ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS PERKARA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) Studi Perkara Nomor : 489/Pid.Sus/2013/PN.TK.)

(1)

ABSTRACT

JURIDICAL ANALYSIS OF ACQUITTAL DECISION IN HUMAN TRAFFICKING CRIMINAL CASES

(Study of Case No. 489/Pid.Sus/2013/PN.TK)

BY

ANDRIKA FAROSA

Human Trafficking is an organized crime and one of the fastest growing crima in the world. Gaps in law enforcement against human trafficking criminal is ideally with Enactment of Eradication Law of Human Trafficking Crime which is expected to provide a deterrent effect against perpetrators of human trafficking, especially if the victim is a child who must get legal protection, but inversely with example of case in Bandar Lampung in case No. 489/Pid.Sus/ 2013/PN.TK. Issues in this thesis is what is the basic considerations of the judge acquitted criminal cases of human trafficking in case No. 489/Pid.Sus/2013/PN.TK. ? and whether the acquittal decision in case No. 489/Pid.Sus/2013/PN.TK. compliance with applicable laws and regulations?

This thesis research using normative juridical approach which is based on legislation, theories and concepts associated with this research.

The results showed that legal considerations of the judges in imposing criminal sanction against the defendant in Case No. 489/Pid.Sus/2013/PN.TK. in accordance with facts revealed in the trial as well as other legitimate considerations. The judge ruled acquittal decision in accordance with the charges of Public Prosecutor, the suspect was not not provenas a criminal offense according to indictment. The conclusionis the charges filed by the Public Prosecutor is not appropriate because the elements contained in accused clause is not fulfilled if it is associated with the defendant’s action. Another indictment is to use section 88 UU No. 23 Tahun 2002.

Finally, advise for law enforcer in order to harmonize all policies, laws and regulations which are already exist and will be exist with UU PTPPO and local regulation. Furthermore, to the judges in ruled of verdict on human trafficking should be tightened by precede a sense of justice for litigants, to satisfy all parties, and also can give deterrent effect for the accused/convict.


(2)

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS PERKARA TINDAK PIDANAPERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING)

(Studi Perkara Nomor : 489/Pid.Sus/2013/PN.TK)

Perdagangan orang merupakan kejahatan yang terorganisasi dan merupakan salah satu kejahatan yang mengalami pertumbuhan paling cepat di dunia. Kesenjangan yang terjadi pada penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang adalah secara ideal dengan diberlakukannya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang diharapkan memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang apalagi jika korbannya merupakan tergolong anak yang harus mendapatkan perlindungan hukum, namun berbanding terbalik dengan contoh kasus di Bandar Lampung pada perkara No. 489/Pid.Sus/2013/PN.TK. Permasalahan dalam tesis ini adalah apakah dasarpertimbangan hakim memutus bebas perkara tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) pada perkara No. 489/Pid.Sus/2013/PN.TK. ? dan apakah putusan bebas pada perkara No. 489/Pid.Sus/2013/PN.TK. telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku?

Penelitian tesis ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan penelitian ini.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap terdakwa dalam Perkara No. 489/Pid.Sus/2013/PN.TK.telah sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan yuridis lainnya.Hakim menjatuhkan putusan bebas sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, tersangka tidak terbukti melakukan tindak pidana sesuai dengan dakwaan. Pada akhirnya disimpulkan bahwa tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum kurang tepat karena unsur-unsur yang terdapat dalam pasal yang didakwakan tidak terpenuhi jika dikaitkan dengan perbuatan terdakwa.Dakwaan lain yang dapat juga digunakan adalah dengan menggunakan Pasal 88 UU No. 23 Tahun 2002.

Akhirnya disarankan bagi penegak hukum, agar mengharmonisasikan segala kebijakan, hukum dan peraturan yang telah dan akan ada dengan UU PTPPO dan Perda. Selanjutnya kepada majelis hakim dalam menjatuhkan putusan perkara perdagangan orang hendaknya lebih diperketat dengan tetap mengedepankan rasa keadilan bagi mereka yang berperkara, sehingga mampu memuaskan semua pihak, dan sekaligus dapat memberikan efek jera bagi terdakwa/terpidana.


(3)

i

PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) (Studi Perkara Nomor : 489/Pid.Sus/2013/PN.TK.)

Oleh

ANDRIKA FAROSA

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM

Pada

Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS PERKARA TINDAK

PIDANAPERDAGANGAN ORANG (

HUMAN TRAFFICKING

)

(Studi Perkara Nomor : 489/Pid.Sus/2013/PN.TK)

(Tesis)

Oleh

ANDRIKA FAROSA

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM

FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2015


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

HALAMAN JUDUL ... iii

PERSETUJUAN ... iv

PENGESAHAN ... v

PERNYATAAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

MOTO ... viii

PERSEMBAHAN ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xi

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Toeritis dan Konseptual ... 8

E. Metode Penelitian... 13

II.TINJAUAN PUSTAKA A. Putusan ... 17


(6)

D. Pertanggung jawaban Pidana ... 25 E. Tindak Pidana Perdagangan Orang ... 31 F. Modus Operandi Perdagangan Orang ... 40

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Dasar Pertimbangan Hakim Memutus Bebas Perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Perkara Nomor

489/Pid.Sus/2013/PN.TK.) ... 46 B. Analisis Putusan Bebas Perkara Sesuai dengan Ketentuan Hukum

Yang Berlaku (Studi Perkara Nomor 489/Pid.Sus/2013/PN.TK.) ... 70 IV. PENUTUP

A. Simpulan ... 81 B. Saran ... 82


(7)

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, sebab hanya dengan rahmat dan karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan Tesis berjudul: Analisis Yuridis Putusan Bebas Perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) (Studi Perkara Nomor : 89/Pid.Sus/2013/PN.TK.).

Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Lampung. Penyusunan hingga penyelesaian Tesis ini, penulis mendapatkan bimbingan dan arahan dukungan dari berbagai pihak, oleh karenanya penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, SH., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Lampung.

2. Bapak Prof. Dr. Khaidir Anwar, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

3. Bapak Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H. selaku Sekretaris Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus sebagai Penguji Utama atas masukan dan saran yang diberikan dalam perbaikan Tesis.


(8)

ii

yang diberikan dalam proses bimbingan hingga selesainya Tesis.

5. Bapak Dr. Muhammad Fakih, S.H., M.S., selaku Pembimbing II, atas masukan dan saran yang diberikan dalam proses bimbingan hingga selesainya Tesis.

6. Ibu Dr. Nikmah Rosidah, S.H., MH. selaku Penguji atas masukan dan saran yang diberikan dalam perbaikan Tesis.

7. Seluruh dosen Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung telah memberikan ilmu kepada penulis, dan seluruh staf dan karyawan yang telah memberikan bantuan selama menempuh pendidikan. 8. Seluruh rekan Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum

Universitas Lampung.

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, namun demikian penulis berharap semoga Tesis ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, Juni 2015 Penulis,


(9)

Nama Mahasiswa

No. Pokok Mahasiswa

Program Kekhususan Program Studi

Fakultas

(HUMAN TRAFFICKING'}

(Studi Perkara Nomor : 489/Pid.Susl2013/pN.TK)

: Andrika Farosa

:1222011004 : Hukum Pidana

: Program Pascasarjana Magister Hukum : Hukum

MENYETUJTII

Dosen

Komisi

Pembimbing

)'w-

Dr. Maroni, S.H., M.H.

NIP 19600310 198703 I 002

MElYGETAHUI

Ketua Program Pascasarjana

Program Studi Magister Hqfum Fakultas Hukum

uhammad Fakih, S.H.,

9641218 198803 1 003

Anwar, S.H., M.Eum.


(10)

L

Tim Penguji

Ketua

Sekretaris

Penguji Utama

Anggota

Anggota

:

I)r.

Marori,

S.H., M.H.

:

Ilr.

Muhammad Fakih, S,H., M.S.

:

Ilr.

Eddy Rif1i, S.H., M.H.

:

Dr.

Nikmah Rosidah, S.H., M.H.

: Dr. Heni Siswanto, S.H., M.II.

ktur Program Pascasarjana Universitas Lampung

r.

Sudjarwoo M.S.

19530528 198103 1 002

^;-r1{*

rT6n'UY

ryandi, S.H., M.S.

09 198703 1 003


(11)

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

l.

Tesis dengan judul: Analisis Yuridis Putusan Bebas Perkara Tindak Pidana

Perdagangan

orang

(Human

Tralficking)

(studi

perkara Nomor

:

489/Pid.Sus/2013/PN.TK) adalah karya saya sendiri dan saya tidak melakukan

penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain dengan cara yang tidak sesuai

dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat akademik atau yang disebut plagiarisme.

Hak intelektual atas karya ilmiah ini diserahkan sepenuhnya kepada Universitas

Lampung.

Atas pernyataan

ini,

apabila

di

kemudian hari ternyata ditemukan adanya ketidak

benaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada saya; saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

Bandar Lampung, Juni 2015 Pembuat Pernyataan,

2.

AIYDRIKA FAROSA NPM 1222011004


(12)

i

“Dan Mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan

sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang

khusyuk.”

(Q.S. Al-Baqarah Ayat 45)

“Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah, “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan

yang memiliki arasy yang Agung.”


(13)

i

PERSEMBAHAN

Bismillahirrahmanirrahim Kupersembahkan Tesis ini sebagai tanda bukti hormat dan cintaku

kepada kedua orang tuaku Faisolsyah dan Suhita

Adik-adikku

Ranny Jefrisa, Yoga Aliansa dan Rafiska Septiasa, Almamaterku Tercinta Universitas Lampung


(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perdagangan orang bukanlah fenomena barudi Indonesia dan meskipun kriminalisasi perdagangan orang ini dapat terkait siapa saja, orang memang seringkali mengidentikkannya dengan perdagangan perempuan dan anak. Dewasa ini perdagangan orang dianggap sama dengan perbudakan, yang diartikan sebagai suatu kondisi seseorang yang berada di bawah kepemilikan orang lain.1

Kejahatan perdagangan orang pada masa sekarang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi, bahkan dilakukan dengan cara profesional dan sifatnya telah melampaui lintas negara sebagai salah satu bentuk kejahatan yang dilakukan baik oleh perorangan, kelompok yang terorganisasi maupun sebuah korporasi. Permintaan pasar yang cukup besar karena maraknya bisnis hiburan di kota-kota besar, sehingga membuat sebagian perempuan dan anak termasuk orang tua menjadi korban penipuan oleh para calo atau perantara yang keluar masuk desa atau kelurahan.

Kenyataan yang lebih dominankorban adalah perempuan dan anak karena merekalah kelompok yang sering menjadi sasaran dan dianggap paling rentan.

1

C.S.T Kansil (et al), Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nasional, Jala Partama Aksara, Jakarta, 2009, Hlm. 129.


(15)

Korban perdagangan orang biasanya ditipu, diberlakukan tidak manusiawi, dan dieksploitasi. Bentuk bentuk eksploitasi itu sendiri diantaranya dengan cara memperlakukankorban untuk bekerja yang mengarah pada praktik-praktikeksploitasi seksual, perbudakan atau bentuk-bentuk perbudakan modern, perbuatan transplantasi organ tubuh untuk tujuan komersial, sampai penjualan bayi yang dimaksudkan untuk tujuan dan kepentingan mendapatkan keuntungan besar bagi pelaku perdagangan orang. Kasus perdagangan orang terutama terjadi di kota-kota besar Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali, Medan, Padang, Pontianak, Makasar, dan Manado.2

Perdagangan orang merupakan bentuk perbudakan secara modern, terjadi baik dalam tingkat nasional dan internasional. Dengan berkembangnya teknologi informasi, komunikasi, dan transformasi, maka modus kejahatan perdagangan manusia semakin canggih. Perdagangan bukan kejahatan biasa (extra ordinary), terorganisir (organized) dan lintas negara (transnational), sehingga dapat dikategorikan sebagai transnational organized crime. Demikian canggihnya cara kerja perdagangan orang yang harus diikuti dengan perangkat hukum yang dapat menjerat pelaku. Diperlukan instrumen hukum secara khusus untuk melindungi korban.3

Pandangan masyarakat (communisopinio) bahwa perdagangan orang merupakan bentuk perbudakan modern tidak dapat kita bantah.Perdagangan orang merupakan

2

Mahrus Ali dan Bayu Aji Pramono, Perdagangan Orang Dimensi, Instrumen Internasiona ldan Pengaturannya di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, Hlm. 6.

3

Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, Hlm. cover.


(16)

kejahatan yang sangat jahat4 dan merupakan salah satu kejahatan yang mengalami pertumbuhan paling cepat di dunia.5Dewasa ini perdagangan orang juga menjadi salah satu dari lima kejahatan terbesar dunia yang harus ditanggulangi karena akibat yang ditimbulkan tidak saja pada aspek ekonomi, tetapi juga pada aspek politik, budaya, dan kemanusiaan. Kelima kejahatan ituadalah perdagangan obat-obatan terlarang, perdagangan senjata illegal, perdagangan orang, kejahatan dibidang hak intelektual, dan pencucian uang.6

Setiap korban perdagangan orang, berhak mendapat bantuan hukum berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak atas korban perdagangan orang meliputi memperoleh rehabilitasi baik fisik maupun psikis akibat perdagangan, dan berhak diintegrasikan atau dikembalikan kepada lingkungan keluarga, masyarakat, dan lembaga pendidik yang masih berstatus sekolah. Tindak Pidana Perdagangan Orang dirasakan sebagai ancaman bagi masyarakat, bangsa, dan negara serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Selama ini penanganan perkara pidana terlalu berorientasi pada tersangka atau terdakwa sementara hak-hak korban sering diabaikan. Oleh karena itu, perlu disadari perlunya perlindungan hukum bagi korban khususnya korban perdagangan orang, maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang mempunyai semangat perlindungan terhadap korbannya.

4

Sasha L.Nel, dalamOp.Cit, 2011, Hlm. 1.

5

Jr. LeRoy G. Potts, dalamIbid, Hlm. 1.

6 MoisesNa’im, dalamIbid


(17)

Seiring dengan adanya perkembangan dan kemajuan zaman, mengakibatkan semakin meningkatnya kejahatan. Kejahatan ini terus meningkat dari waktu ke waktu, baik itu dengan kualitas maupun kuantitas. Adanya peningkatan kejahatan ini membutuhkan suatu usaha dan upaya dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan-perbuatan kejahatan. Perbuatan kejahatan tersebut akibat dari perkembangan arus informal sosial budaya dan pembangunan yang bersifat negatif. Faktor-faktor ini yang mengakibatkan banyaknya perbuatan-perbuatan kejahatan.7

Penegakan hukum bermakna bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,dimana larangan tersebut disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa penjatuhan pidana tertentu. Dalam hal ini ada hubungan legalitas, yang mana tiada suatu perbuatan dapat dipidana melainkan telah diatur dalam undang-undang, maka barang siapa yang melanggar larangan tersebut dan larangan tersebut sudah di atur dalam undang-undang, maka bagi para pelaku dapat dikenakan sanksi atau hukuman, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula.

Kesenjangan yang terjadi pada penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang adalah secara ideal dengan diberlakukannya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang diharapkan memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang apalagi jika korbannya merupakan tergolong anak yang harus mendapatkan perlindungan hukum, namun

7

Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto Universitas Diponegoro, Semarang, 1990, Hlm. 12.


(18)

berbanding terbalik dengan contoh kasus di Bandar Lampung padaPerkara No. 489/Pid.Sus/2013/PN.TK.dengan terdakwa Jarot Purwohadi Purnomo (JPP) dalam perkara tindak pidana perdagangan orang. Bahwa terdakwa pada hari Rabu tanggal 16 Januari 2013 sekira pukul 11.30 WIB terdakwa dihubungi oleh Mala Dewi (berkas perkara diajukan terpisah) yang mana sebelumnya terdakwa dan telah saling kenal juga terdakwa merupakan langganan dari salon Bella milik Mala Dewi yang mana salon tersebut menyediakan wanita-wanita yang melayani kebutuhan seksual laki-laki dan kemudian Mala Dewi menghubungi korban MFA (16)untuk datang ke salon Bella milik Mala Dewi, sekira pukul 13.00 WIB korban MFA tiba di Salon Bella dan langsung ke ruangan karaoke dan tidak berapa lama kemudian terdakwa tiba di Salon Bella, kemudian Mala Dewi memanggil korban MFA untuk menemui dan melayani terdakwa. Kurang lebih 10 (sepuluh) menit, korban dan terdakwa belum sempat mengakhiri hubungan badan dan langsung memakai baju masing-masing oleh karena kamar sudah diketuk oleh petugas kepolisian Polda Lampung yang mendapat informasi dari masyarakat bahwa disalon tersebut sudah lama memperkerjakan anak di bawah umur sebagai pekerja seks komersial sehingga dilakukan razia disalon tersebut yang terdapat kamar berukuran kecil disekat menggunakan triplek yang salah satu kamarnya terdapat korban dan terdakwa Jarot.

Jaksa Penuntut Umum mendakwa melakukan tindak pidana dengan surat dakwaan yang disusun secara alternatif, yaitu : Pertama, melanggar ketentuan Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007, atau Kedua, melanggar ketentuan Pasal 6 UU No. 21 Tahun 2007, atau Ketiga, melanggar ketentuan Pasal 12 UU No. 21 Tahun 2007, atau Keempat, melanggar ketentuan Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002, atau


(19)

Kelima, melanggar ketentuan Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2002Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Pengadilan Negeri Tanjung Karang memutus terdakwa Jarot Purwohadi Purnomo tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan; Membebaskan terdakwa tersebut oleh karena itu dari segala dakwaan;Melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum; Memulihkan hak terdakwa baik dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul:

“AnalisisYuridisPutusanBebasPerkara Tindak PidanaPerdagangan Orang (Human

Trafficking)(Studi Perkara Nomor : 489/Pid.Sus/2013/PN.TK).”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka masalah yang menjadi objek penelitian ini penulis mencoba mengangkat permasalahan sebagai berikut:

a. Apakah dasar pertimbangan hakim memutus bebas perkara tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) pada Perkara No. 489/Pid.Sus/2013/PN.TK.?

b. Apakah putusan bebas pada Perkara No. 489/Pid.Sus/2013/PN.TK.telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku?


(20)

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah studi dibidang ilmu hukum pidana, dengan kajian hukum terhadapputusanbebas pelaku tindak pidana perdagangan orang padaPerkara No. 489/Pid.Sus/2013/PN.TK.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini antara lain adalah :

a. Untuk menganalisis dasar pertimbangan hakim memutus bebas perkara tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) pada Perkara No. 489/Pid.Sus/2013/PN.TK.

b. Untuk menganalisis putusan bebas pada Perkara No. 489/Pid.Sus/2013/PN.TK .sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai upaya pengembangan ilmu hukum pidana khususnya dalam perkara tindak pidana perdagangan orang.

b. Secara Praktis, penelitian diharapkan dapat memberikan informasi sebagai masukan bagi pihak-pihak terkait hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman bagi praktisi dalam menjalankan peranan sebagai penegak hukum.


(21)

D. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah susunan dari beberapa anggaran, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi landasan suatu acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penulisan.8Sebagai acuan atau pisau analisis dalam menjawab permasalahan, digunakan teori-teori sebagai berikut:

a. Teori Penegakan Hukum Pidana

Berikutnya adalah penegakan hukum, dimana menurut Joseph Goldstein bahwa upaya penegakan hukum pidana dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu:9

1) Total Enforcement (penegakan hukum sepenuhnya)

Yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana substantif (substantive low of

crime). Penegakan hukum secara total ini tidak mungkin dilakukan, sebab

para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penagkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan pendahuluan. Disamping itu mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberi batasan-batasan, misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulusebagai syarat penuntutan para delik aduan. Ruang lingkup yang dibatasi ini di sebut Area of no Enforcement (area dimana penegakan hukum pidana tidak dapat dilakukan sepenuhnya). Setelah ruang lingkup penegakan hukum yang bersifat total tersebut dikurangi Area of no

Enforcement, muncul bentuk penegakan hukum pidana kedua, yakni Full

Enforcement.

2) Full Enforcement (penegakan hukum secara penuh)

Penegak hukum diharapkan menegakan hukum secara maksimal, akan tetapi harapan itu dianggap not a realistic expectation, sebab adanya ketrebatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat investigasi, dana yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukan discretions.

3) Actual Enforcement

Merupakan area yang dapat ditegakan oleh hukum pidana, melihat pada kenyataan bahwa peristiwa tersebut melibatkan banyak orang dalam hal ini para pengusaha maupun masyarakat.

8

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, Hlm. 73.

9

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, Hlm. 1-3.


(22)

Tujuan dalam penegakan hukum untuk mendapatkan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan atau kesejahteraan hukum dari penegak hukum tersebut. Dalam perjalanan penegakan hukum dapat berjalan sesuai dengan efektif apabila terbentuk mata rantai yang menjadi satu kesatuan dan tidak bisa dipisahkan antara lain : penyidik, tuntutan jaksa, vonnis hakim, dan pembuatan peraturan perundang-undangan, sedangkan pengertian dari penegak hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan.10 Penegak hukum bukanlah merupakan suatu kegiatan yang berdiri sendiri, melainkan mempunyai hubungan timbal balik yang erat dengan masyarakat.11

Penegakan hukum dilakukan oleh institusi yang diberikan wewenang untuk itu, seperti polisi, jaksa dan pejabat pemerintah. Sejak hukum itu mengandung perintah dan paksaan (coercion), maka sejak semula hukum membutuhkan bantuan untuk mewujudkan perintah tersebut. Hukum menjadi tidak ada artinya bila perintahnya tidak (dapat) dilaksanakan. Diperlukan usaha dan tindakan manusia agar perintah dan paksaan yang secara potensial ada di dalam peraturan itu menjadi manifest. Oleh Donald Back dimensi keterlibatan manusia dalam hukum tersebut dinamakan mobilisasi hukum.12

Keterlibatan anggota masyarakat dalam penegakan hukum terjadi baik dalam bidang pidana atau publik maupun perdata. Dalam hukum pidana, mobilisasi hukum dapat dimulai dari inisiatif polisi maupun anggota masyarakat, anggota masyarakat dapat melaporkan terjadinya kejahatan, sehingga menggerakan roda

10

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum, Genta publishing, Yogyakarta, 2009, Hlm. 24.

11 Ibid

, Hlm. 31.

12

Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2002, Hlm. 175.


(23)

hukum pidana. Maka dalam hal yang disebut belakangan ini, apabila anggota masyarakat itu tidak bertindak, tidak akan ada kasus.13

b. Teori pertanggungjawaban pidana

Teori pertanggungjawaban yaitu pandangan bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukkan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.14

Menurut Roeslan Saleh, pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu harus dipertanggungjawabkan kepada si pembuat pidananya atas perbuatan yang telah dilakukannya.15 Untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawaban. Ini berarti harus dipastikan dahulu dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana harus terlebih dahulu memiliki unsur yang sebelumnya harus dipenuhi yaitu :

a. Suatu perbuatan yang melawan hukum (unsur melawan hukum)

b. Seorang pembuat atau pelaku yang dianggap mampu bertanggung jawab atas perbuatan (unsur kesalahan).

13

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum, Op.Cit. Hlm. 178.

14

Andi Hamzah, Op.Cit, Hlm 12.

15

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta, Central, 1991, Hlm. 80.


(24)

Pertanggungjawaban pidana terhadap seseorang dalam hal ini berhubungan dengan kesalahan karena pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya.16 Antara kesalahan dan pertanggungjawaban pidana erat sekali kaitannya. Hal ini dikarenakan adanya asas tindak pidana jika ada kesalahan. Berdasarkan hal tersebut maka menurut Moeljatno pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana terdiri atas tiga syarat, yaitu:17

a. Kemampuan bertanggungjawaban atau dapat dipertanggungjawabkan dari si pembuat.

b. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatan berupa kesengajaan

(dolus) dan kealpaan (alpa).

c. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau alasan pemaaaf.

Pertanggungjawaban menurut hukum pidana adalah kemampuan bertanggungjawab seseorang terhadap kesalahan yang telah melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan tidak dibenarkan oleh masyarakat atau tidak patut menurut pandangan masyarakat. Melawan hukum dan kesalahan adalah unsur-unsur peristiwa pidana atau perbuatan pidana (delik) antara keduanya terdapat hubungan yang erat. Demikianlah unsur-unsur yang menjadi bahan pertanggungjawaban dalam hukum pidana atasdasaritulah tanggungjawab dapat lahir adalah hukum pidana.

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan dari beberapa konsep sebagai satu kebulatan yang utuh, sehingga terbentuk suatu wawasan untuk dijadikan landasan, acuan, dan

16

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2001, Hlm. 156.

17


(25)

pedoman dalam penelitian atau penulisan. Konsep yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep, khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah. Istilah yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah:

a. Analisis adalah kegiatan merangkum sejumlah data besar yang masihmentah kemudian mengelompokan atau memisahkan komponen-komponen serta bagian-bagian yang relevan untuk kemudian mengkaitkan data yang dihimpun untuk menjawab permasalah. Analisis merupakan usaha untuk menggambarkan pola-pola secara konsisten dalam data sehingga hasil analisis dapat dipelajari dan diterjemahkan dan memiliki arti,18 sedangkan yuridis adalah hal yang diakui oleh hukum, didasarkan oleh hokum dan hal yang membentuk keteraturan serta memiliki efek terhadap pelanggarannya,19 yuridis merupakan suatu kaidah yang dianggap hokum atau dimata hokum dibenarkan keberlakuannya, baik yang berupa peraturan-peraturan, kebiasaan, etika bahkan moral yang menjadi dasar penilaiannya.

b. Putusan Bebas adalah jika hasil dari pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Putusan bebas berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum.20

c. Tindak Pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, yang patut dipidanadan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan

18

Surayin, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Yrama Widya, Bandung, 2001, Hlm. 10.

19

http:// media informasill .com/2012/04/pengertian-definisi-analisis.html, pada tanggal 21 Maret 2015.

20


(26)

tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normative mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.21

d. Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara, utnuk tujuan eksplotasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.22

e. Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam undang-undang ini.23

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Masalah

Penelitian tesis ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan penelitian tesis ini.

21

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineke Cipta, Jakarta, 2001, hlm. 12.

22

Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.

23


(27)

2. Sumber dan Jenis Data

Data merupakan sekumpulan informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan suatu penelitian yang berasal dari berbagai sumber. Berdasarkan sumbernya, data terdiri dari data lapangan dan data kepustakaan. Jenis data meliputi data primer dan data sekunder.Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari :

a. Data lapangan, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dan para responden penelitian sebagai penunjang.

b. Data kepustakaan, yaitu data yang diperoleh dari berbagai sumber atau bahan kepustakaan, seperti buku-buku hukum, jurnal atau hasil penelitian dan literatur lainnya yang sesuai dengan permasalahan dalam penelitian.

Data yang digunakan sebagai berikut : a. Data Primer

Data primer adalah data empiris yang dimaksud dalam penelitian empiris yaitu, lokasi penelitian atau tempat dilakukannya penelitian, pristiwa hukum yang terjadi di lokasi penelitian dan responden yang memberikan informasi kepada peneliti. b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai bahan hukum yang berhubungan dengan penelitian. Data sekunder terdiri dari:

1) Bahan Hukum Primer, adalah bahan hukum yang bersifat mengikat, diantaranya sebagai berikut :

a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

b) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.


(28)

c) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. d) Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 2) Bahan Hukum Sekunder, bersumber dari bahan hukum yang memberi

mengenai bahan hukum primer seperti literatur-literatur, penulusuran website, media cetak lainnya, putusan pengadilan negeri kelas IA Tanjung Karang Nomor 489/Pid.Sus/2013/PN.TK, dan lain-lain yang mempunyai relevansi dengan permasalahan yang sedang diteliti.

3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang bersumber dari karya-karya ilmiah, bahan seminar, literatur dan pendapat para sarjana yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas

4. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

a. Prosedur Pengumpulan

Pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi :

1) Studi pustaka (library research) yaitu membaca, mengutip buku-buku atau referensi serta menelaah peraturan perundang–undangan, dokumen dan informasi lain yang ada dengan permasalahan yang akan diteliti dalam penulisan tesis ini.

b. Prosedur Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian akan diolah dengan cara :

1) Seleksi data, merupakan kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.


(29)

2) Klasifikasi data, merupakan kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

3) Penyusunan data, merupakan kegiatan penempatan dan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat terpadu pada sub pokok bahsan sehingga mempermudah interpretasi data.

5. Analisis Data

Analisis data yang dipergunakan dalam penilitian ini adalah analisis kualitatif yang teratur, sistematis, sehingga mudah dipahami dan diberi makna yang jelas. Secara kualitatif artinya mendeskripsikan secara rinci, lengkap, jelas dan komprehensif data dan informasi hasil penelitian dan pembahasan. Berdasarkan pada hasil analisis data tersebut, kemudian diambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus.


(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. PutusanHakim

1. Pengertian Putusan Hakim

Hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Ia menjadi ciri negara hukum. Hakim dalam pemeriksaan di sidang pengadilan harus aktif bertanya dan memberikan kepada pihak terdakwa yang diawali oleh penasehat hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum. Semua itu dengan maksud menemukan kebenaran. Hakim yang bertanggungjawab atas segala yang diputuskannya.24

Putusan hakim atau keputusan pengadilan merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Putusan hakim disuatu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut, dalam artian dapat berguna berupa menerima putusan, upaya hukum banding, upaya hukum kasasi, melakukan grasi dan sebagainya. Apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim adalah mahkota dan puncak pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran yang hakiki, hak asasi manusia, penguasa hukum atau

24


(31)

fakta secara mapan, mumpuni, serta visualisasietika, mentalitas dan moralitas, moralitas dari hakim yang bersangkutan.

Dimensi dan subtansi putusan hakim tersebut, memang tidak mudah untuk memuat rumusan yang aktual, memadai dan sempurna terhadap pengertian putusan hakim.Definisi hukum yaitu putusan pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka untuk umum dan disebut dengan putusan pengadilan, sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 1 butir ke 11 KUHAP yang menyatakan:

“Putusan pengadilan merupakan pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas dan lepas dari segala hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

2. Bentuk-Bentuk Putusan pengadilan

Mengenai apa yang akan dijatuhkan pengadilan, tergantung hasil musyawarah hakim berdasar penilaian yang mereka memperoleh dari surat dakwaan dihubungkan dari segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang dengan hasil yang mereka mufakat.25 Adapun bentuk putusan pengadilan adalah sebagai berikut:

a. Putusan bebas

Berdasarkan Pasal 191 Ayat (1) KUHAP menentukan bahwa jika hasil dari pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus

25

M. Yahya Harahap. Pembahasan dan Permasalahan Penerapan Dalam KUHAP, Jakarta, Sinar Grafika, 2002, Hlm 347.


(32)

bebas. Putusan bebas berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum. Hal ini terjadi apabila hakim menilai dakwaan terhadap terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan

b. Putusan Pelepasan dari segala tuntutan hukum

Berdasarkan Pasal 191 Ayat (2) yang menyatakan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan ini tidak merupakan tindak pidana, tetapi perbuatan ini tidak merupakan tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, berarti terdakwa dijatuhi putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Hal ini terjadi apabila hakim menilai dakwaan terhadap terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan namun tidak merupakan tindak pidana.

c. Putusan pemidanan

Putusan pemidanaan yaitu menjatuhkan pidanaterhadap terdakwa sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa. Pasal 193 Ayat (1), yang menentukan:

(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.

(2) Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dari terdapat alasan cukup untuk itu.

(3) Dalam hal terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan cukup untuk itu.

3. LandasanHukumPutusanBebas

Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur bahwa“Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari


(33)

hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus

bebas ”.

Pasal 191 ayat (1) Kitab Hukum Acara Pidana dijelaskan bahwa yang dimaksud

dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar

pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.

Berdasarkanketentuan tersebut di atas, berarti putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang dinilai oleh majelis hakim tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif, artinya dari pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu. Selain itu juga tidak memenuhi memenuhi asas batas minimum pembuktian, artinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja.

B. Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan secara rasional, memenuhi keadilan dan berdaya guna, dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk


(34)

menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.26

Proses penegakan hukum dalam pandangan Soerjono Soekanto, dipengaruhi oleh lima faktor, Pertama, faktor hukum atau faktor perundang-undangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat yakni lingkungan sosial dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.27 Secara konseptual, inti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyelesaikan hubungan nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang menetap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

Sudarto menyatakan bahwa penegakan hukum seringkali dibedakan menjadi tiga yaitu:

a. Penegakan hukum yang bersifat preventif. b. Penegakan hukum bersifat represif.

26

Barda Nawawi, Op. Cit, hlm. 109.

27


(35)

c. Penegakan hukum bersifat kuratif.28

Penegakan hukum yang bersifat represif, dimaksudkan untuk menghadapi onrecth

in potenle (perbuatan melawan hukum yang bersifat potensial) dan bersifat

kriminogen, akan tetapi bila kondisinya sangat potensial, maka yang nampak disebut sebagai police hazard yang perlu mendapat perhatian khusus. Penegakan hukum yang bersifat kuratif, pada hakekatnya juga merupakan usaha preventif dalam arti seluas-luasnya ialah dalam usaha menanggulangi kejahatan oleh sebab itu untuk membedakannya sebenarnya tindakan kuratif ini merupakan segi lain dari tindak refresif, namun lebih dititikberatkan pada tindakan pada orang yang melakukan tindak kejahatan.

Penegakan hukum yang berkeadilan syarat dengan landasan etis dan moral. Penegasan ini bukanlah tidak beralasan, selama kurun waktu lebih dari empat dasawarsa bangsa ini hidup dalam ketakutan, ketidakpastian hukum dan hidup dalam intimitas yang tidak sempurna antara sesamanya. Apa yang sesungguhnya dialami tidak lain adalah pencabikan moral bangsa sebagai akibat dari kegagalan bangsa ini dalam menata manajemen pemerintahan yang berlandaskan hukum. Penegakan hukum adalah proses yang tidak sederhana, karena di dalamnya terlibat subjek hukum yang mempersepsikan hukum menurut kepentingan masing-masing, faktor moral sangat berperan dalam menetukan corak hukum suatu bangsa. Hukum dibuat tanpa landasan moral dapat dipastikan tujuan hukum yang berkeadilan tidak mungkin akan terwujud.29

28

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983, hlm. 3.

29

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/12185/1/09E01683.pdf,Diakses pada tanggal 11 Februari 2015.


(36)

Penegakan hukum khususnya hukum pidana apabila dilihat dari suatu proses kebijakan maka penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap yaitu :

a. Tahap Formulasi. b. Tahap Aplikasi. c. Tahap Eksekusi.

Tahap kebijakan penegakan hukum pidana tersebut terkandung didalamnya tiga kekuasaan atau kewenangan, yaitu kekuasaan legislatif pada tahap formulasi, yaitu kekuasaan legislatif dalam menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan. Pada tahap ini kebijakan legislatif ditetapkan sistem pemidanaan, pada hakikatnya sistem pemidanaan itu merupakan sistem kewenangan atau kekuasaan menjatuhkan pidana. Yang kedua adalah kekuasaan yudikatif pada tahap aplikasi dalam menerapkan hukum pidana, dan kekuasaan eksekutif pada tahap eksekusi dalam hal melaksanakan hukum pidana.30

Negara Indonesia adalah negara hukum, maka setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui proses hukum. Penegakan hukum mengandung makna bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, di mana larangan tersebut disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu sebagai pertanggungjawabannya. Dalam hal ini ada hubunganya dengan asas legalitas,

30

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya, Bandung, 2005, hlm. 30.


(37)

yang mana tiada suatu perbuatan dapat dipidana melainkan telah diatur dalam undang-undang, maka bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut dan larangan tersebut sudah diatur dalam undang-undang, maka bagi para pelaku dapat dikenai sanksi atau hukuman, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula.31

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Penegakanhukum baik sebagai hukum materil maupun hukum formil. Dipengaruhioleh beberapafaktordiantaranyaadalah:

1. Faktor hukum. Dalam suatu proses penegakan hukum, faktor hukum adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun daerah yang sah.32

2. Faktor penegak hukum. Penegak hukum adalah luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara langsung dan tidak secara langsung berkecimpung dibidang penegakan hukum, yang dimaksud dengan penegakan hukum akan dibatasi pada kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law

enforcement, akan tetapi juga peace maintenance. Kiranya sudah dapat diduga

bahwa kalangan tersebut mencakup mereka yang bertugas dibidang-bidang kehakiman, kejaksaaan , kepolisian, kepengacaraan, dan pemasyarakatan.33 3. Faktor sarana atau fasilitas. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka

tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya.34

4. Faktor masyarakat. Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.35

5. Faktor kebudayaan. Kebudayaan hukum pada dasarnya mencakup nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi

31

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm. 15.

32

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2012. Hlm. 11.

33Ibid

. Hlm. 19.

34Ibid

. Hlm. 37.

35Ibid


(38)

abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan. Hal itulah yang akan menjadi pokok pembicaraan di dalam bagian mengenai faktor kebudayaan ini.

Pasangan nilai yang berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut: 1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.

2. Nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keahlakan.

3. Nilai kelanggengan/konservatismedan nilai kebaruan/inovatisme.36

D. Pertanggungjawaban Pidana

1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana suatu perbuatan tercela oleh masyarakat dan itu harus dipertanggungjawabkan kepada si pembuat pidananya atas perbuatan yang telah dilakukannya. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus terlebih dahulu siapa yang dipertanggungjawabkan37 Hal ini berarti harus dipastikan terlebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana. Sebaliknya apakah pertanggungjawaban itu diminta atau tidak, ini merupakan persoalan kedua yang tentunya tergantung pada kebijakan pihak yang berkepentingan untuk memutuskan apakah itu dirasa perlu atau tidak perlu menuntut pertanggungjawaban tersebut.

Kemampuan bertanggung jawab dapat diterapkan hanya kepada seorang yang mampu bertanggung jawab dan dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. Tiada pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas

36

Soerjono Soekanto, Op. Cit. Hlm. 61.

37


(39)

pertanggungjawaban, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini mempunyai kesalahan.

Berdasarkan hal tersebut maka menurut Moeljatno, pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum terdiri atas tiga syarat, yaitu:38

1. Kemampuan bertanggungjawaban atau dapat dipertanggungjawaban dari si pembuat.

2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatan berupa kesengajaan atau (dolus) atau kealpaan (alpa).

3. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau alasan pemaaf.

Masalah pertanggungjawaban ini menyangkut subjek tindak pidana yang pada umumnya telah dirumuskan oleh pembuat undang-undang untuk tindak pidana yang bersangkutan. Namun dalam kenyataannya untuk memastikan siapa pembuat suatu tindak pidana tidaklah mudah, karena untuk menentukan siapa yang bersalah dalam suatu perkara harus sesuai dengan proses yang ada dan sistem peradilan pidana yang ditetapkan. Dengan demikian tanggungjawab itu selalu ada meskipun belum pasti dituntut oleh pihak yang berkepentingan, jika pelaksanaan peranan yang telah berjalan itu ternyata tidak mencapai suatu tujuan atau persyaratan yang diinginkan.

Selanjutnya dengan masalah terjadinya perbuatan pidana atau delik, suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja atau tidak

38Op.Cit,


(40)

sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan tindakannya oleh undang-undang yang telah dinyatakan sebagai perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum. Berdasarkan batasan di atas dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pertanggungjawaban adalah keadaan yang dibebankan kepada seseorang untuk menerima atau menanggung akibat-akibat atau efek-efek yang timbul dari tindakan atau perbuatan yang dilakukannya.

Suatu perbuatan yang melawan hukum atau melanggar hukum belumlah cukup untuk menjatuhkan hukuman, disamping perbuatan melawan hukum harus ada seorang pembuat (dader) yang bertanggungjawab atas perbuatannya. Pembuat

(dader) tindak pidana harus ada unsur kesalahan (schuldhebben).

Pertanggungjawaban pidana harus terlebih dahulu memiliki unsur yang sebelumnya harus dipenuhi :

a. Suatu perbuatan yang melawan hukum (unsur melawan hukum)

b. Seorang pembuat atau pelaku yang dianggap mampu bertanggungjawab atas perbuatan (unsur kesalahan).

Pertanggungjawaban menurut hukum pidana adalah kemampuan bertanggungjawab seseorang terhadap kesalahan. Kemampuan bertanggungjawab ditentukan oleh dua faktor, yang pertama faktor akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan. Faktor kedua adalah kehendak, yaitu sesuai dengan tingkah lakunya dan keinsyafannya atas nama yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Seseorang


(41)

dikatakan mampu bertanggungjawab, bila memenuhi mempunyai 3 syarat yaitu :

39

a. Dapat menginsyafi makna yang kenyataannya dari perbuatannya.

b. Dapat menginsyafi bahwa perbuatan itu dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat.

c. Mampu menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.

2. Kemampuan Bertanggung jawab dan Ketidakmampuan Bertanggung jawab.

Pertanggung jawaban pidana lebih menekankan kepada orang yang melakukan perbuatan pidana. Jika seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana dan telah memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana yang telah ditentukan dalam undang-undang maka pelaku wajib mempertanggung jawabkan perbuatannya. Dalam hukum pidana, hanya orang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggung jawabkan pidana. Menurut Simons sebagaimana dikutip Tri Andrisman bahwa40.

“Kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan

psychish sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dalam sudut umum maupun dari orangnya. Seorang dapat dipertanggungjawabkan apabila ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertantangan dengan hukum dan ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran

tersebut.”

39Op.Cit

, Hlm. 85.

40


(42)

Kemampuan bertanggungjawab didasarkan kepada keadaan dan kemampuan jiwa

(geestelijke vergomens) dan bukan kepada keadaan dan kemampuan berpikir

(vansranselijke vergomens). KUHP tidak memberikan rumusan yang jelas tentang

pertanggungjawaban pidana, namun ada satu pasal yang menunjukkan kearah pertanggungjawaban pidana. Pasal tersebut adalah Pasal 44 ayat (1) KUHP yang berbunyi :

“Barang siapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya (gerbrekkinge onwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelike

storing), tidak dipidana.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 44 KUHP tersebut dapat ditarik makna bahwa seseorang dapat dihukum apabila seseorang pelaku dihinggapi :

1. Jiwanya cacat dalam tubuhnya

Jiwa cacat dalam tubuhnya menunjukkan pada keadaan bahwa keadaan bahwa jiwanya dalam tubuhnya terhambat atau terlambat. Hal ini terdapat misalnya pada orang yang sudah dewasa, akan tetapi pertumbuhan jiwanya masih seperti anak-anak.

2. Terganggunya karena penyakit

Terganggu karena penyakit dapat dikatakan bahwa pada mulanya keadaan jiwanya sehat, akan tetapi kemudian dihinggapi oleh suatu penyakit.

Menurut Adami Chazawi dalam KUHP tidak ada rumusan yang tegas tentang kemampuan bertanggungjawab pidana. Pasal 44 ayat (1) KUHP justru


(43)

merumuskan tentang keadaan mengenai kapan seseorang tidak mampu bertanggungjawab agar tidak dipidana, artinya merumuskan perihal kebalikan (secara negatif) dari kemampuan bertanggungjawab. Sementara itu, kapan seseorang dianggap mampu bertanggungjawab, dapat diartikan kebalikannya, yaitu apabila tidak terdapat tentang dua keadaan jiwa sebagaimana yang diterangkan dalam Pasal 44 KUHP tersebut.41

Untuk menentukan seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya dapat dipergunakan secara diskriptif normatif. Psikiater melukiskan dan menganalisis keadaan jiwa seseorang pelaku, penyakitnya serta akibat penyakitnya, sedangkan tugas hakim memberi penilaian keadaan jiwa seseorang pelaku tersebut kemudian menghubungkan hakikat yang terdapat di dalam undang-undang. Hakim tidak terkait dengan pendapat psikiater karena hakimlah yang melaksanakan ketentuan undang-undang, sehingga keputusan terakhir berada pada hakim.

Keadaan penyakit jiwa seseorang haruslah dibuktikan bahwa tingkat penyakit jiwanya tersebut memang mempengaruhi perbuatan tersebut. Penyakit jiwa sendiri mempunyai tingkatan-tingkatan, ada yang ringan, sedang maupun betul-betul dihinggapi penyakit jiwa yang berat. Keadaan jiwa yang dikategorikan tidak mampu bertanggungjawab yaitu :

a. Keadaan jiwa yang cacat pertumbuhannya, misalnya : gila (idiot), imbisil. Jadi merupakan cacat biologis. Dalam hal ini termasuk juga orang gagu, tuli, dan buta, apabila hal itu mempengaruhi keadaan jiwanya.

41


(44)

b. Keadaan jiwa yang terganggu karena penyakit ada pada mereka yang disebut

psychose, yaitu orang normal yang mempunyai penyakit jiwa yang

sewaktu-waktu bisa timbul, hingga membuat ia tidak menyadari apa yang dilakukannya.

E. Tindak Pidana Perdagangan Orang

1. PengertianTindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaar feit”, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri. Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa latin yakni kata

delictum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tercantum sebagai berikut:

“Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukum karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana”.42

Moeljatnomenerjemahkan istilah strafbaar feit dengan perbuatan pidana. Menurut

pendapat beliau istilah “perbuatan pidana” menunjuk kepada makna adanya suatu

kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum di mana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Dapat diartikan demikian karena

kata “perbuatan” tidak mungkin berupa kelakuan alam, karena yang dapat berbuat

dan hasilnya disebut perbuatan itu adalah hanya manusia.43

42

Teguh Prastyo, Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, Hlm. 47.

43 Ibid,


(45)

Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).44

Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan strafbaar feit, untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan strafbaar feit tersebut. Pada dasarnya semua istilah itu merupakan terjemahan dari bahasa Belanda:

Strafbaar Feit”, sebagai berikut:

1. Delik (delict).

2. Peristiwa pidana (E.Utrecht). 3. Perbuatan pidana (Moeljanto).

4. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum. 5. Hal yang diancam dengan hukum.

6. Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum.

7. Tindak pidana (Sudarto dan diikuti oleh pembentuk undang-undang sampai sekarang).45

Pompe memberikan pengertian tindak pidana menjadi dua, yaitu:

1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

2. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.46

44 Op.Cit,

Hlm. 50.

45


(46)

Keterangan Simons yang dikutip oleh Moeljanto adalah bahwa strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.47 Van Hamel juga merumuskan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijk gedraging) yang dirumuskan dalam wet yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.48

Menurut Barda Nawawi Arief, tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.49 Adapun jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar tertentu, antara lain sebagai berikut :

a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan pelanggaran yang dimuat dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan

“pelanggaran” itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP

menjadi Buku II dan Buku III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan. b. Cara merumuskanya, dibedakan dalam tindak pidana formil

(FormeelDelicten) dan tindak pidana materil (materil delicten). Tindak

pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362

46

Tri Andrisman, Op.Cit, Hlm. 70.

47

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, Hlm. 56.

48 Ibid. 49

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, Hlm. 37.


(47)

KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak pidana materil inti larangannya adalah menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.

c. Dilihat dari bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 yang dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP. d. Berdasarkan macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan

aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP).

Tindak pidana pasif dibedakan menjadi dua macam:

a. Tindak pidana murni adalah tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224, Pasal 304, dan Pasal 552 KUHP.

b. Tindak pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak


(48)

berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal.

Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak disengaja serta tindak pidana aktif dan tindak pidana pasif.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Setiap tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana itu menurut Lamintang pada umunya dapat kita jabarkan kedalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni: unsur-unsur

subyektif dan unsur-unsur obyektif.50 Yang dimaksud dengan unsur-unsur

subyektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang

berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedang yang dimaksud dengan unsur-unsur obyektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Menurut Lamintang unsur-unsur subyektif, dari suatu tindak pidana itu adalah:

a. Kesengajaan atau tidak kesengajaan (dolus atau culpa).

b. Maksud atau voornemenpada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.

50

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, Hlm. 193.


(49)

c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.

d. Merencanakan terlebih dahulu atauvoorbedachteread seperti yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP. e. Perasaan takut atau vressseperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan

tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur subyektif dari suatu tindak pidana itu adalah: 1. Sifat melanggar atau wederrechtelijkheid.

2. Kualitas dari se pelaku, misalnya “keadaan sebagai seseorang pegawai negeri”

di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.

3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.51

Menurut Moeljanto, unsur tindak pidana adalah: a. Perbuatan.

b. Yang dilarang (oleh aturan hukum).

c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar hukum).52

Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, oleh aturan hukum. Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya

51

P.A.F. Lamintang, Op.Cit, Hlm. 194.

52


(50)

benar dipidana. Pengertian diancam pidana merupakan pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana.

Menurut bunyi batasan yang dimuat Vos, dapat ditarik unsur-unsur tindak pidana adalah.

a. Kelakuan manusia. b. Diancam dengan pidana.

c. Dalam peraturan perundang-undangan.53

Batasan yang dimuat Jonkers (penganut paham monisme) dapat dirinci unsur-unsur tindak pidana adalah:

a. Perbuatan (yang).

b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan). c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat). d. Dipertanggungjawabkan.

Sementara itu, Schravendijk dalam batasan yang dimuatnya secara panjang lebar itu, jika dirinci terdapat unsur-unsur sebagai berikut:

a. Kelakuan (orang yang).

b. Bertentangan dengan keinsyafan hukum. c. Diancam dengan hukuman.

d. Dilakukan oleh orang (yang dapat). e. Dipersalahkan/kesalahan.54

Walaupun rincian dari tiga rumusan di atas tampak berbeda-beda, namun pada hakikatnya pada persamaanya, yaitu: tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatanya dengan unsur yang mengenai diri orangnya.

53

Adami Chazawi, Op.Cit,Hlm. 80.

54 Ibid,


(51)

3. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)

Pengertian Tindak PidanaPerdagangan Orang dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu:

“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia”.55

Cara melakukan tindak pidana perdagangan orang dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan unsur dari tindak pidana perdagangan orang yaitu dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan atau penjeratan hutang.

Pengaturan kejahatan perdagangan orang dalam Rancangan Undang-Undang KUHP (RUU KUHP Tahun 2006) terdapat dalam Bab XXI Mengenai Tindak Pidana terhadap Kemerdekaan Orang, bagian Kesatu Perdagangan Orang, terdiri dari 12 Paragraf dan 16 Pasal. Pasal 546 Rancangan KUHP merumuskan Tindak Pidana Perdagangan Orang sebagai berikut:

“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengiriman,

penyerahterimaan, orang dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemenfaatan posisi kerentangan, atau penjeratan utang, untuk tujuan mengeksploitasi atau perbuatan yang tereksploitasi orang tersebut,

55


(52)

dipidana karena melakukan tindak pidana perdagangan orang, dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit katagori IV dan paling

banyak katagori VI”

Berdasarkan rumusan di atas terdapat tiga elemen yakni:56

a. Setiap orang yang melakukan: perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan orang.

b. Dengan menggunakan: kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan, atau penjeratan hutang.

c. Untuk tujuan: mengeksploitasi, atau perbuatan yang dapat tereksploitasi orang tersebut.

Dengan perumusan seperti di atas, maka sebuah perbuatan tindak pidana perdagangan orang dapat terpenuhi bila salah satu dari tiga elemen tersebut dilakukan, misalnya seorang melakukan perekrutan dengan menggunakan pemanfaatan posisi kerentanan untuk tujuan mengeksploitasi, maka orang tersebut telah memenuhi pasal ini.Dalam RUU KUHP tidak ditemukan pengertian perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan, pengertian tersebut ada dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Tetapi juga pengertian penyalahgunaan kekuasaan dan pemanfaatan posisi kerentanan dan penjeratan utang tidak dijelaskan dalam RUU KUHP.

Unsur tujuan atau maksud dari perdagangan orang dalam RUU KUHP terdapat adalah bertujuan untuk eksploitasi yang merupakan tujuan perdagangan tidak didefinisikan. Unsur tujuan ini tidak relevan lagi atau tidak berarti apabila cara-cara pemaksaan atau penipuan sebagaimana diuraikan dalam definisi di atas digunakan. Hal ini tidak dijelaskan dalam RUU KUHP, tetapi dalam

56


(53)

Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ditegaskan dalam Pasal 1 angka 9, dengan menyebutkan bahwa

“eksploitasi adalah tindakan memanfaatkan orang baik dengan tanpa persetujuan

orang tersebut...”. Dengan adanya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, maka Pasal 297 dan Pasal 342 KUHP tidak berlaku. Dalam Pasal 297 KUHP cara melakukan perdagangan orang tidak termasuk unsur tindak pidana, tetapi cara melakukan tindak pidana perdagangan orang dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan atau penjeratan utang.

F. Bentuk-Bentuk dan Modus Operandi Perdagangan Orang

Bentuk-bentuk perdagangan orang yang terjadi di suatu negara dengan negara lain memiliki karakteristik berbeda, tetapi secara umum bentuk-bentuknya meliputi eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan dalam rumah tangga, adopsi anak antar negara secara illegal, penjeratan utang, pengantin pesanan melalui e-mail

(mail-order bride), dan perdagangan organ tubuh manusia.57

1. Eksploitasi Seksual

Perdagangan seks dengan tujuan eksploitasi seksual dilakukan dengan cara modus operandi yang beragam. Tidak ada kesamaan modus operandi/cara mendapatkan perempuan dan anak-anak untuk objek perdagangan seks antara satu negara dan

57


(54)

negara lain. Masing-masing negara memiliki karakteristik tersendiri dalam kaitannya bagaimana pelaku melakukan aksinya untuk mendapatkan perempuan dan anak-anak yang dijadikan objek perdagangan seks. Akan tetapi, secara umum modus operandinya antara lain, menawarkan pekerjaan dengan gaji yang menggiurkan dan memesan langsung ke orang tua atau keluarga terdekat atau bahkan dengan paksaan.

2. Kerja Paksa

Modus operandi kerja paksa yang dilakukan pelaku (traffickers), antara lain, dengan kekerasan atau menahan makanan sebagai sarana untuk memecah, mengontrol, dan menghukum mereka. Kadang kala korban mengalami serangan psikologis yang digunakan pelaku agar mereka tetap patuh. Disamping itu, korban diputus hubungan dengan dunia luar dan dengan demikian hal itu secara langsung akan menghilangkan rasa kontrol terhadap dirinya yang merupakan elemen penting bagi terciptanya kesehatan psikis dan mental yang baik. Dalam banyak kondisi, banyak koraban kerja paksa yang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap orang yang menahan mereka (pelaku) jika ingin bertahan hidup.

3. Perbudakan dalam rumah tangga

Umumnya para korban dijanjikan oleh pelaku pekerjaan yang mudah dan prosfektif dengan gaji yang tinggi, tetapi mereka tidak dipekerjakan sebagaimana yang dijanjikan itu. Malahan, sebagian dari mereka dipaksa menjadi budak dirumah seseorang. Orang yang berhak untuk melakukan apa saja terhadap mereka, seperti kekerasan seksual, pemukulan, penyekapan, atau menyuruh bekerja tanpa gaji dan dengan jam kerja yang melewati batas.


(55)

4. Adopsi anak antar negara secara illegal

Jumlah anak yang diadopsi untuk kepentingan perdagangan orang dari tahun ke tahunmengalami peningkatan. Negara-negara di Asia menjadi tujuan utama adopsi anak secara tidak sah. Korban kemudian dijual ke Eropa dan Amerika dengan harga yang sangat tinggi. Kemiskinan dan ketidakstabilan iklim politik suatu negara ditengarai sebagai penyebab utama meningkatnya jumlah anak yang diadopsi secara tidak sah. Disamping itu, keterlibatan aparat penegak hukum dan pejabat pemerintah setempat merupakan faktor lain yang menyebabkan kondisi berjalan secara berkesinambungan.

5. Penjeratan Utang

Utang ini terdiri atas sejumlah uang yang harus dibayar kepada keluarga korban dan pelaku, ongkos transport, uang tutup mulut yang diberikan kepada pejabat atau aparat penegak hukum dan biaya hidup korban yang ditanggung pelaku. Yang lebih parah lagi jumlah uang yang harus dibayar kepada keluarga dan pelaku ini ternyata diduakalilipatkan dan disertai bunga untuk masing-masing.

6. Pengantin Pesanan

Modus operandi untuk mendapat pengantin pesanan bervariasi, tetapi secara umum dilakukan dengan pertama kali mendaftar pada situs-situswebsiteyang menyediakan layanan jasa pengantin pesanan. Situs tersebut ada yang gratis (free) dan ada juga yang mensyaratkan pembayaran sejumlah uang. Pembayaran sejumlah uang tersebut yang bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang pengantin pesanan dapat dilakukan selama satu kali, satu bulan, atau setiap


(1)

dibedakan menjadi badan hukumdan yang perorangan.Syarat untuk dapat dipidananya seseorang sebagai pelaku tindak pidana adalah adanya unsur kesalahan dan pertanggungjawaban. Untuk dapat dipertanggungjawabkan sebagai pelaku tindak pidana maka orang tersebut haruslah orang yang sehat jasmani dan rohani, tidak ada alasan pemaaf, pembenar maupun penghapus pidana

Berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan ternyata benar bahwa terdakwa yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dan tidak ada alasan pembenar, pemaaf maupun penghapusan pidana.Sehingga unsur barangsiapa terbukti secara sah menurut hukum.

2. Unsur yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak

Unsur yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak, dalam kamus bahasa indonesia eksploitasi artinya pemanfaatan. Menurut penulisberdasarkan kronologis kejadian bahwa sudah jelas terdakwa telah memanfaatkan seksual anak maka unsur tersebut terpenuhi.

3. Unsur untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain

Menurut penulis mengenai unsur menguntungkan diri sendiri ini jika dilihat dalam kronologis kejadian dan pengakuan terdakwa dalam persidangan bahwa terdakwa datang ke salon untuk memperoleh kepuasaan nafsu terdakwa dan menguntungkan saksi Mala Dewi selaku pemilik salon maka unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain terpenuhi.


(2)

80

Berdasarkan uraian di atas, penulis berkesimpulanbahwa berbagai pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang yang memeriksa dan mengadili perkara ini, telah dilakukan sesuai dengan perundang-undangan yang terkait. Hakim menjatuhkan putusan bebas sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, tersangka tidak terbukti melakukan tindak pidana sesuai dengan dakwaan.Tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, terdakwa dihadapkan kepersidangan karena didakwa melakukan tindak pidana dengan surat dakwaan yang disusun secara alternatif, yaitu : Pertama, melanggar ketentuan Pasal 2 UU No. 21 Tahun2007, atau Kedua, melanggar ketentuan Pasal 6 UU No. 21 Tahun 2007, atau Ketiga, melanggar ketentuan Pasal 12UU No. 21 Tahun 2007, atau Keempat, melanggar ketentuan Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002, atau Kelima, melanggar ketentuan Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2002Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP kurang tepat karena unsur-unsur yang terdapat dalam pasal tersebut tidak terpenuhi jika dikaitkan dengan perbuatan terdakwa. Menurut penulis,jaksa penuntut umum seharusnya dapat juga mendakwa dengan pasal lainyaitu dengan menggunakan Pasal 88 UU No. 23 Tahun 2002.


(3)

IV. PENUTUP

A. Simpulan

1. Dasar pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa dalam Putusan No. 489/Pid.Sus/2013/PN.TK. Tanjung Karang telah sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan yuridis lainnya seperti tuntutan dan pledoi terdakwa juga memperhatikan undang-undang yang terkait, serta diperkuat dengan keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan seadil-adilnya. Pertimbangan hokum majelis hakim tersebut telah diupayakan sedapat mungkin menunjukkan rasa keadilan bagi semua pihak. Meskipun demikian belum tentu pihak-pihak yang berperkara merasa puas atas amar putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa. Hakim tidak dapat memutus di luar dakwaan dari jaksa penuntut umum.

2. Pada Perkara No. 489/Pid.Sus/2013/PN.TK. bahwa berbagai pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang yang memeriksa dan mengadili perkara ini, telah dilakukan sesuai dengan perundang-undangan yang terkait. Hakim menjatuhkan putusan bebas sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, tersangka tidak terbukti melakukan tindak pidana sesuai dengan dakwaan. Tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, terdakwa dihadapkan kepersidangan karena didakwa melakukan


(4)

82

tindak pidana dengan surat dakwaan yang disusun secara alternatif, yaitu : Pertama, melanggar ketentuan Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007, atau Kedua, melanggar ketentuan Pasal 6 UU No. 21 Tahun 2007, atau Ketiga, melanggar ketentuan Pasal 12 UU No. 21 Tahun 2007, atau Keempat, melanggar ketentuan Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002, atau Kelima, melanggar ketentuan Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2002Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP kurang tepat karena unsur-unsur yang terdapat dalam pasal tersebut tidak terpenuhi jika dikaitkan dengan perbuatan terdakwa. Menurut penulis, jaksa penuntut umum seharusnya dapat juga mendakwa dengan pasal lain yaitu dengan menggunakan Pasal 88 UU No. 23 Tahun 2002.

B. Saran

1. Bagi para penegak hukum agar mengharmonisasikan segala kebijakan, hukum dan peraturan yang telah dan akan ada dengan UU PTPPO dan Perda yang terkait sebagai paying hokum dalam pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.

2. Pertimbangan hukum majelis hakim dalam menjatuhkan amarputusan dalam perkara ini, masih perlu lebih diperketat dengan tetap mengedepankan rasa keadilan bagi mereka yang berperkara, sehingga mampu memuaskan semua pihak, dan sekaligus dapat memberikan efek jera bagi terdakwa/terpidana.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Ali, Mahrus dan Bayu Aji, 2011. Dimensi, Instumen Internasinal dan Pengaturannya di Indonesia, PT Cipta Aditya Bakti, Bandung.

Andrisman, Tri. 2011. Hukum Pidana, Universitas Lampung, Bandar Lampung. Chazawi, Adami, 2007. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1, PT. Raja Grapindo

Persada. Jakarta.

Farhana, 2010. Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta.

Farid,ZainalAbidin, 2007.HukumPidana I, CetakanKedua, SinarGrafika, Jakarta. Hamzah, Andi, 2001. Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.

Harahap. M. Yahya. 2002. Pembahasan dan Permasalahan Penerapan Dalam KUHAP, Jakarta, Sinar Grafika.

Kansil, C.S.T. 2009. Tindak Pidana dalam Undang-Undang Nasional. Jala Pertama Aksara. Jakarta.

Lamintang,P.A.F.,1997.Dasar-DasarHukumPidana Indonesia, CetakanKeempat, P.T.CitraAdityaBakti, Bandung.

Moeljatno, 2000. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2000.

Muhammad, Abdulkadir, 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung..

Mulyadi, Lilik. 2007. Hukum Acara Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti.

Nawawi Arief, Barda, 2005. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembagan Hukum Pidana. PT. Aditya Bakti. Bandung.

---, 2008.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Prasetyo,Teguh, 2011.HukumPidana, CetakanKedua, P.T. Raja Grafindo, Jakarta. Prodjodikoro, Wirjono, 2010.Tindak-TindakPidanaTertentu Indonesia,


(6)

Rahardjo,Satjipto, 1983.Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung. ---, 2002. Sosiologi Hukum. Muhammadiyah University Press. Surakarta. ---, 2009.Penegakan Hukum. Genta Publishing. Yogyakarta.

Saleh, Roeslan. 1991. Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta, Central.

Soekanto,Soerjono, 1983.Penegakan Hukum, BPHN & Binacipta, Jakarta.

---, 2012.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, RajawaliPers, Jakarta.

Sudarto,1990. Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto Universitas Diponegoro, Semarang.

B. PeraturanPerundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentangPemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

PutusanPengadilanNegeriTanjungKarangNomor 489/Pid.Sus/2013/PN.TK

C. Sumber-Sumber Lain

http://analisishankamnas.blogspot.com/2015/01/perdagangan-orang-sebagai-tindak.html

http://media informasill.com/2012/04/pengertian-definisi-analisis.html http://pepenk26.blogspot.com/2015/02/kebijakan-human-trafficking-di indonesia.html

http://reshaaa-dchasha.blogspot.com/2011/12/trafficking.html

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/12185/1/09E01683.pdf https://wahyunishifaturrahmah.wordpress.com/2010/02/27/analisis-ruu-anti-trafiking-di-indonesia1/