Penerapan Metode Prestack dan Poststack Time Migration Untuk Meningkatkan Kualitas Data Seismik Laut

PENERAPAN METODE PRESTACK DAN POSTSTACK TIME
MIGRATION UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS DATA
SEISMIK LAUT

FREDY MAROJAYA ARITONANG

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penerapan Metode
Prestack dan Poststack Time Migration Untuk Meningkatkan Kualitas Data
Seismik Laut adalah benar merupakan hasil karya sendiri, dengan arahan dosen
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2013

Fredy Marojaya Aritonang
NIM C54090047

ABSTRAK
FREDY MAROJAYA A. Penerapan Metode Prestack dan Poststack Time
Migration Untuk Meningkatkan Kualitas Data Seismik Laut. Dibimbing oleh
HENRY M. MANIK
Migrasi merupakan salah satu tahapan pengolahan data terakhir dan utama
dalam pemrosesan data seismik. Migrasi dilakukan karena hasil penampang
seismik dalam proses penumpukan belum menggambarkan kedudukan reflektor
yang sebenarnya. Dalam penelitian ini dilakukan proses Migrasi Kirchhoff dalam
domain waktu pada rekaman seismik lintasan TBNE 07 Perairan Teluk Bone,
Sulawesi Selatan. Pemrosesan dilakukan dengan dua macam migrasi berdasarkan
tipe, yaitu migrasi waktu pascapenumpukan (poststack time migration) dan
migrasi waktu prapenumpukan (prestack time migration). Keberhasilan proses ini
sangat dipengaruhi oleh model kecepatan yang digunakan, lebar tingkap,

kemiringan maksimum yang akan dimigrasi dan juga frekuensi. Hasil analisis
penampang yang didapat menunjukan bahwa penampang yang dimigrasi waktu
prapenumpukan memberikan hasil yang lebih baik dalam menggambarkan pola
reflektifitas dibandingkan migrasi waktu pascapenumpukan. Pada daerah
penelitian ditemukan peristiwa sesar normal dan batas sekuen dicirikan oleh
bidang downlap, toplap dan onlap.
Kata kunci: Migrasi, Kirchhoff, Migrasi Waktu Pascapenumpukan, Migrasi
Waktu Prapenumpukan,

ABSTRACT
FREDY MAROJAYA A. Implementation of the Prestack and Poststack Time
Migrations Method to Improve the Quality of Marine Seismic Data. Supervised
by HENRY M. MANIK
Migration is the final and primary stages in seismic data processing.
Migration was carried out because the results of the seismic stacked section was
unable to describe the actual position of the reflector. In this research, Kirchhoff
migration was conducted in time domain on seismic recording line-7 in Gulf of
Bone, South Sulawesi. Data processing was conducted by migration processes
namely poststack and prestack time migration. The succeded of this process is
strongly influenced by the velocity model, aperture width, maximum dip to

migrate and also frequency. The analysis result of cross section obtained showed
that the cross section of prestack time migration had a better results in describing
the pattern of reflectivity than poststack time migration. On the research area,
normal faults event and the boundary sequences found were characterized by
downlap, toplap and onlap field.
Keyword: Migration, Kirchhoff, prestack time migration, poststack time
migration

PENERAPAN METODE PRESTACK DAN POSTSTACK TIME
MIGRATION UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS DATA
SEISMIK LAUT

FREDY MAROJAYA ARITONANG

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Kelautan
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan


DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi: Penerapan Metode Prestack dan Poststack Time Migration Untuk
Meningkatkan Kualitas Data Seismik Laut
: Fredy Marojaya Aritonang
Nama
: C54090047
NIM

Disetujui oleh

Dr. Henry M. Manik M.T
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh


I

Tanggallulus: 2.'3

JUrI 1013

Judul Skripsi : Penerapan Metode Prestack dan Poststack Time Migration Untuk
Meningkatkan Kualitas Data Seismik Laut
Nama
: Fredy Marojaya Aritonang
NIM
: C54090047

Disetujui oleh

Dr. Henry M. Manik M.T
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh


Dr. I Wayan Nurjaya M.Sc.
Ketua Departemen

Tanggal lulus :

KATA PENGANTAR
Seismik merupakan salah satu metode yang sangat popular untuk
melakukan deteksi serta memberikan gambaran kondisi geologi bawah permukaan
bumi. Seismik memanfaatkan karakteristik gelombang dalam perambatannya di
medium bumi untuk memudahkan eksplorasi sumberdaya yang terkandung di
dalam permukaan bumi. Hal ini sangat penting dalam pengolahan dan pemrosesan
sinyal gelombang seismik agar memberikan hasil yang maksimal. Penelitian ini
memiliki topik “pemrosesan sinyal seismik menggunakan metode migrasi yang
terdiri atas migrasi waktu prapenumpukan dan pascapenumpukan”.
Penulis mengucap syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, karena telah
memberikan rencana dan rancangan terbaik dalam proses penelitian hingga
penulisan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Henry M. Manik, MT selaku dosen pembimbing.
2. Bapak Lili Sarmili, M.Sc dan Bapak Andrian Willyan Djaja, S.Si
selaku pemberi data dan pembimbing teknis beserta seluruh staff di

lembaga Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Laut (PPPGL)
Bandung.
3. Dr. Udrekh selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan
masukan dan dukungan moril.
4. Orang Tua dan adik terkasih, M. Aritonang, Merry M serta Elmina D.
yang terus mendukung dalam doa, moril dan materil.
5. Keluarga besar Komisi Kesenian PMK IPB, DSTR 46, ITK 46 atas
dukungan doa, semangat kebersamaan dan persahabatan.
6. Seluruh staf pengajar dan administrasi mayor Ilmu dan Teknologi
Kelautan (ITK), serta semua pihak yang telah berkontribusi langsung
dalam penelitian ini.
Penulis berharap ilmu dan teknologi untuk mengeksplorasi sumberdaya
alam, khususnya sumberdaya kelautan Indonesia semakin maju dan berguna serta
menginspirasi bagi pembaca dalam peningkatan pengetahuannya. Karya Ilmiah
ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan sarannya
demi perbaikan dan pengembangan lebih lanjut mengenai penelitian ini.
Bogor, Agustus 2013

Fredy Marojaya Aritonang


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL .............................................................................................
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................
PENDAHULUAN..............................................................................................
Latar Belakang................................................................................................
Tujuan Penelitian............................................................................................
METODE...........................................................................................................
Waktu dan Tempat Penelitian.........................................................................
Alat dan Bahan...............................................................................................
Prosedur Pengolahan Data..............................................................................
HASIL DAN PEMBAHASAN.........................................................................
Praprosesing...................................................................................................
Prosesing........................................................................................................
Pascaprosesing...............................................................................................
KESIMPULAN DAN SARAN.........................................................................
Kesimpulan....................................................................................................
Saran..............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
RIWAYAT HIDUP...........................................................................................


vi
vi
1
1
2
2
2
3
4
9
9
17
22
26
26
26
27
29


DAFTAR TABEL
1. Parameter pengolahan untuk lintasan TBNE 07 digunakan untuk..........
menggambarkan urutan pengolahan dasar................................................
12
2. Nilai kecepatan pada proses pemilihan kecepatan pada CDP 123............
501 dan 7001..............................................................................................
17

DAFTAR GAMBAR
1. Metode akuisisi data seismik refleksi multisaluran...................................
2. Peta Akuisisi data di perairan Teluk Bone, Sulawesi Indonesia................
3. Diagram alir pemrosesan data....................................................................
4. Alur pemrosesan demultiplexing pada masukan SEG-D menggunakan
Promax.......................................................................................................
5. Jendela Penugasan Geometri Laut 2D........................................................
6. Proses dekonvolusi pada data seismik menggunakan prediktif
dekonvolusi................................................................................................
7. Alur pemrosesan data seismik dalam pengolahan analisis kecepatan........
8. Alur pemrosesan data seismik pada tahapan penumpukan.........................
9. (a) Tumpukan Common mid point (CMP), (b) CMP setelah dimigrasi,

(c) Sketsa dari difraksi prominent dan peristiwa dipping sebelum (B)
dan setelah (A) penampang dimigrasi.......................................................
10. Spesifikasi parameter Migrasi Kirchhoff pada migrasi waktu sebelum
penumpukan (a) dan migrasi setelah penumpukan (b)..............................
11. Tampilan data mentah pada source 1 hingga 5..........................................
12. Derau pada FFID 441 (A) derau sebelum peristiwa refleksi (B) derau
sesudah peristiwa refleksi..........................................................................
13. Bentuk koncah pada jejak seismik FFID 102 yang telah diperbesar
Sumbu y menyatakan waktu (ms), sumbu x menyatakan saluran.............
14. Top mute pada source 141 hingga 150.......................................................
15. Kill trace pada source 521 (a) pada jejak seismik source 521 terdapat
multiple yang harus dihilangkan (b) dilakukan proses kill trace dengan
memilih jejak yang akan dihapus (c) hasil dari proses kill trace.............
16. Proses band pass dengan melakukan pemilihan batas sinyal pada puncak
dan dasar refleksi.......................................................................................
17. Hasil akhir dari proses penyuntingan dimana derau serta multiple pada
jejak telah direduksi...................................................................................
18. Interaktif Spektral Analisis metode simple. (a) Average Power (b)
Average Phase...........................................................................................
19. Penampang brutestack untuk dekonvolusi prediktif..................................
20. Penampang brutestack untuk dekonvolusi spiking....................................

1
3
4
5
5
6
7
7

8
9
9
11
11
12

13
13
14
15
16
16

21. (a) Tampilan proses pemilihan titik pada analisis kecepatan spiking
deconvolution pada kelompok CDP 9001 (b) Volume viewer untuk
kontrol kualitas hasil analisis kecepatan....................................................
22. Penampang hasil tahapan penumpukan......................................................
23. Perbandingan penampang hasil penumpukan. Sebelum dimigrasi (a) dan
setelah dimigrasi waktu Kirchhoff (b) pada kedalaman 6000 ms - 7000
ms lintasan TBNE 07.................................................................................
24. Penampang seismik hasil proses migrasi waktu prapenumpukan..............
25. Penampang seismik hasil proses migrasi waktu pascapenumpukan..........
26. Penampang seismik Perairan Bone lintasan TBNE 07...............................
27. Penampang seismik pada TWT 3000-7500 ms..........................................
28. Penampang seismik lintasan TBNE 07 yang menunjukan interpretasi
seismik stratigrafi di daerah penelitian....................................................

18
19

21
22
22
24
25
26

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Upaya menentukan wilayah lautan Indonesia yang menjadi sumber
kekayaan mineral dan migas, diperlukan studi untuk mempelajari gambaran
umum struktur geologi serta sifat-sifat lapisan dasar bumi. Teknik pengolahan
data geologi diharapkan memberi gambaran tentang potensi sumberdaya alam dan
mampu meminimalkan kesalahan dalam penentuan lokasi. Salah satu teknik yang
sering digunakan untuk membantu menganalisis dan menginterpretasikan
gambaran kondisi geologi bawah permukaan adalah dengan menggunakan metode
seismik.
Eksplorasi seismik terdiri atas tiga tahapan utama yaitu akuisisi, prosesing
serta interpretasi data (Lang 1991). Akuisisi data terdiri atas kegiatan persiapan
dan pengukuran di lapangan dengan menggunakan peralatan seismik, perekaman
hingga data disimpan dalam bentuk pita magnetik. Menurut Sanny (1998) kualitas
data seismik sangat ditentukan oleh kesesuaian antara parameter pengukuran
lapangan yang digunakan dengan kondisi lapangan yang ada. Prosesing
merupakan tahapan yang sangat berpengaruh terhadap hasil penampang seismik.
Tujuan utama pemrosesan data seismik menurut van der Kruk (2001) adalah:
1. Meningkatkan rasio sinyal terhadap derau.
2. Memperoleh resolusi yang lebih tinggi dengan mengadaptasikan bentuk
gelombang sinyal.
3. Mengisolasi sinyal-sinyal yang diinginkan (mengisolasi sinyal refleksi
dari gelombang ganda dan gelombang-gelombang permukaan) .
4. Memperoleh gambaran yang realistik dengan koreksi geometri.
5. Memperoleh informasi-informasi mengenai bawah permukaan
(kecepatan, reflektivitas, dll).
Interpretasi data seismik menurut Anderson & Atinuke (1999) adalah
mentransformasikan profil seismik refleksi tumpukan menjadi suatu struktur
kontinyu atau model geologi secara lateral dari bawah permukaan. Ketiga tahapan
ini saling berkaitan satu sama lain. Gambar 1 menunjukan metode akuisisi seismik
refleksi.

Gambar 1. Metode akuisisi data seismik refleksi multisaluran
(Sumber: http://woodshole.er.usgs.gov)

2
Metode pengolahan data seismik terdapat suatu metode migrasi yang
dilakukan untuk memindahkan posisi pemantul semu (hasil rekaman) ke posisi
pemantul yang sebenarnya (pemantul geologi). Metode migrasi ini
mengumpulkan titik difraksi ke puncak kurva difraksi yang diakibatkan oleh
sesar, kubah garam dan pembajian (Yilmaz 1987). Menurut Robinson (1981)
masalah dasar dalam eksplorasi seismik adalah menemukan koordinat dari
antarmuka bawah tanah dan hal ini erat kaitannya dengan memindahkan titik
semu ke koordinat sebenarnya dari titik reflektor.
Liner (2010) menjelaskan bahwa migrasi adalah proses penting dan mahal
yang diterapkan pada data seismik refleksi sebelum interpretasi. Migrasi adalah
tahapan utama dan terakhir untuk memproses data seismik. Proses ini merupakan
proses yang akan disalahkan untuk segala kesalahan yang terjadi pada penampang
seismik dari resolusi rendah, maupun amplitudo yang tidak konsisten.
Pengetahuan khusus diperlukan dalam pengolahan dasar data seismik
terutama tahapan migrasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi tahapan migrasi
harus diterapkan dengan benar untuk mendapatkan suatu penampang seismik yang
menggambarkan kondisi geologi sebenarnya dan siap untuk diinterpretasi.
Penelitian ini membahas proses migrasi yang terdiri atas migrasi waktu sebelum
penumpukan (prestack time migration) dan migrasi waktu sesudah penumpukan
(poststack time migration). Hasil penampang dari kedua metode ini dianalisis dan
dibandingkan dalam domain waktu dengan menggunakan metode migrasi
penjumlahan Kirchhoff.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menganalisis hasil dari tiap tahapan prosesing dasar
data seismik terutama pada proses akhir prosesing data yaitu migrasi dengan
menggunakan metode Migrasi Kirchhoff dalam domain waktu.

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Kegiatan survei akuisisi data dilaksanakan oleh Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi Kelautan (PPPGL) pada 11-15 November 2011. Lokasi
akuisisi data berada di Teluk Bone, Sulawesi Selatan, Indonesia. Gambar 2
ditampilkan peta lokasi akuisisi data. Akuisisi data dilakukan pada 17 lintasan
(garis kuning), namun penelitian ini hanya memanfaatkan satu lintasan yaitu
lintasan TBNE 07 (garis merah) yang terletak pada koordinat
n
7 3” BT d n
3 ” LS hingga
” BT. Panjang lintasan TBNE 07
yaitu 63,850 Km dengan arah sapuan dari timur ke barat.

3

Gambar 2. Peta Akuisisi data di perairan Teluk Bone, Sulawesi Indonesia.
Pengolahan data dilakukan selama 40 hari, yaitu dari tanggal 11 Februari
hingga 9 Maret 2013. Lokasi pengolahan data berada di laboratorium ProMAX
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, Bandung.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari perangkat keras
berupa komputer bersistem operasi Linux. Perangkat lunak pengolah data yang
digunakan adalah ProMAX 2D Version 2003.3.3 © Landmark Graphics
Corporation dan ArcGis 10. Bahan yang digunakan berupa data seismik
berekstensi SEG-D yang merupakan hasil rekaman pita magnetik pada akuisisi
data seismik perairan Teluk Bone lintasan TBNE 07.

Prosedur Pengolahan Data
Metode pengolahan data seismik terdiri dari tiga tahap yaitu tahap
praprosesing, prosesing dan pascaprosesing. Tahap praprosesing dilakukan
pengolahan demultiplexing, penugasan geometri, dekonvolusi dan penyuntingan.
Tahap prosesing dilakukan analisis kecepatan, koreksi Normal Moveout (NMO)
dan Dip Moveout (DMO), binning, penumpukan, migrasi waktu prapenumpukan
dan migrasi waktu pascapenumpukan. Tahapan pascaprosesing merupakan
tahapan analisis hasil pengolahan data yang berupa interpretasi penampang akhir.
Gambar 3 menunjukan proses pengolahan data.

4

Akuisisi Data

Data Seismik
Praprosesing
Demultiplexing
Penugasan Geometri
Penyuntingan
Dekonvolusi

Prosesing
Analisis Kecepatan
Dip Moveout + Binning

Penumpukan
Migrasi Waktu
Kirchhoff
Prapenumpukan

Migrasi Waktu
Kirchhoff
Pascapenumpukan
Pascaprosesing

Gambar 3. Diagram alir pemrosesan data.
Demultiplexing
Data seismik direkam ke dalam pita magnetik dengan standar format
tertentu. Pita magnetik yang digunakan biasanya adalah rekaman dengan format
SEG-A, SEG-B, SEG-C, SEG-D, dan SEG-Y. Proses diawali dengan mengubah
susunan data seismik yang tersimpan dalam format multipleks dalam pita
magnetik lapangan. Data yang tersusun berdasarkan urutan pencuplikan disusun
kembali berdasarkan penerima atau saluran (Demultiplex). Gambar 4 ditampilkan
parameter pengolahan dari tahapan demultiplexing.

5

Gambar 4. Alur pemrosesan demultiplexing pada SEG-D Input menggunakan
Promax
Penugasan Geometri (Geometry assignment)
Data seismik hasil akuisisi harus dikoreksi secara geometri sebelum masuk
ke tahap selanjutnya. Tahapan ini berfungsi untuk mengkoreksi geometri dari
lintasan sapuan agar sesuai dengan kondisi di lapangan saat pengambilan data.
Penugasan geometri merupakan salah satu tahapan yang sangat penting dari
pengolahan data seismik, karena berhubungan langsung dengan basis data
lapangan (Hasanudin 2005).
Penugasan geometri didesain untuk membentuk basis data pada Promax dan
tiap jejak diberi identitas yang dapat kita lihat pada tajuk rekaman Promax 2D
(Landmark 1998). Pada Gambar 5 dapat kita lihat jendela pengolahan dari
tahapan penugasan geometri. Setiap menu pada jendela pengaturan geometri laut
diisi sesuai dengan data lapangan.

Gambar 5. Jendela Penugasan Geometri Laut 2D
Penyuntingan (Editing)
Trace (rekaman seismik) tidak semuanya merupakan data yang baik karena
masih ada derau dalam data tersebut. Derau dalam rekaman seismik dihilangkan
dalam proses penyuntingan untuk menghasilkan data yang lebih berkualitas yang
akan masuk ke tahap selanjutnya. Tahapan ini berusaha mengkoreksi amplitudo
yang dianggap jelek yang ada pada setiap jejak seismik yang terekam, menghapus

6
rekaman dengan gangguan sementara, sinyal monofrekuensi, serta polaritas
reversal akan dikoreksi (Yilmaz 1987).
Dekonvolusi (Deconvolution)
Dekonvolusi merupakan proses perbaikan resolusi temporal dari data
seismik dengan memampatkan koncah dasar seismik. Dekonvolusi dilakukan
untuk menghilangkan atau mengurangi pengaruh reverberasi, ground roll,
multiple, ghost serta memperbaiki bentuk koncah yang kompleks akibat pengaruh
derau. Paramater pengolahan pada tahapan dekonvolusi dapat kita lihat pada
Gambar 6.

Gambar 6. Proses dekonvolusi pada data seismik menggunakan prediktif
dekonvolusi
Dekonvolusi dilakukan dengan mengkonvolusi antara data seismik dan
sebuah filter yang dikenal dengan Wiener Filter. Konvolusi adalah suatu proses
matematika yang diperoleh keluaran dari suatu masukan pulsa gelombang ke
dalam sistem LTI (linear time invariant) yang dioperasikan dengan notasi asterik
(Sismanto 1996). Menurut Yilmaz (1987) Output yang dikehendaki terbagi
menjadi beberapa jenis:
1. Zero lag spike (spiking deconvolution)
2. Spike pada keter tertentu
3. Bentuk waktu yang dimajukan dari deretan masukan (Dekonvolusi
Prediktif)
4. Koncah pada fase nol
5. Koncah dengan bentuk tertentu (Wiener Shaping Filters)
NMO (Normal Moveout) dan DMO (Dip Moveout)
Koreksi NMO berfungsi untuk menghilangkan pengaruh jarak atau offset
antara sumber dengan penerima dalam satu CDP (Common Depth Point) terhadap
waktu penjalaran gelombang (Victor 2010), sehingga tampilan dari sumber dan
penerima yang berbeda berada pada waktu yang sama. Normal moveout
merupakan dasar untuk menentukan kecepatan dari data seismik. Namun, ada
beberapa masalah dengan asumsi yang digunakan dalam proses penumpukan
karena adanya cekungan (proses penumpukan menganggap lapisan seismik
horizontal). Akibat adanya cekungan ini koreksi NMO tidak lagi berlaku, karena
itu, diperlukan koreksi tambahan, yaitu dip moveout (DMO) untuk mengatasi hal

7
ini. Secara sederhana DMO dapat diterjemahkan dengan koreksi NMO pada
lapisan miring.
Analisis Kecepatan (Velocity Analysis)
Kecepatan Gelombang seismik dalam formasi bawah permukaan
merupakan salah satu informasi penting yang akan digunakan untuk konversi data
seismik dari domain waktu ke kedalaman. Analisis kecepatan muncul pada
pemrosesan kelompok CMP (common mid point). Keluaran dari satu tipe analisis
kecepatan berupa sebuah tabel dari nomor sebagai fungsi dari kecepatan. Prinsip
dasar analisis kecepatan pada proses penumpukan adalah mencari persamaan
hiperbolik yang tepat sehingga memberikan tumpukan yang maksimum (Befriko
2009).
Proses analisis kecepatan dilakukan dengan melakukan pemilihan titik
kecepatan untuk setiap lapisan pada setiap kelompok CMP. Proses pemilihan titik
ini dilakukan membentuk suatu pola hiperbolik. Kecepatan yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan kecepatan RMS (root mean square). Pada Gambar 7
ditampilkan alur dari proses analisis kecepatan.

Gambar 7. Alur pemrosesan data seismik dalam pengolahan analisis kecepatan
Penumpukan (Stacking)
Penumpukan adalah proses menjumlahkan jejak seismik dalam satu CDP
setelah koreksi NMO (Normal Moveout). Proses ini memberikan keuntungan
untuk mengingkatkan rasio sinyal terhadap derau. Penumpukan dapat dilakukan
berdasarkan common depth point (CDP), common offset atau common shot point
tergantung dari tujuan penumpukan itu sendiri. Umumnya proses ini dilakukan
berdasarkan CDP dimana jejak seismik yang tergabung pada satu CDP
disuperposisikan dan telah dikoreksi NMO. Hasil akhir penumpukan ialah sebuah
penampang seismik yang belum termigrasi atau dikenal dengan nama stacked
section. Alur pemrosesan tahap penumpukan ditampilkan pada Gambar 8.

Gambar 8. Alur pemrosesan data seismik pada tahapan penumpukan

8
Migrasi (Migration)
Proses migrasi dilakukan pada data seismik dengan tujuan untuk
mengembalikan reflektor miring ke posisi aslinya serta untuk menghilangkan efek
difraksi akibat sesar, kubah garam dan pembajian.
Migrasi dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori antara lain
berdasarkan kawasan dimana migrasi bekerja, berdasarkan urutan tipe dan
berdasarkan algoritma yang dipakai. Migrasi berdasarkan kawasan dimana
migrasi bekerja dibedakan menjadi dua macam yaitu migrasi waktu dan migrasi
kedalaman. Gambar 9 menunjukan fungsi dari tahapan migrasi. Hasil penampang
seismik dari tahapan penumpukan (Gambar 9a) belum menunjukan struktur
geologi sebenarnya dan penampang hasil migrasi (Gambar 9b) akan
mengembalikan posisi reflektor semu ke posisi sebenarnya.

(a)

(b)

(c)

Gambar 9. (a) Tumpukan Common mid point (CMP), (b) CMP setelah
dimigrasi, (c) Sketsa dari difraksi prominent dan peristiwa dipping sebelum (B)
dan setelah (A) penampang dimigrasi (Sumber: Yilmaz, 1987)
Perbedaan mendasar antara migrasi waktu dan migrasi kedalaman bukan
pada domain waktu ataupun kedalaman, akan tetapi yang membedakan hanyalah
model kecepatan yang digunakan (Abdullah 2007). Migrasi berdasarkan tipe
dapat dibedakan menjadi migrasi sebelum penumpukan dan migrasi sesudah
penumpukan.. Migrasi berdasarkan algoritma yang digunakan dapat dibagi
menjadi Kirchhoff, Beda-Hingga, Frekuensi-Bilangan Gelombang dan FrekuensiRuang (Yilmaz, 1987).
Penelitian ini menggunakan migrasi metode Kirchhoff yang merupakan
suatu metode yang bersifat statistik dimana posisi suatu titik dibawah permukaan
dapat saja berasal dari berbagai kemungkinan lokasi dengan tingkat probabilitas
yang sama. Pada Gambar 10 ditampilkan parameter pengolahan dari tahapan
migrasi waktu prapenumpukan (Gambar 10a) dan pascapenumpukan (Gambar
10b).

9

(a)
(b)
Gambar 10. Spesifikasi parameter Migrasi Kirchhoff pada migrasi sebelum penumpukan (a)
dan migrasi setelah penumpukan (b)

HASIL DAN PEMBAHASAN
Praprosesing
Analisis Proses Demultiplexing
Tahapan demultiplexing menghasilkan data mentah seismik lintasan TBNE
07. Data mentah yang dihasilkan merupakan suatu rekaman seismik yang terdiri
dari sinyal yang diinginkan serta sinyal yang tak diinginkan. Data mentah yang
diperoleh ditampilkan sesuai dengan urutan field file identification number, yang
dimulai dari FFID 100 sampai FFID 2454. Dalam satu FFID akuisisi data seismik
di Perairan Bone kali ini, terdiri dari 48 saluran. Data mentah pada Gambar 11
menunjukan kumpulan jejak seismik yang terdiri atas sinyal serta derau.

Derau
Sinyal

Gambar 11. Tampilan data mentah pada source 1 hingga 5

10
Jejak seismik ditampilkan dalam domain amplitudo dengan panjang
perekaman two way travel time (TWT) selama 8000 ms. Pada tampilan jejak
seismik di atas terlihat bahwa peristiwa refleksi ditandai oleh nilai amplitudo
gelombang yang besar. Pada kelompok jejak source 1 hingga 5, sinyal refleksi
dimulai dengan pola kontuinitas amplitudo secara hiperbolik pada TWT sebesar
800 ms. Sinyal gelombang terlihat lebih tebal dan terhubung secara teratur. Sinyal
gelombang ini merupakan sinyal yang dianggap hasil proses refleksi yang
sempurna pada proses perekaman di lapangan.
Penampang yang telah di-demultiplexing memperlihatkan amplitudo yang
kuat pada bagian awal dari peristiwa refleksi. Hal ini ditunjukan dengan koncah
yang berwarna hitam tebal dan amplitudo yang relatif lemah terdapat pada bagian
bawah dari data rekaman seismik. Perubahan amplitudo pada data seismik
mencerminkan suatu bidang batas antar lapisan batuan sehingga bisa dikatakan
bahwa data seismik adalah atribut dari suatu bidang batas lapisan batuan (Tabah
2010).
Gelombang seismik yang terekam pertama kali tercatat pada waktu 800 ms.
Gelombang ini merupakan gelombang yang tercepat sampai ke penerima atau
yang biasa disebut dengan first break. Berdasarkan jejak seismik yang telah
tergambar pada tampilan data mentah, dapat diketahui dasar laut dari perairan
yang direkam. Gambar 11 memperlihatkan bahwa dasar laut ditunjukan pada
waktu 800 ms. Pada kedalaman setelah 3200 ms gelombang mulai mengalami
atenuasi. Hal ini terjadi akibat energi gelombang telah mengalami penyerapan
oleh lapisan diatasnya dan mengalami divergensi muka gelombang (Priyono
2006).
Dalam survei seismik refleksi, gelombang refleksi yang berisi sinyal data
yaitu sederetan spike TWT yang berkaitan dengan reflektor di dalam bumilah
yang dikehendaki sedangkan data lainnya diupayakan untuk diminimalkan. Pada
kenyataannya dalam jejak seismik tersebut juga terdapat derau. Pada tampilan
jejak data mentah (Gambar 12), derau pada jejak seismik terlihat sesudah serta
sebelum peristiwa refleksi pada dasar perairan. Derau sebelum peristiwa refleksi
terjadi merupakan gelombang langsung yang terekam oleh penerima sebelum
gelombang mengalami refleksi oleh dasar laut. Derau sebelum peristiwa refleksi
ini terlihat pada TWT 80 ms hingga 500 ms. Derau acak pada data mentah
lintasan TBNE 07 tidak membentuk pola tertentu, tidak koheren dan umumnya
akan menurunkan kualitas rekaman seismik.
Derau sesudah peristiwa refleksi merupakan multiple yang merupakan
refleksi sekunder akibat gelombang yang terperangkap. Multiple termasuk
kedalam derau koheren yang memiliki pola tertentu (Gambar 12). Hal ini dapat
memungkinkan untuk memprediksi bagaimana derau ini terlihat pada jejak
berikutnya. Ciri-ciri dari multiple ialah waktu terjadi peristiwa ini pada
penampang sama dengan dua kali waktu first break reflektor pertama, serta pola
dari multiple menyerupai pola dari permukaan reflektor.

11

A

B

Gambar 12. Derau pada FFID 441 (A) derau sebelum peristiwa refleksi (B)
derau sesudah peristiwa refleksi
Gambar 13 menunjukan tampilan wiggle trace seismik dalam jejak seismik
komposit yang telah diperbesar, sehingga terlihat jelas bentuk koncah seismik.
Terdapat dua properti penting dari sebuah koncah, yaitu polaritas dan fase.
Koncah yang terbentuk termasuk koncah dengan polaritas terbalik. Pada koncah
jenis ini, kenaikan impedansi akustik akan dilambangkan dengan puncak
gelombang menghadap ke kanan pada jejak seismik (Konvensi SEG, Yilmaz,
2001).

Times (ms)

Channel

Gambar 13. Bentuk koncah pada jejak seismik FFID 102 yang telah diperbesar.
Sumbu y menyatakan waktu (ms), sumbu x menyatakan saluran.
Analisis Proses Penugasan Geometri
Pada tahapan geometri, parameter lapangan dimasukan ke dalam data set
yang kita miliki pada lembatang sebar geometri laut 2D (Tabel 1).

12
Tabel 1. Parameter pengolahan untuk lintasan TBNE 07 digunakan untuk
menggambarkan urutan pengolahan dasar.
Parameter
Selang Penembakan
Kelompok Selang
Saluran terdekat
Saluran terjauh
Selang saluran
Offset minimum
Kedalaman sumber
Kedalaman penerima
Jarak antar CDP
Jumlah tembakan
Azimut lintasan

Nilai
25 m
12.5 m
13
48
12.5 m
100 m
4m
8m
6.25 m
2545
270

Tahapan penugasan geometri bertujuan untuk memasukan parameter yang
dilakukan atau yang didapat dilapangan dan disesuaikan dengan informasi data
mentah yang kita miliki, yaitu data mentah yang telah di-demultiplexing.
Analisis Proses Penyuntingan
Proses Penyuntingan terdiri dari tiga tahapan yaitu top mute, kill trace dan
band pass. Pada Gambar 14 dapat kita lihat bahwa jejak seismik pada source 141150 berisikan informasi sinyal juga derau. Derau terdapat dalam jejak seismik
pada waktu 0-500 ms, derau ini terjadi sebelum refleksi pada reflektor yaitu
lapisan bumi dan berisi gelombang langsung yang hanya membawa informasi
berupa efek serapan sinyal seismik dalam medium air laut yang ikut terekam.
Gelombang ini akan dipotong dan tidak diikutsertakan dalam pemrosesan data
selanjutnya karena tidak mengandung informasi yang kita inginkan. Top mute
dilakukan dengan membuat garis pada bagian atas gelombang refleksi primer
(picking line).

Picking line

Gambar 14. Top mute pada source 141 hingga 150.

13
Killing trace dilakukan saat amplitudo pada jejak seismik berisi sinyal yang
buruk dan dirasa tidak bisa untuk dilakukan proses penyuntingan. Gambar 15a
menunjukan data rekaman seismik pada source 521. Pada jejak seismik terdapat
peristiwa refleksi yang berbeda dengan jejak lainnya. Hal ini terjadi akibat
kesalahan pada kompresor, sehingga data yang didapat mengandung dua kali
tembakan atau lebih. Jejak ini harus dihapus dengan memilih semua jejak agar
tidak merusak data seismik yang akan diolah (Gambar 15b). Gambar 15c
menunjukan jejak seismik hasil dari proses kill trace dan akan masuk ke tahapan
bandpass-gate.

(a)
(b)
(c)
Gambar 15. Kill trace pada source 521 (a) pada jejak seismik source 521
terdapat multiple yang harus dihilangkan (b) dilakukan proses
kill trace dengan memilih jejak yang akan dihapus (c) hasil dari
proses kill trace.
Tahapan terakhir pada proses penyuntingan yaitu bandpass-gate. Pada
Gambar 16 terlihat garis hijau yang menunjukan pemilihan sinyal pada puncak
dan juga dasar dari refleksi seismik.
0

Batas sinyal puncak

Batas sinyal dasar
Gambar 16. Proses band pass dengan melakukan pemilihan batas sinyal pada
puncak dan dasar refleksi

14
Pemilihan sinyal pada puncak dilakukan setelah first break, sedangkan
sinyal dasar dilakukan pada batas waktu yang ditetapkan, yang bertujuan untuk
meredam sinyal yang telah teratenuasi. Prinsip utama dari tahap muting yaitu
memotong sebagian sinyal yang tidak kita inginkan.
Hasil dari proses penyuntingan ialah penampang dengan derau serta
multiple yang telah tereduksi (Gambar 17). Proses penyuntingan tidak akan
mempengaruhi hasil akhir penampang seismik karena pada saat proses
penumpukan terdapat berpuluh-puluh jejak seismik yang dijumlahkan.
Kehilangan satu atau dua jejak tidak akan banyak merubah hasil penumpukan.

Gambar 17. Hasil akhir dari proses penyuntingan dimana derau serta multiple
pada jejak telah direduksi.
Spektral Analisis
Analisis Spektral Interaktif menghitung dan menampilkan daya, fase dan
mengestimasi FX spektrum. Gambar 18 merupakan spectral interaktif dari data
seismik lintasan TBNE 07 yang terdiri atas data serta derau. Gambar 18a
menunjukan interaktif spektral analisis untuk average power yang menunjukan
hubungan antara frekuensi dengan dBPower. Berdasarkan Gambar 18a dapat kita
lihat pada frekuensi 0.501 Hz memiliki daya sebesar – 9,43 dBPower. Pada
frekuensi 242 Hz menunjukan nilai daya sebesar – 108 dBPower. Hal ini
menunjukan bahwa semakin besar frekuensi maka terjadi penurunan daya.
Gambar 18b merupakan interaktif spketral analisis untuk average phase
yang menunjukan hubungan antara frekuensi dengan fase. Berdasarkan gambar
18b dapat kita lihat pada frekuensi maksimal yaitu 201,924 Hz memiliki fase
sebesar -73,739 radian. Pada frekuensi minimum yaitu 162.838 hz memiliki fase
sebesar -38.024 radian. Hal ini menunjukan bahwa semakin besar frekuensi, maka
terjadi peningkatan fase.

15

Gambar 18. Interaktif Spektral Analisis metode simple. (a) Average Power (b)
Average Phase
Analisis Proses Dekonvolusi
Data luaran dari proses penyuntingan, masih terdapat multiple atau
“ringing” yang dapat mengganggu interpretasi penampang seismik, untuk itu
dilakukan proses lanjutan yaitu dekonvolusi. Dekonvolusi pada data lintasan
TBNE 07 di perairan Teluk Bone dilakukan dalam 2 tipe yaitu spike serta
prediktif. Masukan pada proses dekonvolusi merupakan hasil dari proses
penugasan geometri dengan memasukan parameter-parameter proses
penyuntingan yaitu top mute, kill trace dan bandpass-gate.
Salah satu parameter yang mempengaruhi proses dekonvolusi ialah panjang
operator. Panjang operator menggambarkan panjang koncah dan menentukan
berapa banyak jumlah autokorelasi yang digunakan. Perbedaan penentuan nilai
pada panjang operator akan menyebabkan perbedaan efek yang dihasilkan dalam
dekonvolusi. Pada proses dekonvolusi kali ini, baik prediktif maupun spiking,
digunakan panjang operator sebesar 80 ms. Menurut Tonnta Energy Limited
(2010) panjang operator yang besarnya kurang dari 100 ms umumnya akan
menyebabkan kompresi pada koncah.
Diasumsikan bahwa rekaman seismik terdiri atas koncah dengan bentuk
yang konstan, namun berisikan kekuatan yang sembarang. Dekonvolusi prediktif,
berusaha untuk mendapatkan estimasi bentuk koncah konstan. Dengan
memberikan input x(t) kita berusaha untuk mengetahui nilainya pada waktu
tertentu. Maka dari itu pada dekonvolusi prediktif, kita memerlukan suatu nilai
untuk memprediksi atau dikenal dengan operator prediction distance yang
merupakan besaran panjang dalam satuan ms. Pada penelitian ini, digunakan nilai
operator prediksi sebesar 35 ms.
Kestabilan dalam komputasi numerik dapat diperoleh menggunakan
prewhitening yang merupakan suatu pembobotan matrix pada proses dekonvolusi
dengan menambahkan sebuah konstanta pada fungsi autokorelasi, dengan rentang
nilai konstanta antara 0 sampai dengan 1. Dalam dekonvolusi spiking maupun
prediktif digunakan nilai prewhitening sebesar 0.1, nilai ini diterapkan dalam
satuan persen (%).
Dalam alur kerja dekonvolusi, diaplikasikan juga suatu filter frekuensi
untuk setiap masukan jejak. Jenis filter yang digunakan single band pass filter
yaitu filter tunggal yang diaplikasikan pada semua jejak dengan menggunakan 4
nilai frekuensi 8 -12, 5-40-50 Hz. Dalam penelitiannya yang berjudul Application

16
of Spiking and Predictive Deconvolution to Short Record Length Reflection Data,
Williams (2010) menjelaskan bahwa menerapkan filter sebelum dekonvolusi,
memberikan hasil yang lebih baik daripada tidak menggunakan filter.
Dekonvolusi spiking dan prediktif ditampilkan lewat penampang brute
stack. Penampang brutestack pada Gambar 19 dan 20 merupakan penampang
sementara untuk melihat sejauh mana kualitas data seismik yang baru diperoleh
dari sebuah akuisisi atau sekedar mendapatkan gambaran awal kondisi bawah
permukaan. Gambar 19 menunjukan penampang brutestack dari dekonvolusi
prediktif. Pada penampang dapat terlihat proses ini sudah dapat menghasilkan
penampang seismik dengan baik, dimana reflektor dapat terlihat. Penampang hasil
dekonvolusi spiking (Gambar 20) juga memperlihatkan hasil yang sama.

Gambar 19. Penampang brutestack untuk dekonvolusi prediktif

Gambar 20. Penampang brutestack untuk dekonvolusi spiking
Keterangan :
= Efek bowtie
= peristiwa patahan
= Kontinuitas
Hasil kedua penampang dekonvolusi terdapat efek bowtie (kotak merah)
yang dapat kita lihat dalam kotak merah. Efek ini dihasilkan oleh bentuk dasar
geologi berupa cekungan, akibat dari gelombang seismik yang terdifraksi. Gambar
brutestack untuk spiking dan prediktif (gambar 19 dan 20) didapat peristiwa
berupa patahan (kotak kuning) yang terdapat pada TWT 2500 ms hingga 6000 ms,
namun karena brutestack ini merupakan penampang yang masih bersifat
sementara, maka belum dapat kita pastikan apakah peristiwa ini ialah benar suatu

17
kondisi geologi sesar atau akibat pencitraan yang belum baik. Untuk itu
diperlukan pengolahan lebih lanjut untuk mengetahui fenomena ini.
Penampang seismik yang diperoleh dari kedua proses dekonvolusi diatas
mulai menunjukan struktur geologi yang baik, namun hasil menunjukan bahwa
dekonvolusi prediktif lebih baik dibanding spiking. Penampang seismik pada
dekonvolusi prediktif menunjukan kekontinuitasan lapisan yang lebih jelas
dibanding pada dekonvolusi spiking (kotak hitam), selain itu dekonvolusi prediktif
lebih unggul dalam mengatasi derau yang terdapat dalam data dibanding
dekonvolusi spiking.
Penelitian Bestari (2012) menunjukan tampilan wiggle trace dari luaran
dekonvolusi prediktif memberikan hasil yang lebih bersih dibanding luaran
dekonvolusi spiking. Hal ini terjadi karena proses dekonvolusi prediktif mencoba
untuk memperkirakan dan kemudian menghapus bagian-bagian yang dapat
diprediksi dari jejak seismik. Penggunaan jenis dekonvolusi pada pengolahan data
seismik, disesuaikan dengan tujuan pengolahan data. Penerapan dekonvolusi
untuk mengatasi multiple periode pendek jenis prediktif lebih baik dibandingkan
dengan spiking, namun untuk meningkatkan resolusi, jenis spiking lebih baik
dibandingkan prediktif. Maka dari itu pada proses selanjutnya yaitu analisis
kecepatan digunakan data hasil dari proses dekonvolusi prediktif.
Prosesing
Analisis Proses Analisis Kecapatan
Analisis kecepatan merupakan bagian paling penting dan sensitif dari
pengolahan data seismik. Untuk menerapkan koreksi NMO dan migrasi Kirchhoff
dibutuhkan tabel kecepatan yang kita dapat dari analisis kecepatan (Tabel 2).
Tabel 2. Nilai kecepatan pada proses pemilihan kecepatan pada CDP 123,
501 dan 7001
CDP
123
123
123
501
501
501
7001
7001
7001

Waktu (ms)
747.9
1191.7
2481.4
872.7
1427.4
2301.1
3050.0
3979.2
5066.7

Kecepatan RMS (m/s)
1506.6
1840.1
2704.7
1535.0
1942.7
2524.7
2164.4
2744.9
3377.2

Tabel 2 menunjukan kecepatan root mean square yang diperoleh pada setiap
kelompok CDP dalam proses pemilihan kecepatan dari data seismik lintasan
TBNE 07 Perairan Teluk Bone. Berdasarkan tabel di atas, dapat ditunjukan bahwa
kecepatan root mean square bertambah besar seiring bertambahnya kecepatan
seismik. Disimpulkan pula bahwa kecepatan bertambah besar dengan
bertambahnya kedalaman. Hal ini sesuai dengan asumsi bahwa medium bumi

18
dianggap berlapis-lapis dan tiap lapisan menjalarkan gelombang seismik dengan
kecepatan yang berbeda. Kecepatan akan meningkat dengan bertambahnya
kedalaman ditimbulkan juga karena adanya efek kompaksi dan diagenesa,
sedangkan frekuensi akan berkurang akibat atenuasi. Oleh karena itu dengan
bertambahnya kedalaman, resolusi vertikal dan horizontal akan berkurang,
sedangkan efek interferensi akan semakin besar.
Analisis kecepatan pada penelitian ini menggunakan metode pemilihan
kecepatan. Data seismik yang diolah dalam proses ini ialah data-data seismik yang
tergabung dalam kelompok CDP. Satu kumpulan CDP berisi informasi waktu
tempuh gelombang seismik yang dipantulkan oleh satu titik pantul yang sama.
Dapat terlihat pada Gambar 21, titik dipilih pada amplitudo terkuat yang ditandai
dengan warna merah pada semblance panel. Dari hasil pemilihan titik kecepatan
akan terbentuk kurva yang membentuk suatu pola hiperbolik (Garis merah dan
putih). Keakuratan model kecepatan root mean square yang dihasilkan dari proses
ini akan sangat mempengaruhi hasil penumpukan dari migrasi.

(a)
(b)
Gambar 21. (a) Tampilan proses pemilihan titik pada analisis kecepatan
spiking deconvolution pada CDP gathers 9001 (b) Volume
viewer untuk kontrol kualitas hasil analisis kecepatan.
Pada picking panel Gambar 21a dapat terihat bahwa semakin dalam, maka
bentuk koncah seismik akan semakin tipis dan cenderung mendekati bentuk garis
lurus. Hal ini merupakan indikasi dari pengurangan energi serta bukti bahwa
semakin dalam, maka sedimen pembentuk muka bumi semakin kompak dan keras
sehingga sulit untuk ditembus oleh gelombang seismik yang merupakan
gelombang elastis yang memiliki batas kemampuan penetrasi gelombang. Gambar
21b menunjukan volume viewer yang menggambarkan profil kecepatan dari data
seismik dan digunakan sebagai kontrol kualitas hasil dari analisis kecepatan
Tahapan pemilihan kecepatan ini, memerlukan ketelitian yang tinggi karena
akan sangat mempengaruhi proses pengolahan selanjutnya (NMO, migrasi). Pada
tahapan ini dipilih titik-titik yang tepat dianggap sebagai reflektor yang memiliki
kecepatan yang tinggi. Titik-titik reflektor ini dapat menjadi acuan untuk
membedakan antara suatu sedimen dengan sedimen yang lain. Kesulitan pada
tahapan ini yaitu tidak jarang terdapat multiple yang bentuknya menyerupai
reflektor. Setelah mendapat tabel kecepatan dari proses analisis kecepatan, data
seismik kemudian masuk dalam tahapan dip moveout dan binning.

19
Analisis Proses Penumpukan
Seismik refleksi umumnya lemah, dan harus mengalami penguatan dengan
menggunakan prosedur penjumlahan sinyal atau penumpukan. Dalam proses ini
jejak seismik yang telah diolah dijumlahkan dalam satu CDP, tujuannya untuk
mempertinggi rasio sinyal terjadap derau. Sebelum memasuki tahap penumpukan
masing-masing kelompok CDP dikoreksi dari efek perbedaan jarak offset yang
disebut normal moveout (NMO). Koreksi NMO membutuhkan suatu model
kecepatan yang kita dapat dari proses analisis kecepatan.
Hasil penampang proses penumpukan (stacked section) pada Gambar 22
memperlihatkan kondisi geologi dari daerah penelitian. Jika dibandingkan dengan
brutestack (Gambar 19 dan 20) penampang hasil proses penumpukan menunjukan
kualitas lebih baik dari segi kekontinuitasan lapisan, namun proses ini belum
efektif dalam menekan multiple dan difraksi. Terlihat dalam penampang masih
terdapat efek bowtie (kotak merah), karena sinyal belum berada pada posisi
sebenarnya. Pada penampang ini juga masih terdapat peristiwa patahan (kotak
kuning) yang terdapat pada penampang brutestack.

Keterangan :
= Efek bowtie
= Peristiwa patahan
Gambar 22. Penampang stacked section.
Analisis Proses Migrasi
Ada banyak alasan kenapa aplikasi migrasi pada data seismik digunakan.
Dua hal yang cukup penting berhubungan dengan permasalahan pencitraan dan
posisi (Triarto 2010). Dalam penelitian ini dilakukan migrasi dalam domain waktu
yang dilakukan sebelum dan sesudah tahapan penumpukan. Pascapenumpukan
mengacu pada migrasi dari suatu data yang telah ditumpuk, satu jejak per bin
untuk data seismik. Proses ini jauh lebih murah daripada migrasi prapenumpukan,
tetapi juga kurang akurat terutama di daerah yang memiliki pola struktural yang
kompleks (Liner 2010).
Prapenumpukan mengacu pada migrasi data seismik sebelum ditumpuk
yang berisi banyak jejak per bin. Setiap blip amplitudo pada setiap jejak
prapenumpukan diproses, memerlukan upaya komputasi yang sangat besar. Hal

20
ini jauh lebih mahal daripada migrasi pascapenumpukan. Masukan data pada
migrasi prapenumpukan berbeda dengan masukan data pada migrasi
pascapenumpukan.
Proses migrasi waktu prapenumpukan dan pascapenumpukan kali ini
menggunakan metode penjumlahan Kirchhoff. Metode Kirchhoff sangat umum
dan populer digunakan dalam pengolahan data seismik. Dalam penerapan Migrasi
Kirchhoff, ada beberapa parameter yang sangat berpengaruh dalam penentuan
keberhasilan tahapan pengolahan ini diantaranya model kecepatan yang
digunakan, lebar tingkap, kemiringam maksimum yang akan dimigrasi dan
frekuensi maksimum yang digunakan dalam migrasi. Atribut seismik seperti
amplitudo, frekuensi dan kontinuitas sangat sensitif terhadap parameter tersebut,
untuk itu nilai optimum harus diterapkan pada setiap parameter (Gazar 2011).
Model kecepatan pada migrasi Kirchhoff menggunakan model kecepatan
yang diperoleh dari salah satu tahap pengolahan data seismik yaitu analisis
kecepatan. Kecepatan yang didapat dari proses ini sangat mempengaruhi hasil dari
migrasi. Jika model kecepatan yang digunakan untuk migrasi terlalu besar atau
terlalu kecil, maka data yang seharusnya berupa titik akan berubah menjadi seperti
setengah lingkaran overmigrated atau undermigrated, jika hal ini terjadi akan
berpengaruh pada hasil penampang seismik sehingga penampang tidak
merepresentasikan keadaan geologi bawah laut yang sebenarnya.
Frekuensi yang digunakan dalam migrasi ini yaitu sebesar 80 Hz, nilai
frekuensi ini menyatakan frekuensi maksimum yang digunakan dalam data.
Frekuensi dengan nilai diatas batas yang telah ditentukan pada parameter ini, tidak
ikut termigrasi. Besar dari frekuensi data seismik bergantung dari kedalaman
suatu peristiwa seismik. Semakin dalam suatu peristiwa seismik maka nilai
frekuensinya semakin kecil. Frekuensi yang digunakan dalam metode eksplorasi
seismik di darat akan berbeda dengan frekuensi ekplorasi seismik dilaut.
Salah satu parameter penting dalam implementasi dari Migrasi Kirchhoff
yaitu lebar tingkap (Swisi 2009). Lebar tingkap migrasi yang digunakan yaitu
sebesar 5000 m, nilai ini menyatakan jarak horisontal maksimum dimana energi
dapat bergerak dalam migrasi. Jarak ini menentukan lebar dari waktu tempuh di
sebelah kiri dan kanan dari permukaan yang diberikan. Dalam menentukan nilai
tingkap, kita harus memilih nilai tingkap optimum untuk dipakai didalam migrasi
pada suatu data hasil penumpukan. Alaei (2005) dalam penelitiannya
mendapatkan bahwa menerapkan lebar tingkap lebih dari 5000 m akan
menghasilkan pencitraan yang lebih baik pada struktur geologi curam dan terjal.
Proses migrasi waktu pascapenumpukan kali ini menggunakan kemiringan
maksimum sebesar 180. Nilai ini sangat berkaitan dengan kemiringan reflektor
yang kita miliki dalam hasil rekaman seismik. Nilai kemiringan akan melengkapi
penentuan nilai lebar tingkap. Dengan membatasi nilai kemiringan kita akan turut
membatasi derau yang akan ikut dimigrasi dan mengurangi waktu dari proses
Migrasi Kirchhoff.
Gambar 23 memperlihatkan perbedaan hasil penampang seismik yang
belum dimigrasi dan yang telah mengalami proses migrasi. Gambar 23a
menunjukan penampang hasil penumpukan dimana terdapat efek bowtie akibat
peristiwa difraksi. Gambar 23b menunjukan penampang prose penumpukan yang
telah dimigrasi menggunakan metode Kirchhoff dimana efek bowtie yang terlihat
pada penampang hasil proses penumpukan berubah menjadi cekungan. Efek

21
bowtie telah hilang karena dalam migrasi, sinyal-sinyal seismik telah dipindahkan
ke posisi sebenarnya.

(a)
(b)
Keterangan :
= Efek bowtie
Gambar 23. Perbandingan penampang hasil proses penumpukan. Sebelum
dimigrasi (a) dan setelah dimigrasi waktu Kirchhoff (b) pada
kedalaman 6000 ms -7000 ms lintasan TBNE 07.
Gambar 24 dan 25 menunjukan penampang hasil dari proses migrasi
waktu prapenumpukan serta pascapenumpukan. Kedua penampang seismik samasama menunjukan reflektivitas penampang dengan penetrasi gelombang mencapai
7500 ms, dimana dari reflektivitas ini dapat menunjukan stratigrafi lapisan bumi
pada data seismik lintasan TBNE 07. Penampang hasil migrasi baik
prapenumpukan maupun pascapenumpukan semakin menajamkan posisi reflektor.
Menurut Nusantara (2005) hal ini terjadi karena efek difraksi gelombang dan
pengaruh pemantulan oleh lapisan miring telah dihilangkan, sehingga reflektor
tersebut berada pada posisi yang sebenarnya.
Dari penampang hasil migrasi, dapat terlihat peristiwa patahan yang
tercitra pada hasil penampang penumpukan dan brutestack ter