Responses of Rice Genotypes to Drought Periods on Low Land Rice System.

RESPON BEBERAPA GENOTIPE PADI TERHADAP
PERIODE KEKERINGAN PADA SISTEM SAWAH

HERMAN WAFOM TUBUR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERANYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul ”Respon

Beberapa

Genotipe Padi terhadap Periode Kekeringan pada Sistem Sawah” merupakan
gagasan dan karya saya bersama pembimbing yang belum pernah dipublikasikan
dalam bentuk apapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan

dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

Herman W Tubur
NRP. A252080051

ABSTRACT
HERMAN W TUBUR. Responses of Rice Genotypes to Drought Periods on
Low Land Rice System. Under direction of M A. CHOZIN, E. SANTOSA and
A. JUNAEDI.
The objective of this experiment was to identify responses of IR64, Ciherang,
IPB-97-F-15, Menthik Fragrant, Rokan, Way Apo Buru, Jatiluhur and Silugonggo
to drought. The experiment was conducted under plastic house with massive walls
4x3 m (LxW) with split plot design experiment with four replications. Drought
treatments were induced at 3, 6, 9 WAT (weeks after transplanting) and control
(standard rice growing). The results showed that drought at 3 and 6 WAT more
reduced growth rate and yield. Yield reduction on drought at 3 and 6 WAT caused
by increased of unfilled spikelet. The highest of plant canopy showed by Jatiluhur,
whereas Silugonggo showed the highest on number of leaf, tiller and productive

tillering than other genotypes. Jatiluhur and Silugonggo have highest percentage
of flowering, whereas longest panicle showed by IPB-97-F-15. Jatiluhur showed
the highest production of grain yield and harvest with lowest of unfilled spikelet
percentage. There are differences in responses 8 rice genotypes to drought periods
in the low land rice system. Based on the parameters of productive tillers, scores
leaf rolling and leaf desication, and drought resistance index for yield, all eight
genotypes can be grouped into 3 groups: Way Apo Buru Jatiluhur were tolerant;
Rokan and Menthik Fragrant were sensitive; IR64, Ciherang, IPB-97-F-15 and
Silugonggo were moderate to drought.
Key words : Drought periods, Low land, Rice Genotypes.

RINGKASAN
HERMAN W TUBUR. Respon
Beberapa Genotipe
Periode Kekeringan pada Sistem Sawah. Dibimbing oleh
E. SANTOSA, dan A. JUNAEDI.

Padi
terhadap
M. A. CHOZIN,


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi respon beberapa
genotipe padi terhadap periode kekeringan pada sistem sawah. Penelitian
dilakukan di kebun percobaan Institut Pertanian Bogor dalam rumah plastik pada
16 unit petak tanam dengan ukuran 4 m x 3 m, tiap petak dibatasi dinding
tembok dengan kedalaman 0.8 m. Penelitian disusun menggunakan rancangan
split plot design dengan 4 ulangan. Perlakuan pada petak utama adalah periode
pengeringan mulai 3 MST, 6 MST dan 9 MST serta kontrol (tanpa pengeringan)
dan perlakuan anak petak terdiri dari 8 genotipe padi yaitu IR64, Ciherang, Way
Apo Buru, IPB-97-F-15, Jatiluhur, Silugonggo dan Menthik Wangi.
Periode pengeringan mulai 3 MST dan 6 MST nyata menghambat
pertumbuhan vegetatif, hasil dan komponen hasil yang ditunjukkan dengan
rendahnya tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah anakan, jumlah anakan produktif,
persen pembungaan dan panjang malai, bobot basah dan kering tajuk.
Pengeringan saat 3 MST dan 6 MST juga meningkatkan persen gabah hampa dan
menurunkan bobot gabah per rumpun, bobot 1000 butir dan indeks panen.
Tanaman tertinggi ditunjukkan oleh Jatiluhur dan IPB-97-F-15 sementara
jumlah daun tertinggi ditunjukkan oleh Silugonggo. Jumlah anakan tertinggi
ditunjukkan oleh IR 64, Silugonggo dan Rokan. Jumlah anakan produktif tertinggi
ditunjukkan oleh Silugonggo. Persen pembungaan tertinggi ditunjukkan oleh

Jatiluhur dan Silugonggo dan malai terpanjang ditunjukkan oleh IPB-97-F-15.
Bobot 1000 gabah terendah ditunjukkan oleh Rokan sementara indeks panen
tertinggi ditunjukkan oleh Jatiluhur, Silugonggo dan Ciherang. Bobot basah dan
bobot kering tajuk tertinggi ditunjukkan oleh Rokan, Menthik Wangi dan IPB97-F-15.
Terdapat perbedaan respon 8 genotipe padi terhadap periode kekeringan
pada sistem sawah. Berdasarkan parameter jumlah anakan produktif, skor
penggulungan dan skor kekeringan daun, dan indeks ketahanan kekeringan untuk
daya hasil, kedelapan genotipe tersebut dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok,
Jatiluhur dan Way Apo Buru termasuk kelompok yang toleran; Rokan dan
Menthik Wangi termasuk kelompok yang peka; IR64, Ciherang, IPB-97-F-15 dan
Silugonggo termasuk pada kelompok agak toleran (moderat) terhadap kekeringan.

©Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumpulkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

RESPON BEBERAPA GENOTIPE PADI TERHADAP
PERIODE KEKERINGAN PADA SISTEM SAWAH

HERMAN WAFOM TUBUR

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Iskandar Lubis, MS.

Judul Tesis


:

Respon Beberapa Genotipe Padi terhadap Periode
Kekeringan pada Sistem Sawah

Nama

:

Herman Wafom Tubur

NRP

:

A252080051

Mayor


:

Agronomi dan Hortikultura

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. M. A. Chozin, M.Agr
Ketua

Dr. Edi Santosa, SP., M.Si
Anggota

Dr. Ir. Ahmad Junaedi, M.Si
Anggota

Ketua Mayor
Agronomi dan Hortikultura

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS.

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

Tanggal Ujian : 29 Juli 2011

Tanggal Lulus :

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
atas kasih dan kekuatan-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. M. A. Chozin,
M.Agr., Dr. E. Santosa, SP., M.Si dan Dr. Ir. A. Junaedi, M.Si selaku komisi
pembimbing atas pengertian, arahan, kesabaran dan motivasinya. Teriring ucapan
terima kasih kepada penyelenggara program BPPS dan TIM peneliti IMHERE
B.2.C. yang tergabung dalam penelitian “Studi Fisiologi dan Pengembangan
Tanaman untuk Adaptasi pada Kondisi Kekeringan dan Rendah Methan” atas
segenap perhatian dan dukungannya baik moril ataupun materil.

Dalam menempuh pendidikan, pelaksanaan penelitian hingga penyelesaian
tesis, penulis juga menyampaikan terima kasih atas kesabaran, pengertian dan
dukungan doa dari mama, istri, anak dan keluarga.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada pimpinan IPB, Dekan
Program Pasca Sarjana, Ketua Mayor Agronomi dan Hortikultura serta temanteman seangkatan 2008 dan senior atas dorongan dan motivasi yang diberikan.
Akhir kata, besar harapan penulis kiranya tesis ini bermanfaat untuk
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.

Bogor, Juli 2011

Herman W Tubur

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jayapura, Papua pada tanggal 14 Maret 1981 dari
ayah Musa W Tubur (alm.) dan Ibu Erna sebagai anak pertama. Penulis menikah
dengan Oliva Asem dan dikaruniai seorang putra, Jeylandro P M Tubur Asem
pada 13 April 2009.
Tahun 1999 penulis lulus dari SMU Negeri 3 Jayapura, dan pada tahun
yang sama penulis melanjutkan studi S1 di Universitas Negeri Papua pada
Program Studi Agronomi, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian dan

lulus pada tahun 2004. Penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Universitas
Negeri Papua pada Program Studi Agronomi sejak tahun 2005, dan pada tahun
2008 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi Program Magister
Sains pada program studi Agronomi dan Hortikultura IPB dengan dukungan
BPPS. Penulis juga mendapat kesempatan untuk menjadi bagian dalam tim
Peneliti I-MHERE B2.C tahun 2010 yang diketuai oleh Dr. Ir. A. Junaedi, M.Si.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN .............................................................................
Latar Belakang ............................................................................
Perumusan Masalah ....................................................................
Tujuan Penelitian ........................................................................
Hipotesis .....................................................................................

1
1

2
3
4

TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................
Cekaman Kekeringan pada Lingkungan Tumbuh Padi ..............
Mekanisme Adaptasi Tanaman Padi terhadap Kekeringan .........
Sifat Perakaran dan Hubungannya dengan Cekaman Kekeringan
Pertumbuhan Pucuk dan Cekaman Kekeringan ...........................
Hubungan Ketersediaan Air dan Pertumbuhan Tanaman ..........

5
5
6
9
12
15

BAHAN DAN METODE ..................................................................
Lokasi dan Waktu ......................................................................
Bahan dan Alat ...........................................................................
Rancangan Penelitian ..................................................................
Pelaksanaan Penelitian ................................................................
Parameter Pengamatan ................................................................
Analisis Data ...............................................................................

18
18
18
18
19
21
23

HASIL DAN PEMBAHASAN .........................................................
Hasil
Pertumbuhan Vegetatif ......................................................
Hasil dan Komponen Hasil ................................................
Sensitivitas Kekeringan .....................................................
Potensial Air Tanah ...........................................................

24
24
29
33
36

Pembahasan
Pertumbuhan Vegetatif ......................................................
Hasil dan Komponen Hasil ................................................
Sensitivitas Kekeringan .....................................................
Potensial Air Tanah ...........................................................

37
39
42
43

KESIMPULAN DAN SARAN ..........................................................
Kesimpulan ................................................................................
Saran ..........................................................................................

46
46
47

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................
LAMPIRAN .......................................................................................

48
53

DAFTAR TABEL
No

Halaman

1.

Hubungan antara satuan Bar (atm), cm air dan pF ...........................

16

2.

Nilai skor penggulungan daun dan tingkat kekeringan ....................

22

3.

Rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan 8
genotipe padi saat 11 MST ...............................................................

28

Rata-rata jumlah anakan produktif. persen pembungaan dan bobot
gabah per rumpun 8 genotipe padi pada berbagai perlakuan
kekeringan ........................................................................................

30

Rata-rata panjang malai, persen gabah hampa, bobot gabah per
rumpun, dan bobot 1000 gabah. .......................................................

31

Rata-rata bobot basah dan bobot kering tajuk, dan indeks panen
pada perlakuan kekeringan dan genotipe ........................................ .

33

Rata-rata indeks ketahanan kekeringan untuk daya hasil 8
genotipe padi pada berbagai periode pengeringan ......................... .

34

Skor penggulungan dan kekeringan daun 8 genotipe pada
perlakuan periode kekeringan saat 3 dan 6 MST ............................ .

35

4.

5.
6.
7.
8.

DAFTAR GAMBAR
No
1.

Halaman
Model perlakuan periode kekeringan saat 3 MST, 6 MST, 9 MST
dan kontrol .........................................................................................

20

Perkembangan tinggi tanaman padi pada berbagai perlakuan
periode kekeringan .............................................................................

24

3.

Perkembangan tinggi tanaman 8 genotipe padi .................................

25

4.

Perkembangan jumlah daun padi pada berbagai perlakuan periode
kekeringan ......................................................................................... .

26

5.

Perkembangan jumlah daun 8 genotipe padi .....................................

26

6.

Pekembangan jumlah anakan padi pada berbagai periode
pengeringan ........................................................................................

27

7.

Perkembangan jumlah anakan 8 genotipe padi ..................................

28

8.

Perkembangan potensial air tanah pada berbagai perlakuan
kekeringan yang diukur pada kedalaman tanah 10 cm ......................

36

Perkembangan potensial air tanah pada berbagai perlakuan
kekeringan yang diukur pada kedalaman tanah 20 cm ......................

37.

2.

9.

DAFTAR LAMPIRAN

No

Halaman

1. Rekapitulasi sidik ragam tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah
anakan saat 4-11 MST .......................................................................

55

2. Rekapitulasi sidik ragam hasil dan komponen hasil .........................

56

3. Korelasi antar parameter ....................................................................

57

4. Kelembaban dan suhu dalam rumah plastik ......................................

58

5. Hasil Analisis sifat fisik dan kimia tanah pada lahan percobaan .......

60

6. Deskripsi Genotipe padi yang diuji ....................................................

61

7. Denah petak penelitian .......................................................................

67

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu sumber pangan utama yang
dikonsumsi oleh hampir tiga milyar penduduk dunia. Padi juga merupakan salah
satu komoditi pangan yang mampu memenuhi 32% kebutuhan kalori (Sarwar dan
Kanif 2005; Bouman et al. 2007).
Luas lahan padi dunia diperkirakan mencapai 148 juta ha, dimana 79 juta ha
diantaranya merupakan lahan padi dengan sistem irigasi (irrigated lowland rice),
sementara padi tadah hujan dataran rendah (low land rice) dan dataran tinggi (up
land rice) masing-masing mencapai 54 juta ha dan 14 juta ha. Dari jumlah total
produksi padi dunia, 75% diantaranya dihasilkan dari sistem padi beririgasi,
sementara 19% dan 4% masing-masing disumbangkan dari padi dataran rendah
tadah hujan dan dataran tinggi tadah hujan (Maclean et al. 2002).
Menurut Dawe (2005) dan Tuong et al. (2004), 56% dari luas lahan
tanaman budidaya beririgasi di dunia berada di wilayah Asia, dimana 40-46%
merupakan lahan padi dengan sistem irigasi. Kebutuhan air untuk tanaman padi
diperkirakan dua hingga tiga kali lebih tinggi dibandingkan tanaman budidaya
lainnya. FAO (2004) melaporkan bahwa rata-rata pemakaian air untuk satu kali
musim tanam padi berkisar antara 900-2250 mm, sedang menurut Bouman
et al. (2007) rata-rata pemakaian air untuk padi sawah mencapai 1300-1500 mm,
dimana 25-50% dari asupan air hilang akibat perkolasi dan perembesan.
Tingginya tingkat penggunaan air pada budidaya padi dihadapkan pada
masalah kelangkaan air yang turut berdampak pada kehilangan hasil

dan

penurunan produksi padi. Hanson et al. (1990) melaporkan pengaruh kekeringan
telah meluas hingga mencapai 50% luas lahan padi dunia. Pandey dan Bhandari
(2007) melaporkan bahwa pada kurun waktu 1970-2002 dampak kekeringan
menyebabkan kehilangan hasil padi di Thailand mencapai 0.7 juta ton, China 1.2
juta ton dan

India mencapai 5.4 juta ton,

sementara dampak

kekeringan

terhadap luasan lahan padi Di Indonesia pada periode tahun 2001-2006 rata-rata

2
mencapai 29222 ha dan mengalami puso akibat kekeringan mencapai
3872 ha (Purwani 2006).
Kelangkaan air dan kekeringan disebabkan oleh meningkatnya persaingan
dalam penggunaan air antar sektor dan perubahan iklim. Tuong dan Bouman
(2003) mengestimasi bahwa hingga tahun 2025 kelangkaan air dan kekeringan
akan meluas pada 15-20 juta ha lahan padi di sebagian besar wilayah Asia.
Kekeringan yang terus meluas tentu akan berpengaruh terhadap penurunan
produksi dan pemenuhan kebutuhan pangan bagi populasi penduduk yang terus
meningkat.
Untuk meminimalkan dampak kelangkaan air dan kekeringan terhadap
produksi padi maka beberapa upaya yang dapat dilakukan antara lain perlunya
mengoptimalkan produksi tanaman per satuan unit evapotranspirasi melalui
perbaikan manajemen teknik agronomi, minimalisasi penggunaan air pada tahap
persiapan

lahan

dan persiapan tanaman, menekan kehilangan air akibat

perkolasi, perembesan, evaporasi dan aliran permukaan, serta melakukan seleksi
varietas/genotipe padi yang toleran terhadap kekeringan (Guera et al. 1998).

Perumusan Masalah
Kekeringan merupakan penurunan kelembaban tanah atau potensial air
tanah yang disebabkan oleh evapotranspirasi tanah dan tanaman pada zone
perakaran yang dapat menghambat fungsi fisiologis tanaman dan turut
berpengaruh terhadap menurunnya pertumbuhan dan hasil tanaman (Takane et
al. 1995).
Kekeringan memiliki kisaran yang luas, namun dilihat dari tipe lingkungan
tumbuh padi, maka resiko cekaman kekeringan pada sistem budidaya padi tadah
hujan umumnya lebih tinggi dibanding padi dengan sistem irigasi, terutama
disebabkan oleh pendeknya periode musim hujan (Maclean et al. 2007).
Respon tanaman padi terhadap kekeringan berkaitan dengan waktu dan
periode kekeringan yang berasosiasi dengan fase tumbuh (Fukai dan Cooper
1995). Hal ini menunjukkan bahwa stres kekeringan pada fase tumbuh padi yang
berbeda akan menunjukkan respon yang berbeda. Tanaman padi memiliki 3 fase
tumbuh utama yaitu vegetatif, reproduktif dan pematangan (De Datta 1981;

3
Takane et al. 1995). Wopereis et al. (1996) menjelaskan stress kekeringan pada
fase awal vegetatif

berpengaruh pada petumbuhan anakan

dan penundaan

pembungaan, sedangkan pada fase reproduktif terutama pada masa pembungaan
diketahui sangat sensitif terhadap kekeringan, diikuti dengan fase gametogenesis
(booting) dan pengisian bulir. Kekeringan pada fase reproduktif juga berpengaruh
pada meningkatnya persen gabah hampa dan menurunkan bobot gabah yang
menyebabkan penurunan hasil.
Genotipe padi pada lahan kering umumnya lebih resisten terhadap
kekeringan dibandingkan genotipe padi sawah (Bouman et al. 2007), walaupun
demikian terdapat variasi tingkat resistensi, pertumbuhan dan daya hasil tiap
genotipe terhadap

kondisi kekeringan. Takane et al. (1995) menjelaskan

pengujian dan identifikasi karakter morfofisiologi genotipe padi terhadap
kekeringan dan relevansinya dengan pertumbuhan dan hasil perlu dilakukan untuk
pengembangan genotipe yang toleran kekeringan. Salah satu pendekatan dalam
pengembangan genotipe toleran kekeringan adalah melalui identifikasi karakter
morfologi tanaman pada kondisi kekeringan pada sejumlah populasi di suatu
lingkungan target (Fukai dan Cooper 1995).
Beberapa pengujian untuk memperoleh varietas toleran kekeringan pada
beberapa genotipe padi sawah ataupun gogo telah dilakukan di tingkat lapangan
dengan stres kekeringan yang terjadi secara alami (Fukai dan Cooper 1995;
Boonjung dan Fukai 1996), namun pengujian genotipe padi pada sistem sawah
dengan kondisi kekeringan yang

dapat dikontrol hingga kini belum banyak

dilakukan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian untuk mengetahui respon
beberapa varietas padi terhadap periode kekeringan pada sistem sawah.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
1. Mengetahui respon beberapa genotipe padi terhadap periode kekeringan pada
sistem sawah.
2. Mengetahui tingkat sensitifitas kekeringan beberapa genotipe padi terhadap
periode kekeringan pada sistem sawah.

4
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan:
1. Perlakuan kekeringan, genotipe dan interaksinya diduga akan berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan hasil padi.
2. Pada kondisi cekaman kekeringan genotipe padi gogo akan menunjukkan
pertumbuhan dan hasil yang lebih baik dibandingkan genotipe padi sawah.

5

TINJAUAN PUSTAKA

Cekaman Kekeringan pada Lingkungan Tumbuh Padi
Karakteristik lingkungan tumbuh tanaman

padi

dapat dikelompokan

menjadi 3 tipe yaitu padi dataran rendah dengan sistem irigasi (irrigated lowland
rice), padi dataran rendah tadah hujan (rainfed lowland rice) dan padi dataran
tinggi tadah hujan (rainfed upland rice) (Bouman et al. 2007).

Padi dataran

tinggi lebih dikenal juga dengan istilah padi ladang atau padi gogo sementara
padi dataran rendah dikenal dengan istilah padi sawah.
Resiko cekaman kekeringan pada sistem budidaya padi tadah hujan
umumnya lebih tinggi dibanding padi dengan sistem irigasi, terutama disebabkan
oleh pendeknya periode musim hujan. Rata-rata produktivitas padi tadah hujan
dataran rendah mencapai 2.3 ton per ha sementara padi dataran tinggi cendrung
lebih rendah yaitu 1 ton per ha (Maclean et al. 2002).
Beberapa wilayah di Asia yang mengalami dampak kerusakan lahan
tertinggi akibat kekeringan antara lain Di India dengan tingkat kerusakan lahan
mencapai 20 juta ha dan Thailand mencapai 7 juta ha. Rata-rata kehilangan hasil
padi akibat kekeringan tahunan selama periode waktu 1970-2002 mencapai 5.4
juta ton di India, 1.2 juta ton di China, dan 0.7 juta ton di Thailand (Pandey dan
Bhandari 2007). Di Indonesia dampak kekeringan terhadap luasan lahan padi pada

periode 2001-2006 rata-rata mencapai 29222 ha dan mengalami puso akibat
kekeringan mencapai 3872 ha (Purwani 2006).
Penanaman padi di wilayah Asia umumnya mengikuti pola hujan bimodal
oleh karenanya stres kekeringan selama musim tanam dapat dikelompokan
menjadi 3 tipe yaitu : stres kekeringan di awal musim tanam (early stress), stres
kekeringan tengah musim tanam (Mild-Intermitten stress) dan stres kekeringan
akhir musim tanam (late stres) (Chang et al. 1979).
Stres kekeringan pada awal musim tanam (early stress) umumnya terjadi
pada masa semai atau pembenihan (Chang et al. 1979), dimana masa kekeringan
terjadi bersamaan dengan waktu transplanting. Selain beresiko terhadap bibit
muda yang rentan terhadap stres kekeringan, dapat juga memperlambat proses

6
transplanting sehingga benih yang digunakan telah berumur tua sehingga
berpengaruh terhadap menurunnya hasil (Maurya dan O’Toole 1986).
Tipe stres pada tengah musim (mild-stress intermiten) terjadi pada saat
periode pertumbuhan anakan sampai pembungaan yang berdampak pada
kehilangan hasil yang tinggi. Suplai air yang terbatas selama periode tumbuh ini
menyebabkan pelayuan daun, menurunkan indeks luas daun, penutupan stomata
dan berdampak pada penurunan berat kering dan hasil padi (Boonjung 1993).
Stres akhir (late stress) umumnya terjadi ketika kultivar berumur panjang
karena stres kekeringan yang terjadi bersamaan dengan periode pembungaan dan
pengisian gabah di awal musim kering. Pada kondisi stres akhir, kultivar berumur
pendek memiliki kemungkinan terhindar dari stres kekeringan (Chang et al.
1979).

Mekanisme Adaptasi Tanaman Padi terhadap Kekeringan
Tanaman padi diketahui lebih peka terhadap kondisi kekeringan dibanding
beberapa jenis tanaman sereal lainnya. Tingkat kepekaaan tanaman padi terhadap
kekeringan dipengaruhi oleh anatomi daun dan akar yang berasosiasi dengan pola
penyerapan dan pelepasan air (Lafitte dan Bennet 2002). Daun padi lebih sempit
dan tidak terjadi diferensiasi sel mesofil menjadi jaringan palisade dan parenkim
spongi. Jumlah stomata pada daun padi 10 kali lebih banyak dibandingkan jenis
rerumputan yang tumbuh di daerah kering. Padi memiliki ukuran stomata yang
kecil dan terdapat perbedaan frekuensi stomata antar kultivar akibat pengaruh
lingkungan.

Untuk

jenis

padi

dataran

rendah

diperkirakan

30%

air

ditranspirasikan setelah pembungaan melalui penikel (Bouman et al. 2007).
Umumnya tanaman padi dapat beradaptasi pada kondisi terendam penuh
(complete subemergence) antara 3-4 hari walaupun demikian beberapa varietas
terutama pada kelompok padi sawah di daerah bercurah hujan tinggi dapat
bertahan pada kondisi genangan lebih dari 10 hari (Maclean et al. 2002).
Padi sangat sensitif terhadap periode penggengangan yang pendek. Kondisi
kandungan air tanah yang rendah dapat menyebabkan penggulungan daun,
mengurangi permukaan luas daun, menurunkan laju fotosintesis dan ukuran sink

7
sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil (Yoshida 1981; Bouman
dan Tuong 2001).
Dampak langsung stres kekeringan terhadap tanaman adalah penutupan
stomata yang mulai terjadi pada kondisi potensial air daun mencapai -0.75 MPa
sehingga menurunkan laju transpirasi secara bertahap (Dingkuhn et al. 1989b).
Disamping penutupan stomata, stres kekeringan juga menginduksi penggulungan
daun (leaf rolling), penurunan luas daun dan intersepsi cahaya, mempercepat
pengguguran daun sehingga mengurangi total fotosintesis dan produksi biomass
(Turner et al. 1986a).
Diketahui fase tumbuh padi dari perkembangan penikel hingga masa
anthesis adalah fase yang paling peka terhadap stres air (O’Toole 1982).
Boonjung (1993) menunjukkan bahwa periode stres kekeringan selama 15 hari
setelah perkembangan malai menyebabkan produksi gabah menurun hingga 2%
per hari dimana nilai potensial air daun di pagi hari kurang dari -1.0 MPa.
Dilihat dari fase tumbuh maka fase pembungaan terutama pada

masa

anthesis adalah periode yang sangat sensitif terhadap stres kekeringan karena
dapat meningkatan sterilitas spikelet (Cruz dan O’Toole 1984; Ekanayake et al.
1989). Pada kondisi iklim tropika, 13 hari setelah pembungaan akan terjadi
pengisian bulir dalam 2 tahap, tergantung pada heterogenitas bulir dalam satu
malai dan jumlah malai dalam suatu populasi tanaman (Yoshida 1981), stres air
pada masa pengisian bulir dapat membatasi laju fotosintesis namun mobilisasi
asimilat dapat terjadi untuk mengkompensasi source sehingga penghambatan
pengisian bulir dapat ditekan (O’Toole 1982).
Diketahui
terhadap

terdapat 4

kekeringan

yaitu:

mekanisme kemampuan adaptasi tanaman padi
menghindari

kekeringan

(drought

escape);

menghindari dehidrasi (dehydration avoidance), toleran kekeringan (dehydration
tolerance) dan kemampuan memperbaiki sistem tumbuh setelah melewati periode
stres kekeringan (drought recovery) (Arrandeau 1989).
Mekansime penghindaran terhadap kekeringan (drougth escape) berkaitan
dengan umur dan fenologi tanaman (O’Toole 1982). Kultivar berumur pendek
umumya dapat menghindari stres
panjang (Arrandeau 1989).

kekeringan dibandingkan kultivar berumur

8
Mekanisme dehydration avoidance berkaitan dengan kemampuan tanaman
mempertahankan status air tanaman terutama potensial air daun tetap tinggi
dengan cara menyerap air lebih banyak atau menggunakan air yang lebih lambat
sehingga air menjadi lebih tersedia selama periode kekeringan berikutnya
(Arrandeau 1989). Dua cara ini sangat bermanfaat pada beberapa tanaman
budidaya termasuk tanaman padi gogo, sementara pada sistem penanaman padi
sawah cendrung lebih banyak faktor pembatas seperti penghambatan pada sistem
perakaran pada kedalaman tanah tertentu dan tingkat kehilangan air yang lebih
banyak karena perkolasi, perembesan dan evaporasi (Fukai dan Cooper 1995).
Penghindaran dari dehidrasi akibat kekeringan dapat terjadi pada kondisi
lingkungan padi gogo ataupun padi dataran rendah karena menurunnya kebutuhan
evaporasi atau pemanasan yang terjadi di pucuk. Status air tanaman ditentukan
oleh keseimbangan air yang diserap melalui sistem akar dan kebutuhan air oleh
pucuk. Dengan demikian potensial air tanaman yang tinggi dapat meningkatkan
mekanisme pucuk untuk mengurangi kebutuhan air (Fukai dan Cooper 1995).
Mekanisme dehydration tolerance berkaitan dengan kemampuan tanaman
meningkatkan metabolisme walaupun potensial air daun rendah. Arrandeau
(1989) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara translokasi asimilasi
dengan kemampuan toleransi tanaman padi terhadap dehidrasi. Ketika stres
kekeringan terjadi selama masa pengisian gabah, tanaman padi yang lebih toleran
terhadap dehidrasi biasanya dapat lebih meningkatkan aktivitas metabolisme
untuk beberapa tambahan waktu. Ini berarti laju translokasi asimilasi dapat terus
berlanjut untuk pengisian gabah. Dibandingkan dengan tanaman sereal lainnya,
padi diketahui lebih banyak menyimpan asimilat untuk pengisian gabah (Weng et
al. 1982).
Mekanisme drought recovery berkaitan dengan kemampuan tanaman
memulihkan pertumbuhan setelah melewati periode kekeringan

tertentu

(Arrandeau 1989). Mekanisme ini penting ketika kekeringan terjadi pada awal
pertumbuhan dan perkembangan tanaman hal ini ditunjukkan pada beberapa
genotipe yang mampu menghasilkan lebih banyak anakan dan memproduksi
gabah setelah melewati periode

kekeringan (Fukai dan Cooper 1995).

Kemampuan tanaman untuk memperbaiki sistem metabolisme akibat kekeringan

9
berhubungan dengan kemampuannya untuk mempertahankan daun tetap hijau
selama periode kekeringan. Mempertahankan daun tetap hijau ketika stres
kekeringan terjadi selama masa inisasi malai sangat penting karena daun yang
tetap hijau dapat memberikan lebih banyak asimilat bagi perkembangan malai
dengan demikian produksi spikelet turut meningkat (Lilley dan Fukai 1994b).

Sifat Perakaran dan Hubungannya dengan Cekaman Kekeringan
Tanaman padi, jagung dan sorgum yang tumbuh di daerah dataran tinggi
memiliki pola kepadatan dan panjang akar yang sama dan kemampuan menyerap
air dapat mencapai kedalaman 60 cm. Walaupun demikian kemampuan
penyerapan air pada tanaman padi lebih rendah dibandingkan tanaman sorgum,
hal ini menyebabkan padi lebih peka terhadap stres air dibandingkan sorghum
(Fukai dan Inthapan 1988; Intahapan dan Fukai 1988). Boonjung (1993) juga
menjelaskan perkembangan sistem perakaran padi sangat sensitif terhadap
rendahnya kandungan air tanah.
Tanaman padi memiliki variasi genotipe dalam sistem perakaran yang
berasosiasi dengan resistensi kekeringan. O’Toole (1982) menjelaskan mekanisme
adaptasi tanaman padi terhadap kekeringan yang berkaitan dengan sistem
perakaran mencakup tiga hal : 1. Kondisi ketersediaan air tanah yang rendah akan
meningkatkan panjang dan kepadatan akar, meningkatkan rasio akar : pucuk dan
konduktansi akar; 2. Kondisi air tanah yang rendah menyebabkan peningkatan
penetrasi akar pada berbagai faktor pembatas tanah baik itu faktor fisik ataupun
kimia tanah; dan 3. Terdapat kemungkinan terjadinya penyesuaian osmotik pada
akar.
Tingginya penyesuaian osmotik pada akar memungkinkan tanaman lebih
banyak menyerap air tanah. Tanaman akan lebih toleran terhadap kekeringan dan
memiliki kemampuan untuk memperbaiki sistem pertumbuhan setelah melewati
masa stres kekeringan. Walaupun demikian belum banyak penelitian yang
menunjukkan pengaruh penyesuaian osmotik pada akar dan hubungannya dengan
resistensi tanaman terhadap kekeringan (Fukai dan Cooper 1995).
Terdapat variasi yang luas diantara galur padi yang memiliki kepadatan
panjang akar kurang dari 30 cm. Secara umum galur dengan densitas panjang

10
akar dibawah 30 cm memiliki sistem perakaran yang lebih panjang (Fukai dan
Cooper 1995), lebih lanjut Yosida dan Hasegawa (1982) menjelaskan bahwa
rasio panjang akar yang lebih tinggi dibandingkan pucuk adalah indeks resistensi
tanaman padi terhadap kekeringan (avoidance) sebab sistem perakaran yang lebih
panjang dan lebih padat lebih memiliki kemampuan untuk menyerap air dan laju
transpirasi akan lebih rendah dengan rasio akar terhadap pucuk yang kecil.
Hasil skrining yang dilakukan Yosida dan Hasegawa (1982) pada 1081
galur menemukan bahwa rasio akar yang lebih dalam terhadap pucuk cendrung
memiliki jumlah anakan yang sedikit. Karakter ini sesuai dengan ciri genotipe
padi tradisional lahan kering. Selama sistem perkaran padi tersusun atas akar
nodal, galur yang memiliki banyak anakan akan lebih memiliki lebih banyak akar,
terutama pada anakan sekunder dan tersier yang tumbuh lebih lambat akan lebih
banyak memiliki akar pendek. Hal ini juga menunjukkan bahwa galur yang
memiliki sedikit perkembangan anakan berasosiasi dengan tingginya kepadatan
perakaran pada kedalaman tanah. Beberapa akar diantaranya memiliki diameter
yang luas dan karenanya memiliki pembuluh xylem dengan banyak axial
konduktansi.
Penelitian hubungan antara panjang akar pada kedalaman tertentu

dan

jumlah air yang diekstrak dari suatu permukaan tanah sangat jarang dilakukan.
Puckridge dan O’Toole (1981) menemukan bahwa Kultivar Kinandang Patong
dengan sistem akar yang dalam dapat mengekstraksi lebih banyak air pada
kedalaman 40-70 cm dibandingkan kultivar IR20 dan IR36 yang memiliki akar
dangkal. Hasil yang sama juga diperoleh oleh Mambani dan Lal (1983b,c). Lilley
dan Fukai (1994) menunjukkan juga bahwa variasi ekstraksi air pada 4 kultivar
padi dataran tinggi secara langsung berhubungan dengan kepadatan panjang akar
yang tinggi.
Panjang akar berpengaruh juga terhadap tingginya potensial air daun dan
menunda terjadinya kematian daun selama kekeringan (Mambani dan Lal 1983a;
Cruz dan O’Toole 1985; Ekanayake et al. 1985a). Liley dan Fukai (1994b)
menjelaskan bahwa terdapat indikasi bahwa kultivar dengan akar yang panjang
memiliki penampilan yang lebih baik dibandingkan kultivar lain terutama pada
kondisi stres ditengah periode tumbuh (mild stress), tapi tidak terdapat hubungan

11
langsung antara total panjang akar dan hasil gabah ketika hanya terdapat satu
periode kekeringan yang panjang. Hal ini juga menunjukkan bahwa galur dengan
sistem perakaran yang luas dapat lebih bertahan ketika terjadi beberapa periode
kekeringan seperti misalnya stres kekeringan intermitten.
Galur dengan panjang akar mencapai 40-80 cm pada daerah dataran tinggi
sangat bermanfaat untuk sistem pertanaman padi tadah hujan. Pada penelitian
yang dilakukan di daerah dataran rendah dimana stres air diberikan selama 45-75
hari setelah transplanting, hasil gabah pada 30 galur tidak berkaitan dengan
karakteristik perakaran pada kondisi sistem pertanaman aeroponik (Ingram et al.
1990). Walaupun demikian pada beberapa lahan tadah hujan dataran rendah
dimana tidak dilakukan praktek pelumpuran, pada kondisi tekstur tanah liat
berpasir, variasi genotipe panjang akar pada kedalaman tanah akan terekspresi dan
akar yang panjang dan luas adalah karakter yang bermanfaat (Fukai dan Cooper
1995).
Galur padi dengan sistem perakaran yang panjang diketahui memiliki sifat
toleran terhadap kondisi kemasaman tanah, galur ini diketahui juga memiliki
penampilan yang baik pada kondisi kesuburan tanah rendah (Cattivelli et al.
2008). Karakteristik perakaran lain yang dianggap penting dan mempengaruhi
laju aliran air dari akar ke pucuk adalah sifat resistensi akar axial. Tanaman padi
seringkali tidak mampu mengekstrak air melalui lapisan tanah yang sangat dalam
karena meningkatnya resistensi axial yang disebabkan oleh meningkatnya jarak
pucuk dan kecilnya diameter akar. Yambao et al. (1992) mengobservasi bahwa
terdapat variasi genotipe pada ketebalan akar yang berasosiasi dengan diameter
xylem, walaupun peningkatan diameter pembuluh xylem tidak secara langsung
meningkatkan resistensi padi terhadap kekeringan.
Gomathinayagam et al. (1989) menjelaskan bahwa pertumbuhan akar
seminal dapat digunakan untuk melakukan skrining untuk akar pada tanaman padi
terutama yang berkaitan dengan kemampuan resistensi dorongan akar (root push
resistance). Tanaman yang memiliki resistensi dorongan akar cendrung mampu
mempertahankan potensial air daun tetap tinggi (Ekanayake et al. 1985b).
Resistensi dorongan akar dapat digunakan untuk menghitung sistem perakaran

12
dan hubungannya dengan penapisan terhadap resistensi kekeringan (O’Toole dan
Bland 1987).

Pertumbuhan Pucuk dan Cekaman Kekeringan
O’Toole (1982) menjelaskan bahwa terdapat 3 mekanisme adaptasi tanaman
terhadap kekeringan dan hubungannya dengan pertumbuhan pucuk yaitu:
akumulasi asam amino atau regulator pertumbuhan; mekanisme drought
avoindance dan penyesuaian osmotik (osmotic adjustment).
Berkaitan dengan akumulasi asam amino, Dingkuhn et al. (1991a),
menemukan bahwa terdapat perbedaan antara genotipe dalam akumulasi asam
abcisic (ABA), tapi perbedaan tersebut tidak berhubungan dengan sifat fisiologi
suatu galur dibawah kondisi stres air. Disamping itu stres kekeringan juga
menginduksi akumulasi prolin yang berkorelasi positif dengan penyesuaian
osmotik.
Padi diketahui memiliki sedikit lapisan lilin pada epicuticular dan memiliki
konduktansi kutikula yang tinggi dibandingkan jenis serealia lainnya (O’Toole
dan Seiber 1979). Hal ini mengindikasikan padi akan mengalami kehilangan air
walaupun stomata menutup dan mengakibatkan kematian daun yang lebih cepat.
O’Toole (1982) menjelaskan terdapat variasi genotipe yang luas dalam hal
kuantitas epicuticular lilin, walaupun demikian peran epicuticular lilin selama
pertumbuhan pada kondisi stres air dan hubungannya dengan proses pemulihan
tanaman belum banyak diketahui. Pada penelitian terkini, ditemukan bahwa
terdapat variasi konduktansi epidermal pada beberapa galur tapi tidak ada indikasi
yang menunjukkan bahwa konduktansi epidermal dapat mempertahankan daun
tetap hijau pada periode waktu yang lama (Cattivelli et al. 2008).
Konduktansi difusi dan penggulungan daun merupakan bagian dari
mekanisme avoidance kekeringan pada beberapa genotipe (O’Toole dan Cruz,
1980). Variasi konduktansi difusi dan penggulungan daun berkaitan dengan
kemampuan tanaman mengekstrak air dari tanah, yang cendrung merujuk pada
perbedaan sistem akar.

Kemampuan akar mengekstrak air dari tanah turut

menentukan status air daun. Galur yang dapat mempertahankan potensial air daun
tetap tinggi dapat meningkatkan konduktansi daun dan menurunkan tingkat

13
penggulungan daun (O’Toole dan Moya 1978). Walaupun demikian hubungan
antara penggulungan daun dan potensial air daun bervariasi pada tiap galur dan
terdapat kemungkinan lain yang disebabkan adanya pengaruh penyesuaian
osmotik, galur dengan penyesuaian osmotik yang tinggi cendrung dapat
meningkatkan potensial turgor sel pada kondisi potensial air daun rendah (Turner
et al. 1986a; Fukai dan Inthapan 1988). Hubungan ini juga terjadi pada beberapa
jenis tanaman serealia lainnya akan tetapi bukti penelitian yang kuat sangat
terbatas untuk tanaman padi (Cattivelli et al. 2008).
Penyesuaian osmotik berpengaruh terhadap penggulungan daun pada
beberapa galur padi (Hsiao et al. 1984). Dingkuhn et al. (1989a) menemukan
adanya korelasi antara penggulungan daun dan potensial air pada kondisi stres di
tengah periode pertumbuhan padi (mild stress), yang menunjukkan bahwa
penggulungan daun berkorelasi positif terhadap meningkatnya potensial air daun.
Hal ini berbeda pada beberapa galur yang memiliki kemampuan untuk
mempertahankan potensial air daun tetap tinggi dengan derajat penggulungan
daun yang kecil. Secara umum penggulungan daun adalah salah satu strategi
tanaman untuk tumbuh dan berhubungan dengan mekanisme avoidance untuk
menjaga potensial air daun tetap tinggi.
Penyesuaian osmotik (osmotic adjustment) adalah suatu mekanisme adaptif
tanaman dalam

merespon efek lingkungan tumbuh yang beragam, seperti

kekeringan, salinitas dan temperatur rendah, akumulasi larutan dalam sel dan
penurunan

potensial osmotik demikian halnya terhadap kondisi stres air

(Steponkus et al. 1982; Turner et al. 1986b). Potensial osmotik yang rendah
menyebabkan peningkatan turgor sel seiring dengan turunnya potensial air.
Penyesuaian osmotik terjadi sangat cepat pada tanaman padi terutama karena
stres air yang diukur melalui potensial air daun dibandingkan dengan tanaman
sorghum dan jagung (Fukai dan Inthapan 1988). Penyesuaian osmotik pada padi
sangat berperan penting terutama pada fase awal periode kekeringan.
Dengan penyesuaian osmotik, tekanan turgor yang tinggi relatif dapat
dipertahankan walaupun terjadi pengurangan potensial air di daun (Cutler et al.
1980). Penyesuaian osmotik dapat menunda penggulungan dan kematian daun
dapat (Hsiao et al. 1984), walaupun demikian tekanan turgor tidak selalu penting

14
sebagai faktor penentu respon tanaman terhadap kekurangan air tanah. Pendapat
terkini menunjukkan bahwa respon pucuk terhadap kekeringan secara langsung
melalui signal akar (root signal) (Ludlow et al. 1989). Hingga kini belum ada
pengujian pada tanaman padi dan hubungannya dengan signal akar yang kuat
dengan kecepatan respon suatu spesies terhadap kekeringan (Cattivelli et al.
2008).
Steponkus et al. (1982) menunjukkan bahwa terdapat variasi yang kecil
untuk penyesuaian osmotik pada 4 kultivar padi yang memiliki penyesuaian
osmotik maksimum antara 0.3-0.5 MPa. Pada studi lapangan, terdapat variasi
dalam penyesuaian osmotik dengan nilai maksimum 0.5 MPa pada Kultivar padi
dataran rendah dan lebih rendah pada kultivar padi dataran tinggi pada 7 kultivar
yang berbeda (Turner et al. 1986b). Perbedaan yang ada berkaitan dengan
perkembangan pola stres air pada kultivar ini dan kemampuan penyesuaian yang
luas pada kultivar dataran rendah berkaitan dengan paparan stres kumulatif yang
luas.
Belum banyak bukti dan kajian yang mengindikasikan bahwa variasi
genotipe dalam penyesuaian osmotik memiliki pengaruh yang positif terhadap
pertumbuhan dan hasil

padi. Henderson et al. (1993) menunjukkan adanya

indikasi beberapa pengaruh positif penyesuaian osmotik dalam menetralkan
rendahnya potensial air daun sehingga tetap mendukung retensi daun tetap hijau
(leaf green retention). Karena penyesuaian osmotik pada tanaman padi
berlangsung sangat cepat dan penyesuaian osmotik maksimum terjadi selama
periode kekeringan, maka penyesuaian osmotik dapat

efektif sebagai buffer

dalam melawan kematian akibat stres sedang atau stres intermitten (Fukai dan
Cooper 1995).
Beberapa argumen menunjukkan bahwa pada beberapa kondisi, penyesuaian
osmotik tidak menunjukkan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan tanaman
dan hasil gabah (Munns 1988). Dengan demikian, upaya peningkatan resistensi
kekeringan, dalam kaitannya dengan penyesuaian osmotik perlu diuji dibawah
kondisi stres yang bervariasi, sebelum digunakan sebagai kriteria seleksi pada
program pemuliaan tanaman.

15
Pengaruh mekanisme penyesuaian osmotik terhadap hasil lebih banyak
diketahui pada sorghum dibandingkan padi. Beberapa penelitian lapang dengan
menggunakan varietas hibrida komersial pada level penyesuaian osmotik yang
berbeda menunjukkan adanya hubungan antara tekanan osmotik dan hasil
tanaman pada kondisi stres sebelum anthesis atau selama masa pengisian gabah
(Wright et al. 1983; Ludlow et al. 1990; Santamaria et al. 1990). Produksi gabah
yang dicapai pada kondisi stres air dan pada kondisi air tersedia akan meningkat
secara linear disertai meningkatnya penyesuaian osmotik maksimum pada varietas
hibrida.
Dibandingkan dengan varietas hibrida yang memiliki penyesuaian osmotik
rendah maka varietas yang memiliki penyesuaian osmotik tinggi mampu
mengekstrak lebih banyak air, dan terjadi peningkatan pada produksi gabah dan
translokasi asimilat selama masa pre-anthesis. Tanaman yang memiliki
mekanisme penyesuaian osmotik yang tinggi mampu menghasilkan 0.5 ton per ha
produksi gabah dibandingkan tanaman dengan mekanisme penyesuaian osmotik
lebih rendah (Fukai dan Cooper 1995). Pada kondisi air yang terbatas, kelompok
tanaman yang mampu memproduksi gabah tertinggi memiliki retensi warna hijau
daun yang lebih baik selama masa pengisian gabah dan lebih banyak
memproduksi gabah pertanaman (Cattivelli et al. 2008).
Dalam suatu penelitian yang dilakukan pada padi yang ditumbuhkan dalam
pot dalam lingkungan yang dikontrol menunjukkan bahwa pada umur tanaman 25
hari selama siklus kekeringan menunjukkan kisaran nilai maksimum penyesuaian
osmotik antara 0,4-1,7 MPa pada 59 galur dengan latar belakang lingkungan
adaptasi yang berbeda (Cattivelli et al. 2008).

Hubungan Ketersediaan Air dan Pertumbuhan Tanaman
Tanaman sering dipengaruhi oleh berbagai bentuk stres seperti kekeringan,
temperatur rendah, garam, genangan, panas dan logam berat yang berpengaruh
langsung terhadap kondisi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Jaleel et al.
2009). Kekeringan merupakan salah satu bentuk stres yang berkaitan dengan
fenomena meteorologi dan berasosiasi dengan rendahnya curah hujan dan
ketersediaan air (Jaleel et al. 2009).

16
Terdapat 3 tipe kekeringan yaitu kekeringan meteorologi, hidrologi, sosial
ekonomi dan pertanian. Kekeringan meteorologi berkaitan dengan rendahnya
curah hujan selama periode waktu tertentu. Kekeringan hidrologi berkaitan
dengan rendahnya ketersediaan air di daerah sungai, danau dan daerah aquifers
yang diantaranya dimanfaatkan untuk kepentingan irigasi, wisata ataupun
transportasi. Kekeringan sosial ekonomi merupakan refleksi hubungan antara
suplai dan kebutuhan air untuk beragam kebutuhan sosial dan ekonomi (WMO
2006). Tipe kekeringan pertanian berkaitan rendahnya ketersediaan air tanah
untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Kekeringan dalam konsep pertanian
juga dapat diartikan sebagai penurunan kelembaban potensial tanah yang
disebabkan oleh evapotranspirasi tanah dan tanaman pada daerah perakaran
tanaman dan berpengaruh pada pertumbuhan dan hasil (Takane et al. 1995).
Kekeringan berkaitan juga dengan ketersediaan air terutama dalam
menunjang pertumbuhan tanaman. Air bagi tanaman berperan sebagai unsur hara,
pelarut unsur hara dan penyusun sel tanaman.

Ketersediaan air yang rendah

secara mendasar menurunkan pertumbuhan, perkembangan dan produksi tanaman
(Gardner 1991; Ashari 2006). Tanaman menyerap dari dalam tanah dipengaruhi
oleh organ akar dan sifat fisik tanah yang berkaitan dengan gaya-gaya adhesi,
kohesi dan gravitasi (Hardjowigeno 2007).
Tabel 1. Hubungan antara satuan Bar (atm), cm air dan pF.
Bar
kPa
Mpa
cm tinggi kolom air
0.01
1
0.01
10
0.1
10
0.1
100
1/3
33
0.033
346
1
100
0.1
1000
10
1000
1
10000
15
1500
1.5
15849
31
3100
3.1
31623
100
10000
10
100000
1000
100000
100
1000000
10000
1000000
1000
10000000
Sumber : Hardjowigeno (2007).

Banyaknya kandungan air dalam

pF
1
2
2.53
3
4
4.18
4.5
5
6
7

tanah berkaitan erat dengan besarnya

tegangan air (moisture tension) yang menunjukkan besarnya tenaga untuk

17
menahan air tersebut dalam tanah. Tegangan diukur dalam bar, kPa (kilo pascal),
atmosfir, cm air, atau logaritma dari cm air yang disebut pF. Satuan bar dan
atmosfer sering dianggap sama karena 1 atm = 1.0127 bar (Tabel 1).
Kandungan air pada kapasitas lapang ditunjukkan oleh kandungan air pada
titik layu permanen adalah pada tegangan 15 bar (1500 kPa), air yang tersedia
bagi tanaman adalah air yang terdapat pada tegangan 1/3 - 15 bar atau 33 kPa1500 kPa.
Keadaan tanah yang cukup lembab menunjukkan jumlah air terbanyak yang
dapat ditahan oleh tanah terhadap gaya tarik gravitasi kondisi ini disebut dengan
kapasitas lapang. Air dalam tanah dapat dibedakan dalam 2 kelompok yaitu air
higroskopik dan kapiler. Sebagian besar air tersedia dalam tanah dan dapat diserap
oleh tanaman disebut air kapiler, sedangkan kondisi dimana kandungan air tanah
cukup namun tanaman tidak dapat menyerap air tersebut disebut air higroskopis
(Ashari 2006; Hardjowigeno 2007).
Suatu kondisi dimana tanaman tidak lagi mampu menyerap air dan menjadi
layu disebut dengan titik layu (wilting point). Respon titik layu dapat bersifat
balik namun juga tidak balik dan bervariasi antar spesies. Respon titik layu yang
dapat balik berkaitan dengan kemampuan tanaman untuk tetap bertumbuh saat
pemberian air dilakukan setelah melewati periode kekeringan tertentu, sementara
respon layu permanen umumnya tanaman tidak dapat melakukan aktivitas
tumbuh, daun tetap mengalami pelayuan walaupun telah diberikan air
(Hardjowigeno 2007), kondisi ini akan berujung pada kematian tanaman.

18

BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan di kebun percobaan Institut Pertanian Bogor, Sawah
Baru Babakan Darmaga, selama 4 bulan, dari bulan Mei-September 2010.

Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain bibit padi
yang terdiri dari 8 genotipe : IR64 dan Ciherang (padi sawah varietas unggul),
IPB-97-F-15 (padi sawah tipe baru), Way Apo Buru (padi type amphibi),
Jatiluhur, Silugonggo (padi gogo), Menthik Wangi (padi sawah varietas lokal) dan
Rokan

(padi

hibrida).

Alat-alat

yang digunakan

tensiometer,

meteran,

termohigrometer, timbangan analitik, oven, trai semai dan kamera.

Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan split plot dengan
dua faktor perlakuan yaitu faktor periode kekeringan (petak utama) yang terdiri
dari periode pengeringan mulai 3 minggu setelah tranplanting, pengeringan mulai
6 MST, pengeringan mulai 9 MST dan kontrol (tanpa pengeringan). Faktor
genotipe (anak petak) yang terdiri dari 8 genotipe yaitu : IR64 dan Ciherang
(padi sawah varietas unggul), IPB-97-F-15 (padi sawah tipe baru), Way Apo Buru
(padi type amphibi), Jatiluhur, Silugonggo (padi gogo), Menthik Wangi (padi
sawah varietas lokal) dan Rokan (padi hibrida). Kombinasi faktor perlakuan
periode kekeringan dan genotipe menghasilkan 32 kombinasi perlakuan yang
diulang 4 kali sehingga terdapat 128 satuan percobaan.
Model linier rancangan split plot:
Yijk = µ + Kk + αi +
Yijk

:

ik +

j+

:

)ij +

ijk

Nilai pengamatan faktor perlakuan kekeringan ke-i, dan perlakuan
faktor genotipe ke-j dan blok ke-k

µ

ik+ (α

Rataan umum

19

Kk

:

Pengaruh pengelompokan ke-k; k= 1, 2, 3, 4

αi

:

Pengaruh faktor kekeringan (petak utama) ke-i =; i=1,…4

j

:

Pengaruh faktor varietas (anak petak) ke-j. j=1,2,…8

ik

:

Komponen galat dari faktor kekeringan (petak utama)

ik

:

Komponen galat dari faktor varietas (anak petak)

:

Pengaruh interaksi antara faktor kekeringan dan faktor varietas

:

Pengaruh galat dari interaksi antara faktor kekeringan dan faktor

(α )ij
ijk

varietas

Pel