LGBT dalam Perspektif Etika Moral Kelas

(1)

LGBT dalam Perspektif Etika Moral

Dibimbing oleh: Dr. H. Mardani, M.Ag. Dra. Hj. Indrihadi Isnaeni, M.Sc

Disusun oleh:

Megawati Chris Debora Marsela Mendrofa 1533.001.019

Kelas A

FAKULTAS HUKUM


(2)

PEMBAHASAN

A. Apa yang dimaksud dengan LGBT?

LGBT adalah akronim dari “ Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender”. Istilah ini digunakan semenjak tahun 1990-an dan menggantikan frasa “komunitas gay”. Akronim ini dibuat dengan tujuan untuk menekankan keanekaragaman budaya yang berdasarkan identitas seksualitas dan gender. Kadang istilah LGBT digunakan untuk semua orang yang tidak heteroseksual. Maka dari itu, sering kali huruf Q ditambahkan agar “QUEER” dan orang-orang yang masih mempertanyakan identitas seksual mereka juga terwakili (exm: LGBTQ, sejak tahun 1996).

Tidak semua kelompok yang disebutkan setuju dengan akronim ini. Beberapa orang dalam disebutkan merasa tidak berhubungan dengan kelompok lain dan tidak menyukai penyeragaman ini. Beberapa orang menyatakan bahwa pergerakan transgender dan transeksual itu tidak sama dengan pergerakan kaum LGB. Gagasan tersebut merupakan bagian dari keyakinan “separatisme lesbian dan gay”, yang meyakini bahwa kelompok lesbian dan gay harus dipisah satu sama lain. Ada pula yang tidak peduli karena mereka merasa bahwa akronim ini terlalu Political Corrrect. Akronim LGBT merupakan sebuah upaya untuk mengategorikan berbagai kelompok dalam satu wilayah abu- abu, dan penggunaan akronim ini menandakan bahwa isu dan prioritas kelompok yang diwakili diberikan perhatian yang setara. Disisi lain, kaum interseks ingin dimasukan kedalam kelompok LGBT untuk membentuk LGBTI yang digunakan dalam The Activist’s Guide of the Yogyakarta Principles in Action.


(3)

B. Sejarah LGBT

Sebelum revolusi seksual sebelum 1960-an, tidak ada kosakata non- peyoratif untuk menyebut kaum yang bukan heteroseksual. Istilah terdekat “gender ketiga” telah ada sejka tahun 1860-an, tetapi tidak banyak disetujui.

Istilah pertama yang banyak digunakan adalah “homoseksual”, dikatakan mengandung konotasi negative dan cenderung digantikan dengan “homofil” pada era 1950-an dan 1960-an. Lalu muncullah “gay” pada tahun 1970-1960-an. Frase gay dan lesbian menjadi lebih umum setelah identitas kaum lesbian semakin terbentuk. Pada tahun 1970, Daughters of Bilitis menjadikan isu feminism atau hak gay sebagai prioritas. Maka, karena kesetaraan didahulukan, perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dipandang bersifat patriakal oleh feminis lesbian. Banyak kaum feminis lesbian menolak kerjasama dengan kaum gay. Selanjutnya, kaum bisexual dan transgender juga meminta pengakuan dalam komunitas yang lebih besar. Setelah euforia kerusuhan stonewall mereda, dimulai dari akhir 1970-an dan awal 1980-an. Terjadi perubahan pandangan; beberapa gay dan lesbian menjadi kurang menerima kaum biseksual dan transgender. Kaum transgender dituduh terlalu banyak membuat stereotip dan biseksual hanyalah gay atau lesbian yang takut untuk mengakui identitas seksual mereka. Setiap komunitas yang disebut dalam akronim LGBT telah berjuang untuk mengembangkan identitasnya masing-masing, seperti apakah, dan bagaimana bersekutu dengan komunitas lain, konflik tersebut terus berlanjut hingga kini.

ak1970-an dan awal 1980-an. Terjadi perubahan pandangan; beberapa gay dan lesbian menjadi kurang menerima kaum biseksual dan transgender. Kaum transgender dituduh terlalu banyak membuat stereotip dan biseksual hanyalah gay atau lesbian yang takut untuk mengakui identitas seksual mereka. Setiap komunitas yang disebut dalam akronim LGBT telah berjuang untuk mengembangkan identitasnya masing-masing, seperti apakah, dan bagaimana bersekutu dengan komunitas lain, konflik tersebut terus berlanjut hingga kini.

Akromi LGBT kadang-kadang digunakan di Amerika Serikat dimulai dari sekitar tahun 1988. Baru pada tahun 1990-an istilah ini banyak digunakan. Meskipun komunitas LGBT menuai kontraversi mengenai penerimaan universal atau kelompok anggota yang berada (biseksual dan transgender kadang-kadang dipinggirkan oleh komunitas LGBT), istilah ini dipandang positif. Walaupun singkat LGBT tidak meliputi komunitas yang lebih kecil (lihat bagian ragam di bawah), akromi ini secara umum dianggap mewakili kaum yang


(4)

tidak disebutkan. Secara keseluruhan, penggunaan istilah LGBT telah membantu mengantarkan orang-orang yang terpinggirkan ke komunitas umum.

Aktris transgender Candis Cayne pada tahun 2009 menyebutkan komunitas LGBT sebagai “minoritas besar terakhir”, dan menambahkan bahwa “Kita masih bias diganggu secara terbuka” dan “disebut di televisi.”

Ada banyak ragam yang mengganti susunan huruf dalam akromi ini. LGBT atau GLBT merupakan istilah yang paling banyak digunakan saat ini. Meskipun maknanya sama, “LGBT” punya konotasi yang lebih feminis dibanding “GLBT” karena menempatkan “L” terlebih dahulu. Akromi ini saat tidak meliputi kaum transgender disingkat menjadi “LGB”. Huruf “Q” untuk “queer” atau “quesrioning” (mempertanyakan) kadang-kadang ditambah (contoh, “LGBTQ”, “LGBTQQ”, atau “GLBTQ?”). Huruf lain yang dapat ditambahkan adalah “U” untuk “unsure” (tidak pasti); “C” untuk “curious” (ingin tahu); “I” untuk interseks; “T”,”TS”, atau “2” untuk “TwoSpirit”;”A” atau “SA” untuk “straight allies” (orang heteroseksual yang mendukung pergerakan LGBT); atau “A” untuk “aseksual”la yang menambahkan “P” untuk panseksualitas atau “polyamorous”, dan “O’ untuk “other” (lainnya). Susunan huruf-huruf tersebut tidak terstandardisasi; huruf-huruf kurang umum yang telah disebutkan dapat ditambahkan dalam susunan apapun. Istilah yang beragam tidak mewakili perbedaan posilitis antar komunitas, tetapi muncul dari prarasa individu dan kelompok. Istilah panseksual, omniseksual, fluid, dan queer dianggap masuk ke dalam ‘biseksual”. Demikian pula, bagi beberapa orang istilah transeksual dan interseks masuk ke dalam “transgender”, meskipun banyak transeksual dan interseks yang menolaknya.

“SGL” (“same gender loving”, pecinta sesama kadang–kadang digunakan orang Afrika – Amerika untuk memisahkan diri dari komunitas LGBT yang menurut mereka didominasi orang kulit putih. “MSM” (“men who have sex with men”, laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki) secara sinis dipakai untuk mendeskripsikan laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lain tanpa merujuk pada orientasi seksual mereka. Frase “MSGI” (“minority sexual and gender identities”, identitas seksual dan gender minoritas) yang diperkenalkan pada tahun 2000-an digunakan untuk merangkum semua huruf dan akronim, namun masih belum banyak digunakan. Majalah Anything That Moves menciptakan akronim FABGLITTER (Fetish seperti komunitas gaya hidup BDSM, Allies atau poly-Amorous, Biseksual, Gay, Lesbian, Interseks, Transgender, Transsexual Engendering Revolution (Revolusi Kelahiran Transeksual) atau inter-Racial attraction


(5)

(ketertarikan antar ras), tetapi istilah ini juga tidak banyak digunakan. Akronom lain yang menyebar penggunaannya adalah QUILTBAG (Queer/Questioning, Undecided (belum ditentukan), Interseks, Lesbian, Trans, Biseksual, Aseksual, Gay). Akan tetapi, istilah ini juga belum umum.

C. Bagaimana LGBT dalam konteks Negara Hukum?

Pada dasarnya dalam konteks negara hukum Indonesia, kita harus menimbang segala perilaku bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa dalam kacamata hukum. Artinya, antarwarga negara dapat saja berbeda pendapat dalam suatu hal.

Namun, hal tersebut harus dikembalikan pada kajian hukum untuk mendapatkan ‘status yuridis’-nya: apakah dapat dibenarkan ataukah tidak? Taat pada norma hukum positif merupakan suatu bentuk sikap patriotisme yang paling utama sebagai perilaku yang sesuai dengan konstitusi dalam bernegara. Sebab dari sanalah didapatkan bentuk dari keadilan, ketertiban umum, dan kepastian hukum.

Berhubungan dengan hal tersebut, pada kenyataannya kajian hukum tidak hanya tentang norma hukum positif tapi juga sejarah hukum dan politik hukum yang berada dalam taraf pembangunan hukum, penegakan hukum, dan pengawasan hukum. Hal ini diperpanjang dengan fakta adanya kekosongan hukum, interpretasi hukum, norma hukum yang kabur, saling tumpang tindih atau bahkan saling bertentangan. Sehingga, selalu ada ruang bagi gagasan atau perilaku apapun, baik yang tidak masuk akal sekalipun, untuk terus berjalan.

Oleh karenanya, bagi setiap warga negara Indonesia, isu Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) dalam konteks yang paling sederhana, setidaknya dapat dipetakan dalam tiga taraf logis dengan menjawab serangkaian pertanyaan. Pertama, apakah perilaku LGBT dapat dibenarkan? Kedua, apakah konsesi norma hukum Indonesia menerima pelanggengan perilaku LGBT? Ketiga, bagaimana secara aktif mengawal penegakan hukum tersebut?


(6)

LGBT saat ini lebih dari sekadar sebuah identitas, tetapi juga merupakan campaign substance and cover atas pelanggengan Same Sex Attraction (SSA). Perilaku LGBT melekat dalam bentuk perjuangan untuk diterima sebagai perilaku normal dalam membentuk suatu keluarga. Pembentukan keluarga LGBT adalah fase paling mutakhir dalam melanggengkan kedua perilaku yang lainnya.

Perilaku LGBT pada gilirannya akan mendorong hadirnya pemahaman yang menyimpang tentang seksualitas. Dikatakan menyimpang karena tidak dapat menyatukan antara keinginannya dengan prinsip-prinsip dasar kehidupan, sehingga terjadi gangguan keberfungsian sosial. Faktanya, tidak ada satu pun agama, nilai kemanusiaan, atau nilai kemanfaatan manapun yang membenarkan perilaku demikian.

Barangkali satu-satunya dasar pemikiran yang membenarikan ialah falsafah etis hedonisme yang tidak rampung. Aristippus sebagai tokoh falsafah hedonisme dan murid Socrates menyebutkan bahwa yang terpenting dalam hidup manusia adalah kesenangan. Namun, apabila kita melihat seluruh catatan filsafat Barat tentang filsafat hedonisme, tidak ada yang menyebutkan bahwa kesenangan yang dimaksud itu adalah hal yang secara langsung diingini oleh hasrat yang fana. Seluruhnya mengarahkan pada pemikiran untuk mencapai kesenangan yang hakiki dimana berlaku pengendalian diri dan kesejatian insani.

Telah nyata bahwa wahyu Tuhan mengutuk perilaku homoseksual. Juga tidak akan ada akal sehat yang membenarkannya. Pun tidak akan ada pandangan berwawasan kebangsaan yang akan membelanya.

Apakah konsesi norma hukum di Indonesia menerima pelanggengan perilaku LGBT? Bangsa Indonesia ini, kata Soepomo, dibangun dalam suatu tatanan integralistik. Artinya, kita adalah masyarakat organis. Setiap diri kita adalah anggota dari rumpun keluarga-keluarga. Model kemanusiaan kita sebagai orang Indonesia adalah pemuliaan generasi dengan jelasnya garis keturunan yang membentuk rumpun-rumpun kemasyarakatan. Inilah jati diri pertama dalam bangunan hukum nasional pasca proklamasi kemerdekaan pada 1945.

Kita memiliki worldview sebagai bangsa, antara anak dan orangtua, guru dan murid, istri dan suami, kakek dan nenek, sepupu, paman dan bibi, saudara, dan tetangga. Bangsa ini adalah bagian dari keutuhan diri kita sendiri. Kita dikenal sebagai kesatuan masyarakat organis yang meraih pencerdasan, bukan sekedar meraih pemenangan pribadi-pribadi. Oleh


(7)

karenanya, istilah hak asasi sebagaimana dimaksudkan dalam terminologi Barat, tidak pernah masuk dalam alternatif luaran diskusi para founding fathers.

Cara berpikir kita dalam menghargai setiap generasi adalah dengan memposisikan jati diri pada tempatnya, yakni bak seorang anak yang mendapatkan tempat tumbuh kembang yang baik. Cara berpikir kita bukan seperti dalam mukadimah Piagam PBB yang memberikan apa-apa yang diingini setiap orang per orang. Hal semacam itu hanya akan membawa pada kemunduran generasi, karena kebanyakan keinginan hanya berisi kerakusan yang menghancurkan.

Oleh karenanya, perilaku seksual adalah hal yang diatur secara ketat dalam suatu ikatan perkawinan. Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 merumuskannya sebagai: “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa“. Perilaku seksual hanya diwadahi dalam perkawinan yang merupakan “ikatan lahir batin” yang bertujuan membentuk keluarga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ia bukan sekedar catatan sipil, tapi lebih dari itu adalah pengurusan sebuah tatanan kemasyarakatan.

Sebab, satu-satunya nilai kemanusiaan dari perilaku seksual adalah pemeliharaan generasi. Perilaku seksual tidak boleh dilakukan di luar konsesi ini, sebagaimana halnya pelatihan militer tidak boleh dilakukan di luar tujuan mempertahankan kedaulatan negara. Jadi, pelanggengan perilaku LGBT sama halnya dengan pemerkosaan, perzinahan/ perselingkuhan, dan seks bebas samasekali tidak mendapat tempat dalam payung hukum Indonesia. Kesemuanya itu bukan hanya jahat kepada satu atau dua orang, tetapi juga kejahatan bagi pemuliaan generasi. Perilaku tersebut secara jelas menghilangkan satu-satunya nilai kemanusiaan dari perilaku seksual yang dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa.

KASUS

Cabuli Remaja Pria, Saipul Jamil Termasuk

LGBT?


(8)

R Ratna Purnama

Jum'at, 19 Februari 2016 − 12:23 WIB

Saipul Jamil.

Kasus dugaan pencabulan yang dilakukan Saipul Jamil terhadap DS (17) beberapa waktu lalu masih terus bergulir. (Nurwahyunan/Bintang.com)

Bintang.com, Jakarta Kasus dugaan pencabulan yang dilakukan Saipul Jamil terhadap DS (17) beberapa waktu lalu masih terus bergulir. Melalui penyelidikan yang telah dilalui, penyidik mengatakan Saipul Jamil telah mengakui perbuatannya.

Beda pendapat dan cerita, pihak keluarga, dalam hal ini kakak tertua Saipul Jamil, Muhammad Soleh Kawi mengatakan pemberitaan yang beredar mengenai adik kandungnya tersebut telah


(9)

salah pemahaman. Dalam pemberitaan yang beredar, Saipul Jamil digelandang ke Polsek Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis (18/2/2016) pada pukul 06.30 WIB.

"Saya juga heran apa yang terjadi, saya kaget. Pas lihat di tayangan ada sosok DS. Saya ada saat itu. Kejadian itu ada saat mau olah tkp pada saat itu yang dibilang bukan DS. Itu Afri asisten SJ. Terus saya liat tayangan saat tertangkap jam 5. Itu bukan jam 5, kejadiannya jam 10. Itu di saat saya ada," ucap Soleh ditemui Bintang.com di kawasan Tendean, Jakarta Selatan, Senin (22/2/2016).

Bahkan Soleh membantah mengenai kronologi penangkapan Saipul Jamil terjadi di rumah adik kandungnya. "Dia (Saipul Jamil) dijemput polisi di Masjid usai solat Subuh, bukan di rumah. Nama masjidnya Al Musyawarah," jelasnya.

Terkait pengakuan DS yang mengaku diminta memijit Saipul Jamil, Soleh membenarkan peristiwa pijat memijit memang terjadi. "Cerita sebenarnya. Ipul memang diurut, dan abis diurut dia tidur, apalagi abis pulang syuting, kan pasti capek," terang Soleh.

"Sudah jadi rutinitas, Saipul Jamil selalu bangun untuk salat subuh. Kemudian membangunkan DS dengan cara menepuk tubuh DS. DS kaget, disuruh wudhu untuk salat (subuh), enggak ada apa-apa," sambung Soleh.

Atas apa yang telah diceritakan kepada publik, terlepas jika Saipul Jamil benar melakukan pencabulan atau tidak, Soleh tetap menyerahkan kasus tersebut ke pihak yang berwewenang. "Kalau benar adik saya melakukan hal itu silahkan diproses secara hukum. Tapi kalau enggak, ya saya akan bela Saipul Jamil sampai kapan pun," tandasnya.

JAKARTA - Psikolog Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta menilai, kasus yang terjadi pada artis Saiful Jamil adalah masalah orientasi seksual. Dan ini diduga juga dengan apa yang saat ini sedang dibicarakan yaitu soal LGBT.


(10)

"Orientasi seksual seseorang bisa saja tidak heterogen, tapi mengarah ke homo atau biseksual," katanya ketika dihubungi, Jumat (19/2/2016). (Baca: Pembantu Pergoki Saipul Jamil Cabuli DS)

Menurutnya, ada beberapa alasan mengapa Saipul Jamil melakukan hal itu. Kemungkinan jika dilakukan dengan PSK atau artis maka ada resiko nama baik tercemar atau takut terkena penyakit. (Baca: Air Liur Saipul Jamil di Celana DS Jadi Bukti)

Jika dilakukan dengan anak laki-laki maka resikonya lebih kecil serta potensi terkena penyakit kelamin bisa diminimalisir.

"Resiko atas tindakan pencabulannya juga sulit karena sulit dibuktikan. Apalagi kalau si anak laki-laki ini tidak buka mulut dan sama-sama menikmati, tentu resikonya semakin rendah," ungkapnya.

Ini merupakan fenomena yang sedang terjadi dan ironinya ini menjadi semacam gaya hidup. Dimana perilaku itu diterima bahkan diberi reward positif di berbagai media.

Aully mencontohkan, tokoh banci kerap selalu jadi pusat perhatian. "Suasana akan jadi meriah kalau ada tokoh yang menyimpang (banci) ini," katanya.

Dengan demikian, perilaku menyimpang tidak dianggap sesuatu yang salah atau melanggar norma. Sebaliknya, kondisi itu justru diterima positif dan diberi ganjaran positif.

"Pengaruh lingkungan sangat kuat dalam hal ini. Terutama kalau secara pribadi seseorang mudah terpengaruh. Misalnya, karena kurang percaya diri atau ada trauma masa lalu," pungkasnya.


(11)

ANALISA

Kasus pencabulan anak di bawah umur kembali terjadi. Tidak tanggung-tanggung, pelaku kali ini seorang figur publik di dunia hiburan tanah air, Saipul Jamil. Bang Ipul, begitu ia akrab dipanggil, menjadi tersangka atas kasus pencabulan terhadap anak berusia 17 tahun, berinisial DS.

Mantan suami Dewi Persik itu, dijerat pasal 82 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan UU Perlindungan Anak tersebut, jika terbukti bersalah, ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, menanti Saipul.

Pasca penetapan Saipul sebagai tersangka, santer terdengar kabar, jika kasus ini hendak dihentikan. Entah siapa yang mulai menghembuskan, namun pihak polisi dengan tegas membantah kabar tersebut. Kasus pencabulan anak di bawah umur, jelas tidak dapat dihentikan. Delik pencabulan anak bukan delik aduan. Negara sangat serius memberikan perlindungan hukum bagi anak. Namun, dalam praktek, tidak jarang terjadi kasus pencabulan anak dihentikan. Penulis yang aktif pada lembaga perlindungan anak (PKPA Nias), setidaknya dua kali pernah beradu argumen dengan aparat penegak hukum (polisi), yang hendak menghentikan kasus pencabulan anak. “Pelaku dan korban telah sepakat berdamai, untuk apa kita memperpanjang masalah” hal ini sering dijadikan alasan. Kesepakatanpun dituangkan dalam surat perjanjian damai. Surat perjanjian damai tersebut, acapkali menjadi dasar untuk menghentikan kasus pencabulan anak.

Delik Pencabulan Anak, Bukan Delik Aduan

Pembagian delik menjadi delik biasa (gewone delic) dan delik aduan (klacht delic) memiliki arti penting dalam proses peradilan pidana. Dalam pasal 72 KUHP yang mengatur tentang delik aduan, maka delik aduan dibedakan atas dua jenis yakni delik aduan absolut dan delik aduan relatif. Delik aduan absolut ialah delik yang selalu hanya dapat dituntuts apabila ada pengaduan, seperti pasal : 284, 287, 293, 310, 332, 322 dan 369 KUHP. Sedangkan delik aduan relatif ialah delik yang biasanya bukan merupakan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga, lalu menjadi delik aduan, seperti pasal : 367, 370, 376, 394, 404, dan 411 KUHP. Delik pencabulan anak diatur di dalam KUHP maupun dalam UU Perlindungan Anak. Pada pasal 76E UU Perlindungan Anak, menyatakan : “setiap orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. ” Selanjutnya ditambahkan pada Pasal 82 UU a quo : “setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)


(12)

tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”

Delik pencabulan sebagaimana yang ada dalam UU Perlindungan Anak, jelas tidak mensyaratkan pengaduan. Sehingga delik pencabulan dalam UU Perlindungan Anak bukan merupakan delik aduan. Hal ini dapat dipahami sebagai bentuk perwujudan semangat terhadap perlindungan anak, bahkan pembentuk UU memberikan pemberatan terhadap pelaku. Delik ini termasuk dalam delik biasa (gewone delic).

Konsekuensi dari delik biasa, yaitu untuk melakukan proses hukum terhadap perkara-perkara yang tergolong delik biasa tidak dibutuhkan pengaduan. Namun karena keterbatasan aparat penegak hukum, setidaknya dibutuhkan laporan masyarakat atau pihak terkait untuk melaporkan delik biasa ini.

Delik pencabulan anak adalah delik biasa. Sehingga konsekuensi yuridisnya, bahwa proses hukum kasus pencabulan anak tidak dapat dihentikan. Pihak korban tidak berhak mencabut pengaduan, karena memang sejak dari awal proses (penyidikan) tidak mensyaratkan pengaduan. Penghentian proses hukum terhadap delik pencabulan anak tidak dibenarkan. Karena delik pencabulan anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan.

Sanksi Menghentikan Kasus Pencabulan Anak

Kendati kasus pencabulan anak tidak dibenarkan untuk dihentikan, dalam praktek acapkali ditemukan. Lalu, apa sanksi bagi oknum aparat yang menghentikan kasus pencabulan anak. Memang tidak ada ketentuan yang secara khusus mengatur hal itu.

Sanksi kepada oknum aparat yang menghentikan penyidikan kasus pencabulan anak, dapat merujuk Peraturan Kapolri. Dalam Peraturan Kepala Kepolisian RI No 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, di Bab IV mengatur perihal evaluasi kinerja penyidik. Hal ini dapat diartikan sebagai sanksi tidak langsung, bagi kinerja penyidik yang bersangkutan bila menghentikan kasus pencabulan anak. Selama dipermasalahkan tentunya melalui prosedur yang benar dan disertai bukti-bukti, maka akan menjadi catatan hitam bagi rekam jejak si oknum penyidik.

Catatan hitam ini diharapkan akan berpengaruh pada perkembangan karir dan kinerja. Meski untuk sampai pada tahap ini memang sangat sulit. Dibutuhkan pengawasan publik guna memantau proses kasus pencabulan anak. Setidaknya dengan pengawasan publik, diharapkan aparat bertindak lebih cermat dan hati-hati dalam menangani kasus pencabulan anak di bawah umur.


(13)

Kembali pada kasus Saiful Jamil. Jelas kasus Bang Ipul, tidak dapat dihentikan dan tidak dibenarkan untuk dihentikan. Sejauh ini, penanganan kasus Saipul, sudah berjalan sesuai koridor hukum. Demi upaya perlindungan anak, dan alasan yuridis (hukum), bahwa delik pencabulan anak bukan delik aduan, sehingga kasus pencabulan anak tidak dapat dihentikan.***


(1)

R Ratna Purnama

Jum'at, 19 Februari 2016 − 12:23 WIB

Saipul Jamil.

Kasus dugaan pencabulan yang dilakukan Saipul Jamil terhadap DS (17) beberapa waktu lalu masih terus bergulir. (Nurwahyunan/Bintang.com)

Bintang.com, Jakarta Kasus dugaan pencabulan yang dilakukan Saipul Jamil terhadap DS (17) beberapa waktu lalu masih terus bergulir. Melalui penyelidikan yang telah dilalui, penyidik mengatakan Saipul Jamil telah mengakui perbuatannya.

Beda pendapat dan cerita, pihak keluarga, dalam hal ini kakak tertua Saipul Jamil, Muhammad Soleh Kawi mengatakan pemberitaan yang beredar mengenai adik kandungnya tersebut telah


(2)

salah pemahaman. Dalam pemberitaan yang beredar, Saipul Jamil digelandang ke Polsek Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis (18/2/2016) pada pukul 06.30 WIB.

"Saya juga heran apa yang terjadi, saya kaget. Pas lihat di tayangan ada sosok DS. Saya ada saat itu. Kejadian itu ada saat mau olah tkp pada saat itu yang dibilang bukan DS. Itu Afri asisten SJ. Terus saya liat tayangan saat tertangkap jam 5. Itu bukan jam 5, kejadiannya jam 10. Itu di saat saya ada," ucap Soleh ditemui Bintang.com di kawasan Tendean, Jakarta Selatan, Senin (22/2/2016).

Bahkan Soleh membantah mengenai kronologi penangkapan Saipul Jamil terjadi di rumah adik kandungnya. "Dia (Saipul Jamil) dijemput polisi di Masjid usai solat Subuh, bukan di rumah. Nama masjidnya Al Musyawarah," jelasnya.

Terkait pengakuan DS yang mengaku diminta memijit Saipul Jamil, Soleh membenarkan peristiwa pijat memijit memang terjadi. "Cerita sebenarnya. Ipul memang diurut, dan abis diurut dia tidur, apalagi abis pulang syuting, kan pasti capek," terang Soleh.

"Sudah jadi rutinitas, Saipul Jamil selalu bangun untuk salat subuh. Kemudian membangunkan DS dengan cara menepuk tubuh DS. DS kaget, disuruh wudhu untuk salat (subuh), enggak ada apa-apa," sambung Soleh.

Atas apa yang telah diceritakan kepada publik, terlepas jika Saipul Jamil benar melakukan pencabulan atau tidak, Soleh tetap menyerahkan kasus tersebut ke pihak yang berwewenang. "Kalau benar adik saya melakukan hal itu silahkan diproses secara hukum. Tapi kalau enggak, ya saya akan bela Saipul Jamil sampai kapan pun," tandasnya.

JAKARTA - Psikolog Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta menilai, kasus yang terjadi pada artis Saiful Jamil adalah masalah orientasi seksual. Dan ini diduga juga dengan apa yang saat ini sedang dibicarakan yaitu soal LGBT.


(3)

"Orientasi seksual seseorang bisa saja tidak heterogen, tapi mengarah ke homo atau biseksual," katanya ketika dihubungi, Jumat (19/2/2016). (Baca: Pembantu Pergoki Saipul Jamil Cabuli DS) Menurutnya, ada beberapa alasan mengapa Saipul Jamil melakukan hal itu. Kemungkinan jika dilakukan dengan PSK atau artis maka ada resiko nama baik tercemar atau takut terkena penyakit. (Baca: Air Liur Saipul Jamil di Celana DS Jadi Bukti)

Jika dilakukan dengan anak laki-laki maka resikonya lebih kecil serta potensi terkena penyakit kelamin bisa diminimalisir.

"Resiko atas tindakan pencabulannya juga sulit karena sulit dibuktikan. Apalagi kalau si anak laki-laki ini tidak buka mulut dan sama-sama menikmati, tentu resikonya semakin rendah," ungkapnya.

Ini merupakan fenomena yang sedang terjadi dan ironinya ini menjadi semacam gaya hidup. Dimana perilaku itu diterima bahkan diberi reward positif di berbagai media.

Aully mencontohkan, tokoh banci kerap selalu jadi pusat perhatian. "Suasana akan jadi meriah kalau ada tokoh yang menyimpang (banci) ini," katanya.

Dengan demikian, perilaku menyimpang tidak dianggap sesuatu yang salah atau melanggar norma. Sebaliknya, kondisi itu justru diterima positif dan diberi ganjaran positif.

"Pengaruh lingkungan sangat kuat dalam hal ini. Terutama kalau secara pribadi seseorang mudah terpengaruh. Misalnya, karena kurang percaya diri atau ada trauma masa lalu," pungkasnya.


(4)

ANALISA

Kasus pencabulan anak di bawah umur kembali terjadi. Tidak tanggung-tanggung, pelaku kali ini seorang figur publik di dunia hiburan tanah air, Saipul Jamil. Bang Ipul, begitu ia akrab dipanggil, menjadi tersangka atas kasus pencabulan terhadap anak berusia 17 tahun, berinisial DS.

Mantan suami Dewi Persik itu, dijerat pasal 82 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan UU Perlindungan Anak tersebut, jika terbukti bersalah, ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, menanti Saipul.

Pasca penetapan Saipul sebagai tersangka, santer terdengar kabar, jika kasus ini hendak dihentikan. Entah siapa yang mulai menghembuskan, namun pihak polisi dengan tegas membantah kabar tersebut. Kasus pencabulan anak di bawah umur, jelas tidak dapat dihentikan. Delik pencabulan anak bukan delik aduan. Negara sangat serius memberikan perlindungan hukum bagi anak. Namun, dalam praktek, tidak jarang terjadi kasus pencabulan anak dihentikan. Penulis yang aktif pada lembaga perlindungan anak (PKPA Nias), setidaknya dua kali pernah beradu argumen dengan aparat penegak hukum (polisi), yang hendak menghentikan kasus pencabulan anak. “Pelaku dan korban telah sepakat berdamai, untuk apa kita memperpanjang masalah” hal ini sering dijadikan alasan. Kesepakatanpun dituangkan dalam surat perjanjian damai. Surat perjanjian damai tersebut, acapkali menjadi dasar untuk menghentikan kasus pencabulan anak.

Delik Pencabulan Anak, Bukan Delik Aduan

Pembagian delik menjadi delik biasa (gewone delic) dan delik aduan (klacht delic) memiliki arti penting dalam proses peradilan pidana. Dalam pasal 72 KUHP yang mengatur tentang delik aduan, maka delik aduan dibedakan atas dua jenis yakni delik aduan absolut dan delik aduan relatif. Delik aduan absolut ialah delik yang selalu hanya dapat dituntuts apabila ada pengaduan, seperti pasal : 284, 287, 293, 310, 332, 322 dan 369 KUHP. Sedangkan delik aduan relatif ialah delik yang biasanya bukan merupakan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga, lalu menjadi delik aduan, seperti pasal : 367, 370, 376, 394, 404, dan 411 KUHP. Delik pencabulan anak diatur di dalam KUHP maupun dalam UU Perlindungan Anak. Pada pasal 76E UU Perlindungan Anak, menyatakan : “setiap orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. ” Selanjutnya ditambahkan pada Pasal 82 UU a quo : “setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)


(5)

tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”

Delik pencabulan sebagaimana yang ada dalam UU Perlindungan Anak, jelas tidak mensyaratkan pengaduan. Sehingga delik pencabulan dalam UU Perlindungan Anak bukan merupakan delik aduan. Hal ini dapat dipahami sebagai bentuk perwujudan semangat terhadap perlindungan anak, bahkan pembentuk UU memberikan pemberatan terhadap pelaku. Delik ini termasuk dalam delik biasa (gewone delic).

Konsekuensi dari delik biasa, yaitu untuk melakukan proses hukum terhadap perkara-perkara yang tergolong delik biasa tidak dibutuhkan pengaduan. Namun karena keterbatasan aparat penegak hukum, setidaknya dibutuhkan laporan masyarakat atau pihak terkait untuk melaporkan delik biasa ini.

Delik pencabulan anak adalah delik biasa. Sehingga konsekuensi yuridisnya, bahwa proses hukum kasus pencabulan anak tidak dapat dihentikan. Pihak korban tidak berhak mencabut pengaduan, karena memang sejak dari awal proses (penyidikan) tidak mensyaratkan pengaduan. Penghentian proses hukum terhadap delik pencabulan anak tidak dibenarkan. Karena delik pencabulan anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan.

Sanksi Menghentikan Kasus Pencabulan Anak

Kendati kasus pencabulan anak tidak dibenarkan untuk dihentikan, dalam praktek acapkali ditemukan. Lalu, apa sanksi bagi oknum aparat yang menghentikan kasus pencabulan anak. Memang tidak ada ketentuan yang secara khusus mengatur hal itu.

Sanksi kepada oknum aparat yang menghentikan penyidikan kasus pencabulan anak, dapat merujuk Peraturan Kapolri. Dalam Peraturan Kepala Kepolisian RI No 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, di Bab IV mengatur perihal evaluasi kinerja penyidik. Hal ini dapat diartikan sebagai sanksi tidak langsung, bagi kinerja penyidik yang bersangkutan bila menghentikan kasus pencabulan anak. Selama dipermasalahkan tentunya melalui prosedur yang benar dan disertai bukti-bukti, maka akan menjadi catatan hitam bagi rekam jejak si oknum penyidik.

Catatan hitam ini diharapkan akan berpengaruh pada perkembangan karir dan kinerja. Meski untuk sampai pada tahap ini memang sangat sulit. Dibutuhkan pengawasan publik guna memantau proses kasus pencabulan anak. Setidaknya dengan pengawasan publik, diharapkan aparat bertindak lebih cermat dan hati-hati dalam menangani kasus pencabulan anak di bawah umur.


(6)

Kembali pada kasus Saiful Jamil. Jelas kasus Bang Ipul, tidak dapat dihentikan dan tidak dibenarkan untuk dihentikan. Sejauh ini, penanganan kasus Saipul, sudah berjalan sesuai koridor hukum. Demi upaya perlindungan anak, dan alasan yuridis (hukum), bahwa delik pencabulan anak bukan delik aduan, sehingga kasus pencabulan anak tidak dapat dihentikan.***