Studi Kasus Patologi Mikobakteriosis pada Ikan Paradise (Macropodus opercularis)

ABSTRAK
RAHMAH FAUZIAH. Studi Kasus Patologi Mikobakteriosis pada Ikan Paradise
(Macropodus opercularis). Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH dan DEWI
RATIH AGUNGPRIYONO.
Ikan Paradise (Macropodus opercularis) yang diperoleh dari distributor
ikan hias di Ciluar, Bogor ditemukan dalam keadaan ascites dan terdapat banyak
ulkus pada kulit. Pada pemeriksaan histopatologi, terdapat peradangan granuloma
yang ditemukan pada insang, subkutis, usus, hati, dan ginjal. Koloni bakteri
ditemukan di dalam granuloma. Pewarnaan Gram menunjukkan bahwa bakteri
memiliki sifat Gram positif. Pewarnaan Ziehl Neelsen (ZN) menunjukkan bahwa
bakteri masuk ke dalam bakteri batang tahan asam. Berdasarkan sifat dari
pewarnaan bakteri, diduga Mycobacterium sp. merupakan agen dari kasus ini.
Mycobacterium sp. dilaporkan sebagai agen patogen yang menyebabkan radang
granuloma pada ikan air tawar dan air laut. Spesies Mycobacterium yang dapat
menginfeksi ikan diantaranya M. marinum, M. fortuitum, dan M. chelonae.
Bakteri ini dapat berjalan hematogen sehingga menghasilkan infeksi sistemik dan
berpotensi zoonosis.
Kata kunci: Fish tank granuloma, lesio granuloma oleh bakteri, mikobakteriosis
pada ikan, penyakit ikan

ABSTRACT

RAHMAH FAUZIAH. Case Report Pathology of Mycobacteriosis in Paradise
Fish (Macropodus opercularis). Supervised by SRI ESTUNINGSIH and DEWI
RATIH AGUNGPRIYONO.
Paradise fish (Macropodus opercularis) from ornamental fish distributor
Ciluar, Bogor were found with ascites and dermal ulcer. Histopathologically,
granulomatous inflammation in various phase was found in gill, subcutis,
intestine, liver, and kidney. Some bacteria were observed in those granuloma.
The characteristic Gram staining was positive for the bacteria. Ziehl Neelsen
(ZN) staining was revealed the acid fast rods bacteria. With these characters of
bacteria, Mycobacterium sp. was suspected as a pathogen in this case.
Mycobacterium sp. is reported as a pathogen causing granulomatous disease in
freshwater and saltwater fish. Mycobacterium species which cause a disease in
fish are M. marinum, M. fortuitum, and M. chelonae. Those hematogenous route
produce systemic infection and potensial to be zoonotic.
Keywords : Bacterial granulomatous lesions, fish disease, fish tank granuloma,
mycobacteriosis in fish

STUDI KASUS PATOLOGI MIKOBAKTERIOSIS
PADA IKAN PARADISE (Macropodus opercularis)


RAHMAH FAUZIAH

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Kasus Patologi
Mikobakteriosis pada Ikan Paradise (Macropodus opercularis) adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2013
Rahmah Fauziah

NIM B04080176

ABSTRAK
RAHMAH FAUZIAH. Studi Kasus Patologi Mikobakteriosis pada Ikan Paradise
(Macropodus opercularis). Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH dan DEWI
RATIH AGUNGPRIYONO.
Ikan Paradise (Macropodus opercularis) yang diperoleh dari distributor
ikan hias di Ciluar, Bogor ditemukan dalam keadaan ascites dan terdapat banyak
ulkus pada kulit. Pada pemeriksaan histopatologi, terdapat peradangan granuloma
yang ditemukan pada insang, subkutis, usus, hati, dan ginjal. Koloni bakteri
ditemukan di dalam granuloma. Pewarnaan Gram menunjukkan bahwa bakteri
memiliki sifat Gram positif. Pewarnaan Ziehl Neelsen (ZN) menunjukkan bahwa
bakteri masuk ke dalam bakteri batang tahan asam. Berdasarkan sifat dari
pewarnaan bakteri, diduga Mycobacterium sp. merupakan agen dari kasus ini.
Mycobacterium sp. dilaporkan sebagai agen patogen yang menyebabkan radang
granuloma pada ikan air tawar dan air laut. Spesies Mycobacterium yang dapat
menginfeksi ikan diantaranya M. marinum, M. fortuitum, dan M. chelonae.
Bakteri ini dapat berjalan hematogen sehingga menghasilkan infeksi sistemik dan
berpotensi zoonosis.
Kata kunci: Fish tank granuloma, lesio granuloma oleh bakteri, mikobakteriosis

pada ikan, penyakit ikan

ABSTRACT
RAHMAH FAUZIAH. Case Report Pathology of Mycobacteriosis in Paradise
Fish (Macropodus opercularis). Supervised by SRI ESTUNINGSIH and DEWI
RATIH AGUNGPRIYONO.
Paradise fish (Macropodus opercularis) from ornamental fish distributor
Ciluar, Bogor were found with ascites and dermal ulcer. Histopathologically,
granulomatous inflammation in various phase was found in gill, subcutis,
intestine, liver, and kidney. Some bacteria were observed in those granuloma.
The characteristic Gram staining was positive for the bacteria. Ziehl Neelsen
(ZN) staining was revealed the acid fast rods bacteria. With these characters of
bacteria, Mycobacterium sp. was suspected as a pathogen in this case.
Mycobacterium sp. is reported as a pathogen causing granulomatous disease in
freshwater and saltwater fish. Mycobacterium species which cause a disease in
fish are M. marinum, M. fortuitum, and M. chelonae. Those hematogenous route
produce systemic infection and potensial to be zoonotic.
Keywords : Bacterial granulomatous lesions, fish disease, fish tank granuloma,
mycobacteriosis in fish


STUDI KASUS PATOLOGI MIKOBAKTERIOSIS
PADA IKAN PARADISE (Macropodus opercularis)

RAHMAH FAUZIAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Studi Kasus Patologi Mikobakteriosis pada Ikan Paradise
(Macropodus opercularis)
Nama
: Rahmah Fauziah
NIM

: B04080176

Disetujui oleh

Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi, APVet
Pembimbing I

drh. Dewi Ratih, Ph.D, APVet
Pembimbing II

Diketahui oleh

drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam

penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2012 ini ialah studi kasus
patologi ikan dengan judul Studi Kasus Patologi Mikobakteriosis pada Ikan
Paradise (Macropodus opercularis).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si, APVet
dan drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Ph.D, APVet selaku pembimbing skripsi atas
motivasi, dukungan, dan kasih sayangnya selama membimbing penulis. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada perusahaan budidaya ikan
hias di Ciluar Bogor, CV. Taufan’s Fish Farm yang telah mengizinkan penulis
mengambil sampel ikan dan memberikan informasi pada penelitian ini.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu atas segala doa
dan kasih sayangnya, serta orang-orang yang mendukung dan membantu penulis
dalam menyusun skripsi: drh. Andriyanto, drh. Mawar Subangkit, drh. Wahono
Esthi Prasetyaningtyas, drh. Elok Budi Retnani, Bapak Kasnadi, Bapak Sholeh,
Mbak Kikie, dan seluruh staf Bagian Patologi FKH IPB. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada orang-orang terkasih penulis: Desray, Fatma, Bolas, Ambar,
Ara, Elok, Anita, Jami, Andi, Fathia, Afifah, dan teman-teman Avenzoar lainnya
yang tidak bisa penulis cantumkan semua.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat dijadikan penelitian lebih
lanjut untuk memperkaya ilmu pengetahuan serta dapat memperbaiki manajemen
pemeliharaan ikan hias di Indonesia. Akhir kata penulis memohon maaf atas

segala kekurangan dan kesalahan penulis dalam karya ilmiah ini.

Bogor, Januari 2013
Rahmah Fauziah

DAFTAR ISI
PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian


1

METODE

2

Waktu dan Tempat

2

Alat dan Bahan

2

Metode Penelitian

2

Studi manajemen budidaya ikan hias


2

Pengambilan sampel

2

Transportasi sampel ke laboratorium

2

Pencatatan data sampel

3

Euthanasi

3

Nekropsi


3

Pemeriksaan patologi anatomi

3

Fiksasi

3

Pembuatan sediaan histopatologi

3

Analisis data

3

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil

4
4

Ikan paradise

4

Pengamatan gejala klinis

4

Pemeriksaan patologi anatomi

5

Pemeriksaan histopatologi

6

Pembahasan
SIMPULAN DAN SARAN

15
19

Simpulan

19

Saran

19

DAFTAR PUSTAKA

19

LAMPIRAN

22

RIWAYAT HIDUP

25

DAFTAR TABEL
1 Rangkuman hasil pemeriksaan patologi anatomi (PA)
2 Rangkuman hasil pemeriksaan sediaan histopatologi

6
7

DAFTAR GAMBAR
1 Ikan paradise
2 Ikan yang mengalami pembesaran abdomen dan yang tidak mengalami
pembesaran abdomen
3 Multifokus berwarna putih pada organ interna dan masa cairan pada
ikan yang mengalami pembesaran abdomen
4 Ulkus pada kulit
5 Granuloma yang ditemukan pada subkutis
6 Degenerasi dan mekrosis pada otot
7 Brankhitis pada insang
8 Granuloma yang ditemukan pada serosa saluran pencernaan ikan
9 Granuloma yang ditemukan pada mukosa saluran pencernaan ikan
10 Organ hati yang mengalami lesio granuloma
11 Organ ginjal yang mengalami lesio granuloma
12 Pola susunan granuloma pada sampel
13 Hasil pewarnaan Gram pada bakteri di dalam granuloma
14 Koloni bakteri pada pembuluh darah insang
15 Koloni bakteri di dalam granuloma pada sediaan dermis
16 Koloni bakteri pada mukosa dan submukosa salura pencernaan
17 Koloni bakteri di dalam granuloma pada ginjal
18 Koloni bakteri di dalam granuloma pada hati
19 Pola susunan granuloma tipe kaseosa dan granuloma tipe kaseosa pada
sampel
20 Pola susunan granuloma tipe non-nekrotik dan granuloma tipe nonnekrotik pada sampel.
21 Pola susunan granuloma tipe fibrosis

4
5
5
6
7
7
8
8
9
9
10
11
11
12
12
13
13
13
14
14
17

DAFTAR LAMPIRAN
1 Pembuatan dan pewarnaan sediaan histopatologi

21

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki keanekaragaman ikan hias baik air tawar maupun air
laut, yaitu lebih kurang 450 spesies dari total 1.100 spesies ikan hias air tawar di
dunia dan 700 spesies ikan hias air laut yang hanya terdapat di Indonesia (Wijaya
2011). Hal ini menjadi potensi ekonomi bagi bangsa Indonesia. Potensi ini apabila
ditangani secara serius akan mampu bersaing di pasar internasional dan Indonesia
dapat menjadi eksportir terbesar di dunia.
Usaha budidaya perikanan di Indonesia yang makin intensif, membuat
masalah penyakit ikan meminta lebih banyak perhatian. Menurut Supriyadi dan
Hardjamulia (1986), negara Indonesia memiliki masalah penyakit pada ikan, baik
penyakit parasit maupun non parasit. Pada saat ini sangat sedikit literatur yang
ditemukan di perpustakaan-perpustakaan yang memberikan gambaran patologi
penyakit serta pencegahan yang dilakukan dalam menghadapi penyakit-penyakit
hewan pada ikan. Begitu banyaknya penyakit ikan dan perlunya penanganan yang
lebih lanjut akan membutuhkan tenaga yang ahli di bidang kesehatan. Dokter
hewan memiliki peranan besar untuk mengatasi penyakit-penyakit tersebut. Ilmu
patologi juga dapat mendukung dalam membantu mengetahui penyakit lebih
lanjut serta tata cara penanganan penyakit tersebut.
Patologi adalah ilmu yang mempelajari proses kejadian suatu penyakit
(Sobel 2006) yaitu dengan mendiagnosis suatu penyakit melalui pengamatan pada
jaringan hewan dan cairan tubuh. Diagnosis patologi terhadap penyakit dilakukan
berdasarkan pengamatan makroskopis, mikroskopis, pemeriksaan kimiawi cairan
tubuh, serta pemeriksaan molekular organ, jaringan, dan sel yang dilakukan saat
post mortem. Pemeriksaan post mortem merupakan prosedur penting dalam
mendiagnosis penyakit ikan (Reimschuessel 1993), oleh karena itu penelitian
mengenai penyakit ikan dirasa penting untuk mengurangi masalah penyakit
budidaya ikan hias air tawar.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendalami kasus penyakit ikan hias
air tawar (ikan paradise) yang ditemukan di budidaya ikan hias sehingga
diharapkan studi kasus ini dapat memberikan masukan dalam diagnosis,
penanganan, dan pencegahan dari penyakit yang ditemukan bagi pihak
pengelolaan budidaya ikan hias air tawar.
Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan
penjelasan tentang diagnosis, penanganan, dan pencegahan dari penyakit yang
ditemukan di perusahaan budidaya ikan hias. Selain itu diharapkan hasil
penelaahan patologi ini bermanfaat bagi pihak pengelolaan kesehatan pada
budidaya ikan hias air tawar.

2

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan Januari
sampai Juli 2012. Pengambilan sampel ikan hias air tawar (ikan paradise)
dilakukan di perusahaan budidaya ikan hias air tawar di Ciluar Bogor. Pembuatan
sediaan histopatologi, pemeriksaan, dan interpretasi dilakukan di Laboratorium
Diagnostik Patologi dan Histopatologi, Bagian Patologi, Departemen Klinik
Reproduksi dan Patologi (KRP), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor (FKH IPB).
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah kantong plastik atau kontainer, ember, gunting
bedah, pinset anatomis, pinset fisiologis, freezer, kaset jaringan, inkubator,
automatic tissue processor, tissue embedding console Sakura®, mikrotom, gelas
objek, mikroskop cahaya Olympus CH-1®, kamera, dan eye piece camera
microscope. Bahan yang digunakan adalah ikan paradise sebanyak 3 ekor,
oksigen, Neutral Buffer Formalin (NBF) 10%, alkohol dengan konsentrasi
bertingkat (70%, 80%, 90%, 95%, dan absolut), xylol, parafin, Sodium Thiosulfat
5%, Lithium Carbonat, asam periodik, air sulfit, asam asetat, reagen Schiff,
Ponceau Xylidine Fuchsin, asam alkohol 3%, pewarna Hematoksilin C.I. 75290,
Eosin C.I. 45380, Carazzi’s Hematoksilin, Aniline Blue C.I. 42755, Carbol
Fuchsin, dan Methylene Blue C.I 52015.
Metode Penelitian
Studi manajemen budidaya ikan hias
Sebelum dilakukan pengamatan dan pengambilan sampel, dipelajari
manajemen budidaya ikan untuk mengetahui tata cara pembenihan dan perawatan
ikan yang baik agar dapat mengenali gejala klinis yang terjadi pada ikan serta
memahami adanya penyakit infeksius ataupun non infeksius.
Pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilakukan pada ikan paradise yang ditemukan
mengalami kelainan di dalam satu akuarium. Kelainan pada ikan yang terjadi
adalah perubahan warna atau bentuk tubuh, hilang keseimbangan, lemah, nafsu
makan turun, kerusakan pada jaringan insang atau kulit ikan, dan terdapat
pendarahan pada organ atau jaringan.
Transportasi sampel ke laboratorium
Sampel dibawa dengan kantong plastik berukuran cukup besar yang
ditambahkan oksigen ke dalamnya. Saat mengganti tempat dari plastik menuju
bak ikan di laboratorium, harus dilakukan secara teliti, jangan sampai suhu pada
air berubah.

3
Euthanasi
Ikan di-euthanasi dengan cara dimasukkan ke dalam wadah berisi air,
kemudian diletakkan ke dalam freezer dengan suhu -18°C selama 20 menit.
Pendinginan ini akan menurunkan metabolisme dan tidak meningkatkan ambang
nyeri (Noga 2011).
Nekropsi
Ikan yang sudah dieuthanasi diletakkan dengan posisi lateral recumbency,
lalu diinsisi secara longitudinal di garis tengah ventral tubuh, mulai dari lubang
anal sampai ruang insang. Kemudian dilanjutkan dengan menginsisi secara
melintang pada kedua ujung dari potongan sebelumnya ke arah dorsal tubuh ikan,
sehingga terlihat organ interna dan diamati apakah terdapat perubahan atau
abnormalitas (Noga 2011). Pengamatan insang dilakukan dengan menggunting
operkulum sehingga insang dapat diamati perubahannya.
Pemeriksaan patologi anatomi
Ikan yang sudah dinekropsi diamati lesio dan abnormalitas lainnya dari
jaringan eksterna serta organ interna.
Semua lesio dan abnormalitas
didokumentasi dengan kamera. Penggaris diposisikan di samping ikan terlebih
dahulu agar ukuran ikan dapat diketahui.
Fiksasi
Ikan yang sudah dinekropsi dan didokumentasi kemudian difiksasi
menggunakan NBF 10% selama 24 jam. Ikan dapat langsung dimasukkan ke
dalam wadah NBF 10% tanpa memisahkan organ-organ karena ukurannya yang
relatif kecil atau kurang dari 10 cm.
Pembuatan sediaan histopatologi
Tubuh ikan yang sudah difiksasi kemudian dipotong (grossing) melintang
dan dibagi atas lima sampai enam bagian, lalu dimasukkan ke dalam kaset
jaringan. Hal ini dimaksudkan agar seluruh bagian ikan mulai dari insang hingga
ginjal posterior dapat terlihat dalam pemeriksaan histopatologi (Bacha dan Bacha
2000). Potongan kemudian diproses menjadi sediaan histopatologi dengan
pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) (Bancroft dan Stevens 1990), Gram (Rao
2010), Ziehl Neelsen (ZN) (Crookham dan Dapson 1991), dan Masson Trichrome
(MT) (Rosen Lab 2005) (Lampiran 1).
Analisis data
Gejala klinis, lesio patologi anatomi, dan histopatologi dianalisa secara
deskriptif. Penyusunan patogenesa dilakukan melalui studi literatur.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Ikan paradise
Sampel yang digunakan pada penelitian adalah ikan paradise. Ikan paradise
merupakan ikan tropis yang memiliki ukuran tubuh mencapai lebih kurang 5 cm
dengan pola tubuh bergaris-garis yang diisi oleh dua macam warna (Gambar 1)
(Aquatic Community 2004). Sirip dorsal dan sirip lateral berwarna gelap dan
memudar berjalan seiring ke arah sirip kaudal. Warna tubuh ikan betina lebih
pudar daripada warna ikan jantan.

Gambar 1. Ikan paradise dengan pola tubuh bergaris-garis yang diisi oleh dua macam
warna (www.telus.net).

Pengamatan gejala klinis
Sampel ikan paradise yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari
perusahaan budidaya ikan hias di daerah Ciluar, Bogor. Ikan ini ditempatkan
dalam akuarium berukuran 0.8 x 0.4 x 0.4 m dengan kepadatan sekitar 150 ekor
ikan paradise (ukuran 5 cm) dalam satu akuarium. Air untuk pemeliharaan ikan
ini berasal dari air sumur setempat dengan suhu sekitar 27°C.
Saat pengamatan gejala klinis, ditemukan ikan yang mengalami pembesaran
abdomen (ascites). Ikan yang mengalami ascites berenang tidak selincah ikan
lainnya, sehingga terlihat lebih lamban dan berenang lebih ke bawah.
Pemeriksaan patologi anatomi
Pemeriksaan patologi anatomi pada semua sampel ikan (3 ekor)
menunjukkan adanya lesio berupa ulkus di beberapa tempat, diantaranya kulit
daerah abdomen dan sekitar mulut (Gambar 3). Pada daerah ulkus terdapat
hemoragi yang ditunjukkan dengan warna merah pada lesio. Insang pada sampel
ikan ini berwarna merah dan tampak segar (Gambar 3). Sampel ikan nomor 2
yang mengalami pembesaran abdomen memiliki bentuk punggung yang berbeda,
yaitu lordosis (Gambar 2).

5

Gambar 2 (A) Pembesaran abdomen (sampel ikan nomor 2) mengakibatkan bentuk
punggung ikan cekung ke atas atau lordosis (a) dan (B) ikan yang tidak
mengalami pembesaran abdomen (sampel ikan nomor 3) memiliki bentuk
punggung normal (b)

Insisi pada tubuh ikan dilakukan untuk pengamatan organ dalam. Dalam
pengamatan ini, terlihat lesio yang mencolok, yaitu banyak multifokus area
berwarna putih menyerupai titik-titik yang tersebar merata pada organ hati dan
jantung (Gambar 3A). Pemeriksaan patologi anatomi pada organ ginjal tidak
dilakukan karena ukuran ikan yang kecil sehingga sulit diidentifikasi, oleh karena
itu pemeriksaan jaringan secara mikroskopis sangat diperlukan.
Ikan yang mengalami ascites (sampel ikan nomor 2) mengandung suatu
masa cairan seperti transudat bening yang langsung tumpah ketika dilakukan
pembukaan abdomen (Gambar 3B). Cairan tidak berwarna dan berkonsistensi
encer sebanyak 0.5 ml. Hasil pemeriksaan patologi anatomi pada ketiga sampel
ikan dirangkum pada Tabel 1.

Gambar 3 Pada sampel ikan nomor 1 (Gambar A), ikan tidak mengalami ascites,
terdapat ulkus pada daerah mulut (a) dan dorsal tubuh (b), insang berwarna
merah dan tampak segar (c), serta terdapat multifokus area berwarna putih
yang tersebar pada hati (d) dan jantung (e). Pada sampel ikan nomor 2
(Gambar B), ikan mengalami pembesaran abdomen dan menumpahkan suatu
masa cairan ketika dilakukan pembukaan abdomen. Konsistensi cairan encer
seperti transudat

6
Tabel 1 Rangkuman hasil pemeriksaan Patologi Anatomi (PA)
No. gambar
pada Lampiran
Organ
Lesio PA
2
Mulut
Ulkus, hemoragi
3A
Kulit
Ulkus, hemoragi
3A
Ruang abdomen Ascites
2A, 3B
Jantung
Multifokus warna putih
3A
Hati
Multifokus warna putih
3A
Keterangan :

Ikan
1
+
+
+
+

2
+
+
+
+

3
+
+
+

(-) : tidak ditemukan lesio PA
(+) : ditemukan lesio PA

Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi pada semua sampel ikan menunjukkan hasil yang
konsisten seperti dapat dilihat pada Tabel 2. Pada kulit yang mengandung ulkus
(Gambar 4) memiliki keadaan lapisan epidermis sudah terkikis. Selain itu,
terdapat granuloma pada subkutis (Gambar 5) dan beberapa bagian otot di
bawahnya sudah mengalami myositis dan nekrosis (Gambar 6). Lesio patologi
pada organ insang (Gambar 7) menunjukkan adanya infiltrasi sel radang
(brankhitis), kongesti, fusi (perlekatan), serta hiperplasia lamela sekunder.

Gambar 4 Erosi kulit pada ulkus (sampel ikan nomor 1). Ulkus ditandai peradangan
kulit (a), infiltrasi sel radang (b) pada epidermis, dermis, dan otot,
pewarnaan HE

7

Gambar 5 Granuloma (panah) yang ditemukan pada subkutis (sampel ikan nomor 2),
pewarnaan HE

Gambar 6 Degenerasi dan nekrosis pada otot (sampel ikan nomor 2), terlihat
keberadaan makrofag (panah) yang memfagosit jaringan otot nekrosa,
pewarnaan HE

8

Gambar 7 Pada sampel ikan nomor 2, insang mengalami brankhitis yang ditandai oleh
adanya infiltrasi sel limfosit (a), disertai dengan adanya hemoragi (b), fusi
atau perlekatan (c), dan hiperplasia lamela sekunder (d), pewarnaan HE

Hal yang mencolok dan menjadi perhatian pada pemeriksaan jaringan secara
mikroskopis sampel ikan ini adalah ditemukannya radang granuloma pada
jaringan subkutis (Gambar 5), serosa usus (Gambar 8), mukosa usus (Gambar 9),
hati (Gambar 10), dan ginjal (Gambar 11). Radang granuloma yang hebat
ditunjukkan pada organ hati dan ginjal, lebih dari setengah organ mengalami
radang granuloma. Pemeriksaan histopatologi pada organ jantung tidak dilakukan
karena organ tidak terpotong saat dilakukan pembuatan sediaan histopatologi.
Rangkuman hasil pemeriksaan histopatologi dari ke-3 sampel ikan disajikan pada
Tabel 2.

Gambar 8 Granuloma (panah) ditemukan pada serosa saluran pencernaan ikan (sampel
ikan nomor 3), pewarnaan HE

9

Gambar 9 Granuloma (panah) ditemukan pada mukosa saluran pencernaan ikan
(sampel ikan nomor 3), pewarnaan HE

Gambar 10 Organ hati (sampel ikan nomor 3) yang mengalami lesio granuloma
(panah). Lebih dari setengah organ hati pada sampel ikan ini mengalami
lesio granuloma (panah), pewarnaan HE

10

Gambar 11 Organ ginjal (sampel ikan nomor 3) yang mengalami lesio granuloma
(panah). Lebih dari setengah bagian ginjal mengalami lesi granuloma,
pewarnaan HE

Tabel 2 Rangkuman hasil pemeriksaan sediaan histopatologi
Organ
Lesio Patologi

Kulit
Otot
Insang

Usus
Hati
Ginjal

Dermatitis ulseratif ;
Granuloma
Myositis ;
Nekrosa otot
Kongesti ;
Brankhitis ;
Hiperplasia lamela insang ;
Granuloma
Granuloma pada serosa ;
Granuloma pada mukosa
Granuloma pada parenkim
Granuloma pada parenkim

Ikan

1

2

3

+
+
+
+
+
+
+
+
++

+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+

+
+
+
+
+
+
+
+
+
+++
++

Keterangan :
(-) : tidak terdapat lesio patologi yang disebutkan
(+) : terdapat lesio patologi yang disebutkan
(+ +) : terdapat lesio patologi yang disebutkan dengan jumlah lesio > 10 fokus
(+ + +) : terdapat lesio patologi yang disebutkan dengan jumlah lesio > 15 fokus

Granuloma yang terdapat pada sampel ikan ini tersusun atas sel radang
kronis; sel epiteloid, makrofag, dan limfosit (Gambar 12). Berdasarkan
pengamatan di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000 kali, ditemukan bakteri

11
berbentuk batang di dalam granuloma (Gambar 13) dengan ukuran panjang 2-10
µm dan diameter 0.5-0.7 µm. Untuk mengkarakterisasi sifat pewarnaan bakteri,
maka dilakukan pewarnaan Gram dan ZN.
Pewarnaan Gram berguna untuk mengetahui sifat bakteri, yaitu Gram
negatif atau positif. Pada pewarnaan Gram, bakteri pada sampel ikan terwarnai
menjadi biru (Gambar 13). Hal ini menandakan bahwa bakteri pada sampel ikan
bersifat Gram positif. Bakteri Gram positif yang dapat menyebabkan lesio
granuloma diantaranya Rhodococcus sp., Renibacterium salmoninarum, Nocardia
sp., dan Mycobacterium sp. (Austin dan Austin 2007).

Gambar 12 Granuloma (sampel ikan nomor 1) tersusun atas sel epiteloid (a), makrofag
(b), limfosit (c), dan masa sel nekrotik (d), pewarnaan HE

Gambar 13 Lesio granuloma pada ginjal (sampel ikan nomor 1) dengan pewarnaan HE
(A) dan Gram (B). Bakteri batang terwarnai ungu pada pewarnaan HE
(panah gambar A) dan terwarnai biru pada pewarnaan Gram (panah
gambar B)

Pewarnaan ZN dilakukan untuk mengetahui genus bakteri tersebut. Pada
pewarnaan ZN, bakteri pada sampel ikan dapat mempertahankan warna merah
ketika dibilas dengan asam, sehingga dapat dikelompokkan dalam bakteri tahan

12
asam. Dari hasil pengamatan tersebut, dapat dilihat bahwa sampel ikan memiliki
ciri khas agen yang mirip dengan Mycobacterium sp, yaitu berbentuk batang,
memiliki sifat Gram positif, tahan asam, serta memiliki panjang 1-10 µm dan
diameter 0.2-0.6 µm (Tappin 2011). Pewarnaan ZN dilakukan pada beberapa
organ, diantaranya pada sediaan insang (Gambar 14), dermis (Gambar 15), usus
(Gambar 16), ginjal (Gambar 17), dan hati (Gambar 18) untuk melihat perjalanan
bakteri. Pewarnaan ZN pada organ-organ tersebut menunjukkan adanya koloni
bakteri dengan bentuk dan sifat ketahanan asam yang sama.

Gambar 14 Pembuluh darah insang (sampel ikan nomer 1) berisi bakteri tahan asam
(panah), pewarnaan ZN

Gambar 15 Granuloma pada sediaan dermis (sampel ikan nomer 3) berisi bakteri
berbentuk batang yang terwarnai merah (panah), pewarnaan ZN

13

Gambar 16 Koloni bakteri tahan asam (panah) terdeteksi pada mukosa dan submukosa
saluran pencernaan (sampel ikan nomor 3), perwarnaan ZN

Gambar 17 Koloni bakteri tahan asam (panah) terdeteksi dalam granuloma pada ginjal
(sampel ikan nomor 1), perwarnaan ZN

Gambar 18 Koloni bakteri tahan asam (panah) terdeteksi dalam granuloma pada hati
(sampel ikan nomor 3), perwarnaan ZN

14
Granuloma pada sampel ikan ini memiliki bentuk dan diameter yang
berbeda-beda. Diameter granuloma terkecil berukuran 44 µm hingga yang
terbesar berukuran 1.599 µm. Menurut Scanga dan Flynn (2010), infeksi
Mycobacterium sp. menghasilkan 3 macam tipe granuloma berdasarkan respon
kekebalan inang, diantaranya adalah tipe kaseosa, tipe non nekrotik, dan fibrotik.
Granuloma tipe kaseosa dan fibrotik dibatasi oleh jaringan ikat. Penyebaran
jaringan ikat dapat dilihat dengan melakukan pewarnaan Masson Trichrome (MT).
Hasil pengamatan menunjukkan terdapat 2 tipe dari 3 tipe granuloma menurut
Scanga dan Flynn (2010) pada sampel ikan ini, yaitu tipe kaseosa (sampel ikan
nomor 2 dan 3) (Gambar 19) dan tipe non-nekrotik (sampel ikan nomor 1)
(Gambar 20).

Gambar 19 (A) Pola susunan granuloma tipe kaseosa (Scanga dan Flynn 2010). (B)
Granuloma tersusun atas jaringan ikat (a), makrofag (b), serta lesio
nekrosis dan sel debri (c), pewarnaan MT

B
Gambar 20 (A) Pola susunan granuloma tipe non-nekrotik (Scanga dan Flynn 2010).
(B) Granuloma tidak dibatasi oleh jaringan ikat, tersusun atas limfosit (a),
koloni bakteri (b) dan makrofag (c), pewarnaan HE

15
Pembahasan
Satu dari tiga ekor sampel ikan mengalami ascites. Di dalam rongga
abdomen, terdapat genangan cairan bening seperti transudat. Ascites seperti ini
dapat terjadi akibat kerusakan ginjal atau hati. Kerusakan ginjal berpengaruh
terhadap osmoregulasi. Osmoregulasi adalah proses fisiologi pada ikan dalam
mengatur keseimbangan air dan garam dalam tubuh (Burgess 2011). Organ ginjal
harus mempertahankan keseimbangan garam yang ditangkap oleh sel kloride pada
insang dan melalui makanan, serta mengeluarkan kelebihan air dan garam melalui
urin (Hammerschlag 1999). Kerusakan ginjal menyebabkan osmoregulasi pada
tubuh ikan terganggu, sehingga terjadi retensi air yang seharusnya diekskresikan.
Ascites dapat juga disebabkan oleh hipertensi portal pada kasus sirosis hati.
Terjadi hambatan aliran darah di sinusoid-sinusoid hati akibat kondisi sirosis atau
terbentuknya fibrosis di tepi granuloma sehingga darah yang masuk ke hati
melalui vena porta mengalami retensi atau hambatan. Hambatan ini menyebabkan
tingginya tekanan darah menuju hati sehingga terjadi kongesti pada vena porta
(Cardenas dan Arroyo 2003).
Kongesti ini mengakibatkan perubahan
permeabilitas pembuluh darah sehingga protein keluar dari pembuluh darah dan
terjadilah penimbunan cairan pada rongga abdomen. Selain itu, hati merupakan
organ yang mensintesis protein. Kerusakan pada sebagian besar parenkim hati,
mengakibatkan produksi protein menjadi rendah sehingga ikan mengalami
hipoproteinemia. Hipoproteinemia dapat menurunkan daya ikat protein plasma
sehingga plasma darah merembes keluar dari pembuluh darah dan terjadi
penimbunan cairan di rongga abdomen (Isselbacher et al. 1999). Kasus ascites
pada ikan yang parah dapat menyebabkan sisik ikan menjadi tegang sehingga
mirip seperti biji pinus (Meyer 2011). Pada sampel ikan ini tidak terjadi hal
demikian, diduga karena ascites pada ikan belum parah (abdomen tidak terlalu
besar).
Ascites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga abdomen.
Perut ikan berada pada bagian ventral tubuhnya, sehingga pada kasus ascites,
pengaruh gaya gravitasi sangat berarti. Akibat yang ditimbulkan dari ascites
adalah kelainan bentuk tulang punggung yang dipengaruhi gaya gravitasi terhadap
beratnya penimbunan cairan di peritoneum. Tulang punggung juga ikut tertarik
ke bawah, sehingga mengalami lordosis (Cameron et al. 2006).
Granuloma adalah reaksi imunologi kompleks pada jaringan, terdiri atas
infiltrasi makrofag dan proliferasi sel epiteloid yang kemudian bergabung dengan
sel-sel kekebalan lainnya seperti limfosit B dan T, dan sel NK. Granuloma
terbentuk akibat rangsangan terus menerus oleh patogen atau benda asing (Davis
dan Ramakrishnan 2008). Pembentukan granuloma merupakan mekanisme
protektif yang melibatkan interaksi antara bakteri, sel-sel imun spesifik, makrofag,
CD4+, CD8+, sel T, serta mediator imun seperti kemokin dan sitokin (Juarez et al.
2004). Pemahaman tentang pembentukan granuloma sangat penting untuk
memahami interaksi antara inang dan patogen selama infeksi. Pengamatan lesio
granuloma menunjukkan bahwa granuloma pada sampel ikan ini (Gambar 12)
tersusun atas makrofag, sel epiteloid, limfosit, serta terdapat koloni bakteri
berbentuk batang. Sel radang limfosit, makrofag, dan beberapa bakteri juga
ditemukan di luar (mengitari) granuloma.

16
Berdasarkan pengamatan di bawah mikroskop pada fokus granuloma
menggunakan perbesaran 1000 kali, ditemukan adanya kumpulan bakteri
berbentuk batang dengan panjang 2-10 µm dan diameter 0.5-0.7 µm. Lesio
granuloma yang bersifat sistemik seperti pada sampel ikan ini biasanya
disebabkan oleh bakteri yang terdistribusi secara sistemik melalui peredaran darah,
diantaranya adalah Mycobacterium sp., Nocardia sp., Francisella sp.,
Rhodococcus sp., Renibacterium salmoninarum, Citrobacter freundii,
Photobacterium damselae, Vibrio sp., Seriola liquefaciens, Edwardsiella tarda,
dan Flavobacterium sp. (Hawke et al. 2011). Untuk mengidentifikasi jenis
bakteri yang menginfeksi, maka dilakukan pewarnaan Gram.
Hasil dari pewarnaan Gram menunjukkan bahwa bakteri bersifat Gram
positif. Bakteri batang dengan sifat Gram positif yang menimbulkan radang
granuloma sistemik diantaranya ialah Rhodococcus sp., Renibacterium
salmoninarum, Nocardia sp., dan Mycobacterium sp. (Austin dan Austin 2007).
Pewarnaan ZN dilakukan untuk mengetahui genus bakteri tersebut. Bakteri
pada sampel ikan dapat mempertahankan warna merah ketika dibilas dengan asam,
sehingga dapat dikelompokkan dalam bakteri tahan asam. Bakteri Gram positif
dan tahan asam yang dapat menimbulkan radang granuloma sistemik diantaranya
ialah Nocardia sp. dan Mycobacterium sp. (Scanga dan Flynn 2010). Keduanya
memiliki banyak persamaan, namun Nocardia sp. bersifat tahan terhadap asam
alkohol 1% sedangkan Mycobacterium sp. bersifat tahan terhadap asam alkohol
3% (Davis dan Ramakrishnan 2008). Hasil pewarnaan ZN menggunakan asam
alkohol 3% menunjukkan bahwa bakteri yang menginfeksi sampel ikan
merupakan bakteri yang tahan terhadap asam alkohol 3%.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sampel ikan memiliki ciri khas agen
yang mirip dengan Mycobacterium sp., yaitu berbentuk batang, memiliki sifat
Gram positif, tahan asam, serta memiliki panjang 1-10 µm dan diameter 0,2-0,6
µm (Tappin 2011). Gejala klinis serta lesio yang dihasilkan juga mirip dengan
infeksi Mycobacterium sp., yang telah dilaporkan antara lain terdapat pembesaran
abdomen, kelainan bentuk tulang punggung, kematian yang banyak, serta terdapat
radang granuloma pada organ internal (Abowei dan Briyai 2011). Berdasarkan
pengamatan gejala klinis, lesio patologi anatomi, lesio histopatologi, dan berbagai
pewarnaan bakteri, dapat diteguhkan bahwa sampel ikan mengalami infeksi
Mycobacterium sp.
Mycobacterium sp. merupakan agen yang paling umum diketahui sebagai
penyebab radang granuloma pada ikan. Bakteri ini dapat menyerang spesies ikan
yang hidup di air tawar maupun air laut. Bakteri ini masuk ke dalam genus
Mycobacterium, ordo Actinomycetales, sub ordo Corynebacterineae, dan famili
Mycobacteriaceae (Decostere et al. 2003).
Infeksi Mycobacterium sp. menimbulkan berbagai variasi lesi tergantung
pada keseimbangan faktor pertahanan tubuh dalam mengendalikan infeksi serta
membatasi terbentuknya lesio patologi. Sampel ikan ini memiliki 2 tipe dari 3
tipe granuloma menurut Scanga dan Flynn (2010), yaitu tipe kaseosa dan tipe
non-nekrotik. Tipe kaseosa terdiri atas sel-sel debri yang dikelilingi oleh sel-sel
radang (limfosit dan makrofag) dan dibatasi oleh jaringan ikat. Tipe granuloma
ini ditemukan pada sampel ikan nomor 2 dan 3 (Gambar 19). Tipe non nekrotik
terdiri atas sel radang (limfosit dan makrofag) namun tidak dibatasi oleh jaringan
ikat dan tidak terbentuk sel debri. Tipe granuloma ini ditemukan pada sampel

17
ikan nomor 1 (Gambar 20). Tipe fibrotik (Gambar 21) terdiri atas sel radang
(limfosit dan makrofag) dan dibatasi oleh jaringan ikat namun tidak membentuk
sel debri. Tipe granuloma ini tidak ditemukan pada sampel ikan.

Gambar 21 Pola susunan granuloma tipe fibrosis (Scanga dan Flynn 2010) yang
tidak ditemukan pada granuloma ikan sampel
Infeksi Mycobacterium sp. ditularkan terutama melalui konsumsi pakan
yang terkontaminasi, melalui kanibalisme dari ikan yang terinfeksi, atau air yang
terkontaminasi. Potensi sumber infektif dapat berasal dari tanah atau air, karena
di dalam tanah dan air, bakteri ini dapat bertahan hidup selama 2 tahun atau lebih.
Rute penularan lain dapat melalui luka (Descostere et al. 2003).
Sampel ikan pada penelitian ini memiliki ulserasi pada mulut dan daerah
tubuh lainnya. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan adanya koloni bakteri
pada sediaan dermis (Gambar 15), sehingga dikatakan bahwa luka dapat menjadi
salah satu jalur masuk Mycobacterium sp. pada sampel ikan. Jalur masuk lain
yang mungkin terjadi pada infeksi Mycobacterium sp. pada sampel ikan ini adalah
melalui ingesti karena ikan memiliki kebiasaan memakan ikan mati yang mungkin
terinfeksi Mycobacterium sp. Jika kemungkinan hal tersebut terjadi, maka
Mycobacterium sp. dapat masuk sampai ke dalam lambung karena bakteri ini
merupakan bakteri yang tahan terhadap asam.
Insang merupakan salah satu organ yang menghubungkan lingkungan luar
dengan organ dalam ikan, oleh karena itu insang sering menunjukkan reaksi
peradangan pada benda asing seperti bakteri atau polutan yang masuk.
Pemeriksaan patologi anatomi pada insang sampel ikan, tidak menunjukkan
adanya perubahan patologi, namun pemeriksaan histopatologi menunjukkan
adanya lesio brankhitis, kongesti, fusi, serta hiperplasia lamela sekunder (Gambar
7) disertai temuan bakteri pada pembuluh darah (Gambar 14). Hal ini
menunjukkan bahwa penularan melalui insang dapat terjadi apabila jumlah bakteri
di lingkungan cukup tinggi atau ikan memiliki kekebalan tubuh yang buruk
(Floyd dan Yanong 2002).
Mycobacterium sp. menjadi perhatian umum pada budidaya ikan karena
kerugian yang diakibatkan oleh morbiditasnya cukup tinggi. Mycobacterium sp.
yang patogen pada ikan saat ini diantaranya M. marinum, M. fortuitum, dan M.
chelonae (Gauthier dan Rhodes 2008). M. marinum merupakan spesies yang
paling banyak diisolasi dari ikan, M. fortuirum jarang dilaporkan namun dapat
terjadi di daerah tropis dan subtropis, dan M. chelonae sering ditemukan di
spesies ikan salmonid yang berada pada air dingin (Descostere, et al. 2003).

18
Mikobakteriosis pernah dilaporkan sebagai penyakit yang berpotensi
merugikan pada budidaya ikan gurame di Indonesia yang mengakibatkan
kematian secara persisten hingga mencapai 40% dengan pola kronik
(Purwaningsih dan Taukhid 2010). Akibat infeksi bakteri ini, reproduksi ikan
terganggu, produksi benih menurun, dan kondisi benih yang dihasilkan lemah.
Hal ini menjadi masalah yang berarti pada pengusaha budidaya ikan.
Mycobacterium sp. banyak ditemukan dalam berbagai sumber air, sehingga
ikan sering terpapar dari lingkungan mereka. Stress, gizi yang kurang, dan lesio
eksternal dapat melemahkan sistem kekebalan ikan sehingga membuatnya lebih
rentan terinfeksi. Pencegahan adalah cara terbaik untuk melindungi infeksi ini,
diantaranya dengan membuat ikan-ikan tetap sehat dengan kualitas gizi yang baik,
memantau parameter kualitas air, dan mengganti air secara teratur. Ikan yang
sakit atau mati dipisahkan dari tangki untuk dikarantina atau dimusnahkan. Selain
itu, peralatan yang digunakan untuk membersihkan tangki harus didesinfeksi
sebelum dan sesudah digunakan (Center for Food Security and Public Health
2006).
Pada umumnya, sejumlah antibiotik seperti Penicillin dan Bacitracin dapat
digunakan untuk mengendalikan bakteri patogen Gram positif karena dapat
merusak dinding sel bakteri, namun Mycobacterium sp. dilaporkan merupakan
bakteri yang resisten pada beberapa bakterisida pada tingkat dosis standar (Irianto
2005). Sifat resisten tersebut menyebabkan belum ada pengobatan pada kasus
infeksi ini selain depopulasi pada kelompok ikan yang terinfeksi. Sangat
dianjurkan untuk melakukan desinfeksi kolam dan peralatan budidaya setelah
melakukan depopulasi. Sebanyak 10.000 ppm senyawa amonium atau 60-85%
alkohol diketahui dapat membunuh Mycobacterium sp. (Floyd dan Yanong 2002).
Berdasarkan penelitian Somsiri et al. (2005), jumlah organisme
Mycobacterium sp. lebih tinggi pada daerah rawa karena berkorelasi dengan
kondisi lingkungannya, yaitu kadar oksigen yang rendah, kandungan organik yang
tinggi, pH rendah, serta air yang hangat. Kondisi ini sering ditemui pada sistem
akuakultur. Kondisi lain yang ditemukan pada sistem akuakultur air tawar ialah
adanya kaitan salinitas yang rendah dengan peningkatan prevalensi
Mycobacterium non TB.
Mycobacterium sp. yang menginfeksi ikan juga termasuk patogen zoonosis
yang dapat menginfeksi manusia, yang dapat menyebabkan lesi lokal seperti
ulserasi kronis, terutama individu yang mengalami imunodefisiensi (Scanga dan
Flynn 2011). Manusia dapat terinfeksi oleh Mycobacterium sp. melalui kontak
langsung dengan sumber air yang terkontaminasi. Infeksi paling sering terjadi
pada daerah luka pada kulit. Tanpa pengobatan, individu yang imunokompeten
dapat benar-benar sembuh dalam 1-2 tahun, sedangkan pada individu yang
mengalami imunodefisiensi dapat terjadi infeksi sistemik dengan keterlibatan
organ visera (Panek dan Bobo 2006). Infeksi terutama terjadi karena kontak
langsung dengan ikan yang terinfeksi atau air yang terkontaminasi, oleh karena itu
hindari kontak dengan sumber, misalnya dengan cara menggunakan sarung tangan
saat hendak berkontak dengan ikan, air, atau peralatan yang berhubungan
langsung dengan ikan dan air untuk pemeliharaannya. Cuci tangan sebelum dan
sesudah beraktivitas yang berhubungan dengan ikan juga sangat penting dilakukan
(Maryland Departement of Health and Mental Hygiene 2002).

19

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Simpulan yang didapat dari penelitian ini ialah berdasarkan dari gejala klinis,
lesio patologi anatomi, lesio histopatologi, serta bentuk dan sifat pewarnaan agen
yang terdapat pada jaringan, sampel ikan didiagnosis mengalami infeksi
Mycobacterium sp. Infeksi Mycobacterium sp. pada sampel ini bersifat sistemik
yang transmisi awalnya dapat melalui ingesti, insang, dan kulit.
Saran
Perlu dilakukan isolasi dan identifikasi dari spesies Mycobacterium sp. yang
sering menyerang ikan hias air tawar, studi potensi zoonosis, serta studi mengenai
transmisi penyakit melalui insang, kulit, dan ingesti pada kasus mikobakteriosis.

DAFTAR PUSTAKA
Abowei JFN, Briyai OF. 2011. A review of some bacteria disease in Africa
culture fisheries. Asian Journal of Medical Sciences 3(5): 206-207.
Anonim. 2012. Anatomi eksternal ikan teleost. [terhubung berkala]. www3. telus.
net. [14 Februari 2012].
Aquatic Community. 2004. Paradise fish - Macropodus opercularis. [terhubung
berkala]. http://www. aquaticcommunity. com/fish/paradisefish. php. [25
Februari 2012].
Austin B, Austin D. 2007. Bacterial Fish Pathogens. UK: Praxis Publishing Ltd.
Hlm: 63-64.
Bancroft J, Stevens A. 1990. Theory and Practice of Histological Technique. New
York: Churchill livingstone. Hlm: 97-100.
Burgess P. 2011. Dedicated to fancy guppy breeding in the UK. [terhubung
berkala]. http://www.fancyguppies.co.uk/page42.htm. [27 November 2012].
Cameron JR, Skofronick JG, Grant RM. 2006. Fisika Tubuh Manusia. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hlm: 47-49.
Cardenas A, Arroyo V. 2003. Mechanisms of water and sodium retention in
cirrhosis and the pathogenesis of ascites. Best Practice and Research
Clinical Endocrinology and Metabolism 17 (14): 607-622.
Center for Food Security and Public Health. 2006. Mycobacteriosis in fish.
Transmissible Disease Fact Sheet No. 90: 1-3.
Crookham J, Dapson R. 1991. Hazardous chemicals in the histopathology.
Anatechnology: 1-3.
Davis JM. Ramakrishnan L. 2008. The very pulse of the machine: the
tuberculous granuloma in motion. Immunity 28: 146-148.
Descostere A, Hermans K, Haesebrouck F. 2003. Piscine mycobacteriosis: a
literature review coveing the agent and the disease it causes in fish and
humans. Veterinary Microbiology 99: 159-166.

20
Floyd RF. Yanong R. 2002. Mycobacterium in fish. Florida Cooperation
Extension Service 96: 1-4.
Gauthier DT, Rhodes WR. 2008. Mycobacteriosis in fishes: a review. The
Veterinary Journal 180: 33-47.
Hammerschlag N. 1999. Marine and Freshwater Behaviour and Physiology.
Canada: Institut of Miami. Hlm: 1-7.
Hawke J, Crowder C, Soto E. 2011. Bacterial ganulomatous disease in fish. Baton
Rouge: Louisiana State University: 10-22.
Irianto A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press. Hlm: 156-158.
Isselbacher KJ, Braunwald E, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL. 1999. Harrison
Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Hlm: 217.
Juarez JLS, Ganguli S, Kirschner D. 2004. Identifying control mechanisms of
granuloma formation during M. tuberculosis infection using an agent-based
model. Journal of Thereotical Biology 231: 359-360.
Maryland Departement of Health and Mental Hygiene. 2002. Mycobacterium
marinum fact sheet. Epidemiology and Disease Control Program.
Meyer SM. 2011. Cause of dropsy symptoms. [terhubung berkala].
www.fishchannel.com. [25 November 2012].
Noga EJ. 2011. Fish Disease : Diagnosis and Treatment Second Edition. Iowa:
Wiley-Blackwell. Hal: 107-267.
Panek FM, Bobo T. 2006. Zoonotic fish disease and adaptive fishery
management: considerations for striped bass (Morone saxatilis) from the
chesapeake bay. Fish and Wild Agencies 60: 140-144.
Purwaningsih U, Taukhid. 2010. Diagnosa penyakit mikobakteriosis,
Mycobacterium fortuitum pada ikan gurame (Osphronemus gouramy)
dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Prosiding Forum Inovasi
Teknologi Akuakultur: 969-970.
Rao S. 2010. Gram’s staining. [terhubung berkala]. www.microrao.com. [30 Mei
2012].
Reimschuessel R. 1993. Postmortem Examination. Di dalam: Stoskopf MK,
editor. 1993 Fish Medicine. Philadelphia: W B Saunders Company. Hal:
161.
Rosen Lab. 2005. Masson Trichrome staining. [terhubung berkala].
http://www.bcm.edu/rosenlab. [1 November 2012].
Scanga CA, Flynn JL. 2010. Mycobacterial infections and the inflammatory
seesaw. Cell Host and Microbe 7: 177-178.
Sobel ME. 2006. Pathology a Career in Medicine. Bethesda: Intersociety Council
for Pathology Information (ICPI). Hlm: 1.
Somsiri T, Puttinaowarat A, Soontornwit S, Lacharoje S. 2005. Contamination of
Micobacterium spp. in live feeds. Disease in Asian Aquaculture V: 231-235.
Stoskopf MK. 1993. Fish Medicine. Philadelphia: W B Saunders Company.
Hal: 2-47. Supriyadi HA, Hardjamulia. 1986. Current of programs for
health certification and quarantine in Indonesia. Di dalam: Arthur J. R.
1986. Fish Quarantine and Fish Disease in South and Southeast Asia.
1986. Ottawa Kanada: IDRC. Hlm: 27-29.

21
Tappin AR. 2011. A Fishkeeper’s Guide to Mycobacteriosis. London: Art
Publications. Hal: 4-7.
Wijaya T. 2011. Prospek dan peluang ikan hias Indonesia. [terhubung berkala].
http://nirwanaaquarium.blogspot.com/2011/03/prospek-peluang-ikan-hiasindonesia.html. [29 Oktober 2012].

22

LAMPIRAN
Lampiran 1
Pembuatan Sediaan Histopatologi
Pembuatan sediaan histopatologi berdasarkan Bacha dan Bacha (2000)
pada organ ikan dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :
1. Grossing
Sediaan organ ikan yang sudah direndam dalam larutan Neutral Buffer
Formalin (NBF) 10%, kemudian dipotong dengan ketebalan + 3 mm dan
potongannya dimasukkan ke dalam kaset jaringan.
2. Dehidrasi
Organ yang ada dalam kaset jaringan dimasukkan ke dalam gelas-gelas
mesin autotechnicon untuk dilakukan dehidrasi. Dehidrasi ini dilakukan
bertahap dengan menggunakan alkohol yang konsentrasinya bertingkat,
dimulai dari konsentrasi 70%, 80%, 90%, 95%, alkohol absolut 1, alkohol
absolut 2. Setelah itu dilakukan proses penjernihan (clearing) dengan
memasukkan sediaan ke dalam xylol, dua kali ulangan.
3. Infiltrasi Parafin
Jaringan diinfiltrasi dalam parafin dengan merendamnya dalam parafin
cair sebanyak tiga kali ulangan.
4. Penanaman (embedding) dan pencetakan (blok)
Sediaan yang telah diinfiltrasi parafin ditanam dalam cetakan yang telah
berisi parafin cair setengah dari dinding cetakan, kemudian setelah mulai
membeku ditambahkan lagi dengan parafin cair sampai penuh. Proses ini
dilakukan di mesin tissue embedding console (Sakura®). Sediaan tersebut
diatur letaknya kemudian diberi label lalu dibekukan dalam lemari es untuk
memudahkan pemotongan.
5. Pemotongan
Jaringan dipotong 3-5 µm dengan mikrotom (Spencer®). Hasil potongan
diletakkan di atas air hangat untuk mencegah terjadinya lipatan saat
dibentangkan. Sediaan dilekatkan di atas gelas objek kemudian dikeringkan
dalam hot plate.
Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)
Pewarnaan HE termasuk dalam jenis pewarnaan ganda (double staining)
karena menggunakan 2 jenis zat warna. Pada pewarnaan ganda, umumnya
pewarnaan yang digunakan satu bersifat asam dan yang lain bersifat basa. Paduan
sifat tersebut menyebabkan bagian-bagian yang bersifat asidofilik dan basofilik
dapat ditonjolkan. Penggunaan pewarna ganda bertujuan agar terjadi kekontrasan
antara bagian yang bersifat asidofilik dan basofilik, sehingga pengenalan bagian
tertentu dapat lebih cepat dan jelas terlihat.
Pewarnaan HE diawali dengan proses deparafinasi dengan menggunakan
xylol dua kali ulangan masing-masing selama 2-3 menit. Kemudian dilanjutkan
dengan proses rehidrasi dengan menggunakan alkohol absolut, 95%, dan 70%
secara berurutan masing-masing selama 2-3 menit. Sediaan kemudian dicuci
dengan air mengalir. Selanjutnya sediaan dimasukkan ke dalam 5% sodium

23
tiosulfat 2-3 menit. Sediaan dicuci kembali dalam air mengalir selama 3-5 menit.
Sediaan diwarnai dengan pewarna hematoksilin Mayer selama 8 menit, kemudian
dicuci dengan air mengalir, direndam dalam Lithium Carbonat selama 15-30 detik,
kemudian dicuci kembali dalam air mengalir. Sediaan diwarnai dengan pewarna
eosin selama 2-3 menit, setelah itu sediaan dicuci dalam air mengalir untuk
membersihkan warna eosin yang berlebihan. Selanjutnya sediaan didehidrasi
dengan memasukkannya ke dalam alkohol 70%, alkohol 95%, alkohol absolut dua
kali ulangan masing-masing selama 2-3 menit, xylol dua kali ulangan masingmasing selama 2 menit. Setelah semuanya selesai, sediaan dikeringkan kemudian
ditetesi dengan mounting solution dan ditutup dengan gelas penutup dan siap
untuk diperiksa di bawah mikroskop (Bancroft dan Stevens 1990).
Pewarnaan Gram pada Jaringan
Sediaan yang siap diwarnai diletakkan pada rak, kemudian diteteskan
pewarna kristal violet selama 1 menit. Sediaan jaringan kemudian dibilas pada air
mengalir. Sediaan jaringan dibersihkan menggunakan tetesan aseton sampai tidak
ada warna yang mengalir dari tetesan tersebut. Sediaan jaringan kemudian
direndam dalam air mengalir dan diletakkan kembali pada rak, lalu diteteskan
pewarna Basic fuchsin selama 3 menit. Kemudian sediaan jaringan kembali
dibersihkan dengan menggunakan rendaman aseton secara cepat sebanyak 2 kali
rendaman, kemudian direndam pada campuran aseton dan asam pikrat sampai
terbentuk warna salmon, lalu direndam lagi ke dalam aseton yang baru.
Pewarnaan Gram selesai dilakukan, setelah itu preparat dikeringkan lalu direndam
dalam xylene dan ditutup dengan cover glass.
Pewarnaan Gram berguna untuk melihat sifat Gram dari bakteri dengan
warna latar belakang kuning dan nukleus merah. Apabila bakteri terwarnai biru,
maka bakteri tersebut termasuk ke dalam Gram positif. Apabila bakteri tersebut
terwarnai merah, maka memiliki sifat Gram negatif (Rao 2010).
Pewarnaan Ziehl Niehlsen (ZN) pada Jaringan
Pewarnaan ZN pada jaringan digunakan untuk mewarnai preparat
histopatologi yang telah dideparafinisasi dan hidrasi sampai tahap perendaman
pada aquades. Preparat yang siap diwarnai diletakkan pada rak, kemudian
diteteskan pewarna Carbol Fuchsin selama 30 menit. Setelah itu, preparat dicuci
dengan cara diteteskan dengan asam alkohol 3%sampai tidak ada lagi warna yang
mengalir dari tetesan tersebut. Preparat kemudian diwarnai kembali dengan
Methylene Blue selama 15 menit, kem