Cerpen “Amuk Tun Teja”

4. Cerpen “Amuk Tun Teja”

Berbeda dengan kebanyakan cerpen lainnya, “Amuk Tun Teja” dibangun dalam dua bentuk penuturan: (menyerupai) monolog dan narasi. Monolog (dilakukan oleh tokoh perempuan renta) disajikan dengan cakapan langsung, sedang narasi (tentang

tokoh aku) disajikan dengan cakapan tidak langsung. 6 Anehnya, dua bentuk tuturan itu hadir secara bergantian sehingga seolah- olah membentuk sebuah kisah percakapan (dialog) yang tidak hanya terkesan tidak monoton, tetapi juga terasa variatif dan segar. Padahal, dialog (percakapan) antartokoh itu tidak pernah terjadi. Perhatikan kutipan berikut.

Tanpa mengetuk pintu, tanpa mengucap salam, seorang perempuan renta berkebaya lusuh masuk ke kantorku, dan lang- sung duduk di kursi tepat di depanku. Dari tatapan matanya yang sempit dan hampir terjepit oleh kulit kelopak-keriputnya, ia tam- pak sedang memendam sesuatu yang teramat dalam. Dan dari mulutnya yang masih tersisa warna merah sirih, melompatlah peluru kata-kata.

“Air dalam bertambah dalam/hujan di hulu belum lagi teduh/hati dendam bertambah dendam/dendam dahulu belum lagi sembuh! Sampai hati kau, Tuah! Kau renjis-kan minyak wangi guna-guna itu ke ranjangku. Pengecut itu namanya!”

Alahmak, orang tua gila mana pula ini? Pagi-pagi berpantun- pantun menuduh orang sembarangan. Mulutnya bau gambir pula. Kok bisa-bisanya sampai tersesat masuk ke kantorku?

“Begitukah cara seorang pahlawan besar yang diagung- agungkan menaklukkan hati seorang perempuan? Tak adakah cara yang lebih jantan? Aku ini perempuan, Tuah! Perempuan yang sama dengan perempuan lain di dunia ini. Sama-sama punya hati dan perasaan yang kapan saja bisa luluhuntuk menerima cinta dari seorang laki-laki. ....” (hlm. 93—94)

6 Penjelasan lebih lanjut mengenai bentuk-bentuk tuturan: monolog, dialog, dan narasi dapat dibaca pada Teori Pengkajian Fiksi (Nurgiyantoro, 1998).

Antologi Kritik/Esai Bahasa dan Sastra

Begitulah, cerpen “Amuk Tun Teja” dimulai. Setelah mem- baca bagian awal cerpen itu, seolah-olah kita (pembaca) dibiarkan secara langsung melihat dan mendengar sendiri kata-kata tokoh, dialog antartokoh, bagaimana wujud kata-katanya, dan apa isi dialognya. Artinya, dialog kemasan Marhalim itu telah membuat kisah dalam cerpen ini menjadi konkret, dapat ditangkap secara inderawi, sehingga dapat memunculkan kesan bahwa kisah itu nyata dan benar-benar terjadi. Karena konkret (dapat ditangkap secara inderawi: dapat dilihat dan didengar), citraan (imagery) pun telah terbangun dalam cerpen ini. Padahal, dua tokoh (aku dan perempuan renta/Tun Teja) dalam cerpen ini tidak sedang saling berinteraksi. Di samping tidak saling kenal (perempuan renta mengira tokoh aku sebagai Tuah, tokoh aku tidak menge- nali perempuan renta sebagai Tun Teja), keduanya asyik dengan topiknya sendiri. Tokoh aku asyik mengomentari ulah dan ucap- an tokoh perempuan renta yang tiba-tiba duduk di kursi tepat di depannya, sedangkan tokoh perempuan renta asyik bercelo- teh tentang kekecewaannya atas perlakuan (Hang) Tuah ter- hadap dirinya. Hal seperti itu terus berlangsung hingga cerita berakhir. Kutipan bagian akhir cerita berikut memperjelas hal itu.

Bangsat, orang tua ini, ayo mendekatlah kalau berani. Peduli apa aku dengan Jebat, dengan Tuah, atau dengan siapapun. Yang jelas, kalau kau berani menusukkan keris itu, aku takkan tinggal diam.

“Tuah, betul-betul tak mau kaumakan sirih itu? Tak mau, Tuah! Berarti kau memang tak pernah mencintai aku ‘kan? Atau kau lebih baik mati daripada berkhianat dan membenci raja, begitu? Lebih baik mengkhianati hatimu sendiri, Tuah! Kau men- durhaka, Tuah! Kau mendurhakai dirimu sendiri. Dan jika itu memang pilihanmu, baiklah, aku akan memilihnjalan ini! Kalau menunggu gelombang tidur, sampai kiamat takkan ke laut! Hiyaaaap!!!” menusukkan keris ke perutnya sendiri.

Kerling

Ya, Tuhan. Apa pula ini! Hei, Nenek! Ya ampun, kenapa pula kau harus bunuh diri! Aduh, bagaimana ini? Hei, tolong ......tolong.......tolong......*** (hlm. 99)

Hal lain yang penting dan menarik dari cerpen ini adalah judulnya, “Amuk Tun Teja”. Dikatakan penting karena tanpa judul itu, pembaca dapat dipastikan tidak akan pernah tahu (mengalami kesulitan) bahwa tokoh yang berceloteh secara langsung dan terus-menerus di sepanjang cerita itu adalah Tun Teja. Mengapa? Karena, di samping tidak disebut sama sekali dalam cerita, tokoh itu juga digambarkan sebagai perempuan renta, lusuh, keriput, bau gambir, dsb. sehingga bertentangan dengan pengetahuan umum tentang Tun Teja, yang cantik jelita dan putri bangsawan. Sementara itu, dikatakan menarik karena melalui judul itu pula pembaca terbimbing pada satu tafsir: Tun Teja mengamuk.

Atas tidak disebutkannya Tun Teja dalam cerita mungkin sebuah kesengajaan (Marhalim). Sebagai sebuah mitos (mitologi), Tun Teja memang tidak perlu diterang-jelaskan lagi. Ia sudah selayaknya hidup di hati sanubari masyarakat (Melayu) sesuai dengan interpretasi masing-masing. Jika dalam cerpen ini Tun Teja tampak sedang menebar kemarahan atas perlakuan (Hang) Tuah terhadap dirinya, mudah-mudahan hal itu benar-benar me- rupakan interpretasi Marhalim. Akan tetapi, mengapa tokoh aku (dalam cerpen ini) tidak mengenali tokoh perempuan renta itu sebagai Tun Teja? Jangan-jangan Marhalim berkehendak lain, ingin melontarkan isyarat bahwa sekarang ini banyak di antara kita (masyarakat Melayu) yang sudah tidak lagi mengenal Tun Teja.

Betulkah demikian? Wallahualam bissawab. Yang pasti, dalam cerpen Marhalim Zaini itu, Tun Teja telah diberi karakter baru. Tun Teja tidak digambarkan lagi sebagai perempuan lemah dan pasrah, tetapi sebagai perempuan pemberontak. Sejalan dengan pendapat Junus (1985:87), dapat dikatakan bahwa dalam teks “Amuk Tun Teja” telah terjadi demitefikasi terhadap teks atau

Antologi Kritik/Esai Bahasa dan Sastra