Model restocking kerapu macan dalam sistem sea ranching di perairan dangkal semak daun, Kepulauan Seribu

(1)

MODEL RESTOCKING KERAPU MACAN

(

Epinephelus fuscoguttatus

) DALAM SISTEM SEA

RANCHING DI PERAIRAN DANGKAL SEMAK

DAUN, KEPULAUAN SERIBU

RAHMAT KURNIA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul ‘Model

Restocking Kerapu Macan (Epinephelus Fuscoguttatus) dalam Sistem Sea Ranching di Perairan Dangkal Semak Daun, Kepulauan Seribu’ adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya penulis lain telah dicantumkan di dalam teks dan Daftar Pustaka disertasi ini.

Bogor, 1 Januari 2012

Rahmat Kurnia NIM. C161040011


(3)

ABSTRACT

RAHMAT KURNIA. Restocking model of kerapu macan (Epinephelus fusgoguttatus) in sea ranching sistem in Semak Daun shallow water, Kepulauan

Seribu. Under guidance of KADARWAN SOEWARDI, ISMUDI MUCHSIN and

MENNOFATRIA BOER.

The releasing in the ocean is known as sea ranching. In addition to improving the cultivation and improvement of economic levels of society, the main goal of sea farming is restocking. This study estimated the carrying capacity of the Semak Daun water for the KJA and sea ranching. Estimated carrying capacity of the KJA performed with a load close to the waste feed. Meanwhile, the carrying capacity for sea ranching is approached with primary productivity through the content of chlorophyll-a in the waters. This review based on the carrying capacity of the sewage effluent P found that the carrying capacity of water for KJA is 12.5 – 21.6 ton. Meanwhile, the carrying capacity for brown grouper fish in the sea ranching systems is between 0.70 – 1.06 tons / year with an average of 0.88 tons / year. Growth parameters of the brown grouper are K = 0.27 per year, L∞ = 97.48 cm, and t0 = -0.44. The natural mortality M = 0.445 per year, and length-weight relationship: W = 0.008L3.16. Restocking model is based on three criteria: the optimal catch corresponding carrying capacity, optimal economic value of yield, and the ability to recover the stock. The study found out that the best alternative policy for sea ranching recruitment type is the A-8, which is 17 cm length seed, stocking density of 2000 fishes, with fishing mortality 0.4. The model produces optimal restocking yield 529.045 kg/year. On the other hand, the best alternative policy for sea ranching harvest type is 17 cm length seed with stocking density 4000 fishes.

Key words: carrying capacity, sea farming, sea ranching, restocking, Epinephelus fusgoguttatus


(4)

RINGKASAN

RAHMAT KURNIA. Model Restocking Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) dalam Sistem Sea Ranching Di Perairan Dangkal Semak Daun, Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh KADARWAN SOEWARDI, ISMUDI MUCHSIN dan MENNOFATRIA BOER.

Sea ranching merupakan pemeliharaan ikan dalam suatu kawasan perairan laut yang terisolasi secara geografis. Ikan yang ditebar (restocking) di kawasan tersebut dapat ditangkap kembali (recapture) dengan tingkat (rate) yang berbeda-beda. Saat ini kegiatan budidaya ikan kerapu macan dalam keramba jarring apung (KJA) di perairan dangkal Semak Daun sudah berjalan. Namun, restocking yang dilakukan di kawasan sea ranching perairan tersebut belum berjalan. Oleh sebab itu diperlukan kajian tentang model restocking.

Kajian ini menduga besarnya daya dukung perairan, baik terhadap KJA maupun sea ranching. Biota yang menjadi objek kajian adalah kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Pendugaan daya dukung di KJA dilakukan dengan pendekatan beban limbah pakan, sedangkan daya dukung bagi sea ranching

didekati dengan produktivitas primer melalui kandungan klorofil-a di perairan tersebut. Kajian daya dukung berdasarkan buangan limbah P menemukan bahwa daya dukung perairan Semak Daun bagi budi daya keramba jaring apung (KJA) adalah 12.5 – 21.6 ton, atau 404 keramba berukuran 3x3 m2. Sementara, daya dukung bagi ikan kerapu macan dalam sistem sea ranching perairan Semak Daun antara 0.703 – 1.06 ton/th dengan rata-rata 0.88 ton/th. Bila dihitung produksi per ha diperoleh produksi ikan kerapu macan ini antara 0.0022 – 0.0034 ton/ha/th, dengan rata-rata 0.003 ton/ha/th.

Parameter pertumbuhan kerapu macan di alam yang diperoleh adalah K = 0.27 per tahun, L = 97.48 cm, dan to = -0.44. Laju kematian alami tetap sebesar M = 0.445 per tahun, dan bobot memiliki hubungan dengan panjang dalam bentuk hubungan: W=0.008L3.16.

Model restocking ditetapkan berdasarkan tiga kriteria, yaitu hasil tangkapan optimal sesuai daya dukung, nilai ekonomi hasil tangkapan optimal, dan kemampuan memulihkan stok. Kajian ini menemukan bahwa alternatif tindakan yang tepat untuk diambil pada sea ranching tipe rekrutmen (recruitment type)adalah kebijakan K-8, yaitu panjang benih 17 cm, kepadatan tebar 2000 ekor, dengan mortalitas tangkap 0.4. Model restocking ini menghasilkan tangkapan hasil tangkapan optimal terbesar 529.045 kg per tahun. Adapun pada sea ranching tipe panen (harvest type) alternatif tindakan yang sebaiknya dipilih adalah restocking dengan panjang benih 17 cm dan padat tebar 4000 ekor. Tangkapan optimal yang diperoleh adalah 1059.661 kg per tahun.

Kata kunci: daya dukung, sea farming, sea ranching, restocking, kerapu macan,


(5)

fuscoguttatus) DALAM SISTEM SEA RANCHING DI

PERAIRAN DANGKAL SEMAK DAUN, KEPULAUAN

SERIBU

RAHMAT KURNIA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(6)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1 Dr. Ir. M. Muchlis Kamal, M.Sc 2 Dr. Ir. Niken T.M Pratiwi, M.Si

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 1 Prof. Dr. Fatuchri Sukadi


(7)

@ Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor (IPB), Tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber:

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau


(8)

Judul Disertasi : Model Restocking Kerapu Macan (Epinephelus

fuscoguttatus) dalam Sistem Sea Ranching di Perairan Dangkal Semak Daun, Kepulauan Seribu

Nama Mahasiswa : Rahmat Kurnia NIM : C161040011 Program Studi : Ilmu Perairan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi Ketua

Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ilmu Perairan,

Prof. Dr. Ir. Enang Haris Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian Terbuka: Tanggal Lulus : 12 Desember 2011


(9)

PRAKATA

Segenap puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nyalah akhirnya disertasi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Januari hingga September 2010 ini adalah model restocking dalam sistem sea ranching.

Selama pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tulisan ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi, Bapak Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin, dan Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer yang telah membimbing dan mengarahkan selama penelitian ini. Rasa terima kasih juga Penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. M. Muchlis Kamal, M.Sc dan Ibu Dr. Ir. Niken T.M Pratiwi, M.Si yang telah bersedia menjadi penguji pada ujian tertutup serta Bapak Prof. Dr. Fatuchri Sukadi dan Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto yang telah bersedia menjadi penguji pada ujian terbuka. Terima kasih yang tak terhingga dihaturkan kepada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian. Penulis tidak akan lupa mengucapkan terima kasih kepada saudaraku Riza Rosadi yang telah banyak membantu hingga studi ini bisa selesai. Last but not least, terima kasih dihaturkan kepada istri tercinta Dedeh Wahidah Achmad dan anak-anak terkasih (Nayla, Nazhif, Misykah, Dafinah, dan Zhilal) yang telah merelakan sebagian besar waktu yang menjadi haknya digunakan untuk penelitian.

Tulisan ini insya Allah akan banyak manfaatnya bagi berbagai pihak. Meskipun demikian, masukan dan kritikan sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa datang.

Bogor, 1 Januari 2012


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada hari Sabtu, tanggal 28 September 1968 dari rahim ibu E. Tursinah dan ayah Oon Suhanda. Setelah menamatkan SMAN Buah Batu, Bandung, pada tahun 1986, penulis masuk ke Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Pemilihan Minat dan Kemampuan (PMDK). Pendidikan sarjana di tempuh di Jurusan Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB, dan lulus pada bulan September 1991 dengan menyandang predikat lulusan terbaik. Berbekal keikhlasan, doa, dan semangat pada tahun 1997 penulis melanjutkan program magister (S2) pada program studi Statistika Terapan-IPB. Setelah mempertahankan tesis berjudul ‘Penduga Kelimpahan Populasi Ikan dengan Metoda Pemulusan Kernel terhadap Data Line Transect’ ia lulus S2 pada Desember 2000. Kesempatan untuk melanjutkan belajar ke jenjang S3 pada perguruan tinggi yang sama diraih pada tahun 2004 dengan beasiswa dari BPPS.

Penulis pernah bekerja di Pan Asia Research Jakarta tahun 1991 sampai dengan 1992. Pada tahun 1992 tersebut penulis mengabdikan diri sebagai pengajar pada Bagian Manajemen Sumberdaya Perikanan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, sampai sekarang.

Karya ilmiah berjudul “Tangkapan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) di perairan Semak Daun, Kepulauan Seribu” diterbitkan pada jurnal Buletin PSP Volume XIX, no. 13 Desember 2011. Sementara, tulisan berjudul “Model sea ranching ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) di perairan Semak Daun, Kepulauan Seribu” sedang ditelaah oleh tim reviewer untuk dapat dimuat pada jurnal Marine Fisheries. Kedua karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.


(11)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xxi

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Permasalahan ... 1

Perumusan Masalah ... 4

Tujuan dan Manfaat ... 6

Kebaruan/novelty ... 6

TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Kondisi Umum Perairan Semak Daun ... 7

Eko-Biologi Ikan Kerapu Macan ... 7

Sistimatika ... 7

Morfometrik ... 9

Kebiasaan makanan ... 10

Faktor lingkungan ... 10

Sea Ranching dan Restocking ... 10

Daya Dukung Lingkungan (Carrying Capacity) ... 16

Pertumbuhan Panjang ... 21

Hubungan Panjang Berat... 22

Mortalitas ... 23

Sistem dan Model ... 23

Participatory Fish Stock Assessment (ParFish) ... 25

Bayesian untuk Kajian Stok ... 27

Pembangkitan Sebaran ... 30

METODE PENELITIAN ... 31

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

Kerangka Pemikiran... 31

Metode dan Desain Penelitian ... 33

Desain Waktu ... 34

Teknik Pengumpulan Data ... 34

Variabel ... 35

Metoda Pengukuran ... 35

Penentuan Daya Dukung ... 35

Kondisi Stok ... 40

Analisis Data ... 41

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

Keadaan Umum Semak Daun ... 43

Perikanan Budidaya di Perairan Semak Daun ... 45

Perikanan Tangkap Ikan Kerapu Macan ... 45

Fisika dan Kimia Perairan ... 45

Kondisi Stok Perairan Dangkal Semak Daun... 46


(12)

Daya Dukung ... ... 51

Daya dukung KJA dengan metode pengenceran ... 51

Daya dukung sea ranching ... 55

Hubungan KJA dengan sea ranching ... 61

Penduga Parameter Pertumbuhan Kerapu Macan di Alam ... 63

Penduga parameter hubungan panjang berat ... 65

Penduga parameter pertumbuhan panjang ... 68

Penduga parameter mortalitas alami (M), penangkapan (F), dan total (Z) .... ... 70

Model Restocking Kerapu Macan ... 73

Deskripsi model ... 73

Asumsi ... 77

Diagram konseptual model ... 78

Hasil Pemodelan dan Simulasi ... 80

Pola tebar ... 80

Hasil tangkapan sea ranchingrecruitment type... 81

Nilai hasil tangkapan ... 88

Spawning stock biomass (SSB) ... 91

Hasil Tangkapan Sea RanchingHarvest Type ... 96

Implikasi bagi Kebijakan Pengelolaan Restocking ... 98

Strategi penebaran ... 99

Kelembagaan ... 102

Software Model Restocking ... 107

KESIMPULAN DAN SARAN ... 111

DAFTAR PUSTAKA ... 115


(13)

Halaman

1 Faktor lingkungan bagi ikan kerapu ... 10

2 Matrik kesesuaian untuk sea ranching ... 16

3 Konversi produksi primer ke dalam biomassa Ikan ... 20

4 Produktivitas primer beberapa ekosistem utama pesisir dan laut ... 21

5 Baku mutu air laut untuk terumbu karang ... 37

6 Parameter kualitas air hasil pemantauan lingkungan di perairan Goba Semak Daun 2008 ... 46

7 Frekuensi ukuran kerapu macan yang tertangkap di perairan Semak Daun periode Maret – Agustus 2010 ... 50

8 Data yang diperlukan untuk menduga daya dukung perairan gosong Semak Daun ... 53

9 Pola pemberian pakan ikan kerapu ... 54

10 Penghitungan SR kerapu macan di KJA ... 56

11 Klorofil-a (Chl-a) dan Produktivitas Primer di Perairan Semak Daun Selama Bulan Agustus 2008 – Juli 2009 ... 58

12 Tropiclevel beberapa spesies ... 59

13 Peubah yang diperlukan untuk menduga daya dukung ikan kerapu macan dalam sea ranching ... 60

14 Rataan, simpangan baku, panjang minimal, dan panjang maksimal ikan yang tertangkap selama bulan Maret sampai dengan Agustus 2010 ... 64

15 Nilai koefisien hubungan panjang-berat ikan kerapu macan di perairan Semak Daun bulan Maret-Agustus 2010 ... 67

16 Nilai k (/th) untuk ikan kerapu macan di alam ... 69

17 Sebaran suhu permukaan air laut Semak Daun periode Agustus 2008 – Juli 2009 ... 71

18 Harga ikan kerapu macan ... 76

19 Kebijakan penebaran restocking kerapu macan ... 86

20 Nilai hasil tangkapan (juta Rp) pada kesebelas alternatifkebijakan penebaran ikan kerapu macan ... 91

21 SSB (ekor) pada keenam skenario penebaran ikan kerapu macan ... 93

22 Perbandingan alternatif tindakan ... 94 23 Perbandingan hasil tangkapan optimal pada berbagai alternatif tindakan 97


(14)

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Hubungan sea ranching dengan budidaya ... 4

2 Hubungan marikultur dengan sea ranching dalam sistem sea farming .. 4

3 Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) ... ... 9

4 Kaitan sea farming dengan marikultur ... 13

5 Model konseptual bioekonomi restocking ikan kerapu macan ... 25

6 Ilustrasi proses pendugaan melalui metode Bayes... 29

7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun... 31

8 Pola pendekatan penentuan daya dukung perairan Semak Daun dan restocking ... 32

9 Volume air pada saat pasang surut (Widigdo & Pariwono 2003)... 36

10 Volume air pada saat pasang surut ... 38

11 Daerah tujuan nelayan penangkap kerapu macan tahun 2010 ... 43

12 Produktivitas bubu menangkap ikan kerapu macan tahun 2010 (----) dan sebelum tahun 2000 ( ) ... 44

13 (a) Bnow, (b) laju pertumbuhan populasi r, (c) biomassa pada saat tidak dieksploitasi, dan (d) catchability ... 48

14 Kondisi stok pada saat ini ... 49

15 Diagram Forester bagi model pendugaan daya dukung KJA dan sea ranching ... 52

16 Elevasi pasang surut selama bulan Juli ... 53

17 Kandungan klorofil-a (Chl-a) di perairan Semak Daun dari Agustus 2008 sampai dengan Juli 2009 ... 56

18 Piramida transfer energi dari produktivitas primer kepada kerapu macan ... 61

19 Hubungan Luas KJA dengan Daya Dukung Sea Ranching ... 63

20 Frekuensi panjang ikan kerapu macan di perairan Semak Daun ... 64

21 Peluang tertangkapnya ikan pada ukuran tertentu oleh bubu ... 65

22 Peluang tertangkapnya ikan kerapu macan oleh bubu di perairan Semak Daun ... 66

23 Hubungan panjang-berat ikan kerapu macan ... 66

24 Sebaran nilai penduga koefisien a (a) dan koefisien b (b) dari model Bayes ... 67


(16)

25 Faktor kondisi ikan kerapu macan di perairan Semak Daun

(Maret-Agustus 2010) ... 68

26 Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy ikan kerapu macan untuk panjang dan bobot ... 69

27 Kurva hasil tangkapan yang dikonversi ... 70

28 Hubungan mortalitas tangkapan (F) dengan banyak ikan kerapu macan yang bertahan hidup di perairan Semak Daun ... 72

29 Hubungan antara mortalitas penangkapan (F) dengan hasil tangkapan ikan kerapu macan di perairan Semak Daun ... 73

30 Hubungan panjang ikan kerapu macan (cm) dengan peluang matang gonad ... 76

31 Struktur model dinamika populasi untuk mensimulasikan hasil tangkapan dan nilai tangkap tahunan sebagai fungsi dari beberapa skenario panjang tebar, pola tebar, dan banyaknya tebar ... 79

32 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai pola tebar ... 80

33 Hasil tangkapan kerapu macan pada mortalitas tangkapan (F) 0.0 – 1.0 ekor ... 82

34 Hasil tangkapan kerapu macan dalam keenam skenario ... 88

35 Nilai hasil tangkapan kerapu macan pada mortalitas tangkapan (F) 0.1–1.3, padat tebar 1 000, 5 000, 10 000, 15 000, 20 000, 25 000, dan 30 000 ekor ... 90

36 SSB kerapu macan pada mortalitas tangkapan (F) 0.1 – 1.3, padat tebar 1 000, 5 000, 10 000, 15 000, 20 000, 25 000, dan 30 000 ekor ... 92

37 Kerangka umum ko-manajemen perikanan ... 103

38 Tampilan muka software model restocking ... 108

39 Tampilan untuk menghitung daya dukung KJA ... 108

40 Tampilan untuk menghitung daya dukung sea ranching ... 109

41 Tampilan untuk mensimulasi hasil dan nilai tangkapan pada berbagai kombinasi panjang dan padat tebar ... 109

42 Tampilan untuk melihat grafik Von Bertalanffy ... 110

43 Tampilan untuk melihat ”Tentang Kami” ... 110


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Daftar pertanyaan participatory stock assessment ... 127

2 Ringkasan data hasil wawancara untuk participatory stock assessment. 129 3 Ringkasan data hasil wawancara untuk participatory stock assessment (lanjutan) ... 130

4 Data olahan untuk input participatory stock assessment ... 131

5 Hitungan volume air laut melalui elevasi pasang surut... 132

6 Hitungan daya dukung KJA melalui beban limbah P ... 133

7 Penghitungan daya dukung berdasarkan masukan P ... 135

8 Frekuensi data ikan kerapu macan di alam... 136

9 Program winbugs untuk mencari koefisien a dan b pada persamaan W=aL^b ... 136

10 Hasil olahan hubungan panjang berat ... 139

11 Program winbugs untuk mencari koefisien von Bertalanffy ... 140

12 Program QBasic untuk simulasi pola restocking ... 142

13 Hubungan hasil tangkapan dengan mortalitas tangkapan pada berbagai padat tebar (T) untuk panjang benih 11, 13, 15 cm ... 144

14 Hubungan hasil tangkapan dengan mortalitas tangkapan pada berbagai padat tebar (T) untuk panjang benih 17, 18, 19 cm ... 145

15 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=10 cm ... 146

16 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=11 cm ... 147

17 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=12 cm ... 148

18 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=13 cm ... 149

19 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=14 cm ... 150

20 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=15 cm ... 151

21 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=16 cm ... 152


(18)

Halaman 22 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan

mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=17 cm ... 153

23 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=18 cm ... 154

24 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=19 cm ... 155

25 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=20 cm ... 156

26 Program mencari hasil tangkapan optimum ... 157

27 Hubungan nilai hasil tangkapan dengan mortalitas tangkapan pada berbagai padat tebar (T) untuk panjang benih 11 – 13 cm ... 160

28 Hubungan hasil tangkapan dengan mortalitas tangkapan pada berbagai padat tebar (T) untuk panjang benih 14 - 16 cm ... 161

29 Hubungan hasil tangkapan dengan mortalitas tangkapan pada berbagai padat tebar (T) untuk panjang benih 17 - 19 cm ... 162

30 Hubungan hasil tangkapan dengan mortalitas tangkapan pada berbagai padat tebar (T) untuk panjang benih 20 cm ... 163

31 Hubungan SSB dengan mortalitas tangkapan pada berbagai padat tebar (T) untuk panjang benih 11 – 13 cm ... 164

32 Hubungan SSB dengan mortalitas tangkapan pada berbagai padat tebar (T) untuk panjang benih 14 - 16 cm ... 165

33 Hubungan SSB dengan mortalitas tangkapan pada berbagai padat tebar (T) untuk panjang benih 17 - 19 cm ... 166

34 Hubungan SSB dengan mortalitas tangkapan pada berbagai padat tebar (T) untuk panjang benih 20 cm ... 167

35 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan mortalitas tangkapan dengan panjang benih 15, 16, 17 cm (harvest type) ... 168

36 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan mortalitas tangkapan dengan panjang benih 18, 19, 20 cm (harvest type) ... 169

37 Fungsi masing-masing pelaku dalam sistem sea farming ... 170

38 Ringkasan code program daya dukung ... 172


(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejak tahun 2004 di perairan Semak Daun, Kepulauan Seribu, mulai digalakkan sea farming. Sea farming adalah sistem pemanfaatan ekosistem perairan laut berbasis marikultur dengan tujuan untuk meningkatkan stok sumberdaya ikan (fish resources enhancement) bagi keberlanjutan perikanan tangkap dan aktivitas berbasis kelautan lainnya seperti ekowisata bahari (PKSPL 2006). Kegiatan ini dilakukan dalam rangka mensikapi tangkap lebih (overfishing) yang terjadi di Kepulauan Seribu. Dalam kondisi overfishing ikan yang ditangkap melebihi kemampuan reproduksi dan pertumbuhan alamiahnya sehingga stok menjadi berkurang dan terus berkurang (SPKKAKS 2008). Ikan yang dibudidayakan di sana adalah ikan kerapu bebek dan kerapu macan.

Di samping untuk meningkatkan budidaya dan peningkatan taraf ekonomi masyarakat, tujuan utama sea farming adalah untuk restocking. Sejak awal, pemerintahan Kepulauan Seribu menetapkan tujuan utama sea farming adalah

restocking atau stock enhancement ke perairan Kepulauan Seribu (SPKKAKS

2006). Sistem tersebut melibatkan aktivitas keramba jaring apung (KJA), pen culture, dan restocking di alam. KJA dan penculture sudah berjalan, sementara

restocking dalam sistem sea ranching belum dilakukan.

Berdasarkan hal di atas model restocking ikanmerupakan hal yang penting. Oleh karena belum ada kajian tentang restocking dalam rangka sea ranching, maka penting sekali dilakukan penelitian tentang model restocking di kawasan tersebut.

Permasalahan

Salah satu persoalan umum perikanan dan kelautan adalah mewujudkan perikanan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk perikanan dengan menjaga lingkungan tetap lestari. Produksi ikan perlu ditingkatkan secara substansial untuk dapat memenuhi permintaan global yang diduga meningkat pada tahun 2020 (Delgado et al. 2003). Namun, banyak orang percaya bahwa


(20)

kemandekan produksi dari perikanan tangkap berarti budidaya akan memainkan peran utama dalam memenuhi peningkatan permintaan ini sekalipun hal ini dibarengi dengan peningkatan secara signifikan penggunaan sumberdaya perikanan (Tacon 2003; Muir 2005). Sementara, potensi pengembangan pengelolaan perikanan tangkap untuk meningkatkan hasil tangkap yang karenanya menjadi komplemen bagi budidaya dipandang kontroversial. Hal ini muncul setidaknya karena ada dua alasan, (1) biomassa yang memijah telah berkurang dibawah tingkat optimal, dan (2) habitat yang mendukung produksi perikanan telah terdegradasi (FAO 2004).

Pada sisi lain, dalam simposium internasional tentang enhancement dan sea

ranching di Norwagia, Bartley (1999) menggarisbawahi bahwa ‘populasi manusia

yang tengah berkembang dan permintaannya akan produk perikanan melahirkan berbagai tekanan terhadap lingkungan budidaya. Akibatnya, dua belas ranching pada saat ini mendapatkan perhatian sebagai alat untuk memperbaiki dan

meningkatkan produksi dari perikanan pesisir dan lautan’. Sementara, Bell et

al. (2006) menegaskan bahwa restocking dan stock enhancement harus diletakkan dalam kerangka suatu sistem managemen yang mengintegrasikan penebaran benih dengan kontrol yang cocok terhadap upaya tangkap dan perlindungan habitat. Ini mengisyaratkan perlunya sistem yang mengkombinasikan antara perikanan budidaya dengan perikanan tangkap. Di laut, budidaya dilakukan dalam sistem keramba jaring apung (KJA), pen culture (sistem kandang), dan lain-lain. Adapun perikanan tangkap dilakukan dengan cara menebar benih di laut hingga suatu ketika akan ditangkap kembali. Sistem ‘bertanam ikan di laut’ ini dikenal dengan sistem sea ranching. Sistem yang memadukan aktivitas budi daya dan sea ranching tersebut di laut dikenal dengan sea farming.

Saat ini sea farming sedang dilaksanakan di perairan Semak Daun. Kegiatan budidaya ikan dalam KJA di perairan tersebut sudah berjalan. Namun,

restocking yang dilakukan di kawasan sea ranching perairan tersebut belum

berjalan. Oleh karena itu, perlu dikembangkan sistem yang menyeimbangkan antara budidaya dengan sistem sea ranching sedemikian rupa sehingga optimal, baik dari segi ekologi maupun ekonomi.


(21)

Sea ranching ini dilakukan dengan meningkatkan stok ikan di laut. Stok ikan dapat ditingkatkan melalui kegiatan restocking yang benihnya dihasilkan oleh kegiatan pembenihan (hatchery). Dalam sea ranching, hatchery sebagai salah satu kegiatan marikultur berperan menggantikan reproduksi dan pertumbuhan alamiah ikan di laut (alam) sehingga bisa memperbesar tingkat kelangsungan hidup ikan tersebut. Secara visual, sistem tersebut disajikan dalam Gambar 1 dan Gambar 2.

Permasalahan yang muncul adalah bagaimana model restocking di perairan

sea ranching yang dapat mengoptimalkan budidaya ikan kerapu macan sekaligus

mengoptimalkan hasil tangkapan dengan tetap menjaga kelestarian lingkungannya. Dengan kata lain, permasalahan yang perlu dijawab adalah berapa ukuran panjang atau bobot benih ikan yang harus ditebar ke dalam sistem

sea ranching, berapa banyak benih ikan yang harus ditebar, dan kapan atau

bagaimana pola tebarnya. Tolok ukur atau indikator dari ketepatan jawaban tersebut adalah (1) tidak melebihi daya dukung sehingga ekosistem tetap lestari, (2) dari segi ekonomi menguntungkan, dan (3) dapat membantu memulihkan stok.

Dalam penelitian ini ikan yang akan diteliti adalah kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Hal ini didasarkan kepada beberapa alasan:

1 kerapu macan merupakan salah satu ikan yang dibudidayakan dalam sea farming selain ikan kerapu bebek.

2 berdasarkan survei pendahuluan, para nelayan lebih banyak menangkap kerapu macan dari pada kerapu bebek. Ukuran ikan kerapu macan yang biasa tertangkap berkisar antara 2 ons sampai 1kg, atau sekitar 15cm sampai 35 cm.

3 kerapu macan merupakan salah satu primadona ikan budidaya di Indonesia, karena ikan kerapu macan pada saat ini mempunyai potensi dan peluang pasar yang sangat menjanjikan (http://www.

Teknologi-dkp.go.id; 18/2/2005). Sebelumnya, permintaan ikan kerapu di pasaran

untuk ukuran 5-10 cm sebanyak 30.000-60.000 ekor/bulan dan untuk ikan kerapu ukuran konsumsi sebanyak 20-30 ton/bulan (Sugama 1999).


(22)

Gambar 1 Hubungan sea ranching dengan budidaya.

Gambar 2 Hubungan marikultur dengan sea ranching dalam sistem sea farming.

Perumusan Masalah

Perairan dangkal Semak Daun memiliki luas 315.19 ha. Kawasan perairan dangkal tersebut terdiri atas lima goba seluas 33.3 ha dan reeflat seluas 281.89 ha. Kawasan perairan potensial seluas 2 ha dapat digunakan untuk sistem sekat (enclosure), 9.99 ha untuk keramba jaring apung/KJA (cage culture), 40.7 ha untuk sistem kandang (pen culture), dan 262.31 untuk long line. Sementara, kawasan perairan potensial untuk sea ranching meliputi semua kawasan, selain kawasan untuk sistem sekat dan sistem kandang. Dari luas perairan potensial ini perlu terlebih dahulu diketahui daya dukung

SISTEM BUDIDAYA

Air N-Pakan P-Pakan BO-Pakan O2-Udara

Air N P BO

Biomassa ikan


(23)

lingkungannya bagi aktivitas perikanan. Oleh sebab itu, hal pertama yang dilakukan adalah menghitung daya dukung lingkungan bagi sea ranching kerapu macan yang terkait dengan daya dukung bagi KJA. Di antara pendekatan untuk menghitung daya dukung adalah berdasarkan loading P dan produktivitas primer (Beveridge 1987) dan keseimbangan massa (Tookwinas 1998). Dalam penelitian ini daya dukung diduga dengan pendekatan pengenceran limbah dipadukan dengan produktivitas primer.

Setelah diketahui daya dukungnya, dilakukan kajian tentang jumlah tangkapan optimal yang dapat dilakukan sehingga biomassa di perairan tidak melebihi daya dukung tersebut. Untuk itu perlu diketahui parameter dinamika populasi ikan kerapu macan dari alam di perairan dangkal Semak Daun. Hal ini meniscayakan adanya kajian tentang pertumbuhan, hubungan panjang berat, serta mortalitas alami dan tangkapan. Sementara, kajian migrasi diasumsikan tidak ada sebab karakter ikan kerapu macan hidup di sekitar karang, tidak berpindah, apalagi perairan Semak Daun berbentuk mangkuk sehingga migrasi sulit terjadi.

Berikutnya, dengan mengetahui pola dinamika populasi ikan kerapu macan di alam akan dapat ditentukan berapa ukuran panjang atau bobot benih ikan kerapu macan yang harus ditebar ke dalam sistem sea ranching, berapa banyak benih ikan yang harus ditebar, dan kapan atau bagaimana pola tebarnya sehingga secara ekonomi hasilnya optimum, secara ekologis tidak melebihi daya dukung lingkungannya, dan secara dinamika populasi ada perbaikan stok.

Untuk menjawab permasalahan di atas perlu dirumuskan beberapa permasalahan berikut:

1. berapa daya dukung perairan sea ranching Semak Daun bagi ikan kerapu macan. Hal ini diduga berdasarkan pada buangan limbah P yang berasal dari KJA dan limbah yang masuk dari lingkungan, serta kandungan klorofil-a (Chl-a) yang turut menentukan produktivitas primer. Untuk itu diperlukan pengetahuan tentang besarnya limbah dari pakan, lingkungan, volume air yang tersedia, dan pasang surut. Juga, diperlukan pengetahuan tentang Chl-a, produktivitas primer, serta hubungan produktivitas primer dengan biomassa. 2. bagaimana dinamika populasi ikan kerapu macan dalam sistem sea ranching. 3. bagaimana model restocking yang cocok dalam sistem sea ranching di perairan Semak Daun agar secara ekologis tidak melampaui daya dukung


(24)

lingkungannya yang ada, secara ekonomi optimal, dan turut memulihkan kondisi stok. Berdasarkan hal ini ada tiga kriteria yang dijadikan acuan, yaitu hasil tangkapan lestari, nilai tangkapan, dan spawning stock biomass (SSB).

Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan:

(1) mengembangkan metode penghitungan daya dukung kawasan perairan dangkal sea ranching Semak Daun

(2) mengimplementasikan metode Bayesian pada pola pertumbuhan ikan kerapu macan yang berasal dari alam (perairan sea ranching)

(3) menyusun model restocking dalam sistem sea ranching di perairan Semak Daun

Penelitian ini akan bermanfaat sebagai dasar pengambilan keputusan dalam pengelolaan dan pengembangan sistem sea ranching dalam mengokohkan kegiatan sea farming di perairan Semak Daun, Kepulauan Seribu.

Kebaruan/Novelty

Kebaruan/novelty dalam penelitian ini adalah:

1 metode participatory stock assessment untuk menentukan overfishing

2 metode penentuan daya dukung

3 menduga bagi parameter pertumbuhan panjang serta hubungan panjang berat ikan kerapu macan yang berasal dari alam

4 penerapan metode Bayesian dalam menduga parameter dinamika populasi. 5 penentuan ukuran panjang benih, banyaknya benih yang ditebar, serta

waktu/pola tebar dalam sistem sea ranching yang dapat menghasilkan tangkapan optimum dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan, secara ekonomi menguntungkan, dan turut memulihkan keadaan stok ikan kerapu macan


(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Umum Perairan Semak Daun

Pulau Semak Daun terletak di sebelah selatan P. Karang Bongkok atau di sebelah utara P. Karya dan P. Panggang (106o20’00” BT hingga 106o57’00” BT dan 5o10’00” LS hingga 5o

Bagian karang dalam yang lain dari P. Semak Daun adalah reef flat dan mud flat yang merupakan bagian paling dominan. Sebelum tahun 2000 kawasan ini merupakan tempat budidaya rumput laut dengan menggunakan sistem longline. Kedalaman kawasan ini antara 0,5 – 3,0 m pada saat pasang. Sementara, pada saat surut beberapa reef flat tidak berair. Substrat reef flat berupa pasir berkarang, baik karang hidup maupun karang mati bercampur dengan pecahan karang dan cangkang moluska yang sudah kosong. Bagian reef flat yang tidak berarus pada bagian dasarnya bersubstrat pasir yang mengandung lumpur sehingga disebut mud flat.

57’00” LS). Pulau ini memiliki luas daratan 0,50 ha yang dikelilingi karang dalam seluas 315 ha. Pada kawasan karang dalam (gosong) ini sedikitnya terdapat 5 buah goba dan diperkirakan mencapai luasan 33.3 ha. Goba tersebut umumnya terletak di sebelah timur P. Semak Daun. Antara satu goba dengan goba lainnya dihubungkan oleh selat kecil (galer) sehingga memungkinkan pelayaran antar goba.

Kawasan perairan potensial di Semak Daun adalah 40.7 ha untuk pen

culture, 9.99 ha (1.81 ha di perairan karang dalam dan sisanya di luar perairan

karang dalam), untuk cage culture, dan 262.31 ha untuk long line. Sementara, kawasan potensial untuk sea ranching seluas 272.30 ha (BAPEKAB 2004).

Eko-Biologi Ikan Kerapu Macan Sistimatika

Ikan kerapu termasuk golongan ikan karang (coral reef fish). Ada beberapa jenis ikan kerapu, seperti ikan kerapu macan, ikan kerapu bebek, ikan kerapu lumpur, dan sebagainya. Di Indonesia ikan kerapu macan banyak ditemukan di perairan Pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, Pulau Buru dan Ambon (Effendi 2006). Sekitar 75% dari ikan yang hidup di daerah terumbu karang merupakan ikan yang bersifat diurnal, yakni beraktivitas di siang hari (Suharti


(26)

2007). Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) merupakan ikan karang yang tergolong dalam famili Serranidae.

Di perairan terumbu karang, ikan ini diperkirakan hidup dengan kepadatan hanya 0,5-0,6 ton per km2 atau sekitar 0,0005-0,0006 kg per m2, mengingat ikan ini tergolong ikan buas (spesies predator, karnivora) yang cenderung hidup soliter dan membangun teritori. Sementara, dalam sistem KJA kepadatan ikan kerapu bisa mencapai 250 kg per 9 m2 atau sekitar 28 kg per m2

Ikan kerapu di alam kawin setiap bulan gelap. Mereka kawin secara berkelompok. Tempat perkawinan di tubir pada kedalaman 15-40 m.

, hampir 56.000 kali dari kepadatan di alam (Effendi 2006).

Ikan kerapu macan (Epinehelus fuscoguttatus) digolongkan pada : Class : Chondrichthyes

Sub class : Ellasmobranchii Ordo : Percomorphi Divisi : Perciformes Famili : Serranidae Genus : Epinephelus Species : Epinepheus sp

Ikan kerapu merupakan jenis ikan bertipe hermaprodit protogini, yaitu bahwa proses diferensiasi gonadnya berjalan dari fase betina ke fase jantan atau ikan kerapu ini memulai siklus hidupnya sebagai ikan betina kemudian berubah menjadi ikan jantan (Effendie 2002). Ikan kerapu macan betina mulai matang gonad (mature) pada ukuran panjang total 51 cm atau bobot 3.0 kg sedangkan jantan mulai matang pada ukuran panjang total 60 cm atau bobot 7.0 kg (Slamet et al 2001). Menurut Abduh (2007) fase betina matang gonad didapatkan pada ikan dengan ukuran panjang tubuh minimum 45-55 cm (umur lebih dari 5 tahun) dengan berat tubuh 3-10 kg. Fase jantan matang kelamin pada ukuran panjang tubuh minimum 740 mm dengan berat tubuh 11 kg.


(27)

Morfometrik

Tubuh ikan kerapu macan memanjang bulat seperti ikan kerapu sunu, tetapi punggung ikan ini sedikit meninggi. Ikan kerapu macan memiliki warna tubuh coklat dengan bintik rapat yang membentuk gambaran loreng. Selain itu sirip ikan ini berwarna kecoklatan dan kemerahan. Pertumbuhan ikan kerapu macan relatif cepat seperti ikan kerapu sunu. Oleh karena itu di masyarakat, meskipun berharga lebih rendah dibandingkan dengan ikan kerapu bebek, ikan ini lebih banyak dikultur, selain karena benih ikan ini relatif tersedia. Di alam ikan kerapu macan hidup di perairan berkarang (Donaldson et al. 2005). Ilustrasi mengenai kerapu macan disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus).

Menurut Sattar dan Adam (2005) panjang rata-rata ikan kerapu macan yang ditangkap dalam kurun waktu 2003-2004 di Maladewa adalah 43.7 cm dengan simpangan baku 17.3 cm. Panjang maksimal yang ditemukan adalah 101 cm. Sementara, berdasarkan laporan Shakeel dan Ahmed (1996) panjang maksimal adalah 95 cm. Adapun panjang saat terjadinya matang gonad pertama adalah 48 cm.


(28)

Kebiasaan Makanan

Ikan kerapu termasuk jenis karnivora dan cara makannya "mencaplok" satu persatu makanan yang diberikan sebelum makanan sampai ke dasar. Pakan yang paling disukai adalah jenis krustaceae (rebon, dogol, dan krosok), selain itu juga jenis ikan tembang, teri dan belanak (Anonim 1996). Analisis perut yang pernah dilakukan pada ikan kerapu macan berukuran 1-10 cm menunjukkan isinya 20% plankton (terutama diatom dan algae) sedangkan sisanya terdiri dari udang-udang kecil, ikan, dan sebagainya. Sementara, ikan yang berukuran lebih dari 20 cm dinyatakan 100% pemakan daging, dengan 70% crustacea (udang, anak kepiting) dan 30% ikan-ikan kecil (Abduh 2007).

Faktor Lingkungan

Hidup kerapu dipengaruhi oleh lingkungannya. Faktor lingkungan yang terkait dengan ikan kerapu disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Faktor lingkungan bagi ikan kerapu

No Parameter Nilai

1 Suhu 28-30oC

2 Amonia < 0,1 ppm

3 BOD < 5 ppm

4 pH 7,6 – 8,7

5 Bakteri < 3.000 sel/lt

6 Dasar Perairan Karang berpasir, berkarang

7 Kecerahan 4,5 – 6,5 m

8 Terlindung dari angin dan arus kuat Sumber: Palomares & Pagdilao (1988)

Sea Ranching dan Restocking

Dalam simposium internasional definisi yang diratifikasi adalah ketika populasi ikan alam ditambah dengan penambahan benih tertentu, maka hasilnya bisa berupa ‘keuntungan pribadi’ atau merupakan ‘barang milik umum’. Kegiatan tersebut adalah ranching dan enhancement. Ranching merupakan pelepasan stok dengan adanya perhatian untuk memanennya. Sementara, enhancement

merupakan pelepasan stok untuk menjadi milik umum tanpa adanya perhatian terhadap keuntungan eksklusif bagi kelompok pengguna (Bannister 1991).


(29)

Vedayyasa (1996) mengemukakan sea ranching secara lebih teknis. Teknik

sea ranching mencakup (1) pembangunan stok, (2) breeding, (3) memelihara

larva dalam skala besar, (4) melepas benih, (5) memonitor stok yang dilepas dan stok alami untuk mengkaji pengaruhnya. Ranching sangat bagus dilaksanakan di laguna, perairan dangkal, dan di ekosistem yang terlindung.

Sea ranching kadang-kadang disebut juga ocean ranching. Salvanes (2001)

mengemukakan bahwa ocean ranching mencakup pelepasan massa juvenil yang makan dan tumbuh di lingkungan laut yang suatu waktu akan ditangkap kembali. Pelepasan benih ini umum dilakukan ketika terjadi titik kritis dalam populasi atau spesies ikan, baik yang terjadi karena perubahan kondisi habitat, overfishing, atau pun kegagalan rekrutmen. Pelepasan benih ini pun kadang-kadang untuk membangun stok ikan baru. Ocean ranching memiliki sejarah panjang sejak 1860-1880 di Pasifik. Negara yang melakukan hal ini di antaranya adalah USA, Canada, Uni Sovyet (Rusia), Jepang, Australia, New Zealand dan Tasmania. Sekitar tahun 1990 ocean ranching memperluas kawasannya ke populasi ikan karang.

Pada tahun 1970-an Dr C. K. Tseng mempresentasikan sejumlah diskusi dan publikasi yang mengusung tema ‘sea ranching dan sea farming’. Jia dan Chen (2001) mengutip pendapat beliau yang mendefinisikan ‘ranching’ sebagai sistem budi daya dimana pertama larva dipelihara di area tertentu, kemudian juvenil dilepas ke dalam lingkungan alam, dan akhirnya ikan dewasa ditangkap dari lingkungan alam tersebut.

Makna sea ranching memiliki cakupan luas, meliputi pelepasan benih baik untuk membuat suatu stok baru atau untuk menambah stok yang sudah ada. Dengan demikian, sea ranching dapat didefinisikan sebagai: “Pelepasan juvenil dari suatu spesies ikan penting yang dibesarkan di hatchary ke laut untuk dipanen pada saat dewasa atau memanipulasi habitat perikanan untuk memperbaiki pertumbuhan stok yang ada”. Sea ranching secara esensial mengkapitalisasi kawasan laut dan mengkombinasikan berbagai keadaan alami lingkungan laut dengan berbagai tingkat teknologi. Ikan yang dilepas menggunakan sumberdaya yang ada untuk makanan dan kebutuhan hidup lainnya, dan dapat ditangkap ketika sudah dapat dipasarkan (Mustafa 2003). Dengan demikian sea ranching


(30)

merupakan proses ‘beternak’ ikan di lingkungan alaminya. Tidak ada fasilitas khusus yang diperlukan untuk sea ranching. Ikan pun tidak menerima pakan tambahan di luar makanan alami yang diperolehnya dari alam.

Secara praktis sea ranching merupakan pemeliharaan ikan dalam suatu kawasan perairan laut yang terisolasi secara geografis. Kawasan karang dalam (terumbu karang) adalah suatu kawasan yang secara alamiah mengisolasi ikan-ikan karang (demersal species), teripang, moluska, dan krustasea. Ikan-ikan tersebut umumnya berkeliaran di sekitar terumbu karang dan tidak akan lari ke laut dalam atau laut lepas, karena kawasan tersebut merupakan habitat alami ikan tersebut. Ikan yang ditebar (restocking) di kawasan tersebut dapat ditangkap kembali (recapture) dengan tingkat (rate) yang berbeda-beda. Secara sederhana,

ranching adalah pemeliharaan ikan dalam suatu kawasan perairan dan kawasan

tesebut memiliki isolasi alamiah sehingga ikan yang ditebar (restocking) biasa dipastikan tidak bisa berpindah tempat dan dapat ditangkap kembali (recapture) (BAPEKAB 2003).

Dalam prakteknya istilah sea ranching, marine stocking, marine stock

enhacement dan hatchery enhancement sering kali digunakan untuk menjelaskan

pelepasan benih ke alam. Tidak jarang istilah-istilah tesebut tidak dibedakan (Bartley & Leber 2004). Sea ranching merupakan perpaduan antara aquakultur dengan perikanan tangkap. Sea ranching secara umum merupakan proses penebaran ikan ke kawasan laut, dan pada suatu waktu dipanen bersama dengan stok yang ada dengan menggunakan metode pemikiran konvensional (ADB 2004).

Kadang kala sea ranching dihubungkan dengan sea farming. Sea farming

berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari kata sea berarti laut dan farming yang berarti berusaha tani, sehingga secara harfiah berarti berusaha tani di laut dalam rangka memproduksi ikan. Laut dijadikan ladang atau lahan untuk memproduksi ikan dengan menerapkan prinsip usaha tani. Sea farming dapat didefinisikan pula sebagai aktivitas melepas telur, larva, juvenile atau ikan muda ke laut untuk meningkatkan populasi ikan atau hasil tangkapan. Di Jepang, sea farming sudah dimulai sejak abad 17. Negara ini dianggap paling berhasil menerapkan sea


(31)

memproduksi benih (seed production), kemudian melepaskan benih tersebut ke laut (releasing atau restocking) dan selanjutnya menangkap kembali ikan tersebut

(recapturing atau harvesting) untuk dijual sebagai produk perikanan laut.

Perairan laut untuk restocking ini dianggap sebagai kawasan sea ranching, bisa berupa teluk atau gosong (laut dangkal terlindung) dengan luas ratusan hingga ribuan hektar (Effendi 2006).

Ikan yang tertangkap dalam sea ranching mungkin berukuran kurang dari ukuran pasar (edible size). Ikan dalam ukuran ini dipelihara lebih lanjut dalam sistem marikultur, baik karamba jaring apung, karamba jaring tancap maupun pen culture. Dengan demikian salah satu output sea ranching menjadi input produksi marikultur (Gambar 4). Demikian pula sebaliknya, ikan yang akan ditebar di kawasan sea ranching perlu dideder terlebih dahulu dalam sistem marikultur sebagai proses adaptasi di habitat sea ranching. Namun, hal ini dapat menimbulkan persoalan antara pihak yang berada di marikultur dengan sea ranching. Untuk menghindari hal tersebut sebaiknya nelayan tangkap dalam sistem sea ranching memiliki keramba tersendiri, baik untuk adaptasi maupun pembesaran bagi ikan di bawah ukuran konsumsi yang tertangkap.

Gambar 4 Kaitan sea farming dengan marikultur (Effendi 2006). Hatchery sea

farming

Sea ranching

Marikultur


(32)

Bartley dan Leber (2004) mengemukakan tiga cara untuk meningkatkan produktivitas ikan. Pertama, juvenil hasil budi daya dilepas ke alam untuk memperbaiki stok hingga tingkatan menghasilkan hasil tangkapan yang lestari. Proses ini dikenal sebagai ‘restocking’. Kedua, juvenil hasil budi daya dilepas ke alam untuk meningkatkan stok hingga ke tingkatan tidak dieksploitasi. Ini disebut

stock enhancement’. Fenomena demikian terjadi ketika alam gagal menyumbang

juvenil hingga mencapai daya dukung habitatnya. Ketiga, juvenil hasil budi daya dapat dibesarkan di dalam tempat tertentu untuk meningkatkan produktivitasnya dan tidak terkait dengan pengelolaan perikanan tangkap. Proses ini biasa dikenal dengan ‘aquaculture’ atau ‘farming’.

Sea ranching didefinisikan sebagai eksploitasi produk potensial secara

ekonomi di laut dengan melepas organisme yang dibudidayakan untuk dipanen dan dijual. Perlu dibedakan antara penambahan stok (stock enhancement) dengan

sea ranching. Stock enhancement merupakan pelepasan ikan yang ditujukan

untuk menambah stok dalam perspektif jangka panjang sehingga terjadi peningkatan biomassa pada masa mendatang. Bell et al. (2005) menyatakan bahwa proses menebar benih hasil budidaya untuk meningkatkan hasil tangkapan hingga pada tingkat yang didukung oleh rekrutmen alami disebut dengan stock

enhancement. Sementara, sea ranching merupakan pelepasan ikan yang dibuat

untuk mendapatkan keuntungan langsung dari tangkapan setelah suatu periode tertentu pasca pelepasan ke laut. Sea ranching didasarkan kepada daya dukung alam sendiri dengan pemanenan sumberdaya yang diadaptasikan kepada ekosistem (Bartley & Leber 2004). Sea ranching biasanya diterapkan ketika rekrutmen alami rendah atau bahkan tidak ada dikarenakan sangat intensifnya penangkapan atau rusaknya habitat yang mendukung hal tersebut (Lorenzen 2005).

Dalam simposium internasional ke-3 tentang stock enhancement dan sea

ranching disampaikan beberapa definisi. Sea ranching mencakup menebar benih

ke dalam lingkungan pesisir yang tidak terbuka untuk dipanen pada suatu ukuran yang lebih besar dengan aktivitas ’letakkan dan ambil (put and take)’. Dalam sea

ranching benih yang ditanam tidak ditujukan untuk menambah biomassa yang


(33)

memperbaiki beberapa biomassa yang terkuras hingga ke suatu tingkat dimana ia dapat kembali lagi menghasilkan produksi secara teratur. Stock enhancement

dibuat untuk menambah produktivitas suatu perikanan dengan menambah asupan alami benih, dan mengoptimalkan panen dengan mengatasi keterbatasan rekrutmen (Bartley & Bell 2008).

Ikan yang ada dalam perairan sea ranching ini dibiarkan hingga mencapai ukuran konsumsi. Ikan yang ada di alam inilah yang ditangkap oleh nelayan (PKSPL 2006).

Jauh sebelumnya, menurut Maasaru (1999), sea ranching mempunyai dua tipe yaitu (1) harvest type dan (2) recruitment type. Pada jenis harvest type benih yang akan ditebar akan diproduksi dan dibesarkan (sampai ukuran tertentu) di

hatchery, pemanenan di alam dilaksanakan pada saat organisme tersebut telah

mencapai ukuran komersial. Dalam hal ini penebaran dan penangkapan kembali dilaksanakan berulang-ulang pada setiap musim tertentu. Sementara, pada

recruitment type, benih yang ditebar pada suatu wilayah perairan dibiarkan sampai bereproduksi. Benih yang ditebar diharapkan akan tumbuh, matang telur, memijah dan kemudian menetas pada daerah penangkapan untuk reproduksi secara alami dengan bantuan pengelolaan perikanan yang memadai. Pada kasus ini, tidak semua ikan yang tumbuh tertangkap kembali, beberapa ikan dewasa akan tetap tinggal menjadi induk. Penangkapan akan ditangguhkan setelah sumberdaya yang baru hidup mapan dan pada waktu yang bersamaan pengelolaan perikanan yang memadai harus dilakukan dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya dan lingkungan.

Strategi yang digunakan untuk melepas larva ke laut pada saat itu adalah dengan mensinkronkan waktu pelepasan dengan waktu makanan larva di area pelepasan mencapai kepadatan yang tertinggi agar kelangsungan hidup larva dapat ditingkatkan. Akan tetapi strategi tersebut masih dihadapkan pada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan di awal kehidupan larva ikan yang dilepas seperti pemangsa yang siap memakan mereka (Jennings et al. 2001). Pelepasan ikan di daerah tertentu juga harus memperhatikan aspek ekologis dan ekonomis. Aspek ekologis ini dimaksudkan agar tidak mengganggu proses rantai makanan disuatu areal tertentu dengan ikan


(34)

yang dilepas haruslah ikan asli dari daerah tersebut atau ikan yang ada pada daerah tersebut.

Penebaran ke dalam perairan sea ranching dilakukan dengan beberapa dasar, yaitu: (1) menetapkan jumlah limbah maksimum yang masih dapat menopang KJA ikan kerapu macan sebagai pembatas bagi sea ranching; (2) menghubungkan antara laju pertumbuhan ikan kerapu macan dalam sea ranching

dan lamanya ‘pemeliharaan’ di alam dengan daya dukung sea ranching. Dengan kedua hal tersebut akan dapat ditentukan model restocking yang tepat di perairan

sea ranching Semak Daun. Sementara itu, kesesuaian kondisi lingkungan untuk

sea ranching disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Matrik kesesuaian untuk sea ranching

No Parameter S1 S2 N

1 Keterlindungan Sangat terlindung

Terlindung Tidak

Terlindung 2 Kedalaman Perairan (m) 2 – 30 1-3 atau 31-40 <0,5 – 45 3 Substrat Dasar laut Karang

berpasir

Pasir-Pasir berlumpur Lumpur

4 Arus (cm/det) 21-30 11-<21 atau >30-45 <5 atau >45

5 Kecerahan (%) 80-100 <80-60 <60

6 Salinitas (‰) 29-31 25-<29 atau >31-35 <25 atau >35

7 Suhu (°C) 28-30 25-<28 atau >30-33 <25 atau >33

8 DO (ppm) >7 5-7 <3

Sumber: Modifikasi dari Effendi (Soebagio 2005)

Keterangan: S1 = sangat sesuai, S2 = sesuai, N = kurang atau tidak sesuai.

Daya Dukung Lingkungan (Carrying Capacity)

Dalam UU no.32 tahun 2009 dijelaskan bahwa secara umum pengertian daya dukung lingkungan hidup diartikan sebagai kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Sementara, daya tamping lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.


(35)

Terkait dengan perikanan, daya dukung merupakan kuantitas maksimum ikan yang dapat didukung oleh suatu badan air selama jangka waktu panjang (Kenchington & Hudson 1984). Turner (1988) menegaskan bahwa daya dukung merupakan populasi organisme akuatik yang akan ditunjang oleh suatu kawasan atau volume perairan yang ditentukan tanpa mengalami penurunan mutu. Dari aspek lain daya dukung diartikan sebagai stok maksimum yang dapat dijaga dalam suatu ekosistem untuk memaksimalkan produksi tanpa pengaruh negatif terhadap laju pertumbuhan (Carver & Mallet 1990). Definisi daya dukung yang terkait dengan ekonomi adalah tingkat stok dengan produksi tahunan dari kohort ukuran pasar yang dapat dimaksimalkan (Bacher et al. 1998). Sementara daya dukung dalam tataran ekosistem didefinisikan oleh Duarte (2003) sebagai tingkat suatu proses atau peubah dapat berubah dalam suatu ekosistem tanpa membuat struktur dan fungsinya melebihi batas tertentu yang dapat diterima.

McKindsey et al. (2006) menjelaskan adanya empat jenis daya dukung.

Pertama, daya dukung fisik (physical carrying capacity) yang menerangkan area yang secara geografis cocok dan secara fisik cukup untuk suatu tipe budidaya. Jenis daya dukung ini tergantung pada irisan antara kebutuhan fisik yang diperlukan spesies target dan kekayaan fisik yang dimiliki area terkait (seperti tipe substrat, kedalaman, hidrodinamika, suhu, salinitas, oksigen terlarut, dan sebagainya). Kedua, daya dukung produksi (production carrying capacity) yang merupakan tingkat produksi optimal dari suatu spesies target. Daya dukung produksi ini dapat diukur berupa bobot kering atau basah, energi, atau karbon organik. Hal ini tergantung kepada daya dukung fisik dan merupakan fungsi ekosistem khususnya produktivitas primer. Ketiga, daya dukung ekologi

(ecological carrying capacity) yang secara umum berarti tingkat produksi

maksimum yang dimungkinkan tanpa membawa dampak ekologi yang tidak dapat diterima. Keempat, daya dukung sosial (social carrying capacity) yang merangkum ketiga jenis daya dukung terdahulu.

Daya dukung ditentukan oleh kemampuan lingkungan menopang ekosistem. Selain itu juga ditentukan oleh produktivitas perairan dan ikan itu sendiri. Banyak sekali yang mempengaruhinya. Namun, Welch (1980) menemukan dalam beberapa penelitiannya bahwa vitamin seperti cobalamin,


(36)

thiamine dan biotin/coenzyme R terbukti esensial, namun semua itu jarang ditemukan terbatas dalam kondisi alami. Karenanya, penelitian terkait hal tersebut lebih difokuskan pada nutrien anorganik. Di antaranya adalah P.

Posfor dan cahaya merupakan faktor utama yang membatasi produksi baik pada perairan subtropis maupun tropis. Karenanya penambahan P akan mempengaruhi produktivitas (Beveridge 1982).

Model daya dukung ikan ini telah mengalami perkembangan. Di antara cara menghitung daya dukung berdasarkan beban P disajikan oleh Beveridge (1987). Langkah-langkahnya adalah:

1. Menghitung konsentrasi total-P. Untuk di daerah tropis, nilai ini merupakan rata-rata tahunan melalui beberapa penarikan contoh.

2. Tetapkan [P]

3. Menghitung kapasitas perairan dalam menopang budidaya ikan: f

...[1]

...[3] ...[2]

...[4]

...[5]

Total acceptable loading/TAL adalah:

TAL = Lfish

Total acceptable production (TAP) = ...[7] x A ...[6]

Keterangan:

Δ[P] : besarnya perubahan [P] yang dapat diterima oleh perairan dalam menopang budidaya ikan (mg m-3

[P]

)

f : konsentrasi P maksimum yang dapat diterima dalam budidaya (mg m-3 [P]

) i : rataan konsentrasi P


(37)

Lfish : asupan P yang berasal dari KJA (g m-2 y-1 z

) : rataan kedalaman perairan (m)

ρ : flushing rate (y-1 R

) fish : bagian Lfish

Tookwinas (1998) menduga daya dukung berdasarkan kesetimbangan massa (mass balance). Parameter yang dipakai adalah kedalaman, arus, dan total amonia-nitrogen.

yang hilang ke sedimen

...[8]

... [9]

...

... [10]

... [11]

... [12]

dengan ... [13]

j = level gelombang rendah pada jam ke-1 sampai ke-n

Aj = area yang tumpang tindih antara sungai dengan mulut teluk pada jam ke-j (m2

V

)

j C

= arus pada jam ke-j (m/s)

j

... [14] = konsentrasi amonia-nitrogen pada jam ke-j (mg/l)

i = level gelombang tinggi pada jam ke-1 sampai ke-n

Ai=area yang tumpang tindih antara sungai dengan mulut teluk pada jam ke-i (m2 V

)

i C

= arus pada jam ke-i (m/s)


(38)

... [15]

im = level gelombang tinggi pada jam ke-1 sampai ke-n Aim = A

V

i im = V C

i

im

Cara menduga daya dukung lain adalah berdasarkan produktivitas primer. Langkahnya adalah:

= total konsentrasi amonia-nitrogen pada tingkat aman optimum (0.1 mg/l)

1 Menghitung produksi primer tahunan (PP, g C m-2 y-1

2 Mengkonversi PP kedalam biomassa ikan yang akan dihasilkan. Untuk mengkonversnya digunakan Tabel 3.

) dari percobaan atau literatur.

Tabel 3 Konversi Produksi Primer Kedalam Biomassa Ikan

% konversi menjadi bobot ikan

<1000 1 – 1.2

1000–1500 1.2 – 1.5

1500–2000 1.5 – 2.1

2000–2500 2.1 – 3.2

2500–3000 3.2 - 2.1

3000–3500 2.1 - 1.5

3500–4000 1.5 - 1.2

4000–4500 1.2 - 1.0

>4500 ∼ 1.0

Sumber: Beveridge (1987)

Secara umum, produktivitas primer ekosistem berbeda-beda. Tabel 4 menyajikan produktivitas primer pada beberapa ekosistem utama pesisir dan laut, yaitu mangrove, padang lamun, terumbu karang, estuaria, daerah upwelling, perairan paparan benua, dan laut lepas.


(39)

Tabel 4 Produktivitas primer beberapa ekosistem utama pesisir dan laut

No Tipe Ekosistem

Produktivitas Primer (Gram Karbon/m2/tahun)

1 Mangrove 430 – 5 000

2 Alga, Padang Lamun 900 – 4 650

3 Terumbu Karang 1 800 – 4 200

4 Estuaria 200 – 4 000

5 Daerah Upwelling 400 – 3 650

6 Perairan paparan benua 100 – 600

7 Laut Lepas 2 – 400

(Sumber: Whittaker 1975 diacu oleh Dahuri 2003)

Pertumbuhan Panjang

Terkait dengan pertumbuhan ikan, model yang umum dipergunakan adalah persamaan Von Bertalanffy:

... [16]

Biasanya penduga bagi L, k, dan t0

1 mencari likelihood dari data

dihitung dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (least square). Metode yang memperhatikan ketidakpastian adalah Bayes. Pendekatan bayes terhadap data frekuensi panjang ini menggunakan metode Markov Chain Monte Carlo (MCMC). Metode ini memerlukan beberapa tahap:

2 menetapkan prior bagi seluruh parameter

3 mencari peluang bersyarat bagi parameter, bila memungkinkan

4 mencari sebaran posterior bagi masing-masing parameter (Gelman et al. 2004)

Likelihood untuk data panjang ikan adalah:

... [17]

Adapun prior untuk masing-masing parameter adalah:

... [18]


(40)

Sebaran Gamma berbentuk:

... [20]

... [21]

... [22] Untuk mendapatkan peluang posterior, digunakan metode Markov Chain Monte Carlo (MCMC).

Hubungan Panjang Berat

Kajian hubungan panjang berat umum digunakan. Hal ini memungkinkan untuk mengkonversi nilai panjang ke dalam berat, begitu juga sebaliknya. Berat ikan dianggap sebagai fungsi dari panjangnya. Fungsi tersebut adalah:

... [23]

Dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (least square) persamaan tersebut dapat diubah ke dalam bentuk linier:

... [24]

Pada ikan b sebagai penduga berkisar antara 1.2-5.1 yang umumnya bernilai 3. Nilai b lebih besar dari 3 berarti pertumbuhan berat lebih cepat dari pada pertumbuhan panjang (allometrik positif), sebaliknya bila b lebih kecil dari pada 3 berarti pertumbuhan panjang lebih cepat dari pada pertumbuhan beratnya (allometrik negatif). Bila b sama dengan 3 maka pertumbuhan panjang dengan berat seimbang/isometrik (Ricker 1975).

Dengan menggunakan pendekatan Bayes digunakan likelihood untuk Wt

... [25] menyebar normal, begitu ju g a α dan β. Dimana fungsi kepekatan normalnya adalah (Casella dan Berger 1990):


(41)

Mortalitas

Gulland (1983) menyatakan bahwa informasi tentang laju mortalitas total dalam suatu perikanan yang terksploitasi sangat penting untuk mengalalisis dinamika suatu populasi. Laju mortalitas total (Z) dapat diduga dari pergeseran kelimpahan kelompok umur dan dari analisis kurva tangkapan dengan menggunakan data frekuensi panjang.

Pada umumnya analisis kurva tangkapan dilakukan menggunakan data komposisi umur (Ricker 1975). Penduga laju mortalitas total Z dicari dengan mengandaikan populasi memiliki struktur umur stabil, penambahan baru stabil, dan laju mortalitas total sama untuk semua kelas umur. Jumlah ikan yang hidup pada waktu t (Nt

... [26] ) cenderung turun secara eksponensial terhadap waktu (t). Polanya mengikuti persamaan:

Mortalitas total ini mencakup mortalitas alami (M) dan mortalitas tangkapan (F). Mortalitas alami dapat terjadi karena penyakit, parasit, tua, pencemaran, persaingan, atau pemangsaan. Pauly (1980, 1984) merumuskan hubungan empiris antara laju mortalitas alami dengan panjang maksimal (L cm), koefisien pertumbuhan K per tahun, dan rata-rata suhu tahunan (T o

... [27] C) sebagai berikut:

Sementara, laju mortalitas tangkapan dapat diperoleh dengan mengurangkan laju mortalitas total dengan laju mortalitas alami.

Sistem dan Model

Menurut bahasa, sistem berasal darsystēma) da

sustēma) yang berarti suatu kesatuan yang terdiri yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran yang berinteraksi, di mana suat abstraksi dari realitas sistem sebenarnya yang sedang dipelajari (Hall & Day


(42)

1977). Lebih tegas, Jorgensen (1988) memaknai model sebagai suatu penampakan formal dari komponen-komponen penting suatu masalah yang menjadi perhatian kita. Menurutnya, model merupakan alat ilmu pengetahuan yang berguna sebagai instrumen dalam survey suatu sistem kompleks, di samping berguna untuk menguji suatu hipotesis melalui simulasi.

Suatu sistem merupakan mekanisme dimana berbagai komponen berinteraksi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu fungsi. Sistem merupakan mekanisme yang berjalan di dunia nyata, sedangkan model merupakan penyederhanaan dari sistem tersebut (Handoko 2005).

Grant et al. (1997) memaknai sistem sebagai sekumpulan bahan dan proses pengkomunikasian yang secara bersama-sama membentuk beberapa gugus fungsi. Sistem merupakan sekumpulan proses yang saling berhubungan yang dicirikan oleh banyak jalur sebab-akibat. Sedangkan, model adalah abstraksi dari kenyataan.

Langkah-langkah pembentukan model menurut Grant et al. (1997) adalah (1) formulasi model konseptual, (2) Spesifikasi model kuantitatif, (3) Evaluasi model, dan (4) Penggunaan model. Handoko (2005) memberikan langkah lebih detail tentang metode pengembangan model, yaitu (1) mendefinisikan tujuan, (2) metodologi dan pendekatan (waktu, ruang, proses, pembentukan model), (3) mendefinisikan variabel dan parameter input, (4) hubungan kuantitatif, (5) analisis sensitivitas, dan (6) kaliberasi dan validasi model.

Di Indonesia, pemodelan dalam pengelolaan ikan laut dan dampaknya terhadap lingkungan telah banyak diaplikasikan, misalnya dalam bidang daya dukung lingkungan keramba jaring apung bandeng (Rachmansyah 2004). Namun, pemodelan restocking dalam sistem sea ranching belum pernah dilakukan sebelumnya.

Implementasi model dan penetapan kebijakan pengelolaan model

restocking ikan kerapu macan di perairan sea ranching didasarkan kepada faktor:

(1) banyak ikan kerapu macan yang ditebar, (2) waktu/pola tebar, (3) jumlah ikan yang ditebar, dan (4) daya dukung perairan sea ranching sebagai ‘faktor pembatas’. Konseptualisasi model dikembangkan dari King 1995 dan disajikan dalam Gambar 5.


(43)

Gambar 5 Model konseptual bioekonomi restocking ikan kerapu macan.

Untuk menetapkan model restocking setidaknya ada dua hal yang penting dijadikan parameter penentu, yaitu panjang benih yang ditebar dan padat tebar. Hal ini didasarkan pada pertimbangan kematian baik karena pemangsaan maupun mortalitas alami. Ikan kerapu macan merupakan top predator sehingga tidak dikhawatirkan adanya pemangsaan. Namun, bisa saja ‘pemangsaan’ terjadi karena kanibalisme bila makanan di alam kurang. Pemangsaan dianggap sebagai kendala besar bagi restocking dan stock enhancement (Bell et al. 2005; Bartley & Bell 2008). Berdasarkan hal tersebut maka ukuran ikan pada saat ditebar amat penting sebab resiko pemangsaan berhubungan dengan ukuran dari mangsa. Pada sisi lain, padat tebar dapat menghantarkan pada keberhasilan pemulihan stok. Mortalitas sering kali secara positif bergantung pada padat tebar (Zhao et al. 1991; Bell et al. 2005; Hines et al. 2008).

Participatory Fish Stock Assessment (ParFish)

Terdapat beberapa metodologi untuk melakukan pengkajian stok (stock

assessment). Salah satu kesulitan dalam melakukan pengkajian stok adalah tidak

tersedianya data yang bersifat deret waktu. Pada sisi lain pengetahuan tentang realitas tangkapan dan kondisi suatu perairan ada pada para nelayan dan pihak terkait lainnya.

Pertumbuhan

Rekrutmen (ikan yang direstocking)

STOK

mortalitas alami

mortalitas tangkapan

upaya tangkapan Kebijakan

Tangkapan Biaya

Pendapatan

Keuntungan

Harga


(44)

Kajian stok perikanan partisipatif (Participatory Fisheries Stock

Assessment/ParFish) merupakan metode untuk melakukan kajian stok tanpa

memerlukan data deret waktu. Menurut Walmsley (2005) ParFish memiliki beberapa keuntungan, yaitu merupakan metode kajian stok cepat, tidak memerlukan data jangka panjang (seperti data tangkapan-upaya atau panjang bobot), metodenya melibatkan pihak terkait termasuk nelayan, menggabungkan berbagai informasi dari berbagai sumber, dan bersifat adaptif. ParFish adalah sebuah pendekatan adaptif untuk pengelolaan perikanan melalui penilaian cepat dan partisipatif. Tujuannya adalah untuk memberikan saran tentang langkah-langkah pengelolaan perikanan berdasarkan sumber data yang cepat dan beragam. ParFish mendorong partisipasi nelayan dan stakeholder kunci lainnya. ParFish juga merupakan alat untuk mendukung dan mengembangkan sistem pengelolaan bersama yang sudah ada.

Ada enam langkah yang disarankan Walmsley (2005) dalam pendekatan ParFish ini, yaitu:

1. memahami konteks, yaitu memahami realitas pengelolaan perikanan yang ada dan mengidentifikasi pihak terkait

2. memberdayakan pihak terkait, termasuk di dalamnya mengundang partisipasi dan menyusun tujuan pengelolaan

3. melakukan ParFish, yaitu mengidentifikasi informasi yang diperlukan, mengumpulkan data, dan menganalisis data

4. menginterpretasikan hasil dan responnya 5. menginisiasi rencana pengelolaan

6. mengevaluasi proses ParFish

Metodologi ParFish ini didasarkan kepada penduga Bayes yang memungkinkan diambilnya informasi dari sumber yang beragam, lalu dikombinasikan untuk melakukan kajian stok. Hasilnya dapat dinyatakan dalam bentuk peluang dan ketidakpastian. Dalam tulisan ini pendekatan ParFish digunakan untuk melihat apakah ikan kerapu macan di perairan dangkal Semak Daun sudah overfishing ataukah belum.


(45)

Bayesian untuk Kajian Stok

Penduga Bayes merupakan suatu pendekatan statistika untuk menghitung peluang dari suatu kejadian yang tidak diamati dengan berdasarkan kepada penduga peluang yang dihitung dari data empirik atau data pengamatan yang merupakan data frekuensi hasil wawancara di lapangan. Untuk menduga parameter fungsi sebaran digunakan metode penduga Kernel (Silverman 1986). Metode tersebut langkahnya adalah:

1 Dari data frekuensi yang diperoleh di lapangan dicari matriks peragam (Λ , covariance).

2 Dilakukan dekomposisi nilai singular (Press et al. 1989) untuk mereduksi matriks peragam tersebut menjadi matriks orthogonal:

Λ = V W V

3 W adalah matriks diagonal yang mengandung skor bagi principle component analysis (PCA), V merupakan kombinasi linier.

T

4 Nilai skala dalam matriks diagonal W menjadi parameter pemulusan yang diduga. Berdasarkan hal ini skor vector dalam PCA dihitung dan parameter pemulusan pun diperoleh. Pemulusan Kernel diperoleh dari:

... [28]

Xi

Dalam penduga Bayes, sebaran peluang (probability density function/PDF) diduga dari contoh data yang diamati dari populasi itu. Tidak ada sebaran peluang tertentu yang diasumsikan. Untuk dapat menduga suatu PDF diperlukan PDF ‘prior’ yang dicari dari data pengamatan. PDF ‘prior’ ini dapat diperbaharui dengan peluang yang berasal dari sumber informasi lain. Prior PDF ini digunakan untuk membentuk PDF posterior. Beberapa PDF dari sumber yang berbeda dapat dikombinasikan untuk memperoleh satu PDF posterior (Gambar 6). Suatu PDF merupakan kurva sebaran peluang. Area di bawah kurva dapat digunakan untuk


(46)

menghitung peluang suatu kejadian tertentu. Selain itu juga dapat digunakan untuk menduga suatu nilai parameter tertentu bersama dengan ukuran ketidakpastian yang mempengaruhi parameter tersebut.

Pendugaan umumnya didasarkan kepada maximum likelihood. Pendekatan bagi pendugaan yang kini banyak dikembangkan adalah model Bayes. Prinsip Bayes adalah:

...[29]

... [30]

... [31]

... [32]

dari realitas di atas ingin diketahui model posterior berikut :

... [33]

dimana eviden p(x) adalah:

... [34]

P(ω1) dan P(ω2 ) adalah peluang prior, p(x/ωj) merupakan kepekatan peluang

kondisional (likelihood), P(ωj ,x) adalah peluang kepekatan bersama, dan P(ωj /x)

adalah peluang bersyarat posterior.Prinsip Bayes sebenarnya adalah:

... [35]

...[36]

Persamaan itu digunakan untuk menentukan ω1 jika P(ω1 /x) > P(ω2/x);dan jika

selainnya dipilih ω2. Atau, ω1 yang dipilihjika p(x/ω1)P(ω1)>p(x/ω2)P(ω2) dan

jika selainnya maka tentukan ω2.

) ( ) | ( ) ,

(x ω1 p x ω1 p ω1

p = ) ( ) | ( ) ,

( 1 x p 1 x p x

p ω = ω

) , ( ) ,

1 x p x ω1

p = ) ( ) | ( ) ( ) |

1 x p x p x ω1 pω1

p = ) ( ) ( ) | ( ) | ( x p p x p x

p i i

i ω ω ω = ) ( ) | ( ) ( ) | ( )

(x p x ω1 p ω1 p x ω2 p ω2

p = +

( / ) ( )

( / )

( )

j j j

p x P likelihood prior

P x

p x evidence

ω ω

ω = = ×

2 1

( ) ( / j) ( j)

j

p x p x ω P ω

=


(47)

(48)

Prinsip penting dari model Bayes adalah setiap parameter memiliki sebaran. Analisa Bayes merupakan suatu kerangka kerja ideal untuk mendapatkan informasi tentang ketidakpastian (uncertainty) dalam penetapan keputusan. (Hoyle & Maunder 2004). Keduanya menerapkan model Bayes untuk menentukan parameter pertumbuhan Tuna. Babcok (2007) menerapkan model Bayes pada model produksi surplus untuk white marlin. Sementara, Huang et al.

(2003) menerapkannya untuk albacore. Model Bayes telah banyak diterapkan dalam persoalan kajian stok yang didasarkan kepada dinamika biomasa, struktur umur, struktur panjang, dan model rekrutmen stok (FAO 2001). Dalam prakteknya penghitungan dibantu dengan menggunakan perangkat lunak ParFish.

Pembangkitan Sebaran

Untuk mensimulasikan ketidakpastian (uncertainty) diperlukan pembang-kitan bilangan acak sesuai dengan sebaran yang telah ditetapkan dalam kajian. Morgan (1984) memberikan teknik untuk membangkitkan bilangan acak dari berbagai sebaran. Setiap sebaran dapat dibangkitkan dari sebaran seragam dengan nilai minimal 0 dan maksimal 1 (U(0,1)). Bilangan yang menyebar normal dengan rataan 0 dan ragam 1, N(0,1), dapat dibangkitkan dari U(0,1) sebagai berikut:

... [37]

Jadi, dengan membangkitkan dua belas bilangan acak U(0,1) dengan RND dalam QBasic, lalu menjumlahkannya dan dikurangi enam, akan diperoleh satu angka z yang menyebar N(0,1). Berdasarkan hal ini maka bilangan acak yang menyebar N(µ, ) diperoleh dengan cara mencari x:

... [38]

Morgan (1984) pun menyatakan bahwa untuk membangkitkan satu bilangan acak

G yang menyebar dengan sebaran Gamma(n,λ) dari sebaran seragam U(0,1)

adalah:

... [39] Sementara bilangan Y yang menyebar log normal dapat dibangkitkan dari x yang menyebar N(µ, ) adalah: Y = exp(x).


(49)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Perairan Semak Daun, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KAKS) Daerah Khusus bukota Jakarta (DKI Jakarta) yang secara geografis terletak pada 106°20'00' Bujur Timur (BT) hingga 106°57'00' BT dan 5°10'00' Lintang Selatan (LS) hingga 5°57'00' LS. Lokasi ini dipilih karena merupakan lokasi dilaksanakannya sea ranching/sea farming. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Januari 2010 sampai dengan September 2010. Lokasi studi disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

Kerangka Pemikiran

Salah satu keberhasilan sea farming adalah optimalnya hasil panen ikan budidaya dalam KJA serta adanya hasil dari perikanan tangkap dalam sea

ranching. Berdasarkan pengamatan pendahuluan, di perairan Semak Daun terjadi


(50)

kondisi lingkungan perairan tersebut layak untuk kehidupan kerapu macan (SPKKAKS 2008). Oleh karena itu, dalam rangka kelestarian lingkungan dan peningkatan pemanfaatan perairan Semak Daun perlu dibuat model restocking

dalam sistem sea ranching. Pola pendekatannya disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Pola pendekatan penentuan daya dukung perairan Semak Daun dan


(51)

Metode dan Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian survey post facto. Sementara, ruang lingkup yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah model

restocking dalam perairan sea ranching di Semak Daun. Pertama kali dikaji

pendugaan daya dukung perairan sea ranching sebagai pembatas. Daya dukung ini dikaji berdasarkan metode beban total-P dan produktivitas primer yang ditentukan oleh kandungan Chl-a.

Pada satu sisi, P diperlukan sebagai elemen penting yang diperlukan oleh semua ikan untuk pertumbuhan dan metabolisme. Pada sisi lain, P juga merupakan elemen pembatas yang mengontrol kelimpahan fitoplankton (Hecky & Kilham 1988). Dalam beberapa studi di daerah tropis maupun subtropis, bagaimanapun juga posfor (P) dibuktikan sebagai nutrien pembatas pertumbuhan yang utama. Bahkan, biomasa fitoplankton (yakni konsentrasi klorofil) di kolom perairan berhubungan proporsional dengan asupan nutrien (Guildford & Hecky 2000). Berdasarkan hal tersebut maka dalam penelitian ini penentuan daya dukung sumberdaya didasarkan kepada kandungan P. Secara umum, P yang berasal dari pakan dapat ditentukan dengan cara menghitung P dalam pakan, P yang ada dalam tubuh ikan karena memakan pakan, dan P yang tersedimentasi kedalam kolom perairan. Setiap hari di perairan Semak Daun terjadi pasang surut. Lewat proses ini berarti tersedia sejumlah volume air yang dapat mengencerkan limbah P yang terbuang ke perairan. Adanya pengetahuan tentang pola pasang surut dan ketinggiannya serta luas wilayah, ditambah dengan diketahuinya baku mutu P bagi pertumbuhan terumbu karang sebagai tempat hidup ikan kerapu macan akan membantu menentukan daya dukung bagi KJA melalui proses pengenceran.

Pada sisi lain ikan yang hidup di alam makanannya berasal dari alam juga. Untuk itu menduga daya dukung bagi kerapu macan di alam sebagai sistem sea ranching dapat dilakukan melalui Chl-a. Besarnya Chl-a ini memiliki hubungan dengan produktivitas primer. Padahal, apabila diketahui trophic level dari kerapu macan, maka lewat produktivitas primer dapat diduga daya dukung kerapu macan. Belum lagi, P yang terbuang ini akan meningkatkan kesuburan perairan yang bertampak pada peningkatan fitoplankton yang muaranya berpengaruh pada


(52)

kandungan Chl-a. Akibatnya, penambahan P ke perairan akan menambah produktivitas primer dan berpengaruh pada besarnya daya dukung.

Selain itu, dikaji dinamikanya terkait rekrutmen, pertumbuhan, laju mortalitas alami, dan mortalitas tangkapan. Rekrutmen dibatasi pada banyaknya ikan kerapu macam yang direstocking. Berdasarkan informasi tersebut, dibuat model restocking baik dari segi dinamika populasi maupun dampak ekonomi. Ada tiga kriteria yang digunakan, yaitu memenuhi daya dukung, menguntungkan secara ekonomi, dan dapat membantu memulihkan keadaan stok. Hal ini akan dijadikan landasan untuk merumuskan model pengelolaan. Untuk memudahkan penerapan hasil penelitian ini program dengan menggunakan Visual Basic.

Desain Waktu

Penelitian ini dilakukan mulai awal 5 Januari 2010 sampai dengan 26 September 2010. Pengumpulan data sekunder dilakukan pada Januari-Februari 2010. Wawancara terkait dengan partisipatori stock assessment (PSA) dilakukan pada bulan Juni dan Juli 2010. Sementara data panjang dan bobot ikan kerapu diamati setiap hari selama bulan Maret sampai dengan Agustus 2010.

Teknik Pengumpulan Data

Pengukuran produktivitas primer dilakukan berdasarkan kandungan Chl-a. Data ini merupakan data sekunder.

Contoh nelayan yang diwawancara diambil melalui penarikan contoh berlapis. Nelayan yang mencari ikan di perairan Semak Daun umumnya tinggal di pulau Panggang. Di sana terdapat tiga kelompok nelayan, yakni nelayan yang sekarang bergabung menjadi anggota sea farming, nelayan yang menjadi anggota perhimpunan nelayan kepulauan Seribu, dan nelayan bebas. Diantara mereka yang sering menangkap ikan kerapu macan ke beberapa daerah ada 30 orang. Dari masing-masing kelompok tersebut diambil proporsional sehingga jumlah contoh total sebanyak 20 orang.

Adapun contoh ikan kerapu macan diperoleh dari hasil tangkapan nelayan di pengumpul. Tiap ikan yang dijual ke pengumpul diukur bobot (g) dan panjangnya (cm).


(1)

169

Lampiran 36 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan

mortalitas tangkapan dengan panjang benih 18, 19, 20 cm

(

harvest type

)

Panjang (cm) Padat Tebar (ekor) F-optimal Y-optimal (kg) Nilai Hasil Tangkapan (juta Rp) Rente (juta Rp) 18 3000 0.382 917.141 119.228 90.334

3100 0.382 947.713 123.203 93.345 3200 0.382 978.284 127.177 96.356 3300 0.382 1008.855 131.151 99.367 3400 0.382 1039.427 135.126 102.378 3500 0.321 1059.815 137.776 104.066 3600 0.269 1059.898 137.787 103.113 3700 0.239 1058.804 137.645 102.008 3800 0.219 1059.833 137.778 101.179 3900 0.202 1058.591 137.617 100.054 4000 0.189 1059.240 137.701 99.175 19 2900 0.388 1017.169 132.232 99.096 3000 0.388 1052.243 136.792 102.514 3100 0.291 1059.637 137.753 102.332 3200 0.251 1059.512 137.737 101.173 3300 0.225 1059.235 137.701 99.995 3400 0.206 1059.692 137.760 98.912 3500 0.190 1058.354 137.586 97.595 3600 0.178 1059.999 137.800 96.666 3700 0.167 1059.502 137.735 95.459 3800 0.157 1057.398 137.462 94.043 3900 0.149 1057.874 137.524 92.962 4000 0.142 1058.768 137.640 91.936 20 2000 0.394 800.493 104.064 77.191 2100 0.394 840.517 109.267 81.050 2200 0.394 880.542 114.470 84.910 2300 0.394 920.566 119.674 88.770 2400 0.394 960.591 124.877 92.629 2500 0.394 1000.616 130.080 96.489 2600 0.394 1040.641 135.283 100.348 2700 0.307 1059.827 137.778 101.499 2800 0.256 1059.088 137.681 100.059 2900 0.227 1059.982 137.798 98.832 3000 0.205 1059.111 137.684 97.375


(2)

Lampiran 37 Fungsi masing-masing pelaku dalam sistem

sea farming

No

Kelompok

Unsur

Fungsi Dalam Sea Farming

1

Pembudidaya

Perikanan

Hatchery

Menyediakan bibit ikan bagi

kegiatan budidaya maupun

peningkatan stok ikan di

perairan

Pendeder Ikan

Memproduksi ikan dengan

ukuran tertentu untuk dijual

kepada pembudidaya ikan

berikutnya (pembesaran ikan)

Pembudidaya Ikan

(pembesaran)

Memproduksi ikan ukuran

konsumsi

2

Penangkapan

Ikan

Nelayan Ikan Hias

Menangkap ikan hias yang

berasosiasi dengan terumbu

karang di kawasan perairan

sea farming. Penangkapan

harus berbasis pada

kelestarian ikan maupun

ekosistem terumbu karang

Nelayan Umum

Menangkap ikan hasil

peningkatan stok di perairan

sea farming. Penangkapan

harus berbasis pada

kelestarian ikan maupun

ekosistem terumbu karang

3

Pengelola

Lingkungan

Pengelola DPL

Membantu otoritas pengelola

DPL mengawasi dan

mengendalikan pemanfaatan

sumberdaya perikanan di

kawasan DPL sehingga

sinergis dengan pengawasan

kualitas lingkungan perairan

di mana kegiatan sea farming

dilakukan.


(3)

171

Lampiran 37 (lanjutan)

No

Kelompok

Unsur

Fungsi Dalam Sea Farming

Pengelola Kawasan

Wisata

Membantu otoritas pengelola

wisata dalam mengawasi dan

mengendalikan kegiatan

wisata sehingga sinergis

dengan pengawasan kualitas

lingkungan perairan di mana

kegiatan sea farming

dilakukan

4

Pedagang

Pedagang Ikan

Melakukan kegiatan distribusi

dan perdagangan produk sea

farming


(4)

Lampiran 38 Ringkasan

code

program daya dukung

Private Sub ctrlDayaDukungSR_Click()

Unload Me

Form6.Show vbModal End Sub

Private Sub ctrlHitunganDDKJA_Click() Unload Me

Form5.Show vbModal End Sub

Private Sub ctrlHitunganTangkapan_Click() Unload Me

Form1.Show vbModal End Sub

Private Sub ctrlKami_Click() Form3.Show vbModal

End Sub

Private Sub ctrlKeluar_Click() End

End Sub

Private Sub ctrlVon_Click() Form4.Show vbModal

End Sub

Private Sub Form_Load()

Timer1.Interval = 500 'Set property interval Timer1.Enabled = True 'Aktifkan jika belum... End Sub

Private Sub Timer1_Timer()

Label1.Caption = Format(Date, "dd mmmm yyyy") Label2.Caption = Format(Time, "hh:mm:ss") End Sub

Public n As Integer

Private Sub Command1_Click() Dim Nilai() As Double

Dim i As Integer Dim X(1000) As Double Dim Y(1000) As Double Dim n As Integer Dim k, lm As Double n = Val(Text1) k = Val(Text2) lm = Val(Text3) t0 = Val(Text4)

ReDim Nilai(1 To n, 1 To 2)

For i = 1 To n X(i) = i

Y(i) = lm * (1 - Exp(-1 * k * (X(i) - t0))) Nilai(i, 1) = X(i)


(5)

173

Lampiran 38 (lanjutan)

Next i

With Me.Chart1

.chartType = VtChChartType2dXY .RowCount = 2

.ColumnCount = n .ChartData = Nilai

.Title = "Pertumbuhan Von Bertalannfy" End With

With Me.Chart1.Plot

.Axis(MSChart20Lib.VtChAxisId.VtChAxisIdX).AxisTitle.Text = "Waktu (tahun)"

.Axis(MSChart20Lib.VtChAxisId.VtChAxisIdY).AxisTitle.Text = "Panjang (cm)"

End With End Sub

Private Sub Command2_Click() Unload Me

End Sub

Private Sub Command1_Click() klo = Val(Text1.Text)

dalam = Val(Text2.Text) TL = Val(Text3.Text) luas = Val(Text4.Text) klomikro = klo * 1000

PP = (0.0238 + 0.004 * klomikro) / dalam PPtahun = PP * 365

ProdTL = PPtahun * 10 ^ (-1 * TL) Prodluas = ProdTL * luas * 10000 Bobotikan = Prodluas * 10 * 10 ^ -6

Text5.Text = Format(Bobotikan, "####.###") Text6.Text = Format(PPtahun, "####.###") End Sub

Private Sub Command2_Click() Unload Me

Form2.Show vbModal End Sub

Private Sub Command3_Click() Unload Me


(6)

Lampiran 39 Gambar pilihan

Salah satu suasana berdialog dengan

warga

Keramba jaring apung

Bubu

Citra satelit perairan Semak Daun


Dokumen yang terkait

Studi Perbandingan Hasil Tangkap Jaring terhadap Populasi Ikan Karang di Perairan Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu

0 5 102

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Hak Sumberdaya Sistem Sea Ranching Studi Kasus Sea Ranching Di Kepulauan Seribu Dki Jakarta

1 27 187

Keragaman Dan Keberadaan Penyakit Bakterial Dan Parasitik Benih Kerapu Macan Epinephelus Fuscoguttatus Di Karamba Jaring Apung Balai Sea Farming Kepulauan Seribu, Jakarta

0 3 80

Program Sea Farming Sebagai Model Pengelolaan Kolaboratif Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus Perairan Gosong Semak Daun, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu)

0 3 9

Optimasi Pengelolaan dan Pengembangan Budidaya Ikan Kerapu Macan pada Kelompok Sea Farming di Pulau Panggang, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu

4 38 247

Pertumbuhan ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus Forsskal, 1775) di Perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu

0 9 48

Analisis Keragaan Usaha Budidaya Pembesaran Ikan Kerapu Macan Epinephelus fuscoguttatus dan Ikan Kerapu Bebek Chromileptes altivelis dalam Sistem Karamba Jaring Apung di Kawasan Sea Farming Pulau Panggang, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu

0 7 215

Model restocking kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dalam sistem sea ranching di perairan dangkal semak daun, Kepulauan Seribu

3 15 360

Analisis Efisiensi Tataniaga Ikan Kerapu Macan (Epinephellus Fuscoguttatus) Pada Kelompok Tani Sea Farming Di Kelurahan Pulau Panggang Kecamatan Kepulauan Seribu Utara Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.

2 27 97

Kajian Geomorfologi Habitat Bentik Perairan Dangkal Pulau Harapan Kelapa, Kepulauan Seribu

4 23 61