Uji Lanjutan Fitotoksisitas dan Efikasi Herbisida Aminosiklopiraklor pada Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Belum Menghasilkan

(1)

ABSTRACT

PHYTOTOXICITY ADVANCED TEST AND HERBICIDE EFFICACY OF AMINOCYCLOPYRACHLOR IN IMMATURE OIL PALM

(Elaeis guineensis Jacq.)

By

ANISSA INDRA WATI

This research was tested to determine aminocyclopyrachlor herbicide poisoning symptoms, the severity of toxicity of aminocyclopyrachlor herbicide in immature oil palm as affected by different doses of herbicide, the effect of

aminocyclopyrachlor herbicides on the plant growth, and the effectiveness of aminocyclopyrachlor herbicide in controlling weeds in immature oil palm.

The research was conducted from October 2013 – January 2014 in Rajabasa Village, Bandar Lampung and Plant Science Laboratory, Faculty of Agriculture, University of Lampung. The research was arranged in Randomized Completely Block Design with 9 treatments and 4 replications. The treatments: 7,5; 15; 30; 60 g ha-1 aminocyclopyrachlor, 729 g ha-1 glyphosate, 115,2 + 64,8 g ha-1

aminopyralid + trichlopyr, 1297 g ha-1 2,4-D, mechanical control, and control.


(2)

Anissa Indra Wati

Tukey's test, and differences in the value being tested with Least Significant Difference test at 5% level.

The results: (1) aminocyclopyrachlor 15 – 60 g ha-1 cause poisoning symptom on immature oil palm from 2 – 10 Weeks After Application; (2) aminocyclopyrachlor 60 g ha-1 cause the highest level of toxicity compared to aminocyclopyrachlor 7,5

– 30 g ha-1, but is equivalent with three others comparator herbicides;

(3) aminocyclopyrachlor and three others comparator herbicides cause poisoning symptom in leaf midrib, decrease the levels of green leaf midrib but not suppress the addition of plant height; (4) aminocyclopyrachlor 15 – 60 g ha-1 suppress the leaf midrib length equivalent to aminopiralid + trichlopyr 115,2 + 64,8 g ha-1, and

2,4-D 1297 g ha-1. Aminocyclopyrachlor 60 g ha-1 inhibit root growth of plant;

(5) aminocyclopyrachlor herbicide cannot suppress the total dry weight of weeds, but aminocyclopyrachlor 30 and 60 g ha-1 suppress the percentage of the total

weeds cover at 4, 8, and 10 WAA. Aminocyclopyrachlor 60 g ha-1 controls the

Asystasia gangetica at 2, 4, and 8 WAA.


(3)

ABSTRAK

UJI LANJUTAN FITOTOKSISITAS DAN EFIKASI HERBISIDA AMINOSIKLOPIRAKLOR PADA KELAPA SAWIT

(Elaeis guineensis Jacq.) BELUM MENGHASILKAN

Oleh

ANISSA INDRA WATI

Penelitian dilakukan untuk mengetahui gejala keracunan herbisida

aminosiklopiraklor, tingkat keparahan keracunan herbisida aminosiklopiraklor pada beberapa taraf dosis herbisida, pengaruh herbisida aminosiklopiraklor terhadap pertumbuhan tanaman, dan efektivitas herbisida aminosiklopiraklor dalam mengendalikan gulma pada piringan kelapa sawit.

Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Rajabasa, Bandar Lampung dan

Laboratorium Ilmu Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada bulan Oktober 2013 – Januari 2014. Penelitian disusun dalam Rancangan Kelompok Teracak Sempurna dengan 9 perlakuan dan 4 ulangan. Susunan perlakuan: aminosiklopiraklor 7,5; 15; 30; 60 g ha-1, glifosat 729 g ha-1, aminopiralid +


(4)

Anissa Indra Wati

Homogenitas ragam diuji dengan uji Bartlet, aditivitas diuji dengan uji Tukey, dan perbedaan nilai tengah diuji dengan uji Beda Nyata Terkecil taraf 5%.

Hasil penelitian: (1) aminosiklopiraklor 15 – 60 g ha-1 menyebabkan gejala keracunan tanaman kelapa sawit belum menghasilkan dari 2 – 10 MSA; (2) aminosiklopiraklor 60 g ha-1 menyebabkan tingkat keracunan tertinggi

dibandingkan aminosiklopiraklor 7,5 – 30 g ha-1, setara dengan ketiga herbisida pembanding; (3) herbisida aminosiklopiraklor dan herbisida pembanding

menyebabkan pelepah daun tanaman teracuni, menurunkan tingkat hijau pelepah daun tetapi tidak menekan penambahan tinggi tanaman; (4) aminosiklopiraklor 15 – 60 g ha-1 menekan panjang pelepah daun setara dengan aminopiralid+triklopir 115,2+64,8 g ha-1 dan 2,4-D 1297 g ha-1. Aminosiklopiraklor 60 g ha-1

menghambat pertumbuhan akar tanaman; (5) herbisida aminosiklopiraklor tidak menekan bobot kering gulma total, tetapi aminosiklopiraklor 30 dan 60 g ha-1

menekan persentase penutupan gulma total pada 4, 8, dan 10 MSA.

Aminosiklopiraklor 60 g ha-1 mengendalikan Asystasia gangetica pada 2, 4, dan 8

MSA.

Kata kunci: aminosiklopiraklor, efikasi, fitotoksisitas, kelapa sawit belum menghasilkan


(5)

UJI LANJUTAN FITOTOKSISITAS DAN EFIKASI HERBISIDA AMINOSIKLOPIRAKLOR PADA KELAPA SAWIT

(Elaeis guineensis Jacq.) BELUM MENGHASILKAN

Oleh

ANISSA INDRA WATI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

Pada

Jurusan Agroteknologi

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(6)

UJI LANJUTAN FITOTOKSISITAS DAN EFIKASI HERBISIDA AMINOSIKLOPIRAKLOR PADA KELAPA SAWIT

(Elaeis guineensis Jacq.) BELUM MENGHASILKAN

(Skripsi)

Oleh

ANISSA INDRA WATI

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(7)

(8)

(9)

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Indra Putra Subing, Kecamatan Bandar Jaya,

Kabupaten Lampung Tengah pada tanggal 06 Mei 1992. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Bambang Ardiansyah dan Ibu Sulasih. Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) PT. Gula Putih Mataram, Lampung Tengah pada tahun 1998, Sekolah Dasar (SD)

diselesaikan di SDS 01 PT. Gula Putih Mataram, Lampung Tengah pada tahun 2004, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP PT. Gula Putih Mataram, Lampung Tengah pada tahun 2007, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Sugar Group, Lampung Tengah pada tahun 2010.

Penulis terdaftar sebagai mahasiswa reguler Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada tahun 2010 melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Selama menjadi mahasiswa, penulis mengikuti UKMF LS-MATA (Lembaga Studi Mahasiswa Fakultas Pertanian), berkesempatan menjadi asisten praktikum Ilmu dan Teknik Pengendalian Gulma pada tahun 2013. Pada tahun 2014 menjadi asisten Pengelolaan Gulma

Perkebunan D3 Perkebunan dan Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Pada bulan Januari 2013 penulis mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN)Tematik


(11)

Universitas Lampung di Desa Gunung Sangkarang, Kecamatan Blambangan Umpu, Kabupaten Way Kanan. Pada bulan Juli 2013 penulis mengikuti kegiatan Praktik Umum (PU) di PT. Gunung Madu Plantations, Desa Gunung Batin, Kecamatan Terusan Nyunyai, Kabupaten Lampung Tengah.


(12)

PERSEMBAHAN

Alhamdulillahirabbilalamin

Dengan Ketulusan Hati dan Rasa Penuh Syukur, Kupersembahkan

Karya ini Kepada :

Kedua Orang Tuaku

“Ayahanda Bambang Ardiansyah dan Ibunda Sulasih”

untuk Kasih

Sayang dan D

o’

a yang Tiada Henti

Adik-adikku

Zakia Wafa Putri Karimah dan

M. Hilmi Nur Fakhreza”

yang

Menjadi Kebanggaanku

Teman dan Sahabatku yang Selalu Menemani dalama Suka Duka


(13)

Pengetahuan tidaklah cukup, kita harus mengamalkannya.

Niat tidaklah cukup, kita harus melakukannya.

(Johann Wolfgang von Goethe)

Kebanggaan terbesar adalah bukan tidak pernah gagal,

tetapi bangkit setiap kali jatuh.

(Confisius)

Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan

orang tidak menyadari betapa dekatnya

mereka dengan keberhasilan,

saat mereka menyerah.

(Thomas Alfa Edison)

Jadikan keluarga tercinta sebagai motivasi terbesarmu.

(Anissa Indra Wati)


(14)

SANWACANA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Rabb semesta alam atas limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan dapat terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Ibu Prof. Dr. Ir. Nanik Sriyani, M.Sc., selaku Pembimbing Utama atas

kesediaannya untuk memberikan bimbingan, nasihat, kritik, dan saran yang membangun kepada penulis selama pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi;

2. Bapak Dr. Ir. Rusdi Evizal, M.S., selaku Pembimbing Kedua atas

kesediaannya untuk memberikan bimbingan, nasihat, kritik, dan saran yang diberikan kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi;

3. Bapak Ir. Dad Resiworo. J. Sembodo, M.S., selaku Penguji atas segala kritik dan saran yang membangun dalam proses penyelesaian skripsi;

4. Bapak Prof. Dr. Ir.Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung;

5. Bapak Prof. Dr. Ir. Setyo Dwi Utomo, M. Sc., selaku Ketua Bidang Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung;


(15)

6. Bapak Dr. Ir. Kuswanta F. Hidayat, M.P., selaku Ketua Jurusan

Agroteknologi dan Pembimbing Akademik, untuk bimbingan dan pengarahan yang diberikan selama penulis menjadi mahasiswa di Universitas Lampung; 7. Kedua orangtua dan adik-adikku tercinta untuk kasih sayang, dukungan, dan

doa yang diberikan kepada penulis;

8. Teman-teman seperjuangan, Mustajab, S.P, Nurjannah Yuliana Hastuti, S.P, Nana Ratna Wati S.P, terima kasih atas bantuan dan dukungan kalian; 9. Teman-teman AGT’10 KELAS A yang selalu menemani dalam suka dan

duka, Alawiyah, S.P, Ade Yunike Larassati, S.P, Ferdaner Humairah Fazri, S.P, Agung Ari Brata, S.P, Bangun Ferdian, S.P, Galih Dwi Cahyo, S.P, Novri, S.P, Septiana Triyani, S.P, Sherly Ardhani Pithaloka, S.P, Tibor Eka Saputra, S.P dan teman semua yang tidak bisa disebutkan satu per satu; 10. Nico Alfredo, S.P, Rizka Sulung Antika, S.P, Darso Waluyo, S.P, Fernando

Iskandar Damanik, S.P, Anggi V. Ningrum, S.P, atas bantuannya selama melakukan penelitian;

11. Mas Yono selaku tenaga kebun dan seluruh pegawai Sekolah Global Madani untuk bantuannya selama melaksanakan penelitian;

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dan semoga hasil penelitian bermanfaat bagi semua pihak.

Bandar Lampung, September 2014 Penulis


(16)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xxvi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 4

1.3 Landasan Teori ... 4

1.4 Kerangka Pemikiran ... 8

1.5 Hipotesis ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Tanaman Kelapa Sawit ... 11

2.1.1 Morfologi Kelapa Sawit ... 12

2.1.1.1 Akar ... 12

2.1.1.2 Batang ... 12

2.1.1.3 Daun ... 12

2.1.1.4 Bunga ... 13

2.1.1.5 Buah ... 13

2.1.2 Tipe Kelapa Sawit ... 14

2.2 Syarat Tumbuh Kelapa Sawit ... 15

2.3 Pembibitan Kelapa Sawit ... 15

2.4 Pengendalian Gulma Pada Kelapa Sawit ... 16


(17)

xvii

2.6 Fitotoksisitas ... 18

2.7 Herbisida ... 20

2.7.1 Herbisida Aminosiklopiraklor ... 21

2.7.2 Herbisida Aminopiralid ... 23

2.7.3 Herbisida Triklopir ... 25

2.7.4 Herbisida Glifosat ... 26

2.7.5 Herbisida 2,4-D ... 28

III. BAHAN DAN METODE ... 30

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 30

3.2 Bahan dan Alat ... 30

3.3 Metode Penelitian ... 31

3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 32

3.4.1 Penentuan Petak Percobaan ... 32

3.4.2 Penyeragaman Tanaman ... 33

3.4.3 Aplikasi Herbisida ... 33

3.4.4 Penyiangan Mekanis ... 34

3.5 Pengamatan ... 34

3.5.1 Gejala dan Tingkat Keracunan Tanaman ... 34

3.5.2 Pertumbuhan Tanaman ... 35

3.5.2.1 Penambahan Tinggi Tanaman ... 35

3.5.2.2 Penambahan Pelepah Daun Tanaman ... 36

3.5.2.3 Pelepah Daun Tanaman Teracuni ... 36

3.5.2.4 Panjang Pelepah Daun Muda ... 37

3.5.2.5 Tingkat Hijau Daun ... 37

3.5.2.6 Bobot Kering Akar ... 37

3.5.3 Persentase Penutupan Gulma Total ... 38

3.5.4 Bobot Kering Gulma Total ... 38

3.5.5 Bobot Kering Gulma Dominan ... 39

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

4.1 Gejala Keracunan Tanaman ... 40

4.2 Tingkat Keracunan Tanaman ... 42


(18)

xviii

4.4 Penambahan Pelepah Daun Tanaman ... 45

4.5 Pelepah Daun Tanaman Teracuni ... 47

4.6 Panjang Pelepah Daun Muda ... 48

4.7 Tingkat Hijau Daun ... 49

4.8 Bobot Kering Akar ... 51

4.9 Persentase Penutupan Gulma Total ... 52

4.10 Bobot Kering Gulma Total ... 54

4.11 Bobot Kering Gulma Asystasia gangetica ... 55

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

5.1 Kesimpulan ... 58

5.2 Saran ... 59

PUSTAKA ACUAN ... 60


(19)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Perlakuan herbisida. ... 31 2. Pengaruh perlakuan herbisida terhadap tingkat keracunan

tanaman kelapa sawit pada 2, 4, 6, 8, dan 10 MSA. ... 43 3. Pengaruh perlakuan herbisida terhadap penambahan tinggi

tanaman kelapa sawit pada 2, 4, 6, 8, dan 10 MSA. ... 44 4. Pengaruh perlakuan herbisida terhadap penambahan pelepah

daun tanaman kelapa sawit pada 2, 4, 6, 8, dan 10 MSA. ... 46 5. Pengaruh perlakuan herbisida terhadap pelepah daun teracuni

tanaman kelapa sawit pada 4, 6, 8, dan 10 MSA. ... 47 6. Pengaruh perlakuan herbisida terhadap panjang daun muda

tanaman kelapa sawit pada 6, 8, 10 dan 12 MSA. ... 49 7. Pengaruh perlakuan herbisida terhadap tingkat hijau daun

tanaman kelapa sawit pada 4, 8, dan 12 MSA. ... 50 8. Pengaruh perlakuan herbisida terhadap bobot kering akar

tanaman kelapa sawit. ... 51 9. Pengaruh perlakuan herbisida terhadap persentase penutupan

gulma total pada 2, 4, 6, 8, dan 10 MSA. ... 53 10. Pengaruh perlakuan herbisida terhadap bobot kering gulma

total pada 2, 4, 6, 8, dan 10 MSA. ... 54 11. Pengaruh perlakuan herbisida terhadap bobot kering gulma

Asystasia gangetica pada 2, 4, 6, 8, dan 10 MSA. ... 57 12. Nilai scoring tingkat keracunan tanaman pada 2 MSA. ... 66 13. Transformasi √√√(x+0,5) nilai scoring tingkat keracunan tanaman


(20)

xx 14. Analisis ragam transformasi √√√(x+0,5) nilai scoring tingkat

keracunan tanaman pada 2 MSA. ... 67 15. Nilai scoring tingkat keracunan tanaman pada 4 MSA. ... 67 16. Transformasi √√√(x+0,5) nilai scoring tingkat keracunan tanaman

pada 4 MSA. ... 68 17. Analisis ragam transformasi √√√(x+0,5) nilai scoring tingkat

keracunan tanaman pada 4 MSA. ... 68 18. Nilai scoring tingkat keracunan tanaman pada 6 MSA. ... 69 19. Transformasi √√√(x+0,5) nilai scoring tingkat keracunan tanaman

pada 6 MSA. ... 69 20. Analisis ragam transformasi √√√(x+0,5) nilai scoring tingkat

keracunan tanaman pada 6 MSA. ... 70 21. Nilai scoring tingkat keracunan tanaman pada 8 MSA. ... 70 22. Transformasi √√√(x+0,5) nilai scoring tingkat keracunan tanaman

pada 8 MSA. ... 71 23. Analisis ragam transformasi √√√(x+0,5) nilai scoring tingkat

keracunan tanaman pada 8 MSA. ... 71 24. Nilai scoring tingkat keracunan tanaman pada 10 MSA. ... 72 25. Transformasi √√√(x+0,5) nilai scoring tingkat keracunan tanaman

pada10 MSA. ... 72 26. Analisis ragam transformasi √√√(x+0,5) nilai scoring tingkat

keracunan tanaman pada 10 MSA. ... 73 27. Penambahan tinggi tanaman (cm) pada 2 MSA. ... 73 28. Transformasi √(x+0,5) penambahan tinggi tanaman (cm)

pada 2 MSA. ... 74 29. Analisis ragam transformasi √(x+0,5) penambahan tinggi tanaman

(cm) pada 2 MSA. ... 74 30. Penambahan tinggi tanaman (cm) pada 4 MSA. ... 75 31. Analisis ragam penambahan tinggi tanaman (cm)

pada 4 MSA. ... 75 32. Penambahan tinggi tanaman (cm) pada 6 MSA. ... 76


(21)

xxi 33. Analisis ragam penambahan tinggi tanaman (cm)

pada 6 MSA. ... 76 34. Penambahan tinggi tanaman (cm) pada 8 MSA. ... 77 35. Analisis ragam penambahan tinggi tanaman (cm)

pada 8 MSA. ... 77 36. Penambahan tinggi tanaman (cm) pada 10 MSA. ... 78 37. Analisis ragam penambahan tinggi tanaman (cm)

pada 10 MSA. ... 78 38. Penambahan pelepah daun tanaman pada 2 MSA. ... 79 39. Transformasi √√√(x+0,5) penambahan pelepah daun tanaman

pada 2 MSA. ... 79 40. Analisis ragam transformasi √√√(x+0,5) penambahan pelepah

daun tanaman pada 2 MSA. ... 80 41. Penambahan pelepah daun tanaman pada 4 MSA. ... 80 42. Transformasi √√√(x+1) penambahan pelepah daun tanaman

pada4 MSA. ... 81 43. Analisis ragam transformasi √√√(x+1) penambahan pelepah

daun tanaman pada 4 MSA. ... 81 44. Penambahan pelepah daun tanaman pada 6 MSA. ... 82 45. Transformasi √√√(x+4) penambahan pelepah daun tanaman

pada 6 MSA. ... 82 46. Analisis ragam transformasi √√√(x+4) penambahan pelepah

daun tanaman pada 6 MSA. ... 83 47. Penambahan pelepah daun tanaman pada 8 MSA. ... 83 48. Transformasi √√√(x+1) penambahan pelepah daun tanaman

pada 8 MSA. ... 84 49. Analisis ragam transformasi √√√(x+1) penambahan pelepah

daun tanaman pada 8 MSA. ... 84 50. Penambahan pelepah daun tanaman pada 10 MSA. ... 85 51. Transformasi √√√(x+5) penambahan pelepah daun tanaman


(22)

xxii 52. Analisis ragam transformasi √√√(x+5) penambahan pelepah

daun tanaman pada 10 MSA. ... 86 53. Pelepah daun teracuni pada 4 MSA. ... 86 54. Transformasi √√√(x+0,5) pelepah daun teracuni pada 4 MSA. ... 87 55. Analisis ragam transformasi √√√(x+0,5) pelepah daun teracuni

pada 4 MSA. ... 87 56. Pelepah daun teracuni pada 6 MSA. ... 88 57. Transformasi √√√(x+0,5) pelepah daun teracuni pada 6 MSA. ... 88 58. Analisis ragam transformasi √√√(x+0,5) jumlah daun teracuni

tanaman (pelepah) pada 6 MSA. ... 89 59. Pelepah daun teracuni pada 8 MSA. ... 89 60. Transformasi √√√(x+0,5) pelepah daun teracuni pada 8 MSA. ... 90 61. Analisis ragam transformasi √√√(x+0,5) pelepah daun teracuni

pada 8 MSA. ... 90 62. Pelepah daun teracuni pada 10 MSA. ... 91 63. Transformasi √√√(x+0,5) pelepah daun teracuni pada 10 MSA. ... 91 64. Analisis ragam transformasi √√√(x+0,5) pelepah daun teracuni

pada 10 MSA. ... 92 65. Panjang pelepah daun muda tanaman (cm) pada 6 MSA. ... 92 66. Analisis ragam panjang pelepah daun muda tanaman (cm) pada

6 MSA. ... 93 67. Panjang pelepah daun muda tanaman (cm) pada 8 MSA. ... 93 68. Analisis ragam panjang pelepah daun muda tanaman (cm) pada

8 MSA. ... 94 69. Panjang pelepah daun muda tanaman (cm) pada 10 MSA. ... 94 70. Analisis ragam panjang pelepah daun muda tanaman (cm) pada

10 MSA. ... 95 71. Panjang pelepah daun muda tanaman (cm) pada 12 MSA. ... 95


(23)

xxiii 72. Analisis ragam panjang pelepah daun muda tanaman (cm) pada

12 MSA. ... 96 73. Tingkat hijau daun tanaman (su) pada 4 MSA. ... 96 74. Analisis ragam tingkat hijau daun tanaman (su) pada 4 MSA. ... 97 75. Tingkat hijau daun tanaman (su) pada 8 MSA. ... 97 76. Analisis ragam tingkat hijau daun tanaman (su) pada 8 MSA. ... 98 77. Tingkat hijau daun tanaman (su) pada 12 MSA. ... 98 78. Transformasi √√√(x+0,5) tingkat hijau daun tanaman (su) pada

12 MSA. ... 99 79. Analisis ragam transformasi √√√(x+0,5) tingkat hijau daun

tanaman (su) pada 12 MSA. ... 99 80. Bobot kering akar (g/tanaman) pada 12 MSA. ... 100 81. Analisis ragam bobot kering akar (g/tanaman) pada 12 MSA. ... 100 82. Persentase penutupan gulma total (%) pada 2 MSA. ... 101 83. Analisis ragam persentase penutupan gulma total (%)

pada 2 MSA. ... 101 84. Persentase penutupan gulma total (%) pada 4 MSA. ... 102 85. Analisis ragam persentase penutupan gulma total (%)

pada 4 MSA. ... 102 86. Persentase penutupan gulma total (%) pada 6 MSA. ... 103 87. Analisis ragam persentase penutupan gulma total (%)

pada 6 MSA. ... 103 88. Persentase penutupan gulma total (%) pada 8 MSA. ... 104 89. Analisis ragam persentase penutupan persentase gulma total (%)

pada 8 MSA. ... 104 90. Persentase penutupan gulma total (%) pada 10 MSA. ... 105 91. Analisis ragam persentase penutupan gulma total (%)


(24)

xxiv 92. Bobot kering gulma total (g/0,25 m2) pada 2 MSA. ... 106

93. Analisis ragam bobot kering gulma total (g/0,25 m2) pada

2 MSA. ... 106 94. Bobot kering gulma total (g/0,25 m2) pada 4 MSA. ... 107

95. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma total (g/0,25 m2)

pada 4 MSA. ... 107 96. Analisis ragam transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma

total (g/0,25 m2) pada 4 MSA. ... 108

97. Bobot kering gulma total (g/0,25 m2) pada 6 MSA. ... 108

98. Transformasi √(x+0,5) bobot kering gulma total (g/0,25 m2)

pada 6 MSA. ... 109 99. Analisis ragam transformasi √(x+0,5) bobot kering gulma

total (g/0,25 m2) pada 6 MSA. ... 109

100.Bobot kering gulma total (g/0,25 m2) pada 8 MSA. ... 110

101.Transformasi √(x+0,5) bobot kering gulma total (g/0,25 m2)

pada 8 MSA. ... 110 102.Analisis ragam transformasi √(x+0,5) bobot kering gulma

total (g/0,25 m2) pada 8 MSA. ... 111

103.Bobot kering gulma total (g/0,25 m2) pada 10 MSA. ... 111

104.Analisis ragam bobot kering gulma total (g/0,25 m2)

pada 10 MSA. ... 112 105.Bobot kering gulma Asystasia gangetica (g/0,25 m2)

pada 2 MSA. ... 112 106.Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma Asystasia gangetica

(g/0,25 m2) pada 2 MSA. ... 113

107.Analisis ragam transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma

Asystasia gangetica (g/0,25 m2) pada 2 MSA. ... 113

108.Bobot kering gulma Asystasia gangetica (g/0,25 m2)

pada 4 MSA. ... 114 109.Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma Asystasia gangetica


(25)

xxv 110.Analisis ragam transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma

Asystasia gangetica (g/0,25 m2) pada 4 MSA. ... 115

111.Bobot kering gulma Asystasia gangetica (g/0,25 m2) pada

6 MSA. ... 115 112.Transformasi √√(x+0,5) bobot kering gulma Asystasia gangetica

(g/0,25 m2) pada 6 MSA. ... 116

113.Analisis ragam transformasi √√(x+0,5) bobot kering gulma

Asystasia gangetica (g/0,25 m2) pada 6 MSA. ... 116

114.Bobot kering gulma Asystasia gangetica (g/0,25 m2) pada

8 MSA. ... 117 115.Transformasi √(x+0,5) bobot kering gulma Asystasia gangetica

(g/0,25 m2) pada 8 MSA. ... 117

116.Analisis ragam transformasi √(x+0,5) bobot kering gulma

Asystasia gangetica (g/0,25 m2) pada 8 MSA. ... 118

117.Bobot kering gulma Asystasia gangetica (g/0,25 m2)

pada 10 MSA. ... 118 118.Transformasi √√(x+0,5) bobot kering gulma Asystasia gangetica

(g/0,25 m2) pada 10 MSA. ... 119

119.Analisis ragam transformasi √√(x+0,5) bobot kering gulma

Asystasia gangetica (g/0,25 m2) pada 10 MSA. ... 119

120.Jumlah pelepah daun kuncup tanaman kelapa sawit pada

2 – 10 MSA. ... 120 121. Deskripsi gejala keracunan tanaman akibat aplikasi herbisida. ... 121


(26)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Rumus bangun aminosiklopiraklor. ... 22 2. Rumus bangun aminopiralid. ... 23 3. Rumus bangun triklopir. ... 25 4. Rumus bangun glifosat. ... 26 5. Rumus bangun 2,4-D. ... 28 6. Tata letak percobaan. ... 32 7. Denah area aplikasi herbisida. ... 34 8. Denah area pengambilan gulma. ... 39 9. Gejala keracunan perlakuan herbisida aminosiklopiraklor

60 g ha-1. ... 41

10. Kondisi awal tanaman kelapa sawit sebelum aplikasi

Herbisida. ... 124 11. Gejala keracunan tanaman kelapa sawit pada 10 MSA setelah


(27)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan komoditas

perkebunan primadona Indonesia. Di tengah krisis global yang melanda dunia saat ini, industri sawit tetap bertahan dan memberi sumbangan besar terhadap perekonomian negara. Selain mampu menciptakan kesempatan kerja yang luas, industri sawit menjadi salah satu sumber devisa terbesar bagi Indonesia.

Indonesia adalah negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar kedua dunia setelah Malaysia. Pada tahun 2011, Indonesia merupakan negara dengan perkebunan sawit terluas di dunia dengan luas areal perkebunan mencapai 3,97 juta ha, dengan produksi CPO (Crude Palm Oil) mencapai 7,97 juta ton. Namun produksi Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai 11,80 juta ton (Susila, 2011).

Setiap tahunnya terjadi peningkatan luasan areal perkebunan kelapa sawit. Sejak tahun 2005-2010 sudah terjadi peningkatan sekitar 1439,4 ha dari 3593,4 ha (Badan Pusat Statistik, 2012). Dengan meningkatnya luasan areal perkebunan kelapa sawit menyebabkan kebutuhan akan bibit kelapa sawit menjadi meningkat pula.


(28)

2

Menurut Solahudin (2004), keberhasilan pertumbuhan tanaman kelapa sawit di lapangan sangat ditentukan oleh kondisi bibit yang ditanam. Bibit yang

pertumbuhannya baik akan memberikan tanaman yang pertumbuhannya baik pula di lapangan. Selama proses pembibitan, tanaman belum menghasilkan serta tanaman menghasilkan kelapa sawit, kehadiran gulma dapat menimbulkan kerugian yaitu menurunkan produksi karena terjadi persaingan dalam pengambilan air, unsur hara, sinar matahari, dan ruang hidup.

Untuk meningkatkan hasil produksi kelapa sawit maka diperlukan pengelolaan gulma. Dalam usaha perkebunan, keberadaan gulma menjadi salah satu masalah karena membutuhkan tenaga, biaya, dan waktu yang terus menerus untuk

mengendalikannya. Salah satu metode pengendalian gulma yang umum dan utama pada perkebunan kelapa sawit yaitu pengendalian secara kimia dengan menggunakan herbisida, karena cara ini lebih efektif, efisien, hemat tenaga, biaya, dan waktu (Tjitrosoedirjo et al., 1984).

Salah satu kendala dalam pertumbuhan tanaman budidaya dan kaitannya dalam hal persaingan adalah keberadaan gulma. Gulma juga dapat menurunkan mutu produksi, mengganggu pertumbuhan tanaman, dan meningkatkan biaya

pemeliharaan. Gulma merupakan tumbuhan yang dapat mengganggu atau merugikan kepentingan manusia (Sembodo, 2010).

Herbisida yang diaplikasikan dengan dosis tinggi akan mematikan seluruh bagian tumbuhan dan sebaliknya pada dosis rendah, herbisida tidak merusak atau

mematikan tumbuhan lain. Dengan demikian, pemilihan herbisida yang sesuai untuk pengendalian gulma di pertanaman merupakan salah satu hal yang sangat


(29)

3

penting dengan memperhatikan ada tidaknya toksisitas pada tanaman dan daya efektivitas herbisida.

Salah satu herbisida selektif adalah herbisida aminosiklopiraklor yang merupakan herbisida pasca tumbuh dan bersifat selektif terhadap gulma berdaun lebar. Herbisida aminosiklopiraklor merupakan herbisida yang termasuk dalam kelas asam karboksilat pirimidin yang memiliki struktur kimia mirip dengan asam karboksilat piridin yang memiliki cara kerja menghambat pertumbuhan tanaman dengan cara mengganggu keseimbangan hormon auksin (Strachan et al., 2010).

Berdasarkan uraian di atas maka penggunaan herbisida harus tepat sasaran sehingga tidak menyebabkan keracunan (fitotoksisitas) pada tanaman budidaya. Penggunaan herbisida harus memperhatikan efektivitas, efisiensi, dan keamanan serta efek samping yang mungkin timbul. Oleh karena itu, uji fitotoksisitas herbisida merupakan salah satu cara untuk mengetahui gejala dan tingkat keparahan keracunan tanaman kelapa sawit belum menghasilkan akibat aplikasi herbisida tertentu.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah penggunaan herbisida aminosiklopiraklor menimbulkan gejala keracunan pada kelapa sawit belum menghasilkan?

2. Apakah penggunaan herbisida aminosiklopiraklor mempengaruhi tingkat keparahan keracunan kelapa sawit belum menghasilkan pada beberapa taraf dosis yang berbeda?


(30)

4

3. Apakah penggunaan herbisida aminosiklopiraklor mempengaruhi pertumbuhan tanaman pada kelapa sawit belum menghasilkan?

4. Apakah penggunaan herbisida aminosiklopiraklor mengendalikan gulma pada piringan kelapa sawit belum menghasilkan?

1.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka disusun tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui adanya gejala keracunan herbisida aminosiklopiraklor pada kelapa sawit belum menghasilkan.

2. Untuk mengetahui tingkat keparahan keracunan herbisida aminosiklopiraklor pada kelapa sawit belum menghasilkan pada beberapa taraf dosis herbisida yang berbeda.

3. Untuk mengetahui pengaruh herbisida aminosiklopiraklor terhadap pertumbuhan tanaman pada kelapa sawit belum menghasilkan. 4. Untuk mengetahui efektivitas herbisida aminosiklopiraklor dalam

mengendalikan gulma pada piringan kelapa sawit belum menghasilkan.

1.3 Landasan Teori

Kehilangan hasil yang disebabkan oleh gulma diperkirakan mencapai 20 – 30 %. Keberadaan gulma pada areal pertanaman dapat berdampak negatif pada tanaman karena gulma dan tanaman mempunyai kebutuhan yang sama untuk tumbuh dan berkembang. Kebutuhan tersebut diantaranya unsur hara, air, cahaya, ruang tumbuh dan CO2. Persaingan akan terjadi apabila unsur-unsur yang diperlukan


(31)

5

tanaman tersedia dalam jumlah terbatas, hal ini akan mengakibatkan kebutuhan tanaman menjadi tidak optimal sehingga dapat menurunkan hasil produksi tanaman budidaya (Moenandir, 1990).

Pengendalian gulma dengan herbisida selain relatif murah juga bertujuan untuk mendapatkan pengendalian gulma secara selektif. Pemakaian herbisida yang selektif terletak pada kemampuannya untuk mematikan gulma tanpa merusak tanaman budidaya. Penggunaan herbisida yang kurang hati-hati dapat

menimbulkan abnormalitas pada pertumbuhan kelapa sawit, seperti pertumbuhan yang terpuntir (memilin) (Agustia, 1997).

Penggunaan herbisida bertujuan untuk mendapatkan pengendalian gulma yang selektif yaitu mematikan gulma tanpa mematikan tanaman budidaya. Selektivitas herbisida dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jenis herbisida, formulasi herbisida, volume semprot, ukuran butiran semprot dan waktu pemakaian (pra tanam, pra tumbuh atau pasca tumbuh) (Tjitrosoedirdjo et al., 1984).

Menurut Ashton dan Craft (1981), berdasarkan tingkat selektivitasannya terhadap tanaman, maka herbisida dibagi menjadi dua yaitu herbisida selektif mempunyai sifat dimana pada saat diaplikasi maka gulma yang ada akan mati sementara tanaman pokoknya tetap tidak mengalami gangguan tergantung tingkat

selektivitas dari herbisida tersebut. Herbisida nonselektif tidak memungkinkan diaplikasikan pada saat ada tanaman budidaya. Kategori selektif ada beberapa bahan aktif yang cukup terkenal dan banyak dipergunakan oleh petani yaitu metil metsulfuron dan 2,4-D baik di tanaman padi maupun pada petani perkebunan.


(32)

6

Kategori nonselektif, paraquat dan glifosat banyak dipergunakan terutama untuk petani lahan kering dan perkebunan.

Herbisida yang banyak digunakan oleh petani yaitu glifosat dan 2,4-D karena memiliki daya bunuh gulma secara lebih luas, tetapi tidak meracuni tanaman. Hal ini didukung dengan pernyataan Mulyati (2004), aplikasi herbisida glifosat 48% dan campuran herbisida glifosat 24% + 2,4-D 12% pada semua taraf dosis tidak menunjukkan gejala keracunan pada tanaman kelapa sawit belum menghasilkan. Selain itu, herbisida glifosat 16% (SPRAG 160 AS) tidak meracuni tanaman kelapa sawit menghasilkan (Restyningsih, 2002).

Herbisida aminosiklopiraklor cepat diserap oleh daun dan akar dan

ditranslokasikan dengan baik dalam floem dan diperkirakan menumpuk di daerah meristematik tanaman. Herbisida ini merupakan kelompok zat pengatur tumbuh yang mempengaruhi keseimbangan hormon auksin. Herbisida tersebut cepat diserap oleh tumbuhan melalui daun dan akar kemudian ditranslokasikan ke jaringan meristem tumbuhan serta mengganggu kerja hormon auksin. Penyerapan maksimum herbisida aminosiklopiraklor di jaringan tanaman hingga mengganggu pertumbuhan yaitu 24 jam setelah aplikasi herbisida (Bukun et al., 2010).

Cara kerja herbisida aminosiklopiraklor adalah menghentikan pertumbuhan tanaman dengan mengganggu keseimbangan hormon yang diperlukan untuk perkembangan akar. Herbisida ini memiliki mekanisme kerja yang menargetkan kompleks reseptor auksin. Terdapat dua proses biokimia yang terkena dampak akibat aplikasi herbisida ini yaitu satu set protein penting untuk represi gen dan ekspresi gen dalam memberikan respon bentuk pertumbuhan dan perkembangan


(33)

7

tanaman yang sesuai (Finkelstein et al., 2008). Hasil penelitian Antika (2014), herbisida aminosiklopiraklor 7,5 – 60 g ha-1 tidak menekan penambahan tinggi bibit kelapa sawit.

Adapun penelitian tentang residu aminosiklopiraklor yaitu residu

aminosiklopiraklor pada tanaman tomat di dalam pot berkisar antara 0,5 - 8,0 ppb (parts per billion), sementara serpihan pohon (mulsa) terkelupas mengandung 1,7 - 14,7 ppb. Residu aminosiklopiraklor dalam pot tanah di bawah mulsa berkisar di bawah batas kuantitatif yaitu 0,63 ppb. Hasil tersebut menunjukkan bahwa aminosiklopiraklor dari serpihan kayu dapat larut ke dalam tanah sehingga menyebabkan keracunan tanaman. Hasil ini menunjukkan bahwa pohon-pohon yang rusak akibat aminosiklopiraklor tidak dapat digunakan untuk mulsa atau sebagai bahan kompos (Patton et al., 2013).

Penggunaan herbisida yang kurang tepat jenis herbisida, dosis herbisida, formulasi herbisida, volume semprot, ukuran butiran semprotan, dan waktu pemakaian dapat menyebabkan tanaman nontarget menjadi teracuni. Penggnnaan herbisida harus memperhatikan efektivitas, efisiensi dan keamanan serta efek samping yang mungkin timbul. Herbisida yang dibutuhkan adalah herbisida yang mempunyai selektivitas tinggi. Menurut Klingman et al., (1982), herbisida yang selektif adalah herbisida yang hanya mematikan gulma dan tidak mematikan tanaman pokok.


(34)

8

1.4 Kerangka Pemikiran

Kualitas bibit kelapa sawit di lapang sangat ditentukan oleh proses pembibitan kelapa sawit yang salah satunya ditentukan oleh pemeliharaan tanaman.

Pemeliharaan tanaman sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan bibit kelapa sawit. Masalah yang sering dihadapi selama proses pembibitan, tanaman belum menghasilkan serta tanaman menghasilkan kelapa sawit yaitu keberadaan gulma. Gulma merupakan tumbuhan yang keberadaan tidak diinginkan oleh petani dan mengurangi kualitas hasil produksi tanaman kelapa sawit.

Keberadaan gulma di pertanaman kelapa sawit menimbulkan masalah, karena gulma memiliki potensi untuk menjadi pesaing tanaman dalam memperoleh sarana tumbuh yang diperlukan dan menurunkan kualitas bibit. Pengelolaan gulma yang kurang baik akan mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan TBM kelapa sawit menjadi terhambat. Dengan demikian diperlukan tindakan pengendalian gulma yang tepat sehingga tidak meracuni tanaman dan menurunkan hasil produksi tanaman kelapa sawit.

Pengendalian gulma dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya adalah dengan cara kimiawi yaitu menggunakan herbisida yang dianggap efektif untuk mengendalikan gulma. Pemilihan herbisida yang tepat dan cocok digunakan pada tanaman kelapa sawit belum menghasilkan (TBM) menjadi sangat penting. Tanaman kelapa sawit sensitif terhadap penggunaan herbisida. Herbisida yang tidak tepat dapat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman.


(35)

9

Herbisida merupakan bahan kimia yang dapat menghentikan pertumbuhan gulma dan tidak menghambat pertumbuhan tanaman budidaya. Aplikasi herbisida akan mempengaruhi satu atau lebih proses fisiologis di dalam jaringan gulma sehingga menimbulkan gejala keracunan. Pengendalian gulma menggunakan herbisida memiliki efek samping terjadinya keracunan tanaman kelapa sawit belum menghasilkan.

Penggunaan herbisida pada tanaman muda yang rentan akan herbisida sehingga pertumbuhan bibit kelapa sawit mengalami abnormalitas. Penggunaan herbisida harus memperhatikan selektivitas herbisida tersebut supaya tidak menyebabkan bibit kelapa sawit teracuni akibat aplikasi herbisida. MAT28 240 SL merupakan herbisida baru berbahan aktif aminosiklopiraklor yang saat ini sedang dalam tahap pengujian oleh PT. DuPont Crop Protection.

Aminosiklopiraklor merupakan herbisida kelas asam karboksilat pirimidin yang cepat diserap oleh daun dan akar dan translokasi ke daerah meristematik tanaman. Herbisida ini meniru kerja hormon auksin dengan mengganggu keseimbangan hormon tanaman yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan akar. Gejala keracunan tanaman akibat herbisida aminosiklopiraklor diantaranya terjadinya penumpukan daun muda pada batang, daun tidak membuka sempurna, dan pertumbuhan tanaman kelapa sawit kerdil.

Aminosiklopiraklor memiliki kemampuan mengendalikan gulma berdaun lebar dan selektif terhadap gulma rumput. Pengujian tingkat keracunan herbisida aminosiklopiraklor terhadap tanaman kelapa sawit belum menghasilkan sangat diperlukan untuk mengetahui gejala keracunan akibat penggunaan herbisida,


(36)

10

efikasi herbisida terhadap keberadaan gulma, dan dosis yang efektif untuk

mengendalikan gulma di pertanaman kelapa sawit namun tidak meracuni tanaman kelapa sawit.

1.5 Hipotesis

Dari kerangka pemikiran yang telah dikemukakan, maka disusun hipotesis sebagai berikut:

1. Penggunaan herbisida aminosiklopiraklor menimbulkan gejala keracunan pada kelapa sawit belum menghasilkan.

2. Penggunaan beberapa taraf dosis herbisida aminosiklopiraklor mempengaruhi tingkat keparahan keracunan herbisida aminosiklopiraklor pada kelapa sawit belum menghasilkan.

3. Penggunaan herbisida aminosiklopiraklor mempengaruhi pertumbuhan tanaman pada kelapa sawit belum menghasilkan.

4. Penggunaan herbisida aminosiklopiraklor mengendalikan gulma pada piringan kelapa sawit belum menghasilkan.


(37)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kelapa Sawit

Bibit kelapa sawit pertama kali masuk ke Indonesia tahun 1848 yang berasal dari Mauritus dan Amsterdam sebanyak empat tanaman yang kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor dan selanjutnya disebarkan ke Deli Sumatera Utara. Perkebunan kelapa sawit pertama dibangun di Tanahitam, Hulu Sumatera Utara oleh Schad (Jerman) pada tahun 1911 (Lubis, 2008). Adapun taksonomi kelapa sawit adalah:

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Angiospermae Sub kelas : Monocotyledoneae Ordo : Spadiciflorae Keluarga : Palmaceae Sub keluarga : Cocoideae Genus : Elaeis


(38)

12

2.1.1 Morfologi Kelapa Sawit

2.1.1.1 Akar

Calon akar muncul dari biji kelapa sawit yang dikecambahkan disebut radikula, panjangnya dapat mencapai 15 cm, dan mampu bertahan sampai 6 bulan. Akar primer yang tumbuh dari pangkal batang (bole) ribuan jumlahnya, diameternya berkisar antara 8 dan 10 mm, panjangnya dapat mencapai 18 cm. Akar sekunder tumbuh dari akar primer, diameternya 2 – 4 mm. Dari akar sekunder tumbuh akar tersier berdiameter 0,7 – 1,5 mm dan panjangnya dapat mencapai 15 cm (Lubis, 2008).

2.1.1.2 Batang

Batang kelapa sawit tumbuh tegak lurus (phototropi) dibungkus oleh

pangkal pelepah daun (frond base). Batang ini berbentuk silindris berdiameter 0,5 m pada tanaman dewasa, tidak memiliki kambium, dan umumnya tidak bercabang. Pada ujung batang terdapat titik tumbuh membentuk daun-daun dan memanjangkan batang dengan bagian bawah umumnya berukuran lebih besar (Lubis, 2008).

2.1.1.3 Daun

Produksi pelepah pada tanaman selama setahun dapat mencapai 20 – 30 pelepah, kemudian berkurang menjadi 18 hingga 25 pelepah tergantung umur tanaman. Panjang pelepah daun dapat mencapai panjang 9 m, panjang pelepah dipengaruhi oleh varietas dan kesuburan tanah. Pada pohon dewasa umumnya dijumpai


(39)

13

pelepah sebanyak 40 hingga 50 buah yang diisi oleh anak daun di kiri dan kanan tulang daun yang utama atau disebut rachis. Jumlah anak daun tiap pelepah dapat mencapai jumlah 125 hingga 200 dengan bobot pelepah mencapai 4,5 kg bobot kering (Lubis, 2008).

2.1.1.4 Bunga

Tanaman kelapa sawit mulai berbunga pada umur 12 – 14 bulan, tetapi baru ekonomis untuk dipanen pada umur 2,5 tahun (Lubis, 2008). Bunga kelapa sawit merupakan monoecious, bunga jantan dan bunga betina dalam satu pohon.

Satu inflor dibentuk dari ketiak setiap daun setelah diferensiasi dari pucuk batang. Jenis kelamin jantan atau betina ditentukan selama 9 bulan setelah inisiasi dalam selang 24 bulan baru inflor bunga berkembang sempurna. Bunga-bunga betina dalam satu inflor membuka dalam tiga hari dan siap dibuahi selama 3 – 4 hari. Sedangkan bunga yang berasal dari inflor jantan melepaskan serbuk sarinya dalam lima hari. Penyerbukan yang umum terjadi biasanya penyerbukan silang namun kadang juga sendiri (Mangoensoekardjo dan Semangun, 2008).

2.1.1.5 Buah

Buah kelapa sawit adalah buah batu yang sessile drup yaitu menempel

dan menggerombol pada tandan buah. Jumlah per tandan dapat mencapai 1600, berbentuk lonjong membulat. Panjang buah 2 – 3 cm, beratnya 30 gram. Bagian-bagian buah terdiri atas eksokarp atau kulit buah dan mesokrap atau sabut dan biji. Eksokarp dan mesokarp disebut perikarp. Biji terdiri atas endocarp atau


(40)

14

cangkang, dan inti atau kernel. Sedangkan inti tersebut terdiri atas endosperma dan embrio (Mangoensoekardjo dan Semangun, 2008).

2.1.2 Tipe Kelapa Sawit

Kelapa sawit memiliki banyak jenis, berdasarkan ketebalan cangkangnya kelapa sawit dibedakan menjadi Dura, Pisifera dan Tenera. Dura merupakan sawit yang buahnya memiliki cangkang tebal sehingga dianggap dapat memperpendek umur mesin pengolah namun biasanya tandan buahnya besar-besar dan kandungan minyak berkisar 18%. Pisifera buahnya tidak memiliki cangkang namun bunga betinanya steril sehingga sangat jarang menghasilkan buah. Tenera adalah

persilangan antara induk Dura dan Pisifera. Jenis ini dianggap bibit unggul sebab melengkapi kekurangan masing-masing induk dengan sifat cangkang buah tipis namun bunga betinanya tetap fertil. Beberapa tenera unggul persentase daging per buahnya dapat mencapai 90% dan kandungan minyak pertandannya dapat mencapai 28% (Kiswanto et al., 2008).

Menurut PANECO (2010), pembagian tipe kelapa sawit didasarkan pada warna buah (kulit, eksocarp) dan ketebalan cangkang. Berdasarkan warna buah, tipe kelapa sawit dibedakan sebagai berikut:

1. Nigrescens: buah muda berwarna ungu kehitam-hitaman, sedangkan buah masak jingga kehitam-hitaman.

2. Virescens: buah muda berwarna hijau, sedangkan buah masak jingga kemerahan, tetapi ujung buah tetap hijau.

3. Albescens: buah muda berwarna keputih-putihan, sedangkan buah masak kekuning-kuningan dan ujungnya ungu kehitaman.


(41)

15

2.2 Syarat Tumbuh Kelapa Sawit

Lama penyinaran matahari yang baik untuk kelapa sawit antara 5 – 7 jam/hari. Tanaman ini memerlukan curah hujan tahunan 1.500 – 4.000 mm dengan

temperatur optimal 24 – 28oC. Ketinggian tempat yang ideal untuk sawit antara 1 – 500 m dpl (di atas permukaan laut). Kelembaban optimum yang ideal untuk tanaman sawit sekitar 80 – 90% dan kecepatan angin 5 – 6 km/jam untuk

membantu proses penyerbukan. Kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah podzolik, latosol, hidromorfik kelabu, alluvial atau regosol, tanah gambut saprik, dataran pantai dan muara sungai. Tingkat keasaman (pH) yang optimum untuk sawit adalah 5,0 – 5,5. Kelapa sawit menghendaki tanah yang gembur, subur, datar, berdrainase (beririgasi) baik dan memiliki lapisan solum cukup dalam (80 cm) tanpa lapisan padas. Kemiringan lahan pertanaman kelapa sawit sebaiknya tidak lebih dari 15o (Kiswanto et al., 2008).

2.3 Pembibitan Kelapa Sawit

Pembibitan kelapa sawit dapat dilakukan dengan satu atau dua tahap kegiatan. Pembibitan pertama yaitu kecambah kelapa sawit langsung ditanam di polibag besar atau langsung di pembibitan utama (main nursery). Pembibitan kedua yaitu penanaman kecambah dilakukan di pembibitan awal (prenursery) terlebih dahulu menggunakan polibag kecil serta naungan, kemudian dipindahkan ke main nursery ketika berumur 3 – 4 bulan menggunakan polibag yang lebih besar. Pembibitan awal lebih banyak digunakan dan memiliki keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan pembibitan utama. Jika menggunakan pembibitan dua tahap, luasan pembibitan menjadi lebih kecil dan memungkinkan untuk dibuat


(42)

16

naungan. Keuntungan lainnya, penyiraman menjadi mudah, jadwal pemupukan menjadi mudah, dan bibit terhindar dari penyinaran matahari secara langsung sehingga risiko kematian tanaman menjadi kecil (Dalimunthe, 2009).

2.4 Pengendalian Gulma Pada Kelapa Sawit

Menurut Pahan (2008), kehadiran gulma di perkebunan kelapa sawit dapat menurunkan produksi akibat bersaing dalam pengambilan air, hara, sinar

matahari, dan ruang hidup. Gulma juga dapat menurunkan mutu produksi akibat terkontaminasi oleh bagian gulma, mengganggu pertumbuhan tanaman, menjadi inang bagi hama, mengganggu tata guna air, dan meningkatkan biaya

pemeliharaan. Untuk mengurangi segala bentuk kerugian adanya gulma maka dengan demikian diperlukan tindakan pengendalian gulma.

Selanjutnya Hakim (2007) menambahkan bahwa kelapa sawit mempunyai

masalah gulma yang tinggi sebab salah satu faktornya adalah jarak tanam tanaman ini lebih lebar, sehingga penutupan tanah oleh kanopi lambat membuat cahaya matahari masuk mencapai permukaan tanah yang kaya dengan potensi gulma. Dengan demikian tujuan pengendalian gulma adalah mengurangi jumlah populasi gulma sampai ambang batas yang tidak merugikan bagi pertumbuhan tanaman budidaya.

Keuntungan pengendalian gulma secara kimia dibandingkan manual adalah pekerjaan lebih cepat dan menggunakan tenaga kerja lebih sedikit, kerusakan pada akar tanaman akibat pengendalian secara manual dapat dihindari, erosi tanah terjadi lebih kecil dan dapat menghindari terbentuknya cekungan pada piringan.


(43)

17

Kelemahan pengendalian secara kimia adalah biaya pengendalian sangat dipengaruhi oleh biaya herbisida, dibutuhkan tenaga kerja yang terampil, berkurangnya lapangan pekerjaan, dan adanya kemungkinan tanaman pokok teracuni (Madkar et al., 1986).

Komposisi gulma pada suatu perkebunan tergantung pada jenis komoditas, cara pengelolaan kebun dan kondisi lingkungan. Gulma yang biasa terdapat di perkebunan kelapa sawit yang belum menghasilkan yaitu Chromolaena odorata (L.), Imperata cylindrica (L.) Beauv., Axonophus compressus (SW.) P.B., Echinochloa colonum (I.) LK., Panicum repens L., Scleria sumatrensis Retz., Kyllingia monocephala Rottb., Mikania micrantha H.B.K., Ageratum conyzoides I., Lantana camara L., Mimosa invisa Mart. Ex colla., dan Ottochloa nodosa (Kunth) Dandy (Lubis, 2008).

2.5 Panen

Tanaman kelapa sawit mulai berbuah setelah 2,5 tahun dan masak 5,5 bulan setelah penyerbukan. Kelapa sawit dapat dipanen jika tanaman telah berumur 31 bulan, sedikitnya 60% buah telah matang panen dari 5 pohon terdapat 1 tandan buah matang panen. Ciri tandan matang panen adalah sedikitnya ada 5 buah yang lepas/jatuh (brondolan) dari tandan yang beratnya kurang dari 10 kg atau

sedikitnya ada 10 buah yang lepas dari tandan yang beratnya 10 kg atau lebih. Selain itu, ada kriteria lain tandan buah yang dapat dipanen apabila tanaman berumur kurang dari 10 tahun, jumlah brondolan yang jatuh kurang lebih 10 butir, jika tanaman berumur lebih dari 10 tahun, jumlah brondolan yang jatuh sekitar


(44)

18

15 – 20 butir. Waktu panen yang tepat akan diperoleh kandungan minyak maksimal, tetapi pemanenan buah kelewat matang akan meningkatkan asam lemak bebas (ALB), sehingga dapat merugikan karena sebagian kandungan minyaknya akan berubah menjadi ALB dan menurunkan mutu minyak. Sebaliknya pemanenan buah yang masih mentah akan menurunkan kandungan minyak, walaupun nilai ALB rendah. Cara pemanenan tandan buah yang matang dipotong sedekat mungkin dengan pangkalnya, maksimal 2 cm. Tandan buah yang telah dipanen diletakkan teratur di piringan dan brondolan dikumpulkan terpisah dari tandan. Kemudian tandan buah atau TBS (tandan buah segar) dan brondolan tersebut dikumpulkan di tempat pengumpulan hasil (TPH). TBS hasil panenan harus segera diangkut ke pabrik untuk diolah lebih lanjut. Pada buah yang tidak segera diolah, maka kandungan ALB akan semakin meningkat. Untuk menghindari hal tersebut, maksimal 8 jam TBS setelah dipanen harus segera diolah (Kiswanto et al., 2008).

2.6 Fitotoksisitas

Kerusakan tanaman akibat aplikasi pestisida untuk tanaman dikenal sebagai fitotoksisitas. Fitotoksisitas biasanya muncul dalam beberapa bentuk, adapun 5 jenis kerusakan yang paling sering terjadi yaitu:

1. Terbakar, jenis kerusakan mungkin muncul di ujung daun seperti bintik-bintik atau seluruh permukaan daun dapat terlihat seperti terbakar.

2. Nekrosis (kematian jaringan tanaman), mirip dengan terbakar dan mempengaruhi tanaman dengan cara yang sama.


(45)

19

3. Klorosis (menguning atau efek pemutihan), mungkin muncul sebagai bintik-bintik, ujung menguning, atau sebagai klorosis diseluruh daun.

4. Distorsi daun, mungkin muncul sebagai curling, kerutan, atau cupping daun. 5. Pengerdilan atau pertumbuhan abnormal lainnya.

Fitotoksisitas sangat umum menghasilkan kombinasi dari dua atau lebih dari lima gejala tersebut di atas. Efek fitotoksisitas dapat diamati pada tanaman selama pertumbuhan atau dapat diekspresikan pada saat panen. Gejala keracunan dapat mempengaruhi seluruh tanaman atau bagian dari akar, tunas, daun, bunga, buah, dan bagian tanaman lainnya (Ornamentals Northwest Archives, 1981).

Fitotoksisitas merupakan suatu sifat yang menunjukkan potensi pestisida untuk menimbulkan efek keracunan pada tanaman yang ditandai dengan pertumbuhan abnormal setelah aplikasi pestisida. Pestisida yang sebaiknya digunakan adalah dengan fitotoksisitas rendah. Keracunan tanaman (fitotoksisitas) mengacu pada penyerapan bahan kimia berbahaya ke dalam struktur penting dari jaringan tanaman, seperti akar atau sistem reproduksi. Salah satu gejala fitotoksisitas adalah terhambatnya pertumbuhan. Gejala keracunan tanaman kelapa sawit akibat herbisida yaitu klorosis, kerdil, kelainan tumbuh, dan jaringan mati atau kering. Penggunaan satu herbisida dapat menyebabkan satu atau lebih gejala keracunan pada tanaman (Riadi, 2011).

Adapun percobaan yang dirancang untuk menentukan fitotoksisitas tiga herbisida preemergen (herbisida oksadiason, oxyflourfen + oryzalin, dan oxyfluorfen + pendimetalin) diterapkan pada 1, 2, atau 4 kali direkomendasikan tarif empat jenis pohon hias. Percobaan kedua mengamati fitotoksisitas glifosat diterapkan pada


(46)

20

11 atau 21 ml l-1 langsung ke dedaunan dari 10 spesies pohon sawit. Dua

herbisida preemergen (oxyfluorfen + oryzalin dan pendimethalin + oxyfluorfen) menunjukkan fitotoksisitas pada daun yang baru muncul dari semua spesies sawit bila diterapkan pada tingkat yang direkomendasikan. Herbisida oksadiazon toleran terhadap glifosat meskipun pengerdilan dan deformasi pada daun baru, hampir semua pohon tumbuh dari gejala ini setelah beberapa minggu (Donselman dan Broschat, 1981).

2.7 Herbisida

Menurut Wudianto (2006), herbisida adalah senyawa beracun yang dimanfaatkan untuk membunuh atau mengendalikan gulma. Herbisida ini dapat mempengaruhi satu atau lebih proses seperti proses pembelahan sel, perkembangan jaringan, pembentukan klorofil, fotosintesis, dan sebagainya yang sangat diperlukan tumbuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Herbisida yang diaplikasikan dengan dosis tinggi akan mematikan seluruh bagian tumbuhan dan sebaliknya pada dosis rendah, herbisida akan membunuh tumbuhan dan tidak merusak tumbuhan lainnya.

Menurut Moenandir (1993), dasar pengklasifikasian herbisida berdasarkan cara kerja, penggunaan, cara aplikasi, struktur kimiawi, formulasi, dan selektivitas. Berdasarkan cara kerja, herbisida dikategorikan sebagai herbisida kontak dan sistemik. Herbisida kontak dikenal karena mengakibatkan efek bakar yang langsung dapat dilihat terutama pada dosis tinggi, seperti asam sulfat 70%, besi sulfat 30%, dan tembaga sulfat 40%. Herbisida kontak merusak bagian tumbuhan yang terkena langsung dan tidak ditranslokasikan ke bagian lain. Sedangkan


(47)

21

herbisida sistemik dapat ditranslokasikan ke seluruh tubuh tumbuhan sehingga pengaruhnya luas, jenis herbisida yang termasuk golongan ini diantaranya amitrol, arsen, golongan triazin, substitusi urea, urasil, amida, karbamat, 2,4-D, dicamba, dan picloram.

Menurut tipe gulma yang dikendalikan herbisida dibagi menjadi dua kelompok, yaitu herbisida selektif dan herbisida nonselektif. Herbisida selektif adalah herbisida yang bila diaplikasikan dalam suatu komunitas campuran akan

mematikan tumbuhan atau gulma tertentu dan relatif tidak mengganggu tumbuhan lain, sedangkan herbisida nonselektif mematikan seluruh tumbuhan (Crafts dan Robbins, 1973).

Penggunaan herbisida harus memperhatikan efektivitas, efisiensi, dan keamanan serta efek samping yang mungkin timbul. Herbisida yang dibutuhkan adalah herbisida yang mempunyai selektivitas tinggi. Menurut Klingman et al. (1982), herbisida yang selektif adalah herbisida yang hanya mematikan gulma dan tidak mematikan tanaman pokok. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas herbisida adalah herbisida itu sendiri (formulasi, kalkulasi, aplikasi, dan

kalibrasi); gulma sasaran; tanah (kelembaban, keremahan, sifat fisik tanah); cuaca (suhu, cahaya, hujan); dan pelarut (kejernihan).

2.7.1 Herbisida Aminosiklopiraklor

Aminosiklopiraklor adalah herbisida asam karboksilat pirimidin yang secara struktural mirip dengan aminopiralid. Satu perbedaan struktural antara


(48)

22

klorin pada posisi 2 karbon sedangkan aminosiklopiraklor memiliki kelompok siklopropil. Selain itu, aminosiklopiraklor didasarkan pada cincin pirimidin (dua atom nitrogen dalam struktur cincin) dan aminopiralid didasarkan pada cincin piridin (satu atom nitrogen dalam struktur cincin) (Durkin, 2012).

DPX-MAT28 (MAT28) adalah herbisida berbahan aktif aminosiklopiraklor yang sedang dalam tahap pengujian oleh PT. DuPont Crop Protection. MAT28 dengan cepat diserap oleh daun dan akar dan translokasi ke daerah meristematik tanaman. Aminosiklopiraklor aktif pada kebanyakan spesies gulma berdaun lebar.

Herbisida ini menghentikan pertumbuhan tanaman dengan mengganggu keseimbangan hormon yang diperlukan untuk perkembangan akar.

Aminosiklopiraklor merupakan famili dari asam karboksilat pirimidin yang memiliki berat molekul 213, 62 g mol-1 dengan rumus molekul C8H8ClN3O2.

Nama kimia 6-amino-5-kloro-2-cyclopropyl-4-pyrimidine carboxylic acid dengan struktur kimia seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Rumus bangun aminosiklopiraklor (Finkelstein et al., 2008).

Adapun hasil penelitian mengenai residu herbisida aminosiklopiraklor pada konsentrasi rendah dapat menyebabkan fitotoksisitas pada tanaman seperti alfalfa, kapas, kedelai, dan bunga matahari walaupun sudah 1 tahun herbisida tersebut berada di dalam tanah. Hasil menyatakan bahwa konsentrasi aminosiklopiraklor


(49)

23

diperkirakan menyebabkan 25% fitotoksisitas untuk alfalfa, kapas, kedelai, dan bunga matahari sebesar 5,4; 3,2; 2,0; dan 6,2, masing-masing penyerapan aminosiklopiraklor yaitu 20 sampai 60 kali lebih besar dari batas deteksi (LOD) metode analisis yang tersedia untuk analisis tanah (Strachan et al., 2011). Dengan demikian, konsentrasi rendah aminosiklopiraklor di dalam tanah yang bertahan dalam waktu yang cukup lama akan menyebabkan fitotoksisitas tanaman nontarget.

2.7.2 Herbisida Aminopiralid

Aminopiralid adalah herbisida auksin sintetis dari famili asam karboksilat bahan aktif piridin yang memiliki berat molekul 207,026 g mol-1 dengan rumus molekul C6H4Cl2N2O2. Nama kimia aminopiralid adalah 4-amino-3,6-dichloropyridine-2-carboxylic acid dengan struktur kimia seperti Gambar 2. Herbisida ini bersifat sistemik dan diaplikasikan pascatumbuh sehingga mempengaruhi proses pertumbuhan tanaman. Aminopiralid menyebabkan gejala keracunan tanaman seperti batang melengkung dan memutar, daun berkerut, daun sempit dengan jaringan kalus, dan akar membesar (Dow AgroSciences, 2008).

Gambar 2. Rumus bangun aminopiralid (Dow AgroScience, 2008).

Setelah diserap, herbisida aminopiralid bergerak secara sistemik ke seluruh jaringan tanaman dan mempengaruhi proses pertumbuhan tanaman, melalui sel


(50)

24

yang tidak merata dalam pembelahan dan pertumbuhan. Aminopiralid mengikat pada reseptor normal yang digunakan oleh hormon pertumbuhan alami tanaman, sehingga rentan terjadi kematian spesies tanaman. Dengan demikian herbisida aminopiralid dengan cepat diserap oleh daun dan akar tanaman. Aminopiralid tidak beracun untuk burung, ikan, lebah madu, cacing tanah, dan invertebrata air. Aminopiralid sedikit beracun untuk tiram timur, ganggang, dan vaskular air tanaman. Herbisida aminopiralid berada di dalam tanah berkisar antara 32 – 533 hari, dengan rata-rata lamanya waktu yaitu 103 hari. Herbisida ini larut dalam air dan memiliki mobilitas tinggi dengan kemampuan mencemari tanah dan air. Aminopiralid adalah herbisida yang stabil dalam air tetapi akan memecah dengan cepat apabila di bawah sinar matahari dengan perkiraan waktu 0,6 hari (Dow AgroSciences, 2011).

Adapun penelitian yang dilakukan di Kanada untuk mengetahui perbedaan dalam penyerapan, translokasi, atau metabolisme aktivitas biologis aminopiralid dan clopiralid pada daun tanaman rossete. Translokasi clopiralid (39%) dari daun secara signifikan lebih tinggi daripada aminopiralid (17%) dalam 192 jam setelah perlakuan (Hour After Treatment). Translokasi clopiralid ke atas jaringan (27%) dan akar (12%), sedangkan translokasi aminopiralid ke atas jaringan (10%) dan akar (7%) dalam 192 jam setelah perlakuan (HAT). Hasil ini menunjukkan bahwa struktur kimia aminopiralid mungkin menyediakan aktivitas biologis yang lebih besar daripada clopiralid, sehingga penyerapan aminopiralid pada daun tanaman rossete lebih rendah dibandingkan clopiralid (Bukun et al., 2009).


(51)

25

2.7.3 Herbisida Triklopir

Triklopir adalah herbisida sistemik selektif untuk gulma berdaun lebar. Triklopir mengendalikan gulma target dengan meniru hormon auksin (indole acetic acid) tanaman sehingga menyebabkan pertumbuhan tanaman tidak terkendali. Jenis herbisida ini membunuh gulma target ketika diberikan pada dosis yang efektif sehingga menyebabkan pertumbuhan tanaman tidak terkendali dan tidak terorganisir yang mengarah ke kematian tanaman. Triklopir memiliki berat molekul 256,46 g mol-1 dan rumus molekul C7H4Cl3NO3. Nama kimia

[(3,5,6-trichloro-2-pyridinyl)oxy] acetic acid dengan struktur kimia seperti pada Gambar 3. Gejala khas triklopir yaitu epinasti, tangkai batang memutar dan membungkuk, batang bengkak, serta daun mengeriting (Antunes et al., 2004).

Konsentrasi rendah triklopir dapat merangsang RNA, DNA, dan sintesis protein menyebabkan pembelahan sel yang tidak terkendali dan pertumbuhan, dan, akhirnya kerusakan jaringan pembuluh darah. Sebaliknya, konsentrasi tinggi triklopir dapat menghambat pembelahan sel dan pertumbuhan (Tu et al., 2003).


(52)

26

2.7.4 Herbisida Glifosat

Herbisida glifosat merupakan golongan herbisida pascatumbuh yang bersifat nonselektif dan bersifat sistemik yaitu herbisida ditranslokasikan dari tempat terjadinya kontak pertama dengan tumbuhan ke bagian tubuh lainnya. Translokasi herbisida glifosat dalam tumbuhan berlangsung secara simplastik yaitu melalui jaringan hidup dengan pembuluh utama floem bersamaan dengan hasil fotosintesis (Ross dan Lembi, 1985). Herbisida ini bergerak sejalan dengan arah translokasi hasil fotosintat dan transpor dipicu adanya perbedaan nilai potensial osmotik dalam floem antara source dan sink (Ashton dan Crafts, 1981).

Glifosat diformulasikan sebagai garam isopropilamina glifosat yang diaplikasikan sebagai herbisida pascatumbuh. Glifosat memiliki nama kimia

N-(phosponomethyl) glycine dengan rumus molekul C3H8NO5P. Glifosat dapat

mempengaruhi pigmen sampai terjadi klorotik, pertumbuhan terhenti, dan tumbuhan dapat mati. Herbisida ini juga menghambat lintasan biosintetik asam amino aromatik (Triharso, 1994). Rumus bangun glifosat terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Rumus bangun glifosat (Ashton dan Crafts, 1981).

Herbisida glifosat diserap melalui daun dan diangkut ke dalam semua jaringan tumbuh. Pengaruh penyemprotan akan terlihat setelah 2 – 4 hari pada gulma semusim dan 7 – 10 hari pada gulma tahunan. Cara kerja herbisida glifosat yaitu


(53)

27

menghambat aktivitas enzim 5-enolpyruvylshikimic sintase asam-3-fosfat (EPSP), yang diperlukan untuk pembentukan asam amino aromatik yaitu tirosin, triptofan, dan fenilalanin (Miller et al., 2010).

Glifosat menghambat pemanjangan akar kecambah, karena masuknya herbisida glifosat ke dalam tubuh tumbuhan melalui akar menghambat pertumbuhan terutama pemanjangan akar dan mencegah pertumbuhan akar lateral (Moenandir, 1993).

Menurut Ashton dan Crafts (1981), glifosat di dalam tanah dianggap

nonfitotoksisitas atau tidak meracuni tanaman karena senyawa herbisida tersebut terikat kuat pada partikel tanah. Pencucian herbisida glifosat oleh air hujan dalam selang waktu 2 jam setelah aplikasi, tidak mengurangi efektivitas daya bunuh herbisida (Girsang, 2005).

Menurut Sukman dan Yakup (1995), glifosat termasuk ke dalam golongan herbisida sistemik yang jika diberikan pada pertumbuhan kemudian diserap oleh jaringan daun lalu ditranslokasikan ke seluruh bagian tumbuhan seperti titik tumbuh, akar, dan rimpang maka tumbuhan tersebut akan mengalami kematian total.

Menurut Sastroutomo (1992), glifosat merupakan herbisida sistemik tidak selektif termasuk golongan organofosforus yang merupakan turunan asam amino glisin. Senyawa ini diserap melalui daun dan diangkut ke semua jaringan tumbuhan dan mempengaruhi metabolisme asam nukleat dan sintesis protein. Glifosat bekerja


(54)

28

saat pertumbuhan daun aktif sehingga dapat menyerap bahan aktif yang ditranslokasikan ke seluruh bagian tumbuhan.

Herbisida glifosat selain menanggulangi gulma, juga memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Penggunaan herbisida isopropilamina glifosat dapat meningkatkan laju permeabilitas, ketersediaan P dan KTK (Kapasitas Tukar Kation) tanah (Lamid et al., 1996). Budidaya tanpa olah tanah dengan aplikasi herbisida

glifosat, ketersediaan N dan C organik serta mikroba tanah meningkat (Niswati et al., 1995).

2.7.5 Herbisida 2,4-D

2,4-D adalah herbisida selektif yang cara kerjanya meniru hormon auksin pertumbuhan (indole acetid acid), yang menyebabkan pertumbuhan tidak

terkendali dan akhirnya terjadi kematian tanaman rentan herbisida. Herbisida ini memiliki rumus molekul C8H6Cl2O3, berat molekul 221,04 g mol-1, nama kimia

(2,4-dichlorophenoxy) acetic acid dengan struktur kimia seperti Gambar 5 (Tomlin, 2003).

Gambar 5. Rumus bangun 2,4-D (Tomlin, 2003).

Konsentrasi rendah 2,4-D dapat merangsang RNA, DNA, dan sintesis protein menyebabkan pembelahan sel yang tidak terkendali dan akhirnya kerusakan jaringan tumbuhan. Sebaliknya, konsentrasi tinggi 2,4-D dapat menghambat pembelahan sel dan pertumbuhan (Tu et al., 2003). Gejala keracunan tanaman

C l

C l


(55)

29

yang ditimbulkan oleh herbisida 2,4-D antara lain yaitu terjadinya epinasti, terbentuknya jaringan tumor, batang melengkung dan mudah patah, serta daun menggulung (Sriyani, 2013).

Menurut Moenandir (1990), herbisida dengan bahan aktif 2,4-D akan

menghambat pertumbuhan gulma dengan mempercepat respirasi, menyebabkan adanya bahan aktif dapat mempercepat kematian gulma. Cara kerja herbisida dengan mengganggu keseimbangan produksi bahan-bahan kimia yang diperlukan tumbuhan. Penambahan konsentrasi herbisida mampu mempercepat proses kematian gulma.

Zat pengatur tumbuh (ZPT) dari golongan auksin dapat meningkatkan daya kecambah beberapa jenis tanaman. Salah satu senyawa yang tergolong auksin adalah ZPT 2,4-D. Senyawa tersebut pada konsentrasi rendah dapat mendorong pembelahan sel, mendorong pertumbuhan tanaman, dan meningkatkan daya kecambah benih. Pengaruh Konsentrasi ZPT 2,4-D 0,72 ppm (part per million) menghasilkan presentase benih berkecambah dan kecepatan benih berkecambah tertinggi, serta jumlah akar terbanyak sedangkan konsentrasi ZPT 2,4-D 1,20 ppm menghasilkan pertambahan tinggi terbanyak, panjang akar terpanjang, berat basah, dan berat kering tanaman tertinggi (Podesta et al., 2008).

Hasil dari penelitian penggunaan herbisida tunggal ametrin (dosis 3 l ha-1), 2,4-D

(dosis 3 l ha-1) serta herbisida campuran 2,4-D + ametrin (dosis 2 l ha-1 + 3 l ha-1)

apabila diaplikasikan 1 kali maupun 2 kali lebih efektif mengendalikan gulma dan mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman tebu vegetatif tanaman tebu jika dibandingkan tanpa pengendalian gulma (Puspitasari, 2013).


(56)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian tahap ke-2 (lanjutan) yang dilaksanakan di Kelurahan Rajabasa, Bandar Lampung dan Laboratorium Ilmu Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari bulan Oktober 2013 – Januari 2014. Tahap pertama telah dilaksanakan pada bulan Februari – Mei 2013.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian adalah tanaman kelapa sawit belum menghasilkan berumur 16 bulan (tinggi + 140 cm), DPX-MAT28 adalah herbisida berbahan aktif aminosiklopiraklor yang ditemukan oleh PT. DuPont Crop

Protection, kombinasi herbisida berbahan aktif aminopiralid+triklopir (Garlon-Mix 480 EW), herbisida berbahan aktif glifosat (Round Up 486 SL), herbisida berbahan aktif 2,4-D (Lindomin 865 SL) serta air sebagai pelarut herbisida.

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah knapsack sprayer dengan nosel berwarna kuning, klorofilmeter, gelas ukur, rubber bulb, ember plastik, timbangan analitik, oven, pengaduk, meteran, cangkul, sabit, kuadran

(50 cm x 50 cm), patok bambu, amplop kertas, kantong plastik, alat tulis, dan alat bantu lainnya.


(57)

31

3.3 Metode Penelitian

Penelitian disusun menggunakan Rancangan Kelompok Teracak Sempurna (RKTS) dengan 9 perlakuan dan 4 ulangan. Herbisida yang diuji adalah herbisida aminosiklopiraklor, dan sebagai pembanding digunakan herbisida glifosat,

aminopiralid+triklopir, serta 2,4-D. Masing-masing perlakuan diterapkan pada satuan unit percobaan. Susunan perlakuan tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Perlakuan Herbisida

No Perlakuan Dosis bahan aktif (g ha-1)

Dosis formulasi (ml ha-1)

1 Aminosiklopiraklor 7,5 31,25

2 Aminosiklopiraklor 15 62,5

3 Aminosiklopiraklor 30 125

4 Aminosiklopiraklor 60 250

5 Glifosat 729 1500

6 Aminopiralid+Triklopir 115,2+64,8=180 375

7 2,4-D 1297 1500

8 Mekanis - -

9 Kontrol - -

Seluruh data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan ANARA. Homogenitas data diuji dengan Uji Bartllet dan aditivitas data diuji dengan Uji Tukey. Sedangkan untuk uji perbedaan nilai tengah perlakuan digunakan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5%.


(58)

32

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Penentuan Petak Percobaan

Penentuan petak percobaan dilakukan dengan memberi nomor perlakuan pada patok bambu dengan menggunakan cat. Setiap satuan unit percobaan terdiri dari satu tanaman kelapa sawit belum menghasilkan dengan rata-rata tinggi + 140 cm

dengan jarak antartanaman 2 m x 2 m. Gambar 1 merupakan skema tata letak percobaan.

UI UII

UIV UIII

Ulangan I Ulangan II Ulangan III Ulangan IV Keterangan:

P1 : Aminosiklopiraklor 7,5 g ha-1 P2 : Aminosiklopiraklor 15 g ha-1 P3 : Aminosiklopiraklor 30 g ha-1 P4 : Aminosiklopiraklor 60 g ha-1 P5 : Glifosat 729 g ha-1

P6 : Aminopiralid+Triklopir 115,2+64,8=180 g ha-1 P7 : 2,4-D 1297g ha-1

P8 : Mekanis P9 : Kontrol

Gambar 6. Tata letak percobaan. P4 P3 P2 P1 P9 P7 P6 P5 P5 P6 P7 P9 P1 P2 P3 P4 P7 P5 P9 P6 P2 P1 P4 P3 P3 P8 P1 P2 P6 P4 P5 P7 P8

P8 P8


(59)

33

3.4.2 Penyeragaman Tanaman

Kegiatan yang dilakukan sebelum aplikasi herbisida yaitu menyeragamkan kondisi tanaman kelapa sawit belum menghasilkan dengan cara membuang atau memotong pelepah daun kelapa sawit yang telah teracuni akibat aplikasi herbisida sebelumnya. Kegiatan tersebut bertujuan untuk mempermudahkan dalam

membedakan dampak keracunan dari aplikasi herbisida sebelumnya.

3.4.3 Aplikasi Herbisida

Aplikasi herbisida pada percobaan ini dilakukan kurang lebih 8 bulan setelah aplikasi pada percobaan tahap pertama. Sebelum dilakukan aplikasi herbisida, terlebih dahulu dilakukan kalibrasi untuk menentukan volume semprot yang dibutuhkan. Metode kalibrasi yang digunakan yaitu metode luas. Kemudian jumlah masing – masing herbisida sesuai dengan dosis yang telah ditentukan untuk setiap perlakuan dilarutkan ke dalam air sesuai dengan volume semprot hasil kalibrasi.

Penyemprotan dilakukan pada kelapa sawit dengan ketinggian + 140 cm sehingga sebagian besar bagian tanaman kelapa sawit terkena larutan herbisida. Aplikasi herbisida dilakukan satu kali dengan cara menyemprotkan larutan herbisida secara merata pada bagian atas tanaman kelapa sawit dan berjalan memutari tanaman kelapa sawit belum menghasilkan dengan menggunakan knapsack sprayer bernosel kuning. Gambar 7 merupakan denah area aplikasi herbisida pada tanaman kelapa sawit.


(60)

34

Gambar 7. Denah area aplikasi herbisida.

3.4.4 Penyiangan Mekanis

Penyiangan mekanis dilakukan dengan cara membersihkan gulma pada piringan tanaman kelapa sawit dengan jari-jari 1,5 m menggunakan cangkul. Penyiangan mekanis dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pada sebelum aplikasi herbisida dan setelah pengamatan 2 dan 6 MSA. Namun, dalam pengendalian gulma Imperata cylindrica dilakukan secara manual yaitu dicabuti dengan tangan untuk

menghindari gulma golongan daun lebar tersiangi apabila menggunakan alat seperti cangkul.

3.5 Pengamatan

3.5.1 Gejala dan Tingkat Keracunan Tanaman

Pengamatan gejala keracunan tanaman akibat pengaplikasian herbisida

aminosiklopiraklor dilakukan pada 2, 4, 6, 8, 10 minggu setelah aplikasi (MSA). Pengamatan gejala keracunan dilakukan dengan cara membandingkan perubahan warna dan bentuk daun, serta bentuk batang pada petak perlakuan dibandingkan dengan perlakuan mekanis.


(61)

35

Sedangkan untuk mengetahui tingkat keracunan tanaman kelapa sawit juga

dilakukan pada 2, 4, 6, 8 dan 10 minggu setelah aplikasi (MSA). Menurut Komisi Pestisida (2011), pengamatan tingkat keracunan tanaman kelapa sawit yang disebabkan oleh aplikasi herbisida dilakukan secara visual dengan skor sebagai berikut:

0 = tidak ada keracunan, 0-5% bentuk atau warna daun atau pertumbuhan tanaman tidak normal;

1 = keracunan ringan, >5-20% bentuk atau warna daun atau pertumbuhan tanaman tidak normal;

2 = keracunan sedang, >20-50% bentuk atau warna daun atau pertumbuhan tanaman tidak normal;

3= keracunan berat, >50-75% bentuk atau warna daun atau pertumbuhan tanaman tidak normal;

4 = keracunan sangat berat, >75% bentuk atau warna daun atau pertumbuhan tanaman tidak normal hingga mengering dan rontok, kemudian menyebabkan kematian tanaman.

3.5.2 Pertumbuhan Tanaman

Variabel pengamatan yang diamati untuk mengetahui pertumbuhan tanaman adalah:

3.5.2.1 Penambahan Tinggi Tanaman

Pengamatan tinggi tanaman dilakukan dengan menyatukan pelepah daun tanaman kelapa sawit kemudian diukur tinggi tanaman mulai dari atas permukaan tanah


(62)

36

sampai daun tertinggi. Kemudian akan didapatkan penambahan tinggi tanaman kelapa sawit dengan mengurangkan hasil pengukuran pada pengamatan minggu sebelumnya. Pengamatan dilakukan pada 2, 4, 6, 8, dan 10 MSA.

3.5.2.2 Penambahan Pelepah Daun Tanaman

Pengamatan pelepah daun tanaman dilakukan dengan menghitung seluruh pelepah daun tanaman kelapa sawit mulai dari daun yang paling bawah sampai pelepah daun muda teratas yang telah terbuka sempurna. Namun apabila pada minggu pengamatan selanjutnya didapatkan pelepah daun yang teracuni, maka pelepah tersebut tidak dihitung atau sebagai pelepah daun teracuni. Kemudian akan didapatkan penambahan pelepah daun tanaman dengan mengurangkan hasil pengamatan pada minggu pengamatan sebelumnya. Pengamatan dilakukan pada 2, 4, 6, 8, 10 minggu setelah aplikasi (MSA).

3.5.2.3 Pelepah Daun Tanaman Teracuni

Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah pelepah daun teracuni dengan melihat gejala keracunan pada daun dari jumlah total pelepah daun kelapa sawit. Gejala keracunan pada pelepah daun tanaman yang diamati seperti daun roset (daun membuka sempurna namun pelepah daun kerdil), arah daun tanaman, dan bentuk batang yang abnormal. Pengamatan dilakukan pada 4, 6, 8, dan 10 minggu setelah aplikasi (MSA).


(63)

37

3.5.2.4Panjang Pelepah Daun Muda

Pengamatan dilakukan dengan mengukur panjang pelepah daun muda teratas yang telah terbuka sempurna dan memiliki duri pada pangkal pelepah dari masing – masing tanaman kelapa sawit mulai dari daun terbawah yang menempel pada batang hingga pucuk daun. Pengamatan dilakukan pada 6, 8, 10, dan 12 minggu setelah aplikasi (MSA).

3.5.2.5Tingkat Hijau Daun

Pengamatan tingkat hijau daun pada 4, 8, dan 12 minggu setelah aplikasi (MSA) dilakukan pada daun yang sama dalam pengamatan panjang pelepah daun muda dengan mengambil 6 titik pengamatan yang kemudian dirata-ratakan.

Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kehijauan daun akibat aplikasi herbisida. Pengamatan dilakukan pada pagi hari yaitu pada pukul 07:00 WIB dengan menggunakan klorofilmeter dengan satuan spad unit (su).

3.5.2.6Bobot Kering Akar

Bobot kering akar didapatkan dengan membongkar tanaman kelapa sawit

sebanyak 2 ulangan pada masing – masing perlakuan pada 12 MSA atau di akhir waktu pengamatan. Akar tanaman diambil seluruhnya kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari untuk memudahkan dalam memisahkan tanah dengan akar. Setelah itu dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 80°C selama 48 jam hingga mencapai bobot konstan. Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana herbisida aminosiklopiraklor mempengaruhi pertumbuhan akar tanaman kelapa sawit.


(64)

38

3.5.3 Persentase Penutupan Gulma Total

Persentase penutupan gulma total didapatkan dengan mengamati persentase penutupan gulma terhadap total area piringan pada setiap satuan percobaan. Pengamatan persentase penutupan gulma dilakukan pada 2, 4, 6, 8, dan 10 minggu setelah aplikasi (MSA).

3.5.4 Bobot Kering Gulma Total

Bobot kering gulma total didapatkan dengan cara memotong gulma tepat di atas permukaan tanah pada setiap satuan percobaan dengan menggunakan kuadran 50 cm x 50 cm sebanyak satu kuadran. Setiap piringan kelapa sawit diambil satu contoh dengan posisi yang berbeda atau melingkari tanaman kelapa sawit untuk 5 kali pengamatan. Adapun denah area pengambilan gulma seperti pada Gambar 8.

Sampel gulma yang telah didapatkan kemudian dikelompokkan berdasarkan spesies, kemudian dioven dengan suhu 80°C selama 48 jam hingga mencapai bobot yang konstan dan kemudian ditimbang bobot keringnya. Pengambilan gulma dilakukan pada 2, 4, 6, 8, dan 10 MSA.


(65)

39

Keterangan:

Gulma pada petak contoh yang diambil pada 2 MSA Gulma pada petak contoh yang diambil pada 4 MSA Gulma pada petak contoh yang diambil pada 6 MSA Gulma pada petak contoh yang diambil pada 8 MSA Gulma pada petak contoh yang diambil pada 10 MSA

Tanaman kelapa sawit belum menghasilkan yang diamati gejala dan tingkat keracunannya

Gambar 8. Denah area pengambilan gulma.

3.5.5 Bobot Kering Gulma Dominan

Pengamatan bobot kering gulma dominan didapatkan berdasarkan bobot kering gulma total yang diambil setiap minggu pengamatan. Bobot kering gulma per golongan yang dominan pada piringan kelapa sawit kemudian didapatkan setelah menimbang bobot keringnya.

0,5 m

1 m 1 2

4 5

3

1 2

4 3


(66)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Herbisida aminosiklopiraklor 15 – 60 g ha-1 menyebabkan gejala keracunan

terhadap tanaman kelapa sawit belum menghasilkan mulai dari 2 – 10 MSA. 2. Herbisida aminosiklopiraklor 60 g ha-1 menyebabkan tingkat keracunan

tertinggi dibandingkan herbisida aminosiklopiraklor 7,5 – 30 g ha-1, tetapi setara dengan ketiga herbisida pembanding (glifosat 729 g ha-1;

aminopiralid+triklopir 115,2+64,8 g ha-1; 2,4-D 1297 g ha-1).

3. Herbisida aminosiklopiraklor dan ketiga herbisida pembanding menyebabkan pelepah daun tanaman teracuni, menurunkan tingkat hijau pelepah daun tetapi tidak menekan penambahan tinggi tanaman kelapa sawit.

4. Herbisida aminosiklopiraklor 15 – 60 g ha-1 dapat menekan panjang pelepah daun setara dengan herbisida aminopiralid+triklopir 115,2+64,8 g ha-1 dan

2,4-D 1297 g ha-1. Pada dosis tertinggi (60 g ha-1) aminosiklopiraklor juga

dapat menghambat pertumbuhan akar tanaman kelapa sawit belum menghasilkan.

5. Herbisida aminosiklopiraklor yang diujikan tidak dapat menekan bobot kering gulma total, tetapi herbisida aminosiklopiraklor 30 g ha-1 dan 60 g ha-1


(1)

59

Sedangkan dosis tertinggi herbisida aminosiklopiraklor (60 g ha-1) dapat mengendalikan gulma dominan Asystasia gangetica pada 2, 4, dan 8 MSA.

5.2 Saran

Pada penelitian ini yang menjadi variabel kunci pengamatan adalah penambahan pertumbuhan dan perkembangan pelepah daun muda tanaman kelapa sawit belum menghasilkan. Dengan demikian variabel tersebut sangat perlu dilakukan pada saat pengamatan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan tanaman akibat penggunaan herbisida aminosiklopiraklor pada tanaman kelapa sawit belum menghasilkan.


(2)

PUSTAKA ACUAN

Agustia, R. A. 1997. Pengendalian Gulma pada Tanaman Kelapa Sawit di Kayangan Estate, P.T Salim Womas Pratama, Riau. (Skripsi). Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Antika, R. S. 2014. Uji Fitotoksisitas Herbisida Aminosiklopiraklor pada Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). (Skripsi). Jurusan Agroteknologi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. 40 hlm.

Antunes, S. E., Kenyon and G. Kennedy. 2004. A Review of The Toxicity and Environmental Fate of Triclopyr. Massachusetts Department of Agricultural Resources. 6 hlm.

Ashton, F. M. and A. S. Craft. 1981. Mode of Action of Herbicides. John Willey and Sons. Inc. Canada.

Badan Pusat Statistik. 2012. Luas dan Produksi Tanaman Perkebunan Besar Menurut Jenis Tanaman. http://www.bps.go.id/menutab.php?

tabel=1&kat=3&id_subyek=54. Diakses tanggal 25 September 2013. Bukun, B., T. A. Gaines, S. J. Nissen, P. Westra, G. Brunk, D. L. Shaner, B. B.

Sleugh, and V. F. Peterson. 2009. Aminopyralid and Clopyralid Absorption and Translocation in Canada thistle(Cirsium arvense). Weed Science. 57(1): 10-15.

Bukun, B., R. B. Lindenmayer, S. J. Nissen, P. Westra, D. L. Shaner, and G. Brunk. 2010. Absorption and Translocation of Aminocyclopyrachlor and Aminocyclopyrachlor-Methyl Ester in Canada thistle (Cirsium arvense).

Weed Science. 58(2): 96-102.

Crafts, A. S. and W. W. Robbins. 1973. Weed Control. Tata Megraw-Hill Publishing Company. New Delhi.

Dalimunthe, M. 2009. Meraup Untung dari Bisnis Waralaba Bibit Kelapa Sawit. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Durkin, P. R. 2012. Aminocyclopyrachlor Human Health and Ecological Risk Assessment FINAL REPORT. Syracuse Environmental Research Associates, Inc. 8125 Solomon Seal Manlius, New York 13104. 5 hlm.


(3)

61

Donselman, H and T. K. Broschat. 1986. Phytotoxicity of Several Pre and Post emergent Herbicides on Container Grown Palms. Florida Agricultural

Experiment Station Journals. 99 (7811): 273-274.

Dow AgroSciences. 2008. Aminopyralid Technical Bulletin. 12 hlm.

Dow AgroSciences. 2011. Aminopyralid Chemical Watch Factsheet. Pesticides and You: A quarterly publication of Beyond Pesticides. 31(3):

21-22.

Finkelstein, B. L., G. R. Armel, S. A. Bolgunas, D. A. Clark, J. S. Claus, R. J. Crosswicks, C. M. Hirata, G. J. Hollingshaus, M. K. Koeppe, P. L. Rardon, V. A. Wittenbach, and M. D. Woodward. 2008. A New Broad-Spectrum Auxinic Herbicide. Technical Bulletin. United States.

Girsang, W. 2005. Pengaruh Tingkat Dosis Herbisida Isopropilamina glifosat dan Selang Waktu Terjadinya Pencucian Setelah Aplikasi Terhadap Efektivitas Pengendalian Gulma pada Perkebunan Karet (Hevea brasiliensis) TBM.

Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian. 3(2): 31-36.

Hakim, M. 2007. Agronomis dan Manajemen Kelapa Sawit: Buku Pegangan

Agronomis dan Pengusaha Kelapa Sawit. Lembaga Pupuk Indonesia.

Jakarta. 305 hlm.

Kiswanto, J. H. Purwanta, dan B. Wijayanto. 2008. Teknologi Budidaya Kelapa Sawit. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor. 2 hlm.

Klingman, G. C., F. M. Ashton, and L. J. Noordhof. 1982. Weed Science: Principles and Practices. John Willey and Sons. Inc. New York.

Komisi Pestisida. 2011. Pestisida untuk Pertanian dan Kehutanan. Departemen Pertanian. Jakarta. 879 hlm.

Lamid, Z., G. Adlis, dan W. Hermawan. 1996. Efikasi Herbisida Glifosat untuk Mengendalikan Gulma Padi Sawah Pasang Surut Tanpa Olah Tanah. Pros. Konf 13.HIGI.

Lubis, A. U. 2008. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Indonesia. Edisi 2. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Sumatera Utara. 362 hlm.

Mangoensoekardjo, S. dan H. Semangun. 2008. Manajemen Agribisnis Kelapa

Sawit. UGM press. Yogyakarta. 605 hlm.

Madkar, O. R., T. Kuntohartono dan S. Mangoensoekardjo (eds). 1986. Masalah Gulma dan Cara Pengendalian. HIGI. Bogor. 132 hlm.


(4)

Miller, A., J. A. Gervais, B. Luukinen, K. Buhl, and D. Stone. 2010. Glyphosate Technical Fact Sheet; National Pesticide Information Center, Oregon State University Extension Services. 2 hlm.

http://npic.orst.edu/factsheets/glyphotech.pdf.

Moenandir, J. 1990. Pengantar Ilmu Pengendalian Gulma (Ilmu Gulma: Buku I). Rajawali Press. Jakarta.

Moenandir, J. 1993. Fisiologi Herbisida. Rajawali Press. Jakarta.

Mulyati, S. 2004. Studi Efektivitas Herbisida Glifosat 48% dan Glifosat 24%+2,4 D 12% untuk Mengendalikan Gulma pada Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis

guineensis Jacq.) Belum Menghasilkan. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor.

Niswati, A., S. G. Nugroho dan M. Utomo. 1995. Pengaruh Aplikasi Herbisida Glifosat Terus Menerus Selama Lima Belas Musim dalam Praktek Tanpa Olah Tanah Terhadap Populasi Mikroba Tanah. Pros. OTK.

Ornamentals Northwest Archives. 1981. Phytotoxicity of Pesticides to Plants.

D.E. Short Extension Entomologist. University of Florida. 5(3): 4-5.

Pahan, I. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis dari Hulu

hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta. 412 hlm.

PANECO, YEL, ICRAF/World Agroforesty Center, Universitas Syah Kuala-Banda Aceh, Pemerintah Kabupaten Nagan Raya dan PT. Socfin Indonesia (Socfindo). 2010. Budidaya Kelapa Sawit, Ramah Lingkungan untuk Petani Kecil. Biodiversity Agriculture Commodities Program (BACP) of

International Finance Coorporation. 1-3 hlm.

Patton, A. J, G. E. Ruhl, T. C. Creswell, P. Wan, D. E. Scott, J. D. Becovitz, and D. V. Weisenberger. 2013. Potential Damage to Sensitive Landscape Plants from Wood Chips of Aminocyclopyrachlor Damaged Trees. Weed

Technology. 27(4): 803-809.

Podesta, F., U. Kalsum, dan E. Mareza. 2008. Kajian Konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh 2,4-D Terhadap Viabilitas, Vigor dan Pertumbuhan Benih pada Beberapa Genotipe Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.). Jurnal

Akta Agrosia.11(1): 19.

Puspitasari, K. 2013. Pengaruh Aplikasi Herbisida Ametrin dan 2,4-D dalam Mengendalikan Gulma Tanaman Tebu (Saccharum officinarum Linn.).

Jurnal Produksi Tanaman. 1(2).

Restyningsih, A. 2002. Efikasi Herbisida Glifosat 16% Terhadap Gulma Pada Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Menghasilkan. Skripsi. Universitas Lampung. 36 hlm.


(5)

63

Riadi, M. 2011. Herbisida dan Aplikasinya. Bahan Ajar Mata Kuliah Herbisida dan Aplikasinya. Fakultas Pertanian. Universitas Hasanuddin. 40 hlm. Ross, M. A. and C. A. Lembi. 1985. Applied Weed Science. Weed Science of

South America.

Sastroutomo, S. S. 1992. Pestisida Dasar-Dasar dan Dampak Penggunaannya. Gramedia. Jakarta. 186 hlm.

Sembodo, D. R. J. 2010. Gulma dan Pengelolaannya. Graha Ilmu. Yogyakarta. 166 hlm.

Solahudin. 2004. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pembibitan Kelapa Sawit di PT. Kerinci Agung. Makalah pada Training Senior Konduktor dan Supervisor PT. TKA dan PT. SSS. Sungai Talang.

Sriyani, N. 2013. Mekanisme Kerja Herbisida. Bahan Mata Kuliah Herbisida dan Lingkungan. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. 27 hlm.

Strachan, S. D, M. S. Casini, K. M. Heldreth, J. A. Scocas, S. J. Nissen, B. Bukun, R. B. Lindenmayer, L. D. Shaner, P. Westra, and G. Brunk. 2010. Vapor Movement of Synthetic Auxin Herbicides: Aminocyclopyrachlor, Aminocyclopyrachlor-Methyl Ester, Dicamba, and Aminopyralid. Weed

Science. 58(2): 103-108.

Strachan, S. D, S. C. Nanita, M. Ruggiero, M. S. Casini, K. M. Heldreth, L. H. Hageman, H. A. Flanigan, N. M. Ferry, and A. M. Pentz. 2011. Correlation of Chemical Analysis of Residual Levels of Aminocyclopyrachlor in Soil to Biological Responses of Alfalfa, Cotton, Soybean, and Sunflower. Weed

Technology. 25(2): 239-244.

Sukman, Y. dan Yakup. 1995. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 157 hlm.

Susila, W. R. 2011. Membandingkan Industri CPO Malaysia dengan Indonesia. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Bogor. 11-12 hlm.

Tomlin, C. D. S. 2003. The Pesticide Manual: 3th ed. British Crop Protection Council. United States.

Tjitrosoedirdjo, S. I, H. Utomo dan J. Wiryoatmodjo. 1984. Pengelolaan Gulma

di Perkebunan. PT Gramedia. Jakarta.

Triharso. 1994. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 285–286, 289, 299 hlm.

Tu, M., C. Hurd, R. Robison, and J. M. Randall. 2003. Triclopyr. Weed Control Methods Handbook, The Nature Conservancy.


(6)

Waluyo, D. 2014. Uji Fitotoksisitas dan Efikasi Herbisida Aminosiklopiraklor Terhadap Gulma pada Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Belum Menghasilkan. (Skripsi). Jurusan Agroteknologi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. 45 hlm.

Wudianto, R. 2006. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Penebar Swadaya. Jakarta. 209 hlm.