mencatat
37 (tiga puluh tujuh) berita insiden keracunan yang terjadi di berbagai wilayah
Indonesia yang diperoleh dari 138 media massa online, dimana terdapat 4 insiden
keracunan akibat bahan campuran. Pada kejadian keracunan akibat bahan
campuran tersebut terdapat 2 insiden keracunan yang diakibatkan oleh campuran
alkohol dan suplemen kesehatan. Peristiwa pertama terjadi di wilayah Cimahi,
Jawa Barat, dengan bahan yang diduga menyebabkan keracunan berupa alkohol
70% yang dicampur dengan suplemen kesehatan berbahan utama ginseng, serta
mengakibatkan 4 orang yang mengkonsumsinya meninggal dunia. Insiden
keracunan lainnya terjadi di Kabupaten Garut, Jawa Barat yang diakibatkan oleh
campuran alkohol 70%, arak, dan suplemen kesehatan yang menyebabkan 3 orang
1
meninggal dunia dari jumlah total korban 5 orang. Selain itu, terdapat 1 kejadian
keracunan akibat mengkonsumsi campuran alkohol dengan pestisida rumah
tangga (lotion anti nyamuk), minuman bersoda, dan thinner yang terjadi di
wilayah Jakarta Timur dengan jumlah korban 2 orang meninggal dunia (BPOM,
2014).
WHO menyebutkan, penyalahgunaan alkohol merupakan salah satu
pembunuh utama kaum muda India. Penelitian yang dilakukan oleh pemerintah
India pada tahun 2004 didapatkan bahwa 62,5 juta orang bergantung pada
minuman keras. Pada Juli 2009, 43 orang meninggal akibat miras lokal Gujarat
India Barat. Pada Mei 2008 lebih dari 168 orang meninggal di dua bagian India
Selatan, Karnataka dan Tamil Nadu, karena kasus serupa. Kejadian keracunan
alkohol oplosan ini pun telah terjadi di kalangan masyarakat Indonesia,
diantaranya terdapat kejadian luar biasa miras oplosan hingga Desember 2014 di
Sumedang Jawa Barat mencapai 127 orang. Sementara di Garut terdapat korban
meninggal mencapai 16 orang. Pada Agustus 2013 di Cicalengka, Bandung
terdapat 33 kasus keracunan miras yang 12 diantaranya meninggal. Di Yogyakarta
antara Januari 2013-2014 terdapat sedikitnya 19 korban jiwa akibat minuman
keras oplosan, di Mojokerto pada Desember 2013 terdapat 17 orang meninggal.
Dari hasil uji laboraturium terungkap semua miras yang diminum mengandung
methanol dengan kadar 38-84% (Suaramerdeka, 2014). Sedangkan di Bali dan
Lombok kejadian luar biasa (KLB) keracunan methanol dan arak oplosan, sampai
dengan tahun 2014 jumlah kematian mencapai 45 orang rata-rata. Sementara 13
orang mengalami kebutaan secara permanen dan atau kecacatan seumur hidup
(Weeklyline.Net, 2014).
2
Alkohol (etanol, CH3CH2OH) menduduki peringkat tertinggi sebagai
substrat penyebab dalam toksikologi forensik, dengan alasan sederhana bahwa
meminum dalam jumlah banyak dan pemabuk dicurigai menjadi penyebab dalam
kasus-kasus kecelakaan fatal, kematian akibat trauma, bunuh diri, kekerasan dan
perilaku antisosial pada umumnya . Laporan dari departemen kecelakaan dan
layanan darurat (Accident and Emergency Service Departments) di seluruh dunia
memberikan bukti yang cukup untuk mendukung dampak negatif dari
penyalahgunaan alkohol dan alkoholisme di masyarakat. Kerugian yang
disebabkan oleh konsumsi minuman beralkohol yang berlebihan menjelaskan
banyak kecelakaan di rumah, di tempat kerja, dan di jalan-jalan (Charalambous,
2002).
Sedangkan methanol merupakan bentuk alkohol yang paling sederhana
dan merupakan senyawa kimia dengan rumus kimia CH3OH. Methanol biasanya
paling banyak digunakan dalam pembuat bahan kimia lainnya. Sekitar 40%
diubah menjadi formaldehyde yang kemudian dijadikan berbagai macam produk
seperti plastik, cat, bahan peledak dan tekstil. Pada beberapa kasus keracunan
alkohol disebabkan oleh konsumsi dari methanol yang dicampur dengan bahanbahan lain seperti jamu-jamuan dan obat-obatan (Korabathina, 2016).
Patofisiologi pada kasus keracunan alkohol pertama kali dijelaskan pada
tahun 1926 bahwa terdapat hubungan antara perubahan lemak dalam organ hepar
karena alkohol dengan kematian mendadak akibat aritmia. Kematian ini biasanya
terjadi pada laki-laki kulit putih yang berusia lebih dari 50 tahun dengan kadar
alkohol dalam darah negatif atau rendah dan pada organ hepar biasanya
menggambarkan perubahan lemak (sirosis). Mekanisme penyebab kematian tidak
3
sepenuhnya dipahami, tetapi diduga disebabkan oleh berbagai gangguan
metabolisme yang dipicu oleh intake etanol dalam jumlah besar dan karena
kelaparan yang mengakibatkan aritmia jantung. Pada hasil otopsi pada kasus ini
pada dasarnya negatif, hanya menunjukkan steatosis hepar. Alkohol menyebabkan
aritmia selama hidup, termasuk perpanjangan interval QT, yang berhubungan
dengan kematian jantung mendadak (Schuckit, 2009).
1.2 Tujuan
1.2.2 Tujuan Umum
Menjelaskan gambaran kelainan berbagai organ pada hasil otopsi kasus
keracunan alkohol
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Membandingkan patologi organ yang paling sering pada kasus keracunan
alkohol.
2. Menjelaskan prevalensi patologi organ terkait keracunan alkohol.
3. Menjelaskan asosiasi antara rerata konsentrasi etanol dalam darah, urin,
atau vitreous humour, dengan jumlah kelas patologi
1.3 Manfaat
Bagi pendidikan: Untuk menambah pengetahuan tentang gambaran
kelainan berbagai organ pada hasil otopsi kasus keracunan alkohol
Bagi masyarakat: Untuk memberi wacana kepada masyrakat
tentang kelainan berbagai organ pada kasus keracunan alkohol
4
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Alkohol
2.1.1 Etil Alkohol
Alkohol adalah nama yang umum untuk Etil Alkohol yang pda umumnya
disebut dengan etanol. Etil alkohol kemudian menjadi dikenal sebagai
bahan/substrat penyebab keracunan di Amerika Serikat. Etil alkohol ditemukan
pada produk minuman seperti bir, wine, whisky, gin¸ dan minuman penyemangat
lainnya. Etil alkohol dalam konsentrasi tinggi juga ditemukan pada hair spray,
parfum dan minyak wangi, cairan pencuci mulut, perasa makanan seperti ekstrak
vanila, dan cairan pencuci tangan (Bartlet, 2015).
Etil alkohol adalah obat yang paling banyak disalahgunakan dalam
masyarakat Amerika dan mungkin masyarakat dunia. Setiap minuman
yang mengandung 0,5-95% alkohol dianggap sebagai minumn beralkohol.
Istilah "proof" digunakan untuk menggambarkan kekuatan minuman
beralkohol. Proof didefinisikan sebagai dua kali persentase alkohol dalam
minuman. Dengan demikian, minuman 80-proof adalah 40% alkohol.
Konsentrasi kandungan alkohol pada minuman bir antara 3,2 dan 4%,
anggur (wines) 7,1-14%, wiski 40-75%, vodka 40-50%, gin 40-85%, dan
rum 40-95%. Alkohol dengan cepat diserap pada semua permukaan
mukosa dari saluran sistem pencernaan. Pada keadaan puasa, 20-25% dari
dosis alkohol diserap di perut dan 75-80% di usus kecil. Makanan
menghambat penyerapan alkohol. Mengikuti proses pencernaan alkohol
pada perut kosong, puncak konsentrasi alkohol darah (blood alcohol
concentration/BAC) terjadi dalam waktu 1,5 – 2 jam (rata-rata 0,75-1,35
jam), sedangkan dengan adanya makanan di perut, tingkat puncak dicapai
5
dalam waktu 1-6 jam (rata-rata 1,06-2,12 jam). Terlambatnya pencapaian
puncak konsentrasi alkohol dalam darah berbanding lurus dengan jumlah
makanan dan berbanding terbalik dengan jumlah beda waktu antara makan
dan konsumsi alkohol. Susunan makanan menunjukkan pengaruh yang
kecil terhadap kecepatan penyerapan (Di Maio, 2001).
Alkohol, sebagai obat, memiliki efek yang dapat diukur pada
aktivitas tubuh secara normal. Alkohol mengganggu ketajaman visual,
adaptasi terhadap cahaya (terang) dan gelap, perbedaan warna, respon
ketetapan atau kecepatan terhadap stimulasi visual, penglihatan yang jelas,
dan lain sebagainya. Penurunan ketrampilan mengemudi pada pengukuran
konsentrasi alkohol dalam darah serendah 30 mg/dL, meskipun risiko
keterlibatan dalam kecelakaan tidak meningkat. Kadar dimana resiko
kecelakaan mulai meningkat sekitar 0,08 mg/dL. Pada kadar 0,10 mg/dL,
risiko kecelakaan yang fatal meningkat 12 kali lipat dibandingkan dengan
yang bukan peminum. Alkohol mengganggu waktu reaksi pada
konsentrasi darah lebih dari 50 mg/dL. Telah dikenal sejak tahun 1919
bahwa efek dari keracunan alkohol akut lebih ditegaskan ketika kadar
dalam darah meningkat daripada menurun (efek Mellanby). Reaksi
psikologis tiap individu pada keracunan alkohol akut bervariasi. Pada
semua individu, bagimanapun, terdapat perbedaan kelainan reaksi sebesar
0,10 mg/dL. Dalam kaitan dengan efek alkohol pada kepribadian,
beberapa orang menjadi mudah mengantuk, tenang, dan ramah, sedangkan
yang lain menjadi antagonis, sikap bermusuhan, dan keras. Tidak ada cara
untuk menjelaskan bagaimana tiap individu akan bereaksi terhadap jumlah
kadar alkohol dalam darahnya. Dari semua sistem organ dalam tubuh,
6
yang paling terpengaruh oleh alkohol adalah sistem syaraf pusat (Di Maio,
2001).
2.1.2 Metil Alkohol
Metil alkohol yang sering disebut dengan metanol, biasanya digunakan
sebagai pelarut organik. Karena toksisitasnya, jika tertelan metanol dapat
menyebabkan asidosis metabolik, kecacatan neurologis, dan bahkan kematian.
Keracunan metanol menjadi penyebab kasus yang banyak terjadi pada negara
berkembang,
terutama
pada
masyarakat
sosial
ekonomi
yang
rendah
(Korabathina, 2016).
2.2 Patofisiologi Keracunan Alkohol Akut
2.2.1 Etil Alkohol
Etil alkohol dengan cepat diserap dalam waktu 60 menit. Jika terdapat
makanan dalam lambung, alkohol dikonsumsi dengan lambat, atau jika terdapat
konsentrasi alkohol yang tinggi dalam minuman, penyerapan dapat lebih lama.
Kurang lebih 20% alkohol diserap di lambung dan pada pemeriksaan 80% diserap
di usus halus. Pertama kali alkohol diserap, dimetabolisme di hepar oleh enzim
alcohol dehydrogenase (ADH) menjadi acetaldehid. Acetaldehid dimetabolisme
oleh acetaldehyde dehydrogenase menjadi acetat dan air (Bartlet, 2015).
Gambar 1. Jalur alkohol dehidrogenase (Hunsaker, 2004)
Sebagian besar kematian yang disebabkan oleh keracunan alkohol akut
terjadi pada kadar alkohol dalam darah sebesar 400 mg% atau lebih besar.
7
Peminum yang belum berpengalaman lebih rentan daripada pecandu alkohol
kronis. Pecandu alkohol kronis pernah diketahui mengemudikan kendaraan
bermotor dengan kadar alkohol dalam darahnya sebesar 450-500 mg% dan
mampu bertahan dengan kadar alkohol darah 600-700 mg%. Konsentrasi alkohol
dalam darah yang sebenarnya pada saat otopsi mungkin lebih rendah dari kadar
yang mematikan, jika seseorang cedera otak akibat hipoksia yang ireversibel
disebabkan oleh depresan SSP akibat keracunan alkohol, namun dapat bertahan
sementara dan memetabolisme alkohol. Dalam kasus seperti itu, kemungkinan
kadar alkohol dalam darah sebesar 300 mg% atau berkisar lebih tinggi dari 200mg
%. Sedangkan pada vitreous secara signifikan akan menunjukkan kadar alkohol
yang lebih tinggi, hal ini menunjukkan bahwa individu tersebut sedang dalam fase
metabolisme (Di Maio, 2001) .
8
Gambar 2 Tahapan keracunan alkohol akut (Di Maio, 2001)
Efek klinis paling umum dari alkohol akut adalah depresi susunan
saraf pusat (SSP). Depresi SSP yang terjadi dapat berupa perasaan
mengantuk
hingga
koma
(penurunan
kesadaran).
Kehilangan
keseimbangan, pusing, penurunan koordinasi, dan kebingungan adalah
gejala yang paling umum terlihat. Mual dan muntah sangat sering terjadi,
depresi pernapasan mungkin terjadi, dan pada beberapa pasien dapat juga
mengalami takikardi dan hipotensi. Reflek protektif ( seperti reflek gag)
bisa muncul, serta hipoglikemia, hipotermia, dan rabdomiolisis dapat
terjadi jika seseorang yang keracunan tidak sadarkan diri dalam waktu
yang lama. Kematian pada keracunan etanol disebabkan oleh depresi
pernapasan dan aspirasi dari isi lambung (Bartlet, 2015).
9
Efek racun dari alkohol kemungkinan disebabkan oleh interaksi
antara alkohol dengan neurotransmitter tertentu dan/atau reseptornya
(Bartlet, 2015):
a. Interaksi antara etil alkohol dengan neurotransmitter gammaaminobutiric acid (GABA)
GABA adalah salah satu dari dua neurotransmitter penghambat utama.
Pada saat GABA berikatan dengan reseptor GABA pada membran sel, sel
menjadi hiperpolarisasi dan tidak dapat merespon stimulasi (dihambat).
Etil alkohol mengikat tempat yang spesifik yang berhubungan dengan
reseptor GABA dan hal ini meningkatkan aktivitas GABA. Jika hal ini
terjadi maka sel-sel menjadi tidak dapat merespon stimulus kemudian
menjadi tidak aktif- yang menghasilkan depresi SSP, depresi pernapasan,
reflek-reflek menurun, dan sebagainya.
b. Interaksi antara etil alkohol dan tempat reseptor spesifik untuk
neurotransmitter glutamat dan glisin.
Glutamat adalah neurotransmitter pemicu. Jika glutamat berikatan dengan
reseptor
membran
beraksi/berespon.
sel,
Glisin
sel
akan
adalah
mengalami
depolarisasi
dan
neurotransmitter
penghambat
dan
mekanisme kerjanya sama dengan GABA. Glutamat dan glisin mengikat
tempat reseptor yang spesifik, yaitu reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA).
Etil alkohol merusak ikatan antara glutamat dan glisin dengan reseptor
NMDA, sehingga sel tidak dapat merespon stimulus.
2.2.2 Metil Alkohol
10
Keracunan yang disebabkan oleh metil alkohol (metanol) relatif jarang
terjadi. Metanol dioksidasi oleh hepar menjadi formaldehida, yang teroksidasi
menjadi asam format. Asam format enam kali lebih beracun dari metanol. Gejala
akut dari keracunan metanol adalah kelemahan, mual, muntah, sakit kepala, nyeri
ulu hati, dispnea, dan sianosis. Mabuk bukan merupakan gejala yang menonjol.
Gejala-gejala tersebut dapat terjadi dalam waktu setengah jam setelah konsumsi
atau tidak muncul gejala selama 24 jam. Metanol yang tertelan pada jumlah yang
fatal, gejala yang disebutkan di atas akan diikuti oleh stupor, koma, kejangkejang, hipotermia, dan kematian. Kematian hampir selalu didahului dengan
kebutaan. Jika mampu bertahan hidup, akan mengalami kebutaan permanen, yang
disebabkan oleh toksisitas spesifik pada sel-sel retina. Kematian pada keracunan
metanol disebabkan oleh asidosis dari produksi asam organik dan depresan SSP.
Asidosis adalah faktor utama pada keracunan metanol, dengan depresi SSP
sebagai faktor minor. Asam formiat adalah agen utama yang bertanggung jawab
untuk asidosis metabolik berat dan toksisitas okular dari metnol (Di Maio, 2001).
Metanol
dirubah
menjadi
formaldehid
melalui
enzim
alkohol
dehidrogense (ADH), kemudian formaldehid diubah oleh enzim aldehid
dehidrogenase menjadi asam format. Perubahan formaldehid menjadi asam format
membutuhkan waktu yang lebih lama, hal ini menjelaskan alasan gejala-gejala
yang lambat pada kasus keracunan metanol oral. Asam format selanjutnya
teroksidasi menjadi kanbondioksida dan air. Metabolisme asam format sangat
lambat, sehingga dapat terakumulasi dalam tubuh sehingga menyebabkan asidosis
metabolik (Korabathina, 2016).
11
Kerusakan penglihatan yang disebabkan oleh metanol telah dijelaskan,
namun mekanismenya tidak dapat dimengerti dengan baik. Kebutaan diduga
karena fungsi mitokondria pada saraf optikus diinterupsi, yang menghasilkan
hiperemia, edema, dan atrofi saraf optikus. Demielinasi saraf optikus dilaporkan
karena destruksi mielin oleh asam format. Kerusakan utama terjadi pada saraf
optikus retrolaminer dengan pembengkakan intra-axonal dan kerusakan organela.
Metanol juga berefek pada basal ganglia, berupa kerusakan perdarahan dan non
perdarahan
pada
putamen,
yang
menyebabkan
parkisonism
atau
distonik/hipokinetik (Korabathina, 2016).
2.3 Patofisiologi Keracunan Alkohol Kronik
Pecandu alkohol kronis seringkali mampu menutupi banyak gejalagejala keracunan alkohol akut, meskipun masih ada gangguan fisiologis. Dengan
demikian, pecandu alkohol kronis dengan konsentrasi dalam darah sebesar 150
mg% gejala yang dapat muncul minimal, meskipun sudah terjadi penurunan
refleks, ketajaman visual, memori, konsentrasi, dan pengambilan keputusan. Pada
individu muda yang tidak terbiasa minum alkohol akan lebih rentan terhadap
gejala keracunan akut dan terjadinya depresi SSP yang mematikan (Di Maio,
2001).
Tidak ada keraguan mengenai komplikasi medis yang serius akibat
alkoholisme. Alkoholisme saat ini terdaftar sebagai penyebab utama ketiga
kematian di masyarakat. Banyak kematian terkait alkohol tidak dilaporkan,
akantetapi banyak profesional percaya bahwa alkoholisme bisa menjadi
pembunuh nomor satu. Misalnya, sirosis hati (kelainan yang paling sering
12
terjadi terkait alkoholisme) adalah salah satu dari sepuluh penyebab utama
kematian. Seringkali, jika penyebab kematian adalah kegagalan organ
tubuh atau sistem, peran alkohol tidak dianggap. Jika seseorang meninggal
karena serangan jantung, namun juga menjadi peminum alkohol selama 35
tahun hidupnya, maka sebab kematian dikaitkan dengan serangan jantung,
bukan karena pecandu alkoholnya. Sebagai penyebab iritasi, alkohol
memiliki potensi menyebabkan kerusakan fisik yang serius pada semua
dari sistem tubuh. Seringnya kalangan medis menunggu untuk munculnya
gejala fisik umtuk mendiagnosa keracunan alkohol kronis. Sayangnya,
alkoholisme adalah penyakit kronis dan progresif, diman gejala-gejala
awal yang muncul umumnya perilaku dan bukan fisik. Mayoritas masalah
medis biasanya muncul di akhir, tahap kronis dari penyakit. Menunggu
tanda-tanda fisik muncul akan menyumbang angka kematian tinggi yang
terkait dengan masalah ini (dlcas, 2014).
Konsumsi alkohol secara kronik akan meningkatkan kadar etil
alkohol, maka terjadi
efek racun biologis yang lambat dan termasuk
keracunan pada level seluler dengan hasil gangguan fungsi klinis dari
berbagai sistem organ. Kelainan yang signifikan dengan kecacatan
patofisiologis dapat terjadi pada hepar (fatty liver, hepatitis akut, sirosis
dengan kegagalan hepar, karsinoma hepatoseluler), jantung (kardiomiopati
alkoholik,
hipertensi
encephalopathy
sekunder),
[defisiensi
otak
vitamin
(Wernicke–Korsakof
B1{thiamin}],
superior
cerebellar vermal atrophy, peningkatan resiko stroke, dan gejalagejala kejang), esofagus (varises submukosa, sindroma MalloryWeiss, ruptur, karsinoma), gaster dan duodenum (gastritis
13
alkoholik, atropi gaster, penyakit ulkus peptikum, karsinoma),
pankreas (pankreatitis akut dan kronis dengan pseudocysta),
dan urogenitalis (pengurangan produksi testosteron, disfungsi
ereksi, infertilitas pada pria dan wanita). Keracunan alkohol pada
kehamilan dapat terjadi sindroma fetal alkohol, aborsi spontan,
fetal alcohol withdrawal, dan teratogenesis. Pada keadaan
kurang
asupan
makanan
konsumsi
alkohol
menyebabkan
malnutrisi (Hunsaker, 2004).
Gambar 3 Penyakit Liver Alkoholik (Theise, 2015)
2.4 Pemeriksaan Jenazah pada Keracunan Alkohol
2.4.1 Pengambilan Spesimen Toksikologi
Tujuan yang terpenting dari dilakukannya pemeriksaan toksikologi
pada kasus keracunan adalah untuk menegakkan diagnosa dari keracunan,
sehingga dapat segera dilakukan terapi yang tepat (pada korban hidup) dan
dapat memberikan kesimpulan yang pasti dari sebab kematian korban
akibat keracunan.
Pada dasarnya pemeriksaan toksikologi disini dapat dibagi menjadi 4 langkah
utama yaitu (Sudjana, 2010):
14
1. Pengambilan bahan-bahan untuk tujuan analisa (yang berasal dari korban).
2. Pelaksanaan analisa toksikologi.
3. Interpretasi hasil analisa.
4. Apa yang harus dilakukan terhadap bahan tersebut selanjutnya.
Tabel 1 Pengambilan bahan dari korban keracunan fatal, jumlah dan jenis
racun yang terakumulasi pada bahan tersebut.
Bahan pemeriksaan
Jari
ngan
lemak
dibawah kulit
Em
pedu
Dar
ah
Ota
k
Gin
jal
Hati
Paru-paru
Lambung, usus
beserta isinya
Urine
Cairan bola
mata
Jumlah
Racun yang terakumulasi
Insektisida, thiopental
Seluruhnya
15 ml. Dengan pengawet
100 ml. Tanpa
pengawet
Narkotika
Etil alkohol, CO
Sebagian besar racun umumnya.
500 g.
Seluruhnya/kiri-kanan
Setengah bagian
Racun mudah menguap
Amphetamin, logam berat, narkotika
250-500 g.
Seluruhnya
Sebagian besar racun
Methadone, propoxypene, racun-racun
mudah menguap
Semua racun yang masuk per oral
200 g
Seluruhnya
Seluruhnya jika
mungkin
Seluruhnya jika
mungkin
Sebagian besar racun umumnya
Digoxin, elektrolit, glukosa.
Setelah bahan diambil dan dikumpulkan, kemudian dimasukkan
dalam wadah
yang telah disediakan dengan pengawetan atau tanpa
pengawetan tergantung pada segera atau tidaknya dilakukan analisa
toksikologi.
Wadah beserta bahan kemudian diberikan label yang memuat (Sudjana, 2010):
-
Nomor identitas korban
-
Tanggal pengambilan bahan
-
Keterangan mengenai bahan yang telah diambil (jenisnya)
15
-
Dokter yang mengambil bahan pemeriksaan (nama)
-
Nama penyegel, tanda tangan, cap segel dinas (diatas lak)
Spesimen untuk pemeriksaan histopatologi (Sudjana, 2010).
1. Jaringan yang diambil berukuran 2 X 3 X ½ cm, jangan lebih tebal karena
penetrasi cairan fiksasi membutuhan waktu lebih lama, sehingga kemungkinan
besar jaringan menjadi busuk.
2. Potongan jaringan yang diambil rutin, bila anggaran untuk pemeriksaan
histopatologi cukup adalah sebagai berikut:
a.
Jantung :
o
Ventrikel kanan dan kiri
o
Atrium kanan dan kiri
o
Valvula
o
Arteria coronaria
o
Septum interventricularis
b.
Paru-paru : tiap lobus
c.
Hepar
: bagian sentral dan perifer
d.
Ginjal
: kanan, kiri meliputi pyramida (cortex, madulla,pelvis)
e.
Usus
: usus halus,usus besar,appendix
f.
Lambung : curvatura minor
g.
Pancreas : cauda,corpus,caput
h.
Anak ginjal
i.
Glandula thyroidea
j.
Otak
k.
Hypophysis
: cortex cerebri,basal ganglia, pons, hippocampus
16
3. Semua jaringan tidak boleh tertekuk (twisted), misalnya usus diletakkan
diatas kertas saring.
Jaringan yang diambil untuk spesimen sebelumnya tidak boleh dicuci.
4. Bahan fiksasi
Sebagai bahan fiksasi digunakan larutan 10% formaline, yang membuatnya
ialah dengan mencampur 1.vol, (handels) formalin dengan 3 vol. Air yang
dimaksud dengan handels formaline ialah larutan formaline yang mengandung
40% formaldehyd.
5. Kalau dapat jaringan yang sudah difiksir sebelum dikirim ke pusat diiris
yang lebih rapi lagi, sehingga volume bahan yang dikirim menjadi lebih kecil
untuk menghemat biaya pengiriman.
6. Karena anggaran untuk pemeriksaan histopatologi sangat terbatas, maka
untuk sementara hanya dikirim jaringan yang makroskopik menunjukkan
adanya kelainan patologi.
2.4.2 Hasil Pemeriksaan Jenazah
Pada kasus kematian dari keracunan alkohol akut, kelainan yang
ditemukan selama pemeriksaan forensik pada jenazah tidak spesifik. Pada
pemeriksaan luar jenazah ditemukan sianosis dan wajah bengkak, perdarahan
kelopak mata (bleeding of the connecting theca of eyelids), bercak (spots) biruungu yang tersebar pada seluruh tubuh jenazah, BAK dan BAB yang tidak
terkontrol. Pada pemeriksaan dalam kelainan yang ditemukan adalah hiperemi dan
edema otak dan pleksus choroid otak, perfusi otot jantung yang tidak merata,
perdarahan berupa ptekie dibawah outer theca dari organ internal, edema dari
17
seluruh gallblader, dan aliran yang berlebihan dari vesika urinaria, serta bau
alkohol dari rongga (cavities) dan organ-organ pada jenazah (Necki, 2015).
Keracunan dari konsumsi kronik menyebabkan kelainan multiorgan yang
menyebabkan
morbiditas
dan
mortalitas.
Proses
pembusukan
jenazah
(dekomposisi) dapat meningkatkan kadar alkohol dalam darah yang akan
memberikan efek palsu, dikarenakan produksi endogenus oleh pertumbuhan yang
normal dan fermentasi flora pada usus. Cairan vitreus humor, yang biasanya steril,
merupakan pembanding akurat untuk membedakan produksi antemortem atau
postmortem. Cairan dari pengawetan jenazah (embalming) dapat digunakan secara
selektif untuk memperkirakan kadar alkohol dalam darah (BAC) antemortem
melalui membandingkan dengan cairan embalming yang mudah menguap.
Karakteristik gross (makros) dan histopatologi pada beberapa sistem organ dapat
diperiksa pada alkoholism kronik walaupun tanpa riwayat. Efek racun secara
progresif pada umumnya terjadi pada hepar, jantung, pankreas, dan sistem saraf
pusat. Paling sering ditemukan adalah sirosis mikronudular tanpa infeksi hepatitis
atau penyakit intrinsik hepar sangat spesifik pada konsumsi alkohol kronik.
Berbagai stadium akhir atau kondisi penyakit yang parah terjadi primer di hepar,
seperti sirosis mikronudular atau hepatitis alkoholik (Hunsaker, 2004).
1.
Hepar
Terdapat tiga penjelasan, walaupun tumpangtindih, mengenai kelainan hepar
akibat alkohol: (1) hepatocellular steatosis atau perubahan perlemakan, (2)
hepatitis alkoholik (atau steatohepatitis), dan (3) steatofibrosis dan termasuk
sirosis pada fase lanjut. Setelah alkohol masuk dalam tubuh dalam jumlah yang
cukup banyak, butiran-butiran lemak terakumulasi dalam hepatosit meningkat
dengan banyak dan terjadi secara terus-menerus pada alkoholik kronik.
18
Perlemakan dimulai dengan butiran kecil kemudian bersatu menjadi butiran besar
yang menjadikan hepatosit membesar dan menekan nukleus ke pinggir sel
(gambar 4). Secara makroskopis, fatty liver pada orang dengan alkoholism kronis
didapatkan hepar yang besar (dengan berat 4 – 6 kg), organ lunak berwarna
kuning dan berminyak (Theise, 2015).
Gambar 4 Steatosis Alkoholik dan Steatofibrosis (Theise, 2015)
Gambar 5 Hepatitis Alkoholik
19
Gambar 6 Sirosis Alkoholik
Hepatitis alkoholik (steatohepatitis) secara histopatologi antara lain
sebagai berikut (Theise, 2015):
1)
Hepatosit yang bengkak dan nekrosis: singel atau fokus-fokus sel
yang tersebar yang mengalami pembengkakan dan nekrosis (gambar 5).
2)
Mallory-Denk
bodies:
selalu
tampak
mengkerut
(clumped),amorfik, bentukan yang eosinofilik pada hepatosit yang
membesar
3)
Reaksi neutrofilik: neutrofil memasuki lobus hepar dan menumpuk
mengelilingi hepatosit yang terdegeneralisasi, terutama pada MalloryDenk bodies (gambar 5B).
Hepatitis alkoholik seringkali disertai dengan aktivasi yang menonjol dari
sel stellate sinusoid dan fibroblas pada portal yang akan menjadi fibrosis.
Fibrosis dimulai dengan skerosis dari vena sentral. Scar perisunisoid
kemudian mengumpul dalam ruang dari disse pada regio centrilobular,
tersebar keluar, melingkari sendiri-sendiri atau kluster kecil dari hepatosit
pada pola chicken wire fence (gambar 4).
2. Pankreas (Hruban dan Iacobuzio-Donahue, 2015)
Efek alkoholisme pada organ pankreas
adalah terjadinya
pankreatitis. Pankreatitis dibagi menjadi dua bentuk yaitu akut dan kronik,
20
masing-masing mempunyai karakteristik patologis dan gejala klinis
tersendiri.
Pankreatitis Akut
Pankreatitis akut ditandai dengan cedera parenkim pankreas yang
reversibel berhubungan dengan peradangan dan memiliki beragam
etiologi, termasuk pajanan racun (Misalnya, alkohol), obstruksi duktus
pankreatikus (misalnya, batu empedu), cacat genetik, cedera vaskular, dan
infeksi. Pankreatitis akut relatif umum; angka kejadian tahunan di negaranegara Barat adalah 10 sampai 20 kasus per 100.000 orang. Penyakit
saluran empedu dan alkoholisme sekitar 80% dari kasus pankreatitis akut
di negara-negara barat. Proporsi kasus dari pankreatitis akut akibat asupan
alkohol yang berlebihan bervariasi dari 65% di Amerika Serikat, 20% di
Swedia, dan 5% atau kurang di Perancis selatan dan Inggris. Rasio lakilaki dibandingkan perempuan 1: 3 pada kelompok dengan penyakit saluran
empedu dan 6: 1 pada mereka dengan alkoholisme.
Pankreatitis akut merupakan hasil dari pelepasan dan aktivasi yang
tidak tepat dari enzim pankreas, dimana dapat merusak jaringan pankreas dan
menimbulkan reaksi inflamasi akut. konsumsi alkohol secara sementara
meningkatkan kontraksi sfingter Oddi (otot pada papilla vateri), dan konsumsi
alkohol kronis menghasilkan sekresi cairan pankreas kaya protein yang
menyebabkan pengendapan protein inspissated sehingga menyumbat saluran
pankreas kecil. Alkohol juga memiliki efek toksik langsung pada sel-sel asinar.
Stres oksidatif akibat alkohol dapat menghasilkan radikal bebas dalam sel-sel
asinar, menuju oksidasi membran lipid dan produksi radikal bebas, yang seperti
yang sudah disebutkan, dikaitkan dengan aktivasi dari faktor transkripsi proinflamasi AP1 dan NF-kB.
21
Morfologi pankreatitis akut dimulai dari radang sepele dan edema
hingga nekrosis luas yang parah serta perdarahan. Perubahan dasar antara
lain (1) kebocoran mikrovaskuler dan edema, (2) nekrosis lemak, (3)
inflamasi akut, (4) kerusakan parenkim pankreas, dan (5) kerusakan
pembuluh darah dan perdarahan interstitial.
Dalam bentuk yang lebih ringan, pankreatitis interstitial akut,
perubahan histologis terbatas pada peradangan ringan, edema interstitial,
dan daerah fokal dari nekrosis lemak dalam pankreas dan lemak
peripancreatic (Gambar. 19-3). Nekrosis lemak, seperti telah kita lihat,
hasil dari aktivitas enzim lipase. Pelepasan asam lemak bergabung dengan
kalsium membentuk garam larut yang memberi penampakan mikroskopik
biru granular pada sel-sel lemak. Dalam bentuk yang lebih parah,
pankreatitis nekrotik akut, terdapat nekrosis asinar dan duktus jaringan
serta pulau Langerhans. Cedera vaskular dapat menyebabkan perdarahan
ke dalam parenkim pankreas.
Secara makroskopik, substansi pankreas berwarna merah-hitam
dari perdarahan dan terdiri dari fokus berseling-seling kuning-putih,
nekrosis lemak berkapur (Gbr. 19-4). Nekrosis lemak fokal juga dapat
terjadi berdekatan dengan pankreas dalam omentum dan mesenterium
usus, dan bahkan di luar rongga abdomen, seperti dalam lemak subkutan.
Dalam kebanyakan kasus rongga peritoneal yang berisi serosa, sedikit
keruh, cairan coklat-biruan yang mengandung tetesan lemak (berasal dari
aksi enzim pada jaringan adiposa). Dalam bentuk yang paling parah,
pankreatitis hemoragik, nekrosis parenkim yang luas disertai dengan
perdarahan hebat dalam substansi kelenjar.
22
Gambar 7 Pankreatitis Akut
Pankreatitis kronis
Pankreatitis
kronis
didefinisikan
sebagai
peradangan
berkepanjangan dari pankreas yang terkait dengan kerusakan ireversibel
parenkim eksokrin, fibrosis, dan, pada tahap akhir, penghancuran
parenkim endokrin. Penyebab paling umum dari pankreatitis kronis sejauh
ini adalah konsumsi alkohol dalam waktu yang lama.
Pankreatitis kronis ditandai dengan fibrosis, atrofi dan keluarnya
asinus, dan pelebaran saluran pankreas yang bervariasi (Gambar. 19-6A).
Secara makros, kelenjar sulit, kadang-kadang tampak pelebaran saluran
yang terkalsifikasi. Perubahan ini biasanya disertai dengan peradangan
kronis yang menginfiltrasi sekitar lobulus dan saluran. Epitel duktus
mungkin dapat atropi atau hiperplastik atau mungkin menunjukkan
metaplasia skuamosa. Pankreatitis kronis akibat penyalahgunaan alkohol
23
ditandai dengan dilatasi duktus dan sumbatan protein intraluminal serta
kalsifikasi (Gambar. 19-6B).
Gambar 8 Pankreatitis Kronik
3. Paru-paru (Husain, 2015)
Pneumonia Aspirasi
Pneumonia aspirasi terjadi pada pasien yang lemah atau yang mengalami
aspirasi isi lambung baik saat tidak sadar (misalnya, stroke) atau selama muntah
berulang. Menghasilkan pneumonia karena efek iritasi dari asam lambung, dan
sebagian bakteri (dari flora mulut). Biasanya, lebih dari satu organisme ditemukan
pada kultur, aerob lebih sering daripada anaerob. Pneumonia jenis ini sering
didapatkan nekrosis, mengikuti bentuk klinis fulminan, dan sering menjadi
penyebab kematian. Pada mereka yang bertahan hidup, abses paru adalah
komplikasi paling sering. Microaspiration, sebaliknya, sering terjadi di hampir
semua orang, terutama mereka dengan gastroesophageal reflux penyakit.
24
Gambar 9 Pneumonia
Gambar 10 Pneumonia Akut
4. Gaster (Turner, 2015)
Gastritis
Gastritis adalah proses inflamasi mukosa. Ketika neutrofil muncul, lesi
disebut sebagai gastritis akut. Ketika sel-sel inflamasi jarang atau tidak ada, maka
disebut gastropati. Agen yang menyebabkan gastropati termasuk NSAID, alkohol,
empedu, dan cedera akibat stres. Erosi mukosa akut atau perdarahan, seperti
Curling ulcers atau lesi yang mengikuti terganggunya aliran darah lambung,
misalnya, pada hipertensi portal, juga dapat menyebabkan gastropati yang dapat
berlanjut menjadi gastritis.
Secara histologi, gastropati dan gastritis akut ringan mungkin
dikenali, karena lamina propria hanya menunjukkan edema ringan dan
25
sedikit kongesti vaskular. Permukaan epitel utuh, tapi hiperplasia sel
foveolar, dengan karakteristik bentukan corkscrew (pembuka botol) dan
proliferasi epitel. Neutrofil tidak banyak, tetapi beberapa dapat ditemukan
di antara sel-sel epitel atau dalam kelenjar mukosa pada gastritis. Ada
sedikit limfosit dan sel plasma. Munculnya neutrofil diatas membran basal
yang bersentuhan langsung dengan sel epitel abnormal di semua bagian
saluran pencernaan menandakan adanya peradangan aktif, atau, dalam hal
ini, gastritis (bukan gastropati). Peradangan aktif jangka lama ditemukan
kerusakan mukosa parah, erosi dan perdarahan. Erosi menunjukkan
hilangnya epitel, menghasilkan defek mukosa superfisial. Hal ini disertai
dengan infiltrasi neutrophilic pada mukosa dan eksudat purulen yang
berisi fibrin dalam lumen. Perdarahan dapat terjadi dan menyebabkan
punctae gelap pada mukosa yang hiperemi. Erosi yang bersamaan dan
perdarahan disebut gastritis hemoragik erosif akut.
Gastritis akut
gastritis
hemoargik
Gambar 11 Gastritis (slideshare.net, 2013)
5. Esofagus (Turner, 2015)
Varises Esofagus
Varises esofagus terjadi karena darah vena dari saluran pencernaan
melewati hepar, melalui vena portal, sebelum kembali ke jantung. Pola
26
sirkulasi ini bertanggung jawab untuk first-pass effect dimana obat-obatan
dan bahan lainnya diserap di usus diproses oleh hepar sebelum masuk
sirkulasi sistemik. Penyakit yang menghambat penyebab aliran ini
hipertensi portal dan dapat menjadi varises esofagus, merupakan penyebab
penting dari esofagus berdarah.
Varises adalah pembuluh darah vena melebar berliku-liku terutama
dalam submukosa distal esofagus dan proksimal lambung (Gambar.176A). Saluran vena secara langsung di bawah epitel esofagus mungkin
dapat menjadi dilatasi masif. Secara makros varises mungkin tidak terlalu
jelas pada postmortem, karena terjadi kolaps akibat tidak adanya aliran
darah (Gambar. 17-6B) dan dikaburkan oleh mukosa diatasnya (Gbr. 176C). Varises yang pecah menyebabkan perdarahan dalam lumen atau
dinding esofagus, juga pada mukosa diatasnya muncul ulcerasi dan
nekrosis.
Gambar 12 Varises Esofagus
6. Jantung (Schoen dan Mitchell, 2015)
Dilatasi Cardiomiopati
27
Kardiomiopati bermanifestasi sebagai kegagalan kinerja miokard;
bisa secara mekanik (misalnya, diastolik atau disfungsi sistolik) yang
mengarah ke CHF, atau bisa berujung pada aritmia yang mengancam
kehidupan. Kardiomiopati dapat diklasifikasikan menurut berbagai
kriteria, termasuk dasar genetik yang mendasari disfungsi. Berdasarkan
kelainan anatomi di dalam jantung, dibagi menjadi tiga pola patologis
(Gambar 12-29 dan Tabel 12-11.):
• kardiomiopati dilatasi (termasuk kardiomiopati ventrikel kanan aritmogenik)
• kardiomiopati hipertrofi
• kardiomiopati restrikti
Gambar 13 Jenis Kardiomiopati
Kardiomiopati dilatasi (DCM) ditandai secara morfologis dan
fungsional dengan dilatasi jantung yang progresif dan disfungsi kontraktil
(sistolik), biasanya bersamaan dengan hipertrofi. Penyalahgunaan alkohol
sangat terkait dengan perkembangan DCM, meningkatkan kemungkinan
bahwa toksisitas etanol atau gangguan gizi sekunder dapat mendasari
cedera miokard. Alkohol atau metabolitnya (terutama asetaldehida)
memiliki efek toksik langsung pada miokardium. Selain itu, alkoholisme
28
kronis dapat berhubungan dengan defisiensi tiamin, yang dapat
menyebabkan penyakit jantung beri-beri.
Gambar 14 Patomekanisme Kardiomiopati yang Menyebabkan Kematian
Dalam DCM jantung biasanya membesar, lebih berat (sering berat
dua sampai tiga kali normal), dan lembek, karena pelebaran semua ruang
(Gambar. 15). Thrombi mural yang umum dan mungkin menjadi sumber
thromboemboli. Tidak ada perubahan katup utama; jika terdapat mitral
(atau trikuspid) regurgitasi, menghasilkan dilatasi ruang ventrikel kiri (atau
kanan) (regurgitasi fungsional). Kelainan histologis di DCM tidak spesifik
dan biasanya tidak menunjukkan etiologi tertentu. Paling banyak sel-sel
otot yang hipertrofi dengan inti membesar, tetapi beberapa tipis, teregang,
dan tidak teratur. Interstitial dan fibrosis endocardial dengan berbagai
derajat didapatkan, dan subendocardial scar dapat menggantikan sel-sel
individual atau kelompok sel, mungkin mencerminkan penyembuhan
29
nekrosis iskemik myosit sebelumnya disebabkan oleh ketidakseimbangan
antara perfusi dan permintaan
Gambar 15 Kardiomiopati Dilatasi
30
BAB 3
PEMBAHASAN JURNAL
Pada review jurnal ini dibahas dua jurnal dengan judul Prevalensi patologi
terkait-alkohol pada otopsi: Studi Alkohol dan Kematian Prematur Forensik
Estonia dan Pankreatitis Hemorargik Akut Menyebabkan Kematian Mendadak
Tak Terduga – Laporan Kasus Dan Tinjauan Pustaka.
Pada jurnal dengan judul Prevalensi patologi terkait-alkohol pada otopsi:
Studi Alkohol dan Kematian Prematur Forensik Estonia ini merupakan penelitian
dengan studi cross-sectional yang melibatkan 554 pria berusia 25-54 tahun di
Estonia yang menjalani otopsi forensik pada tahun 2008 – 2009. Patologi
potensial
terkait-alkohol
diidentifikasi
setelah
dilakukan
pemeriksaan
makroskopik dan histologis. Kadar biomarker alkohol diukur. Untuk sebagian
kelompok (26%), keterangan mengenai perilaku minum alkohol diberikan oleh
keluarga dekatnya. Badan Pusat Statistik Estonia memberikan data penyebab
kematian. Dari hasil penelitian didapatkan sebagian besar kematian (75%)
menunjukkan bukti patologi potensial terkait-alkohol, dan 32 % memiliki patologi
di dua organ atau lebih. Hepar merupakan organ yang paling sering terpengaruh
[60,5%, 95% confidence interval (CI) = 56,3-65,6] diikuti oleh paru (18,6%, 95%
CI = 15,4-22,1), lambung (17,5%, 95% CI = 14,4-20,9), pankreas (14,1%, 95% CI
= 11,3-17,3), jantung (4,9%, 95% CI =3,2-7,0) dan esofagus (1,4%, 95% CI = 0,62,8). Hanya sedikit yang memiliki patologi hepar memiliki patologi kedua di
tempat lain. Jumlah patologi kemudian dikorelasikan dengan biomarker alkohol
31
(fosfatidiletanol, gama-glitamil transpeptidase dalam darah, etilglukuronida,
etilsulfat dalam urin). Meskipun prevalensi patologi hepar tinggi, beberapa
memiliki penyakit liver alkoholik secara spesifik sebagai penyebab kematian.
Pada jurnal berjudul Pankreatitis Hemorargik Akut Menyebabkan
Kematian Mendadak Tak Terduga – Laporan Kasus Dan Tinjauan Pustaka
merupakan sebuah laporan kasus. Dilaporkan pada jurnal ini, seorang pria 45
tahun, pecandu alkohol, tewas di dalam kamarnya yang terkunci dari dalam.
Sebuah botol minuman keras kosong ditemukan di dekat jasadnya. Ia dibawa ke
RS pendidikan Kasturba, Manipal, dalam keadaan sudah meninggal sehingga
diperlukan otopsi medikolegal. Pada pemeriksaan luar posmortem didapatkan
tubuh korban cukup kekar dan bergizi baik, konjungtiva pucat, lebam mayat ada
tetapi tidak menetap. Pada pemeriksaan dalam didapatkan rongga mulut dan
esofagus mengandung cairan cokelat kemerahan. Mukosa esofagus edema dengan
erosi-erosi kecil di sepanjang sepertiga bawah esofagus. Berat lambung 180 gram
dan berisi cairan cokelat kemerahan tanpa bau tidak wajar; ulkus hemorargis
(segar) didapatkan di beberapa titik di mukosa lambung. Di sepanjang mukosa
aorta didapatkan banyak plak dan gurat ateromatosa. Berat jantung 290 gram.
Katup-katup jantung intak. Ketebalan ventrikel kiri 2,0 cm. Arteri koronaria
dekstra menunjukkan sumbatan 50%, 2 cm dari asalnya. Arteri desendans anterior
kiri cabang arteri koronaria sinistra menunjukkan oklusi hampir total, 1,5 cm dari
asalnya. Patch putih berukuran 2 x 1,7 ditemukan di permukaan antrio-lateral
jantung, 4 cm di atas apeks. Berat pankreas 95 gram dan hemorargis di tempat
pemotongan. Hepar membesar dan tampak warna kekuningan di tempat
pemotongan.
32
Pada pemeriksaan histopatologi jantung didapatkan gambaran infark
miokard akut, jaringan pankreas didapatkan nekrosis patchy dengan perdarahan
dan sel-sel inflamasi, hepar menunjukkan tanda-tanda sirosis. Pemeriksaan kimia
cairan tubuh dan viscera rutin positif untuk alkohol. Darah diambil untuk
dilakukan pemeriksaan biokimia penanda jantung dan kadar amilase serum.
Keduanya menunjukkan peningkatan. Penyebab kematian diperkirakan infark
miokard sekunder akibat perdarahan pankreas karena intoksikasi alkohol.
33
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Hampir setiap tahun kejadian kasus keracunan alkohol terus terjadi.
Menurut data Center for Disease Control and Prevention (CDC), sepanjang tahun
2010 sampai 2012, tiap hari ada enam orang mati karena keracunan alkohol di
Amerika Serikat. WHO juga menyebutkan, penyalahgunaan alkohol merupakan
salah satu pembunuh utama kaum muda India. Kejadian keracunan alkohol
oplosan ini pun telah terjadi di kalangan masyarakat Indonesia, diantaranya
terdapat kejadian luar biasa miras oplosan hingga Desember 2014 di Sumedang
Jawa Barat mencapai 127 orang. Alkohol (etanol, CH3CH2OH) menduduki
peringkat tertinggi sebagai substrat penyebab dalam toksikologi forensik.
Mekanisme penyebab kematian tidak sepenuhnya dipahami, tetapi diduga
disebabkan oleh berbagai gangguan metabolisme yang dipicu oleh intake etanol
dalam jumlah besar dan karena kelaparan yang mengakibatkan aritmia jantung.
Pada hasil otopsi pada kasus ini pada dasarnya negatif, hanya menunjukkan
steatosis hepar. Oleh karena itu, pada jurnal ini patologi terkait alkohol
diidentifikasi secara makroskopis dan secara histologis, serta biomarker kadar
alkohol dideterminasi.
Dari hasil penelitian pada jurnal ini didapatkan:
1. Patologi yang paling sering adalah kelainan pada hepar, dengan 60%
kematian menunjukkan bukti steatosis, fibrosis, atau sirosis. Patologi
pankreas, paru atau lambung terdeteksi antara 14 dan 19% dari semua
34
kasus. Bukti kerusakan pada jantung dalam bentuk kardiomiopati lebih
jarang ditemukan (15%) dan varises esofagus sangat jarang.
2. Secara keseluruhan, 75% subjek menunjukkan bukti satu atau lebih kelas
patologi, dan 32% memiliki bukti dua atau lebih kelas patologi. Prevalensi
dua atau lebih patologi lebih tinggi bermakna pada kelompok pria usia tua
(45-54 tahun (P = 0,002, Fisher’s exact test).
3. Tidak ditemukan asosiasi antara rerata konsentrasi etanol dalam darah,
urin, atau vitreous humour, sementara untuk Peth dan GGT dalam darah,
didapatkan tren yang sangat bermakna antara kadar biomarker dan jumlah
kelas patologi. Meskipun terdapat trend bermakna untuk EtG dan EtS
dalam urin, perbedaan utamanya adalah antara subjek tanpa versus subjek
dengan bukti patologi apapun terkait-alkohol. Penting untuk dicatat bahwa
konsentrasi etanol dalam darah dan urin didapatkan oleh ahli forensik
tidak lama setelah otopsi, tetapi hasil pemeriksaan biomarker alkohol tidak
tersedia sebelum penentuan penyebab kematian.
4. Setelah menyingkirkan non-peminum, tampak jelas adanya peningkatan
tren dalam presentase kasus dengan dua atau lebih kelas patologi seiring
dengan meningkatnya frekuensi konsumsi alkohol (P = 0,010).
5. Dalam masing-masing kelas patologi non-hepar, terdapat frekuensi
patologi hepar yang tinggi, sementara hanya sedikit dari subjek dengan
patologi hepar menunjukkan jenis patologi kedua. Tampak menonjol di
sini, yaitu 70% subjek dengan patologi jantung juga memiliki patologi
hepar.
35
6. Seperti yang diperkirakan, patologi hepar ditemukan di semua diagnosis
kerusakan organ-akhir yang jelas terkait-alkohol dan ketergantungan
alkohol, dan di sebagian besar diagnosis keracunan alkohol akut dan
penyakit-penyakit sistem pencernaan. Untuk penyebab kerusakan organakhir terkait-alkohol dan ketergantungan alkohol, frekuensi patologi
pankreas juga tinggi (masing-masing 71 dan 35%). Terdapat persentase
patologi paru yang cukup tinggi (18%) pada kematian akibat keracunan
alkohol akut. Berkenaan dengan kematian akibat penyakit sistem sirkulasi,
terdapat temuan menarik, yaitu lebih dari dua pertiga kasus memiliki bukti
patologi hepar yang mungkin terkait-alkohol. Pada kematian dengan
penyebab mendasar penyakit saluran cerna, 92% kasus memiliki patologi
hepar dan 58% memiliki patologi pankreas. Untuk kematian karena
penyebab respirasi, 77% memiliki patologi hepar. Pada penyebab kematian
eksternal, patologi hepar dan paru merupakan yang paling sering
ditemukan, yaitu pada ~50% dan ~20% kasus.
Odd ratio disesuaikan-usia untuk kematian akibat penyebab terkait-alkohol
dibandingkan dengan akibat penyebab lain adalah sebesar 4,8 [95% confidence
interval (CI) = 1,8 – 12,5] untuk subjek dengan satu kelas patologi positif, dan 6,7
(95% CI = 2,6 – 17,7) untuk subjek dengan dua atau lebih kelas, relatif terhadap
subjek tanpa kelas patologi positif.
36
DAFTAR PUSTAKA
Bartlet,
Dana.
2015.
Acute
Alcohol
Intoxication.
Tersedia
http://www.rn.org/courses/coursematerial-219.pdf. Diakses pada tanggal 26
Agustus 2016
BPOM. 2014. Berita Keracunan Bulan Juli – September 2014. Tersedia
http://ik.pom.go.id/v2015/berita-keracunan/berita-keracunan-bulan-juliseptember-2014. Diakses pada tanggal 26 Agustus 2016
Charalambous MP, Jul-Aug 2002, Alcohol and the accident and emergency
department:
a
current
review,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12107029, 30 Agustus 2016
Di Maio, Dominick J., Di Maio, Vincent J. M., 2001, Forensic pathology 2nd ed.,
Florida: CRC Press LLC, chapter 23 hlm 10-15
Dlcas,
2014,
Chronic_Alcoholism,
Tersedia
http://www.dlcas.com/MAAP/Chronic_Alcoholism.pdf. Diakses 30 Agustus
2016
Hunsaker, Donna M., Hunsaker III, John C., 2004, Forensic Pathology Reviews
Volume I, New Jersey: Humana Press, chapter 14 hlm 307-338
Korabathina,
Kalyani.
2016.
Methanol
Toxicity.
http://emedicine.medscape.com/article/1174890-overview.
Tersedia
Diakses
pada
tanggal 26 Agustus 2016
Necki, Krystyna, 2015, Forensic Examination of Alcohol Intoxication, School of
Security
and
Global
Studies.
Paper
1.,
http://digitalcommons.apus.edu/studentssgs, 30 Agustus 2016
37
Schoen, Frederick J., Mitchell, Richard N., 2015, Robbins and Cotran Pathologic
Basis of Disease, Ed 9. Philadelphia : Elsevier Inc. , hlm 564-571
Schuckit
MA,
Feb
2009,
Alcohol-use
disorders,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19168210, 30 Agustus 2016
Sudjana, Putu, 2010, Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal edisi
keenam, hlm 127-129
Tempo. 2015. 6 Orang Mati Keracunan Alkohol Setiap Hari. Tersedia
https://m.tempo.co/read/news/2015/01/08/095633597/6-orang-matikeracunan-alkohol-setiap-hari. Diakses pada tanggal 26 Agustus 2016
Theise, Neil D. 2015. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease, Ed 9.
Philadelphia : Elsevier Inc. , hlm 842-848
Turner, Jerrold R., 2015, Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease, Ed 9.
Philadelphia : Elsevier Inc. , hlm 753-760
Weeklyline.Net. 2014. Bali dan Lombok Rawan Keracunan Methanol. Tersedia
http://www.weeklyline.net/kesehatan/20140506/bali-dan-lombok-rawankeracunan-methanol.html. Diakses pada tanggal 26 Agustus 2016
Yulianto, Apit. 2014. Buat dan Edarkan Miras Oplosan, Marwoto Diringkus
Polisi. Suaramerdeka, 24 Okt 2014
38
39