Pustaka

Pustaka 129
129

Pustaka
Muhammad Shohib (Ed.), Para Penjaga Al-Qur’an: Biografi Para
Penghafal Al-Qur’an di Nusantara, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf
Al-Qur’an, 2011, 525 halaman.
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang dijamin pemeliharaannya oleh
Allah (Q.S. al-¦ijr/15: 9). Sekalipun jaminan ini bersifat pasti, namun
umat Islam memiliki kewajiban untuk memelihara Al-Qur’an baik
melalui hafalan maupun tulisan. Generasi awal, yaitu para sahabat Nabi,
mayoritas merupakan para penghafal Al-Qur’an (¥uff±§) dengan tingkatan
hafalan dan penguasaan pemahaman Al-Qur’an yang berbeda-beda.
Tradisi menghafal itu kemudian diwariskan dari generasi ke generasi
hingga abad modern sekarang ini. Sosok mereka (¥uff±§) walaupun tidak
begitu populer, namun penting untuk ditampilkan karena merupakan
ahlull±h (keluarga Allah) di dunia, dan memiliki andil sangat besar dalam
pemeliharaan Al-Qur′an. Anas meriwayatkan dari Rasulullah, beliau
bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki keluarga dari kelompok manusia.” Anas bertanya, “Siapakah mereka wahai Rasul?” Rasul menjawab,
”Para ahli Al-Qur’an (orang yang membaca dan menghafalkan AlQur’an dan mengamalkan isinya), merekalah keluarga Allah dan orangorang yang istimewa di sisi Allah.” (Riwayat Ahmad).
Buku Para Penjaga Al-Qur’an: Biografi Para Penghafal Al-Qur’an

di Nusantara ini mengupas kehidupan para penghafal Al-Qur’an yang ada
di Indonesia. Mereka dapat dikatakan sebagai pelopor pembelajaran dan
penghafalan Al-Qur’an yang mayoritas memiliki pesantren, tempat dilahirkannya para penghafal Al-Qur’an.
Keberadaan para penghafal Al-Qur’an (¥uff±§) tersebut tersebar di
seluruh Indonesia. Dalam buku ini dipaparkan biografi 21 penghafal AlQur’an dari berbagai wilayah Nusantara meliputi Jawa, Nusa Tenggara,
Sumatera, dan Sulawesi. Daerah-daerah yang menjadi pusat para
penghafal Al-Qur’an itu adalah Gresik, Yogyakarta, Madura, Wonosobo,
Surakarta, Bogor, Malang, Jawa Barat, Cirebon, Aceh, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, NTB, dan Palembang.
Menariknya, seorang penghafal Al-Qur’an (¥±fi§) tidak hanya
terkenal karena hafalannya, namun mereka juga tampil sebagai panutan
dan tokoh pembaharuan di tengah masyarakat. Tidak sedikit dari mereka
yang aktif di partai politik dan ikut dalam perjuangan kemerdekaan.
Kehidupan sosial budaya mereka tidak dapat terlepas dari peran mereka
di tengah masyarakat.

130
130 ¢u¥uf, Vol. 5, No. 1, 2012: 129 – 140
Tidak hanya itu, para penghafal Al-Qur’an juga merupakan tokoh
pendidikan. Melalui tangan-tangan mereka bermunculan tempat-tempat

pendidikan Al-Qur’an, pesantren dan lain sebagainya. Di lembaga ini
para santri tidak hanya diajarkan cara baca dan menghafal Al-Qur’an,
namun juga dibekali dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, bahkan tidak
sedikit yang memasukkan pelajaran umum menjadi salah satu dari mata
pelajaran yang diajarkan. Sehingga tidak mengherankan, jika alumnialumni pesantren ini tampil menjadi sosok ulama yang berperan besar
dalam menyebarkan nilai-nilai ajaran Islam di tengah masyarakat.
Membaca buku ini tentu akan menambah khazanah pengetahuan
terhadap keragaman dan karakteristik metode pembelajaran agama Islam,
khususnya Al-Qur’an di Indonesia. Betapa tidak, setiap ¥±fi§ memiliki
metode tersendiri dalam belajar dan mengajarkan Al-Qur’an kepada
muridnya. Sebut misalnya, sistem sanad. Di Jawa, seorang ¥±fi§ akan
menjaga mata rantai guru-gurunya (sanad) ketika akan mengajarkan AlQur’an. Sehingga setiap guru pasti memiliki sanad yang semuanya
bersumber dari Rasulullah saw. Hal ini berbeda dengan daerah Sumatera,
di mana sanad tidak menjadi hal yang urgen.
Hal lain lagi yang tak kalah menariknya, selain sanad tidak menjadi
hal yang urgen di Sumatera Barat, seorang ¥±fi§ tidak terkenal karena
hafalannya di bidang Al-Qur’an, namun mereka lebih dikenal karena
penguasaannya di bidang keilmuan Islam lainnya, seperti fiqh, tasawuf
atau hadis. Upaya dalam menghafal Al-Qur’an hanya merupakan langkah
awal mereka dalam mempelajari ilmu-ilmu keagamaan.

Akhirnya, membaca biografi para penghafal (¥uff±§) ini akan
menumbuhkan kesadaran kita betapa Al-Qur’an sangat terjaga di tangan
penghafalnya. Wajar kiranya bila Allah menyebut mereka sebagai
keluarga-Nya di dunia. Mereka adalah ulama yang santun, taat, warak dan
senantiasa bernaung di bawah indahnya naungan Al-Qur’an.[] Reflita
***
Muhammad Shohib (Ed.), Kiamat dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains
(Seri Tafsir Ilmi), Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2011,
109 halaman.
Kehancuran alam semesta merupakan peristiwa yang paling besar
dari serangkaian fenomena alam yang pasti akan terjadi dalam sejarah
kehidupan manusia dan seluruh makhluk hidup yang ada di bumi ini.
Hancurnya alam semesta yang biasa disebut dengan istilah kiamat,
diiringi dengan musnahnya umat manusia yang berarti hancurnya seluruh
peradaban yang telah dibangun oleh manusia selama berabad-abad
lamanya.

Pustaka 131
131


Peristiwa yang maha dahsyat ini tidak diketahui kapan terjadinya.
Hanya pencipta alam yakni Allah swt yang mengetahui kapan terjadinya
kiamat. Al-Qur’an yang merupakan kalam ilahi hanya menginformasikan
tanda-tanda dan gambaran kiamat tersebut. Lukisan kiamat yang
digambarkan Al-Qur’an berupa peristiwa amat dahsyat yang menjadikan
manusia dan seluruh makhluk hidup kalang kabut menghadapinya.
Kekaburan waktu kejadian maha dahsyat ini mendorong kalangan
ilmuwan dan agamawan berusaha mengungkap misteri kiamat dengan
melihat fenomena-fenomena yang mengawali kehancuran alam semesta
ini. Al-Qur’an sebagai wahyu yang kebenarannya bersifat absolut telah
banyak menginformasikan tanda-tanda kiamat. Untuk mendapatkan
pengetahuan yang kompleks tentang fenomena kiamat, maka perlu
adanya usaha pemahaman dan penafsiran Al-Qur’an yang benar dan
tentunya tidak terlepas dari kajian ilmiah sains.
Sains yang dikembangkan untuk mencari kebenaran, pada akhirnya
juga akan bersesuaian dengan Al-Qur’an. Sebab ayat Allah dalam jagad
raya (al-kaun) yang diteliti oleh para saintis tidak mungkin bertentangan
dengan ayatullah di dalam Al-Qur’an. Kebenaran tentang kehancuran
alam semesta yang terdapat dalam berbagai ayat Al-Qur’an adalah
absolut. Sains berusaha menjelaskan secara ilmiah dari fenomena kiamat

tersebut, dan untuk menguatkan informasi yang telah ada dalam AlQur’an.
Buku Kiamat dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains (Seri Tafsir
Ilmi) yang disusun Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an bekerja sama
dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini berusaha
mengupas kiamat dilihat dari perspektif Al-Qur’an dan sains. Buku yang
ditulis oleh dua tim yang ahli di bidangnya masing-masing, yakni tim
yang menguasai ilmu-ilmu Al-Qur’an, mengerti dengan bahasa Arab dan
kaedah-kaedah penafsiran, dan tim yang menguasai persoalan saintifik ini
berhasil menyuguhkan pembahasan tentang kiamat secara komprehensif
dengan melihat ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang hal ini dan
mengaitkannya dengan informasi sains, khususnya yang berkaitan dengan
alam semesta.
Buku ini diawali dengan pengenalan umum tentang kiamat mencakup pengertian kiamat, nama-nama yang menggambarkan karakteristik
kiamat, julukan atau istilah yang menggambarkan kondisi waktu
terjadinya kiamat dan kondisi makhluk hidup waktu itu serta keniscayaan
kiamat. Dalam Al-Qur’an, banyak istilah yang digunakan untuk
menggambarkan peristiwa berakhirnya alam semesta ini, seperti yaumul
qiy±mah, yaumul akh³r, as-s±‘ah, al-q±ri‘ah, al-¥±qqah, al-g±syiyah, a¡¡ākhkhah, yaumul ¥is±b dan lain-lain. Tiap-tiap istilah tersebut
menggambarkan peristiwa menggemparkan yang terjadi.
Dalam pandangan sains, kehancuran alam semesta ditandai dengan

terjadinya kerusakan-kerusakan pada ciptaan Allah yang vital, yakni

132
132 ¢u¥uf, Vol. 5, No. 1, 2012: 129 – 140
kerusakan bumi dan langit beserta isinya. Kerusakan ini dapat terjadi
akibat umur bumi dan langit yang makin tua, ditambahkan dengan
kurangnya penjagaan akan keselamatan keduanya. Pengrusakan ini, pada
dasarnya juga diakibatkan oleh ulah tangan manusia. Yang jelas, seluruh
isi alam semesta, seperti bintang, planet dan lain-lainnya ada akhirnya.
Semuanya berakhir dengan kematian. Alam semesta secara keseluruhan
juga akan berakhir atau mengalami kehancuran. Oleh karena itu, kiamat
adalah suatu keniscayaan. Kajian saintifik mengenai kiamat akan
membuka pemahaman rasionalitas manusia terhadap kebenaran firmanfirman Allah.[] Reflita
***
M. Nur Kholis Setiawan, Pribumisasi Al-Qur’an: Tafsir Berwawasan
Keindonesiaan, Yogyakarta: Kaukaba, 2012, x + 250 halaman.
Pengajaran tafsir di ruang-ruang pembelajaran mulai dari pesantren, madrasah, hingga perguruan tinggi terasa kurang menjejak bumi,
terutama dengan semakin kompleksnya persoalan yang berkembang saat
ini. Setidaknya ada dua persoalan prinsipil yang menyebabkan mengapa
pengajaran tafsir pada lembaga-lembaga pendidikan kurang menemukan

locusnya di masyarakat, pertama, karena pengajaran tafsir tidak didasarkan pada kebutuhan real yang terjadi di tengah masyarakat; dan kedua,
karena materi yang termuat di dalamnya lebih banyak didominasi
persoalan-persoalan klasik keagamaan seperti hukum dan ibadah.
Pembahasan seperti itu tentu memunculkan kesan repetisi yang kuat pada
pembelajaran tafsir.
Inilah titik pijak penulis, M. Nur Kholis Setiawan, ketika menghadirkan buku berjudul, Pribumisasi Al-Qur’an: Tafsir Berwawasan Keindonesiaan. Selain dilatarbelakangi dua alasan di atas, buku ini juga ditulis
berdasar dari kegelisahan penulis berkaitan dengan begitu derasnya bukubuku keagamaan – termasuk tafsir – hasil terjemahan sarjana luar yang
membanjiri khazanah bacaan masyarakat Indonesia, yang isinya kurang –
atau malah tidak sama sekali – berpijak pada realitas masyarakat pembaca. Model buku seperti ini kurang peka, atau bahkan mandul dalam
memberikan solusi atas pelbagai persoalan sosial dan kehidupan yang
terjadi di tengah masyarakat.
Buku ini sejatinya merupakan kumpulan karya penulis yang
tergabung dalam team Tafsir Tematik, Lajnah, Kementerian Agama.
Dengan demikian, tema yang dihadirkan pada buku ini cukup beragam,
mulai dari persoalan keluarga, perkawinan, persoalan kebangsaan seperti
kebinekaan, pelbagai persoalan sosial seperti kemiskinan, prostitusi,
miskomunikasi, hingga masalah korupsi yang menjadi patologi birokrasi
pemerintahan Indonesia kekinian yang tak kunjung usai.

Pustaka 133

133

Demi menjelaskan ihwal metodologi yang diusung, penulis pada
bagian pertama buku ini mengeksplorasi urgensi tafsir dalam konteks
keindonesiaan seraya mengenalkan pola pendekatan tematik kombinatif.
Di dalamnya diurai mengenai tafsir dalam lintasan sejarah, tafsir dan
konteks keindonesiaan, sekilas mengenai kajian Al-Qur’an Nusantara,
dan dipungkasi -ini yang menarik- penjelasan tentang tafsir tematik yang
disinergikan dengan pendekatan kombinatif. Penulis nampaknya merasa
perlu menjelaskan ihwal metodologi yang digunakan untuk menjelaskan
tema-tema yang diangkat, terutama pada pendekatan yang diisitilahkan
dengan ‘pendekatan kombinatif’. Sebab, penjelasan pada tema-tema yang
diangkat, menurut penulis, tidak sepenuhnya menganut pola kerja tafsir
tematik secara kaku, namun lebih banyak menggunakan gerak ganda,
yakni dari teks menuju realitas dan dari realitas kembali pada teks. Yang
dimaksud dengan gerak ganda dalam hal ini adalah, penulis menentukan
tema yang penting dan dianggap relevan dengan konteks keindonesiaan,
lalu mencari kosakatanya dalam Al-Qur’an, baik eksplisit maupun
implisit. Ayat pada pola seperti ini tidak didekati dengan pola analisis
struktur semata, melainkan dibawa dalam proses pemaknaan yang lebih

jauh terhadap persoalan yang diangkat. Dengan metode dan pendekatan
seperti inilah tema-tema kontemporer pada buku ini dijelaskan.
Secara keseluruhan, buku ini berisi lima sub bahasan, dengan
rincian, korasan pertama berisi tentang keluarga dan rumah tangga,
korasan kedua Pelbagai Persoalan Sosial, korasan ketiga, Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara, korasan keempat, Pelbagai Persoalan
Kekinian, dan korasan kelima tentang Tantangan Idealitas. Di sebagain
penjelasan pada tema yang diangkat, penulis banyak menawarkan wacana
dan solusi atas persoalan sosial yang terjadi di masyarakat melalui
petunjuk, guidance Al-Qur’an.
Di antara topik aktual yang diangkat adalah korupsi. Pada bagian
ini penulis mencoba mengedepankan satu bahasan tentang jihad melawan
korupsi. Di dalamnya, Nur Kholis mencoba menawarkan bahasan tentang
Membangun Fiqih Anti Korupsi setelah sebelumnya menjelaskan tentang
fakta korupsi di Indonesia, dan pendapat para ulama mengenai hal ini.
Pembahasan mengenai hal ini dianggap penting mengingat korupsi adalah
penyakit birokrosi yang menjalar di sebagian besar aparatur
pemerintahan, mulai dari pusat hingga ke daerah sehingga diperlukan
upaya pencegahan berbasis teologis keagamaan, khusunya melalui
penjelasan ayat Al-Qur’an dan juga Hadis.

Selain korupsi, penulis juga mengangkat tema-tema yang tampak
‘asing’ dalam perspektif Al-Qur’an, seperti tema ketenagakerjaan dan
kelompok difabel, miskomunikasi dalam kehidupan sosial, lingkungan
hidup, hingga persoalan pencucian uang, money laundering, yang
belakangan marak dilakukan orang untuk menutupi aksi kejahatan yang
dilakukan. Dengan memilih tema-tema ini, Nur Kholis pertama ingin

134
134 ¢u¥uf, Vol. 5, No. 1, 2012: 129 – 140
menjadikan Al-Qur’an sebagai sebuah petunjuk, hudan bagi masyarakat
atas pelbagai persoalan yang terjadi, sekaligus merupakan bentuk upaya
urun rembuk penulis memberikan solusi atau pandangan pada persoalanpersoalan tersebut. Dan kedua, secara implisit bahasan pada buku setebal
260 halaman ini menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang
sesuai untuk semua ruang dan waktu.
Tema dan topik yang diangkat buku ini cukup menarik dan up to
date sehingga pantas menjadi bacaan bagi mereka yang ingin memahami
persoalan-persoalan aktual kekinian dalam perspektif Al-Qur’an.[]
Mustopa.
***
Aksin Wijaya, Menusantarakan Islam: Menelusuri Jejak Pergumulan

Islam yang tak Kujung Usai di Nusantara, Jogjakarta: Nadi Pustaka,
2011, xvi + 308
Lebih dari satu abad yang lalu, Clifford Geertz melakukan penelitian dan mengklasifikasi masyakat Islam menjadi tiga kelompok yakni
santri, abangan, dan priyayi. Klasifikasi ini kemudian menjadi sasaran
kritik sejumlah sarjana, baik insider maupun outsider yang kurang
sependapat dengan klasifikasi yang dibuat Geertz. Hingga saat ini, kritik
ini bahkan masih muncul, terutama pada topik yang membahas
pergumulan Islam dengan tradisi lokal. Terlepas dari klasifikasi yang
dibuat, pergumulan antara Islam dengan budaya lokal memang selalu
memunculkan persoalan tentang model keislaman yang semestinya dianut
pemeluknya. Apakah Islam harus mengcopy penuh model keislaman
yang dianut dan dipraktekkan masyarakat Arab, tempat di mana Islam
disebarkan Nabi Muhammad, atau membiarkan Islam berdialog dengan
lokalitas budaya setempat demi menemukan eksistensinya sendiri?
Persoalan ini nampaknya menjadi salah satu pintu masuk Aksin
Wijaya untuk menulis buku dengan tema menarik, Menusantarakan
Islam: Menelusuri Jejak Pergumulan Islam yang tak Kunjung Usai di
Nusantara. Buku ini dihadirkan penulis dengan mengajukan empat
pertanyaan mendasar: 1) Bagaimana eksistensi Islam pada masyarakat
Arab awal; 2) Bagaimana proses kehadiran Islam mencari ruang
bereksistensi di Nusantara; 3) Bagimana perjalanan dan perkembangan
Islam dalam mempertahankan dan mengembangkan eksistensinya di
Nusantara; dan 4) Bagaimana sejatinya Islam yang relevan dengan
kekinian dan yang akan datang.
Untuk menjawab persoalan ini, penulis membuat bahasan buku ini
menjadi enam bab yang terdiri dari Pendahuluan, Asal usul dan identitas
Islam Arab, Proses kehadiran Islam di Nusantara: Pergumulan mencari
ruang bereksistensi, Wajah Islam Nusantara: Pergumulan merebut

Pustaka 135
135

dominasi, Meretas paradigma baru Islam Nusantara, dan terakhir Kesimpulan.
Pada bagian awal, penulis terlebih dahulu mencoba menjelaskan
posisi Islam awal yang diterima masyarakat Arab dan dialektika yang
muncul pada prsoses penerimaan agama tersebut. Pada proses ini nampak
terlihat bagaimana dialektika terjadi antara Islam di satu sisi dengan
realitas masyarakat Arab di sisi lain. Tidak bisa dipungkiri, bahwa pada
proses ini terjadi tarik menarik yang cukup kuat sehingga melahirkan
dinamika tersendiri yang mewarnai proses penerimaan Islam, baik pada
masyarakat Makah maupun masyarakat Madinah.
Berbekal penjelasan di atas, buku ini kemudian berupaya menemukan akar proses masuk dan berkembangnya Islam di wilayah Nusantara.
Saat Islam menjejakan kakinya di wilayah ini, masyarakat Nusantara
sesungguhnya sudah menghadapi dialektika keyakinan, yakni antara
agama lokal, dinamisme dan anmisme, dengan agama impor, Hindu dan
Budha. Sebelum masuknya Islam, kedua agama impor ini sudah eksis
sejak abab ke-6 Masehi. Namun, agama ini tidak bertahan lama, karena,
seperti dikemukakan Naguib al-Attas, agama ini terlalu eksklusif dan
menganut sistem strata sosial yang rumit sehingga menciptakan ketimpangan sosial yang melembaga. Islam kemudian datang mengisi ruangruang kosong kesadaran yang tidak dijumpai pada agama Hindu maupun
Budha, sehingga proses penerimaannya relatif mudah dan massif, tidak
saja di kalangan masyarakat bawah, namun juga pada kalangan elit
pemerintahan atau kerajaan.
Dalam proses mencari eksistensi ini, proses pergumulan antara
Islam dengan agama lokal dan agama impor berlangsung secara damai
dan nirkekerasan, baik secara wacana maupun fisik. Masyarakat tidak
dipaksa untuk memilih agama tertentu seraya diberikan keleluasaan untuk
memilih agama sesuai dengan hati nuraninya. Di sisi lain, agama yang
dipilihnya dibiarkan berkembang atau tersingkir secara damai. Pergumulan baru kemudian terjadi ketika Islam berada pada tahap pengembangan awal. Pada tahap ini Islam terbelah menjadi dua model, yakni
antara tasawuf suni dan tasawuf falsafi. Perseteruan yang cukup
mencolok dalam konteks ini bisa diamati pada perseteruan antara Hamzah
Fansuri, yang mewakili tasawuf falsafi dengan ar-Raniri, yang mewakili
tasawuf sunni. Persetaruan serupa dengan konteks lokalnya juga terjadi di
pulau Jawa.
Gagasan pribumisasi Islam yang diintrodusir Gus Dur adalah tahap
lanjutan dari model pergumulan antara Islam dengan budaya lokal.
Melalui gagasannya, Gus Dur ingin menjadikan Islam sebagai agama
yang ramah dengan tradisi lokal masyarakat setempat. Pribumisasi Islam
yang dimaksudkan Gus Dur adalah suatu upaya untuk melakukan
rekonsiliasi Islam dengan kekuatan-kekuatan budaya lokal, agar budaya
lokal itu tidak hilang. Gagasan Gus Dur ini oleh penulis diistilahkan

136
136 ¢u¥uf, Vol. 5, No. 1, 2012: 129 – 140
dengan proses ‘menjadi’ dan ‘menuju’, karena gagasan ini terus mencari
dan bergumul dengan realitas keislaman Nusantara yang semakin
kompleks dan progresif yang pada taraf tertentu menjelma menjadi
gerakan-gerakan keislaman furifikatif yang keras dan kurang toleran
terhadap budaya dan kearifan lokal masyarakat.
Melalui buku ini penulis ingin menegaskan bahwa Islam adalah
agama yang damai, anti kekerasan, dan memberikan ruang dan
penghargaan yang cukup terhadap lokalitas budaya masyarakat Indonesia
untuk berkembang. Karena itu, buku ini cukup penting menjadi referensi
karena memberikan peta pergumulan antara Islam dengan tradisi lokal
secara kronologis dalam konteks keindonesiaan yang cukup komprehensif.[] Mustopa
***
Tata Septayuda Purnama, Khazanah Peradaban Islam, Solo: Tinta Media
(Tiga Serangkai), 2011, x+222 hlm.
Seberapa banyak dari kita yang mengetahui bahwa kata ream
(jumlah kertas) berasal dari bahasa Arab?. Kata ream dalam bahasa
Inggris merupakan serapan dari bahasa Prancis rayme, dan dari bahasa
Spayol resma yang merupakan kata pinjaman dari bahasa Arab rizmah
yang berarti bundel. Ini hanya salah satu cerita kecil khazanah Islam yang
ada di Khazanah Peradaban Islam.
Spanyol sebagai pusat peradaban dunia saat itu merupakan pusat
produksi kertas. Sekretaris Abdurahman ad-Dākhil terbiasa menggunakan
kertas untuk menulis dokumen resmi di kediamannya kemudian mengirimkannya ke kantor, khusus untuk diperbanyak yang salinannya didistribusikan ke berbagai agen pemerintahan di Spanyol. Kota lain yang
memiliki jejak sejarah kertas dalam Islam adalah Syatibi dan Kordoba.
Kertas tidak hanya dibuat dari sutera tetapi juga dari katun, kapas,
dan kayu. Dari pulp hingga menjadi lembaran-lembaran, lalu dicuci,
dibersihkan, diwarnai, digosok dan direkatkan. Penyiapan pulp meliputi
sejumlah proses kimia yang banyak dan rumit. Hal ini juga menunjukkan
kemajuan ilmu kimia yang telah dicapai oleh umat Islam saat itu.
Khazanah lainnya adalah tentang sejarah simbol bulan bintang.
Penggunaan simbol bulan sabit dan bintang terjadi pada masa kekuasaan
Sultan Mahmud II (sultan VII Turki Usmani) setelah menaklukkan
Konstantinopel pada tahun 1453. Lambang kotanya adalah bulan-bintang.
Setelah menaklukkan Konstantinopel, Muhammad II mengadopsi simbol
tersebut menjadi bendera Turki. Nama Konstantinopel pun diganti
menjadi Istanbul.
Sebelumnya, bendera Turki Usmani hanya segitiga sama kaki yang
rebah dengan garis sisi kedua kakinya melengkung. Benderanya berwarna

Pustaka 137
137

merah. Setelah dimodifikasi, bagian tengah bendera ditambahi gambar
bulan dan bintang berwarna putih. Pada tahun 1844 bentuk bendera
diubah menjadi segi empat.
Wilayah Turki Usmani mencakup tiga benua beserta peradaban yang
ada di dalamnya. Saat itu, bulan sabit digunakan untuk melambangkan
posisi tiga benua tersebut. Ujung yang satu menunjukkan benua Asia
(terletak di timur), ujung lainnya mewakili Afrika, dan di tengahnya
benua Eropa. Sedangkan lambang bintang menunjukkan posisi ibu kota
yang bermakna kota Islam. Lama-kelamaan, simbol bulan bintang
dianggap masyarakat luas sebagai simbol agama Islam.
Khazanah lainnya adalah kopiah. Biasa disebut songkok, peci,
turbus, bahkan kupluk. Komunitas yang banyak menggunakan kopiah
adalah santri pesantren. Hal ini merupakan aplikasi dari ajaran Ta’lim
Muta’alim untuk selalu menutup kepala. Perintah tersebut tidak
diterjemahkan dalam bentuk surban atau tutup kepala lainnya melainkan
dengan kopiah.
Kopiah juga merupakan simbol nasionalisme. Pada awalnya para
aktivis kemerdekaan memakai daster dan tutup kepala blangkon. Lebih
dekat ke tradisi priyayi dan aristokrat, bahkan cenderung feodal.
Kemudian gaya berbusana tersebut berubah ketika HOS Tjokroaminoto
bersama para aktivis Syarekat Islam mempopulerkan penggunaan kopiah.
Murid-murid beliau pun banyak yang mengikutinya seperti Soekarno.
Kopiah sebagai simbol patriotisme dan nasionalisme. Sekaligus membedakan penampilan mereka dengan para priyayi atau amtenar kolaborator
Belanda.
Buku ini terdiri dari dua bagian. Pertama, menyuguhkan berbagai
artikel yang menggambarkan kejayaan Islam, seperti Baitul Hikmah,
bangunan-bangunan monumental pada masa kejayaan Islam, perkembangan penemuan kertas, asal-usul simbol bulan bintang, ilmuan muslim
yang ikut berperan dalam perkembangan ilmu astronomi, kedokteran,
filsafat, sosiologi, dan banyak bidang lainnya.
Pada bagian kedua diuraikan tentang khazanah Islam Nusantara.
Dimulai dari tradisi keilmuan di Nusantara, seni budaya seperti tradisi
Barzanji, beduk, asal-usul kopiah bahkan bagaimana perjumpaan Islam
dengan teater. Selain itu diungkap juga tentang masjid-masjid yang
merupakan hasil dinamika budaya Islam Nusantara dengan budaya lokal.
Seperti Masjid Raya Baiturahman Aceh, Masjid Raya al-Mahsun Medan,
dan lainnya. Selain masjid, dibahas juga tentang situs-situs Islam seperti
Kerajaan Islam Demak, Istana Maimun, bahkan Museum Hamka. []
Hakim Syukrie
***

138
138 ¢u¥uf, Vol. 5, No. 1, 2012: 129 – 140
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Kenegaraan
(Tafsir al-Qur’an Tematik), Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf alQur’an Kementerian Agama, 2011, 455 halaman.
Pembahasan dalam buku ini diawali tentang negara dalam lintasan
sejarah, mencakup pembahasan negara pra-Islam dan negara pada masa
Nabi Muhammad saw. Sebelum kenabian Muhammad, di Barat maupun
di Timur telah terdapat negara dalam bentuk kerajaan. Contohnya, Raja
(Nabi) Dawud dan Sulaiman as. Sezaman dengannya terdapat kerajaan
Saba’ yang dipimpin oleh seorang perempuan dengan ibu kota Ma’rib.
Pada masa Islam dibahas juga periode Madinah hingga Khalifah ke-4
yakni Ali bin Abi Talib.
Adapun tujuan sebuah negara dibahas pada bagian berikutnya.
Tujuan negara antara lain mewujudkan kesejahteraan rakyat, menjaga
perdamaian serta menjunjung tingi martabat bangsa dan negara. Negara
berkewajiban mengajak masyarakatnya untuk mengenal dan beriman
kepada Allah swt. Tersurat dalam Surah an-Naml/27: 29-31 tentang Nabi
Sulaiman yang mengajak Ratu Balkis beriman kepada Allah. Tujuan
lainnya yakni memelihara keamanan dan integritas negara; menjaga
hukum dan ketertiban; serta memajukan negeri sehingga setiap individu
dapat merealisasikan potensinya sambil memberikan sumbangan bagi
kesejahteraan semua.
Seterusnya adalah tentang hukum dalam negara. Undang-undang
atau hukum dibuat untuk mengatur hubungan individu vs individu,
individu vs kelompok, bahkan individu dan negara. Hukum menjadi
kesepakatan bersama agar terhindar dari konflik serta terciptanya
kehidupan tertib, damai dan sejahtera. Lalu apa sumber hukumnya? Tafsir
ini menekankan bahwa sumber hukum yang terbaik bagi kehidupan kaum
beriman adalah Al-Qur’an. Rasul dan ulul amri juga berhak menetapkan
hukum yang senafas dengan Al-Qur’an, seperti tersurat dalam Q.S. anNisa’/4: 59.
Salah satu ayat yang dijadikan rujukan untuk syarat seorang
pemimpin negara yaitu Q.S. Al-Baqarah/2: 247. Pemimpin negara harus
sehat jasmani dan rohani, memiliki kemampuan, adil, jujur, amanah,
profesional, bertanggung jawab dan berani. Selain itu, pemimpin negara
juga harus memiliki kekuatan fisik. Pemimpin negara juga memiliki
kewajiban dan hak. Di antara kewajiban pemimpin yaitu menjamin sistem
hukum yang adil, menjaga hak asasi warga, melaksanakan amanat
undang-undang, mensejahterakan rakyat, melindungi warga negara,
memelihara keutuhan wilayah dan aset-aset negara. Adapun hak
pemimpin, yaitu ditaati, mendapat penghargaan yang layak, serta
mengelola tanah air dan negara untuk kepentingan rakyat.
Selain ada hak dan kewajiban pemimpin, ada juga hak dan kewajiban
terpimpin (rakyat). Kewajiban rakyat antara lain menaati peraturan,

Pustaka 139
139

bertanggung jawab, berperan serta dalam pelaksanaan kebijakan, menjaga
kewibawaan negara dan membela negara.[] Hakim Syukrie
***
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Al-Qur’an Tematik: AlQur’an dan Kebinekaan, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an
Kementerian Agama RI, 2011, xxxii+346 halaman
Keberagamaan Indonesia dalam berbagai aspeknya merupakan aset
bangsa yang patut dilestarikan. Allah menciptakan keanekaragaman
dalam alam semesta dan dalam kehidupan manusia. Perbedaan tersebut
merupakan harmoni dan anugrah teindah dalam hidup ini.
Keragaman suku, bahasa, agama, golongan, budaya profesi dan
lainnya merupakan kekayaan bangsa Indonesia, namun di sisi lain hal
tersebut sesekali menimbulkan konflik sosial di tengah-tengah masyarakat. Pembahasan tentang kebinekaan dalam al-Qur’an dimaksudkan
untuk memberikan wawasan dan panduan bagi masyarakat agar dapat
mewujudkan kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan hidup bersama
dan terhindar dari segala macam konflik yang merugikan kehidupan
secara moril maupun materiil. Jika Allah menghendaki, Ia pasti mampu
menjadikan manusia satu umat, tetapi Ia memberikan kebebasan
berkehendak yang terbatas kepada manusia (Q.S. an-Nahl/16: 93; asySyua/42: 8; Hud/11: 118-119; az-Zukhruf/43: 33).
Pada bagian awal, buku ini mencoba memberikan konteks terhadap
keberagaman, bahwa hal tersebut sebagai sunnatullah kehidupan. Pelangi
tidak akan dikatakan indah apabila hanya memiliki satu warna. Perbedaan
merupakan media untuk mengembangkan berbagai pemikiran yang
berguna bagi kehidupan manusia. Keragaman yang telah menjadi
sunnatullah seharusnya menjadi model positif bagi bangsa Indonesia.
Ada dua perspektif untuk melihat keragaman, yaitu doktriner dan
historis. Secara doktriner, Islam menjunjung tinggi perbedaan. Bisa
dilihat pada Q.S. al-Baqarah/2: 120, 259: al-Maidah: 5/51 dan alKafirun/109:1-6). Secara historis, Islam juga telah mampu menjalin hubungan dan berinteraksi baik secara politik, ekonomi maupun aspek
budaya.
Terkait keragaman dalam profesi, Al-Qur’an menyebutkan dan
mengisyaratkan bermacam-macam profesi, antara lain petani (Q.S. alFath/48: 29), pedagang (an-Nisa/4: 29; dan al-Jumu’ah/62:11), hakim (alBaqarah/2: 188), bendahara, tentara, penggembala dan pandai besi
(pertukangan). Ayat tentang Nabi Musa dinisbatkan kepada pekerjaan
sebagai penggembala. Ayat tentang kisah Nabi Dawud as dinisbatkan
sebagai dalil profesi pandai besi (pertukangan). Juga cerita tentang Nabi
Nuh yang membuat bahtera dimaknai sebagai frofesi pembuat perahu

140
140 ¢u¥uf, Vol. 5, No. 1, 2012: 129 – 140
(pertukangan). Kisah Nabi Sulaiman mengumpulkan bala tentaranya
sebagai dalil profesi tentara (Q.S. an-Naml/ 27: 17).
Bahasan pertama tentang keragaman adalah keragaman agama.
Bagian ini banyak menuangkan tentang fikih lintas agama. Dimulai dari
eksistens agama-agama di luar Islam; perbedaan antara pluralitas dan
pluralisme agama; mengucapkan selamat Natal kepada non-Muslim;
memasuki tempat ibadah non-Muslim dan sebaliknya. Bahkan pada
uraian ucapan selamat Natal, disediakan sub-bab sendiri yang menyandingkan pendapat Ibnu Qayyim dan Ibnu Taimiyah tentang perkara
tersebut. Untuk umat Islam yang tidak bersentuhan secara sosial dengan
non-muslim tak perlu mengucapkan selamat Natal, namun bagi muslim
yang aktif berinteraksi dengan mereka sangat baik untuk menyampaikan
selamat Natal dengan keharusan bersikap hati-hati dalam niatnya.
Selanjutnya adalah kebinekaan etnik. Surah al-Hujarat/ 49: 11-12
memberikan penegasan bahwa keberagaman etnik yang diciptakan
manusia bukanlah untuk saling mengolok, saling mencela, menebarkan
prasangka yang buruk dan mencari kesalahan. Inilah dasar kehidupan
masyarakat yag dibangun Al-Qur’an dalam menyikapi kebinekaan etnik.
Untuk menjaga kebinekaan entik dalam simpul persatuan, Al-Qur’an
meletakkan prinsip bermasyarakat bahwa itu adalah sunnatullah. Dalam
menyelesaikan konflik antaretnik, Al-Qur’an lebih mengedepankan jalan
perdamaian daripada kekerasan atau represi. Ini sejalan dengan
karakteristik Islam yang mengedepankan jalan damai. [] Hakiem Syukrie