Efikasi Herbisida Amonium Glufosinat terhadap Gulma Umum pada Perkebunan Karet [Hevea brasiliensis (Muell). Arg] Menghasilkan

(1)

ABSTRAK

EFIKASI HERBISIDA AMONIUM GLUFOSINAT TERHADAP GULMA UMUM PADA PERKEBUNAN KARET

[Hevea brasiliensis (Muell). Arg] MENGHASILKAN Oleh

Nurjannah Yuliana Hastuti

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas herbisida amonium glufosinat dalam mengendalikan gulma pada perkebunan karet menghasilkan serta mengetahui terjadinya perubahan komposisi setelah aplikasi.

Penelitian ini dilaksanakan di PTPN 7 Unit Usaha Way Galih, Tanjung Bintang, Lampung Selatan dan Laboratorium Gulma Fakultas Pertanian UNILA. Penelitian berlangsung selama 3 bulan sejak Juni - Agustus 2013 menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan empat perlakuan herbisida amonium glufosinat (225, 300, 375, dan 450 g ha-1), penyiangan mekanis, dan kontrol (tanpa pengendaian gulma) dan diulang sebanyak 4 ulangan. Seluruh data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Analisis Ragam. Homogenitas data di uji dengan uji Bartlet dan aditivitas data diuji dengan uji Tuckey. Perbedaan antar nilai tengah diuji dengan menggunakan uji BNT pada taraf 5%.

Hasil: (1) herbisida amonium glufosinat pada semua taraf dosis (225 – 450 g ha-1) mengendalikan gulma total, gulma golongan daun lebar, dan Selaginella


(2)

wildenowii sampai dengan 12 MSA. (2) Cyrtococcum acrescens tidak terkendali oleh seluruh taraf dosis herbisida amonium glufosinat, namun gulma golongan rumput dan Ottochloa nodosa dapat dikendalikan dengan hanya pada taraf dosis tertinggi, yaitu 450 g ha-1 pada 4 MSA. (3) berdasarkan nilai koefisien komunitas, herbisida amonium glufosinat pada taraf dosis 300 – 450 g ha-1 tidak menyebabkan perubahan komposisi gulma sampai dengan 8 MSA, namun penyiangan mekanis justru menyebabkan perubahan komposisi gulma sampai dengan 12 MSA.


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Margomulyo, Kec. Tulang Bawang Udik, Kab. Lampung Utara pada 12 Juli 1992 dari pasangan Bapak Jumakir Purwo Harjono dan Ibu Siti Mahmudah. Penulis adalah anak kelima dari lima bersaudara. Penulis menempuh pendidikan pertama di TK Aisyiah Bustanul Athfal, Tulang Bawang Barat pada tahun 1996, dilanjutkan di SD Negeri 1 Margodadi di Tulang Bawang Barat pada tahun 1998, SMP Negeri 1 Tulang Bawang Tengah, Tulang Bawang Barat pada tahun 2004, SMA Negeri 1 Tumijajar, Tulang Bawang Barat pada tahun 2007, dan pada tahun 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa pada Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung melalui program Penelusuran Kemampuan Akademik dan Bakat (PKAB).

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti organisasi menjadi Kelurga Muda F FOSI FP periode 2010/ 2011, Sekertaris Bidang Kaderisasi UKM-F UKM-FOSI UKM-FP periode 2011/ 2012, Sekertaris Bidang Studi dan Syiar Islam periode 2012/ 2013, Sekertaris Departemen Pendidikan Ikatan Mahasiswa Tulang Bawang Barat (IKAM TUBABAR) periode 2012/ 2013, volunteer Sahabat Pulau 2012/ 2013, Anggota Departemen Kaderisasi BPW II Ikatan Mahasiswa Muslim Pertanian Indonesia (IMMPERTI) periode 2012/ 2013, dan Ketua Staff


(8)

2013 – 2014. Selain itu, penulis juga pernah menjadi asisten dosen pada mata kuliah Produksi Tanaman Perkebunan, Ilmu dan Teknik Pengendalian Gulma, dan Pengelolaan Gulma di Perkebunan.

Pada bulan Februari – Maret 2013 penulis melaksanakan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Jaya Tinggi, Kecamatan Kasui, Kabupaten Way Kanan. Dan pada bulan Juli – Agustus 2013 Penulis juga melaksanakan kegiatan Praktik Umum di PT Gunung Madu Plantations (GMP).


(9)

Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi, Yang

menciptakan lalu menyempurnakan (penciptaan-Nya), Yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk

(QS Al A’la: 1 – 3). Skripsi ini dipersembahkan untuk:

Kedua Orangtuaku Tercinta

Jumakir Purwo Harjono dan Siti Mahmudah yang telah mencurahkan segala cinta dan kasih sayang; yang senantiasa

menguntai doa; yang telah menjadi guru terbaik dalam meniti jalan Tuhan. Semoga mampu menjadi penguat dan

terbalaskan oleh Allah di jannah-Nya kelak. Kakak-kakaku Tersayang

Retno Sulistiyani, S. P., Agustina Fitriyani, S. T.,

Irma Pratiwi, S. Pd., dan Nurrokhmah Prabawati S. Pd. yang memberikan doa, dukungan, serta nasihat.


(10)

Maka sesungguhnya bersamaan kesulitan itu ada kemudahan; sesungguhnya bersamaan kesulitan itu ada

kemudahan

(QS Al Insyirah: 5 – 6)

Berdoalah Kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu

(QS Al Mu’min: 60)

Cukuplah Allah bagiku, tiada Tuhan selain Dia, hanya kepada-Nya aku bertawakal dan Dia adalah Tuhan yang

memiliki ‘Arsy yang agung

(QS At Taubah: 129)

Bersemangatlah pada apa saja yang bermanfaat bagimu, meminta tolonglah pada Allah dan jangan merasa tidak

mampu (HR Muslim)

If You never fail, You’ll never learn


(11)

SANWACANA

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah swt. atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Efikasi Herbisida Amonium Glufosinat terhadap Gulma Umum pada Perkebunan Karet [Hevea brasiliensis (Muell). Arg] Menghasilkan”. Shalawat teriring salam semoga tetap tercurah kepada Muhammad saw.,. Dalam penulisan skripsi ini penulis menerima bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih kepada:

1. Ir. Dad Resiworo J. Sembodo, M. S., selaku pembimbing utama yang telah banyak membimbing, mengarahkan, dan memberikan saran kepada penulis dengan penuh kesabaran;

2. Dr. Ir. Rusdi Evizal, M. S., selaku pembimbing kedua yang telah membimbing penulis;

3. Ir. Hermanus Suprapto, M. Sc., selaku pembahas saat penulisan skripsi penulis; 4. Ir. Eko Pramono, M. S., selaku pembimbing akademik yang telah memberikan


(12)

5. Dr. Ir. Kuswanta Futas Hidayat, M. P. selaku Ketua Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung;

6. Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M. S. selaku Dekan Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, beserta staf;

7. Para dosen Jurusan Agroteknologi yang telah memberi penulis dengan berbagai ilmu yang bermanfaat;

8. Mas Khoiri, Mas Yono, Mbak Anggi, Mbak Eka, Mbak Rara, Mano, Resty, Nurul, dan Ervy, yang telah mendukung penulis;

9. Sahabat-sahabatku Wacis, Nana, Mumu, Nissa, Eko, Al, Eccha, Ayu Damon, Nchan, Sholiha Asem Niann semoga persahabatan ini bisa terus terjalin; 10. Teman-teman Agroteknologi angkatan 2010, khususnya kelas A yang tidak

dapat disebutkan satu per satu.

Semoga Allah swt. memberikan balasan yang lebih besar untuk Bapak, Ibu dan teman-teman semua. Semoga skripsi ini bermanfaat untuk kemajuan pertanian, khususnya bidang pengendalian gulma, aamiin.

Wassalamu alaikum Wr. Wb. Bandarlampung, September 2014 Penulis,


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xx

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 4

1.3 Landasan Teori ... 4

1.4 Kerangka Pemikiran ... 6

1.5 Hipotesis ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Tanaman Karet ... 10

2.2 Gulma dan Kompetisi terhadap Tanaman ... 14

2.3 Komposisi Gulma ... 16

2.4 Gulma pada Perkebunan Karet dan Pengendalianya ... 17

2.4.1 Gulma pada Perkebunan Karet ... 18

2.4.2 Pengendalian Gulma pada Perkebunan Karet ... 19

2.5 Amonium Glufosinat ... 21

III. BAHAN DAN METODE ... 24

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 24

3.2 Bahan dan Alat ... 24

3.3 Metode Penelitian ... 24

3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 25


(14)

3.5.1 Persentase Penutupan Gulma Total ... 27

3.5.2 Persentase Keracunan Gulma Total ... 27

3.5.3 Bobot Kering Gulma Total dan Dominan ... 27

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

4.1 Summed Dominance Ratio (SDR) Gulma saat Aplikasi .. .. 30

4.2 Persentase Penutupan Gulma Total ... 31

4.3 Persentase Keracunan Gulma Total ... . 32

4.4 Bobot Kering Gulma Total ... .... 35

4.5 Bobot Kering Gulma Pergolongan ... .. 37

4.5.1 Bobot Kering Gulma Golongan Daun Lebar ... 37

4.5.2 Bobot Kering Gulma Golongan Rumput ... ... 38

4.6 Bobot Kering Gulma Dominan ... 40

4.6.1 Bobot Kering Gulma Selaginella wildenowii ... .. 40

4.6.2 Bobot Kering Gulma Cyrtococcum acrescens ... 42

4.6.3 Bobot Kering Gulma Ottochloa nodosa ... 44

4.6.4 Bobot Kering Gulma Axonophus compressus ... 45

4.7 Jenis dan Tingkat Dominansi Gulma ... 47

4.8 Koefisien komunitas ... 50

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... ... 54

5.1 Kesimpulan ... 54

5.2 Saran ... 55

PUSTAKA ACUAN ... 56


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Dosis Amonium Glufosinat yang diuji. ... 25

2. Tingkat Dominansi Gulma pada saat Aplikasi. ... ... 30

3. Persentase Penutupan Gulma Total. ... ... 32

4. Persen Keracunan Gulma Total. ... .... 33

5. Bobot Kering Gulma Total. ... 35

6. Bobot Kering Gulma Golongan Daun Lebar. ... ... .... 37

7. Bobot Kering Gulma Golongan Rumput. ... .... 39

8. Bobot Kering Gulma Selaginella wildenowii. ... .... 41

9. Bobot Kering Gulma Cyrtococcum accrescens. . ... 42

10. Bobot Kering Gulma Ottochloa nodosa. ... ... 44

11. Bobot Kering Gulma Axonophus compressus. ... 46

12. Tingkat Dominansi Gulma pada 4 MSA. ... ... 47

13. Tingkat Dominasi Gulma pada 8 MSA. ... ... 48

14. Tingkat Dominasi Gulma pada 12 MSA. ... ... 49

15. Nilai Koefisien Komunitas Gulma pada 4, 8, dan 12 MSA. ... 51

16. Luas Areal Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2009 – 2013... 61

17. Produksi Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2009 – 2013. ... 62

18. Persentase Penutupan Gulma Total 2 MSA. ... 63

19. Transformasi arc √√√(x+0,5) Persentase Penutupan Gulma Total 2 MSA. ... 63

20. Analisis Ragam Persentase Penutupan Gulma Total 2 MSA. ... 63


(16)

22. Analisis Ragam Persentase Penutupan Gulma Total 4 MSA. ... 64

23. Persentase Penutupan Gulma Total 6 MSA. ... 64

24. Analisis Ragam Persentase Penutupan Gulma Total 6 MSA. ... 65

25. Persentase Keracunan Gulma Total 2 MSA. ... 65

26. Transformasi arc √√√(x+0,5) Persentase Keracunan Gulma Total 2 MSA. ... 65

27. Analisis Ragam Persentase Keracunan Gulma Total 2 MSA. ... 66

28. Persentase Keracunan Gulma Total 4 MSA (%). ... 66

29. Transformasi arc √√√(x+0,5) Persentase Keracunan Gulma Total 4 MSA. ... 66

30. Analisis Ragam Persentase Keracunan Gulma Total 4 MSA. ... 67

31. Persentase Keracunan Gulma Total 6 MSA. ... 67

32. Transformasi arc √√√(x+0,5) Persentase Keracunan Gulma Total 4 MSA. ... 67

33. Analisis Ragam Persentase Penutupan Gulma Total 6 MSA. ... 68

34. Bobot Kering Gulma Total pada 4 MSA. ... 68

35. Analisis Ragam Bobot Kering Gulma Total pada 4 MSA. ... 68

36. Bobot Kering Gulma Total ada 8 MSA. ... 69

37. Transformasi arc √(x+0,5) Bobot Kering Gulma Total pada 8 MSA. ... 69

38. Analisis Ragam Bobot Kering Gulma Total pada 8 MSA. ... 69

39. Bobot Kering Gulma Total pada 12 MSA. ... 70

40. Analisis Ragam Bobot Kering Gulma Total pada 12 MSA. ... 70

41. Bobot Kering Gulma Golongan Daun Lebar pada 4 MSA. ... 70

42. Transformasi arc √√√(x+0,5) Bobot Kering Gulma Golongan Daun Lebar pada 4 MSA. ... 71

43. Analisis Ragam Bobot Kering Gulma Golongan Daun Lebar pada 4 MSA. ... 71

44. Bobot Kering Gulma Daun Lebar pada 8 MSA. ... 71

45. Transformasi arc √√√(x+0,5) Bobot Kering Gulma Golongan Daun Lebar pada 8 MSA. ... 72

46. Analisis Ragam Bobot Kering Gulma Golongan Daun Lebar pada 8 MSA. ... 72


(17)

48. Transformasi arc √√√(x+0,5) Bobot Kering Gulma Golongan

Daun Lebar pada 12 MSA. ... 73 49. Analisis Ragam Bobot Kering Gulma Golongan Daun Lebar

pada 12 MSA. ... 73 50. Bobot Kering Gulma Golongan Rumput pada 4 MSA. ... 73 51. Transformasi arc √(x+0,5) Bobot Kering Gulma Golongan

Rumput pada 4 MSA. ... 74 52. Analisis Ragam Bobot Kering Gulma Golongan Rumput

pada 4 MSA. ... 74 53. Bobot Kering Gulma Golongan Rumput pada 8 MSA. ... 74 54. Transformasi arc √√√(x+0,5) Bobot Kering Gulma Golongan

Rumput pada 8 MSA. ... 75 55. Analisis Ragam Bobot Kering Gulma Golongan Rumput

pada 8 MSA. ... 75 56. Bobot Kering Gulma Rumput pada 12 MSA. ... 75 57. Analisis Ragam Bobot Kering Gulma Golongan Rumput

pada 12 MSA. ... 76 58. Bobot Kering Gulma Selaginella wildenowii pada 4 MSA. ... 76 59. Transformasi arc √√√(x+0,5) Bobot Kering Gulma

Selaginella wildenowii pada 4 MSA. ... 76 60. Analisis Ragam Bobot Kering Gulma Selaginella wildenowii

pada 4 MSA. ... 77 61. Bobot Kering Gulma Selaginella wildenowii pada 8 MSA. ... 77 62. Transformasi arc √√√(x+0,5) Bobot Kering Gulma

Selaginella wildenowii pada 8 MSA. ... 77 63. Analisis Ragam Bobot Kering Gulma Selaginella wildenowii

pada 8 MSA. ... 78 64. Bobot Kering Gulma Selaginella wildenowii pada

12 MSA. ... 78 65. Transformasi arc √√√(x+0,5) Bobot Kering Gulma

Selaginella wildenowii pada 12 MSA. ... 78 66. Analisis Ragam Bobot Kering Gulma Selaginella wildenowii

pada 12 MSA. ... 79 67. Bobot Kering Gulma Cyrtococcum acrescens pada 4 MSA. ... 79 68. Transformasi arc √(x+0,5) Bobot Kering Gulma Cyrtococcum


(18)

69. Analisis Ragam Bobot Kering Gulma Cyrtococcum acrescens

pada 8 MSA. ... 80 70. Bobot Kering Gulma Cyrtococcum acrescens pada 8 MSA. ... 80 71. Transformasi arc √(x+0,5) Bobot Kering Gulma Cyrtococcum

acrescens pada 8 MSA. ... 80 72. Analisis Ragam Bobot Kering Gulma Cyrtococcum acrescens

pada 8 MSA. ... 81 73. Bobot Kering Gulma Cyrtococcum acrescens pada 12 MSA. ... 81 74. Transformasi arc √√√(x+0,5) Bobot Kering Gulma

Cyrtococcum acrescens pada 12 MSA. ... 81 75. Analisis Ragam Bobot Kering Gulma Cyrtococcum acrescens

pada 12 MSA. ... 82 76. Bobot Kering Gulma Ottochloa nodosa pada 4 MSA. ... 82 77. Transformasi arc √√√(x+0,5) Bobot Kering Gulma

Ottochloa nodosa pada 4 MSA. ... 82 78. Analisis Ragam Bobot Kering Gulma Ottochloa nodosa

pada 4 MSA. ... 83 79. Bobot Kering Gulma Ottochloa nodosa pada 8 MSA. ... 83 80. Transformasi arc √(x+0,5) Bobot Kering Gulma Ottochloa

nodosa pada 8 MSA. ... 83 81. Analisis Ragam Bobot Kering Gulma Ottochloa nodosa

pada 8 MSA. ... 84 82. Bobot Kering Gulma Ottochloa nodosa pada 12 MSA. ... 84 83. Transformasi arc √(x+0,5) Bobot Kering Gulma Ottochloa

nodosa pada 12 MSA. ... 84 84. Analisis Ragam Bobot Kering Gulma Ottochloa nodosa pada

12 MSA. ... 85 85. Bobot Kering Gulma Axonophus compressus pada 4 MSA. ... 85 86. Transformasi arc √√(x+0,5) Bobot Kering Gulma

Axonophuscompressus pada 4 MSA. ... 85 87. Analisis Ragam Bobot Kering Gulma Axonophus compressus

pada 4 MSA. ... 86 88. Bobot Kering Gulma Axonophus compressus pada 8 MSA. ... 86 89. Transformasi arc √√√(x+0,5) Bobot Kering Gulma

Axonophus compressus pada 8 MSA. ... 86 90. Analisis Ragam Bobot Kering Gulma Axonophus compressus


(19)

91. Bobot Kering Gulma Axonophus compressus pada 12 MSA. ... 87 92. Transformasi arc √√(x+0,5) Bobot Kering Gulma

Axonophus compressus pada 12 MSA. ... 87 93. Analisis Ragam Bobot Kering Gulma Axonophus compressus


(20)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Grafik Produksi Karet Tahun 2004 – 2012. ... 13

2. Struktur Kimia Herbisida Amonium Glufosinat. ... 21

3. Tata Letak Percobaan. ... 26

4. Tata Letak Pengambilan contoh gulma. ... 28

5. Gejala Keracunan Gulma Total pada 4MSA. ... 34

6. Gulma Selaginella wildenowii. ... 42

7. Gulma Cyrtococcum acrescens. ... 43

8. Gulma Ottochloa nodosa. ... 45


(21)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Indonesia merupakan negara agraris yang hampir setiap mata pencaharian penduduknya adalah sebagai petani. Kegiatan pertanian yang dilakukanpun cukup beragam seperti bertani sawah, kebun, beternak, ataupun sebagai nelayan. Pada sektor perkebunan, Indonesia merupakan negara kedua penghasil karet di dunia (berkisar 28% dari produksi karet dunia tahun 2010), lebih sedikit

dibandingkan dengan Thailand (berkisar 30%). Pengembangan karet Indonesia dalam kurun waktu 3 dekade mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Dalam lima tahun terakhir, peningkatan ekspor karet cukup signifikan, dari 1.496 ribu ton pada tahun 2002 meningkat hingga 2.100 ribu ton ditahun 2009 (Ditjenbun, 2012).

Tanaman karet merupakan tanaman tahunan yang cukup potensial dalam

menjanjikan hasil yag umumnya berupa materi. Menurut Tim Penulis PS (2009), pada tahun 2005 luasan areal karet meningkat menjadi 4.363.510 ha dengan 3.851.140 ha perkebunan rakyat, 237.612 ha perkebunan negara, dan 274, 758 ha perkebunan swasta. Produktivitas karet perkebunan rakyat lebih rendah dibanding


(22)

perkebunan negara dan swasta. Pada tahun 2005 produksi karet milik perkebunan rakyat adalah sebesar 1.838.670 ton dan perkebunan negara serta swasta sebesar 432.221 ton. Meskipun luasan perkebunan rakyat jauh lebih besar, namun produktivitas karet yang dihasilkan hanya 0,48 ton per ha. Produktivitas tersebut lebih rendah dari perkebunan negara dan swasta yaitu 0,84 ton per ha.

Produktivitas yang diikuti oleh keuntungan yang tinggi selalu diharapkan oleh pengelola ataupun pemilik kebun baik perkebunan rakyat maupun perkebunan negara dan swasta. Untuk terus memperoleh hasil produksi yang maksimal, pemilik perkebunan karet memerlukan kegiatan pemeliharaan yang optimal. Salah satunya dengan melakukan pengendalian gulma pada saat tanaman karet masih dalam fase pembibitan, fase tanaman belum menghasilkan (TBM) sampai dengan tanaman sudah menghasilkan (TM). Pola pengendalian dari ketiga fase tersebut memiliki ciri khas masing- masing. Saat tanaman memasuki fase TBM, pengendalian gulma dilakukan pada piringan dengan cara kimiawi, namun saat tanaman memasuki fase TM, pengendalian tidak lagi pada piringan, namun pada jalur sadap (1 – 1,5m).

Usaha pengendalian gulma yang umum dilakukan pada tingkat perkebunan adalah menggunakan metode kimiawi (penggunaan herbisida). Metode kimiawi menjadi pilihan utama dalam mengendalikan gulma pada perkebunan karena lebih efektif dan efisien. Efektifitas pengendalian gulma dengan menggunakan metode ini adalah lebih cepat dalam mematikan gulma yang teraplikasi. Sedangkan keefisienan metode kimiawi salah satunya adalah jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dan waktu yang digunakan menjadi lebih sedikit.


(23)

Pengendalian gulma menggunakan metode kimiawi memiliki tantangan berupa suksesi gulma atau perubahan komposisi gulma. Suksesi gulma atau perubahan komposisi gulma berkaitan erat dengan penggunaan suatu jenis herbisida dalam suatu lahan budidaya. Suksesi gulma juga berhubungan dengan bagaimana herbisida tersebut bekerja (mode of action). Herbisida dengan cara translokasi yang berbeda (kontak dan sistemik) akan memicu perubahan komposisi gulma yang juga berbeda. Komposisi gulma dalam suatu areal pertanaman dapat menentukan pemilihan jenis herbisida yang akan dipergunakan untuk pengendalian gulma. Komposisi gulma yang tidak pernah berubah atau cenderung sama disetiap periodenya akan menyebabkan pengelola kebun

menggunakan satu jenis herbisida yang sama, sehingga akan lebih beresiko untuk menimbulkan resistensi gulma terhadap herbisida tertentu yang digunakan

tersebut. Namun, jika terdapat perubahan komposisi gulma maka penggunaan terhadap satu jenis herbisida akan berkurang dan cenderung akan mengganti herbisidanya sesuai dengan jenis gulma yang ada pada lahan. Oleh karena itu, efikasi herbisida amonium glufosinat perlu untuk diketahui dan dipelajari

sehingga dapat dipergunakan sebagai salah satu jenis herbisida yang diaplikasikan untuk mengendalikan gulma pada tanaman karet.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan maka penelitian dilakukan untuk menemukan jawaban dari rumusan masalah berikut ini:

1. Apakah herbisida amonium glufosinat mampu mengendalikan gulma umum pada perkebunan karet menghasilkan?

2. Apakah terjadi perubahan komposisi gulma pada lahan setelah aplikasi herbisida amonium glufosinat?


(24)

1.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi dan perumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui efektivitas herbisida amonium glufosinat dalam mengendalikan gulma umum pada perkebunan karet menghasilkan.

2. Mengetahui perubahan komposisi gulma pada lahan setelah aplikasi herbisida amonium glufosinat.

1.3 Landasan Teori

Gulma merupakan tumbuhan yang tidak diinginkan keberadaanya, tumbuh di sekitar tanaman budidaya sehingga menimbulkan kerugian untuk tanaman budidaya tersebut yang dampaknya dirasakan oleh petani (Ashton, 1991) dalam Johnny (2006). Pada dasarnya, gulma dipandang secara antroposentrik, bahwa gulma adalah tumbuhan yang tumbuh di tempat dan waktu yang salah, dan dianggap merugikan atau berpotensi merugikan menurut kepentingan manusia (Soerjani, 1986). Soerjani (1986) juga menyimpulkan bahwa gulma ialah tumbuhan yang peranan, potensi, dan hak kehadirannya belum sepenuhnya diketahui.

Suksesi gulma terkait erat dengan bagaimana herbisida tersebut bekerja (mode of action). Parakuat dan amonium glufosinat misalnya, merupakan herbisida kontak yang dapat menyebabkan kematian pada bagian atas gulma dengan cepat tanpa merusak bagian sistem perakaran, stolon, atau batang dalam tanah serta batang yang terlindungi oleh pelepah daun sehingga dalam beberapa minggu setelah aplikasi gulma akan tumbuh kembali. Sedangkan herbisida yang bersifat


(25)

sistemik, seperti glifosat dapat ditranslokasi dari bagian dedaunan sampai ke bagaian akar dan bagaian lainnya sehingga mampu merusak sistem keseluruhan di dalam tubuh gulma. Glifosat memiliki daya bunuh yang tinggi terhadap

rerumputan dan sering mengeradikasi gulma rerumputan lunak seperti Paspalum conjugatum dan Ottochloa nodosa sehingga akhirnya tanah menjadi terbuka dan memberi peluang bagi biji-biji gulma berdaun lebar untuk berkecambah dan akhirnya menjadi dominan (Ditjenbun, 2013). Dominansi gulma berdaun lebar cenderung lebih merugikan karena lebih sulit dikendalikan. Menurut Budiarto (2001), vegetasi gulma yang tumbuh pada suatu daerah akan berbeda dengan daerah lainnya, walaupun pada tanaman budidaya yang sama. Hal ini

dimungkinkan karena perbedaan kondisi lingkungan tumbuh dan iklim. Amonium glufosinat merupakan herbisida pasca tumbuh bersifat kontak non selektif (Tomlin, 1997) berspektrum luas yang digunakan untuk mengendalikan gulma pada lahan yang terdapat tanaman budidaya dan juga pada lahan yang tidak digunakan untuk pertanaman (ECPRP, 2002, Jewell and Buffin, 2001). Amonium glufosinat digunakan untuk mengendalikan gulma daun lebar tahunan dan

semusim, serta gulma rumput pada perkebunan buah, karet, dan kelapa sawit (Tomlin, 1997). Glufosinat adalah kependekan dari garam amonium yaitu

amonium glufosinat yang berasal dari posphinotricin, sebuah racun mikroba alami yang diisolasi dari dua spesies jamur Streptomyces.

Cara kerja amonium glufosinat adalah menghambat sintesis glutamin dari glutamat (Tomlin, 1997, Manderscheid and Wild, 1986) yang diperlukan untuk detoksifikasi amonia (NH4+) hingga mencapai kadar toksik sehingga


(26)

menyebabkan fotosintesis terhenti dan mati (Jewell dan Buffin, 2001) dan (Kocher and Lotzche, 1985) dalam (Perkins, 1990). Bahan aktif ini dapat berpindah dalam daun mulai dari pangkal daun menuju ujung daun (Tomlin, 1997) namun tidak dapat berpindah ke bagian lain dari gulma seperti stolon, rimpang.

Dalam kondisi normal, amonia diproduksi sebagai hasil dari berbagai proses-proses metabolik tanaman, yaitu membentuk glutamin dari asam glutamik. Selama proses fotosintesis berlangsung, seringkali dihubungkan dengan pembentukan amonia. Akumulasi amonia akan lebih tinggi pada amonium glufosinat yang diaplikasikan pada gulma yang terkena cahaya langsung daripada gulma yang tidak terkena cahaya secara langsung (ternaungi). Gejala keracunan akan menyebar dengan cepat dibawah cahaya (Kocher, 1983) dalam (Perkins, 1990). Hal tersebut lebih berkaitan dengan kelembaban relatif pada lahan karena Kelembaban relatif menunjukkan pengaruh yang lebih tinggi dalam menyebabkan keracunan (Anderson et al, 1993). Amonium glufosinat yang diaplikasikan akan menunjukan gejala keracunan antara 2 – 5 hari setelah aplikasi, dan umumnya diaplikasikan dengan dosis 0,6 – 1 kg/ha (3 – 5 l/ha dari formulasi produk). Gulma yang teraplikasi akan mati antara 1 – 2 minggu, lebih cepat daripada herbisida glifosat dan lebih lambat dari herbisida parakuat (Perkins, 1990). 1.4 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan, maka disusunlah kerangka pemikiraan untuk memberikan penjelasan teoritis terhadap perumusan masalah. Pada 10 tahun terkahir (per 2012), produksi karet alam terus mengalami


(27)

peningkatan tiap tahunnya (Gambar 1). Untuk terus memperoleh hasil produksi yang maksimal, perkebunan karet memerlukan kegiatan pemeliharaan yang

optimal. Salah satunya dengan melakukan pengendalian gulma pada saat tanaman karet masih dalam fase belum menghasilkan (TBM) sampai dengan tanaman sudah menghasilkan (TM).

Masalah gulma tersebut akan berbeda pada setiap umur tanaman, hal ini tergantung pada lokasi, iklim setempat dan cahaya yang diterima (Lubis 1992) dalam Meilin (2006). Selain itu, perbedaan umur tanaman juga menyebabkan terjadinya pergeseran dominansi gulma, pada tanaman dengan persentase

penutupan tajuk kecil akan ditemukan jenis gulma beragam dan sebaliknya pada tanaman dengan persentase penutupan tajuk lebih besar lebih didominasi gulma yang tahan naungan dan homogen (Budiarto, 2001). Pada tanaman karet yang telah memasuki fase TM, Legume Cover Crop (LCC) sudah tidak lagi efektif dalam mengendalikan guma pada gawangan karena pertumbuhanya terhambat oleh naungan tanaman karet sehingga menyebabkan tanah terbuka dan gulma bermunculan. Gulma yang tumbuh pada gawangan akan menjadi masalah dalam pemeliharaan dan pemanenan tanaman karet menghasilkan.

Gulma yang tumbuh pada lahan budidaya merupakan tumbuhan yang

mengganggu dan merugikan karena menimbulkan berbagai masalah, di antaranya dapat berkompetisi dengan tanaman budidaya terhadap sumberdaya, dan

mempersulit pemeliharaan tanaman. Berdasarkan hal itu maka pengelola kebun berusaha untuk mengendalikan gulma dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan cara kimiawi yaitu menggunakan herbisida. Herbisida yang akan


(28)

herbisida itu sendiri, jenis tanaman budidaya, serta waktu pengendalianya. Herbisida mampu mengendalikan gulma dengan mempengaruhi satu atau

beberapa proses fisiologi di dalam tubuh gulma sehingga menimbulkan keracunan pada gulma. Terdapat beberapa jenis herbisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan gulma pada tanaman karet adalah glifosat, parakuat (Anwar, 2009 dan Kementan 2011), triklopir, diuron, oksifluorfen, dan metil metsulfuron (Kementan, 2011).

Penggunaan herbisida secara terus menerus dalam satu luasan lahan yang sama akan menyebabkan terjadinya perubahan komposisi gulma (suksesi gulma). Suksesi gulma terkait erat dengan bagaimana herbisida tersebut bekerja (mode of action). Parakuat dan amonium glufosinat misalnya, merupakan herbisida kontak yang dapat menyebabkan kematian pada bagian atas gulma dengan cepat tanpa merusak bagian sistem perakaran stolon, atau batang dalam tanah serta batang yang terlindungi oleh pelepah daun sehingga dalam beberapa minggu setelah aplikasi gulma akan tumbuh kembali. Sedangkan herbisida yang bersifat sistemik, seperti glifosat dapat ditranslokasi dari bagian dedaunan sampai ke bagaian akar dan bagian lainnya sehingga dapat merusak sistem keseluruhan di dalam tubuh gulma.

Amonium glufosinat merupakan herbisida pasca tumbuh bersifat kontak non selektif (Tomlin, 1997) berspektrum luas yang digunakan untuk mengendalikan gulma pada lahan yang terdapat tanaman budidaya dan juga pada lahan yang tidak digunakan untuk pertanaman (ECPRP, 2002 dan Jewell & Buffin, 2001).

Amonium glufosinat digunakan untuk mengendalikan gulma daun lebar tahunan dan semusim, serta gulma rumput pada perkebunan buah, karet, dan kelapa sawit


(29)

(Tomlin, 1997). Amonium glufosinat bekerja dengan cara menghambat sintesis glutamin dari glutamat (Tomlin, 1997, Manderscheid and Wild, 1986) yang diperlukan untuk detoksifikasi amonia (NH4+) sehingga meningkatkan kadar amonia hingga mencapai kadar toksik dalam jaringan daun di dalam kloroplas yang menyebabkan fotosintesis terhenti dan mati (Jewell and Buffin, 2001) dan (Kocher and Lotzche, 1985) dalam (Perkins, 1990) hingga menyebabkan kematian pada gulma setelah 1 – 2 minggu.

Dengan penggunaan herbisida amonium glufosinat, diharapkan gulma yang terdapat pada budidaya tanaman karet mampu dikendalikan sehingga akan mempermudah pemeliharaan tanaman karet tersebut.

1.5 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan, hipotesis yang dapat disusun adalah:

1. Herbisida amonium glufosinat mampu mengendalikan gulma umum pada perkebunan karet menghasilkan.

2. Terdapat perubahan komposisi gulma pada lahan setelah aplikasi herbisida amonium glufosinat.


(30)

2.1 Tanaman Karet

Lateks karet alam didapat dari pohon Hevea brasiliensis, famili Euphorbiaceae yang ditemukan dikawasan tropikal Amazon, Amerika Selatan sebelum di bawa ke benua lain. Menurut Tim Penulis PS (2009), tanaman ini merupakan sumber utama bahan karet alam dunia. Sebelum tanaman karet dibudidayakan, penduduk asli di berbagai tempat seperti Amerika Selatan, Afrika, dan Asia menggunakan pohon-pohon lain yang juga menghasilkan getah seperti Castilia elastica (famili Moraceae), dan Parthenium agentatum (famili Asteraceae) di utara Meksiko, Funtumia elastica (famili Apocinaceae) di Afrika, Ficus elastica (famili Moraceae), Taraxacum kokbsaghyz (famili Asteraceae) di Russia.

Menurut Tim Penulis PS (2009), tanaman karet merupakan tanaman tahunan yang memiliki tinggi mencapai 15 – 25 m. Batang utamanya lurus dan memiliki

percabangan yang tinggi. Tanaman karet memiliki daun yang terdiri dari tiga tangkai daun utama dan tiga tangkai anak daun. Panjang tangkai daun utama 3 – 20 cm dan panjang tangkai anak daun 3 – 10 cm dan pada ujungnya terdapat kelenjar. Bunga tanaman karet terdiri dari bunga jantan dan bungan betina yang terdapat dalam malai payung .


(31)

Pangkal tenda bunga berbentuk lonceng, pada ujungnya terdapat lima tajuk yang sempit. Panjang tenda bunga 4 – 8 mm. Bunga betina berambut vilt memiliki ukuran yang sedikit lebih besar dari bunga jantan dan mengandung bakal buah yang beruang tiga. Kepala putik akan dibuahi dengan posisi duduk dan berjumlah tiga buah. Bunga jantan mempunyai sepuluh benang sari yang tersusun menjadi satu tiang. Kepala sari terbagi dalam dua karangan dengan tinggi yang tidak sama. Buah karet memiliki ruang masing-masing setengah bola dan umumnya berjumlah tiga sampai enam ruang. Garis tengah buah 3 – 5 cm. Apabila buah sudah masak, buah akan memecah dengan sendirinya. Akar tanaman karet adalah tunggang dan mampu menopang tinggi dan besarnya tanaman karet. Tanaman karet memiliki klasifikasi sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledon Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Havea

Spesies : Hevea brasiliensis

Tanaman karet mepunyai syarat hidup tersendiri yang dikehendaki untuk mampu hidup sesuai dengan negara asalnya di Amerika Selatan, khususnya Brazil yang beriklim tropis dengan curah hujan antara 2000 – 3000 mm/tahun dan hari hujan 120 – 170 hari/tahun Sutardi (1981) dalam Damanik (2012). Tanaman karet juga cocok untuk ditanam pada negara-negara yang memiliki iklim tropis dengan kondisi lintang yaitu 150 LU – 100 LS (Moraes, 1977) dalam Damanik (2012).


(32)

Suhu rataan harian rata-rata yang diinginkan berkisar 25 – 300C. Curah hujan yang cukup tinggi antara 2000 – 2500 mm pertahun akan disukai tanaman karet. Daerah tropis memiliki intensitas cahaya matahari yang melimpah yang dapat memenuhi keinginan tanaman karet yang membutuhkan intensitas cahaya matahari berkisar 5 – 7 jam dalam satu hari. Sebagian besar areal perkabunan karet Indonesia terletak di Sumatra (70%), Kalimantan (40%), dan Jawa (4%) dengan curah hujan 1500 – 4000 mm/tahun. Hasil karet yang maksimal akan diperoleh pada tanah-tanah yang kesuburanya tinggi (Tim Penulis PS, 2009). Padas pada lapisan olah tanah tidak disukai tanaman karet karena mengganggu pertumbuhan dan perkembangan akar, sehingga proses pengambilan hara dari dalam tanah terganggu. Derajat keasaman mendekati normal cocok untuk

tanaman karet, yang paling cocok adalah pH 5-6. Batas toleransi pH tanah adalah 4-8. Sifat-sifat tanah yang cocok pada umumnya antara lain; aerasi dan drainase cukup, tekstur tanah remah, struktur terdiri dari 35% tanah liat dan 30% tanah pasir, kemiringan lahan <16% serta permukaan air tanah < 100 cm (Damanik, dkk., 2010).

Luasan areal perkebunan karet Indonesia mencapai 3.445.317 hektar dengan produksi total sebesar 2.770.308 ton. Jika ditinjau dari status pengusahaanya, luasan areal perkebunan karet Indonesia terbagi atas perkebunan rakyat (84,66%), perkebunan besar negara (7,11%), perkebunan besar swasta (8,23%). Sedangkan produksi perkebunan rakyat sebesar 78,97%, perkebunan besar negara 10,08%, dan perkebunan besar swasta sebesar 10,95% (BPS, 2013). Data lain

menyebutkan bahwa sejak tahun 2009 sampai dengan tahun 2013, luas areal perkebunan karet di seluruh provinsi di Indonesia mengalami peningkatan 0,86%


(33)

setiap tahunnya (Tabel 16). Pada tahun 2013, luasan perkebunan karet di seluruh provinsi di Indonesia mencapai 3.555.763 ha (Ditjenbun, 2013). Pertumbuhan poduksi karet Indonesia pada tahun 2020 diperkirakan akan mencapai 3,5 juta ton dan tahun 2035 sebesar 5,1 juta ton (Anwar, 2006). Produksi dan konsumsi karet dunia diperkirakan akan tumbuh dengan laju 2,6% pertahun, sedangkan harga karet diperkirakan akan berkisar antara U$ 1,2 – 1,5 per Kg (Damanik, 2012). Data lain menyatakan bahwa produksi karet selama sepuluh tahun terakhir (per 2012) mengalami fluktuasi, seperti yang ditampilkan dalam grafik berikut ini.

Gambar 1. Grafik Produksi Karet Tahun 2004 – 2012

Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan Kementrian Pertanian dalam Bappenas dan BPS (2013).

Meskipun pernah mengalami penurunan produksi, namun produksi karet

berdasarkan grafik di atas cenderung menunjukan peningkatan produksi meskipun mengalami fluktuasi. Sejak tahun 2010 yaitu sebesar 12,07% , 9,34% pada tahun 2011, dan 1,68% ditahun 2012. Data lain menyebutkan bahwa rata-rata produksi


(34)

karet di seluruh provinsi di Indonesia selama tahun 2009 - 2013mengalami peningkatan sebesar 6,33% (Tabel 16). Produksi terakhir pada tahun 2013 pada Tabel 17 tercatat sebesar 3.107.544 ton (Ditjenbun, 2013).

Sejumlah lokasi di Indonesia memiliki keadaan lahan yang cocok untuk

pertanaman karet, sebagian besar berada di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Luas area perkebunan karet tahun 2005 tercatat mencapai lebih dari 3.2 juta ha yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia (Tim Penulis PS, 2009). Jumlah ini masih akan bisa ditingkatkan lagi dengan memanfaatkan lahan kosong atau lahan yang kurang produktif yang sesuai untuk perkebunan karet.

2.2 Gulma dan Kompetisi terhadap Tanaman

Gulma adalah tumbuhan yang tidak diinginkan keberadaanya oleh petani karena seringkali menimbulkan kerugian sehingga perlu dikendalikan. Pada dasarnya, gulma dipandang secara antroposentrik, bahwa gulma adalah tumbuhan yang tumbuh di tempat dan waktu yang salah, dan dianggap merugikan atau berpotensi merugikan menurut kepentingan manusia (Soerjani, 1986). Kompetisi yang terjadi bertujuan untuk memperoleh sumber esensial bagi pertumbuhan tanaman (cahaya, air, dan nutrisi) yang menjadi satu proses utama yang menentukan keberadaan alam, semi alami, dan ekosistem pertanian (Soerjani, 1986). Secara ekologi, peneliti telah mempelajari kompetisi antar tanaman untuk memahai pola suksesi dari vegetasi, stabilitas dan keanekaragaman komunitas tanaman dan untuk membantu menentukan strategi pengendalian untuk ekosistem semi alami (Grace dan Tilman, 1990; Grime, 1979; Harper, 1977) dalam Kropff (1993). Menurut King (1974), paling sedikit ada 30 definisi tentang gulma,


(35)

beberapa di antaranya yang dimaksud gulma ialah tumbuhan yang salah tempat (a plant out of place); tumbuhan yang tumbuh liar dan berlebihan (wild and rank growth); tumbuhan yang tidak berguna (useless), tidak diinginkan (undesirable); dan tidak dikehendaki (unwanted).

Grime (1979) dalam Kropff (1993) mendefinisikan kompetisi sebagai

kecenderungan antar tumbuhan yang berdekatan untuk sama-sama menguasai sarana hidup seperti cahaya, ion atau nutrisi, air, serta ruang hidup. Kemampuan kompetisi suatu spesies dapat ditentukan oleh kapasitas spesies tersebut dalam menggunakan sarana hidup yang ada dengan cepat. Secara umum 10%

kehilangan produksi dapat dihubungkan dengan dampak kompetisi dengan gulma, meskipun pengendalian terhadap gulma telah dilakukan secara intensif pada sebagian besar sistem pertanian (Zimdhal, 1980) dalam Kropff (1993). Tanpa adanya pengendalian, kehilangan hasil produksi dapat mencapai sekitar 10 – 100%, bergantung pada kemampuan kompetisi tanaman budidaya (van Heemst, 1985) dalam Kropff (1993). Oleh karena itu, pengendalian gulma adalah salah satu elemen penting dalam pertanian. Penggunaan dan aplikasi herbisida adalah salah satu faktor utama yang memungkinkan pada intensifikasi pertanian dalam 10 tahun terakhir.

Keberdaan gulma pada lahan perkebunan menjadi lebih berbahaya bila dibandingkan dengan hama dan patogen, bersifat statis, menyusun komunitas bersama tanaman budidaya dan sering menjadi resisten terhadap herbisida (Kohli et al., 2001). Secara umum masalah-masalah yang ditimbulkan gulma pada lahan tanaman budidaya ataupun tanaman pokok (Soejono, 2006) adalah sebagai


(36)

1. Terjadinya kompetisi atau persaingan dengan tanaman pokok (tanaman budidaya) dalam penyerapan zat makanan atau unsur-unsur hara di dalam tanah, penangkapan cahaya, penyerapan air dan ruang tempat tumbuh.

2. Sebagian besar gulma dapat mengeluarkan zat atau cairan yang bersifat toksin (racun) yang umum disebut alelokimia, berupa senyawa kimia yang dapat mengganggu dan menghambat pertumbuhan tanaman lain disekitarnya. 3. Sebagai inang atau tempat berlindung hewan-hewan kecil, insekta dan hama

sehingga memungkinkan hewan-hewan tersebut dapat berkembang biak dengan baik. Akibatnya hama tersebut akan menyerang dan memakan tanaman pokok ataupun tanaman budidaya.

4. Mempersulit pekerjaan saat pemanenan maupun pada saat pemupukan. 5. Dapat menurunkan kualitas produksi (hasil) dari tanaman budidaya, misalnya

dengan tercampurnya biji-biji dari gulma yang kecil dengan biji tanaman budidaya.

2.3Komposisi Gulma

Komposisi gulma dapat berubah seiring dengan perubahan waktu. Perubahan itu dipengaruhi oleh beberapa hal seperti kompetisi antar gulma, kemampuan gulma untuk berkembang biak dan pengendalian gulma. Pengendalian gulma dengan menggunakan herbisida dapat menyebabkan komposisi gulma berubah secara nyata (Nasution, 1996; Sastroutomo, 1990 dalam Mustikaningsih, 2001).

Perubahan komposisi gulma akibat pengendalian dengan menggunakan herbisida diharapkan mampu menurunkan dominansi gulma yang ada di areal perkebunan, misalnya herbisida yang selektif terhadap gulma daun lebar akan menyisakan gulma berdaun sempit (Mustikaningsih, 2001). Contoh lainya misalkan faktor


(37)

genangan (frekuensi genangan dan tinggi genangan) dan kedalaman lapisan olah tanah yang juga berpengaruh langsung dan merupakan faktor penentu terjadinya perbedaan komposisi komunitas gulma padi sawah (Purnomo, 2011).

Menurut Meilin (2006), jenis gulma yang ditemukan pada perkebunan karet yang belum menghasilkan lebih banyak (17 jenis gulma) dari pada gulma yang

ditemukan pada perkebunan karet yang menghasilkan (12 jenis gulma). Ini menunjukkan bahwa jumlah jenis gulma pada perkebunan karet dipengaruhi oleh umur tanaman karet TBM (< 5 tahun) dan fase TM (> 5 tahun). Perbedaan umur tanaman karet TM dan TBM mempengaruhi besarnya penutupan tajuk pada perkebunan karet. Pada perkebunan karet belum menghasilkan, penutupan tajuk tidak terlalu tinggi bila dibandingkan dengan perkebunan karet TM. Hal ini mengakibatkan adanya perbedaan jumlah cahaya yang sampai ke tanah yang ditumbuhi gulma. Menurut Lubis (1992) dalam Meilin (2006) dan Budiarto (2001), jenis gulma yang tumbuh dan mendominasi suatu areal tergantung dari lokasi, iklim setempat, dan cahaya yang diterima oleh gulma tersebut.

2.4 Gulma pada Perkebunan Karet dan Pengendalianya

Kemunculan gulma pada perkebunan apapun selalu dianggap sebagai penganggu yang merugikan dan perlu untuk dikendalikan. Tidak terkecuali pada perkebunan karet. Masalah gulma menjadi sangat penting karena gulma dapat menjadi kompetitor yang kuat bagi tanaman. Pengendalian gulma pada tanaman karet harus dilakukan ketika tanaman masih dalam fase pimbibitan, sampai dengan tanaman fase menghasilkan (TM).


(38)

2.4.1 Gulma pada Perkebunan Karet

Menurut Tim Penulis PS (2009), terdapat cukup banyak jenis gulma yang tumbuh pada perkebunan karet. Beberapa jenis gulma yang merugikan dan perlu untuk dikendalikan antara lain alang-alang (Imperata cylindrica), sembung rambat (Mikania micranta), krinyuhan (Chromolaena odorata), harendong (Melastoma malabathricum), pakis kawat (Glichenia linearis) dan ficus (Ficus sp.). Sedangkan menurut Tjitrosoedirdjo, dkk. (1984) jenis-jenis gulma penting pada perkebunan karet di antaranya yaitu jenis gulma golongan rumput (Imperata cylindrica, Axonophus compressus, Panicum repens, Paspalum conjugatum, Ottochloa nodosa, dan Polygala paniculata), jenis daun lebar (Mikania cordata, M. micrantha, Melastoma malabatrichum, Ageratum conyzoides, Clibadium surinamensis, Dryopteris arida, dan Nephrolepsis hisserata), serta jenis teki (Cyperus kyllingia, C. rotundus, dan Scleria sumatrensis).

Dalam beberapa penelitian, Supriyadi (2001) mencatat jenis-jenis gulma yang terdapat pada perkebunan karet di Perkebunan Getas, Salatiga, Jawa Tengah adalah gulma dengan jenis daun lebar (famili Leguminoceae dan Borreria latifolia) serta gulma jenis rumputan (Panicum trichoides, Setaria berbata, dan Ottochloa nodosa). Sedangkan Mustikaningsih (2001) mencatat beberapa jenis gulma pada perkebunan karet di Cibungur – Sukabumi, diantaranya Boreria alata, Heydiotis corymbosa, Synedrella nodiflora, Digitaria ciliaris, Axonophus


(39)

Gulma-gulma tersebut dikendalikan dengan cara mekanik, manual, bahkan kimiawi untuk menghindari persaingan antar gulma dan tanaman sehingga tidak terjadi kerugian dan kehilangan hasil akibat gulma yang tumbuh.

2.4.2 Pengendalian Gulma pada Perkebunan Karet

Kegiatan pemeliharan dalam budidaya tanaman karet merupakan satu hal yang sangat penting untuk dilakukan karena akan menentukan keberhasilan budidaya itu. Keberhasilan pengendalian gulma merupakan salah satu faktor penentu tercapainya produksi yang tinggi. Tanpa adanya pegendalian terhadap gulma, maka akan muncul beberapa kerugian. Kerugian akibat adanya gulma antara lain menyebabkan pertumbuhan terganggu sehingga menyebabkan fase vegetatif lebih lama, terjadi penurunan kualitas dan hasil produksi (produksi lateks), kinerja yang ada di kebun (pemeliharaan) terganggu, mempersulit penyadapan, menjadi inang hama dan penyakit bagi tanaman, biaya pengendalian mahal, menekan

pertumbuhan tanaman budidaya akibat alelokimia yang dihasilkan gulma (Barus, 2000; Triharso, 1994).

Gulma dapat dikendalikan melalui berbagai aturan dan karantina, secara biologi, secara fisik dengan merusak bagian tubuh gulma, melalui budidaya atau kultur teknis, secara mekanis dengan alat mekanis bermesin dan nonmesin, serta dengan cara kimiawi menggunakan herbisida. Pada fase TBM, pengendalian gulma dilakukan dengan menanam LCC (Legume Cover Crop) yang ditanam 1,5 – 2m dari barisan tanam bersamaan dengan penanaman karet. Selain dengan menanam LCC, pengendalian juga dilakukan dengan melakukan pemeliharaan piringan (d = 1 – 1,5m) secara manual (pengoretan) dan juga kimiawi jika tanaman berumur


(40)

>2tahun menggunakan herbisida (Tim Penulis PS, 2009). Menurut

Tjitrosoedirdjo dkk. (1984) dan Setyamidjaja (1993), pengendalian TBM 1 – 5 dilakukan pada jalur (strip) tanaman karet dengan lebar 1 – 2 m ke kanan-kiri tanaman dengan frekuensi pengendalian sebanyak 2 – 4 kali pada bulan Maret, Juni, September, dan Desember (Anwar, 2001).

Setelah tanaman karet memasuki fase TM, gulma akan dikendalikan dengan mengikuti anjuran. Pengendalian gulma pada jalur sadap dilakukan secara manual dan kimiawi. Pengendalian dengan cara manual/fisik tidak sering dilakukan pada budidaya tanaman karet, namun tetap dilakukan untuk mengendalikan gulma yang merambat di pohon. Pengendalian gulma secara manual/fisik yang seringkali dilakukan adalah membabat atau mengored (Tjitrosoedirjo dkk., 1984), sedangkan pengendalian secara kimiawi dapat menggunakan herbisida pasca tumbuh dengan merek dagang seperti Gramoxone 1,5l dalam 500 l air/ha, Ustinex 1kg dalam 250 l air/ha, atau Round Up 1,5 l dalam 500 l air/ha (Tim Penulis PS, 2009). Pengendalian kimiawi pada tanaman menghasilkan dilakukan sebanyak 2 – 3 kali yaitu pada bulan Maret, Juni, dan September (Anwar, 2001).

Menurut Riadi dkk. (2011), herbisida merupakan suatu bahan atau senyawa kimia yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan atau mematikan tumbuhan. Herbisida ini dapat mempengaruhi satu atau lebih proses dalam tumbuhan (seperti pada proses pembelahan sel, perkembangan jaringan, pembentukan klorofil, fotosintesis, respirasi, metabolisme nitrogen, aktivitas enzim, dsb.) yang sangat perlu dilakukan oleh tumbuhan untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Herbisida bersifat racun terhadap gulma dan juga terhadap tanaman.


(41)

Herbisida yang diaplikasikan dengan dosis tinggi akan mematikan seluruh bagian yang dan jenis tumbuhan. Pada dosis yang lebih rendah, herbisida akan

membunuh tumbuhan tertentu dan tidak merusak tumbuhan yang lainnya. Kecepatan aksi herbisida dalam meracuni gulma bergantung pada kondisi eksternal; seperti kelembapan udara, suhu dan kadar air dalam tanah. Penggunaan herbisida pada perkebunan karet menjadi utama dikarenakan

keefektifan dan keefisienannya. Dalam perkebunan karet terdapat beberapa jenis herbisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan gulma pada tanaman karet adalah glifosat, parakuat (Anwar, 2009 & Kementan 2011), diuron, oksifluorfen, dan metil metsulfuron (Kementan, 2011).

2.5Amonium Glufosinat

Amonium glufosinat merupakan herbisida pasca tumbuh bersifat kontak non selektif (Tomlin, 1997) berspektrum luas yang digunakan untuk mengendalikan gulma pada lahan yang terdapat tanaman budidaya dan juga pada lahan yang tidak digunakan untuk pertanaman (ECPRP, 2002 dan Jewell & Buffin, 2001). Struktur amonium glufosinat disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur Kimia Amonium Glufosinat Sumber: European Commission Peer Review Programme , (2002).


(42)

Cara kerja amonium glufosinat adalah menghambat sintesis glutamin dari glutamat (Tomlin, 1997, Manderscheid and Wild, 1986) yang diperlukan untuk detoksifikasi amonia (NH4+) sehingga meningkatkan kadar amonia hingga mencapai kadar toksik dalam jaringan daun di dalam kloroplas yang menyebabkan fotosintesis terhenti dan mati (Jewell and Buffin, 2001) dan (Kocher and Lotzche, 1985) dalam (Perkins, 1990). Bahan aktif ini dapat berpindah dalam daun mulai dari pangkal daun menuju ujung daun (Tomlin, 1997) namun tidak dapat berpindah ke bagian lain dari gulma seperti stolon, rimpang.

Dalam kondisi normal, amonia diproduksi sebagai hasil dari berbagai proses-proses metabolik tanaman, yaitu membentuk glutamin dari asam glutamik. Selama proses fotosintesis berlangsung, seringkali dihubungkan dengan pembentukan amonia. Akumulasi amonia akan lebih tinggi pada amonium glufosinat yang diaplikasikan pada gulma yang terkena cahaya langsung daripada gulma yang tidak terkena cahaya secara langsung (ternaungi). Gejala keracunan akan menyebar dengan cepat dibawah cahaya (Kocher, 1983) dalam (Perkins, 1990). Hal tersebut lebih berkaitan dengan kelembaban relatif pada lahan karena Kelembaban relatif menunjukkan pengaruh yang lebih tinggi dalam menyebabkan keracunan (Anderson et al, 1993). Amonium glufosinat yang diaplikasikan akan menunjukan gejala keracunan antara 2 – 5 hari setelah aplikasi, dan umumnya diaplikasikan dengan dosis 0,6 – 1 kg/ha (3 – 5 l/ha dari formulasi produk). Gulma yang teraplikasi akan mati antara 1 – 2 minggu, lebih cepat daripada herbisida glifosat dan lebih lambat dari herbisida parakuat (Perkins, 1990).


(43)

Waktu paruh dalam tanah ditemukan pada berbagai studi laboratorium dari 3 - 42 hari sampai lebih dari 70 hari pada studi lainnya. Waktu paruh terpendek di tanah tergantung dari kandungan bahan organik dan liat (Jewell dan Buffin, 2001). Menurut Tomlin (1997), gejala keracunan yang disebabkan oleh herbisida

amonium glufosinat hanya tampak pada bagian daun, meracuni dari pangkal daun menuju ujung daun. Amonium glufosinat digunakan untuk mengendalikan gulma daun lebar tahunan dan semusim, serta gulma rumput pada perkebunan buah, karet, dan kelapa sawit (Tomlin, 1997).


(44)

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di perkebunan karet milik PTPN 7 Unit Usaha Way Galih Afdeling I, Tanjung Bintang, Lampung Selatan dan Laboratorium Gulma Fakultas Pertanian UNILA pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2013. 3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah herbisida Basta 150 SL dengan bahan aktif amonium glufosinat 150 g/l, tanaman karet dengan umur seragam 19 tahun, dan air. Sedangkan alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain knapsack sprayer dengan nosel kipas berwarna biru, gelas ukur, pipet gondok, timbangan analitik, ember, 1 buah oven, kuadran (0,5 x 0,5 m), cangkul, sabit, cutter/pisau, kantong pastik dan alat bantu lainya.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian uji efikasi ini dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan perlakuan sebanyak enam buah (herbisida amonium glufosinat 225, 300, 375, dan 450 g.ha-1, penyiangan mekanis, dan kontrol/ tanpa


(45)

Tabel 1. Dosis Amonium Glufosinat yang diuji.

No. Perlakuan Dosis

Formulasi

Dosis Bahan Aktif

(g ha-1) Bahan Aktif Nama Dagang

1 Amonium Glufosinat Basta 150 SL 1,5 l ha-1 225 2 Amonium Glufosinat Basta 150 SL 2,0 l ha-1

300 3 Amonium Glufosinat Basta 150 SL 2,5 l ha-1 375 4 Amonium Glufosinat Basta 150 SL 3,0 l ha-1

450

5 Penyiangan Mekanis - - -

6 Kontrol - - -

Masing-masing perlakuan diulang sebanyak empat kali. Seluruh data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan ANARA. Homogenitas data di uji dengan menggunakan uji Bartlet dan aditivitas data diuji dengan uji Tuckey. Teknik pemisahan nilai tengah diuji dengan menggunakan uji BNT (beda nyata terkecil) pada taraf 5%.

3.4 Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan terhitung sejak bulan Juni sampai dengan Agustus 2013 di perkebunan karet milik PTPN 7 Unit Usaha Way Galih, Tanjung Bintang, Lampung Selatan. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan plotting tempat sebanyak 24 satuan percobaan dengan ukuran 3m x 16,5 m dan jumlah tanaman contoh 5 tanaman (Gambar 4).

Aplikasi herbisida dilakukan dengan menggunakan knapsack sprayer dengan nosel warna biru. Sebelum aplikasi dilakukan kalibrasi dengan metode luas dan diperoleh volume semprot sebanyak 2,5 l untuk luasan 49,5 m-2. Herbisida amonium glufosinat diaplikasikan pada gawangan (kanan dan kiri tanaman karet dengan lebar bidang semprot keseluruhan 3m) yang diaplikasikan tanpa perekat


(46)

(sticker). Kebutuhan herbisida yang digunakan dalam luasan 49,5 m2 masing- masing adalah P1= 7,425 ml, P2= 9,9 ml, P3= 12,375 ml, dan P4= 14,85 ml. Saat aplikasi, penutupan gulma pada masing-masing petak percobaan berkisar 98- 100%. Tata letak percobaan disajikan pada Gambar 3.

Keterangan:

P1 = Amonium Glufosinat 225 g ha-1 P2 = Amonium Glufosinat 300 g ha-1 P3 = Amonium Glufosinat 375 g ha-1 P4 = Amonium Glufosinat 450 g ha-1 P5 = Penyiangan Mekanis

P6 = Kontrol

Gambar 3. Tata Letak Percobaan

Penyiangan mekanis dilakukan hanya sekali, yaitu pada hari yang bersamaan ketika aplikasi herbisida amonium glufosinat yang menggunakan alat berupa sabit dan cangkul. Sebelum gulma disiangi, pengambilan contoh gulma pada petak percobaan mekanis dilakukan dengan kuadrat 0,5 m x 0,5 m yang akan digunakan sebagai penentu gulma dominan saat aplikasi berdasarkan nilai SDR.


(47)

3.5 Variabel Pengamatan

Kegiatan pengamatan dilakukan terhadap beberapa variabel pengamatan, yaitu persentase penutupan gulma total, persentase keracunan gulma total, serta bobot gulma kering total dan dominan.

3.5.1 Persentase Penutupan Gulma Total

Persentase penutupan gulma diperoleh dari rerata pengamatan petak percobaan yang diamati oleh minimal 2 orang dengan menggunakan metode visual yang dilakukan pada minggu ke 2, 4, dan 6 setalah aplikasi. Persentase penutupan gulma diamati untuk mengetahui dominansi gulma total dalam menguasai lahan. 3.5.2 Persentase Keracunan Gulma Total

Persentase keracunan gulma diamati bersamaan dengan persentase penutupan gulma dengan metode visual terhadap gulma total pada 2, 4, dan 6 MSA. Pengamatan persentase keracunan gulma pada tiap perlakuan ini akan dibandingkan dengan perlakuan kontrol yang ada. Data yang diperoleh diharapkan dapat menjadi penunjang dan pendukung bagi data bobot gulma kering yang menggambarkan keefektifan herbisida dalam mengendalikan gulma dominan.

3.5.3 Bobot Kering Gulma Total dan Dominan

Pengambilan contoh gulma dilakukan sebelum dan sesudah aplikasi. Jumlah contoh gulma diambil dari dua petak contoh dengan menggunakan kuadran berukuran 0,5 m x 0,5 m sebanyak 2 titik pada setiap petak percobaan.


(48)

Sebelum aplikasi, pengambilan contoh gulma hanya dilakukan pada perlakuan 5 (penyiangan mekanis) untuk semua ulangan pada 0 MSA. Sedangkan

pengambilan contoh gulma setelah aplikasi untuk data biomasa gulma dilakukan pada minggu ke 4, 8, dan 12 setelah aplikasi. Letak petak contoh ditetapkan secara sistematis seperti pada Gambar 4.

Keterangan:

1. Letak pengambilan contoh gulma pada 4 MSA 2. Letak pengambilan contoh gulma pada 8 MSA 3. Letak pengambilan contoh gulma pada 12 MSA

Gambar 4. Tata Letak Pengambilan Contoh Gulma

Contoh gulma yang telah diambil selanjutnya dipisahkan berdasarkan jenis gulma untuk dikeringkan di dalam oven dengan suhu 800C selama 48 jam atau sampai mencapai bobot kering konstan. Contoh gulma ini selanjutnya ditimbang untuk mendapatkan data bobot keringnya.

Untuk mendapatkan jenis gulma dominan maka perlu dihitung nilai SDR masing-masing gulma yang ada. Nilai SDR tersebut akan menggambarkan dominansi gulma terhadap lahan pada petak percobaan dengan menggunakan rumus : a. Dominansi Mutlak (DM)


(49)

b. Dominansi Nisbi (DN)

Dominansi Nisbi = DM satu spesies

DM semua spesies � 100%

c. Frekuensi Mutlak (FM)

Jumlah kemunculan gulma tertentu pada setiap ulangan. d. Frekuensi Nisbi (FN)

Frekuensi Nisbi (FN) = FM jenis gulma tertentu

Total FM semua jenis gulma � 100%

e. Nilai Penting (NP)

Jumlah nilai semua peubah nisbi yang digunakan (DN + FN) f. Summed Dominance Ratio (SDR)

SDR = Nilai Penting

Jumlah peubah nisbi

=

��

2

Nilai SDR yang didapatkan akan digunakan untuk menghitung nilai koefisien komunitas (C). Jika nilai C lebih dari 75% maka komposisi gulma kedua pada kedua komunitas tersebut adalah sama (Tjitrosoedirdjo dkk, 1984) atau dianggap tidak terjadi perubahan komposisi gulma. Menurut Direktorat Pupuk dan

Pestisida (2012), nilai C dihitung dengan rumus:

C = (2 �)

+

100%

Ketrangan :

C = koefisien komunitas

W = nilai terendah dari dua komunitas yang dibandingkan a = jumlah dari seluruh nilai SDR pada komunitas I


(50)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan ini adalah: 1. Semua taraf dosis herbisida amonium glufosinat yang diuji (225 – 450 g ha-1)

mengendalikan gulma total, gulma golongan daun lebar, dan gulma dominan Selaginella wildenowii sampai dengan 12 MSA pada perkebunan karet menghasilkan.

2. Gulma dominan Cyrtococcum acrescens tidak terkendali oleh seluruh taraf dosis herbisida amonium glufosinat, namun gulma golongan rumput serta gulma dominan Ottochloa nodosa dapat dikendalikan hanya pada taraf dosis tertinggi, yaitu 450 g ha-1 pada 4 MSA pada perkebunan karet menghasilkan. 3. Berdasarkan nilai koefisien komunitas, perlakuan herbisida amonium

glufosinat pada taraf dosis 300 – 450 g ha-1 menyebabkan perubahan komposisi gulma sampai dengan 8 MSA, namun penyiangan mekanis tidak menyebabkan perubahan komposisi gulma sampai dengan 12 MSA.

4. Perlakuan penyiangan mekanis menimbulkan terjadinya perubahan komposisi gulma pada 4, 8, dan 12 MSA berdasarkan nilai koefisien komunitas.


(51)

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan herbisida amonium glufosinat pada tanaman budidaya yang berbeda, variabel pengamatan yang lebih banyak, dan pada umur tanaman karet yang berbeda sehingga lebih memperkuat hasil dari penelitian sebelumnya.


(52)

PUSTAKA ACUAN

Anderson, D. M. , C. J. Swanton, J.C. Hall, and B. G. Mersey. J. 1993. The Influence of Temperature and Relative Humidity on The Efficacy of Glufosinate-Ammonium. Journal Weed Research 33(2): 139–147. Anwar , C. 2006. Perkembangan Pasar Dan Prospek Agribisnis Karet

Di Indonesia. Lokakarya Budidaya Tanaman Karet pada 4-6 September 2006. Medan. Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet. 19 hlm. _________. 2001. Budidaya Karet Pusat Penelitian Karet Medan.

http://migropolus.com/ brosur/budidaya%2520karet.pdf. Diakses pada 17 Agustus 2014.

Anwar, R. 2009. Uji Berbagai Herbisida dalam Pengendalian Gulma Tanaman Karet. Universitas Prof. Hazairin. Bengkulu. Skripsi.

Barus, E. 2003. Pengelolaan Gulma di Perkebunan. Yogjakarta: Kanisius. 88 hlm.

Bappenas dan BPS. 2013. Data dan Informasi Kinerja Pembangunan 2004 - 2012. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Pusat Statistik (BPS). Jakarta. 158 hlm.

Badan Pusat Statistik. 2013. Produksi Karet Indonesia. http://www.bps. go.id/ tanaman perkebunan.php?kat=3. Diakses pada 17 September 2013. Budiarto. 2001. Pengendalian Gulma Kelapa Sawit (Elaeis quineensis Jacq.) Di

Kebun Sekunyir PT Indrotruba Tengah, Kalimantan Tengah. Skripsi Fakultas Pertanian IPB.

Cox, C. 1996. Herbicide Factsheet Glufosinate. Journal of Pesticide Reform 6(4): 1-5.


(53)

Damanik, S. 2012. Pengembangan Karet (Hevea brasiliensis) Berkalanjutan Indonesia. Jurnal Perspektif 11(1): 91 – 102.

Damanik, S., M. Syakir, M. Tasma, dan Siswanto. 2010. Budidaya dan Pasca Panen Karet. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Jakarta. 103 hlm.

Direktorat Pupuk dan Pestisida. 2012. Metode Standar Pengujian Herbisida. Direktorat Sarana dan Prasarana Pertanian. Jakarta.

Dijetbun. 2012. Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Tahunan, Pedoman Teknis Pengembangan Tanaman Karet Tahun 2013. Jakarta. 31 hlm.

________. 2013. Suksesi Gulma pada Tanaman Perkebunan. http://ditjenbun. deptan.go.id/bbpptpsurabaya/berita-234-suksesi-gulma-pada-tanaman-perkebunan-.html. Diakses pada 19 Agustus 2013.

________. 2013. Luasan Karet Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2004 – 2013. http://www.pertanian.go.id/IP_ASEM_BUN_2013/Areal-Karet.pdf. Diakses pada 27 Agustus 2014.

________. 2013. Produksi Karet Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2004 – 2013. http://www.pertanian.go.id/IP_ASEM_BUN_2013/Produksi-Karet.pdf. Diakses pada 27 Agustus 2014.

European Commission Peer Review Programme (ECPRP). 2002. Glufosinate-ammonium Monograph. Rapporteur Member State: Sweden.

Girsang, W. 2005. Pengaruh Tingkat Dosis Herbsida Isopropil Amina Glifosat dan Selang Waktu Pencucian setelah Aplikasi terhadap Efektifitas Pengendalian Gulma pada Perkebunan Karet. http://repostory.usu.ac.id/ bitstream/16342/chapter%2011.pdf. Diakses pada 15 Juli 2014.

Jewell, T and D. Buffin. 2001. Health and environmental impacts of glufosinate ammonium. Editing by Pete Riley, Michael Warhurst, Emily Diamand and Helen Barron. Friends of the Earth: The Pesticides Action Network UK. 22 pp.

Johnny, M. 2006. Dasar Dasar Mata Kuliah Gulma di Jurusan Biologi.


(54)

Kementrian Pertanian Republik Indonesia (Kementan). 2011. Pestisida Pertanian dan Kehutanan. Koperasi Bina Sarana Pertanian. Jakarta.

879 hlm.

King, L.J.1974. Weeds of the World, Biology and Control. First Wiley Eastern Reprint. Printed in India. 526 p.

Kreier, H.P and H. Schneider. 2006. Phylogeny and Biogeography of The Staghorn Fern Genus Platycerium (Polypodiaceae, Polypodiidae). American Journal of Botany 93(2): 217–225.

Kropff, M.J., and H.H. van Laar. 1993. Modelling Crop- Weed Interactions. International Rice Research Institute. Philipine. 274 p.

Manderscheid, R. and A. Wild. 1986. Studies on The Mechanism of Inhibition by Phosphinothricin of Glutamine Synthestase isolated from Triticium aestivum L. Journal Plant Physiol 123(2):135–142.

Meilin, A. 2006. Studi Dominansi dan Teknik Pengendalian Gulma Pada

Perkebunan Karet (Studi Kasus Di Desa Tunas Baru, Kecamatan Sekernan, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi. 7 hlm.

Moenandir, J. 2010. Ilmu Gulma. Malang. Universitas Brawijaya Press. 162 hlm. Mustikaningsih, N. 2001. Efikasi Herbisida Carfentrazone-Ethyl dan

Pengaruhnya terhadap Komposisi Gulma pada Jalur Tanaman Karet Praproduksi. FMIPA IPB. Skripsi. 27 hlm.

Perkins, G.R. 1990. Proceedings of the 9th Australian Weed Conference. Adelaide, South Australia.

Purnomo, H. 2011. Perubahan Komunitas Gulma dalam Suksesi Sekunder pada Area Persawahan dengan Genangan Air yang Berbeda. Jurnal Bioma 1(2). Riadi, M., R. Sjahril, dan E. Syam’un. 2011. Bahan Ajar Mata Kuliah Herbisida

dan Aplikasinya. Universitas Hasanudin. Fakultas Pertanian. 140 hlm. Sembodo, D.R.J. 2010. Gulma dan Pengelolaanya. Graha Ilmu. Yogyakarta.

166 hlm.


(55)

Soedjono, T. 2006. Gulma dalam Agroekosistem: Peranan, Masalah, dan Pengelolaanya. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada pada tanggal 5 Juni 2006 di Yogyakarta. 21 hlm.

Soerjani, M.1986. Arah Pengelolaan Gulma di Waktu Mendatang dalam Kaitannya dengan Wawasan Lingkungan. Konverensi VIII HIGI di Bandung.

Tim Penulis PS. 2009. Panduan Lengkap Tanaman Karet. Penebar Swadaya. Jakarta.

Tomlin, C.D.S. 1997. The Pesticide Manual (Eleventh edition). United Kingdom : British Crop Protection Council. 1606 p.

Tjitrosoedirdjo, S., I. H. Utomo, dan J. Wiroatmodjo. 1984. Pengelolaan Gulma di Perkebunan. Gramedia. Jakarta. 207 hlm.

Triharso. 1994. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 362 hlm.

Weed Science Society of America (WSSA). 2014. Ottochloa nodosa.

<wssa.net/wp-content/uploads/ottochloa-nodosa.pdf> . Diakses pada 15 Juli 2014.


(1)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan ini adalah: 1. Semua taraf dosis herbisida amonium glufosinat yang diuji (225 – 450 g ha-1)

mengendalikan gulma total, gulma golongan daun lebar, dan gulma dominan Selaginella wildenowii sampai dengan 12 MSA pada perkebunan karet menghasilkan.

2. Gulma dominan Cyrtococcum acrescens tidak terkendali oleh seluruh taraf dosis herbisida amonium glufosinat, namun gulma golongan rumput serta gulma dominan Ottochloa nodosa dapat dikendalikan hanya pada taraf dosis tertinggi, yaitu 450 g ha-1 pada 4 MSA pada perkebunan karet menghasilkan.

3. Berdasarkan nilai koefisien komunitas, perlakuan herbisida amonium glufosinat pada taraf dosis 300 – 450 g ha-1 menyebabkan perubahan komposisi gulma sampai dengan 8 MSA, namun penyiangan mekanis tidak menyebabkan perubahan komposisi gulma sampai dengan 12 MSA.

4. Perlakuan penyiangan mekanis menimbulkan terjadinya perubahan komposisi gulma pada 4, 8, dan 12 MSA berdasarkan nilai koefisien komunitas.


(2)

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan herbisida amonium glufosinat pada tanaman budidaya yang berbeda, variabel pengamatan yang lebih banyak, dan pada umur tanaman karet yang berbeda sehingga lebih memperkuat hasil dari penelitian sebelumnya.


(3)

PUSTAKA ACUAN

Anderson, D. M. , C. J. Swanton, J.C. Hall, and B. G. Mersey. J. 1993. The Influence of Temperature and Relative Humidity on The Efficacy of Glufosinate-Ammonium. Journal Weed Research 33(2): 139–147.

Anwar , C. 2006. Perkembangan Pasar Dan Prospek Agribisnis Karet

Di Indonesia. Lokakarya Budidaya Tanaman Karet pada 4-6 September 2006. Medan. Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet. 19 hlm.

_________. 2001. Budidaya Karet Pusat Penelitian Karet Medan.

http://migropolus.com/ brosur/budidaya%2520karet.pdf. Diakses pada 17 Agustus 2014.

Anwar, R. 2009. Uji Berbagai Herbisida dalam Pengendalian Gulma Tanaman Karet. Universitas Prof. Hazairin. Bengkulu. Skripsi.

Barus, E. 2003. Pengelolaan Gulma di Perkebunan. Yogjakarta: Kanisius. 88 hlm.

Bappenas dan BPS. 2013. Data dan Informasi Kinerja Pembangunan 2004 - 2012. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Pusat Statistik (BPS). Jakarta. 158 hlm.

Badan Pusat Statistik. 2013. Produksi Karet Indonesia. http://www.bps. go.id/ tanaman perkebunan.php?kat=3. Diakses pada 17 September 2013.

Budiarto. 2001. Pengendalian Gulma Kelapa Sawit (Elaeis quineensis Jacq.) Di Kebun Sekunyir PT Indrotruba Tengah, Kalimantan Tengah. Skripsi Fakultas Pertanian IPB.

Cox, C. 1996. Herbicide Factsheet Glufosinate. Journal of Pesticide Reform 6(4): 1-5.


(4)

Damanik, S. 2012. Pengembangan Karet (Hevea brasiliensis) Berkalanjutan Indonesia. Jurnal Perspektif 11(1): 91 – 102.

Damanik, S., M. Syakir, M. Tasma, dan Siswanto. 2010. Budidaya dan Pasca Panen Karet. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Jakarta. 103 hlm.

Direktorat Pupuk dan Pestisida. 2012. Metode Standar Pengujian Herbisida. Direktorat Sarana dan Prasarana Pertanian. Jakarta.

Dijetbun. 2012. Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Tahunan, Pedoman Teknis Pengembangan Tanaman Karet Tahun 2013. Jakarta. 31 hlm.

________. 2013. Suksesi Gulma pada Tanaman Perkebunan. http://ditjenbun. deptan.go.id/bbpptpsurabaya/berita-234-suksesi-gulma-pada-tanaman-perkebunan-.html. Diakses pada 19 Agustus 2013.

________. 2013. Luasan Karet Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2004 – 2013. http://www.pertanian.go.id/IP_ASEM_BUN_2013/Areal-Karet.pdf. Diakses pada 27 Agustus 2014.

________. 2013. Produksi Karet Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2004 – 2013. http://www.pertanian.go.id/IP_ASEM_BUN_2013/Produksi-Karet.pdf. Diakses pada 27 Agustus 2014.

European Commission Peer Review Programme (ECPRP). 2002. Glufosinate-ammonium Monograph. Rapporteur Member State: Sweden.

Girsang, W. 2005. Pengaruh Tingkat Dosis Herbsida Isopropil Amina Glifosat dan Selang Waktu Pencucian setelah Aplikasi terhadap Efektifitas Pengendalian Gulma pada Perkebunan Karet. http://repostory.usu.ac.id/ bitstream/16342/chapter%2011.pdf. Diakses pada 15 Juli 2014.

Jewell, T and D. Buffin. 2001. Health and environmental impacts of glufosinate ammonium. Editing by Pete Riley, Michael Warhurst, Emily Diamand and Helen Barron. Friends of the Earth: The Pesticides Action Network UK. 22 pp.

Johnny, M. 2006. Dasar Dasar Mata Kuliah Gulma di Jurusan Biologi.


(5)

Kementrian Pertanian Republik Indonesia (Kementan). 2011. Pestisida Pertanian dan Kehutanan. Koperasi Bina Sarana Pertanian. Jakarta.

879 hlm.

King, L.J.1974. Weeds of the World, Biology and Control. First Wiley Eastern Reprint. Printed in India. 526 p.

Kreier, H.P and H. Schneider. 2006. Phylogeny and Biogeography of The Staghorn Fern Genus Platycerium (Polypodiaceae, Polypodiidae). American Journal of Botany 93(2): 217–225.

Kropff, M.J., and H.H. van Laar. 1993. Modelling Crop- Weed Interactions. International Rice Research Institute. Philipine. 274 p.

Manderscheid, R. and A. Wild. 1986. Studies on The Mechanism of Inhibition by Phosphinothricin of Glutamine Synthestase isolated from Triticium aestivum L. Journal Plant Physiol 123(2):135–142.

Meilin, A. 2006. Studi Dominansi dan Teknik Pengendalian Gulma Pada

Perkebunan Karet (Studi Kasus Di Desa Tunas Baru, Kecamatan Sekernan, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi. 7 hlm.

Moenandir, J. 2010. Ilmu Gulma. Malang. Universitas Brawijaya Press. 162 hlm.

Mustikaningsih, N. 2001. Efikasi Herbisida Carfentrazone-Ethyl dan Pengaruhnya terhadap Komposisi Gulma pada Jalur Tanaman Karet Praproduksi. FMIPA IPB. Skripsi. 27 hlm.

Perkins, G.R. 1990. Proceedings of the 9th Australian Weed Conference. Adelaide, South Australia.

Purnomo, H. 2011. Perubahan Komunitas Gulma dalam Suksesi Sekunder pada Area Persawahan dengan Genangan Air yang Berbeda. Jurnal Bioma 1(2). Riadi, M., R. Sjahril, dan E. Syam’un. 2011. Bahan Ajar Mata Kuliah Herbisida

dan Aplikasinya. Universitas Hasanudin. Fakultas Pertanian. 140 hlm. Sembodo, D.R.J. 2010. Gulma dan Pengelolaanya. Graha Ilmu. Yogyakarta.

166 hlm.


(6)

Soedjono, T. 2006. Gulma dalam Agroekosistem: Peranan, Masalah, dan Pengelolaanya. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada pada tanggal 5 Juni 2006 di Yogyakarta. 21 hlm.

Soerjani, M.1986. Arah Pengelolaan Gulma di Waktu Mendatang dalam Kaitannya dengan Wawasan Lingkungan. Konverensi VIII HIGI di Bandung.

Tim Penulis PS. 2009. Panduan Lengkap Tanaman Karet. Penebar Swadaya. Jakarta.

Tomlin, C.D.S. 1997. The Pesticide Manual (Eleventh edition). United Kingdom : British Crop Protection Council. 1606 p.

Tjitrosoedirdjo, S., I. H. Utomo, dan J. Wiroatmodjo. 1984. Pengelolaan Gulma di Perkebunan. Gramedia. Jakarta. 207 hlm.

Triharso. 1994. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 362 hlm.

Weed Science Society of America (WSSA). 2014. Ottochloa nodosa.

<wssa.net/wp-content/uploads/ottochloa-nodosa.pdf> . Diakses pada 15 Juli 2014.